Month: February 2013

Catatan Ngaleut Imlek – Part 3 : Sejarah Singkat Orang Tionghoa di Bandung

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Entah kapan tepatnya orang-orang Tionghoa pertama kali membentuk komunitas di Bandung. Namun tampaknya baru terjadi di awal abad 19 karena sebelumnya VOC melalui keputusan tanggal 6 April 1764 menutup Priangan dari para pendatang, utamanya orang Tionghoa. Larangan tersebut dikeluarkan untuk melindungi usaha monopoli Kompeni dari gangguan saudagar-saudagar Tionghoa.  Dalam praktiknya, Peraturan yang diterapkan VOC sulit dijalankan mengingat keterbatasan tenaga mereka untuk mengawasi mobilitas penduduk di Priangan, namun berdasarkan suatu laporan pernah disebutkan bahwa pada tahun 1754, seorang Tionghoa diasingkan ke Ceylon karena kedapatan berada di Bandung.

Peraturan-peraturan yang membatasi gerak-gerik orang Tionghoa di Jawa  itu didasari peristiwa pemberontakan tahun 1740 di Batavia, yang mendorong Kompeni untuk menyusun kebijakan wijkenstelsel , yaitu kebijakan yang  mengatur penempatan orang-orang Timur Asing pada suatu perkampungan khusus dengan batas-batas tertentu. Kebijakan ini disertai dengan dikeluarkannya Passenstelsel yang mewajibkan orang Tionghoa untuk membawa surat ijin khusus apabila ingin keluar dari batas wilayahnya. Kebijakan yang terakhir ini hanya berlangsung efektif hingga tahun 1830.

Kemungkinan besar gelombang pertama kedatangan orang Tionghoa ke Bandung baru dimulai ketika Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan Besluit van den Zomermaand tahun 1810,  yang mengatur penempatan orang-orang Tionghoa di perkampungan di Cianjur, Bandung, Parakanmuncang dan Sumedang. Melalui keputusan tersebut Daendels sengaja membentuk simpul-simpul pemukiman Tionghoa untuk menggenjot aktifitas pertanian dan perekonomian di kawasan. Berdasarkan aturan tersebut, pemukim Tionghoa diperbolehkan untuk menanam tembakau, nila, katun dan kacang di lahan-lahan yang tidak cocok ditanami padiInisiatif  Daendels tersebut dalam perjalanannya kurang diminati kalangan Tionghoa  karena mereka lebih suka tinggal di dekat Batavia dibandingkan di kawasan Priangan yang masih sepi dan liar. Menanggapi itu, Daendels bahkan memindahkan paksa orang-orang Tionghoa Cirebon ke Priangan.

Walau Belanda berusaha menerapkan peraturan yang ketat terhadap orang-orang Tionghoa, namun tampaknya peraturan ini diberlakukan secara lebih longgar di Bandung, yang selama paruh pertama abad-19 masih sangat sedikit memiliki penduduk Tionghoa. Menurut data yang dikumpulkan P. Bleeker tahun 1845,  pada tahun tersebut tercatat ada 13 orang Cina di distrik Bandung dan 15 orang di Distrik Ujungberung Kulon. Jumlah tersebut akan mengalami kenaikan signifikan ketika Belanda mulai membuka Priangan untuk orang Tionghoa di tahun pertengahan abad 19.

Setelan khas Tionghoa untuk Pedagang

Selama berpuluh tahun, kaum Tionghoa di Bandung berhasil membentuk komunitas dan mengoptimalkan peran mereka di bidang ekonomi. Kebanyakan dari orang Tionghoa di Bandung bergelut dalam usaha perdagangan barang dan jasa seperti pengrajin kayu, tukang cukur, tukang potong hewan, jasa pemborong bangunan, dll. Kemahiran mereka dalam bidang pertukangan juga memberi bagian besar kepada mereka untuk berperan dalam pembangunan jalur kereta api di Priangan di akhir abad-19.

Kalangan Tionghoa pendatang baru kebanyakan berprofesi sebagai pedagang atau pekerja kereta api lebih memilih untuk tinggal di sekitar kawasan stasiun kereta api dan pasar baru. Lambat laun konsentrasi tersebut akan membentuk kawasan pecinan (Chineese wijk). Namun berbeda dengan kawasan Pecinan di kota-kota Hindia Belanda lainnya, batas-batas kawasan pecinan Bandung tidak terlalu jelas. Beberapa orang Tionghoa bahkan diketahui pernah tinggal di luar area Pecinan.

Pasar Baru Bandoeng

Berdasarkan aturan lama VOC, komunitas-komunitas etnis tertentu diharuskan memiliki pemimpin atau koordinator sendiri yang diangkat atas persetujuan Belanda. Mereka diberi gelar yang menyerupai pangkat militer, antara lain Mayor, Kapten, dan Letnan. Mereka ini biasanya dipilih berdasarkan tinggkat kekayaan atau pengaruh yang dimiliki atas masyarakatnya. Khusus untuk komunitas Tionghoa di Bandung sendiri hanya dipimpin oleh seorang Letnan, yang tugasnya lebih ditujukan untuk memudahkan kontrol Belanda atas kegiatan masyarakat Tionghoa di bidang perdagangan dan pertukangan

Letnan Tionghoa  Pertama di Bandung bernama Oey Bouw Hoen, yang diangkat pada tanggal 2 Maret 1881. Setelah setahun menjabat, pada tanggal 2 Maret 1882 ia digantikan oleh Chen Hailong yang juga dikenal sebagai Tan Hai Liong atau Chen Haishe. Tan Hai Liong merupakan salah satu dari 85 perintis pembangunan kelenteng Hiap Thian Kiong / Xietian Gong. Anaknya yang bernama Tan Joen Liong atau Chen Yunlong (1859-1917) kemudian menggantikannya pada tahun 1888. Ia kemudian mendapat promosi untuk menjadi kapten di akhir abad 19. Oleh karena itu tidak aneh apabila pada makamnya di Cikadut tertulis pangkatnya adalah sebagai ‘Kapiten Titulair Der Chineezen’. Selain itu menurut Haryoto Kunto, terdapat pula asisten Letnan yang disebut wijkmaster. Pada tahun 1914, jabatan tersebut diisi oleh Tan Nyim Coy dan Thung Pek Koey, masing-masing mengepalai distrik Citepus dan Suniaraja. Jabatan Letnan kemudian dihilangkan karena setelah Bandung mendapat gelar Gemeente, peran koordinator golongan Cina  diambil alih oleh anggota dewan kota yang bernama Loa Boeng Eng. Para tahun 1941, dari 27 orang dewan kota terdapat tiga orang perwakilan Tionghoa.

Hilangnya posisi pimpinan kaum Tionghoa juga dipengaruhi semakin kaburnya batas-batas Pecinan. Perkembangan ini terjadi terutama ketika Pemerintah Kota Bandung mempercayakan Ir. Thomas Karsten untuk merancang rencana perluasan kota Bandung tahun 1930 dengan sebutan Uitbreidingsplan Stadsgemeente Bandoeng atau singkatnya dikenal sebagai “Karsten Plan”. Karsten yang telah terpengaruh pemikiran liberal mempercayai bahwa tata kota yang efektif harus lebih menekankan pembagian kota berdasarkan fungsi ekonomi kawasan alih-alih berdasarkan unsur rasial. Sejak itu orang Tionghoa kaya bisa memiliki kediaman di kawasan elit Eropa seperti di daerah Dago dan Cipaganti. Status sosial mereka pun mengalami peningkatan dibanding sebelumnya.

Pemakaman Cikadut

Politik diskrimasi Belanda bagaimanapun telah menciptakan atmosfir kecurigaan antara kaum Pribumi dan Tionghoa. Eskalasi kecemburuan sosial kalangan Pribumi terhadap kaum Tionghoa ini akan meletus menjelang kedatangan Jepang ke Nusantara. Dalam bagian selanjutnya akan dibahas perkembangan pertentangan antara kaum Tionghoa dan Pribumi di Bandung…

Bersambung ke Part 4…

 Image

Catatan Ngaleut Imlek – Part 2 : Keunikan Cap Go Meh Tempo Doeloe

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Image

Masih dalam rangka ngebahas Imlek, ada beberapa hal menarik yang khas terjadi seiring diadakannya perayaan tersebut di masa lalu. Salah satunya adalah tradisi memberi ikan Bandeng kepada pihak mertua. Semakin besar  ikan bandeng yang diberikan seorang calon menantu kepada mertuanya,maka semakin tinggi derajatnya di hadapan sang mertua.  Sebaliknya barang siapa yang gagal mempersembahkan ikan bandeng ke mertua menjelang Cap Go Meh, jangan harap bisa direstui sebagai menantu. Tradisi ini masih ditemukan di kalangan Tionghoa yang masih memegang teguh tradisi leluhur. Oleh karena itu, jaman dahulu tidak aneh apabila harga ikan bandeng melonjak puluhan kali lipat setiap kali menjelang Cap Go Meh.

Selain tradisi memberi Bandeng kepada mertua tersebut, ada juga kebiasaan lain berupa memelihara ikan di bulan Sin Cia (Bulan pertama tahun baru). Oleh karena itu tidak aneh apabila biasa ditemukan penjual-penjual ikan di sekitaran Kelenteng selama bulan tersebut. Konon memelihara ikan sejak dimulainya bulan Sin Cia bisa mempermudah datangnya rezeki.

Menurut orang-orang Tionghoa, pesta Cap Go Meh dianggap sebagai upaya membuang sial yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya dan pengharapan bagi kemajuan usaha di tahun berikutnya. Oleh karena itulah seringkali pesta Cap Go Meh diadakan secara sangat meriah. Kemeriahan tersebut seringkali dilakukan dengan cara melakukan iring-iringan massa yang disertai berbagai tetabuhan musik yang disebut “Tanji”. Tanji adalah alat musik berupa terompet yang diiringi tetabuhan yang biasanya dimainkan orang pribumi. Musik tanji dimainkan berulang-ulang menemani iring-iringan yang saling berjoget ria. Banyak pula peserta iring-iringan ini yang berjoget sambil meminum arak, karena konon semakin mabuk akan semakin mendapat kehormatan. Iring-iringan ini biasanya dikawal pemuda-pemuda yang membawa tali tambang untuk membatasi rombongan. Siapapun yang memasuki batas tali tambang ini diwajibkan untuk ikut berjoget… Nah ternyata kebanyakan orang yang ikut berjoget itu orang-orang kita sendiri…

 Image

Para peserta iring-iringan tersebut biasanya bukan orang-orang biasa melainkan para pemuda Tionghoa terpelajar yang memanfaatkan momen tersebut untuk mencari jodoh. Sudah merupakan aturan bahwa setiap pemuda dalam iring-iringan tersebut bisa bebas untuk mencolek perempaun di sana, sedangkan si perempuan tidak boleh marah. Para pemuda tidak sungkan mencolek dan menggoda walaupun sang perempuan didampingi orang tuanya. Bahkan dalam kesempatan ini sang pemuda boleh langsung melamar sang perempuan. Bagi pemuda yang sudah cukup modal, ia bisa mendatangi kediaman sang perempuan di malam hari Cap Go Meh, menayakan langsung kesediaan sang perempuan dan izin orang tuanya. Biasanya pemuda yang melamar di malam Cap Go Meh ini jarang menemui kegagalan. Konon jodoh yang didapat para hari Cap Go Meh lagi-lagi bisa mendatangkan keuntungan buat usaha.

Nah asal muasal kebiasaan unik sudah berasal dari kejadian di Tiongkok jaman dulu. Kala itu para perawan sangat dilarang untuk keluar rumah. Mereka baru bisa, bahkan harus keluar rumah baru apabila diadakan perayaan Cap Go Meh. Oleh karena itulah, di Tiongkok saat itu hanya ada dua kesempatan bagi seorang laki-laki untuk bisa mempersunting perempuan. Pertama apabila mereka sudah dijodohkan oleh kedua pihak orang tua sejak kecil. Kedua adalah apabila berjodoh di kala pesta Cap Go Meh. Artinya apabila seorang perawan tidak dijodohkan dengan siapapun sejak kecilnya, dia harus menunggu Cap Go Meh untuk mendapatkan jodoh. Apabila di saat itu tidak ada yang berminat terhadapnya, terpaksa pula dia harus menunggu hingga Cap Go Meh tahun berikutnya…

Ada lagi yang unik di malam perayaan Cap Go Meh tempo doeloe, yaitu mendadak lakunya pedagang tongkat rotan. Tongkat rotan ini biasa digunakan pemuda-pemuda “cunihin”  yang menggunakannya dengan cara membalik tongkat, bagian yang melengkung  lantas dikaitkan untuk menarik ikat pinggang cewek-cewek atau untuk menyingkap rok mereka… hehehe…

Iring-iringan ini biasanya dilakukan hingga 50 kali balikan mengelilingi kawasan Pecinan. Suasana kebersamaan begitu kental karena para pesertanya bukan hanya terdiri dari orang Tionghoa, orang pribumi hingga bangsa keturunan arab pun ikut ulubiung di dalamnya. Bubarnya iring-iringan ini biasanya baru terjadi apabila pesertanya sudah kelelahan.

Nah, kemeriahan Cap Go Meh ini sudah lama sekali tidak terjadi karena pemerintah orde baru melarang segala kegiatan berbau tradisi Tionghoa. Beruntunglah kini kemeriahan tersebut masih bisa kita temui kembali, namun sayangnya beberapa tradisi seperti yang dikisahkan di atas tampaknya sudah tidak lagi dilakukan generasi saat ini.  Tapi tak apalah, yang penting kemeriahan Imlek masih tetap ada, serta menjadi bagian dari kekayaan budaya kita. Kung Hua Sin Shi !

Bersambung ke bagian 3…

Gambarnya kurang jelas, tapi ini adalah suasana pemandangan di Situ Aksan tempo doeloe ketika Imlek. Entah apa sebabnya orang-orang Tionghoa Bandung kala itu memilih Situ Aksan sebagai tempat berekreasi…

Catatan Ngaleut-Part 1

Oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan

Klenteng Hiap Thian Kong Bandung

Malam itu adalah kedua kalinya Komunitas Aleut mengadakan “Ngaleut  Imlek di Bandung” yang khusus diadakan di malam perayaan Imlek. Seperti biasa, ngaleut kali ini berhasil menggaet antusiasme pegiat yang cukup besar. Hampir 90 orang pegiat mengikuti acara ngaleut Imlek kemarin. Rangkaian tulisan ini disusun untuk melengkapi materi yang telah disampaikan pada perjalanan ngaleut tersebut. Semoga bisa dinikmati.

Dulunya, orang-orang Indonesia lebih mengenal perayaan Imlek dengan istilah lain Sincia. Sampai tahun 50’an, orang-orang Indonesia biasa menikmati perayaan Imlek seperti saat ini, namun semua itu berubah ketika negara api menyerang… eh sampai sentimen anti-China menyeruak sekitar tahun 60’an dan baru berangsur-angsur pulih satu dekade terakhir.

Sudah sejak dulu pula perayaan Imlek selalu diidentikan dengan turunnya hujan, sajian dodol cina/kue keranjang (jawadah korang), dan pertunjukan Barongsai. Perayaan Imlek yang mencapai angka 2564 tahun ini dimulai dari hari lahirnya Kong Fu Tsu atau Confucius. Artinya, hari lahir beliau dipatok sebagai tanggal 1, bulan 1, dan tahun 1.

Lalu apa hubungan imlek dengan turunnya hujan yang selalu menyertainya, tidak ada yang pernah bisa memastikan. Namun biasanya hujan selalu mengisi Tcia Gwee atau bulan pertama di tahun baru Tionghoa. Hal ini biasa dianggap sebagai pertanda “tahun hoki” bagi orang Tionghoa. Tahun baru ini juga selalu dirayakan dengan meriah. Terbitnya matahari di awal tahun baru selalu disambut dengan kedatangan penganut Kong Hu Chu beramai-ramai ke Kelenteng. Sepulangnya dari sana, seperti halnya penganut Islam di bulan Ramadhan,  mereka mengadakan kunjungan ke berbagai kerabat. Anak-anak paling senang mengikuti kegiatan ini karena mengharapkan ang pao yang diberikan kerabat yang dikunjungi.

Sejak tahun baru hingga  lima belas hari setelahnya yang dikenal sebagai Cap Go Meh (Cap Go = 15), dahulu biasa terlihat “pengamen” yang berandang ke toko-toko milik Tionghoa sambil macam-macam tingkahnya, ada menunjukan tarian-tarian, bernyanyi seadanya, hingga menampilkan “barongsai jadi-jadian”. Barongsai jadi-jadian ini sebutan Barongsai yang dimainkan sama orang pribumi, dengan gaya ala kadarnya, tanpa gerakan “kuntaw” seperti halnya barongsai asli dan turut  diiringi musik yang “seadanya” juga. Barongsai jadi-jadian ini berkeliling dari toko ke toko untuk meminta “sumbangan” seikhlasnya dari engkoh-engkoh pemilik toko.  Namun semakin mendekati Cap Go Meh, maka semakin banyak Barongsai asli yang dimainkan orang Tionghoa. Bedanya, bayaran yang mereka dapatkan akan disumbangkan kepada panitia perayaan Cap Go Meh.

Apabila pada tahun baru Imlek biasanya tidak banyak dilakukan banyak perayaan, melainkan ibadah dan silaturahmi, baru pada malam ke-15 bulan Tcia Gwee-lah diadakan pesta Cap Go Meh, yaitu ketika bulan purnama penuh menerangi malam. Saat inilah puncak perayaan tahun baru dilakukan lewat berbagai macam hiburan. Biasanya pesta Cap Go Meh diadakan selama tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15 Tcia Gwee.

Materi berikutnya bersambung ke Part-2…

Iring-iringan pemusik Tionghoa meramaikan kedatangan Ratu Juliana-Pangeran Bernhard ke Bandung

Kue Keranjang

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Image

Kue keranjang memiliki nama asli Nien Kau atau Nian Gao atau Ni kwee yang berarti kue tahunan karena sering dibuat hanya satahun sekali saat perayaan Imlek. Kata Nian sendiri berarti Tahun dan Gao berarti kue, juga terdengar seperti tinggi atau bertingkat. Semakin tinggi keatas makin kecil ukuranya yang bisa diartikan sebagai pengharapan akan peningkatan rezeki atau kemakuran.

Bentuk kue keranjang jika kita lihat secara seksama berbentuk bulat yang mempunyai makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat hidup rukun, bersatu dan mempunyai tekad bulat dalam menghadapi tahun yang akan datang. Saat Imlek, warga Tionghoa biasnya terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum nasi sebagai pengharapan agar beruntung dalam pekerjaan sepanjang tahun. Kue keranjang rasanya manis merupakan lambang harapan agar tahun baru membawa hal-hal yang baik dan kemakmuran.

Imlek

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Image

Setiap tahun perayaan imlek berlangsung cukup semarak di Kota Bandung. Kue keranjang, barongsai, lampion yang serba merah dan pohon meihua menghiasi tradisi perayaan imlek. Imlek bermula dari perayaan petani di daratan Tionghoa yang menyambut kedatangan musim semi, perayaan ini menyebar keseluruh dunia seiring dengan migrasi warga Cina ke banyak negara  di dunia. Perayaan Imlek dilakukan sebulan penuh, untuk menyambut tahun yang baru biasanya warga tionghoa melakukan tradisi membersihkan rumah.  Uniknya, sehari sebelum imlek dilarang untuk membuang sampah dan menyapu karena dipercaya akan menyapu rezeki.

Pada malam tahun baru dilakukan tradisi shousui, yaitu kumpul tahunan bersama keluarga besar. Kegiatannya adalah makan malam bersama. Semua anak ikut berkumpul dan mendoakan orangtua mereka agar diberkahi usia yang panjang.

Hari pertama tahun baru (Imlek) diisi dengan saling mengunjungi antarkeluarga. Biasanya keluarga yang lebih muda mengunjungi keluarga yang tua. Pada hari ini terdapat tabu menyapu lantai. Pekerjaan menyapu pada saat Imlek dipercaya akan menghilangkan keberuntungan.

Pada hari ketiga adalah tradisi chi kou. Orang-orang menghindari kunjungan tetamu karena dipercaya pada hari ini roh-roh jahat sedang mendatangi bumi.

Hari kelima adalah hari lahirnya Dewa Kekayaan. Banyak usaha kembali dibuka pada hari ini.

Renri pada hari ketujuh adalah hari lahirnya manusia. Pada hari ini setiap manusia beranjak setahun lebih tua. Kegiatan hari ini adalah menghidangkan sup dengan tujuh bahan sayuran atau makan salad ikan mentah yang disebut yusheng.

Hari kelimabelas adalah saatnya untuk pesta lampion yang biasa disebut yuan xiao. Sebagai penganan istimewa untuk hari ini adalah sejenis kue moci manis dalam sirup. Penganan ini adalah simbol kesatuan dan kebersamaan.

Daftar Pustaka :

Wikipedia. (11 Februari 2013 16.44WIB). Imlek. http://id.wikipedia.org/wiki/Imlek.

Hutagalung, Ridwan. 2011. Dimuat di https://rgalung.wordpress.com/2011/02/04/tahun-baru-imlek-2011/Diakses 4 Februari 2011.

Sumber Foto:

Istimewa. 2013 dimuat di http://www.lensaindonesia.com/2013/02/10/imlek-dan-bandeng-akulturasi-tionghoa-dan-budaya-lokal.html Diakses 10 Februari 2013.

Jugun Ianfu: Seandainya Saya Dulu Jelek

oleh: Lorraine Riva (@yoyen)

Emah berkata “Seandainya saya dulu jelek. Gadis-gadis jelek dipulangkan kerumah setelah beberapa hari atau minggu. Orang Jepang tidak menginginkan mereka. Gadis-gadis cantik harus tinggal. Saya tetap tinggal disana. 3 tahun lamanya saya tinggal di bordil militer mulai dari 1945”.

Image

Emah (lahir tahun 1926 di Cimahi, Jawa – Barat) adalah seorang Jugun Ianfu atau bahasa Inggrisnya comfort women. Istilah comfort women biasanya ditujukan untuk gadis atau perempuan yang dipaksa melacur oleh Jepang selama Perang Dunia II. Setelah rape of Nanking tahun 1938 (http://www.historyplace.com/worldhistory/genocide/nanking.htm ) yang benar-benar mengerikan, beberapa petinggi militer Jepang menyarankan pimpinan militer Jepang untuk membuka pusat rekreasi untuk para tentara yang bertempur di lini depan. Mereka percaya hal ini berguna untuk menjaga tata tertib dan mental para tentara. Pusat rekreasi ini juga dipercaya dapat mencegah para tentara mengidap penyakit seksual. Sebenarnya pusat rekreasi ini adalah istilah halus untuk bordil militer.

Buku Schaamte en onschuld (rasa malu dan bersalah) karya antropolog Belanda, Hilde Janssen, dan portret para Jugun Ianfu yang mengesankan karya Jan Banning (http://www.janbanning.com/gallery/comfort-women/ ) sudah ada dalam daftar buku yang harus saya baca sejak terbitnya di bulan April 2010. Setelah membaca buku ini saya ingin berbagi cerita di sini supaya dunia tahu sejarah Jugun Ianfu. Jan Banning juga menerbitkan buku Comfort Women (http://www.uitgeverij-ipsofacto.nl/?m=25&p=2&s=0 ) dengan teks oleh Hilde Janssen, buku ini terbit dalam bahasa Belanda dan Inggris.

 

Awal mula
Jugun Ianfu yang pertama kali datang ke Indonesia tahun 1942 berasal dari Korea dan Cina. Sehubungan dengan naiknya permintaan untuk Jugun Ianfu dan kurangnya jumlah para wanita dari Korea dan Cina, militer Jepang mulai merekrut perempuan di Indonesia. Kebanyakan dari para perempuan ini diculik dari rumah, di jalan (Sanikem, lahir 1926 di Yogyakarta) bahkan di sawah  selagi bekerja. Ada yang dijual oleh kepala desa ke Jepang seperti Kasinem (lahir 1931 di Salatiga, Jawa-Tengah) dan Rosa (lahir 1929, Pulau Saumlaki Maluku-Selatan). Yang termuda berumur 11 tahun, masih anak-anak. Tentara Jepang merekrut anak dan laki-laki dewasa untuk dijadikan romusha atau heiho, sementara para perempuan dipaksa bekerja di bordil militer.

Walaupun inisiatif militer, tetapi pengelola bordil militer berbeda-beda. Ada beberapa bordil yang dikelola langsung di bawah pengawasan departemen militer, ada bordil kepunyaan swasta. Para Jugun Ianfu yang bekerja di bordil militer ini harus menggunakan nama Jepang mereka: Hana, Miko dsb. Para wanita ini bekerja tiap hari dari siang hingga malam. Beberapa dari mereka bekerja tanpa henti. Hari libur mereka dapat jika mereka menstruasi atau untuk tes medis tiap bulan. Hanya sedikit Jugun Ianfu yang hamil. Menurut Giyem (lahir 1930 di Jawa-Tengah) dokter militer memberikan resep obat puyer (catatan: mungkin sama seperti Morning After pil sekarang ini?) kepada semua Jugun Ianfu untuk mencegah supaya mereka tidak hamil.

Selama bekerja sebagai Jugun Ianfu beberapa wanita ini mengingat tamu-tamu bordil yang berlaku baik kepada mereka, tetapi mereka juga membenci tamu-tamu yang kasar. Beberapa tamu kasar itu menganiaya Jugun Ianfu. Tanpa ragu mereka mengancam akan menusuk Jugun Ianfu dengan bayonet tajamnya jika hasrat mereka tidak dituruti.

Ada sejumlah Jugun Ianfu yang tidak bekerja di bordil militer. Beberapa dari mereka ditawan di rumah seorang Jepang, sebagian dijemput di rumah mereka tiap sore dan dibawa ke rumah orang Jepang. di mana mereka diperkosa setiap hari 3 tahun lamanya.

Jugun_2

Akhirnya
Di akhir Perang Dunia II dan langsung setelah Jepang menyerah, bordil-bordil militer ditutup. Para Jugun Ianfu bebas untuk pulang ke tempat asal mereka. Beberapa memilih untuk tinggal di situ karena mereka takut menceritakan kejadian sebenarnya ke keluarga mereka..Yang kembali ke tempat asal diterima dengan baik oleh keluarga tetapi penduduk di sekitar mereka menghina dan menyebut mereka sebagai bekas Jepang. Hal ini membuat sakit hati para Jugun Ianfu. Ada juga Jugun Ianfu yang tidak bercerita ke seorang pun tentang pengalaman buruknya ini. Seperti Sarmi (lahir 1930 Jawa – Tengah), ia tidak pernah bercerita tentang ini, bahkan suaminya pun tidak tahu bahwa istrinya adalah eks Jugun Ianfu. Menurut Sarmi ini adalah pilihan terbaik untuk tidak membebani suaminya, anak-anak dan cucu-cucu mereka. Sarmi yakin bahwa dia sangat berdosa karena dia membiarkan Jepang memperkosanya. Selain Sarmi ada juga Jugun Ianfu yang tidak dapat mempunyai anak. Malu, segan dan trauma membuat banyak Jugun Ianfu enggan diwanwancara di rumah sendiri oleh penulis buku ini. Takut akan reaksi tetangga mereka hanya mau diwawancara di tempat lain.

Pengakuan
Menurut data statistik, terdapat 200.000 korban kejahatan seksual di negara-negara jajahan Jepang. Korban bukan hanya wanita dari Korea, Cina, Malaysia, Singapore, Philipina dan Indonesia tetapi juga dari Inggris, Australia dan Belanda. Wanita Eropa ini berada di wilayah jajahan Jepang pada waktu itu.

Tahun 1992 Jugun Ianfu di Korea dan Cina memulai lobby lewat Jugun Ianfu Advocacy Network untuk pengakuan resmi dari pemerintah Jepang tentang kejahatan seksual di masa perang ini. Tujuan utama mereka setelah pengakuan resmi adalah kompensasi untuk kerugian moral dan fisik yang mereka derita. LBH mengambil contoh dari Korea dan Cina dan mulai mendaftar Jugun Ianfu di Indonesia. Didaftar LBH ini tercantum 20.000 Jugun Ianfu berasal dari seluruh penjuru Indonesia (bukan hanya Jawa dan Sumatra). Yang mengejutkan untuk saya, pemerintah Indonesia ternyata menyarankan para Jugun Ianfu untuk tidak menuntut pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan resmi dan kompensasi. Menurut pejabat Indonesia akhir tahun 1990-an adalah tabu untuk menggali sisi gelap sejarah. Mereka menganjurkan para Jugun Ianfu berhenti menuntut pemerintah Jepang. Sikap pemerintah Indonesia yang mengecewakan ini sangat bertentangan dengan sikap pemerintah Korea dan Cina yang sepenuhnya mendukung para Jugun Ianfu di negara mereka.

Tidak peduli seberapa keras lobby ini, bahkan setelah kesaksian para Jugun Ianfu di Jepang akhir tahun 1990-an, pemerintah Jepang hingga sekarang pun tidak mengeluarkan pernyataan resmi tentang Jugun Ianfu. Saya bertanya-tanya sampai kapan Jepang mengelak untuk bertanggung jawab? Para Jugun Ianfu sekarang sudah sangat tua. Jika dalam jangka waktu dekat mereka tidak ada lagi, siapa yang akan menuntut Jepang untuk pengakuan resmi?

Ada sebuah film dokumenter Omdat wij mooi waren (Karena kami dulu cantik) ditayangkan di TV Belanda tanggal 15 Agustus 2010. Film ini dalam bahasa Belanda, Bahasa Indonesa, Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa dengan terjemahan dan narasi dalam Bahasa Belanda. Di film ini kita melihat penulis buku, Hilde Janssen bersama dengan fotografer Jan Banning mewawancara dan memotret para Jugun Ianfu. Mengharukan cerita mereka dan sangat kejam, tidak berperikemanusiaan pengalaman mereka. (http://www.youtube.com/embed/Hx4vRRH7rhc)

Catatan saya
Menurut saya istilah Jugun Ianfu dalam bahasa Inggris, comfort women itu istilah yang menyesatkan karena Jugun Ianfu dipaksa untuk melacur bukan atas kemauan mereka sendiri. Mungkin sekarang ini Jugun Ianfu bisa dikategorikan sebagai jaringan pedofilia karena banyak Jugun Ianfu yang yang waktu itu berumur 11 tahun. Mereka itu masih anak-anak!

Kadang saya mengerti pilihan beberapa Jugun Ianfu di buku ini untuk berdiam tentang masa lalunya. Saya mengerti ini karena ada 3 Jugun Ianfu di keluarga saya dan suami saya. Mendengar cerita mereka sewaktu kecil dan setelah sekarang dewasa saya mengerti. Selama membaca buku ini hati saya miris membayangkan perasaan para Jugun Ianfu: malu, dipakai, kotor dan dikucilkan. Mudah-mudahan kekejaman seperti ini tidak terjadi lagi. Kita harus belajar dari sejarah bukan?


AADC (Ada Apa Dengan Cibeunying?)

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisionipin)

Siapa yang tidak tahu Kecamatan Cibeunying Kaler di Bandung, yang terkenal dengan sentra kaos Suci, PUSDAI, dan Museum Geologi?. Berdasarkan kajian toponimi, Cibeunying berasal dari kata Ci, dan Beunying. Ci sudah pasti berarti ‘air’, sedangkan beunying? Yuk… kita kenalan dengan beunying.

Beunying (Ficus fistulosa Reinw. ex Blume) merupakan jenis tumbuhan dari famili Moraceae atau keluarga beringin. Masih satu kerabat dengan nangka, murbei, pohon bodhi, karet munding, dan hampelas.

Beunying adalah pohon dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Daunnya tebal dan berbentuk bulat telur sampai lonjong hingga lanset. Permukaan bagian atas mengkilat bertangkai panjang. Karangan bunga periuk, tumbuh dari ketiak daun atau bergerombol pada batang.

Sama seperti pohon bodhi (Ficus religiosa L.) karangan bunga pada beunying terlihat seperti buah dan biasa disebut dengan istilah bunga periuk atau syconium. Bunganya berukuran sangat kecil dan tersembunyi di dalam struktur yang menyerupai buah. Bayangkan saja sebuah periuk dari tanah liat dan bunga beunying yang berukuran kecil dan berwarna merah menempel dibagian dalam periuk. Karena bunganya tersembunyi, maka penyerbukan tidak dibantu oleh kupu-kupu maupun lebah. Penyerbukan pada beunying dilakukan oleh jenis serangga khusus dari famili Agaonidae atau dikenal sebagai wasp.

Dimana beunying dapat ditemukan?. Beunying hidup di tempat sejuk dan dekat sumber air dengan elevasi hingga 2000 m. Di hutan terbuka, pinggiran hutan yang lembap banyak ditumbuhi oleh jenis ini. Di kawasan Malesia, beunying terdistribusi di Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Flores, Sumbawa, Alor) dan New Guinea.

Apa yang membedakan beunying dengan jenis lain dari Ficus?. Daun muda beunying berwarna merah muda. Daun-daun muda ini di daerah sunda sering dimakan mentah sebagai lalab dan rasanya memang enak. Karangan buah muda juga dapat dimakan dengan sambal.

Bagaimana? sudah kenal dengan beunying kan?. Kalau sudah mengenal secara morfologi (bentuk luar), di lain kesempatan saya akan bagi informasi mengenai khasiat beunying bagi kesehatan. see u 🙂

404827_4822529434247_589658502_n

Image

Totongan atau Debregeasia longifolia (Burm. f.) Wedd.

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisionipin)

Sudah 2 kali saya dikejutkan oleh kehadiran Debregeasia longifolia (Burm.f.) Wedd. yang tumbuh dipinggir jalan besar di kota Bandung, jl. Setiabudhi dan jl. Dayang Sumbi. Keduanya masih kecil dan baru tumbuh. Mengapa saya terkejut? Yuk kita simak..

Debregeasia longifolia (Burm.f.) Wedd. atau dalam bahasa sunda disebut “totongan” merupakan salah satu jenis tumbuhan dari famili Urticaceae (keluarga pulus atau jelutung).

Tumbuhan hutan ini tingginya dapat mencapai 5 m. Permukaan daun bagian atas kasar dan berwarna hijau, sedangkan permukaan bagian bawah berwarna putih-kelabu. Karangan bunga tumbuh dari bagian ketiak daun. Buah yang sudah masak berwarna merah, dan dapat dimakan sebagai buah survival. Rasanya asam.

Debregeasia longifolia (Burm.f.) Wedd. dijumpai diseluruh pulau Jawa, hidup pada ketinggian 500-2600 m dpl. Umumnya tumbuh di hutan terbuka, hutan sekunder, jalan setapak, perkebunan teh, dan lereng gunung api. Spesies ini merupakan tumbuhan khas pada lahan suksesi di hutan, atau lahan yang sedang mengalami pemulihan dari kerusakan.

Yang tertarik lihat Debregeasia longifolia (Burm.f.) Wedd. secara langsung, kapan2 saya tunjukkan ya :). atau bisa juga main2 ke Taman Hutan Raya Juanda (disekitar curug omas).

Note: foto ini saya ambil di pinggir Jl. Setiabudhi, Bandung.

Image

Hidden story? Ngaleut Kawasan Husein.

Oleh: Intan Zariska Daniyanti  (@daniyaintan)

Awalnya masih mikir sejuta kali untuk share cerita sama catatan perjalanan ini. (Lebay dikit, emang.)

Minggu, 30 Desember 2012

“Ngaleut kawasan Husein, meeting point di Stasion Bandung jam 07.30 okay!” yang terlintas dipikiran saya ketika saya bangun pagi. Saya berangkat sekitar pukul 07.00 dari rumah dengan diantar oleh ayah. Karena saya kurang tahu dimana tempat meeting point itu berada. (bukannya manja ya! Tapi daripada nyasar mending diantar kan?)

Sesampainya di stasion saya celingak-celinguk mencari Aleutian yang lainnya beruntung saya menemukan beberapa orang yang memakai kaos Aleut! Dan di sekitarnya sudah ada beberapa orang sedang berkumpul. Nah! Ini pasti tak lain dan tak bukan ya Komunitas Aleut! Jujur saja saya masih kurang hafal dengan orang-orangnya, karena ini baru kali ke-2 saya di aleut.

Meetingpun dimulai dan tradisi aleut seperti biasa perkenalan antar anggota baik yang baru maupun yang sudah terdahulu ngaleut. Dilanjut dengan masuk sedikit ke parkiran stasion dan bang Ridwan bercerita tentang sejarah stasion, jalan Kebon Kawung dan awal pembangunan Transportasi serta jalur kereta api pada masa itu.

 Image

Kami menyusuri Jalan Kebon Kawung sambung ke Jalan Ksatriaan lalu berhenti di Institut Ksatriaan atau sekarang SMP Negeri 1 Bandung. Sekolah dimana Bapak Proklamator kita mengajar dan daerah dimana Beliau mengenal Ibu Inggit Garnasih it’s so kya! :3 setelah cukup berkeliling-keliling dan melihat-lihat.

 Image

(Ada beberapa destinasi yang di skip: Pemakaman Keluarga Pedagang Pasar Baru, Taman Kresna, SMK seberang jalan Baladewa dan perumahan dinas Kereta Api kalau tidak salah)

Kami kembali menyusuri jalan-jalan dan beberapa gang kecil yang saya kurang tahu detailnya dan tiba di sebuah Pemakaman Kuno. “Wah, keren banget gak nyangka ada tempat kayak gini! Perasaan tadi cuman nyusurin gang terus lanjut perumahan,” ujar saya dalam hati.  Ini namanya ‘Makam dan gereja Pandu’ kak Reza menceritakan tempat yang akan kami jelajahi. Saya masih terpukau oleh hamparan pemandangan ‘Welcome to Pandu’ hari terik kala itu beberapa Aleutian mengeluh capek dan panas bahkan ada beberapa Aleutian yang sudah berinisiatif memakai payung sebelum memasuki makam. Saya tidak menghiraukannya mata saya masih sibuk berbelanja menyelidiki beberapa makam. Ada makam kuno Cina, Belanda, Kristen katholik bahkan saya sempat mengernyitkan dahi ketika melihat makam laci yang berjajar di tembok. Makam laci?

ImageImageImage

Di hari yang terik itu kami tetap berjalan mengitari makam dan kamipun tiba di makam Fam Ursone yang ceritanya: ini adalah sebuah makam keluarga pengusaha peternakan terkemuka di masa itu. Dari yang saya lihat makam yang ini memang yang paling berbeda. “Paling jreng diantara yang lain kayak di luar negeri lah!” seru saya dalam hati. Sayapun masuk penasaran karena melihat beberapa Aleutian sudah berada di dalam makam tersebut dingin dan gelap, aneh padahal diluar panas.

 Image

Next: makam berdampingan pilot dan co-pilot yang meninggal karena pesawat yang beliau kendarai mengalami kecelakaan dan terjatuh di daerah Padalarang-Cililin sekitar tahun 1930-an.

Image

 Image

Dan ada lagi yang menarik perhatian saya. Yap Ereveld mungkin sejenis Taman Makam Pahlawan Belanda kali ya. Sayangnya kita kalau mau masuk kesana harus menggunakan passport. “Yaelah masih di Indonesia juga gitu we’re still in Bandung oh come on! Tau gitu tadi saya bawa passpor!” (eh nggak gitu juga kali ya hehe) saya berbicara dalam hati.

Image

Image

Siangnya waktu Dzuhur, kami sudah tiba di Mesjid Habiburahman (Mesjid Habibie-Ainun) beberapa Aleutian terlihat langsung duduk merebah melepas lelah dan mengobrol sedikit sambil beristirahat. Entah kenapa saya mendadak religi saat itu hahaha saya memutuskan untuk mengambil air wudhu dan menyegerakan shalat, karena memang sudah waktunya kan? Seberesnya saya shalat dan berdo’a saya sempat melihat ke sekitar masjid dan ke atas bangunan fondasi masjid Subhanallah indah banget. Mana mesjid ini diresmiin sama Bu Ainun sama Pak Habibie ah romantis banget deh! <3 (efek nonton Habibie-Ainun)

Image

Image

Lamunan saya dipecahkan oleh kak Ala yang meminjam mukena. Setelah kami berdua selesai shalat saya mengeluh pusing ke kak Ala. (gak ada tujuannya sih cuman FYI aja) tapi siapa yang sangka kak Ala bilang: ‘Kamu tadi gak diikat rambutnya waktu pas di Pandu ya dan?’ sayapun menjawab: “Enggak kak memangnya kenapa?” Kak Ala melanjutkan menjawab sambil melipat mukena: ‘Biasanya sih yang kayak gitu suka ikut nempel di rambut..’ “Hah?” (if you know what I mean) “Kak Ala kenapa bilang gitu? -_-“ tanya saya dalam hati. Tapi kak Ala melanjutkan: ‘Yaudah gapapa kok mungkin tadi kamu kecapekan dan.’ Lalu kak Dea nimbrung: ‘Eh dan, kamu tadi ngerasa gak sih ada suara kayak yang ngetuk-ngetuk tembok pas di Ursone?’ Tanya kak Dea. “Ya Tuhan ini apa lagi..” saya tidak menghiraukan kak Dea dan menjawab: “Enggak kak emang apaan?” ‘Masa sih dan kamu gak denger? Kita kan yang paling dalem pas di Ursone’

Sesi sharing sehabis ngaleutpun tiba, semua Aleutian berbagi pengalaman selama perjalanan yang tadi kami tempuh dari sudut pandang masing-masing. Ini bagian yang saya suka karena saya suka mendengar orang bercerita hehe. Sayapun berpamitan pulang duluan karena sudah dijemput dan tidak ikut makan bersama.

Sesampainya dirumah saya langsung rebahan sebentar lalu makan siang. (makan siang? Late lunch sih tepatnya. Saya sampai rumah sekitar pukul 3 sore) lalu saya mandi dan tidur sehabis shalat ashar. Waktu maghrib tiba saya bangun dan bersiap shalat. Saya merasa ada yang aneh perasaan tadi jalan kaki jauh tapi kenapa yang sakit malah pundak. Saya tidak menghiraukannya dan melanjutkan kegiatan seperti biasa. Well saya terbangun lagi dan berharap sakit saya sudah hilang karena saya pikir saya sudah cukup istirahat untuk menggantikan energi saya yang cukup terkuras tadi siang. Well kondisi semakin memburuk saya tidak menceritakannya pada kedua orang tua saya lalu saya memutuskan untuk bbm kak Reza dan menanyakan sesuatu. Saya juga sempat tersirat perkataan kak Ala dan kak Dea tadi siang, but I’m still positive thinking. For pessimist I’m pretty optimistic kok. (apa banget!) Setelah menunggu beberapa saat kak Reza pun membalas dan yah baiklah mungkin saya memang kecapekan. Keesokan harinya keadaan semakin memburuk dan oke baiklah yang ini saya agak takut dan sedih karena jujur pundak saya malah semakin berat dan kepala rasanya pusing. For God sake saya nangis pun percuma saya tetap berdo’a dan mencoba untuk tidak berpikiran yang macam-macam. Saya menceritakan kepada sahabat saya tentang kejadian ini lalu teman saya menyarankan saya untuk kembali lagi ke Makam Pandu. “Ya kali saya harus kesana lagi? Sendirian? Ngapain?” teman saya tidak menjawab dan hanya membujuk saya agar saya menuruti perkataannya. Saya tidak menuruti perkataan teman saya tersebut karena ya saya tetap berusaha untuk berpikiran sewajarnya dan logika. Pundak saya semakin sakit dan berat terutama sebelah kiri. Tapi yasudahlah saya melanjutkan kegiatan tahun baru bersama keluarga.

Selepas malam tahun baru saya bangun di esok hari dan saya teringat bermimpi bermain bersama seorang anak kecil keturunan tionghoa dan jalan-jalan di suatu tempat yang saya gak tahu tempatnya apa agak menyenangkan dan seram tapi setelah terbangun dari mimpi itu rasa sakit di pundak saya hilang dengan sendirinya. Jadi sebenernya apa sih yang terjadi? No I’m not saya juga bahkan gak tau apa yang terjadi.

For God sake hanya Tuhan yang tau…

Well, tapi kejadian ini gak bikin saya kapok buat ngaleut loh! 😀

(dan FYI: pas nulis ini juga sempet mati lampu 4x lebay gak sih sedih gak sih percaya gak sih? I’m telling the truth.)

Original Post

Merenda Cikapundung dan Pemukiman Padat

Oleh: Nia Janiar (@janiar_)

Pemanfaatan Cikapundung menjadi tema ngaleut Minggu (20/1) yang cerah itu. Berkumpul di Jl. Sumur Bandung, kami berjalan melewati Babakan Siliwangi yang kini sedang terancam keberadaannya sebagai hutan kota yang akan hilang karena rencana komersialisasi lahan. Awalnya, Babakan Siliwangi disebut Lebak Gede (“lebak” artinya lembah) yang daerahnya membentang hingga kampus UNPAD di Jl. Dipatiukur. Di arah utara dari Lebak Gede, terdapat Villa Mei Ling yang merupakan saksi sejarah karena beberapa kali pernah diadakan rapat penyerahan dari Belanda ke Jepang di sana.

Nama Babakan Siliwangi mulai muncul di tahun 1950-an karena munculnya sanggar-sanggar film dan teater. Dari sanggar teater tersebut, terdapat sebuah sosok yang fenomenal yaitu Nurnaningsih karena ia merupakan artis Indonesia yang telanjang di depan kamera. Jika kalian penasaran, filmnya berjudul “Harimau Tjampa”. Kembali kasih.

Di bawah pohon Ki Hujan, Bang Ridwan menjelaskan bahwa Ratu Juliana, ratu Belanda kala itu, ingin membuat tempat peristirahatan di sebelah selatan Lebak Gede pada tahun 1929 namun pembangunan tempat peristirahatan itu tidak pernah terjadi. Alih-alih tempat peristirahatan, mereka membangun sebuah taman bernama Jubileum Park. Mengacu pada konsep Jawa, nama taman ini diubah menjadi Taman Sari atau Kebun Binatang yang dibangun tahun 1930.

Tidak jauh dari Sabuga, terdapat pintu air Lebak Gede yang merupakan saksi sejarah dimana Bupati Bandung kala itu, Martanegara, membuat pintu air dan kanal untuk membagi air ke beberapa daerah di Bandung dan aliran barunya disebut sungai Cikapayang. Pada mulanya kanal-kanal ini berguna untuk mendistribusikan air sungai Cikapundung untuk taman-taman yang ada di Merdeka, Cilaki, dan Taman Ganesha. Pendistribusian air sungai yang terbentuk dari aliran lava Gunung Tangkuban Perahu ini membuat air tidak menumpuk di satu sungai dan meluap. Sayangnya, jalan menuju kanal yang ada di Lebak Gede ini tertutup sampah sehingga aliran airnya tidak terlalu besar.

Image

Kanal Air

Image

Pintu Air

Image

Cikapundung sempat dijadikan tempat wisata bule-bule berpose di atas badan sungai Cikapundung tahun 1930an

Dari seberang sungai, kami ditunjukkan sebuah air terjun kecil yang konon dulu tingginya mencapai 20 meter. Pembabatan pohon-pohon di daerah hulu membuat tanah atau lumpur terbawa air hujan dan ikut aliran sungai yang kini kecoklatan dan membikin sungai Cikapundung mengalami pendangkalan. Bisa dilihat air terjun di bawah ini mencapai hanya sekitar 10 meter saja. Pendangkalan sungai ini bisa menjadi salah satu penyebab banjir.

Image

Kami melanjutkan perjalanan dengan melintasi pemukiman padat Cihampelas yang berdesak-desakkan. Saking penuhnya, rumah-rumah berdempetan. Tidak hanya sisi kanan dan kiri, tetapi juga depan dan belakang–hanya menyisakan ruang satu meter untuk berjalan. Bahkan, ada jalan yang di atasnya terdapat rumah warga sehingga kami layaknya masuk ke sebuah gua. Sungguh menyesakkan.

Image

Image

Image

Aliran sungai Cibarani yang berasal dari sungai Cikapundung

Kondisi tanah yang seperti lembah ini membuat jalan di pemukiman ini memiliki tanjakan dan turunan yang curam. Di bawah pemukiman, bersisian dengan sungai Cikapundung, tanah dibenteng dengan semen dan bebatuan. Di sela batu diberikan pipa-pipa untuk mengalirkan air tanah ke sungai. Jika tidak ada pipa, tentu saja pemukiman Cihampelas ini tinggal menunggu ajal longsor karena tentunya benteng tidak dapat menahan desakkan air tanah.

Image

Benteng yang menyangga

Saya memiliki kecurigaan tentang rumah-rumah yang bertingkat. Alih-alih pindah, sepertinya mereka memilih membuat tingkatan baru untuk diisi dengan keluarga baru. Jadi, mungkin satu rumah bisa diisi beberapa keluarga.

Keluar dari pemukiman padat, kami menemukan sebuah rusun atau apartment yang menjulang di atas tanah tempat Pemandian Tjihampelas yang dibangun tahun 1902 sebagai kolam renang nomer satu di Hindia-Belanda. Sayangnya tempat yang bersejarah dan membanggakan ini harus dihancurkan untuk sesuatu yang tidak meninggalkan apa-apa selain penyedotan air tanah besar-besaran. Sementara itu, di belakang apartment, terdapat beberapa warga yang sedang mencuci. Menurut Bang Ridwan, dulu warga sering mencuci dengan air bekas Pemandian Tjihampelas.

Rupanya, di sisi selatan eks Pemandian Tjihampelas terdapat sebuah jalan kecil yang dulunya merupakan Jl. Cihampelas yang sebenarnya karena banyaknya pohon hampelas yang daunnya bertekstur kasar dan tepinya bergerigi.

Image

Setelah dari sana, kami meneruskan berjalan ke Merdeka Lio yang terletak di antara Jl. Wastukencana dan Jl. Pajajaran. Dulunya ini merupakan perkampungan kuli bangunan yang membuat genteng atau keramik (lio) untuk mengganti atap rumbia. Mereka dibebaskan (atau dimerdekakan) dari pajak. Menurut Reza, koordinator Aleut, “merdeka” juga berasal dari “mardijker” (kaum tentara pribumi bayaran atau Belanda hitam) diambil dari bahasa Sanskerta “mahardika” yang disingkat menjadi “mardika” atau “merdeka”, jadi tidak ada hubungannya dengan kemerdekaan.

Setelah melalui berbagai pemukiman, perjalanan terhenti di Cicendo karena saat itu saya harus pulang duluan namun teman-teman lainnya tetap melanjutkan perjalanan. Sementara teman-teman Aleut! berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat, mobil travel membawa saya 147 kilometer menuju barat laut. Jakarta: dengan polemik sungai dan pemukiman yang tak kalah rumit.

Original Post

Cigadung

Oleh: Arifin Surya Dwipa Irsyam

Ada yang rumahnya di Cigadung? coba angkat tangannya tinggi-tinggi.. Seperti yang sudah diketahui bahwa secara toponimi, Cigadung berasal dari kata Ci dan Gadung. Pasti sudah tidak asing lagi mendengar kata “gadung”.

Ya… gadung merupakan jenis tumbuhan merambat yang bagian umbinya dikonsumsi menjadi keripik. Gadung (Dioscorea hispida Dennst.) dalam taksonomi tumbuhan adalah anggota dari famili Dioscoreaceae. Famili ini terdiri dari 600 jenis gadung, dan Dioscorea hispida Dennst. salah satunya. Untuk membedakannya, apa sih ciri jenis ini?

Dioscorea hispida Dennst. adalah tumbuhan merambat dengan panjang hingga 10 m. Berakar serabut dan memiliki batang membelit yang berwarna hijau. Daunnya majemuk, memiliki anak daun berjumlah tiga helai yang tipis. Jenis ini banyak dijumpai pada hutan sekunder di seluruh kawasan Asia Tenggara.

Tapi berdasarkan karakter fitokimianya, gadung perlu diperhatikan. Gadung mengandung senyawa beracun dioscorin dari golongan piperidine alkaloid. Senyawa dioscorin masuk ke dalam kategori highly toxic, dan dapat menyebabkan kerusakan hati serta gangguan saluran pencernaan manusia bila pengolahannya tidak tepat.

Senyawa beracun ini banyak terkandung dalam bagian umbinya. Sehingga sebelum dikonsumsi, senyawa dioscorin harus dibuang terlebih dahulu. Bagaimana caranya? Dalam praktek tradisional, bagian umbi harus dicuci pada air mengalir selama kurang lebih 7 hari untuk detoksifikasi kandungan dioscorin. Setelah bersih dari sneyawa racun, umbi dapat diolah menjadi makanan ringan. Bagian umbi kaya akan kandungan polisakardia atau karbohidrat, tersusun atas manosa, arabinosa, glukosa, galaktosa, xylosa, dan rhamnosa.

Selain kandungan dioscorin, gadung juga mengandung senyawa dioscin, dari golongan streoidal saponin. Senyawa ini dimanfaatkan sebagai hormon steroid semi-sintesis dan kontrasepsi oral. Namun pemanfaatan ini harus dibawah pengawasan tenaga medis. Selain bermanfaat sebagai sumber hormon steroid semi-sintesis, gadung juga memiliki beberapa aktivitas penting lainnya, seperti antitumor, antiradang, penahan rasa sakit (analgesik) antioksidan, dan sebagai obat cacing (anthelmintic).

Ternyata meskipun tergolong sebagai tumbuhan beracun, gadung juga memiliki manfaat di bidang kesehatan. Sayangnya.. saat ini gadung sudah jarang ditemui di Cigadung. Kalah bersaing dengan “tumbuhan” beton dan besi hasil karya manusia. yah..semoga saja gadung tidak sekedar menjadi cerita saja di Kota Bandung. Kita yang sudah tahu akan peran gadung bagi manusia diharapkan dapat melestarikannya.

Image

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑