Month: January 2013

Bunga Matahari dan Kerabatnya

Oleh: Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisonipin)

Di kesempatan kali ini saya mau bercerita tentang bunga matahari dan kerabatnya. Apa sih yang menarik dari bunga matahari? Mari kita ulas…

Sebelumnya, tahukah Aleutian bahwa bunga matahari dan kerabatnya seperti bunga dahlia, bunga krisan, dan bunga aster, sebenarnya terdiri dari ratusan bunga yang berukuran sangat kecil? Untuk lebih jelasnya coba amati foto dibawah ini.

Bunga matahari merupakan satu karangan bunga majemuk yang tersusun dari bunga pita dan bunga tabung dalam jumlah banyak, namun terlihat seperti satu bunga tunggal. Karangan bunga ini disebut dengan istilah Pseudoanthium (bunga semu).

Bagian yang dari luar terlihat seperti kelopak bunga sebenarnya adalah kumpulan daun pembalut (involucrum) yang berfungsi untuk melindungi karangan bunga pada saat masih kuncup.

Kemudian yang manakah bunganya? Bunga matahari dan kerabatnya terdiri atas dua macam jenis bunga, bunga pita dan bunga tabung. Bunga pita terletak disekeliling pinggiran dan bersifat mandul, sedangkan bunga tabung terletak dibagian pusat atau tengah dan bersifat fertil. Jumlah bunga tabung dalam satu karangan bunga dapat mencapai hingga ratusan buah.

Dimanakah bagian kelopaknya? Ada yang pernah mencoba meniup dandelion? Nah, bagian rambut (menyerupai parasut) itulah bagian kelopak bunganya. Kelopak bunga pada keluarga bunga matahari disebut pappus. Kelopak ini berukuran sangat kecil, biasanya berbentuk rambut (seperti pada dandelion), berbentuk duri (seperti pada dom-doman), berbentuk selaput (seperti pada bunga matahari), maupun berbentuk kelenjar yang sangat lengket (pada legetan werak). Adanya bagian pappus sangat berperan penting dalam proses pemencaran buah. Buah dengan pappus yang berbentuk rambut akan terpencar dengan bantuan angin, buah dengan pappus duri dan kelenjar lengket akan terpencar melalui hewan karena menempel pada badannya.

Lalu, ada yang hobi makan kuaci bunga matahari? Yang biasa pada bungkusnya tertulis “kuaci biji matahari”.
Sebenarnya istilah penyebutan “biji” bunga matahari kurang tepat. Kenapa? Sebab yang kita sebut “biji” sebenarnya adalah buah dari bunga matahari. Tipe buah pada keluarga bunga matahari adalah tipe buah Achene, suatu tipe buah kering yang tidak memiliki daging buah, sehingga terlihat menyerupai sebuah biji.

Bagaimana dengan bagian dari kuaci yang kita makan? Nah.. itu baru bijinya. Jadi penyebutan satu kuaci utuh dengan kulitnya tidak tepat bila disebut dengan “biji”.

Bagaimana? Apakah bisa dipahami? Bunga matahari dan kerabatnya merupakan satu contoh dari uniknya dunia tumbuhan. Semoga catatan kecil ini dapat bermanfaat bagi Aleutian. Kalau begitu sampai berjumpa di lain kesempatan!

Permainan Mafia Ala Raden Naranata

Oleh: Arya Vidya Utama

Perkembangan mafia mulai dikenal di dunia pada sekitar pertengahan abad ke-19 di Italia dan akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Namun tak banyak yang tahu bahwa pada tahun 1845 di Indonesia sudah ada seorang jaksa yang berperan layaknya sebagai seorang mafia kelas kakap. Ia adalah Raden Naranata.

Raden Naranata adalah seorang jaksa Kabupaten Bandung yang bertugas di awal kepindahan ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Alun-alun Bandung saat ini. Pada masa itu, peran jaksa adalah peran sentral selain bupati dan asisten residen (setara dengan gubernur).

Sayang, hubungan Naranata dengan kedua peran sentral lainnya itu tidak berjalan dengan baik. Asisten residen saat itu, Nagel, pernah bersitegang dengannya. Naranata juga menaruh dendam kepada R.A.A. Wiranatakoesemah karena Wiranatakoesemah menolak lamaran Naranata untuk mempersunting putrinya.

Rasa dendam dan benci yang sudah lama terpendam di dalam hati Naranata ini akhirnya ia tuangkan dalam sebuah rencana besar: Pembunuhan Asisten Residen C.W.A. Nagel. Ia tak bergerak sendiri, tercatat ada 6 orang yang hampir di setiap malam pada bulan Desember 1845 selalu berkumpul di kediaman Naranata untuk mempermulus rencana pembunuhan besar ini. Salah satu dari 6 orang tersebut adalah Moenada, seorang pedagang keturunan Tionghoa yang memeluk agama Islam. (Jika kawan pernah membaca tulisan saya mengenai pasar baru sebelumnya, walaupun mirip namun pasti alur ceritanya akan berbeda karena tulisan ini lebih berdasarkan data faktual)

Pertemuan ini akhirnya berakhir pada tanggal 25 Desember 1845. Pada hari itu, rancangan mengenai rencana pembunuhan telah tersusun dengan rapi. Moenada akan bertindak sebagai eskekutor pembunuhan, ditemani oleh Raden Wirakoesoemah, dan akan langsung bergerak menuju kediaman Nagel. Penunjukan Moenada sebagai eskekutor juga bukannya tanpa alasan, karena Moenada pernah disiksa oleh Nagel dan tentu ia menaruh dendam atas perlakuan Nagel. Sedangkan sisanya ditunjuk untuk membuat keonaran dengan membakar Pasar Ciguriang yang berada tidak jauh dari kediaman Bupati Bandung dan kediaman Nagel. Raden Naranata sendiri tetap tinggal di kediamannya.

Pada tanggal 26 Desember 1845, sekitar pukul 2-3 dini hari pasar akhirnya sukses dibakar. Mendengar kabar kebakaran tersebut, Nagel yang sedang berdiam di rumahnya segera bergerak menuju pasar untuk meninjau keadaan. Di tengah perjalanan menuju kediaman Nagel, Moenada dan Wirakoesoemah melihat pergerakan sang Asisten Residen yang meninggalkan kediamannya. Tak pelak kemudian kedua orang ini segera mengikuti Nagel menuju pasar yang sedang terbakar hebat.

Pada saat Nagel sedang berada di tengah lokasi kebakaran, Moenada memanfaatkan momen ini untuk segera membunuh Nagel dengan keris yang ia pegang dan Nagel akhirnya tewas di tangannya. Saat akan melarikan diri, beberapa lurah pasar rupanya melihat perbuatan Moenada dan segera menghadangnya. Ditengah usaha Moenada melarikan diri, sebuah tusukan mendarat di tubuh Moenada. Beruntung ia masih bisa melarikan diri dalam keadaan yang parah akibat tusukan tersebut.

Pada sekitar pukul 5 di pagi harinya Wirakoesoemah yang terus menerus mengikuti pergerakan Moenada akhirnya membopongnya menuju ke kediaman Naranata. Setibanya di sana, Moenada dibawa ke sebuah kamar. Tak lama Naranata mendatangi Wirakoesoemah, dan menerima kabar dari Wirakoesoemah bahwa Nagel telah ditusuk oleh Moenada. Naranata yang pada saat itu belum mengetahui bahwa Nagel telah terbunuh menyayangkan bahwa Nagel tidak langsung mati. Ia juga menyayangkan bahwa Wiranatakoesoemah tidak terbunuh sekaligus.

Masih di hari yang sama, Raden Naranata meminta isterinya untuk menyiapkan makanan dan kopi sebagai suguhan dalam sebuah syukuran untuk merayakan kematian Asisten Residen Nagel. Acara itu dihadiri oleh semua dalang pembunuhan Nagel, kecuali Moenada yang masih terbaring akibat luka parah yang ia terima pada dini hari.

Moenada yang terluka parah akhirnya dijemput untuk dibawa ke rumah Raden Wirakoesoemah. Untuk menghindari kecurigaan, Moenada dibawa dengan cara dimasukkan ke dalam sebuah peti dan dibopong hingga tiba ke rumah Wirakoesoemah.

Sekitar tanggal 27-28 Desember 1845 , keadaan Moenada yang semakin parah akhirnya membuat Raden Naranata mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Moenada sebagai salah satu cara untuk menghilangkan jejak pembunuhan. Di tangan Rana Djibja, salah satu dalang pembunuhan Nagel, Moenada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dengan cara dipenggal kepalanya. Kemudian kepala Moenada ditanam di kebun bambu yang terletak di bagian timur rumah Wirakoesoemah. Sedangkan badannya dibalut dengan tikar dan kemudian ditenggelamkan dan ditindih dengan batu besar. Sayang, banjir hebat yang terjadi pada 1 Januari 1846 menghanyutkan tubuh tanpa kepala Moenada sehingga beberapa orang melihatnya.

Sebagai cara lain untuk menghilangkan jejak atas pembubuhan ini, Raden Naranata menyuruh juru tulisnya, Raden Wiria, untuk mengaku sebagai Moenada dan memerintahkannya untuk keluar-masuk kampung agar masyarakat meyakini bahwa Moenada masih hidup. Selain itu, Naranata juga melakukan tindakan terhadap mereka yang melihat mayat Moenada, yaitu dengan memaksanya untuk mengaku bahwa orang-orang tersebut melihat Moenada masih hidup. Jika orang-orang tersebut bersikukuh untuk tidak mengikuti perintah Naranata, maka orang tersebut akan disiksa. Jika masih tidak mempan juga, maka orang tersebut akan diberikan sejumlah uang.

Referensi:

Hilman, Iman. (1981). Peristiwa Pembunuhan Asisten Residen Nagel Tahun 1845. Jakarta: Seminar Sejarah Nasional Ke III Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/01/22/permainan-mafia-ala-raden-naranata/

Ngaleut Ngabaraga Cikapundung (Bagian Akhir)

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

Setelah singgah sebentar di Masjid Mungsolkanas rombongan Ngaleut Komunitas Aleut kembali menyusuri pemukiman penduduk menuju Pemandian Cihampelas. Namun ternyat saya tidak memperhatikan kata “BEKAS” yang disebutkan sebelum kata “Pemandian”. Karena pembaca, TERNYATA pemandian itu sudah tidak ada dan digantikan dengan pembangunan sebuah apartemen. ARGH kesal rasanya, karena jika mendengar cerita orang-orang yang sempat mengunjungi pemandian atau kolam renang ini, ada sebuah patung Neptunus di pemandian tersebut.  Bahkan kabarnya tahun 1960an kolam renang ini amat terkenal.

 
jalan setapak di samping ex-kolam renang

                                                                                                                                                           Kami sempat berhenti di jalan setapak yang tepat berada di sisi daerah konstruksi bangunan apartemen yang mengambil tempat di bekas tempat Pemandian Cihampelas. Diceritakan bahwa daerah ini disebut Cimaung karena dulu kabarnya di daerah ini banyak Maung atau Harimau. Sedangkan ada juga cerita dari Pak Edi bahwa daerah ini disebut Cimaung karena dulunya daerah ini dipenuhi Bambu dan kabarnya nampang kepala Maung tergantung di bambu. Selain itu diceritakan pula bahwa massive-nya pembangunan di daerah sekitar menyebabkan tertutupnya sejumlah mata air yang dulu ada di sekitar Cihampelas.

Kami kemudian melanjtkan perjalanan. Sepanjang perjalan saya melihat bahwa di sisi kanan saya adalah semacam tanggul benteng yang sering kita temukan yang dibangun permanen untuk mencegah erosi. Namun ternya di sisi kiri saya berjejer rumah-rumah penduduk. Saya memperhatikan rumah-rumah penduduk ini berada di tempat yang illegal sebab seharusnya di bantaran kali dan sungai harus berupa lahan kosong. Akhirnya setelah berjalan cukup lama kami singgah di sebuah lahan kosong di sisi aliran sungai yang lantainya di beton dan sisi pinggirnya dipasangi semacam rang nyamuk. Kami kemudian beristirahat sambil mendengar Om Ridwan bercerita.

Ia bercerita bahwa kini telah dilakukan upaya revitalisasi Sungai Cikapundung. Dibangunnya semacam tebing tanggul di sisi bawah rumah penduduk yang berada tepat dipinggir Sungai Cikapundung. Selain itu dengan mulainya rekreasi air di CIkapundung ikut meningkatkan kepedulian pemerintah untuk menjaga kebersihan Cikapundung dengan mulai merevitalisasinya. Namun sangat disayangkan karena revitalisasi tidak dilakukan dari hulu Cikapundung melainkan hanya disekitar pertengahan sungai Cikapundung, padahal tidak ada gunanya terus menerus menjaga kebersihan di daerah tengah sungai jika sampah, lumpur dan limbah ternak dan manusia terus mengalir dari hulu sungai. Selain itu terlihat juga bahwa tebing bendungan  yang saya sebutkan tadi, kondisinya sebenarnya sudah perlu diwaspadai karena tampaknya air yang terjebak di bawah tanah namun tidak memiliki saluran air kembali ke arah Cikapundung mulai merembet keluar melalui celah-celah tebing tersebut. Hal ini bisa menyebabkan longsor atau bahkan tebing tersebut ambruk.

 
Batu tulis yang diragukan “ketuaannya”

                                                                                                                                                       Setelah istirahat dengan berbelanja berbagai jajanan berakhir, kami pun melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri kembali jalur-jalur rumah penduduk yang padat kami sampai ke sebuah tempat. Awalnya saya bingung, apa yang ingin kami lihat di sana karena saya tidak melihat hal special apa pun. Memang bunyi arus sungai terdengar dan sungai Cikapundung itu sendiri dapat terlihat tapi tetap saja menurut saya tidak ada yang special. Namun ternyata di sana terdapat batu tulis. Menurut masyarakat sekitar batu tulis ini adalah peninggal bersejarah dari zaman dulu. Namun menurut Om Ridwan, berdasarkan upaya perifikasinya melalui tulisan-tulisan yanga ada, batu tulis itu masih tergolong baru. Masih buatan 1900-an karena tulisan bahasa kunonya jelek (ha..ha..alasan yang aneh).

Sangat sebentar kami di batu tulis itu, dan kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di bawah jalan layang. Awalnya saya terpana karena pertamakalinya saya benar-benar berada di bawah jalan layang. Mata saya langsung menangkap pemandangan sejumlah mobil yang terparkir rapi di tanah terbuka di bawah jalan layang. Baru kemudian saya menyadari bahwa saya mendengar bunyi aliran air dan merasakan ada angin yang berhembus. Saat melihat orang berdiri kea rah tepi sungai barulah saya melihat bahwa kali ini kami kembali berada di tepi sungai Cikapundung. Kami kembali beristirahat sejenak sambil menikmati angin yang membuai nyaman.

 
istirahat di bawah jalan layang di tepi Cikapundung

Kemudian diceritakan bahwa dua kali daerah ini pernah digusur, terakhir pada saat pembangunan jalan layang ini. Selain itu daerah ini pernah terendam banjir bah yang besar. Yakni sekitar tahun 1945 sebelum peristiea Bandung Lautan Api.  Hal itu karena pihak Belanda membuka semua pintu air sehingga meluaplah sungai CIkapundung. Hal ini dilakukan untuk mengacaukan gerakan laskar lokal yang berusaha merebut kekuasaan dari tentara sekutu.

 
makam Iboe Idjah

                                                                                                                                                              Setelah itu tanpa sengaja rombongan terpisah menjadi dua karena jaraknya cukup jauh. Saya dan sejumlah rombongan kecil mampir sebentar di makam Iboe Idjah yang berada sendirian di pondasi rumah seseorang. Menurut warga sekitar, kuburan tersebut tidak dapat dipindahkan. Selain itu tidak jauh dari lokasi makam Iboe Idjha ada juga perkuburan keluarga yang terletak di dekat masjid dan perkuburan itu dipagari.

Tidak banyak waktu yang kami habiskan di sana. Kami kembali menyusuri pemukiman penduduk dan cukup terkesima setelah melewati kawasan padat penduduk tidak lama kami menemukan sebuah kost yang menurut kami tergolong elit dari segi tampilannya. Sambil berjalan saya berusaha memperhatikan sekitar karena saya pada dasarnya memiliki kemampuan navigasi yang lemah. Setelah sampai di jalan raya barulah saya sadar bahwa kami telah sampai di wilayah Wastu Kencana. Kami kemudian berkumpul di depan Pasar Bunga Wastu Kencana. Saat itu kembali diceritakan kepada kami bahwa sekitar tahun 40’an daerah menjadi salah satu tempat perkuburan di Bandung. Wilayah UNISBA saat ini dulunya merupakan wilayah perkuburan. Selain itu disebutkan pula bahwa di tengah pertigaan jalan dekat Pasar Bunga Wastu Kencana bediri sebuah patung. Patung Engelbert Van Bavervoorde yang awalnya diletakkan di tengah pertigaan jalan itu, namun karena ada seorang anak yang sempat meninggal karena bersepeda dan menabrak patung tersebut, akhirnya dipindahkanlah patung tersebut ke pinggir jalan.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke daerah Merdeka Liau. Tempat ini dinamai Merdeka Liau karena dulunya di daerah ini dijadikan pusat pembuatan genteng yang dilakukan oleh budak-budak yang di merdekakan oleh Belanda sehingga mereka pun kadang disebut sebagai Belanda kulit hitam. Mereka juga disebut kaum Mardik. Produksi genteng semakin besar ketika Bupati RAA Martanagara membuat kebijakan bahwa atap rumbai harus diganti menjadi atap genteng.

 
ini Plakat di SMPN 40

                                                                                                                                                                    Di daerah ini kami masuk ke wilayah Kawasan SMPN 40 yang termasuk sebagai salah satu cagar budaya. Tahun 1931 bangunan sekolah ini sudah ada. Awalnya sekolah ini bangun sebagia sekolah praktik bagi Kweekschool yakni sekolah keguruan. Sekolah ini sempat menjadi Sekolah Wanita atau SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Beruntung saat kami ke SMP ini adalah Abah Landung yang menjelaskan perihal sejarah sekolah itu. Ia bahkan mengantarkan kami ke bagian yang paling tua di areal sekolah. Yaitu sebuah ruangan yang dulunya berfungsi sebagai ruang arsip.  Akhirnya setelah bercerita sebentar dengan Abah Landung kami kembali melanjutkan perjalanan hingga sampailah kami di jalan Cicendo. Kami ditunjukkan wilayah yang dulunya adalah kompleks pabrik Cina. Hanya sebentar kami di daerah ini. Kami pun segera melangkahkan kaki semakin dekat ke Gedung Indonesia Menggugat. Ada hal yang menarik yakni bahwa sekolah ini memiliki plakat yang isinya menjelaskan tentang jumlah sumbangan yang diterima sekolah ini.

 
Plakat Gedung Indonesia Menggugat

                                                                                                                                                             Inilah finish kami kali ini yakni di Gedung Indonesia Menggugat. Finally setelah cukup lama saya penasaran dengan Gedung Indonesia Menggugat, saya pun bisa menginjakkan kaki ke dalam gedung itu. Gedung ini menjadi saksi ketika Soekarno dan kawan-kawannya di sidangkan dan Soekarno membuat petisi yang berjudul “Indonesia Mengggat” padahal pada tahun itu, tahun 1930, Indonesia sendiri belum ada. Gedung ini sendiri sudah ada sejak 1910, namun baru terkenal pada 1930 yang bersejarah itu.

Akhirnya seperti biasa, sesi ngaleuet Komunitas Aleut hari ini diakhiri dengan sesi sharing. Sharing kali ini hampir semuanya menemukan kesadaran yang sama yakni bahwa kita harus peduli tentang sampah. Sepanjang ngaleut seharian tak henti kami melihat sampah-sampah di sunga Cikapundung dan di daerah pemukiman warga. Hingga akhirnya sebagian besar merasa bahwa kita harus memulai perubahan terkait sampah ini dari diri kita sendiri. Bahkan diusulkan agar Ngaleut nanti bisa sambil mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan yang dilewati di jalan. Selain itu sesi sharing mengingatkan kita untuk melakukan perubahan dengan diri kita sendiri dan jangan berharap dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang lain terlebih dahulu. Karena kitalah yang pertama kali mengetahui dan menyadari fenomena tersebut sehingga kita jugalah yang harus pertama kali mengambil aksi.

Ah, baiklah mulai hari ini saya harus bertanggung jawab pada pengetahuan saya. Yakni dengan melakukan sesuatu, mungkin bisa dimulai dengan selalu menyediakan kantong kresek khusus untuk sampah di tas guna menampung sampah pribadi saat tidak menemukan tempat sampah. Dan bisa sambil sesekali mengumpulkan sampah di jalan yang ditemukan.
Ya, mari berubah dan melakukan perubahan dengan tangan kita sendiri.

Catatan:
foto-foto dalam tulisan ini adalah dokumentasi pribadi dan foto-foto yang saya ambil dari akun twitter @KomunitasAleut dan @edisetiadi6

Aleut Jelajah Kamp Konsentrasi dan Kompleks Kawasan Pegunungan Bandung

Oleh : Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

13 Januari 2013

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer

Kata-kata inilah yang mendorong saya untuk menuliskan kisah perjalanan saya bersama teman-teman dari Komunitas Aleut menjelajahi kawasan kamp konsentrasi dan komplek nama jalan pegunungan.

Kegiatan Aleut kali ini diawali dengan berkumpul di startpoint di Sumur Bandung no 4, sekretariat Aleut. Setelah semua Aleutian berkumpul, perjalanan Ngaleut pun dimulai. Dengan menggunakan angkot (karena titik awalnya lumayan jauh dari startpoint), rombongan Aleut menuju SMIP Shandy Putra di Jalan Palasari no 1.

Bangunan ini diresmikan menjadi sekolah pada 3 Januari 1990 oleh Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi saat itu Soesilo Soedarman. Awalnya sekolah ini dikhususkan untuk pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak pegawai Telkom atau PT Pos dan Giro yang tertarik dalam bidang Industri Pariwisata kemudian terbuka untuk masyarakat umum yang tertarik dibidang tersebut. Dari penjelasan salah satu teman Aleut, Fitria Qodriani, sekolah ini memiliki tiga spesifikasi jurusan yaitu Usaha Perjalanan Wisata, Akomodasi Perhotelan dan Jasa Boga yang dapat dibedakan dari pakaian yang dikenakannya.

Kemungkinan besar banguann SMK Sandhy Putra ini dahulunya merupakan bekas rumah dari kalangan menengah. Memang daerah Karees dan Cikudapateuh merupakan wilayah perumahan untuk kalangan menengah. Sedangkan kawasan dago untuk warga menengah ke atas dan wilayah Jl. Sabang, Jl. Pulolaut, Jl. Cihapit untuk warga menengah ke bawah.

Dari SMK Sandhy Putra, rombongan Aleut bergerak menuju jalan yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Gatot Subroto. Dahulu jalan ini Jl. Papandayan. Di Pertigaan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Malabar terdapat dua rumah identik yang terletak bersebrangan. Satu bercat abu-abu dan satu lagi putih. Kedua rumah ini merupakan hasil karya calon presiden Indonesia pertama di kemudian hari, Ir. Soekarno. Mengikuti kebiasaan biro arsitektur pada zaman itu, pada setiap karya, Soekarno menyertakan sebuah plakat yang biasa terletak pada bagian bawah dari nomor rumah. Namun disayangkan, plakat-plakat tersebut telah raib dicopot. Kedua bangunan ini sekarang ada yang berfungsi sebagai sekretariat FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia)  dan dipakai sebagai kost-kostan untuk mahasiswa dan pegawai.

Perjalanan kami belum berakhir, setelah jajan di Circle-K dan jajan bakso, rombongan menyusuri gang dan menemukan sungai Cikapundung buatan. Sepanjang sungai dapat disaksikan hitamnya air sungai bercampur dengan sampah-sampah yang dibuang secara sembangan diselingi di beberapa gorong-gorong.

Gorong-gorong mengingatkan saya pada salah satu section  film  “Batman, Dark Knight Risses” ketika Gordon mengejar pria Stryver ke dalam selokan. Saya mulai berpikir jangan-jangan ada sesuatu di gorong-gorong kota Bandung. Dan ternyata si gorong-gorong punya cerita yang berhubungan dengan Kamp konsentrasi dan pelarian interniran.

Kamp Konsentrasi, suatu tempat untuk mengumpulkan dan menahan lawan politik, tahanan atau tawanan yang biasanya didirikan pada saat perang atau masa krisis disuatu negara. Tak kecuali Indonesia (khususnya Kota Bandung), pernah memiliki beberapa kamp konsentrasi pada masa perang dunia II. Beberapa wilayah yang pernah dijadikan kamp konsentrasi seperti Cimahi, Bangka, Cihapit, Cikudapateuh, dan Karees.

Kamp konsentrasi Karees dibatasi oleh Jalan Papandayan (Jl. Gatot Subroto), Tangkubanperahu (Jl. Pelajar Pejuang 45), Halimun, Wayang, Burangrang. Kamp ini digunakan muali desember 1942 hingga desember 1944. Menampung kurang lebih 6000 orang wanita/ anak-anak. Sekitar November-Desember 1944 5500 wanita/anak-anak dipindahkan ke Batavia, Bogor, Ambarawa sementara 500 orang lainnya dipindahkan ke Cihapit.

Keadaan kamp interniran laki-laki dan remaja bisa dikatakan cukup memprihatikan karena para tahanan harus bekerja keras dan melelahkan tanpa cukup asupan makanan yang bergizi ataupun bervitamin. Badan mereka menjadi kurus, lemah, dan sering sakit. Izin sakitpun sulit suit diberikan. Dalam sakitnya para makanan  harus tetap bekerja. Bila sudah tidak berdaya atau hampir mati, barulah mereka diobati atau dibawa ke rumah sakit. Namun nasib yang lebih baik berada di dalam kamp interniran wanita dan anak-anak. Para tahanan wanita tidak harus selalu bekerja dan masih dapat berkumpul antar sesama. untuk memperoleh jatah makan lebih, para wanita baru bekerja mengosogkan rumah-rumah diluar kamp yang akan digunakan tentara Jepang atau berusaha mendapat pekerjaan di dapur. Anak-anak masih bisa bermain ke sana-sini di dalam kamp tanpa ada batasan. Persediaan obat-obatanpun masih dapat dibilang cukup memadai dibandingkan dalam kamp konsentrasi laki-laki dan remaja. Terkadang ada beberapa orang dari kamp konsentrasi laki-laki dan remaja mencoba peruntungan untuk mendapatkan obat-obat ataupun tambahan makanan dari kamp wanita dan anak-anak. Salah satu dengan melalui riol/ gorong-gorong saluran air.

Seperti sepenggal kisah yang ditulis oleh Pans Schomper melewati sebagaian remajanya dalam Kamp. Konsentrasi yang tertuang dalam autobiografinya “Selamat tinggal Hindia, janjinya pedagang telur ” mungkin dapat menjadi gambaran keadaan.

“… Bersama-sama dengan seregu dari L.O.G. kami mendapatkan bahwa di belakang barak kami terletak riol dan hal itu membuka berbagai peluang. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata riol itu bermuara disebelah luar pagar, di selokan yang dalam dan terbuka melalui padang rumput. Dengan membungkuk kami dapat berjalan melalui riol dan dengan demikian keluar dari kamp. Rupanya keadaan ini tidak tercantum dalam pola komplek kamp sehingga penguasa-penguasa  Jepang tidak mengetahuinya. Disamping itu kami menemukan bahwa, bila kami melintasi padang rumput kami dapat turun ke dalam riol berikutnya. Bila riol itu dilalui, akhirnya keluar di kamp perempuan Karaes…… Kami memutuskan untuk mengunjungi kamp perempuan dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencoba memperoleh makanan dan obat-obatan dari Palang Merah, seperti tablet SG, diturunkan dari dari Dagenan, cikal bakal antiobitika.”

Puas bercerita tentang si gorong-gorong, kamp konsentrasi dan para interniran, para Aleutian melanjutkan perjalanan melewati komplek perumahan PJKA hingga kami menemukan SD Negeri 1,2,3,4,5,6 Centeh di jalan Centeh 5. Komplek SD ini merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang masih bertahan dikota Bandung. Anehnya, bangunan ini luput dari perhatian dua penulis buku tentang Bandung , Haryanto Kunto dan Sudarsono Katam. Minimnya informasi tentang sekolah ini menyebabkan minim pula cerita yang dapat diceritakan. Hanya dua plakat yang pada salah satu pintu gerbang yang meninggalkan jejak kisah masa lalu bangunan ini.

Arthur Chatelin, Kepala Departemen IEV Bandung bersama koleganya (O. Tissing dan Th. B. Th. Van de Laar) menggagas pembangunan kompleks “Kweekschool met Leerschool” pada  11 Mei 1922. Batu pertama bangunan ini diletakkan oleh anak perempuan France Jeanne Aloysa setahun setelahnya, 19 Mei 1923. Komplek bangunan ini dirancang oleh J. C. A.  Reuneker dan dibantu oleh Beck dan Van De Laar sebagai ahli konstruksinya. Selesai dikerjakan pada 1 Agustus 1923.

Tak Jauh dari SD Centeh terdapat Stasiun Cikudapateuh. Nama wilayah ini cukup unik dan membekas dalam pikiran saya karena saya sering salah dalam menyebutkan wilayah ini. Komunikasi dilakukan melalui perjalanan darat menggunakan kereta kuda. Si kuda-kuda tersebut akan diistirahatkan pada istal kuda (disebut “Banceuy” dalam bahasa Sunda) setelah menempuh jarak mil. Selain di wilayah Banceuy, Bandung memiliki beberapa lokasi istal kuda lainnya seperti di belakang Hotel Grand Preanger dan Cikudapateuh. Cikudapateuh merupakan istal kuda khusus menampung kuda-kuda catat (“pateuh” dalam bahasa Sunda artinya catat yang biasanya diakibatkan patah tulang). Banceuy-banceuy itu biasanya dikelola oleh warga Tionghoa. Di sekitaran Banceuy terdapat pesanggrahan untuk pengendara. Setelah beristirahat, pengendara tidak akan menggunakan kuda yang sama, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan antara kuda cacat dan kuda sehat. Daerah Cikudapateuh pernah juga dijadikan kamp konsentrasi yang menampung tahanan laki-laki dan remaja.

Berjalan menyusuri sebagian kecil Kota Bandung, menuliskan banyak cerita jika kita mau mengenal dan mencintainya. ***

Catatan:

Riol : saluran pembuangan air (di tepi jalan dsb)

L.O.G. : ‘sLands Opvoeding Gesticht – Lembaga Pendidikan Negara

Referensi:

– Voskuil, Robert P.G.A. 1996. Bandung Citra Sebuah Kota.

– Pans Schomper. 1996. Selamat Tinggal Hindia, Janjinya Pedagang Telur. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

–  Buku Sudarsono Katam tapi lupa judulnya

NB : Fotonya nyusul

Ngaleut Ngabaraga Cikapundung (Bagian Awal)

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)
Ah, sejak malam sebelumnya saya sudah tidak sabar menantikan sesi Aleut kali ini. Saya yang biasanya ngalong hingga dini hari, segera beristirahat setelah pulang dari kegiatan Klub Buku Bandung. Namun tetap saja pagi itu saya terlambat sampai di Jl.Sumur Bandung no.4 tapi syukurlah saya belum ditinggalkan rombongan . Sepuluh menit setelah saya tiba di Sekret Komunitas Aleut sesi perkenalan di mulai. Kali ini ada wajah-wajah baru lagi. Ini salah satu hal yang menyenangkan dari mengikuti Ngaleut karena kita jadi mengenal lebih banyak orang. Terutama bagi saya yang pendatang di Kota Bandung ini.
Nah judul ngaleut Komunitas Aleut kali ini adalah Ngabaraga Cikapundung. Nah untuk menjawab beberapa pertanyaan teman saya di BBM saat mengupdate “Mari Ngaleut” di Privat Massage di BB maka izinkan saya kembali menginfokan bahwa dari hasil searching saya “Ngaleut” itu berasal dari bahasa Sunda yang artinya “berjalan beriringan”. Sedangkan judul ngaleut hari ini yakni “Ngabaraga” adalah bahasa Sunda yang berarti “berjalan menyusuri sungai”. Nah itu berarti hari ini kita akan menyusuri Sungai Cikapundung.
Berbeda dengan Ngaleut pekan lalu, kita tidak menyewa angkot untuk menuju tujuan pertama. Kita langsung melangkahkan kaki menuju Hutan Kota yang letaknya tidak jauh dari Sekret Aleut. Hutan Kota, bernama Hutan Babakan Siliwangi, ini bertetangga langsung dengan Sabuga-nya ITB. Begitu masuk ke dalam Hutan Kota saya mendadak merasa ada di Bali. Kenapa? Karena mata saya langsung tertumbuk pada dua buah patung yang terdapat di sana. Salah satunya adalah patung Ganesha. Selain itu ada sebuah payung yang bermotif kotak-kotak hitam putih yang langsung saya korelasikan dengan kain khas Bali dengan motif yang sama. Saya kemudian cukup terkejut saat menemukan bahwa di Hutan Kota tersebut ada Galeri dan Sanggar Seni. Saya berfikir “Wah saya tidak akan tahu bahwa ditempat ini ada galeri dan sanggar jika tidak ikut Ngaleut. Kan butuh keberanian untuk menyusuri tempat yang asing sendirian,”. Inilah yang membuat saya semangat mengikuti Ngaleut kedua saya ini, sebab saya pasti akan mendatangi tempat yang tidak akan pernah terpikir oleh saya untuk di datangi.
Dua patung yang mengingatkan saya pada Bali
Nah perihal kedua patung dan segala peralatan yang terlihat sebagai tempat pemujaan di Bali, Om Ridwan kemudian menginfokan bahwa itu adalah hal yang baru di Hutan Kota ini. Dan sejujurnya dia sendiri bingung kenapa ada tempat itu. Karena latar belakang sejarah dan budaya di Bandung tidak ada korelasinya dengan patung dan segala detail lainnya. Nah, setelah itu Om Ridwan mulai menjelaskan bahwa wilayah ini bernama Babakan Siliwangi dan Hutan Kota ini adalah satu-satunya Hutan Kota yang tersisa di Bandung. Sampai tahun 1990-an daerah sekita Hutan Kota ini masih berupa persawahan. Dan dulunya daerah ini disebut Lebak Gede (“lebak” adalah bahasa Sunda untuk kata “lembah”) karena dulu nampak jelas bahwa wilayah ini adalah sebuah lembah yang membentang hingga wilayah UNPAD di Dipati Ukur. Ia kemudian menambahkan bahwa pada tahun 1980an di tempat ini kita masih bisa melihat pemandangan tebing.
Dulunya wilayah sekitar Hutan Kota adalah milik ITB namun secara bertahap oleh pihak ITB dibagi dengan membangun Kebun Binatang, Kantor Batan (Badan Tenaga Nuklir), Sabuga (Sasana Budaya Ganesha), dan sisanya diserahkan ke pemerintah daerah dan pemerintah kota. Sekedar informasi Kebun Binatang Bandung sudah ada sejak tahun 1930an. Dan ada GOSIP bahwa Kebun Binatang akan dipindahkan ke Jatinangor. Selain itu nama Jalan Taman Sari adalah Hoffman weg dan membentang dari jalan Siliwangi hingga ke Baltos (Balubur Town Square).

Setelah penjelasan itu kami kembali melanjutkan Ngaleut ke arah gerbang Sabuga yang menghadap jalan Siliwangi. Selama di perjalanan saya melihat sejumlah spanduk yang berisi “teriakan” tentang dukungan pelestarian Hutan Babakan Siliwangi karena kabarnya ada rencana pemerintah kota berniat membangun kondominium  di wilayah Hutan Babakan Siliwangi. Setelah melewati gerbang Sabuga,  kami berhenti sebentar di sana untuk mendengarkan penjelasan. Saya tidak sempat mencatat penjelasan Om Ridwan selain bahwa dulu ITB sempat membuat usaha air kemasan. (maafkan kelalaian saya pembaca (T_T))

 
Wajah lain Sabuga yang baru pertama kali saya lihat

Kami kemudian mulai menyusuri aliran sungai Cikapundung. Namun terlebih dulu kami turun ke pintu air yang berada di dekat Sabuga. Saya sempat melihat Sabuga melalui sudut pandang lain dan bahkan dengan bodohnya saya bertanya itu apa dan dijawab “Sabuga” oleh peserta Aleut yang saya tanyai. (Ok, ini pengalaman baru lagi bagi saya). Begitu sampai di pintu air, mata saya terpaku pada tumpukan sampah yang berada di sekitar pintu air. Oiya, selama perjalan dari Hutan Babakan Siliwangi menuju Sabuga saya beberapa kali menemukan tumpukan sampah yang merusak pemandangan. Saya bahkan berkata “Di sini banyak nyamuk ya? Atau ini hanya perasaan saya?” lalu dijawab, “Memang banyak nyamuk”. Heh?! Ini hal yang aneh bukankah air yang mengalir tidak akan bisa didiami jentik nyamuk? Saya rasa sampah-sampah itulah penyebabnya.

Tak lama kemudian saya mendengar Om Ridwan memberika penjelasan.  Katanya pintu air ini di bangun oleh Bupati RAA Martanagara dimasa pemerintahannya (mungkin sekitar tahun 1900 kepastiannya belum berhasil saya temukan). Ia memutuskan hal ini karena pada masa ia berusaha meningkatkan penanaman singkong yang saat itu laku dipasaran. Untuk itu ia harus membangun irigasi-irigasi yang mendukung rencana tersebut karena saat itu Bandung hanya dilewati oleh sungai kecil (kali) sehingga dibuatlah pint air untuk membelokkan aliran sungai Cikapundung. Dengan pembolakan aliran sungai Cikapundung maka dibuatlah sungain buatan. Salah satu sungai buatan tersebut adalah sungai Cikapayang. Di wilayah Bandung Utara dibuat taman-taman yang aliran airnya berasal dari Sungai Cikapayang. Tapi keberadaan sampah-sampah di pintu air ini membuat debit air ke sungai Cikapayang terhambat.
 
kondisi pendangkalan di sekitar alur pertemuan sungai

Sekedar info, Sungai Cikapundung terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkuban Perahu yang terjadi 125.000 tahun yang lalu dan 48.000 tahun yang lalu. Panjang Sungai Cikapundung adalah 28 kilometer yang melewati 1 kota dan 2 kabupaten. Untuk di kota Bandung sendiri Sungai Cikapundung melewati 9 kecamatan dan 13 kelurahan. Dengan keterangan ini kita sebenarnya bisa meraba sevital apa keberadaan sungai ini. Namun ternyata fakta-fakta ini tidak menggerakkan pemerintah untuk berbuat lebih banyak untuk memperbaiki kondisi Cikapundung saat ini yang sudah berwarna coklat.

Kami terus berjalan sambil saya sesekali mendengarkan penjelasan dari Pak Edi yang cukup mengenal areal pemukiman ini. Ia berkata dulu di daerah yang kami lewati adalah areal persawahan. Ia bercerita bahwa dulu lebar Sungai Cibarani, salah satu anak sungai buatan dari Cikapundung, yang tengah kami lewati dulunya lebih lebar dari sekarang. Dan kalau diperhatikan semakin lama lebarnya semakin menyempit ke arah Cihampelas dan kata beliau berakhir di sana dan entah selanjutnya dialirkan kemana.

Kami kemudian berhenti di Masjid Mungsolkanas yang berdiri pada tahun 1869. Nama Mungsolkanas sepertinya singkatan dari kalimat “Mangga Urang Ngaos Sholawat”. Namun kemungkinan besar sudah tidak ada bagian lama Masjid ini yang tersisa karena sudah beberapa kali diperbaiki dan dipugar. Namun kehadiran Masjid ini di tahun 1869 yang saat itu disekitarnya adalah pemukiman Belanda menjadi terasa menarik. Dan kini kahadiran Masjid ini jadi cukup terpencil karena terletak di tengah-tengah pemukiman yang padat penduduk. Orang-orang yang berjalan-jalan ke Kota Bandung tidak akan bisa mengakses masjid ini dengan mudah karena harus melewati gang-gang yang padat dengan hunian penduduk. Saya sebagai pendatang di kota ini pasti tidak akan bisa melihat masjid ini jika tidak ikut Ngaleut.

Catatan Perjalanan Aleut 13 Januari 2013 – Komplek Pegunungan, bukan Pegunungan!

Oleh : Putri Destyanti (@SockoJinki)

Minggu, 13 Januari 2013. Seperti biasa merupakan jadwal  komunitas aleut untuk ngaleut bersama. Ini kali ketiga saya ngaleut, dan tema ngaleut kali ini adalah mengenai kamp konsentrasi dan komplek pegunungan. Sedikit terkecoh dengan tema yang ada, saya kira komplek pegunungan itu adalah benar-benar pegunungan dimana para aleutians akan diajak menjelajahi pegunungan alias hiking, karena ternyata komplek pegunungan disini adalah nama jalan yang memakai nama-nama pegunungan seperti Malabar dan juga Gunung Puteri. Simak cerita lengkap ngaleut kali ini. 😀

Para peserta perjalanan aleut yang telah mengkonfirmasi kehadiran, pertama-tama berkumpul di jalan Sumur Bandung no 4. Ya, tepatnya di sekretariat Aleut sendiri. Disana saya dan teman-teman yang sudah datang tampak menunggui para peserta aleut lainnya yang belum juga tampak batang hidungnya. Setelah akhirnya terkumpul semua, seperti biasa diadakan perkenalan terlebih dahulu. Kami saling menyebutkan nama serta asal sekolah/kuliah masing-masing di halaman rumah Aleut. Sambil menunggu giliran untuk perkenalan, salah satu pengurus Aleut berputar untuk meminta biaya transportasi. Untuk perjalanan aleut kali ini memang terdapat pungutan biaya untuk biaya transportasi tadi, karena start awal perjalanan memang cukup jauh jaraknya dari Sumur Bandung. Begitulah, setelah semuanya beres, perkenalan beres dan acara pungut-memungut uang beres, akhirnya peserta ngaleut pun mulai berangkat dengan menaiki tiga mobil angkutan umum. Saya bersama dua teman perempuan saya serta beberapa teman laki-laki menaiki mobil yang terakhir. Sepanjang perjalanan, saya dan peserta aleut di dalam mobil saling bersenda gurau dan mengobrol supaya lebih dapat mengakrabkan diri.

Kira-kira 20 menit kemudian, akhirnya para peserta tiba di tempat start awal. Start awal ini di komplek pegunungan tadi yang sempat saya singgung di atas. Komplek pegunungan dimana nama-nama jalannya memakai nama-nama gunung seperti Malabar dan Gunung Puteri. Dengan demikian saya berhasil terkecoh karena secara persiapan baik itu pakaian dan sepatu, sudah seperti akan mendaki gunung (mekipun tentu saja tidak membawa carrier hingga 80 L, hahaha xD).

Oh ya, cuaca saat itu sebenarnya tidak terlalu nyaman dalam melakukan perjalanan dikarenakan hujan yang gerimis serta padat. Bandung diguyur hujan sepanjang pagi. Membuat para peserta Aleut siap sedia dengan payung serta jas hujannya masing-masing.

Well, setelah tiba di Komplek Pegunungan tersebut, para peserta berkumpul di depan sebuahtempat yang tadinya adalah pabrik roti. Pabrik roti tersebut adalah pabrik yang men-supply roti-roti ke rumah-rumah di komplek pegunungan tersebut. Saya kebetulan lupa nama pabrik roti-nya :p (kalau ada yang tahu, boleh dong infonya ^^). Yang jelas pabrik roti tersebut kini sudah tidak ada. Sayang sekali saya pikir, padahal saya yang penggemar western food seperti roti, ingin sekali mencicipi roti-roti tersebut.

Dari depan pabrik roti, ngaleut dilanjutkan ke SMK Pariwisata Sandhy Putra. Kebetulan salah satu anggota di komunitas Aleut ada yang bersekolah di sana, sehingga mudah untuk mendapatkan izin kepada Kepala Sekolah untuk berkunjung ke sekolah pariwisata tersebut. Menurut sejarah sekolah ini, sekolah ini tadinya merupakan bangunan Belanda yang dijadikan Rumah Sakit dadakan. Dari segi arsitektur, bangunan sekolah ini tadinya bergaya gothic seperti bangunan-bangunan yang dibangun pada abad ke 18. Baru setelah itu bangunan-bangunan di sekolah tersebut di pugar menjadi bergaya Art Deco. Oh ya, kabarnya, gentengnya itu murni di ambil dari Batavia dan tak pernah diganti sampai sekarang (kecuali untuk bangunan-bangunan baru). Genteng-genteng ini dibuat oleh Pengusaha China yang tinggal di Batavia. Karena itulah, bangunan SMK Pariwisata Sandhy Putra ini masuk menjadi Cagar Budaya Kota Bandung, dimana bangunannya tak bisa diruntuhkan atau dihancurkan begitu saja, karena merupakan warisan budaya.

Di sekolah ini, para peserta diperkenankan untuk melihat-lihat bangunan bagian luar dan beruntung, bagian dalamnya juga. Melihat bagian dalam bangunan sekolah ini, banyak peserta Aleut yang berkata kalau bangunan ini tidak cocok dijadikan sebagai rumah sakit ataupun sekolah. Hal ini dikarenakan interior yang terasa sempit dan sumpek antara ruangan satu dan ruangan yang lainnya. Meskipun demikian, kebanyakan furniture serta perabotan lainnya masih kental dengan gaya zaman kolonial Belanda yang salah satunya bisa dilihat dari pintu serta jendelanya. Para peserta juga di perbolehkan untuk memasuki salah satu ruang kelas, dan kelasnya pun memang benar-benar bergaya zaman dulu di masa kolonial. Sangat antik meskipun terkesan suram. Setelah keluar dari kelas, para peserta berjalan-jalan dulu sebentar untuk melihat-lihat sekitaran bangunan sekolah ini. Setelah selesai, aleutians pun kembali keluar dari bangunan sekolah ini dan berfoto di depan pintu bangunan di area lapangan basket.

Usai ngaleut ke SMK Pariwisata Sandhy Putra, perjalanan pun dilanjutkan. Aleutians kemudian berjalan ke area sekitar depan hotel Papandayan. Disana, Aleutians berkumpul di depan sebuah rumah untuk mendengarkan penjelasan salah satu pengurus Aleut yang mengatakan bahwa rumah tersebut merupakan rumah hasil karya Soekarno. Sebetulnya setiap rumah hasil karya Soekarno itu pasti di terdapat plakat di depannya yang mengatakan bahwa rumah tersebut adalah hasil karya miliknya. Namun ironisnya, plakat-plakat tersebut dicopot begitu saja. Lebih miris lagi, rumah-rumah tersebut malah dijadikan kos-kosan…

Perjalanan pun dilanjutkan. Masih sekitar depan Hotel Papandayan, di sekitar situ terdapat rumah gaya kolonial yang didepannya terdapat tulisan “Marie”. Kabarnya, dahulu orang-orang Belanda yang mempunyai anak pertama dan anaknya tersebut perempuan, otomatis akan mengukir depan rumah mereka dengan nama si anak perempuannya tersebut (it’s so unique >< coba yah di Bandung kaya gitu.. tapi pasti jadi lucu xD). Jadi dapat dikatakan bahwa rumah yang para Aleutians lewati tersebut merupakan rumah seorang Belanda yang mempunyai anak pertama perempuan bernama Marie.

Usai melewati rumah unik tersebut, Aleutians pun kembali berjalan. Kali ini tujuannya adalah kamp konsentrasi Karees sebelum nantinya akan dilanjutkan menuju Cikudapateuh. Untuk mencapai tujuan, Aleutians melewati gang-gang rumah penduduk yang cukup sempit. Cukup lama saya dan teman-teman melewati gang-gang yang entah berada dimana ujungnya tersebut, hingga akhirnya kami sampai di suatu sungai buatan. Sungai tersebut terlihat sangat menyedihkan dengan sampah dimana-mana dan air sungai yang sangat kotor. Di sungai tersebut terdapat gorong-gorong berbentuk bulat. Diceritakan bahwa pada zaman pendudukan Jepang, para tahanan kamp konsentrasi yang berusaha kabur melewati gorong-gorong semacam itu. Disini juga pengurus Aleut bercerita mengenai kamp konsentrasi Karees yang sudah benar-benar habis. Dahulu, kamp konsentrasi adalah suatu tempat atau lebih ke perumahan para tawanan Jepang yang dikelilingi oleh pagar. Nah, siapapun tawanan yang hendak kabur serta melewati pagar pembatas tersebut, otomatis akan ditembak di tempat, tanpa ampun.

Ada cerita juga soal seseorang bernama Schomper. Schomper ini adalah pemilik Hotel Schomper baik Hotel Schomper 1 yang berada di Batavia serta Hotel Schomper 2 di Bandung yang sisa-sisanya masih bisa dilihat di Hotel New Naripan. Schomper ditawan di Cikudapateh. Sebelum kembali ke negaranya, Schomper menulis buku yang berjudul “Selamat Tinggal Hindia Belanda”.

Di daerah Cikudapateuh (yang berarti Kuda-Pateuh atau Kuda Pincang), para peserta ngaleut lanjut menuju suatu Sekolah Dasar yang bernama SD Centeh. Bangunan SD ini sudah berdiri sejak tahun 1923 dan dulunya dijadikan sekolah semacam Lab School, atau nama lainnya adalah ‘Sekolah Raja’. Tak jauh dari lapangan, terdapat bangunan yang kini dijadikan sebagai kantin. Bangunan yang berdiri hampir 90 tahun ini masih terlihat kokoh saja dan tidak pernah ambruk meskipun ada bencana alam seperti gempa. Mungkin para arsitek zaman sekarang bisa memetik  pelajaran seperti melakukan penelitian terhadap bangunan-bangunan tersebut supaya dapat membangun bangunan baru di Kota Bandung dengan sama kokohnya.

Dari Cikudapateuh, aleutians menuju kosambi, mencoba untuk menyebrang dengan memakai jembatan penyebrangan yang ada disana. Katanya sih, itu jembatan sudah tidak begitu kuat. Makanya para aleutians tidak sekaligus menyebrangi jembatan tersebut, sebaliknya menyebranginya hanya dua sampai tiga orang saja. Di bawah jembatan ini terdapat sisa-sisa bangunan ‘Toko Bandung’ yang berdiri sejak zaman dahulu kala (kapan waktu berdirinya tidak sempat dijelaskan). Tak jauh dari jembatan, terdapat sebuah toko roti bernama ‘Cari Rasa’. Bukan promosi atau apapun, tapi toko roti disini memang benar-benar enak, baik roti kukus maupun roti bakarnya. Dan semua bahan roti hingga bumbu-bumbunya seperti mentega dan selai, merupakan buatan sendiri. Saya dan kedua teman saya sempat membeli roti ukuran besar untuk dimakan bertiga, dan memang benar enak 😀 (saya berniat untuk kembali kesana lain waktu untuk mencoba rasa lain ^^).

Dari arah kosambi, Aleutians pun terus berjalan hingga melewati lagi-lagi gang perumahan penduduk yang cukup sempit… hingga ujung-ujungnya keluar di rel kereta api di dekat Gudang Utara. Aleutians pun berjalan dan berjalan… hingga akhirnya kami duduk-duduk sebentar di dekat perbatasan rel kereta api. Setelah cukup beristirahat, kami pun mulai berjalan lagi. Kali ini aleutians bermaksud menuju gereja yang berada di sekitar stadion Persib tak jauh dari SD soka.) Gereja tersebut dulunya merupakan gedung pertemuan milik Belanda yang akhirnya dijadikan gereja. Arsitek dari gereja ini adalah Fermont Cuypers, dimana namanya bisa kami temukan di dinding bawah sekitaran majalah dinding di sana. Nama tersebut tertanam di dinding (dijadikan plakat). Hal ini cukup berkesan karena tidak banyak arsitek-aristek zaman sekarang yang namanya dijadikan plakat seperti itu.

Setelah berfoto-foto di sekitar area gereja, aleutians kembali berjalan menuju SD Soka sebagai tempat yang menjadi titik finish – tempat berakhirnya perjalanan Aleut minggu ini. Di sana, para aleutians melakukan kegiatan yang sudah menjadi tradisi yaitu sharing soal kesan dan pesan masing-masing. Sambil duduk membentuk lingkaran, para peserta dipersilakan untuk bicara menyampaikan apa yang ingin mereka ungkapkan. Kira-kira setelah satu jam, kegiatan aleut kali ini pun ditutup, peserta pun kembali menuju Jalan Sumur Bandung dengan menaiki angkutan umum.

END

Image

Image

Image

Image

Image

Spooky-saturday Night with Aleut

Oleh : Putri Destyanti (@SockoJinki)

It’s really something! Saturday Night yang biasanya diisi dengan bengong dikamar, tergantikan oleh perjalanan malam bersama Aleutians!

Saya sangat senang karena pada satu hari sebelumnya tepatnya hari Jumat, saya mendapat sms berupa info perjalanan Aleut selanjutnya. Ternyata perjalanan ngaleut yang biasanya diadakan pada hari minggu pagi, kali ini diganti menjadi hari sabtu malam. Ya, hanya kali ini saja. Kabarnya sih, spesial awal tahun, heheheh.

Yah, intinya saya mendapat info tersebut melalui sms yang di send all kepada para anggota komunitas aleut lainnya. Dalam info tersebut diinformasikan bahwa komunitas aleut akan melakukan penjelajahan kota Bandung di malam hari. Waah saat membaca itu saya semangat 2013 lah langsung, apalagi saat membaca bahwa perjalanan kali itu akan berakhir sekitar pukul 12 malam! Jujur saja saya memang lebih menyukai penulusuran atau penjelajahan pada malam hari, alasannya karena adem alias tidak panas karena tidak adanya sinar matahari. Perjalanan di malam hari juga berkesan lebih ‘hangat’ dan dapat membuat suasana lebih akrab.. hahaha entah darimana saya mempunya kesan pribadi seperti itu >

Mendapat info perjalanan malam seperti itu, tanpa pikir panjang saya pun segera mengirim sms balik ke nomor yang masuk tersebut tanda mengkonfirmasi bahwa saya berkenan untuk menghadiri perjalanan tersebut. Jadilah saya fix ikut. Saya begitu bersemangat hingga saking semangatnya, peralatan yang disarankan untuk dibawa seperti senter dan jas hujan, sudah saya persiapkan satu hari sebelumnya. Saking excited-nya, saya menerka-nerka tentang perjalanan Aleut kali ini. Dengan perjalanan malam, saya menebak-nebak bahwa Aleutians akan menjelajahi sisi lain kota Bandung di malam hari (dalam tanda kutip) dan juga wisata kuliner yang hanya tersedia pada malam hari.

Hari H pun tiba. Hari sabtu, tanggal 5 Januari 2013. Anggota komunitas Aleut yang sudah konfirmasi untuk mengikuti perjalanan kali ini diinformasikan untuk berkumpul terlebih dahulu di sekretariat Komunitas Aleut itu sendiri tepatnya di Jln. Sumur Bandung no. 4 pada pukul 6 sore. Saya yang masih merupakan anggota baru tentu saja tidak mengetahui dimanakah letak pasti sekretariat Aleut tersebut. Karena tidak tahu letaknya, saya memutuskan untuk bertanya pada salah seorang anggota komunitas Aleut. Saya mendapatkan info bahwa Sumur Bandung itu letaknya tak jauh dari ITB, tepatnya di belakang Sabuga. Meskipun demikian, peluang untuk tersasar pasti besar bagaimanapun juga karena saya benar-benar belum tahu yang manakah gerangan rumah yang dijadikan sekretariat sekaligus base camp Aleut tersebut. Karena itulah saya memutuskan untuk pergi dari rumah pada pukul setengah lima sore hari, dengan pemikiran jika saya tersasar, saya masih punya waktu untuk bertanya-tanya pada orang sekitar sehingga saya tetap tepat waktu datang ke sekretariat pada pukul 6.

Jadilah saya berangkat dari rumah berbekal peralatan di dalam tas seperti payung, jas hujan, jaket, dan senter. Ternyata sepanjang perjalanan di transportasi umum, hujan mengguyur kota Bandung dengan lebatnya. Hmm.. tampaknya perjalanan kali ini memang benar-benar membutuhkan jas hujan, meskipun tentu saja inginnya sih tidak usah hujan supaya tidak ribet memakai jas hujan segala. Ketika saya turun dari transportasi umum yang saya naiki pun hujan tetap saja masih saja turun dengan lebat seperti ditumpahkan sekaligus dari sebuah ember besar. Tidak hanya besar, tetapi juga berangin. Payung saya sampai terlipat dan tertekuk sedemikian rupa, membuat saya tetap saja kebasahan pada akhirnya (percuma memakai payung, huh menyebalkan sekali hujan itu -,-). Setelah berjalan beberapa langkah dan menyebrang dari arah Mcdonald Simpang, hujan pun mulai tampak bersahabat meskipun belum juga reda. Sedikit demi sedikit mulai mengecil sehingga memudahkan saya untuk bertanya pada seorang tukang parkir dimanakah Jl. Sumur Bandung.

“Nomor berapa neng?”

“Nomor empat, pak” jawab saya, setengah berteriak.

“Oh nomor empat mah dibawah..”

Dan jadilah saya berjalan menelusuri jalan Sumur Bandung tersebut hingga ke arah bawah yang hampir mendekati ITB. Ternyata saya terlalu jauh berjalan, hahaha.. saya berjalan hingga jalanan yang tampak ada pertigaannya. Saya pun akhirnya kembali lagi ke atas, mencoba memicingkan mata saya yang memang minus, mencari angka 4 pada tembok rumah. Ternyata yang saya temukan adalah rumah besar yang lebih menyerupai kantor, bernomor 5. Saya masih mencari-cari dimanakah rumah nomor 4 tersebut… saya mempunyai feeling bahwa rumah nomor 4 itu tepat berada di hadapan saya, lebih tepatnya di sebrang. Maka itu pada akhirnya saya memutuskan untuk menyebrang saja dan mendekati rumah beratap merah tersebut. Beberapa saat setelah saya menyebrang, dari kejauhan tampak dua orang wanita yang tampaknya akan mendekati rumah yang letaknya tak jauh dari saya berpijak. Saya punya feeling lagi bahwa kedua wanita tersebut adalah anggota Aleut. Dan memang benar, setelah dengan singkat saya bertanya pada salah satu dari mereka, kami bertiga pun memasuki rumah beratap merah tersebut (yang ternyata memang benar, rumah beratap merah tersebut adalah sekretariat Aleut).

Syukurlah saya tiba pukul 6, sesuai dengan jadwal yang diberikan (saya paling tidak suka jika tidak on time hahaha ^^). Di sekretariat Aleut tersebut sambil menunggu anggota yang lain, orang-orang didalamnya dipersilakan untuk melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu. Setelah semua berkumpul, seperti biasa diadakan perkenalan antar sesama anggota Aleut. Saya dan semua anggota Aleut berkumpul di sebuah ruang pertemuan yang cukup besar dengan banyak sofa dan beberapa meja panjang. Setelah cukup lama saling memperkenalkan diri, pada akhirnya dijelaskan bahwa perjalanan Aleut kali ini bertemakan Urban Legend, yaitu perjalanan menelusuri tempat-tempat yang mengisahkan cerita-cerita mistis atau horor. Saat itu saya semakin semangat dua kali lipat. Saya memang sudah lama sekali ingin melakukan penjelajahan Urban Legend di Kota Bandung… dan akhirnyaaa… hari ini pun tiba.

Sekitar pukul setengah delapan malam, kami pun memulai perjalanan dengan berdoa terlebih dahulu. Oh iya, perjalanan kali ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Mungkin hampir mencapai 50 orang! Berbeda sekali dengan perjalanan yang dilakukan di minggu pagi yang notabene hanya diikuti oleh belasan orang saja atau masih bisa dihitung jari.

Start awal kami yaitu di Jalan Sumur Bandung no 4 itu sendiri. Dari situ, para Aleutians berjalan menyebrangi jalan Taman Sari untuk menuju Baksil alias Babakan Siliwangi. Dari awal perjalanan, senter sudah mulai dipergunakan (dan untunglah tidak untuk jas hujan, karena tidak hujann ^^) karena jalanan minim penerangan. Untuk menuju Baksil, saya dan yang lain harus menuruni beberapa anak tangga yang sangat licin karena tanah yang terbasahi oleh air. Tiba disana, suasana horor mulai terasa, didukung oleh kegelapan malam serta pohon-pohon yang amat besar yang saya yakin umurnya pasti sudah ratusan tahun. Saya dan yang lain pun dikumpulkan di satu titik yang cukup terang oleh cahaya. Saat itu, tiba-tiba Kak Ala menyodorkan seutas karet Jepang mungil. Saya terheran dan menatap Kak Ala dengan penasaran.

“Lebih baik diiket rambutnya..” ujarnya. Saya tak mau membantah dan langsung saja mengikat rambut saya. Ketika itu saya melihat semua teman-teman perempuan yang memiliki rambut panjang, rambutnya lantas langsung diikat. Teman saya yang saat itu berada disamping saya otomatis penasaran dan bertanya mengapa harus diikat segala.

“Kayanya aku tau deh, tapi ntar aku ceritain. Jangan disini.” Jawab saya.

Pada saat itu saya berpikir, alasan mengapa rambut perempuan yang panjang harus diikat karena supaya menandai bahwa anggota Aleut yang perempuan, rambutnya tidak ada yang diurai.. jadi, jika ada yang rambutnya diurai… itu berarti… hiiii (silakan pikirkan sendiri).

Di Babakan Siliwangi ini, aleutians mulai sharing dan bercerita tentang urban legend yang ada didaerah sana. Ya, kisah tentang “boneka gantung”.. dimana kalau tidak salah, pada sekitar tahun 1981, di daerah sini terdapat sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari jalan. Ada sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anaknya yang membawa boneka.. dan kecelakaan itu pun terjadi.. anak tersebut tewas karena tertabrak mobil. Sementara anak tersebut dibawa ke rumah sakit, bonekanya tertinggal di sekitar jalanan tersebut. Anak tersebut meregang nyawa di rumah sakit. Sekarang, banyak kejadian di atas jam 1 malam bahwa banyak orang-orang yang melihat boneka yang menggantung di sebuah pohon, atau kadang dengan anaknya itu.

Setelah Baksil, saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan. Ternyata kami berhenti di sebuah pertigaan sebelum ITB. Ini pertigaan yang saya tersasar tadi sore. Ditempat ini diceritakan beberapa cerita seram yang benar-benar membuat merinding, termasuk alasan mengapa perempuan yang memiliki rambut panjang harus diikat rambutnya (alasannya, dulu juga ada perjalanan aleut malam. Ada seorang perempuan yang rambutnya tidak diikat dan diikuti oleh makhluk halus sampai ke rumahnya. Perempuan tersebut mengeluh kalau punggungnya berat.). Kisah-kisah yang membuat merinding lainnya yaitu kisah tentang hantu muka dempak alias muka rata yang selalu menampakkan diri di sekitaran pertigaan jalan ini dan juga rumah peninggalan Belanda yang garasinya tidak pernah ditutup (kalau ditutup, akan ada suara orang menggedor-gedor dari dalam dan suara tangisan bayi).

Cukup dibuat merinding, perjalanan dilanjutkan ke arah kampus ITB. Di kampus ini, banyak sekali kisah-kisah misterinya. Yahh masuk akal sih, namanya juga gedung yang dibangun sejak zaman dulu. Beberapa kisah yang sukses membuat bulu kuduk merinding adalah kisah tentang sebuah gedung yang jika kita melihat ke arah atapnya, akan ada seorang perempuan yang loncat bunuh diri dari atap tersebut hingga tubuhnya remuk tak berbentuk, dan pada saat kita melihat ke arah atap tersebut lagi, lagi-lagi juga akan ada perempuan yang tampak akan loncat dari gedung itu. Terus menerus seperti itu. Di gedung tersebut juga terdapat lift yang tak pernah mampu menampung mahasiswa-mahasiswanya dikarenakan jumlah yang selalu full (padahal yang naik lift baru dua orang saja), atau juga seorang mahasiswa yang tengah belajar sendiri yang tiba-tiba melihat seorang mahasiswa lain dihadapannya yang berjalan ke arahnya di atas meja dengan menggunakan kedua sikut tangannya dengan sangat cepat (yang ini sukses membuat saya menjerit. Ampuuunnn >

Dari ITB, perjalanan dilanjutkan menuju jalan Bahureksa tempat adanya Mobil Ambulans yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Bandung pecinta cerita misteri. Tempat mobil ambulans tersebut ternyata adalah distro. Distro tersebut kabarnya merupakan distro kelima, sementara keempat distro yang pernah berdiri sebelumnya entah mengapa bangkrut semua. Di jalan bahureksa tersebut, saya dan yang lain dilarang berlama-lama disana karena suasana dan atmosfer negatif terasa semakin besar. Aleutians bahkan dilarang mengambil foto mobil ambulans tersebut. Kabarnya, jika mengambil foto mobil ambulans dari bagian dalam, jika beruntung, akan tampak sopirnya yang seolah sedang menyetir mobil ambulans tersebut. Hiiiiii #kabur

Selesai dari sana, aleutians pun mulai berjalan lagi ke arah gor saparua. Ternyata tujuan selanjutnya adalah Rumah Kentang yang berada di pinggir jalan di sebrang gor saparua. Selain Rumah Kentang, terdapat juga Gereja Belanda yang lebih dikenal dengan Gereja Setan. Bercerita sedikit mengenai Rumah Kentang, dahulu saat diadakan pesta di rumah tersebut, seorang anak tak sengaja tercebur ke dalam kuali kentang (kuali Belanda pada zaman dahulu kabarnya besar dan lebar) dimana kentang-kentang sedang direbus sehingga anak tersebut pun meninggal. Cerita yang beredar di masyarakat, jika kita mencium bau kentang rebus di sekitar rumah tersebut, tandanya hantu anak tersebut sedang berkeliaran mengitari kita. Dan percaya atau tidak… saya benar-benar jelas mencium bau kentang rebus saat itu!.

Oh ya, di sekitaran jalan tersebut juga ternyata ada pasangan yang sedang berantem >< entah kasihan entah terharu karena terlalu sweet melihatnya, jadi kami membiarkan mereka begitu saja kekekek 😛

Sehabis dari sana, aleutians pun berjalan menuju titik finish perjalanan malam Ngaleut kali ini.. yaitu di… SMAN 5 Bandung! Yupp, sekolah yang pada zaman dahulu merupakan sekolah Belanda ini (sekolah prasyarat sebelum memasuki perguruan tinggi), tentunya menyimpan kisah misteri yang sudah tak asing lagi di kalangan orang-orang pecinta horor yakni kisah tentang Nancy. Nancy ini kabarnya adalah seorang siswi berkebangsaan Belanda yang bersekolah disana dan meninggal karena bunuh diri. Maka itu salah satu jendela di gedung SMAN 5 ini tidak pernah ditutup, karena konon katanya Nancy suka duduk-duduk dijendela situ. Untuk melihat Nancy ini, caranya adalah dengan mengitari gedunga SMAN 5 dan 3 Bandung sebanyak tiga kali, tapi aluetians nggak ada yang mau berani coba.. hihihi..

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, langsung saja saya dan yang lain diminta untuk segera menuju Taman Bali. Seperti biasa setelah mengakhiri perjalanan, komunitas Aleut biasa melakukan apa yang dinamakan sharing kesan dan pesan masing-masing peserta. Setiap aleutian dipersilakan untuk berdiri dan menyampaikan kesan-kesan mereka tentang perjalanan yang telah mereka ikuti.

Setelah itu, ngaleut sabtu malam kali ini pun berakhir.. Saya membawa oleh-oleh dari perjalanan Aleut dengan tema Urband Legend pada sabtu malam ini.. oleh-olehnya adalah jatuh sakit selama tiga hari. Hihihi.

Original Post

Ngaleut pertama saya bersama Komunitas Aleut Bandung (Selesai)

Oleh : Atria Dewi Sartika  (@atriasartika )

Image

Setelah berfoto di depan salah satu rumah karya Ir. Soekarno kami kemudian menyusuri jalan Gatot Subroto tersebut. Kami sempat melewati sebuah rumah yang bertuliskan Marie. Menurut penuturan salah satu pasukan Aleut bahwa di zaman Belanda dulu sebuah rumah dinamakan berdasarkan nama anak perempuan pertamanya. Nah ini berarti nama anak perempuan tertua pemilik rumah yang kami singgahi bernama Marie. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke dan saya sempat memotret sebuah gedung yang bernama Vila Gruno. Namun karena keterlambatan saya berjalan. Saya melewatkan penjelasan apa punyang mungkin sempat dikeluarkan oleh anggota komunitas Aleut.

ImageSetelah itu kami dipandu melewati gang-gang sempit sebagai jalur alternatif. Kami melewati gang-gang kecil yang padat pemukiman. Kami bahkan harus berpuas diri dengan mencium wangi masakan warga yang sempat kami lewati. Di salah satu jalan kami melewati sebuah aliran sungai Anak CI Kapundung. Entah sungai itu terbentuk alami atau buatan. Aliran sungainya hitam.

ImageNah saat itu kami sempat berhenti sambil mendengarkan penjelasan Om Ridwan Hutagalung (Om, pamang, kang, abang, atau apapun sebutannya (^_^)v ). Beliau menceritakan tentang kisah-kisah kamp konsentrasi yang sempat dibuat oleh Jepang saat menjajah Indonesia. Kamp-kamp tesebut digunakan untuk menampung orang-orang Belanda yang berhasil mereka kumpulkan dan tangkapi. Kisah yang ia tuturkan menyadarkan saya bahwa tulisan Eka Kurniawan dalam novelnya Cantik itu Luka yang masih berusaha saya tamatkan menceritakan kejadian yang hampir sama dengan yang dituturkan oleh Om Ridwan. Memang kamp komsentrasi yang dibuat di Indonesia itu tidak semengerikan yang dibuat oleh Nazi di Jerman pada masa Holocaust. Namun tetap saja diceritakan bahwa kamp konsentrasi yang paling parah adalah kamp yang diperuntukkan untuk laki-laki dewasa. Sedangkan untuk wanita dan anak-anak masih sedikit lebih berdab. Sedikit tambahan yang saya peroleh dari buku Cantik itu Luka dikatakan bahwa sejumlah wanita Belanda kemudian diambil dari kamp konsentrasi untuk kemudian dijadikan sebagai pelacur.

ImageAkhirnya kami melanjutkan perjalanan hingga sampailah kami pada salah satu sekolah yang dibangun oleh Belanda sekitar tahun 1922. SD ini dijadikan sebagai tempat praktek Kweekschool yang sering diasosiakan sebagai sekolah raja. Entah karena anak-anak bangsawan pribumi banyak yang bersekolah atau ada yang mengatakan bahwa Kweekschool mungkin saja dibangun sebagai peringatan atas pengangkatan raja baru. SD ini kemudian ditempati oleh SD Centeh 1,2,3,4,5,6. Menurut data yang berhasil dihimpun oleh Komunitas Aleut diketahui bahwa awalnya hanya bangunan SD tersebut yang berada di wilayah Centeh ini, sedangkan disekitarnya masih berupa rerumputan yang luas. Namun kini bahkan bagian depan SD centah telah tertutupi pemukiman waga. Kami harus melewati lorong sempit hingga akhirnya berhasil masuk ke dalam lingkungan sekolah tersebut. Saat melewati lorong sekolah ini akan ditemukan plakat yang terpasang di kedua sisi dinding yang saling berhadapan. Selain itu terdapat juga patung pendiri sekolah (yang kemudian agak diragukan keasliannya oleh orang-orang di Komunitas Aleut). Setelah itu kami sempat beristirahat di aula yang berbentuk seperti sebuah pendopo yang berada di SD tersebut. Tampak bahwa tiang penyangga aula itu telah dimakan oleh usia (dan rayap). Sesi istiarahat ini diisi dengan cerita tentang nama-nama jalan yang dahulu kala dibuat berdasarkan nama tanaman-tanaman. Dan jenis tanaman-tanaman tersebut bahkan digolongkan menjadi bunga-bungaan, pohon dengan ranting yang kurang padat, dan pohon dengan ranting yang padat. Namun kini nama-nama tersebut diganti menjadi nama pahlawan yang membuat bingung dalam hal pencariannya. Bahkan membingungkan karena akhirnya sebuah jalan bisa jadi memiliki dua identitas atau dua nama.

Image

Tidak lama kunjungan tersebut diakhir dengan foto bersama dilapangan sekolah. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Pasar Kosambi. Ternyata di pasar ini masih berdiri pertokoan tua. Namun lagi-lagi saya ketinggalan penjelasan dan bahkan kali pun saya tidak menyempatkan diri mengambil foto karena takut menghadari ketinggian jembatan penyebrangan yang sudah cukup rapuh. Saya akhirnya hanya menyebrang dan menunggu seluruh rombongan berkumpul di depan ruko toko roti Cari Rasa yang merupakan salah satu toko yang cukup lama di Bandung. Setelah itu kami kembali menyusuri lorong dan melewati gang-gang sempit pemukiman penduduk. Kami bahkan melintasi rel kereta api di Kebon Pisang Kosambi. Sejujurnya inilah pertama kalinya saya menginjakkan kaki dan melewati rel kereta api yang berada di pemukiman penduduk. Biasanya saya hanya melewati rel kereta di stasiun kereta api saja saat harus mencapai peron tertentu.

Setelah itu kami sempat cerita sejenak terkait salah satu jalur kereta api tertua di pulau Jawa. Namun saya tidak berani menuturkan ulang meskipun saya telah mencoba untuk menggoogling data-data tentang stasiun tertua ini. Namun saya menyadari bahwa saya sudah cukup lupa dank arena masalah baterai gadget, saya tidak berhasil mencatat banyak hal kala itu.

Image

Setelah istirahat kami kembali melanjutkan perjalan ke salah satu Gereja yang maaf ternyata kini telah saya lupakan namanya. Gereja itu tidak bisa kami kunjungi cukup lama karena mendapat teguran dari pihak penjaga keamanan gereja tersebut. Namun kami masih sempat diperliahtkan plakat nama yang ada di gereja tersebut sebagai sebuah tanda dari arsitek gereja tersebut. Plakat itu agak tersembunyi di balik tanaman yang tumbuh mengelilingi gereja.

Image

Akhirnya kami pun melanjutkan perjalan ke SD Soka. Kami sempat melewati salah satu tokoh oleh-oleh makana Sari Rasa dan bahkan sesampainya kami di SD tersebut wangi roti yang menggugah selera masih tercium. Kami yang siang itu akhirnya mulai terserang lapar dan cukup lelah karena seharian berjalan kaki akhirnya mengakhiri perjalan dengan menceritakn kesan kami dalam kegiatan ngaleut hari itu. Kesan-kesannya semua positif selama mengabaikan bagian “lapar” dan “cukup lelah karena jalan kaki seharian” mengingat rute kami sebenarnya cukup jauh dari jalan Malabar hingga akhirnya sampai di Jl. Soka yang tidak jauh dari jalan RE Martadinata. Tapi di hari itu pun kami menyadari bahwa penting untuk peduli pada lingkungan. Kita perlu ikut menyebarkan kesadaran bahwa peninggalan sejarah termasuk gedung-gedung tua perlu dijaga karena dapat menjadi pembelajaran bagi generasi-generasi penerus kita.

catatan: foto-foto dalam blog ini adalah hasil dokumentasi pribadi dan hasil dokumentasi yang dipublish dalam @KomunitasAleut di twitternya.

Original Post

Ngaleut pertama saya bersama Komunitas Aleut Bandung (Part 1)

Oleh : Atria Dewi Sartika  (@atriasartika )

Hari Ahad tanggal 13 Januari 2013 ini mungkin akan menjadi salah satu hari Ahad yang tidak terlupakan di kota Bandung. Bagaimana tidak jika saya yang merupakan pendatang kota Bandung sukses menjelajahi beberapa sudut kota Bandung bersama pasukan Komunitas Aleut Bandung. Tapi jangan piker perjalanan ini terasa ringan bagi saya.

Image

Kumpul di Jl. Sumur Bandung no. 4

Dimulai dari malam hari dimana saya nyaris lupa untuk tidur karena asyik berkutat dengan film di laptop kemudian dilanjutkan dengan buku dan mengupdate berita di jejaring social, saya akhirnya terbangun dengan kurang bersemangat. Saat menajamkan telinga ternyata Bandung disapa hujan. Niat hati yang semula menggebu-gebu mulai mendingin karena udara dingin dan hujan. Saya kemudian memastikan apakah kegiatan “ngaleut” tetap dilaksanakan meskipun tengah hujan. Dan ternyata pesan singkat saya dibalas dengan konfirmasi bahwa ngaleut tetap dilaksanakan dan para peserta diharapkan untuk membawa paying atau jas hujan. Akhirnya jam 8 kurang 5 menit waktu Bandung saya sampai ke Jl. Sumur Bandung no.4 yang merupakan markas dari Komunitas Aleut ini. Yah saya terlambat 25 menit. Di lain pihak waktu keberangkatan kami pun menjadi sedikit di undurkan. Hal ni terkait cuaca dan upaya mencarter angkutan umum untuk sampai di daerah jl. Malabar.

Image

Gedung Toko Roti Valkenet

Setelah perkenalan singkat dengan seluruh peserta ngaleut, kami pun berangkat dengan menggunakan tiga angkot carteran. Di dalam angkot pun peserta saling memperkenalkan diri. Akhirnya saya yang awalnya datang sendirian akhirnya berkenalan dengan beberapa orang yang juga baru pertama kali ngaleut. Akhirnya karena keasyikan ngobrol di jalan tanpa terasa kami telah tiba di tempat tujuan pertama kali. Kami sampai di jalan Malabar. Awalnya saya cukup bingung tentang gedung apa yang kami datangi. Ternyata awal perjalanan ini, kami langsung dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa gedung yang layak untuk dilihat telah diratakan. Tadinya di salah satu sisi jalan berdirilah sebuah toko roti. Bangunan itu adalah Gedung Valkenet yang dibangun tahun 1925 dengan gaya arsitektur artdeco geometric, di tengah kawasan villa2 sekitar Malabar. Namun kini bangunan itu sudah tidak dapat saya lihat lagi. Ah saya seorang pendatang di kota Bandung ini terlal terlambat menyadari salah satu kekayaan Bandung yakni bangunan-bangunan tua warisan penjajahan Belanda.

Image

sisi yang masih menunjukkan wajah “rumah”

Image

foto dari sisi dalam

Akhirnya setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke SMK Shandy Putra. Saya akui saya tidak akan menyadari bahwa bangunan sekolah itu adalah sebuah rumah tua peninggalan zaman Belanda yang dialih fungsikan menjadi sebuah sekolah. Bahkan menurut cerita yang dibagi saat mengunjungi sekolah tersebut disebutkan bahwa sebelumnya rumah tersebut di zaman penjajahan Jepang sempat beralih fungsi menjadi rumah sakit. Meskipun kemudian di sampaikan bahwa belum ada kepastian akan berita tersebut. Namun memang menurut penelitian bahwa di zaman pendudukan Jepang, rumah-rumah yang cukup besar sering kali dialihfungsikan menjadi rumah sakit atau menjadi kamp-kamp konsentrasi. Kami kemudian diberi kesempatan untuk menjelajahi bagian luar dan dalam gedung sekolah tersebut. Saat melangkah menuju lapangan olahraga sekolah itu akhirnya muncullah tanda-tanda bahwa memang awalnya rumah tersebut awalnya dibangun sebagai rumah. Saya tidak dapat menyebutkan secara jelas bagian apa, namun di sisi samping rumah tersebut terdapat bagian yang menjorok keluar dan berbentuk semacam lengkungan yang memiliki undakan tangga sehingga saya menganggap bahwa dahulu mungkin saja pintu itu adalah akses menuju taman rumah tersebut. Bagian kaca dan pintu gedung sekolah tersebut masih asli tanpa di ubah. Dan begitu pun beberapa pintu yang ada di ruangan utama sekolah tersebut.

Image

Foto Genteng

Memang telah dibangun tambahan ruangan di bagian samping dan belakang sekolah tersebut. Namun sebagian besar gedung tersebut masih merupakan bagian asli dari rumah Belanda. Kami bahkan berhasil mengambil sebuah genteng untuk diamati karena sebagian besar genteng sekolah tersebut masih merupakan genteng lama dari sejak awal pembangunannya. Terbukti saat ditemukan nama dan kota asal pembuatan genteng tersebut. (lihat di foto) Akhirnya setelah melihat-lihat dan memotret di sana sini, akhirnya seluruh rombongan pun meninggalkan lokasi SMK Shandy Putra yang telah ditetapkan sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya oleh pemerintah Bandung tersebut. Oiya, kami bahkan dioleh-olehi cerita seram yang dituturkan oleh salah seorang siswi sekolah tersebut yang hari itu ikut ngaleut bareng. Ah, saya enggan menceritakannya mengingat saya menulis postingan ini di malam hari.

Imageberfoto di depan rumah karya Ir. Soekarno

Kami kemudian melanjutkan ngaleut ke jalan Gatut Subroto. Kali ini kami mengunjungi salah satu rumah kembar yang merupakan karya Mantan Presiden Soekarno. Rumah tersebut terletak di Jl.Gatot Subroto no.54 dengan kembarannya yang terletak di seberang jalannya. Awalnya kedua rumah tersebut di tempeli plakat sebagai pemberitahuan bahwa rumah tersebut adalah rancangan Ir. Soekarno. Namun kini plakat tersebut telah dicabut dan bahkan rumah tersebut kini telah beralih fungsi menjadi kost-kostan. Saya jadi bertanya-tanya apakah orang-orang yang menyewa kamar kost di rumah tersebut menyadari sejarah yang disimpan oleh rumah tersebut?

Original Post

Mencari Andir

Oleh: Candra Asmara Safaka (@candraasmoro)

Apa artinya malam minggu, itu artinya sabtu malam. Sabtu malam yang saya habiskan untuk menyibukkan diri dengan aktifitas mutakhir jaman ini, berseluncur di dunia maya ga pake luna. Dari sekian banyak jendela yang saya buka, selain jendela fb, twitah, dan youtube (jendela hati manaa..?hiks), jendela yang lainnya menampilkan lirik lagu ini.

Ik zou daar graag willen wonen

Liefst in de buurt van Andir..

Sepenggal lirik lagu jaman baheula yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia,

Kuingin tinggal di sana

Hidup di daerah Andir..

Tinggal di Andir?! Ga kebayang deh tinggal di Andir. Andir dalam benak saya adalah kawasan dekat rel kereta api, dekat pasar yang becek, Andir yang banyak sampah dengan beragam aroma bebauan yang lebih menusuk daripada pewangi dalam bis antar kota antar propinsi. Tapi, kenapa orang jaman baheula sampai memilih Andir sebagai tempat impian untuk ditinggali? Kenapa ga milih kota baru parahyangan, atau perumahan elit di Bandung utara yang bikin banjir (belum ada kalee..) ? Aneh deh..

Byurr! Alarm berupa segayung air membangunkan saya pada pagi harinya. Alhasil saya megap-megap, kaget, murka, hendak marah namun tak kuasa, karena yang mengguyurku adalah sang eksekusioner: Ibu. Saya lekas beranjak dari kasur, dibumbui umpatan dalam hati. Hari ini saya memang minta dibangunkan pagi, padahal hari ini hari Minggu.

Minggu pagi adalah waktunya memenuhi undangan sms dari sang pujaan hati, Reza Ramadhan. Yes. Minggu pagi adalah waktunya melarikan diri dari sepi, markileut! Mari kita ngaleut. Sebelum itu mari kita ngaleueut dulu bala-bala bikinan Ibu yang sudah tersaji di meja makan.

Cekiiitt…! Rem motor saya cekikikan, berbelok menuju meeting point ngaleut kali ini, stasiun Bandung. Beberapa pegiat Aleut sudah ada yang duduk-duduk disana, bercengkrama, mengisi formulir pendaftaran, dan beberapa pegiat sedang direcoki calo taksi yang tak kenal menyerah menawarkan jasa antar.

Setelah memarkirkan si gembor (nama motorku yang diambil dari nama kereta jaman baheula “Si Gombar”, yang diduga nama Si Gombar juga diambil dari nama tokoh film superhero jaman baheula “Zygomar”), saya menghampiri kawanan pegiat Aleut dengan tidak percaya diri karena ketek saya lupa digosok deodorant.

Rasa kurang percaya diri saya akhirnya luluh lantak, karena Ajay menyambut saya dengan kehangatan bagai perapian di musim dingin yang menyamankan, thanks Jay. Ada juga Hevi yang sedang sibuk terlibat proses pendaftaran, di sela-sela riweuhnya dia masih menawarkan cireng isi kepada saya, thanks Hep. Mas Nandar dengan rasa ingin tahu yang cukup besar seringkali melontarkan pertanyaan yang tak terpikirkan, thanks mas. Astaga! Saya lupa ini bukan sesi thanks to di acara award. Mari kembali ke fitrah..

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Ngaleut dimulai juga. Sekitar 25 pegiat melingkar di depan stasiun Bandung, mengenalkan dirinya masing-masing dalam sesi perkenalan, lalu ditutup dengan doa agar perjalanan hari ini dilancarkan, doa dipimpin oleh diri masing-masing dan dalam hati masing-masing. Berdoa mulai..

“Ya tuhan mengapa orang-orang jaman baheula ingin tinggal di Andir, padahal kan Andir ga banget gitu loh..”, dengan mata berlinang saya memanjatkan doa itu.

Setelah mengucapkan doa dalam hati, sayup-sayup terdengar penjelasan pertama tentang stasiun Bandung. Saya pun segera tersadar dari kekhusyukan doa, lalu mengalihkan perhatian kepada Bang Salman dan Bang Ridwan sebagai sang pencerita.

Ooh..ternyata Stasiun ini pun turut andil dalam semaraknya pembangunan hotel-hotel saat itu, pantas saja di sekitar stasiun banyak bangunan jadul, ternyata gara-gara stasiun kereta ini toh. Hotel-hotel, pasar, toko-toko, bahkan pelacuran berdiri di dekat stasiun kereta ini dalam rangka menyediakan segala kebutuhan para pengguna kereta yang sedang transit di kota Bandung. Para pelancong dari luar kota Bandung tak usah kerepotan mencari hotel untuk menginap, tempat ngopi untuk sekedar nongkrong atau tempat belanja oleh-oleh, semua bisa dijangkau dengan mudah di sekitar stasiun kereta. Keramaian di sekitar Stasiun saat itu menarik para pebisnis untuk mendirikan usahanya.

“Jaman dulu, perusahaan yang mengelola perkeretaapian namanya Staatsspoorwegen. Hingga kini, istilah Spoor masih akrab di telinga, orang-orang menyebutnya Sepur yang merujuk kepada kereta api. Padahal arti kata Spoor itu sendiri adalah Rel. Di pintu rel kereta di sekitar Braga, masih dapat ditemukan kata Sepur tertulis jelas di penampang rambu.” Jelas Bang Ridwan dan Bang Reza.

Pada zaman sebelum kemerdekaan, di belakang stasiun Bandung terdapat tugu triangulasi. Tugu  ini dibangun dalam rangka memperingati hari jadi Staats Spoorwegen yang ke-50. Tugu tersebut diterangi lampu dengan kekuatan 1000 lilin hasil rancangan Ir.E.H.De Roo. Kekuatan 1000 lilin itu seperti apa ya? Entahlah, tapi romantisnya dapet deh. Selain itu, tugu ini pun berfungsi sebagai titik triangulasi, yang artinya titik orientasi pengukuran dan pemetaan kota. Wow, berarti saat itu pendirian tugu juga memperhatikan dari segi fungsinya juga ya. Namun sayang, tugu tersebut kini digantikan oleh sebuah odong-odong lokomotif yang belum dikomersilkan.

Okeh, setelah penjelasan tentang stasiun Bandung, jalan kaki dimulai. Kawanan Aleut mulai menyusuri jalan Kebon Kawung yang dulunya banyak pohon Kawung (Aren), berbelok sedikit ke Jalan Pasirkaliki yang dulunya banyak pohon Kaliki, lalu belok lagi ke Jalan Ksatriaan yang banyak Ksatria?? Yang pasti, di jalan Ksatrian ada satu Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandung. Itulah titik berhenti kawanan Aleut yang kedua.

Ada apa nih di sekolah ini? Ternyata sejarahnya panjang juga, lebih panjang dari kisah Lord Of The Ring (maaf ga nyebut sinetron tersanjung). Alkisah bin almakba, pada tahun 1912 tersebutlah satu organisasi kebangsaan bernama Indische Partij. Tokoh-tokohnya antara lain Douwes Dekker (Setiabudhi Danudirdja), Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat a.k.a Ki Hajar Dewantara. Persahabatan ketiganya harus terpisahkan karena organisasinya dicurigai akan mengancam kelanggengan pemerintah kolonial Belanda. Lalu setahun kemudian diasingkanlah tokoh-tokoh ini ke negeri Belanda. Hingga pada tahun 1918 mereka kembali ke Hindia-Belanda.

Sekembalinya dari pengasingan, pada tanggal 12 November 1924, ketika musim hujan, Douwes Dekker mendirikan lembaga pendidikan yang bertujuan mendidik bangsa pribumi untuk mempunyai wawasan kebangsaan. Nama lembaga pendidikan ini adalah Ksatrian Instituut. Ohh, jangan-jangan nama jalan Ksatrian diambil dari nama lembaga pendidikan yang didirikan oleh Douwes Dekker ini. FYI, sebelumnya Jalan Ksatrian itu bernama Nieuwstraat.

“Salah satu tokoh nasional yang pernah mengajar di sekolah ini adalah Soekarno..” tutur Bang Reza.

Ohh..semasa mudanya dulu presiden pertama Indonesia ini pernah mengajar ilmu pasti di Ksatrian Instituut. Setelah lulus dari Tehnische Hooge School (sekarang ITB), Soekarno mengajar setahun lamanya sebelum dia terjun ke dunia politik dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia. Wah, penasaran gimana ngajarnya ya..

Pada tahun 1941, berita heboh menyeruak. Nes (panggilan akrab Douwes Dekker) sang pendiri Ksatrian Instituut ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan diasingkan ke Suriname. Sehingga kelangsungan Ksatrian Instituut dipegang oleh istrinya, Yohanna Patronella Douwes Dekker.

Pada bulan November 1947, pemerintah membuka sebuah SMP di kota Bandung di gedung SR jalan Kopo, untuk menampung pelajar yang baru kembali dari daerah pengungsian. Karena tempatnya tidak mencukupi, pada akhir Desember 1947 sekolah tersebut dipindahkan ke Nieuwstraat (Jalan Ksatrian sekarang), mengisi gedung Ksatrian Instituut yang sudah lama tidak digunakan. Karena terletak di Nieuwstraat, maka sekolah tersebut dikenal dengan sebutan Sekolah Menengah 4 Tahun Nieuwstraat (SM 4 TH NIEUWSTRAAT). Kemudian pada tanggal 11 Oktober 1950 SM 4 TH NIEUWSTRAAT  statusnya berubah menjadi SMP Negeri 1 Bandung seperti yang kita kenal sekarang ini.

Dari SMP Negeri 1 Bandung perjalanan dilanjutkan. Menyusuri gang-gang sempit yang membingungkan seperti lingkar labirin panjang tanpa henti kalo kata lagu The Brandals. Sampai akhirnya kita menemukan jalan Samba di sekitar lapangan Kresna.

Di jalan Samba ternyata ada sebuah makam saudagar batik yang turut meramaikan perdagangan saat Bandung baheula. Kedatangan kawanan Aleut disambut dengan sepinya pemakaman keluarga ini. Seorang nenek tampak sedang sibuk dengan jemurannya, pakaian ia jemur seadanya di atas nisan-nisan. Nenek itu seorang janda baru, suaminya yang merupakan penunggu makam baru setahun yang lalu meninggal. Pada kunjungan Aleut sebelumnya, Bapak penunggu makam ini masih bisa bercerita tentang H.Syarif, pedagang batik yang kini menyisakan makam beserta riwayatnya.

Selama di makam, saya menjadi takut. Saya takut meninggal saat itu juga, meninggal dalam keadaan pertanyaan saya belum menemui jawaban. Pertanyaan saya dari awal mengapa orang-orang jaman dulu ingin tinggal di Andir, belum ada pencerahan. Saya takut menjadi hantu penasaran yang lebih penasaran dari Nancy, dan takut menjadi hantu jengkol yang lebih rendah kastanya dari hantu kentang.

Lamunan para hantu pun lenyap seketika, sesaat setelah kawanan Aleut beranjak keluar dari komplek makam H.Syarif, lalu berjalan mendekati satu perumahan sepi yang asri. Di kiri kanan jalan, rumah-rumah yang terbilang baheula berderet rapi. Di setiap halamannya ditumbuhi pepohonan teduh, diselingi bunga-bungaan penyegar mata bagi yang memandangnya.

Andaikan saya harus meninggal dan menjadi hantu-hantu selebritis kota, setidaknya saya ingin merasakan tinggal di kawasan seperti ini. Saya lagi-lagi melamun. Ini perumahan apa ya..? Eh ternyata, tak disangka tak dinyana tak diduga, perumahan bagi para pegawai PT.KAI ini termasuk dalam kawasan Andir yang dahulu banyak orang bermimpi untuk tinggal di sana. Perumahan Andir membentang dari Pajajaran termasuk jalan-jalan pewayangan hingga kawasan lapangan terbang PT.DI. Pantas saja namanya dulu Fokkerhuis. Fokker adalah salah satu jenis pesawat terbang yang eksis saat itu.

Andir merupakan perumahan elite pertama yang digandrungi untuk dijadikan pemukiman oleh bangsa Belanda.  Baru setelah daerah Andir, kemudian menyusul pemukiman modern dan elite lainnya di daerah Cikudapateuh dan daerah jalan Riau. Saat itu di daerah Andir, rumah pinggir jalan raya dapat berharga 10.000 Gulden ke atas, konon itu harga yang mahal pada saat itu. Untuk memilikinya, orang bisa mendapatkannya dengan cara mengangsur. Daerah pemukiman di Andir ini dirancang dan ditata dengan baik, dengan model rumah bergaya romantik yang lagi ngetrend pada saat itu.

Whew, pertanyaan saya terjawab juga. Pantas saja banyak yang ingin tinggal di Andir saat itu. Dapat dibayangkan keasriannya dan kenyamanan yang disuguhkannya. Tapi bagaimana dengan Andir sekarang? Sudah tidak ada lagi Andir yang dulu, keinginan orang-orang pun berubah seiring berubahnya Andir.

Yah, lain dulu lain sekarang, sepenggal lirik lagu di atas kini tak berlaku lagi. Mungkin liriknya harus diganti.

Ku ingin tinggal di sana

Hidup di dataran tinggi Bandung Utara

Tak pedulikan saudaraku di selatan terbanjiri sengsara

Lirik itu menemaniku pulang, pertanyaanku terjawab, rasa penasaranku hilang berganti keresahan.

Keliling Ke Kawasan Pewayangan

Oleh : Mohammad Salman (@vonkrueger)

Sewaktu ngaleut akhir taun 2012 kemaren, kita sempet muter-muter disebuah kawasan yang penuh dengan nama yang terkadang susah disebut. Nama jalannya emang peninggalan jaman belanda, tapi bukan bahasa belanda. kawasan apakah itu? Kawasan pewayangan!

Kawasan pewayangan bukan berarti isinya wayang ato dalang semua. tapi itu tadi, nama jalannya diambil dari tokoh-tokoh ato tempat dicerita pewayangan. Membentang dari Jln. Pasir Kaliki terus ke barat sampai menjelang Bandara Husein Sastranegara, Dari Jalan Pasteur sampai menjelang rel kereta api yang membelah Bandung. Dan nama-nama jalannya adalah…

Pandu

Pandu ini, adalah seorang seorang pangeran dari kerajaan Kuru/Hastinapura. Nama Pandu sendiri berarti “pucat” karena ceritanya Pandu ini kulitnya memang pucat. Pandu menikahi Kunti, putri raja Kuntibhoja dan Madri, putri raja Madra.

Menurut cerita asli Mahabharata, Pandu ketika sedang berburu ke hutan ga sengaja memanah seorang Resi dan istrinya sampai mati. Si Resi yang sekarat mengutuk Pandu agar kelak dia meninggal kalo make love sama istrinya (kejam, memang). Kunti yg kebetulan punya ilmu manggil dewa akhirnya manggil para dewa untuk minta anak. Dari dewa Dharma mereka dapat Yudhistira. Dari dewa Bayu mereka dapat Bima. Dan dewa Indra membari mereka Arjuna.Kunti juga ngasih kesempatan ke Madri untuk memanggil dewa. Maka Madri pun memanggil dewa Aswin, yang ngasih anak kembar, Nakula dan Sadewa. kelak, para anak Pandu ini dikenal dengan sebutan Pandawa.

Samiaji

Artinya adalah “menghoramati orang lain bagai diri sendiri”. Ini sebenernya nama julukan untuk Yudhistira, Pandawa paling sulung. Yudhistira digambarkan sebagai orang bijaksana, penyabar, jujur, penuh percaya diri. Diantara sodara-sodaranya, Yudhistira paling jago soal ilmu tata negara, agama, dan hukum. Yudhistira juga terampil menggunakan tombak dan kesaktian batin (versi pewayangan jawa)

Kresna

Kresna ato Krishna, aslinya titisan Dewa Wisnu. Ketika perang antara Pandawa dan Kurawa berkecamuk, dia menawarkan ke kedua belah pihak, dia ato tentaranya. Kurawa memilih tentara Kresna, yang jumlahnya ribuan, sedangkan Pandawa memilih Kresna. Kresna pun menjadi penasehat perang bagi Pandawa dan menjadi kusir kereta perang Arjuna.

Bima

Siapakah orang yang paling banyak makan dan paling kuat diantara Pandawa bersaudara? Bima orangnya! kata “bima” sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti “mengerikan”. Saking kuatnya, Bima pernah menggendong Kunti dan keempat saudaranya sekaligus lalu lari sejauh 72 mil sewaktu terjadi percobaan pembunuhan oleh para Kurawa. Menurut kitab Mahabharata kekuatan Bima setara 70 gajah. Bima juga jago menggunakan senjata gada.

Samba

Bukan tarian ato musik afro-brazil loh ya. Tapi Samba disini itu anak dari Kresna. Samba ini menikah dengan Laksana, Anaknya Duryodhana. Aslinya ada sayembara yg diselenggarakan buat mencari calon suami untuk Laksana. Ga mau ribet, Samba menculik Laksana. Samba pun dipenjarakan. Akhirnya dengan bantuan Baladewa, Samba dibebaskan dan dimaafkan, dan akhirnya dinikahkan dengan Laksana.

Ugrasena

Ugrasena adalah seorang raja dari kerajaan Mathura, sebuah kerajaan yang unik. kenapa unik? Karena kerajaan ini menganut sistem semi-demokrasi. Anak-anak dari raja Mathura tidak mutlak jadi pewaris tahta, karena raja Mathura dipilih oleh rakyat.

Arjuna

Arjuna adalah putra ke-3 dari Pandu. Digambarkan ganteng dan jago panah, Arjuna adalah ksatria unggulan dari pihak Pandawa.Dia punya senjata super sakti pemberian Dewa Siwa, yaitu panah Pasupati.Ia juga menerima ajaran Bhagawadgita atau “Nyanyian Dewata”, yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna mengalami keragu-raguan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang Ksatria dimedan perang.

Rama

Rama ini seorang raja legendaris dari zaman sebelum Mahabharata. Dia adalah putra raja Dasarata dari kerajaan Ayodhya. Yang paling terkenal dari cerita Rama adalah ketika dia menyelamatkan istrinya, Sita (versi jawa menyebutnya Shinta) dari Rahwana. Dalam perjalanannya mengejar Rahwana, Rama sampai ke suatu daerah yang dihuni oleh para wanara, ato monyet, yang dipimpin oleh Sugriwa. Sugriwa setuju untuk membantu Rama.

Ketika sampai di laut yang membatasi Kerajaan Alengka dimana Sita ditahan, Rama memerintahkan para wanara untuk membangun jembatan. Konon, formasi bebatuan antara Srilangka dan India adalah bekas jembatan yang dibangun oleh Rama.

Sinta

Sinta ini diambil dari pewayangan versi jawa. Versi aslinya bernama Sita. Ia merupakan istri dari Rama, dan dipercaya sebagai titisan dari Dewi Lakshmi, dewi keberuntungan. Sita dianggap sebagai anak dari Raja Janaka, meskipun bukan anak biologis.

Jadi ketika sedang paceklik, Janaka mengadakan suatu upacara kesuburan. Ketika sedang melakukan upacara, mata bajaknya menbentur peti yang ternyata berisi bayi. Bayi itu pun diangkat jadi anak dan dianggap sebagai titipan pertiwi.

Dasarata

Ayah dari Rama. Dalam cerita Ramayana dia digambarkan sebagai Raja yang tiada tandingannya, Besar lagi pemurah, Angkatan perangnya tidak pernah kalah dalam perang apapun.

Ayudia

Pengindonesiaan dari nama Kerajaan Rama, Ayodhya.

Barata

Barata (atau Bharata) adalah tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana. Ia adalah putera prabu Dasarata dengan permaisuri Kekayi, dan merupakan adik Rama. Konon Bharata adalah raja dari golongan Suryawangsa yang sangat baik dan bijaksana setelah Rama.

Wibisana

Wibisana adalah adik kandung Rahwana yang menyeberang ke pihak Sri Rama. Dalam perang besar antara bangsa Rakshasa melawan Wanara, Wibisana banyak berjasa membocorkan kelemahan kaumnya, sehingga pihak Wanara yang dipimpin Rama memperoleh kemenangan. Sepeninggal Rahwana, Wibisana menjadi raja Alengka. Ia dianggap sebagai salah satu Chiranjiwin, yaitu makhluk abadi selamanya. Dalam pewayangan Jawa, Wibisana sering disebut dengan nama lengkap Gunawan Kuntawibisana. Tempat tinggalnya bernama Kasatrian Parangkuntara.

Aruna

Kalo ngeliat Mitologi Hindu, Aruna adalah kusir Dewa Matahari, Surya. Ia merupakan putera Dewi Winata dan Bagawan Kashyapa. Namanya dalam bahasa Sanskerta memiliki arti “yang bersinar kemerah-merahan”. Oleh umat Hindu, Aruna dipandang sebagai sinar merah yang bersinar di ufuk timur pada pagi hari, di saat para pendeta melakukan Suryasewana. Ia dipercaya memiliki kekuatan spiritual.

Baladewa

Baladewa adalah kakaknya Kresna. Saat dia masih dalam kandungaan, Kamsa, kakak dari Ibu Baladewa, Dewaki, bersumpah akan membunuh setiap anak Dewaki. Secara ajaib janin Baladewa berpindah ke Rohini, sehingga Baladewa pun selamat dari pembunuhan.

Sebetulnya masih banyak jalan yang memakai nama dari cerita pewayangan. tapi karena keterbatasan referensi dan waktu segini dulu saja, mungkin nanti dilanjut ke part 2. hohoho :D

Carpe Diem!!!

Original post

Terasi Dalam Sejarah

Oleh : M.Ryzki Wiryawan 

“Ugh… kamu bau terasi…”

Anak-anak muda sekarang seringkali menggunakan istilah terasi sebagai bahan ejekan, tanpa mengenal apa itu terasi.. Jangankan sejarahnya, bentuknya saja mungkin tidak tahu. Nah, kebetulan ada satu daerah di Jawa Barat yang sejarahnya berkaitan dengan bahan makanan ini. Betul, daerah tersebut adalah Cirebon. Naskah-naskah Kuno yang membahas sejarah Cirebon tidak pernah melewatkan bahasan keunggulan terasi Cirebon dan peranan strategisnya dalam perkembangan kawasan Cirebon. Bahkan dalam salah satu versi disebutkan bahwa nama “Cirebon” sendiri berasal dari kata “cai” dan “rebon”, dua produk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan terasi.

Pelabuhan Cirebon diketahui telah ada sejak abad ke-14, pada zaman itu masih bernama Muara Jati, yang dikenal sebagai desa nelayan. Pelabuhan ini dikelola oleh syahbandar utusan dari raja Kerajaan Galuh yang bernama Ki Gedeng Tapa. Pada saat itu Muara Jati banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, diantaranya adalah kapal-kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Komoditas yang di perdagangkannya adalah hasil pertanian, garam dan terasi.

Namun menurut manuskrip Purwaka Caruban Nagari karya Drs. Atja, suatu waktu Ki Gedeng Alang Alang yang merupakan keturunan dari Ki Gedeng Tapa mendirikan sebuah pemukiman yang berjarak 5 Km ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena kemuian banyak saudagar dan pedagang asing yang bermukim dan menetap di daerah itu, maka daerah itu dinamakan Caruban yang berarti ‘Campuran’ dari pribumi dan pendatang. Nama ini kemudian berganti menjadi Cerbon dan berganti lagi menjadi Cirebon. Menurut versi ini, masyarakat juga menyebut Cirebon sebagai Nagari Gede, yang kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan akhirnya “Grage”. Versi Atja ini jelas menyampingkan peran produk olahan laut Cirebon, yaitu udang-udang kecil (rebon), dalam sejarah Cirebon.

Dalam versi lain yang bisa lebih dipercaya, yaitu karya Sulendraningrat  “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon”, peran “rebon” dalam sejarah Cirebon mendapati porsi penting. Menurut Sulendraningrat, Terasi Cirebon merupakan buah karya dari Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana), anak dari Prabu Siliwangi dan dikenal sebagai pendiri Cirebon. Konon sang pangeran diperintahkan gurunya, Ki Gedeng Alang-alang, untuk membuka hutan dan menanam palawija. Setelah itu ia juga diperintahkan untuk mencari rebon dan ikan. Rebon yang ditumbuk untuk menjadi terasi tersebut ternyata bisa disukai banyak orang. Desa tempat pembuatan terasi ini menjadi tempat yang sangat ramai oleh orang-orang yang mencari produk tersebut. Calon-calon pembeli yang berdesak-desakan tidak sabar dan berteriak “Oga age, geura age, geura bebek” (Cepat, cepatlah ditumbuk). Dari kata inilah akhirnya desa tersebut dinamai “garage” yang berubah menjadi “grage”. Panganan ini lantas menjadi kesukaan Raja Galuh, ia “terasih” oleh panganan yang dijadikan upeti tahunan oleh Cakrabumi ini. Dari kata “terasih” ini, maka rebon tumbuk itu disebut “terasi”.

Dari pengalama Cakrabumi memasak rebon, ternyata perasan air rebon yang dimasak lebih enak rasanya. Makanan yang disebut “petis blendrang” ini ternyata menjadi populer, sehingga dukuh “grage” itu disebutlah “Cirebon” yang artinya air rebon.[1]

Tidak lama kemudian datanglah utusan Palimanan Mantri Pepitu memeriksa desa itu, sudah ada 346 orang, Ki Cakrabumi lanas menemui mereka. Berkata jubir Mantri pepitu, “Hai tukang penangkap rebon, oleh perintah Sang Prabu engkau diharuskan mengirim pajak tiap-tiap tahun satu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu terasih sekali dan minta kejelasan bagaimana membikin terasi itu.”

Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digaremi) lalu diperas, dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang.” Ki Mantri berkata, “Coba ingin tahu rasanya cai (air) rebon itu.” Cakrabumi segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang sambil saling berkata, bahwa cai (air) rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya). Karena Ki Mantri pepitu mengumumkan kepada rakyat pemukiman/dedukuh baru itu, memberi nama Dukuh Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.

Tidak hanya itu, naskah lain yang memuat sejarah Cirebon, “Sajarah Cirebon” (Anam, 1986:41) juga menyebutkan sejarah Cirebon yang berkaitan dengan terasi. Pernyataan itu dimuat dalam kisah upacara pengangkatan Ki Pangalang-alang sebagai kepala desa yang disaksikan oleh para menteri utusan kerajaan Galuh sebagai berikut :

…Setelah selesai upacara pengangkatan, Cakrabui berpidato dan menganjurkan agar seluruh rakyat tunduk dan taat kepada perintah pimpinannya. Sebelum rombongan menteri pulang, mereka dijamu oleh Ki Cakrabumi, dalam jamuan itu disajikannya garagal (tumpukan rebon) dan mereka merasakan kenikmatannya. Kemudian, mereka berkata dengan bahasa Sunda “aduh, ngeunah teuing garagal teh” (aduh, enak sekali garagal ini). Kemudian, Ki Cakrabumi menjawab dengan bahasa Sunda pula, “mundak caina” (apalagi airnya). Lalu mereka berteriak minta cai-rebon (air rebon). Kemudian diberinya oleh Cakrabumi air rebon yang diberi bumbu petis. Mereka bertambah kenikmatannya sehingga ramailah di antara mereka mengucapkan cai-rebon, cai-rebon. Ucapan ini menjadi buah bibir mereka. Karena itulah , akhirnya, desa tersebut dinamakan desa Cairebonan...[2]

Inovasi sang Pangeran Cakrabuana tersebut, menurut Besta Besuki Kertawibawa dalam buku “Pangeran Cakrabuana – Perintis kerajaan Cirebon, telah menghidupkan kembali perekonomian di daerah. Ia secara tidak langsung telah menciptakan lapangan kerja yang sebelumnya tidak dilakukan oleh penduduk setempat, yaitu memproses udang rebon menjadi terasi dan petis, yang sangat disukai oleh orang-orang. Beliau dengan jeli telah menemukan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam, berupa rebon yang sangat melimpah pada musim-musim tertentu di Cirebon. Menurut, Besta Besuki, makanan ini juga menjadi favorit orang Cirebon karena sebelumnya mereka hanya tidak memiliki banyak pilihan dalam hal santapan makanan. Mereka terbiasa memakan makanan seperti cacing dan makanan lainnya. Masuknya Islam selain itu juga menyebabkan mereka tidak bisa lagi memakan makanan yang terlarang dalam agama. Berdasarkan satu naskah, Raja Majapahit pernah mengeluhkan bahwa orang Islam menjauhi makanan-makanan yang selama ini menjadi kesukaan mereka :

“Semua akanan dicela, trancam cacing, pecel cacing, dihindari, dendeng tokek dan kera, bothok ular sawah, dan rase, lemang anak anjing, bekakak babi, babi hutan, katak dan anak tikus goreng. Becek lintah yang mentah, becek usus anjing hitam yang dikebirim kare kuwuk ‘kucing hitam’, bestik anak babi, itu dinamakan haram. Mereka sangat benci jika melihat anjing”[3]

Oleh karena itulah, penemuan Terasi dan produk olahan laut lainnya langsung menjadi favorit bagi penduduk yang baru mengalami transformasi dari agama Hindu ke Islam, dan terkena aturan yang melarang mereka memakan beberapa makanan yang sebelumnya dibolehkan. Bahkan terasi menjadi favorit bagi raja-raja Pajajaran yang saat itu masih memeluk agama Hindu.

Adapun apakah Terasi benar-benar merupakan inovasi sang Prabu Cakrabuana itu masalah lain. Makanan ini sebelumnya telah dikenal di kawasan asia tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran makanan ini ke seluruh kawasan antara lain disebabkan oleh sifatnya yang tahan lama dan praktis untuk dimakan. Konon makanan ini kerap dijadikan bekal oleh para pelaut yang akan melakukan perjalanan panjang dan lama.

Tidak menutup kemungkinan bahwa Pangeran Cakrabuana mempelajari cara pembuatan trasi ini dari orang-orang Cina yang mengadakan perdagangan dengan penduduk Jawa. Sebagaimana diketahui, kontak antara orang Cina dan Jawa telah berlangsung lama sebelum itu, dan sangat dimungkingkan adanya trasnfer ilmu pengetahuan dan budaya yang menyebabkan masuknya produk-produk luar pulau ke Jawa. Sebagaimana diceritakan Rumphius bahwa Orang Cina Gresik telah biasa mengolah udang rebon untuk dijadikan terasi dan belacang. Rumphius mengatakan bahwa :

There is also another kind of small shrimp which at certain times of the year leave the sea in such multitudes to be thrown on the beach, that they cover it and make it look purple-red. One finds them the most on Java’s beaches… It also happens often that one encounters such floes in th Java Sea, when it seems that one is sailing through blood. The Javanese and Chinese living in Grissek know how to catch these little shrimps in great quantities, to crush and pickle them, and make the same kind of brown paste, which they call bolastjang. (E.M. Beekman, 1993, 51).

Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa, semangat untuk pembentukan kawasan ekonomi baru, masuknya agama Islam, sumber daya alam Cirebon dan kontak dengan bangsa Cina telah menjadi faktor-faktor utama yang menjadikan Terasi Cirebon sebagai produk unggulan di kawasan tersebut. Kemahsyuran Cirebon sebagai daerah penghasil makanan olahan dari hasil laut tersebut sempat menjadi bahan ejekan dari Daendels untuk menghina pejabat Cirebon, ketika ada seorang pangeran Cirebon yang menentang kebijakannya, “Lu ini terlalu bodoh, gua au ajar sama lu… Lu orang Cirebon akan udang terasi, mengapa mengajar gua orang yang makan daging dan minyak sapi?” (Denys Lombard Jilid 1, 1996:218-219). Namun anehnya banyak juga orang Eropa yang jatuh cinta kepada makanan ini, sebagaimana dilukiskan oleh E.du Perron “di mana banyak orang Eropa maupun keturunannya yang akhirnya kembali ke negeri asalnya tetap menyukai makanan khas Indonesia, seperti sambal terasi dan krupuk udang yang disajikan oleh restoran-restoran Indonesia seperti yang ada di Paris.”[4]

Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa sejarah perkembangan Cirebon selama berabad-abad tidak bisa dilepaskan dari peran anugerah Tuhan yang hanya dilimpahkan kepada kawasan itu, berupa udang rebon yang bisa diolah menjadi terasi dengan kualitas utama. Kini, Masikah kita menyepelekan makanan istimewa ini?

[1] Nina Lubis Dkk. “Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat”. Alqaprint, Jatinangor –  2000 . Hlm. 206

[2] Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum. “Sunan Gunung Jati”. Humaniora, Jatinangor – 2002. Hlm 244

[3] Besta Besuki Kertawibawa,” Pangeran Cakrabuana  – Sang Perintis Kerajaan Cirebon”. Kiblat, Bandung- 2007. Hlm. 162. mengutip Siti Maziyah, “Kontroversi Serat Gatholoco”. Warta Pustaka ,  Yogyakarta – 2005. Hlm. 98-99

[4] Ibid. Hlm. 167

Catatan Perjalanan – Aleut Seputar Bank Tempo Dulu

Oleh : Putri Destyanti Choerunnisa (@SockoJinki)

“Aleut Minggu Tanggal 23/12/12. Yuk ah! kita kenali bersama “lembaga keuangan dan bank tempo doeloe” di kota Bandung. Kumpul di depan gedung landmarak jalan braga pukul 07:30”

Begitulah kira-kira info yang saya baca pada timeline Komunitas Aleut di salah satu jejaring sosial pada hari sabtu. Saya mengikuti salah satu komunitas di Bandung yang mengupas tentang sejarah Kota Bandung. Namanya Komunitas Aleut – Komunitas Wisata sejarah dan budaya Kota Bandung. Komunitas ini memang selalu melakukan kegiatan rutinnya yaitu berupa jalan-jalan mengelilingi kota Bandung setiap hari minggu. Perjalanan mengelilingi kota Bandung ini tentunya dengan rute atau jalur yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tema. Seperti ngaleut kali ini. Hari minggu ini adalah ngaleut dengan tema lembaga keuangan atau bank tempo dulu di Kota Bandung. Bank-bank tempo dulu terletak dan tersebar di wilayah sekitar Braga-Asia Afrika, sehingga ngaleut kali ini mengambil titik start di depan Gedung Landmark di jalan Braga.

Diinformasikan bahwa para pegiat Aleut yang akan mengikuti perjalanan Aleut pada hari minggu ini diharuskan berkumpul pada pukul 07.30 pagi. Tapi, kenyataannya saya sudah sampai di depan gedung Landmark Braga pada pukul 07.15 pagi. Hahaha, entah saya yang terlalu bersemangat atau memang jam bergerak begitu lambat, sehingga ketika saya berjalan dilambat-lambatkan dari arah Balai Kota pun, saya tetap tiba di tempat tujuan terlalu pagi alias nyubuh 😀

Untunglah tidak jauh dari Gedung Landmark Braga tersebut terlihat Circle K. Karena waktu berkumpul kurang lebih 15 menit lagi, saya memutuskan untuk membeli sesuatu ke dalam mini market tersebut dan duduk disalah satu dari sekian banyak kursi yang disediakan oleh pihak Circle K disana. Sambil menikmati hot chocolate yang saya beli, saya tak henti-hentinya menengok ke belakang – tepatnya tepat ke depan Gedung Landmark, kalau-kalau sudah ada orang-orang dari komunitas Aleut. Saya memang anggota baru di komunitas ini sehingga sama sekali blank soal wajah para pegiat Aleut. Sebenarnya saya melihat seorang perempuan berjilbab yang berdiri tepat di hadapan Gedung Landmark Braga tersebut, sempat terbersit untuk menghampiri perempuan itu dan menanyakan padanya kalau-kalau dia juga merupakan salah satu pegiat Aleut. “Itu kali ya? Itu bukan sih?” pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu terus berkecamuk di dalam pikiran saya. Saya memutuskan untuk tidak menghampirinya dan menunggui teman saya saja yang kabarnya masih berada di jalan (teman saya juga baru pertama kali mengikuti kegiatan ngaleut). Sambil menunggu, saya juga melihat seorang perempuan berambut panjang yang berjalan melewati Circle K, jalannya lambat-lambat dan tampak sedang memperhatikan keadaan disekitarnya. Saya juga punya feeling kalau perempuan tadi adalah salah satu pegiat Aleut yang lain. Tidak lama kemudian, kira-kira pukul 07.35, saya melihat ada seorang laki-laki yang memarkirkan motornya di depan Circle K. Lalu samar-samar saya melihat perempuan berkerudung yang saya lihat tadi menghampiri laki-laki tersebut. Tak lama kemudian, mereka duduk di salah satu meja Circle K tepat di belakang saya. Kali ini feeling saya mengatakan “memang benar orang-orang ini adalah dari Komunitas Aleut”, dan ternyata benar saja karena tak lama kemudian, laki-laki yang tadi pun menyapa saya dengan berkata “Aleut?”. Saya pun tersenyum mengiyakan dan bergabung dengan mereka berdua. Kira-kira sepuluh menit kemudian, satu persatu orang-orang pun berdatangan termasuk teman saya.  Perempuan berambut panjang yang saya lihat juga tampak berjalan menghampiri kami. Ternyata memang benar, dia memang salah satu pegiat Aleut juga.

“Kayanya sesama Aleut ini emang ada sinyalnya ya di atasnya, bisa keliatan yang mana yang Aleut yang mana nggak..” tutur saya pada perempuan berjilbab di hadapan saya yang ternyata bernama Tri.

Sekitar pukul setengah sembilan, perjalanan pun dimulai. Sebelum berangkat, saya dan para pegiat aleut lainnya berkumpul di pelataran Bank yang terletak tepat disebrang Gedung Landmark Braga. Disana kami berkenalan satu sama lain. Kemudian juga terdapat penjelasan alias sharing singkat mengenai Gedung Landmark Braga di hadapan kami. Ternyata, Gedung Landmark ini dulunya merupakan sebuah toko buku bernama Van Dorp. Dari segi arsitektur, Gedung Landmark ini mempunyai ukiran atau ormamen Dewa Kala di atasnya. Sejajaran Gedung Landmark ini juga memiliki apa yang disebut Arcade  yaitu trotoar yang memiliki atap, sehingga para pejalan kaki atau orang-orang yang belanja di sekitar situ akan terhindar dari hujan serta panas matahari. Setelah penjelasan selesai, perjalanan pun dilanjutkan.

Selanjutnya saya melintasi rel kereta api dan berhenti di hadapan Bank Indonesia gedung lama. Dulunya, sebelum dibangun Bank, lahan tersebut merupakan sebuah tanah lapang tempat “nongkrong” tuan-tuan tanah perkebunan dan anak-anak muda keturunan ningrat yang tengah bersantai. Dahulu Braga memang dikenal sebagai kawasan gemerlap dimana Bangsa Belanda dan Bangsa Pribumi keturunan bangsawan seringkali menghabiskan waktu untuk berbelanja atau sekedar berjalan-jalan. Karena itulah pada tahun 1917 Bank Indonesia pun dibangun dengan tujuan untuk menyimpan uang-uang Bangsa Belanda dan juga tuan tanah perkebunan, serta demi melancarkan perekonomian Indonesia. Dari segi arsitektur, Bank Indonesia gedung lama ini memiliki gaya Renaisance yang masih kental, dapat terlihat dari pilar-pilar besar dan panjang yang juga terdapat ukiran di atasnya. Kabarnya pilar-pilar tersebut juga didesain tanpa tulang (tidak ada besi yang menancap di tengah-tengah pembuatan pilar).

Usai mengunjungi Bank Indonesia, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan melewati jalanan sekitar Balai Kota, melewati Gereja Katredal yang megah, dan pada akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang namanya terukir di tembok gedung. Gedung tersebut dulunya merupakan Bank Pacific. Sayangnya tak banyak informasi yang didapatkan dari Bank ini. Saya dan para pegiat Aleut pun hanya  dapat menerka-nerka aktivitas apa yang dipakai di gedung tersebut, karena memang dari depan pun gedung tersebut tampak tidak terawat. Penuh coretan dari tangan-tangan jahil di temboknya. Bicara soal arsitektur gedung, Gedung bekas Bank Pacific ini tentunya masih kental dengan gaya arsitektur Belanda yang dapat dikenali dari tembok-temboknya yang tebal.

Perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan Asia Afrika. Saya dan para pegiat Aleut kemudian berhenti di depan Bank N.I Escompto Mij. Bank ini merupakan bank pertama yang ada di kota Bandung. Bank yang dibangun tahun 1857 ini dipercaya oleh para pengusaha perkebunan yang ada di wilayah Bandung dan sekitarnya. Bank ini ada jauh sebelum Bandung ditetapkan resmi menjadi kota. Dan pada tanggal 19 Mei 1900, Bank N. I. Escompto Mij ini dipindah ke Jalan Braga dan  akhirnya Pada tanggal 29 Januari 1912, Bank N. I. Escompto Mij, pindah ke gedung baru di sudut timur jalan Asia Afrika dan jalan Banceuy – di sisi timur kantor pos Bandung sampai sekarang.  Gedung ini di bangun dengan gaya arsitektur Art Nouveau yang kaya dengan ornamen penghias gedung.

Hari semakin siang, dan memang ternyata waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Pegiat aleut sudah resah dan gelisah. Pertama karena rasa capek berjalan, dan yang kedua karena perut yang minta diisi. Akhirnya salah satu pegiat Aleut mengusulkan untuk beristirahat di tempat Goreng Pisang Simanalagi yang letaknya di Dalem Kaum. Saya dan pegiat Aleut pun melewati pasar tas dan sepatu Dalem Kaum sebelum akhirnya tiba di tempat tujuan. Warung Pisang Goreng Simanalagi memang menjadi tempat langganan Komunitas Aleut jika kebetulan jalur atau rute perjalanan ngaleut melewati kawasan Dalem Kaum. Disana kami makan gorengan yang tersedia termasuk pisang goreng yang rasanya enak dan berbeda dari pisang goreng lainnya. Sambil menikmati hidangan, tak lama kemudian si empunya warung yang ternyata bernama Pak Victor, mendekati kami. Kami pun menjelaskan tentang siapa kami, kemudian kami meminta beliau untuk menceritakan sejarah berdirinya warung pisang goreng Simanalagi ini. Ternyata usaha warung pisang goreng ini merupakan warisan turun temurun dari ibunda Pak Victor tersebut. Berdiri sejak tahun 1948, warung pisang goreng ini memang sangat diminati baik oleh Bangsa Asing seperti Belanda, Amerika, Jepang, hingga Turki dan juga Bangsa Asli Indonesia alias pribumi. Kabarnya, nama Simanalagi ini berasal dari ungkapan “Warung Pisang Goreng yang mana lagi yang punya kualitas rasa yang enak selain disini. Yang mana lagi…”. Hehehe, lucu ya ^^

Selesai beristirahat dan memanjakan perut, ngaleut pun dilanjutkan dengan menjelaskan soal Bank Saudara yang letaknya memang tepat dihadapan warung Goreng Simanalagi.

Titik finish ngaleut kali ini adalah di Makam Boepati. Disana pegiat aleut di pandu oleh seorang kuncen makam dan diperbolehkan untuk melihat-lihat makam-makam para Boepati dan juga makam-makam para pedagang seperti Tamim dan Asep Berlian. Selesai bercerita tentang sejarah para orang-orang terkenal tersebut, pegiat Aleut kemudian mengadakan sharing sejenak mengenai kesan dan pesan dari ngaleut minggu ini sebagai finishingnya.

Menurut pribadi, ngaleut kali ini benar-benar sarat makna dan informatif. Tidak hanya mengetahui sejarah bank dan lembaga keuangan yang tujuannya untuk melancarkan serta menstabilkan perekonomian Indonesia, tetapi juga mengetahui sejarah dibalik kesuksesan warung pisang goreng Simanalagi serta dapat memetik amanat perjalanan para Boepati dan Pedagang terdahulu sewaktu mereka masih hidup di dunia. Saya yang tadinya benar-benar buta dan tidak mengetahui sama sekali mengenai sejarah Bank Tempo Dulu di Bandung, kini menjadi tahu. Ya, “dari tidak tahu menjadi tahu”, merupakan tujuan dari suatu pembelajaran. Saya tidak sabar mengikuti ngaleut minggu selanjutnya ^^.

Original post : here

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑