Month: November 2012

Akhir Hayat sang Badak Jawa

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) terakhir di Karangnunggal, Tasikmalaya. Pada awalnya badak jantan ini hidup bersama-sama dengan seekor betina, namun pada tahun 1914, sang betina ditembak pemburu gelap. Jantan tua tidak bisa bergabung dengan kelompok badak jawa lainnya di Ujung Kulon, hingga akhirnya pada tahun 1934, pihak Museum Zoologi mengambil keputusan untuk menembak mati badak jawa jantan tersebut (agar tidak kedahuluan pemburu gelap). kini, badak jawa itu menjadi bagian dari museum zoologi bogor. (foto koleksi: Museum Zoologi Bogor)

Hollands Denken dan Kankergeest

 

Dalam posting  sebelumnya telah dijelaskan mengenai “Hollands Fatsoen”, sisa peradaban Belanda yang masih membekas dalam kejiwaan bangsa ini. Fatsoen yang bisa diartikan sebagai etika formalitas ternyata selain memiliki sisi positif juga memiliki sisi negatif yaitu resistensi terhadap segala sesuatu yang bersifat “tidak normal” atau perubahan radikal. Selain itu menurut Subagio Sastrowardoyo, masih ada dua sifat lagi yang menjadi warisan Belanda, yakni Hollands Denken dan Kankergeest.

 

Hollands Denken bisa diartikan sebagai cara berpikir orang-orang Belanda di zaman penjajahan dianggap tipikal bagi bangsa mereka, yaitu diwujudkan dalam sikap mereka yang terlalu mementingkan hal-hal remeh dan tidak berani menanggap atau merencanakan sesuatu secara besar-besaran.

 

Cara berpikir ala Hollands Denken berlawanan dengan gaya berpikir Think Big ala Amerika. Apabila cara berpikir orang Belanda hanya berkutat pada hal-hal kecil, maka cara berpikir orang Amerika tidak tanggung-tanggung hendak menghasilkan sesuatu yang besar-besaran, baik dalam bentuk gagasan maupun struktur ciptaan. Oleh karena itulah dalam satu kesempatan Presiden Soekarno pernah mengajak bangsa Indonesia untuk meninggalkan apa yang disebut dengan Hollands Denken. Soekarno memang dikenal sebagai seorang pemimpin dengan visi  yang sangat jauh.

 

Soekarno melahirkan perlawanan terhadap Hollands Denken lewat karya-karyanya yang luar biasa. Ia menyukai sensasi luar biasa yang dihasilkan dari aksinya. Filsafat Pancasila diprogandakan ke seluruh dunia lewat pidatonya di PBB, Stadion olah raga dan Masjid terbesar di Asia Tenggara didirikannya di Jakarta, Konferensi Asia-Afrika yang mengejutkan kalangan imperialis berhasil diadakan sepuluh tahun setelah negara ini merdeka, selain itu   berkali-kali Soekarno berkeliling dunia bersama rombongan besar pejabat untuk menguatkan eksistensi Indonesia di luar negeri. Berbagai proyek ini memang dinilai sebagai politik mercusuar semata, namun harus diakui semua itu merupakan upaya Soekarno untuk memperkenalkan konsep “Big Thinking” pada bangsa ini.

 

 

Gaya berpikir demikian berbeda sekali dengan kecenderungan politik Belanda di Indonesia yang dilandasi Hollands Denken. Dalam politik, cara berpikir orang Belanda itu terwujud dalam sebutan kruidenierspolitiek atau politik tukang meracik bumbu. Selaku pedagang kecil-kecilan itu Belanda terlalu takut merugi dalam usahanya. Dalam politik kolonialnya, pemerintah Belanda tidak berani terlalu banyak memberi konsesi dalam perundingan dengan pimpinan nasionalis Indonesia. Kemajuan rakyat juga dilakukan dengan sangat hati-hati supaya tidak menimbulkan resiko dan ancaman bagi kedudukan bangsa Belanda itu sendiri. Terlihat dalam sikap mereka yang setengah hati dalam usahanya memberi pendidikan bagi segenap bangsa Indonesia.

 

Gaya politik yang sama ditunjukan pasca kemerdekaan bangsa ini. Belanda sengaja mengulur-ulur waktu dan keputusan perundingan dengan berkali-kali melanggar perjanjian yang telah dicapai. Kelihaian mereka untuk mengutak-atik hukum dan bahasa selalu digunakan hanya langkah-langkah kecil saja yang bisa dihasilkan pemerintah Belanda untuk menahan gelora kemerdekaan Indonesia.

 

Perlu diakui bahwa Hollands Denken masih membekas pada cara berpikir bangsa Indonesia utamanya pada para birokrat dan pengambil kebijakan yang belum mampu berpikir “think big” dan hanya berkutat pada mempermasalahkan hal-hal kecil. Dalam politik kecenderungan ini terlihat lebih jelas lagi lewat sikap partai politik yang hanya mementingkan pencapaian kekuasaan alih-alih pembangunan bangsa.

 

 

 

Volksraad… Cermin kruidenierspolitiek di Hindia Belanda

 

Kankergeest

 

Karakter orang Belanda lainnya terlihat dalam bentuk Kankergeest, yaitu ciri pribadi bangsa mereka yang gemar mengomel dan menggerutu. Entah apa yang menjadi latar belakang sifat mereka yang demikian. Boleh jadi mereka pada dasarnya mereka kurang sabar menghadapi segala sesuatu di sekelilingnya. Bisa jadi karena mereka tidak puas dengan keadaan masyarakatnya sendiri di Belanda. Namun dari sudut ini bisa disimpulkan bahwa kankergeest  merupakan reaksi terhadap Hollands Fatsoen dan Hollands Denken, ciri-ciri tipikal bagi orang Belanda. Di dalam hal ini jiwa penggerutu mendapatkan kaitannyadengan kecondongan batin bangsa Belanda yang diwakili sikap masyarakat yang kleinburgerlijk, yaitu memiliki pandangan dunia yang sempit.

 

 

Kankergeest dapat dilihat dengan jelas pada pengarang Belanda terkenal, Douwes Dekker alias Multatuli, yang menulis roman Max Havelaar (1860). Dalam karya tersebut tersirat gerutuannya terhadap  tingkah laku kleinburgelijk orang sebangsanya yang diperlihatkan dalam Hollands Fatsoen dan Denken. Ia mencela sifat khas peradaban Belanda yang digambarkan dalam tokoh Droogstoppel dan Slijmering.

 

Namun sebaliknya, kecenderungan menggerutu itu terbit dari sikap tidak berdaya untuk memecahkan masalah. Artinya kankergeest muncul dari  norma kepatutan dan cara berpikir orang Belanda yang enggan keluar dari garis-garis yang telah ditentukan. Dengan demikian juga penggerutu adalah satu paket dalam peradaban yang bersifat kleinburgerlijk juga.

 

Tidak sulit untuk menemukan jejak kankergeest pada jiwa bangsa ini. Gerutuan-gerutuan tanpa makna bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari maupun di media sosial, berusaha menyalahkan pihak  lain atas masalah yang dialaminya. Cara pandang Kleinburgerlijk juga ditunjukan lewat sikap resistensi terhadap gelombang perubahan yang tengah muncul, terutama di pemerintahan. Diperlukan kesadaran diri tingkat tinggi untuk mengkoreksi diri sendiri dan tentunya tidak mudah untuk menghilangkan peninggalan kolonial yang masih melekat pada diri kita. Namun, kecenderungan masyarakat pada akhir-akhir ini yang mulai bisa menerima tokoh-tokoh pemimpin bergaya nyeleneh mungkin bisa dianggap sebagai suatu perkembangan yang positif dalam rangka melepaskan diri dari sikap negatif peninggalan masa kolonial.

 

 

 

 

Hotel Indonesia… Salah satu proyek mercusuar Indonesia yang membanggakan…

Hollands Fatsoen

 

Murid-murid itu berbaris di depan gurunya. Satu persatu bergiliran menyodorkan punggung tangannya,  memperlihatkan kuku jarinya kepada sang guru. Barang siapa yang kukunya terlalu panjang dan kotor siap-siap saja tangannya terkena pukulan penggaris sang guru. Apabila anda pernah mengalami situasi ini di masa kecil, anda telah mengalami jejak peninggalan kolonial yang dikenal sebagai Hollands Fatsoen.   

 

Seperti sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, jejak penjajahan Belanda tidak hanya berbekas pada peninggalan-peninggalan fisik semata. Jejak-jejak penjajahan selama puluhan hingga ratusan tahun itu masih bisa ditemukan dalam diri manusia Indonesia. Jejak itu berwujud peradaban Belanda yang telah merasuk dalam kejiwaan bangsa ini, yang menurut Subagio Sastrowardoyo terdiri dari : Hollands Fatsoen, Hollands denken, dan Kankergeest.

 

Fatsoen berarti kepatutan. Dalam peradaban Belanda, kepatutan sangat diutamakan dalam setiap segi kehidupan, khususnya yang terjelma dalam segi kehidupan lahir. Tata tertib yang ketat dan kaku berlaku pada kesibukan sehari-hari seperti makan, berpakaian, dan pemeliharaan rumah beserta halaman. Orang Belanda ini sangat dikenal apik dalam merawat rumahnya di luar dan dalam, penghormatan akan tata cara makan hingga kesukaanya berpakaian serba resmi dan lengkap. Penuturan kata-kata dan etika pertemuan keluarga sangat dijunjung tinggi menurut norma fatsoen. Sebaliknya, tingkah laku yang bebas tak peduli dan bicara lantang nyaring diperlihatkan para Indische Mensens, orang-orang Belanda yang baru pindah dari jajahannya di Hindia, yang tidak begitu terikat kepada tata tertib pergaulan di Negeri Belanda. Mereka dicap kawan se-negerinya sebagai orang-orang yang tidak  tahu asas kepatutan.

Namun bagaimanapun juga, di negeri ini Fatsoen pernah dijunjung sebagai ukuran dan cita-cita yang tinggi dalam pergaulan di masyarakat walau pelaksanaanya tidak sekaku di negara aslinya. Peninggalan Fatsoen ini masih bisa kita temukan pada perilaku nenek atau kakek kita yang dulunya pernah mendapat pendidikan di zaman Hindia Belanda. Mereka menunjukan segi formal pada berbagai perilakunya seperti duduk dan makan di meja dengan keluarga, menulis surat dengan bentuk huruf yang indah, becara dengan beradab dengan bahasa belanda (beschaafd nederlands), berpakaian dengan dasi dan jas tertutup, sampai kepada tata cara menghadap pembesar yang melalui undak usuk hierarki jabatan dan kedudukan. Yang terakhir ini masih bisa kita temukan di zaman sekarang. Dalam buku-buku pelajaran sekolah yang diterbitkan semasa kolonial, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana Fatsoen ditekankan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah, di rumah, pergaulan hingga dalam berlalu lintas.

Fatsoen tidak hanya memasuki jiwa sosial dan politik Hindia Belanda. Selain dalam kehidupan sehari-hari dan politik rust en orde yang diterapkan secara kaku. Belanda juga merancang lingkungan yang menunjang konsep ini. Tata kota dirancang sedemikian teratur. Termasuk di dalamnya pengaturan zonasi berbasis ras untuk menghindari pembauran dan resiko kekacauan. Akibatnya, masyarakat pribumi merasakan diskriminasi yang luar biasa atas tindakan tersebut.

Memang ada segi positif dari Fatsoen ini, sampai sekarang kita merindukan keteraturan kota dan lingkungan khas Belanda, selain kehidupan sehari-hari yang bisa berjalan sesuai konsep rust en orde (Keamanan dan Ketertiban) yang pernah diterapkan di Hindia Belanda. Namun negatifnya, dalam masyarakat yang konservatif itu jangan harap ada lonjakan, keberanian untuk keluar dari garis norma yang telah ditentukan. Dalam hal ini konsep fatsoen mungkin sejalan dengan kebudayaan Jawa sehingga dalam beberapa kasus Belanda bisa sangat nyaman berada di kawasan tersebut. Pengaruh peradaban Belanda ini terlihat sekali pada pemikiran Soetomo, sang pendiri Budi Utomo yang beranggapan bahwa masyarakat ideal layaknya sebuah orkes gamelan, dimana setiap orang dan kelompok memainkkan peran yang telah ditetapkan bagi mereka sesuai keselarasan dan melodi yang telah ditetapkan bagi orkes itu. Jangan harap kita menemukan aksi improvisasi dalam permainan gamelan…

Tentu saja terdapat orang-orang yang tidak bisa hidup dalam kondisi demikian. Contohnya adalah Tjipto dan Soekarno, yang menolak sistem pemerintahan Belanda yang kaku dan diskriminatif. Tindakan mereka beserta beberapa tokoh pergerakan lainnya telah mengguncangkan kestabilan masyarakat Hindia Belanda saat itu. Tindakan mereka yang disebut “radikal” telah menyinggung dan mengguncangkan kestabilan masyarakat Kolonial Hindia Belanda yang sudah mantap mengikuti kepatutan Belanda itu. Sehingga pada waktu itu tidak sedikit kalangan menengah dan bangsawan Indonesia yang merasa terusik dengan gaya nyeleneh Tjipto, Soekarno atau Douwes Dekker dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum pribumi.  Tidak aneh apabila pemerintah segera mengganjar mereka atas dasar tuduhan pelanggaran asas rust en orde.

Selalu terdapat dua sisi pada mata uang. Selalu ada segi positif dan negatif dari suatu peradaban. Perlu diakui bahwa pasca kemerdekaan, masyarakat Indonesia berusaha mendobrak segala batasan perilaku yang selama ini diterapkan kepada mereka. Segala hal yang berbau Belanda berusaha dihilangkan termasuk formalitas ala Hollands Fatsoen. Namun disayangkan, beberapa hal positif yang terkandung dalam Fatsoen turut dihilangkan seperti tata perilaku, kedisiplinan, dan keteraturan. Sebaliknya, Sisi negatif Fatsoen seperti formalitas berlebihan yang diterapkan ketika menghadap pejabat malah dipertahankan. Akibatnya, ketika masyarakat mengalami degradasi moral seperti saat ini, kepercayaan mereka terhadap norma dan institusi menjadi hilang. Kehendak pribadi menjadi penguasa atas segalanya menghasilkan kekacauan di masyarakat. Lantas apakah fatsoen perlu diberlakukan lagi?

Jambu Semarang

Oleh : Arifin Surya Dwipa
Satu dari 60 jenis Syzygium (jambu-jambuan) dari tanah Jawa yang dicatat oleh Backer & Bakhuinzen dalam Flora of Java vol. 1 (1963), Syzygium samarangense (Blume) Merr. & L.M.Perry syn. Eugenia javanica Lam. atau jambu semarang (terkadang disebut juga jambu air). Tersebar di seluruh pulau Jawa dan hidup pada dataran rendah, umumnya dikultivasi sebagai tanaman buah, namun Backer dan Bakhuinzen menemukan dalam bahwa spesies ini juga tumbuh liar.
Sepintas memang mirip dengan jambu air (Syzygium aqueum (Burm. f) Alston), namun beberapa karakter yang dimiliki jambu semarang berbeda. Sebagai contoh, 1. pangkal daun Syzygium aqueum umumnya menjantung dan memeluk tangkai daun, sedangkan pada daun Syzygium semarangense bagian pangkalnya tidak memeluk tangkai daun. 2. Ukuran buah Syzygium semarangense lebih besar daripada ukuran buah Syzygium aqueum, sekitar 3,5-5,5 cm dengan bentuk seperti buah pir (pyriform) berwarna merah terang, hijau pucat, atau putih susu.

Jambu Mawar

Jambu Mawar

Oleh : Hani Septia Rahmi dibantu Arifin Surya Dwipa

Jambu Mawar atau jambu kraton adalah anggota suku jambu-jambuan atau Myrtaceae yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya di wilayah Malesia. Dinamai demikian karena buah jambu ini memiliki aroma wangi yang keras seperti mawar.

Untuk khasiat dan nama latinnya adalah Syzygium jambos (L.) Alston syn. Eugenia jambos L.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑