Month: August 2012

Misteri Mikrofoon dan Wanita ke-3

Oleh :M.Ryzki Wiryawan (@ryzkiwiryawan)

Siapapun pasti tidak asing dengan foto Bung Karno yang tengah membacakan proklamasi. Foto ini selalu dimuat pada setiap buku sejarah kemerdekaan dan tayangan TV yang membahas proklamasi. Foto tersebut begitu pentingnya karena menjadi bukti otentik dibacakannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namundi balik itu foto tersebut juga mengandung kisah-kisah menarik. Berikut adalah salah satu kisah seputar pembacaan proklamasi yang saya temukan dalam sebuah potongan artikel, yang tidak diketahui asal korannya. Hanya ada keterangan bahwa penulisnya bernama “Pak Diro”. Semoga keterangan dalam artikel ini bisa bermanfaat.

Seperti terlihat di dalam foto, pada saat itu hanya digunakan satu – zegge en sehryve – SATU mikrofon saja. Dan kaum wanita yang hadir saat itu hanya 3 – zegge en sehryve lagi: TIGA orang saja!

Pasti para pembaca telah pernah melihat gambar peristiwa bersejarah itu, namun tahukan saudara2 milik siapakah mikrofoon tersebut? Tentang 3 orang wanita, yang hadir pada pembacaan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu, pasti 2 di antaranya, pembaca telah mengetahuinya juga. Yaitu ibu Fatmawati dan Zus Tri (Dra. Ny. Tri Murti). Tetapi siapakah wanita yang ke-3 itu?

Satu-satunya mikrofoon

Pernah seorang bekas pejabat RI bercerita bahwa mikrofoon satu-satunya yang digunakan pada waktu Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah barang “curian dari Belanda”. Itu tidak betul! Mikrofoon tersebut adalah milik sdr. Gunawan dari “Radio Satrija”, yang bertempat tinggal dan berusaha di jalan Salemba Tengah 24, Jakarta.

Mikrofoon tersebut adalah hasil buatan sdr. Gunawan sendiri. Baik “corong”nya, maupun “stardar”nya. Baik “Vesterker”nya, maupun “band”nya, juga dibuat dari “zilverpapier”, selubung rokok. Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan keterampilan tangan seorang Indonesia, yang bernama Gunawan itu.

Pada tanggal 17 Agustus pagi-pagi benar, dua orang masing-masing berusia 35 tahun, berkendaraan sebuah mobil, datang untuk meminjam mikrofoon. Tidak diterangkan kepadanya untuk keperluan apa. Mereka itu adalah sdr. Wilopo dan Nyonoprawoto. Sdr. Wilopo waktu itu bekerja di Balai Kota sebagai pembatu pak Suwirjo. Oleh karena itu baik Sdr. Wilopo maupun Mas Njono tidak bisa memasang mikrofoon sendiri, maka sdr. Gunawan menyuruh seorang anggota keluarganya, seorang pemuda berusia 21 tahun yang juga cukup ahli  untuk ikut mereka.  Baru di dalam mobil itulah, Sdr. Sunarto demikianlah nama pemuda itu, diberi tahu, bahwa mikrofoon itu akan diperlukan guna Proklamasi Kemerdekaan.

Sdr. Sunarto inilah yang memasang Mikrofoon yang besejarah ini  di Gedung Pegangsaan Timur 56 pada tanggal 17 Agustus 1945 (ketika artikel ini ditulis, Sdr. Sunarto bekerja sebagai pengusaha dan tinggal di Bogor).

“Standar” didirikannya di ruang muka yang terbuka, dan “versterker” diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri ruang terbuka itu. Setelah selesai dipakai, siang itu juga mikrofoon diserahkan kembali oleh Sdr. Wilopo kepada Sdr. Gunawan.

Menurut keterangan Sdr. Sunarto, baik pada waktu dibawanya ke Pegangsaan Timur maupun pada waktu dibawanya kembali ke Salemba Tengah, Mikrofoon tersebut seolah-olah telah mendapat “salvo kehormatan”dari tentara Jepang berupa tembakan senapan. Masing-masing terdengar di muka RS UP dan di muka “Ika Daigaku” (Sekolah Kedokteran UI sekarang). Untung tidak sampai menyebabkan jatuhnya korban, dan barangkali memang tidak dengan “peluru tajam”.

Ternyata mikrofoon itu masih mempunyai peranan lebih lanjut karena bersamaan dengan pemilikinya, dibawa hijrah ke Solo pada permulaan tahun 1946. Sejak itu barang tersebut disimpan baik-baik oleh keluarga Gunawan. Hanya kadang-kadang saja ditunjukan kepada sabat-sahabatnya dan tidak pernah dipergunakan lagi. Pada akhir tahun 1949, memenuhi anjuran pemerintah RI, Keluarga Gunawan pun kembali lagi ke Jakarta. “Mikrofoon Bersejarah” itu dibawanya, “Versterker”nya telah rusak, dan ditinggal di Jogja. Berkali-kali barang yang mempunyai nilai sejarah itu telah ditawar orang untuk dibeli, tetapi Keluarga Gunawan selalu menolaknya. Di manakan benda bersejarah itu sekarang ini?

Suwirjo, sebagai pembawa acara…

Pada sekitar tahun 1960, mikrofoon beserta “stadar”nya tetapi tanpa “versterker” lagi itu, telah diminta oleh Sdr. Harjoto, waktu itu Sekjen Kementerian Penerangan, dengan perantaraan Sdr. Darmosugondo untuk diserahkan kepada Presiden, agar akhirnya disimpan di dalam Monas (Monumen Nasional).

Tetapi sejak itu Sdr. Harjoto tidak tahu lagi dimanakah mikrofoon itu berada. Yang mungkin masih dapat memberi keterangan adalah Sdr. Tukimin, pembantu pribadi Presiden Soekarno, Demikian jawab Sdr. Harjoto atas pertanyaan penulis.  Pada waktu itu Sdr. Gunawan beserta Istri telah menyatakan  sama sekali tidak berkeberatan, bahkan merasa gembira dan bangga, apabila “mikrofoon” tersebut dimasukkan dalam museum perjuangan kita. Harus diakui, bahwa di samping KERTAS DENGAN TEKS PROKLAMASI dan BENDERA PUSAKA, MIKROFOON inilah merupakan benda bersejarah yang pantas kita simpan sepanjang massa.

Mikrofoon Bersejarah yang misterius

Wanita yang ke-3

Pada waktu Kemerdekaan diproklamirkan di Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) No. 56, diantara lebih seribu orang yang hadir di tempat tersebut, hanya ada 3 orang wanita. Yang 2 orang, telah kita kenal, yaitu “Bu Fat” dan “Zus Tri”. Tetapi siapakah wanita yang ke-3 itu? Dia turut berdiri di barisan paling depan menghadap rumah Bung Karno. Dan tatkala beberapa saat kemudian Dr. Muwardi mengajak membentuk “Pasukan Berani Mati”, wanita yang usianya sekitar 35 tahun dan perpakaian sangat sederhana, turut mendaftarkan dirinya. Namanya penulis tidak ingat lagi.

Tetapi alamatnya yang dia berikan masih penulis ingat. Yaitu KARANGANYAR (Bagelen). Penulis telah melihat alamat itu dalam daftar “Pasukan Berani Mati”. Masih hidupkah ia sekarang ini ? (ketika tulisan ini ditulis), Entahlah!

Tetapi dialah wanita ke-3 yang dapat kita lihat dalam gambar-gambar Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

 

 

 

Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

15 Agustus 1945.

Foto tersebut adalah saat Sutan Syahrir ditemui para pemuda di Cirebon. Apa hubungan Syahrir dengan para pemuda Cirebon?.

Sebelum proklamasi Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus, di Cirebon telah diproklamirkan negara Indonesia yang merdeka. Alun-alun Kejaksan Cirebon menjadi saksi bahwa perjuangan kelompok Sutan Syahrir memiliki peran yang cukup besar.

Adalah dr.Soedarsono, seorang dokter kader dari Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Syahrir, yang mengumandangkan proklamasi negara Indonesia dua hari sebelum proklamasi yang dibacakan Ir.Soekarno di Pegangsaan Timur Jakarta.

Karena tidak adanya catatan resmi mengenai peristiwa ini, masih terdapat simpang siur dalam kronologis dan peran para tokoh. Sedikit buku yang menceritakan peristiwa ini, antara lain biografi Sutan Syahrir yang ditulis oleh Rudolf Mrazek, dan buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan yang ditulis oleh Hadidjojo Nitimihardjo.

Serunya lagi, dua buku ini mengisahkan dua versi yang berbeda. Mrazek menceritakan bahwa Syahrir menulis naskah proklamasi sepanjang 300 kata. Syahrir lebih lanjut berkata bahwa teks itu bukan berarti anti-Jepang atau anti-Belanda. ”Pada dasarnya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang dan rakyat Indonesia tidak mau diserahkan ke tangan pemerintahan kolonial lain,”.

Kisah ini didukung pernyataan Des Alwi, anak angkat Syahrir kepada Tempo. Menurut Des, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya. Penyusunan teks proklamasi ini, melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dikerjakan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus. “Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah”, ungkap Des Alwi.

Des hanya mengingat sebaris teks proklamasi versi kelompok gerakan bawah tanah: ”Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga”.

Sedangkan Maroeto Nitimihardjo bercerita bahwa ketika ia menemui Soedarsono, ia diberi tahu bahwa naskah itu bukanlah hasil karya Syahrir, melainkan murni hasil inisiatif Soedarsono.
Pelaksanaan proklamasi itu sendiri masih misterius adanya. Saya tidak menemukan foto-foto bukti yang mengabadikan peristiwa tersebut. Konon peristiwa itu dihadiri sekitar 150 orang, yang mayoritas merupakan anggota PSI dan Partai Nasional Indonesia Pendidikan yang dibentuk Moh. Hatta dan Syahrir.

Kini di Alun-alun Kejaksan terdapat tugu yang diharapkan dapat menjadi kenang-kenangan atas peristiwa tersebut.

Sumber :

Santosa, Alif. 2011. Alun-Alun Kejaksan Tempat Awal Proklamasi. Dimuat di Kabar Cirebon, 11 November 2011. Diakses via http://kabar-cirebon.com/kabarcirebon/berita-1752-alunalun-kejaksan-tempat-awal-proklamasi.html (15/8/2012).

Tim Buku Tempo. 2010. Sjahrir : Peran Besar Bung Kecil (Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa). Jakarta : Kelompok Penerbit Gramedia.

Hadidjojo. 2009. Ayahku Maroeto Nitimihardjo: mengungkap rahasia gerakan kemerdekaan. Kata Hasta Pusaka.

Mrazek, Rudolf. 1995. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. SEAP Cornel South East Asia program.

Foto : Koleksi Des Alwi, diambil dari Tim Buku Tempo. 2010. Sjahrir : Peran Besar Bung Kecil (Seri Buku TEMPO : Bapak Bangsa). Jakarta : Kelompok Penerbit Gramedia

 

 

 

Pramuka : Padvinders, Teosofi, dan Pandu.

Pada tanggal 14 Agustus kemarin, seluruh anggota Pramuka Indonesia, termasuk saya, merayakan hari ulang tahun gerakan Pramuka yang ke-52. Namun apabila kita menelusuri sejarah, sebenarnya gerakan Kepanduan / Pramuka telah lama ada sebelum itu.

Organisasi kepanduan dunia lahir pada tahun 1909 dan segera menyebar ke seluruh dunia sejak itu termasuk ke Indonesia. Adalah berkat jasa seorang Belanda bernama P.Joh. Smits pada tahun 1912, organisasi kepanduan “Indische Padvinderij” berdiri di Indonesia. Walau perkembangannya tidak terlalu cepat, pada tanggal 4 September 1917 mereka berhasil mendirikan markas utama di Weltevreden.

Menariknya, perkembangan kepanduan di Indonesia (lagi-lagi) tidak bisa dilepaskan dari peranan kaum Teosofi. Semboyan Padvinders “Karaktervorming! Broederschap! Lichamelijke ontwikkeling! (Pembangunan Karakter, Persaudaraan, dan pembanguan fisik) sangat sesuai dengan cita-cita kaum Teosofi. Sehingga tidak aneh apabila dalam organisasi ini, seorang anak pribumi bisa membaur bersama orang-orang Eropa (lihat foto). Suatu kemajuan pada zaman itu.

Kedekatan antara Kepanduan dengan Teosofi juga ditunjukan dari kehadiran Hinloopen Labberton (Suhu Agung Teosofi Indonesia) pada upacara pelantikan pengurus kepanduan Hindia Belanda pada tahun 1917 oleh istri Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Countess van Limburg Stirum – van Sminia. Selain itu, seorang anggota Gerakan Teosofi terkemuka, A. Meijroos memimpin gerakan Pramuka di Ardjoenaschool. Yang menarik lagi, ternyata markas gerakan Padvinderij di Bandung menempati markas Gerakan Teosofi Bandung (Bandung Loge) !

Nama Padvinders kemudian diubah menjadi “Pandu” oleh Haji Agus Salim, seorang mantan anggota Teosofi. Pada perkembangannya, konsep gerakan kepanduan ini akan diadopsi oleh organisasi-organisasi lain, yang kemudian membentuk Javanse Padvinders Organisatie (JPO), Taruna Kembang, dan Padvinders Muhammadyah (yang kemudian menjadi Hizbul Wathan). Baru pada tanggal 28 Desember 1945 seluruh organisasi itu bergabung di bawah naungan “Pandu Rakyat Indonesia”.

Keterangan foto : Gubernur Jenderal van Limburg Stirum dan Istri di tengah-tengah anggota kepanduan (Padvinderij) Bandung.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan (ryzkiwiryawan)

 

 

 

Kecupan : dari Times Square ke Pegangsaan

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

14 Agustus 1945 waktu Amerika Serikat atau 15 Agustus waktu Jepang adalah saat Alfred Eisenstaedt mengambil foto legendaris ini, yang biasa disebut V-J Day in Times Square. Foto ini menggambarkan ciuman seorang prajurit angkatan laut kepada seorang suster. Foto ini menjadi icon kegembiraan. Kegembiraan apakah itu?.

Beberapa jam sebelumnya, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dunia terjadi. Pemerintah Jepang mengumumkan di jaringan radio bahwa mereka akan menerima Deklarasi Postdam. Pengumuman tersebut dikonfirmasi, kali ini oleh Kaisar Hirohito. Pada pukul tujuh malam waktu Jepang, atau siang hari waktu Amerika, Presiden Harry S Truman mengumumkan V-J Day, Victory over Japan.

Jepang dengan menerima Postdam Declaration (kumpulan ultimatum dan tawaran yang dicanangkan Truman, Winston Churchill, dan Chiang Kai-Sek kepada Jepang agar menghentikan perlawanan) berarti sudah menyerah kepada sekutu. Sebelumnya Jepang menolak mentah-mentah ultimatum-ultimatum ini, yang berujung dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (tanggal 6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus).

Setelah peristiwa ini, peta kekuatan militer dunia berubah. Jepang kehilangan kekuatannya di politik dan militer dunia, sekaligus kehilangan jajahan-jajahannya. Hari-hari berikutnya di wilayah dudukan Jepang diwarnai dengan aksi bunuh diri para prajurit Jepang, setelah sebelumnya marak juga terjadi pembantaian para tawanan-tawanan perang asal negara-negara sekutu.

Kondisi vacuum of power menjadi kondisi politik yang dominan di wilayah-wilayah jajahan. Kondisi inilah yang akhirnya membuat para pemuda, baik kelompok Chairul Saleh maupun kelompok Sutan Syahrir, menekan Soekarno dan Moh.Hatta agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Yang akhirnya memicu pertentangan diantara golongan pergerakan Indonesia.

Sumber :
Ojong, P.K. 2001. Perang Pasifik. Jakarta : Penerbit Kompas (cetakan ke-5).
Hakim, Joy .1995. A History of Us: War, Peace and all that Jazz. New York: Oxford University Press

Pesta Topeng di Sea View Hotel

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

13 Agustus 1945. Tiga serangkai Soekarno, Moh.Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat, yang disertai oleh dokter Soeharto, dokter pribadi Soekarno, telah selesai mendapat “izin” dari Marsekal Hisaichi Terauchi selaku pemimpin tertinggi militer Jepang di Asia, untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia melalui PPKI.

Mereka masih belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun mulai curiga, Terauchi membuat keputusan tersebut secara mendadak.

Kecurigaan itu makin berkembang setelah mereka dibawa ke Saigon untuk kemudian terbang dengan pesawat Fighter Bomber bermesin ganda menuju Singapura. Bahkan saking curiganya, Soekarno sempat mengencingi seluruh penumpang pesawat.

Tiba di Singapura, mereka dijemput dan diantarkan menuju Sea View Hotel. Di hotel, mereka dijamu dengan pesta yang sangat meriah oleh militer Jepang, yang dikomandoi Letnan Kolonel Nomura. Pesta berjalan sangat meriah, namun terlalu meriah sehingga makin mengapungkan perasaan curiga Hatta.

Nomura dalam obrolan bersama Hatta mengungkapkan bahwa Rusia sudah memulai perang terhadap Jepang. Namun ia berkata bahwa pasukan Jepang akan mampu menahan serang tersebut. Hatta menangkap kesan bahwa Jepang sedang menutupi sesuatu dari mereka. Hal tersebut ia yakinkan pada Soekarno, yang ternyata juga merasakan hal yang sama.

Akhirnya Soekarno dan Hatta memutuskan untuk bergerak cepat. Soekarno merencanakan akan menginjak gas untuk mempercepat kerja PPKI. Kenapa? Karena Soekarno dan Hatta merasa bahwa Jepang sudah makin terpuruk.

Cerita ini adalah cerita versi autobiografi dr.Soeharto yang mengalami sendiri peristiwa tersebut. Versi yang lebih populer adalah Soekarno, Hatta dan Radjiman seakan tidak mengetahui bahwa Jepang telah terpuruk, dan baru tahu ketika gerombolan Sutan Syahrir memberitahu kondisi tersebut pada tanggal 14 Agustus, dimana Jepang sudah menyerah.

Jika Soekarno dan Hatta memang sudah merasa bahwa Jepang terpuruk seperti versi dr.Soeharto, agak menarik juga untuk mempertanyakan mengapa pada saat-saat menjelang proklamasi Soekarno menemui petinggi militer Jepang untuk menanyakan kembali kabar tersebut dan seakan tidak memprediksi kekalahan Jepang?.

The truth is out there.

Sumber:

1. Suganda, Her. 2009. Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Jakarta : Penerbit Kompas
2. Hanafi, A.M. 1997., Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
3. Soeharto,dr. 1982. Saksi Sejarah : Mengikuti Perjuangan Dwitunggal. Jakarta : Gunung Agung

Marsekal Terauchi si Penakluk Pasifik

Oleh : R. Indra Pratama (@omindrapratama)

12 Agustus 1945. Soekarno, Moh.Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat telah menjalani hari ketiga di Da Lat, ibukota Negara Federasi Indochina. Da Lat saat itu berada dibawah kekuasaan Jepang, seperti halnya mayoritas kota lain di Asia Tenggara.

Mereka bertiga berada di Da Lat dalam rangka memenuhi panggilan dari “saudara tua”, yaitu Marsekal Hisaichi Terauchi. Terauchi, yang saat itu tengah berjuang melawan stroke sekaligus menutupi kehancuran Jepang dari sekutu, menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, dan proklamasi dapat dilakukan secepat mungkin, tergantung kerja dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun ia pribadi mengusulkan tanggal 24 Agustus sebagai tanggal proklamasi.

Bagi Terauchi, langkah tersebut merupakan langkah penyelamatan terakhir kedaulatan Jepang di Asia Tenggara dan Pasifik. Ketiga tamunya memang belum mengetahui bahwa Hiroshima dan Nagasaki telah lebur oleh bom atom yang dijatuhkan tanggal 6 dan 9 bulan yang sama.

Ending dari penggalan cerita itu memang sudah kita ketahui bersama. Tapi siapa itu Hisaichi Terauchi memang belum menjadi pengetahuan umum.

Hisaichi Terauchi, lahir 8 Agustus 1879, merupakan perwira senior Jepang di Perang Dunia II. Ia merupakan putra dari Masatake Terauchi, juga seorang perwira tangguh, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang ke 18.

Pada usia 21 tahun Terauchi junior lulus dari akademi militer Jepang, dan ia langsung terlibat di Perang Russo-Japan. Karirnya makin melesat, tahun 1935 ia diangkat menjadi jenderal, bahkan sempat diangkat menjadi menteri peperangan, sebelum konflik dengan para politisi membuatnya kembali ke medan perang.

Tahun 1941 Terauchi ditugaskan dalam misi penaklukkan Asia Selatan dan Pasifik. Dalam Perang Pasifik, Terauchi, bersama Jenderal Yamamoto Isoroku, menjadi salah satu aktor utama keberhasilan Jepang di paruh pertama perang.

Terauchi mendirikan markas utamanya di Singapura, sebelum pada 1933 berpindah ke Manila. Ketika keadaan berbalik dan sekutu dibawah Amerika Serikat mulai menguasai Pasifik dan kemudian mengincar Filipina, Terauchi pun terpaksa mundur ke Saigon. Kekalahan demi kekalahan membuat Terauchi tertekan. Hingga saat ia mendengar berita lepasnya Burma dari tangan Jepang pada 10 Mei 1945, ia tiba-tiba terserang stroke.

Ditengah keadaan tertekan itulah ia mengambil langkah-langkah untuk mencoba mengakali kondisi. Salah satunya adalah dengan menjanjikan kemerdekaan pada daerah-daerah taklukan, seperti yang ia lakukan pada Soekarno, Hatta, dan Radjiman.

12 September 1945, setelah lepasnya Indonesia dan Singapura, Jepang diwakili oleh Jenderal Itagaki Seishiro menyerah secara resmi di Singapura. Terauchi sendiri menyerah secara personal kepada Lord Mountbatten dari Inggris di Saigon tanggal 30 November 1945.

Terauchi bersama tawanan lainnya dibawa untuk ditahan di Malaya. Tanggal 12 Juni 1946, Terauchi terserang stroke untuk kedua kalinya dan meninggal di usia 66 tahun. Jenazah Terauchi dimakamkan di Japanese Cemetery Park di Singapura.

Cerita menariknya adalah saat menyerah pada Lord Mountbatten, Terauchi menyerahkan senjata pusaka milik keluarganya, yaitu sebuah Wakizashi, pedang pendek. Wakizashi yang dibuat pada tahun 1431 oleh leluhur keluarga Terauchi ini hingga kini tersimpan di Windsor Castle, Inggris.

Sumber :
Ojong, PK. 2009. Perang Pasifik. Jakarta : Penerbit Kompas.
Hayashi, Saburo. 1959. Kogun: The Japanese Army in the Pacific War. Marine Corps.
Dupuy, Trevor N. 1992. The Harper Encyclopedia of Military Biography. New York: HarperCollins Publishers Inc.

Vredes Engel van Wilhelmina Park

Apa yang dilakukan orang-orang dalam gambar yang buram ini?

…Mereka adalah masyarakat Jakarta yang sedang merubuhkan warisan kolonial, patung “vredes engel” atau dewi perdamaian, yang didirikan Belanda untuk mengenang terjadinya perang Aceh. Perubuhan patung ini mereka lakukan pada tanggal 15 Juni 1959 dalam rangka penyiapan lahan yang saat itu bernama Wilhelmina Park sebagai lokasi dibangunnya Masjid Istiqlal.

Tidak mudah tentunya merubuhkan patung berbahan perunggu sebesar 880 Kg itu,. Di bawah patung itu terdapat tulisan “Cie de Bronzes – Bruxelles 1882, Baron L. Hove. Namun kegiatan itu harus dilakukan karena pembangunan Masjid Istiqlal yang telah dimulai sejak tanggal 3 Oktober 1958, menuntut pembersihan lahan dari segala sisa-sisa kolonial. Untuk menghemat dana, saat itu memang digunakan sistem kerja bakti, panitia pembangunan Masjid sengaja mengundang seluruh Instansi Pemerintah, Swasta, Pendidikan dan lain-lain untuk mengirimkan sukarelawan kerja bakti.

Yang unik, Presiden Soekarno saat itu memilih rekan sejawatnya, Arsitek F. Silaban, yang notabene seorang Kristiani untuk membuat desain arsitektur Bangunan Masjid Istiqlal. Tampaknya Soekarno memang menganut slogan “Serahkan pada ahlinya”.. hehe…

Selain merubuhkan patung Dewi Perdamaian, para pekerja juga sempat menemukan sebuah ruangan dan sebuah tugu buatan Belanda yang berada bawah tanpa keterangan lebih lanjut. Ruangan ini tampaknya telah ditimbun habis tak bersisa…

Oh ya, Adakah yang apakah patung Dewi Perdamaian itu masih ada sampai sekarang? Kalau ada, tersimpan di mana ya?.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan (@ryzkiwiryawan)

 

 

 

Wisata Sejarah Jalur Kedokteran Bandung

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Instituut Pasteur (Bio Farma)

 

Ditemani udara musim gugur yang mengundang kantuk, belasan anak muda pegiat Komunitas Aleut berkumpul di taman dokter Otten untuk menanti dimulainya perjalanan wisata sejarah yang rutin diadakan setiap minggunya.  Taman itu sengaja dijadikan starting point bagi perjalanan Aleut dengan tema “Kawasan Jalur Kedokteran”. Tema yang sangat menarik, karena mereka akan menelusuri asal-usul nama-nama jalan yang diambil dari nama-nama dokter terkemuka dalam sejarah Nasional.

 

Tentu saja dengan informasi terbatas yang dimiliki, tidak seluruh keterangan perihal  nama-nama dokter tersebut bisa dijelaskan dalam perjalanan ini, apalagi dengan adanya perubahan nama-nama jalan yang dilakukan pemerintah di tahun 50’an. Saat itu beberapa nama jalan yang diambil dari nama dokter-dokter Belanda diganti dokter Indonesia. Contohnya  :

 

Van der Hoopweg  = Jl. Abdulrachman Saleh

Tirionweg = Jl. Dokter Abdul Rivai

Vosmaerweg = Jl. Dokter Gunawan

Rotgansweg = Jl Dokter  Otten

Rotgansplein = Taman Dr. Otten

Helmersweg = Jl. Dokter Radjiman

Tesselschadeweg =  Jl. Dokter Rubini

Potgieterweg = Jl. Dokter Rum

Lembangweg = Jl. Setiabudhi

Prof. Grijnsweg = Jl. Dokter Sukimin

P.C. Hooftweg = Jl. Dokter Susilo

Dokter Borgerweg = Jalan Dokter Sutomo

Roemer Visscherweg = Jl. Dokter Tjipto

Busken Huetweg = Jl. Dokter Wahidin

 

Louis Pasteur

 

Sedangkan nama jalan yang tidak berubah adalah Jalan Pasteur (Pasteurweg), Jalan Dokter Saleh (Dokter Salehweg), Jl. Westhoff (Westhoffweg), Jl. Eijkman (Eijkmanweg) dan  Jalan  Dokter  Slamet (Dokter Slametweg).

 

Tampak para  pegiat Komunitas Aleut yang sudah belasan hingga puluhan tahun tinggal di Bandung masih merasa asing dengan nama-nama jalan yang diambil dari nama dokter  asli Indonesia, apalagi kalau nama jalan tersebut masih menggunakan nama dokter Belanda.

 

Bisa dipastikan bahwa sebagian besar Dokter Indonesia yang  namanya diabadikan menjadi nama jalan tersebut merupakan tokoh-tokoh Dokter yang berperan dalam perjuangan nasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui penelusuran biografi mereka, mau tidak mau kita akan bersentuhan dengan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonialisme yang diisi oleh para dokter muda lulusan STOVIA (Sekolah kedokteran jaman Hindia Belanda).

 

Pada mulanya, masalah kesehatan merupakan masalah utama yang menjadi momok Belanda dalam menguasai Indonesia. Iklim yang tidak bersahabat, lingkungan yang kotor, gaya hidup masyarakat yang masih “jorok” penyebab tingkat kematian tinggi, membuat aktivitas ekonomi yang menjadi gantungan para Kolonialis terganggu.

 

Nyuci gelas pake air comberan… sangat higienis..

 

Musuh terbesar saat itu adalah penyakit Pest dan Malaria. Selain merugikan dari sisi ekonomi, Tidak terhitung warga pribumi maupun Belanda yang menjadi korban kedua penyakit tersebut. Contohnya, Pada tahun 1905, wabah pest tercatat terjadi di Sumatera Timur, diakibatkan tikus-tikus yang ikut serta dari Rangoon. Pada tahun 1911, penyakit serupa berjangkit di Malang. Pada tahun itu sekitar 2000 orang meninggal akibatnya. Untuk mengatasinya, pemerintah membakar satu setengah juta lumbung dan gubuk-gubuk untuk membasmi tikus. Untuk mendirikan yang baru, pemerintah harus mengeluarkan kocek sebesar 30 juta rupiah. Penduduk mulai disuntik dan sesudah 25 tahun, bahaya wabah baru bisa dihindari.

 

Dr. Sutomo dan Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah dua dari tokoh nasional yang ikut memberantas wabah Pest ini. Dr. Tjipto termasuk sebagai orang yang pertama yang menawarkan tenaganya untuk menyembuhkan wabah pest di Malang ketika dokter-dokter Eropa banyak yang menolak untuk dikirim ke daerah tersebut. Menurut Balfas dalam buku biografi dr. Tjipto, dikisahkan bahwa “…Tjipto bekerja dimana pest mengamuk paling hebat, sedikit di luar kota. Dia bekerja tiada kenal letih dan gentar, masuk kampung dan pondok. Kawan-kawannya banyak yang memakai topeng (masker) dimukanya, sarung tangan dan seluruh badannya terbalut untuk mencegah penularan, tetapi Tjipto tidak memakai keistimewaan apa-apa, dengan bulat-bulat ia pasrahkan dirinya kepada nasib…”

 

dr. Tjipto

 

Ada sebuah kisah menarik, Pada suatu ketika Tjipto membawa pulang seorang bayi yang diambilnya dari sebuah rumah yang harus dibakar, sebab penghuninya sudah mati semua, kecuali seorang bayi yang menangis. Untuk emnjadikan kenangan pada peristiwa ini, bayi itu dinamainya PES-JATI. Pes-jati besar di tangan dr. Tjipto dan mengikuti dia sampai akhir hayatnya.

 

Berkat jasanya dalam penanggulangan wabah Pest, pemerintah Belanda menganugrahkan bintang Orde van Oranje kepada Tjipto pada tahun 1912. Namun ketika keinginannya untuk ikut mengobati wabah pest di Solo ditolak pemerintah, bintang penghormatan yang biasanya ia simpan di lemarinya dikeluarkan dan dipasangnya di bagian pantat celana Tjipto. Dengan bintang Orde van Oranje di  pantat ini, ia pergi ke Batavia untuk menyerahkan kembali bintang ini kepada pemerintah pusat.

 

Malaria telah menjadi ancaman selama beratus tahun kedudukan Belanda di Nusantara. Namun berkat penemuan Kina pada abad-18, penyakit ini mulai bisa dihindari. Apalagi setelah tanaman kina berhasil dibudidayakan di Nusantara oleh Junghuhn. Pada tahun 1896, Bandung berhasil menjadi pemasok utama kebutuhan kina dunia. Guna mendapatkan keuntungan lebih tinggi, alih-alih hanya mengekspor bahan mentah, para pengusaha kina di Bandung akhirnya memutuskan untuk mendirikan pengolahan kina sendiri. Usaha itu terwujud dalam pendirian  Bandoeng Kininefabriek  tahun 1896 dengan modal 700,000 fl.. Pabrik ini bisa memproduksi kina hingga sekitar satu juta ons setiap tahunnya, dengan kualitas terbaik di dunia.

 

dr.Eijkman

 

Penyakit lain yang menjadi momok adalah Beri-beri. Setiap tahun ada ribuan orang yang menjadi korban dari penyakit ini. Prof. Dr. Eijkman akhirnya menemukan penyebab Beri-beri, yaitu proses penggilingan beras yang seringkali hingga menghabiskan kulit ari beras (zilvervlies). Orang-orang tidak lantas percaya hingga pada tahun 1911 dikenalah istilah “Vitamin”. Untuk penemuannya itu, dr. Eijkman dianurahkan hadiah Nobel pada tahun 1929.

 

Usaha Belanda untuk menghasilkan dokter di kalangan pribumi sebenarnya sudah dimulai dari tahun 1851 ketika Belanda membuat sekolah untuk mendidik dokter Jawa. Tahun 1927 sekolah tersebut diubah menjadi sekolah tabib tinggi (STOVIA). Diharapkan sekolah tersebut bisa memenuhi kebutuhan dokter di Nusantara. Selain itu dibangunlah pula rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Di Bandung turut dibangun Gemeentelijk Juliana Zuikenhuis (RSHS) tahun 1917, Labotarium kesehatan (Instituut Pasteur), rumah sakit untuk orang berpenyakit mata (Cicendo), Pabrik Obat-obatan (Kinine Fabriek) dan Sanatorium. Seluruh fasilitas kesehatan tersebut, kecuali sanatorium, ditempatkan dalam suatu kawasan khusus di Bandung, yang dilalui perjalanan komunitas Aleut sore tadi.

 

Ahhhh… sebenarnya masih banyak yang bisa diceritakan, tapi siksaan kantuk dan asmara yang tak tertahan menghalangi saya untuk menulis lebih lanjut…  

 

 

 

 

Referensi :

-, 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976. Fakultas Kedokteran UI – 1976

M. Balfas, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo Demokrat Sejati, Djambatan – 1952

Frater Amator, Sedjarah Indonesia, W. Versluys Amsterdam – 1952

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia, Kementrian P dan K –  1951

D P. Pverelli, Beknopt Leerboek der Schoolhygiene, J.B. Wolters Groningen – Batavia – 1933

-, Petundjuk Nama Djalan Kota Bandung berikut peta, Visser Bandung.

–>

 

Juliana Zuikenhuis (RSHS)

 

Gaya hidup tidak sehat..

 

 

 

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑