Month: April 2012

Bandoeng Voetbal Bond

Sepakbola sejak dahulu dikenal sebagai salah satu cabang olahraga paling populer. Sejarah mencatat bahwa rintisan organisasi olahraga di Bandung telah dimulai sejak pendirian Asosiasi Olahraga “Uni”. Kegiatan olahraga sepakbola sendiri awalnya dilakukan di Pieterspark (taman balai kota sekarang) dan sebidang lahan di Jalan Jawa yang kini ditempati gedung Bala Keselamatan.

Kapan tepatnya organisasi sepakbola di Bandung didirikan agak sulit untuk ditentukan, namun tampaknya organisasi olahraga tertua, UNI dan SIDOLIG yang diketahui didirikan tahun 1913 bisa menjadi acuan. Kapan mulanya organisasi perserikatan sepakbola didirikan di Bandung juga agak sulit ditentukan, namun peraturan kota pertama yang mengatur soal itu disetujui pada sidang tanggal 1 Februari 1914.

Bandung Voetball Bond (B.V.B.) kemudian diakui berdiri secara hukum pada tahun 1914. B.V.B. turut merintis pembentukan Asosiasi Sepakbola di Hindia Belanda (NIVB). Pada tahun 1918 mereka atas inisiatif sendiri mengadakan kongres di Hotel Preanger. Namun atas oposisi dari klub lainnya, Asosiasi Sepakbola Hindia Belanda baru bisa berdiri setahun sesudahnya di Batavia.

B.V.B. berinisiatif mengadakan Liga Sepakbola Militer yang sempat mengalami kesuksesan. Namun akibat kekurangan dana, liga sepakbola militer ini dihentikan tahun 1930.

Pada tahun 1930, BVB telah mengafiliasi 7 perkumpulan sepakbola, dengan partisipasi 24 team yang terlibat di berbagai pertandingan. Jumlah anggota BVB sendiri pada tahun 1930 terdiri dari 540 orang Eropa, 131 Pribumi, 57 orang China dan 1 orang Timur Jauh. Jumlah ini merupakan penurunan karena pada tahun 1925, organisasi ini pernah mencatat keanggotaan sebanyak 1100 orang.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Ketawang Puspawarna : Karya yang Mengangkasa

Oleh : Indra Pratama

Kami mengirimkan pesan ini kepada seluruh alam semesta… Yang terdiri dari 200 milyar bintang di Galaksi Bima Sakti, beberapa -mungkin banyak- di antaranya, mungkin mempunyai planet yang didiami oleh peradaban yang bisa melakukan perjalanan ke luar angkasa. Bila salah satu diantaranya bisa bertemu dengan Voyager dan mampu mengerti isi dari rekaman ini, inilah pesan dari kami: Kami semua berusaha untuk mempertahankan keberadaan kami, sehingga kami bisa hidup bersama-sama dengan kalian. Kami harap suatu hari nanti, kami bisa menyelesaikan permasalahan yang kami hadapi, untuk ikut bergabung dalam sebuah komunitas Peradaban Galaksi. Piringan emas ini mewakili harapan, kebulatan tekad, serta niatan baik kami dalam alam semesta yang luas dan amat menakjubkan ini.

Kutipan pidato Jimmy Carter tersebut mungkin merupakan salah satu pidato yang paling bersejarah dalam konteks harapan, imaji, dan keinginan liar manusia untuk bertemu, atau bahkan sekedar berinteraksi, dengan sahabat dari planet lain. Pidato tersebut masuk dalam Voyager Golden Records, rekaman phonograph yang dikirim ke angkasa luar bersama dengan wahana luar angkasa Voyager I yang diluncurkan pada thun 1977. Satelit Voyager adalah sebuah wahana luar angkasa tanpa awak yang diluncurkan amerika serikat tahun 1977 dengan beberapa tujuan yaitu :

1. meneliti luar angkasa lebih dalam dan luar angkasa yang tidak dapat dilihat oleh mata.

2. mencari keberadaan planet yang dapat dihuni

3. mencari planet yang berpenghuni.

Digerakkan dengan tenaga nuklir, Voyager diharapkan mampu mengirim data ke bumi sampai tahun 2025 ( 48 tahun setelah diluncurkan) sebelum pasokan listriknya habis.

Rekaman tersebut ditempatkan pada Voyager I dengan misi mustahil, sebagai pembawa pesan dari bumi kepada kemungkinan kehidupan di luar bumi. Dari maksud itu, Voyager Golden Records berperan sebagai profil audio yang dianggap mewakili bumi. Konten rekaman itu selain pidato dari Jimmy Carter, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, berisi pula pidato dari Sekjen Persatuan Bangsa-Bangsa saat itu Kurt Waldheim, kalimat salam sapaan dalam 55 bahasa, suara-suara alam, seperti suara ombak, angin, petir, serta suara-suara binatang, termasuk kicauan burung dan suara dari ikan paus, serta 90 menit berisi musik-musik yang dianggap mewakili bumi, dari berbagai budaya.

Nusantara, yang memang memiliki tempat khusus dalam khasanah musik tradisional, menempatkan satu komposisi sebagai duta Indonesia di mata semesta, yaitu komposisi Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura.

Ketawang Puspawarna

Teks dan melodi dari Ketawang Puspawarna Laras Slendro Pathet Manyura merupakan hasil karya dari Pangeran Mangkunegara IV, yang berkuasa di Mangkunegaran era 1853-1881. Ketawang Puspawarna ini biasanya dibunyikan sebagai tanda kedatangan pangeran maupun untuk mengiringi tarian. Gendhing ini memiliki lirik mengenai berbagai jenis bunga yang melambangkan beragam suasana, rasa, atau nuansa.

Puspawarna merupakan salah satu komposisi gamelan dengan jenis kendhangan (ritme) Ketawang yang dapat dilagukan dalam laras slendro maupun pelog. Movement yang dipakai adalah movement Pathet Manyura, yang biasa dipakai pada bagian happy ending dari sebuah pertunjukkan wayang, mewakili mood puas dan kegemilangan.  Ketawang Puspawarna terdiri dari tujuh “cakepan” (bait) “gerongan” (lirik lagu). Biasanya, komposisi gending Jawa pada umumnya membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk memainkannya. Sedangkan, Ketawang Puspawarna sangat berbeda karena hanya membutuhkan waktu lima menit untuk melantunkan setiap cakepan gerongan.

Versi dari komposisi ini yang mendapat kehormatan tersebut dibawakan oleh gamelan Keraton Pakualaman, yang diaransir ulang oleh pemimpinnya, yaitu Kanjeng Pangeran Haryo Notoprodjo, yang lebih dikenal dengan nama Tjokrowasito, atau Wasitodipuro, yang dikenal sebagai salah satu Empu Karawitan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Proses seleksi untuk bisa masuk rekaman Voyager tentunya tidak sembarangan. NASA saat itu membentuk sebuah komite khusus untuk masalah seleksi rekaman-rekaman yang akan masuk. NASA menunjuk astronom Dr. Carl Sagan dari Universitas Cornell, sebagai pemimpin komite. Nama Carl Sagan dikenal luas di dunia non astronomi sebagai penulis novel Contact, yang kemudian dilayarlebarkan dengan bintang film Jodie Foster. Sagan dan timnya menyeleksi 115 suara alami yang dianggap mewakili suasana bumi: angin, ombak, kilat, burung, ikan paus, dan suara binatang lainnya. Ia juga menghimpun ucapan salam dari 55 bahasa yang dipergunakan makhluk bumi. Himpunan itu diawali bahasa Akkadian, yang digunakan bangsa Sumeria 6.000 tahun lalu, dan diakhiri dengan Wu, dialek modern Cina kini.

Tim Sagan juga menyeleksi bunyi-bunyian musik yang ada di bumi, musik berdurasi 90 menit yang meliputi klasik, etnis, dan modern. Yang mengusulkan agar Ketawang Puspawarna kepada Sagan adalah etnomusikolog dari Wesleyan University dan Universitas San Diego, Profesor Robert E. Brown. Brown memiliki rekaman live Ketawang Puspawarna yang dimainkan gamelan Pakualaman pimpinan Tjokrowasito pada tahun 1971 di Pakualaman.

Tjokrowasito

Tjokrowasito sendiri lahir pada 17 Maret 1909 di Kompleks Pakualaman. Ia  dikenal sebagai putra dari R.W. Padmowinangun, pemimpin gamelan keraton.

Lingkungan Pakualaman sebagai keraton yang menaruh perhatian sangat tinggi kepada bidang pendidikan (baik tradisional maupun barat) , sastra dan kesenian memiliki andil besar pada perkembangan Tjokrowasito. Tjokrowasito memiliki kebebasan untuk terlibat di beberapa kelompok gamelan terkenal sebelum akhirnya mengambil alih jabatan pemimpin gamelan keraton Pakualaman dari ayah angkatnya pada 1962.

Tjokrowasito sebelumnya pernah terlibat di MAVRO (Mataramsche Vereeniging Radio Omroep) mulai tahun 1934 sebagai music director untuk segmen gamelan,sampai kemudian bergabung di  Radio Hosokyoku sejak 1942 sampai 1945 selama pendudukan Jepang, and RRI Yogyakarta setelah kemerdekaan. Di masa terakhir inilah kiprahnya makin luas dan berkualitas. Ia dipercaya mengajar karawitan di beberapa negara sejak 1953, kemudian mengajar juga di Konservatori Tari Indonesia and Akademi Seni Tari Indonesia. Lalu mendirikan Pusat Olah Vokal Wasitodipuro.

Tjokrowasito juga merupakan salah satu penggagas awal bentuk kesenian Sendratari. Bersama koreografer Bagong Kussudiarjo di dekade 1960-an, ia pertama kali mementaskan Sendratari Ramayana di Prambanan, yang kini sudah menjadi salah satu trademark wisata kesenian Indonesia.

Tahun 1971 ia pindah ke Valencia, Amerika Serikat untuk mengajar di California Institute for the Arts. Ia juga menjadi dosen tidak tetap untuk beberapa kmpus ternama negeri Paman Sam, seperti University of California, Berkeley, dan San Jose University. Pada usia lanjut, tahun 1992 ia pulang ke Indonesia, dan menciptakan ruang kesenian yang aktif di kediamannya di Jogjakarta. Hingga wafat tahun 2007.

Selain komposisinya yang mengangkasa, ternyata Tjokrowasito juga menyusul mengangkasa. Lou Harrison, komponis terkemuka Amerika, mengusulkan agar nama Tjokrowasito menjadi nama salah satu bintang di angkasa. Harrison, memang dekat dengan Tjokrowasito. Mereka berkenalan tahun  1975 di Center of World Music di Berkeley. Harrison belajar pada Tjokrowasito dan menghasilkan beberapa karya yang bereksperimen dengan konsep, sistem gamelan, atau struktur tembang-tembang Jawa seperti Concerto in Slendro (1961), La Karo Sutro (1972), dan Main Bersama-sama (1978).

Pada 12 April 1983, sertifikat internasional Star Registry diberikan kepada Tjokrowasito. Letak persisnya di Andromeda Ra 23 h 35 mm 54 sd 43× 48×. Bintang itu dinamai Wasitodiningrat (nama saat Tjokrowasito dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Pakualaman. Nama bintang baru itu kini tercatat di Library of Congress, Amerika Serikat.

Tahun 2009 Voyager I diketahui telah mencapai jarak 16,5 milyar kilometer dari matahari, sudah jauh menginggalkan sistem tata surya kita,  dan terus akan melanglangbuana dengan kecepatan rata-rata 61.000 kilometer/jam. Kita tidak pernah tahu apakah Voyager I beserta Ketawang Puspawarna akan ditemukan dan dikenang seluruh jagat, ataukah hanya akan menjadi sampah antariksa.

Tetapi NASA, Voyager, Golden Records, Tjokrowasito dan Ketawang Puspawarna setidaknya telah jauh melangkah dibanding kebanyakan kita. Kita bahkan tidak berani bermimpi, ketika tidak ada orang-orang Robert Brown, apakah Ketawang Puspawarna, serta banyak karya besar musik tradisional kita akan dikenang, ataukah hanya teronggok menjadi sampah.

Sumber :

  •   Arcana, Putu Fajar.2005.  Brown Pilih “Ketawang Puspawarna”. Kompas Minggu, 21 Agustus 2005
  •   Brown, Robert E. 2003.  Notes to Java: Court Gamelan. Reissued edition. New York: Nonesuch.
  •   I N. Wenten. 1996.The Creative World of Ki Wasitodipuro: the Life and Work of a Javanese Gamelan Composer. (Dissertation).
  •   NASA. What is the Golden Records?. Diakses via (http://voyager.jpl.nasa.gov/spacecraft/goldenrec.html) tanggal 9 April 2012.
  •   Sorrell, Neil. 1990.  A Guide to the Gamelan. London: Faber and Faber. Hlm 68.
  •   Sutton, R.Anderson. “Wasitodiningrat [Tjokrowasito, Wasitodipuro, Wasitolodoro], Kanjeng Radèn Tumenggung      [Ki]”, Grove Music Online, ed. L. Macy. Diakses via (http://www.oxfordmusiconline.com/subscriber/article/grove/music/48809?q=wasitodipuro&search=quick&pos=1&_start=1#firsthit). Tanggal 9 April 2012.
  • Suyono,Seno Joko and Idayanie, Lucia. 2004. Puspawarna di Kehampaan Kosmis. Dimuat di Tempo Online tanggal 26 Juli 2004. Diakses via (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/26/LYR/mbm.20040726.LYR94078.id.html) tanggal 9 April 2012.

Laskar Api

Oleh : Mira Rachmawatie

Bandung, 23 maret 1946

Suasana langit  sore Parijs van Java berwarna merah marun, semburat lembayung terlukis. Saat kepala menengadah keatas maka terpaksa mata memicing untuk menghindari terpaan warna sang langit. Jam 17.00 mungkin atau bahkan menuju magrib, suasana Bandung  tampak mencekam.

“Rencana kita apakah sudah matang??” sang kolonel  berbicara, dengan pandangan yang lurus ke arah meja yang ada di depan nya

“Siap kolonel!!!” sahut sang ajudan

“evakuasi rakyat, segera!! Segenap raga dan jiwa tidak akan pernah rela jika tanah ini kembali dijajah!!” teriak sang kolonel

“merdeka!!!!” teriak lantang para pembawa obor.

 

 

Bandung, 23 maret 1946

Pukul : 23.00

Derap langkah para laskar terdengar, degup jantung mereka pun serasa akan menggoncangkan Tanah Parahyangan ini.

Penentuan titik – titik api sudah dimulai. Para pejuang api mulai mensisir warga dan mendata rumah siapa saja yang rela menjadi korban.

Setiap pintu mereka datangi, tak hanya disambangi, tetapi mereka kobarkan api yang sangat besar pada setiap penghuni rumah yang mereka kunjungi.

“bung, saya dengan sukarela membakar semua yang saya punya, termasuk jantung saya demi perjuangan tatar Parahyangan” sahut salah seorang pemuda kepada sekumpulan laskar api

“baik bung, mari bergabung, hanya pemuda seperti anda yang mampu menjadi kan tatar Parahyangan ini menjadi panas dan membara” sang empu laskar menyambut dengan mata yang berbinar.

 

 

Bandung, 24 maret  1946

Pkl : 05.00

Sekelompok pemuda, berlari menuju pusat kota Parijs van Java. Derap derap langkah mereka terdengar, nafas yang terengah-engah pun menjadi  pengiring derap langkah mereka.

Demi tatar Parahyangan, demi tanah kelahiran mereka, berkobaran api di kepalan tangan mereka.

Tinjuan dari kepalan tangan ke langit yang kosong menjadi sangat berarti bagi sekelompok pemuda ini. Laskar api, suara suara menggelegar dari sang empu bagiakan minyak tanah yang terus disirami kepada jiwa mereka yang sedang membara.

Sekarang hanya teriakan teriaknn heroik yang sangat membahana terdengar.

“Merdeka!!!merdeka!!!merdeka!!!” suara lantang dari laskar api

 

 

Bandung, 24 maret 1946

Pkl: 06.00

Sirene sudah mulai menghiung, pertanda sudah dimulai

“ayo!!! Kita mulai, jangan ragu bung!! Nasib tatar ini ada dikepalan tangan kita semua, MERDEKA!!!!!” Gelegar sang empu laskar, membuat kobaran sang laskar api semakin berkibar.

DUARRRR!!!!…

DUARRRRRR!!!!

DUARRRRR!!!

Suara bom yang dilemparkan sudah terdengar. Bom bom tersebut serasa lega dengan mengeluarkan suara suara yang menggelegar. Bandung semakin panas, semakin membara.

Semua titik mereka lumat tanpa sisa. rumah rakyat tampak lezat dilahap oleh si jago merah.

Bandung terbakar. Bandung membara.

Sang koloni kewalahan.

Laskar api berlari, membawa si jago merah dikepalan tangan mereka.

MERDEKA!!!!MERDEKA!!!

 

Bandung. 1 april 2012

Pkl 08.00

Segerombolan pemuda dan pemudi berada di depan gedung Bank Jabar Banten. Mengerumuni seonggok semen yang kira-kira 50-60cm tinggi nya. Stilasi, itu yang mereka sebut-sebut. Padahal hanya seonggok semen berbentuk bangun ruang segitiga dilengkap plat besi di setiap sisi nya.

Janganlah berburuk sangka pada onggokan semen tersebut, disana ada berbagai cerita yang akan membuat kita merasa menjadi pejuang.

Stilasi Bandung Lautan Api, adalah sebuah penanda yang dibangun sekitar tahun 1995 atau 1997 (saya lupa persisnya). Ini  merupakan monumen, pertanda bahwa Bandung pernah di bumi hangus kan oleh rakyatnya sendiri. Mungkin jika seonggok semen ini bisa berbicara maka dia akan seperti proyektor yang akan memutarkan tentang kisah bagaiman tatar Parahyanagn ini menjadi batu bara yang panas. Refleksi peristiwa  Bandung Lautan Api di zaman sekarang sangat kentara perbedaan dengan  zaman dulu. Jajaka jajaka bandung membumi hanguskan segala yang mereka miliki dengan  satu alasan yaitu PENGORBANAN.

Tetapi berbeda dengan kenyataan sekarang, pemuda sekarang membumi hanguskan apapun yang ada dihadapan mereka dengan alasan PENOLAKAN. Sungguh sangat jauh. Seperti langit dan bumi.

Tentu fikiran kita melayang ketika pemerintah dengan kurang tegas dan lugas ingin menaikan harga BBM. Para demonstran yang notabene adalah pemuda pemudi mulai beraksi, menunjukan ke “membaraan”  mereka. Menunjukan “kelantangan “ mereka sebagai pemuda, dengan berteriak di depan gedung gedung pemerintah.

Ironi . hangus nya tatar parahyangan tahun 1946 dan hangus nya tatar parahyanagn tahun 2012 diesebakan oleh hal yang berbeda. Yang bertolak belakang sekali.

Bandung. 8 april 2012

*cerita diatas hanya fiktif belaka, apabila ada kesammaan tokoh atau nama itu hanya kebetulan,, hehehe

Ngaleut Bandung Lautan Api ; Kota Kita Tanggung Jawab Kita Bersama.

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Di hari Minggu pertama bulan April 2012, saya menyempatkan diri untuk ngaleut bersama Komunitas Aleut! Hari itu kita menelusuri stilasi-stilasi yang menjadi penanda dan pengingat peristiwa Bandung Lautan Api, kita mengambil tema Bandung Lautan Api karena memang berdekatan dengan momentum peringatan peristiwa Bandung Lautan Api yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. 

 

Dari perjalanan ngaleut kali saya mendapat beberapa pelajaran yang mungkin bisa sangat berharga setidaknya bagi saya sendiri, yaitu :

 

Pada penelusuran stilasi-stilasi Bandung Lautan Api, kami menjumpai stilasi-stilasi BLA sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, dari 10 titik stilasi sekitar 80 % nya dalam kondisi yang tidak terawat.

 

 

 

(Foto kondisi-kondisi Stilasi BLA. source : Foto-foto pegiat Komunitas Aleut!)

 

Menurut pandangan pribadi saya, kondisi seperti ini dikarenakan beberapa faktor yang saling berkaitan, dan faktor-faktor tersebut berhubungan dengan sikap mental sebagian masyarakat kita, mungkin termasuk saya sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Ketidaktahuan warga sekitar atau bahkan sebagian besar warga Bandung, hal tersebut karena memang sampai saat masih sangat sedikit informasi tentang stilasi BLA yang dipublikasikan ke masyarakat umum. 

2. Ketidaktahuan sebenarnya bisa saja teratasi seandainya ada kepedulian dan kepekaan (awareness), karena faktanya sebagian besar stilasi tersebut memang berada di lokasi yang lazim dilewati oleh orang kebanyakan. Namun entah karena rasa peduli masyarakat kita yang semakin berkurang atau terlalu sibuknya kita, sehingga seringkali tidak menghiraukan hal-hal yang ada di sekitar kita.

3. Kekurangpedulian dan kekurangpekaan tersebut bisa jadi timbul dari kurangnya rasa keingintahuan (Curiosity) kita yang masih kurang terbangun. Ya, memang sistem pendidikan kita sudah sedari dulu kurang bisa menanamkan mental curious kepada para peserta didiknya. Padahal jika saja curiousity ini telah terbangun maka persoalan tentang perawatan stilasi ini akan terpecahkan, karena seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang”, jika kita sudah mengenal sesuatu maka kita bakal (minimal) peduli dengan sesuatu tersebut.

 

Dalam perjalanan ngaleut kali ini, para pemandu menyampaikan berbagai informasi dari sumber-sumber yang berbeda dan dengan banyak versi yang berbeda pula. Hal tersebut membuat saya berfikir bahwa sejarah adalah sesuatu yang sangat subjektif, sejarah kadang-kadang ditulis untuk kebutuhan tertentu para penulis atau penuturnya. Maka dari itu saya secara tidak langsung selalu diwanti-wanti agar memandang sejarah tidak dari satu sisi saja, karena akan berakibat kurang baik yaitu timbulnya sikap yang terlalu fanatis ataupun terlalu apatis terhadap sebuah peristiwa, objek ataupun tokoh sejarah. Jika fanatisme dan apatisme telah merasuki pikiran kita maka objektivitas dan sikap kritis kita terhadap sesuatu akan terus menurun, dan hal tersebut akan menjadi tidak bagus ketika kita melakukan suatu proses pembelajaran. Selain itu pada ngaleut kali ini saya diingatkan kembali untuk selalu meng-crosscheck setiap materi yang disampaikan, hal yang mana sudah jarang atau malas dilakukan oleh kebanyakan dari kita setiap kali merespon suatu berita ataupun informasi.

 

Setiap perjuangan dan pergerakan selalu saja ada kontroversi dan pro kontra yang mengiringinya, hal tersebutlah yang menjadi poin selanjutnya yang bisa saya ambil dari perjalanan ngaleut kali ini. Begitu pula dengan peristiwa Bandung Lautan Api, walaupun cerita-cerita yang berkembang di masyarakat kebanyakan tentang kepahlawanan, pengorbanan dan perjuangan warga Bandung pada masa itu, namun ada beberapa pihak yang memang kurang setuju dengan langkah yang diambil pada masa itu, mereka berpendapat tindakan membumihanguskan Bandung adalah suatu tindakan yang merugikan Bandung dua kali, pertama Bandung harus diserahkan kepada NICA dan yang kedua warga Bandung harus memusnahkan harta benda yang dimilikinya begitu saja padahal andaikata NICA menguasai bandung secara utuhpun, mereka belum tentu mempergunakan semua rumah dan harta warga Bandung demi kepentingan mereka, jadi tindakan membumihanguskan Bandung dianggap tindakan yang mubadzir. Jika diperhatikan, tanggapan peristiwa BLA tersebut memiliki kemiripan dengan tanggapan tentang perjuangan dan pergerakan menolak rencana kenaikan BBM baru-baru ini, banyak yang mendukung dan tidak sedikit pula yang tidak simpatik terutama karena banyak aksi yang dilakukan dengan cara yang merusak. Menyikapi hal ini saya beranggapan bahwa setiap orang punya hak dalam berpendapat dan punya cara masing-masing dalam memperjuangkan pendapatnya, semua itu sah-sah saja sepanjang memang dilakukan atas dasar kesadaran sendiri, bukan karena ikut-ikutan belaka, tahu tujuan yang diperjuangkannya dan tidak merugikan orang lain.

 

Demikianlah sedikit pengalaman dan kesan yang bisa saya share setelah mengikuti perjalanan ngaleut Bandung Lautan Api. Semua pendapat diatas adalah sebatas pendapat dan intrepretasi pribadi. 

 

Dulu Bandung dikobarkan demi harga diri, hari ini mari kita jaga demi masa depan kita. Kota kita bukan cuma tanggung jawab pemerintah saja, kota kita tanggung jawab kita bersama.

 

 

Dimuat juga pada : 

http://oenank.tumblr.com/post/20356328285/ngaleut-bandung-lautan-api-kota-kita-tanggung-jawab

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑