Month: March 2012 (Page 1 of 2)

Napak Tilas Bioskop Bandung Tempo Dulu

Oleh: Fan Fan F Darmawan

Bandung 1980 (atau mungkin setahun lebih awal)

Saat itu di Indonesia diputar sebuah film yg bercerita tentang manusia berkekuatan super yang berkostum pakaian dalamnya terbalik bernama Superman. Saya cukup beruntung, bisa menyaksikan pahlawan super idola anak anak di masa itu, di layar lebar. Saya lupa di bioskop mana mana tepatnya saya menonton itu, karena memory saya yg terbatas sebagai seorang balita. Tapi saya yakin itu berada di kawasan yg sekarang Alun Alun Bandung.

 32 tahun kemudian / 18 maret 2012

Saya mengikuti sebuah event perjalanan sejarah kota Bandung, dengan tema Bioskop di Kota Bandung Tempo Dulu. Saya berjalan bersama lebih dari 50an anak muda pencinta sejarah. Mereka berada dalam sebuah komunitas bernama Komunitas Aleut. Sebuah komunitas yang melestarikan sejarah dan budaya warisan sejarah Kota Bandung.

Ini kali pertama saya berinteraksi dengan mereka. Sudah cukup lama saya memantau twitter nya, berharap bisa suatu hari nanti ikut kegiatannya. Tema kali ini cukup kuat mendorong saya memaksakan diri bangun pagi di hari minggu, dan langsung menuju meeting point di kawasan BIP. Tema kali ini, Bioskop di Kota Bandung Tempo Dulu, sangat menarik minat saya. Saya tumbuh bersama dua hal di dunia ini, Film dan Komik (kelak hal ke 3 yg tumbuh bersama saya, adalah musik rock).

Kami memulai perjalanan dari kawasan jalan Merdeka, depan bekas bioskop Panti Karya (saat ini gedung bekas bioskop itu terletak tepat disamping gedung toko buku Gramedia Merdeka). Dulu ketika bioskop itu masih beroperasi, tepat di depan gedungnya, berdiri patung besar -mungkin- patung Jenderal Ahmad Yani, dengan posisi tangan menunjuk ke depan. Patung itu sudah lama sekali tidak ada di sana.

Kami berjalan menuju bunderan jalan antara Balai Kota Bandung dan Polwiltabes Bandung. Disana berdiri gedung baru Bank Indonesia.  Disana pernah berdiri bioskop yang cukup legendaris, terakhir bernama Vanda Theatre.

Saya ingat saat itu, sekitar tahun 1988 atau 89, saya ingin sekali menonton film yang dibintangi oleh Michael Jackson berjudul Moonwalker. Sebagai anak kecil, pastinya saya tidak punya otoritas penuh dalam masalah keuangan, bukan? Setiap kali saya lewat di depan Vanda, saya melihat poster film Moonwalker masih terpajang disana selama beberapa hari. Saya pikir, saya harus segera menontonnya disana. Seingat saya tempat itu paling nyaman dan murah dibanding Paramount (Jl.Sudirman) atau Dallas (Jl.Dalem Kaum). Hanya selang beberapa hari, ketika saya berhasil membujuk orang tua saya memberikan uang untuk nonton, ternyata bioskop Vanda telah dibongkar.. Saya sedih mendapati kenyataan bahwa saya tidak sempat menonton film tsb. Mungkin, jika ada yang ingat, film Moonwalker adalah film terakhir yg diputar di Vanda.

ALEUT di depan Gedung BI sekarang, dulunya Vanda Theatre

Lalu kami menuju kawasan Alun Alun Bandung, ke kawasan bioskop yang lebih dari 30 tahun lalu saya menonton Superman, dan sejumlah film box office lainnya pada zaman itu. Sepertinya saya menonton Star Wars disana.

Di Alun Alun Bandung, yang kini berdiri Gd.Palaguna, pernah berderet bioskop, Elita dan Oriental, yang telah berdiri sejak periode kolonialisme Belanda. Saat ini tidak tampak lagi sisa bangunannya. Bahkan Palaguna, yang sampai akhir dekade 90an masih memiliki gedung bioskop di salah satu lantainya, kini menjadi mall kosong tak terawat. Siapa sangka bahwa kawasan itu pernah sangat lekat di ingatan para penonton bioskop selama puluhan tahun silam. Puluhan tahun lalu saya yakin, saya dan ayah saya pernah menginjakan kaki di sana, di salah satu gedung bioskop itu. Saya masih ingat Elita masih beroperasi sampai awal 80-an, tapi entah dengan bioskop yang berada di sekitarnya.

Gd.Palaguna saat ini, di atasnya pernah berdiri gedung bioskop Elita dan Oriental yg legendaris sejak tahun 30-an.

Di depan Palaguna, masih berdiri bekas gedung bioskop Dian (saat ini digunakan sebagai gedung arena Futsal). Gedung ini masih lebih beruntung memiliki sisa bangunan nya yang kokoh, khas bangunan zaman dulu. Kami berkumpul disana untuk menikmati sisa kemegahan itu. Saya menikmati kenangan nya. Puluhan tahun lalu mungkin saya dan ayah saya pernah menginjakan kaki kesana. Beberapa dari kami bahkan berkesempatan naik ke lantai atas. Masih terdapat ruang bekas mengoperasikan proyektor, yang kini hanya berupa ruang kosong berdebu. Jendela utk memproyeksikan gambar masih ada disana.

Teman teman Aleut berkumpul di depan bekas Gedung Bioskop DIAN, yg kini menjadi arena Futsal

Sebenarnya, dikawasan Jl. Dalem Kaum, pernah berjaya sebuah bioskop bernama Dallas. Lokasinya berada sejajar dengan Gedung Parahyangan, saat ini baru dipugar menjadi sebuah trade centre produk pakaian. Sampai akhir dekade 80, bioskop itu masih sangat berwibawa.  Kami tak sempat kesana.

Sebelum ke kawasan Alun Alun, kami mengunjungi bekas Gd Bioskop Majestic. Lokasinya di samping Museum Konferensi Asia Afrika arah ke Jl.Braga. Bioskop ini menyimpan memori sejarah yang membentang sampai ke periode awal 1920an, di masa kolonialisme Belanda.

Bangunan yang memiliki disain arsitek khas Eropa ini, seakan akan memindahkan bangunan opera di Eropa ke tengah kota Bandung. Sebuah kota yang bisa jadi belum ada dalam peta internasional, dan tentu saja tidak seterkenal London atau Paris di masa itu.

Selain menjadi simbol warisan budaya yg dibawa para koloni Belanda -saya tak ingin menggunakan kata ‘penjajah’-, bioskop ini juga merekam memori tentang rasialisme bangsa Eropa dan pribumi. Bayangkan saja, untuk masuk ke bioskop itu, hanya boleh orang orang Belanda saja, dan sedikit keturunan menak (bangsawan) Sunda di masa itu. Meski ada orang pribumi yang menjadi penonton disana, saya tak yakin mereka diperlakukan sama.

Para pribumi nya saya yakin hanya menjadi pekerja di gedung itu, paling beruntung mungkin menjadi pemain musik disana. Hey, jaman itu diluar gedung bioskop dimainkan pertunjukan musik sebelum jam tayang film dimulai. Mungkin untuk memeriahkan suasana, karena menonton bioskop adalah hiburan berkelas bangsawan, dan juga hiburan kelasnya para koloni Belanda di Indonesia.

Salah satu teman di Komunitas Aleut bercerita tentang pemusik di dalam gedung bioskop. Ketika periode film bersuara belum ada, yang diputar di bioskop adalah film tanpa suara. Hanya gambar yang diputar, tanpa suara karena teknologi perekam dan pemutar film yang menggabungkan audio dan video belum ditemukan. Fungsi dari pemusik di dalam gedung bioskop adalah untuk memberikan efek suara, yang bersesuaian dengan adegan yang dipertontonkan di film. Para pemusik tadi, harus tepat memberikan irama ketika adegan romantis, ketika adegan penuh ketegangan, semuanya di sesuaikan dengan tempo lagu yang dimainkan.

Aleut di kawasan jalan Braga menuju bekas Bioskop Majestic.

Bioskop Majestic ini menjadi sangat penting dalam sejarah perfilman di Indonesia, karena ia merekam perjalanan panjang yang membentang selama puluhan tahun, bahkan hampir seabad.

Pada dekade 90an awal, bioskop ini sudah tidak memiliki wibawa lagi. Seiring dengan menurunnya kualitas film produksi Indonesia, membanjirnya film drama erotik dari hongkong, dan berjayanya cineplex (sebutan untuk satu gedung bioskop dengan lebih dari satu gedung pertunjukan). Bioskop ini mulai menjadi gedung bioskop kelas bawah, berbanding terbalik pada era puluhan tahun sebelumnya.

Diawal 90an, saya dan teman teman satu sekolah sangat ingin nonton di gedung itu. Sekadar mencari suasana baru, dibanding menonton di cineplex yang saat itu menjadi lokasi menonton bioskop favorit.  Selain itu, kami semua sangat penasaran dengan bentuk interior nya yg konon sangat megah. Hanya saja, bioskop Majestic, pada saat itu, hanya memutar film Indonesia dan atau film Hong Kong, dengan nuansa erotisme yg kental. (meminjam istilah Reza -koordinator Komunitas Aleut-, film yg diputar disana berjenis film ‘esek-esek Nusantara’). Tapi akhirnya kami menonton disana, hanya untuk menikmati interior teater yg sesungguhnya. Film yg kami tonton, semoga Tuhan mengampuni dosa kami, berjudul Girls From Beijing.

Tahun 2000an bioskop ini menjadi gedung pertunjukan hingga sekarang. Bayangkan, gedung bioskop ini menyimpan kenangan rasialisme di era koloni Belanda tahun 30an, sampai kenangan tentang hancurnya moral film di Indonesia akhir 80an, sampai pertunjukan konser music hardcore yang memakan jiwa beberapa penontonnya di era 2000an. Andai saja ia bisa berbicara…

Hey, saya baru tahu ada bekas gedung bioskop bernama Apollo, yang lokasi nya kini bersebrangan dengan komplek Ruko Banceuy. Kita masih bisa melihat pintu besi nya saat ini. Bangunan nya sudah tidak ada.

Gedung bekas Bioskop Apollo (sekarang depan Ruko Banceuy) yg berdiri sejak awal 1900an*

Sebenarnya saya sangat ingin rombongan ini menuju ke kawasan Sudirman, tempat dulu ada bioskop bernama Capitol, Texas, dan tentu saja Paramount. Tentu saja kami tak mungkin berjalan sejauh itu dari kawasan Merdeka sampai Alun Alun saja sudah memakan waktu 3 jam lebih berjalan kaki.

Kawasan bioskop di pecinan Bandung itu penting untuk saya, karena dulu sejak kecil, saya sering diajak menonton film kungfu disana. Periode akhir 70an sampai awal 80an adalah periode membanjirnya film kungfu produksi Hong Kong. Saya ingat pernah menonton film periode awal Chen Lung (kini dikenal dengan nama Jackie Chen), berjudul Drunken Master dan beberapa judul lainnya. Lalu beberapa nama pemain film yg berhasil saya ingat sampai saat ini seperti Ti Lung, Fu Shen, dan Meng Fei. Saya berhasil mengingat, bahwa film tersebut produksi Shaw Brothers, dan saya ingat dari logo di setiap opening filmnya. Logonya mirip dengan logo Warner Bros, salah satu raksasa produsen film Holywood itu. Dulu saya heran, kenapa kemudian logo Shaw Brothers tidak pernah ada lagi tampak di layar bioskop.  Baru sekitar awal tahun 2000an, saya mendapati informasi bahwa sebenarnya Shaw telah bangkrut di tahun 1983. Mungkin saya suatu saat harus menyempatkan diri kesana. Oh ya, dari nama bioskop yg saya sebut diatas, hanya Paramount yg masih berdiri. Kini menjadi sebuah restoran yg cukup megah. Saya tak ingat jika kemudian mereka merenovasi bangunannya.

Perjalanan kami berakhir di belakang gedung PLN Cikapundung. Kami duduk duduk di pelataran gedung tersebut, lalu saling berbagi kesan selama perjalanan tadi. Beberapa dari kami juga saling berkenalan dalam sebuah suasana berbagi yang akrab.

Saya sempat memperlihatkan koleksi flyer bioskop asli dari cetakan tahun 70 an. Seluruhnya adalah flyer film kungfu, karena saya spesifik menggemari film kungfu di era 70an.

Perjalanan kali ini tidak hanya menyenangkan, dan menambah teman. Tentu saja saya bertambah teman, karena ini adalah interaksi pertama saya dengan Komunitas Aleut. Perjalanan ini juga menyadarkan saya bahwa banyak hal telah berubah, dan ternyata itu luput dari perhatian saya. Bahkan perubahan itu terjadi, di depan mata, di masa hidup saya, bukan perubahan yang terjadi di masa lalu. Banyak hal yang pernah bersinggungan dengan kehidupan saya, kini sudah tidak ada lagi, menghilang tanpa saya sadari.

Tentu saja menyenangkan bisa kembali menyaksikan Ti Lung dan Superman di layar bioskop. Bukan di DVD Player dengan keping bajakan.  Hal paling indah tentunya, kalau saja saya bisa kembali menyaksikan kembali apa yang saya alami ketika kecil, dalam tubuh dan pikiran saya sebagai orang dewasa. Tentu saja tidak mungkin, kecuali mesin pembalik waktu ternyata bisa ditemukan dimasa depan.

*Untuk referensi lebih lanjut tentang perkembangan bioskop di Bandung ditulis oleh teman kita Taufanny Nugraha – Penggiat Klab Aleut

http://www.sundanetwork.com/bandung-updates/seabad-bioskop-di-bandung.html

Layar Terkembang

Oleh: Mira Rachmawatie

Seonggok bangunan yang dulu sangat berjubel oleh penonton yang memadati ruangan, kemudian menghilang, tergeser oleh perkembangan kota modern dan juga dialih fungsikan karena kalah tenar dengan bioskop masa kini. Itulah bioskop-bioskop Bandung yang nyaris terlupakan. Dari bioskop kelas atas di sepanjang Alun-alun Kota Bandung – mulai dari Elita, Aneka, Nusantara dan Dian – hingga bioskop-bioskop ternama di Jalan Braga – seperti Majestic, Braga Sky, Presiden dan Pop – tak satupun dari bangunan ini yang berkembang, bahkan cuma tersisa bioskop Dian (sekarang menjadi lapangan futsal) dan Majestic (yang berubah menjadi New Majestic) yang masih bertahan. Padahal pada masanya, salah satu dari bioskop-bioskop tempo dulu ini merupakan yang terbaik pada erannya

 menulis tentang Bandung tempo dulu, memang tak ada habisnya. mungkin kisah-kisah dari orang tua, nenek, bahkan buyut kita akan lebih seru jika kita campurkan dengan imajinasi kita tentang suasana Bandung tempo dulu. Bioskop bagi sebagian orang merupakan tempat hiburan, hirarkinya, kita sebagai manusia adalah makhluk yang haus akan hiburan, dan salah satu pelampiasan nya mungkin bioskop.

Bioskop adalah adaptasi bahasa Indonesia terhadap kata ‘bioscope’ dari Afrika Selatan (kemungkinan juga dari Belanda). Pada awalnya film di bioskop adalah rangkaian gambar bergerak yang berdurasi pendek, bisu, dan diputar di lapangan atau ruangan/hall. Genre yang diusung biasanya adalah seni drama, komedi slapstick (bodoh-bodohan, seperti Caplin), sulap, dan percintaan.

 Film-film pendek tersebut pada awalnya memang merupakan sarana hiburan bagi warga barat sebagai pengganti pertunjukan langsung. Pada pertunjukan langsung, durasi pertunjukan memang bisa lebih lama, namun frekuensinya terbatas. Dengan bantuan teknologi film, frekuensi pertunjukan dapat ditingkatkan puluhan kali lipat, kostum dan panggung dapat dihemat, untung bagi para pengusaha film dan bioskop pun meningkat pesat

 Atau bioskop mungkin sebut saja tempat nya sebuah layar yang terkmbang lalu dipantulkan-nya sebuah cahaya yang berisi permutaran memori yang direkam oleh suatu mesin, adalah tempat kenangan bagi banyak orang.

Tempat pertama yang dikunjungi lagi kencan sama mantan pacar, atau tempat kamu menyatakan perasaan kamu sama seseorang.

Flas back tentang fungsi bioskop pada era tahun 1900 an. dimana fungsi bioskop tidak hanya dijadikan “air segar” bagi “para peminum” yang haus akan hiburan, tetapi bioskop merupakan simbol dari kemajuan suatu bangsa atau suatu tempat pada masanya. Dimana bioskop era tahun 1900 hanya menampilkan gambar saja atau film bisu. Artis pada masa itu adalah Charli Caplin. Pemutaran film tersebut hanya dimulai pada jam 7 malam. pada era tersebut bioskop merupakan tempat pemisahan pemisahan kasta, dimana seperti  misal nya majestic hanya untuk kaum priyayi dan kaum belanda yang pada saat itu tangan-tangan pemerintahan belanda masih sangat mendominasi.

Kelas kelas penonton pun menentukan dimana mereka mendapatkan tempat duduk. mungkin kalo sekarang kelas 1, 2 atau VIP, VVIP. Bersyukur lah karena zaman nya “kelas kambing ” sudah tidak digunakan pada era perbioskopan sekarang. Kelas kambing dimana para penonton yang mendapatkan tiket kelas ini akan duduk paling depan dan meliahat layar dengan kepala tengadah melihat keatas, mungkin fungsi “kelas kambing” pada era sekarang telah berubah, dimana penonton yang mendapatkan tiket VIP akan duduk paling depan.

 Pada dekade tahu 1920-1930 film film dari Amerika atau biasa disebut HOLLYWOOD, Eropa, dan China masuk ke Hindia Belanda. Bahkan beberapa film  Hollywood lebih dulu diputarkan di Hindia Belanda sebelum di Belanda sendiri.

Orang kulit putih membawa sebuah roll yang berisi film yang dapat diputarkan pada suatu mesin, maka orang hindia Belanda dahulu menyebutnya “film idoep”.

 Film pertama yang di buat di perancis, film tersebut berjudul “kereta datang”. Sesuai dengan judunya, film tersebut hanya menampilkan sebuah kereta yang datang ke stasiun. Dan para penonton sangat kaget, mereka sangka kereta yang ada di film tersebut benar-benar datang pada mereka. sehingga mereka menghindari kereta tersebut.

Berkembang nya jaman dan tekhnologi manusia untuk berfikir, maka film tak hanya dibuat hidup saja, tapi juga bersuara,

sekitar tahun 1920-an (kalo tidak salah) pemutaran “film idoep + boenyi” diputar pertama di hindia belanda, tepatnya di LUXOR teater. Saking antusiasnya para priyayi dan orang belanda saat itu, LUXOR theater temboknya sempat jebol karena berjubelnya para penonton yang penasaran seperti apa film yang akan diputarkan.

 Masa kejayan bioskop tak pernah usai walau sudah termakan usia 100 tahun. Bioskop menjadi tempat favorit untuk tempat berkumpulnya  keluarga, teman teman, atau bahkan kolega bisnis. 21 atau blittz megaplex merupakan penerus kepemilikan bioskop yang saat ini terkenal,

Inti dari ngAleut saya tentang bioskop tempo dulu, adalah suatu tempat berkumpulnya para sosialita pada era tersebut, dan menggunakan fasilitas bioskop sebagi tempat unjuk kasta dan ke- “HIGH CLASS” an para priyayi dan orang Hindia Belanda. Penonjolan sikap membeda- bedakan kasta sangat terlihat, dimana para priyayi dan kaum sosialita yang ELIT (berasa dari kata “ELITA” yang artinya Terdepan) harus mengenakan pakaian yang rapi, septu yang bagus. Tapi kalangan rakyat menengah kebawah hanya bisa mendapatkan tiket dengan title “KELAS KAMBING”

Pengelompokan kelas-kelas tersebut sangat kental sekali pada era tersebut. Mungkin untuk era sekarang kelas-kelas tersebut dikelompokan menurut fasilitas. Misalnya di 21 Ciwalk, dari kelas PREMIERE, 3D, dan biasa sudah tersedia. harga tiket untuk pertunjukan di Premiere sekitar Rp.75.000 –Rp.100.000,- fasilitas didalamnya yang sangat exclusive membuat para penonton sangat dimanja.

Ngaleut adalah sarana informasi, edukasi, dan refreshing bagi saya. Koordinator ALeut bagi saya adalah sebuah “Film idoep dan boenyi ” yang berjudul “BANDUNG TEMPO DULU”,, beliau dengan serius tapi santai (baca : SERSAN)  mengulas banyak tentang Bandung tempo dulu, Terimaksih buat ALEUT.

Tak ada masa sekarang jika tak ada masa lalu.

 Bioskop ELITA, bioskop yang sempat berjaya pada masa nya, dimana yang datang hanya kaum kaum elit atau kaum yang terdepan

Sejarah Bioskop di Bandung

Oleh: Nia Janiar

Sebelum dunia perbioskopan dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar yang melebur di pusat perbelanjaan seperti sekarang, Bandung pernah memiliki bioskop yang menjamur dari sekitar awal 1900an hingga 1970an. Bioskop-bioskop itu berdiri dalam gedung-gedung yang terpisah dari pertokoan. Apa saja bioskop yang pernah hadir dan menjadi bagian sejarah pemutaran film di Bandung? Perjalanan bersama Komunitas Aleut! (18/3) dituliskan berdasarkan urutan rute perjalanan.

Panti Karya

Gedung tua yang tidak terawat dan tampak menyeramkan menjadi gedung pertama yang merupakan saksi sejarah bioskop di Bandung. Gedung ini adalah gedung Panti Karya yang berada di Jalan Merdeka, tepatnya di depan mall Bandung Indah Plaza dan di belakang Dunkin Donuts. Gedung yang semula dimiliki PJKA ini diganti fungsinya sebagai bioskop karena pemutaran film sedang marak kala itu. Pada saat itu, Panti Karya kerap kali dikunjungi oleh anak sekolah, misalnya pelajar SD Ciujung yang terletak di Jalan Supratman berjalan kaki hingga Jalan Merdeka.

Selain Panti Karya, di dekat Bank Indonesia juga pernah terdapat sebuah bioskop yang bernama de Rex yang kemudian diubah menjadi Panti Budaya tahun 1960an. Sama seperti Panti Karya, Panti Budaya juga ditonton oleh pelajar sekolah namun memiliki perbedaan kelas bioskop. Panti Budaya merupakan bioskop kelas 1 dan Panti Karya merupakan bioskop kelas 2. Karena rol film saat itu jumlahnya terbatas, bioskop harus menunggu giliran. Semakin rendah kelasnya makan semakin lambat menontonnya. Kaset film berakhir di layar tancap (feesterrein atau taman hiburan rakyat) Taman Senang, Taman Riang, Taman Warga, dan lainnya.

Bersebelahan dengan rel kereta api, terdapat gedung Landmark (dulu merupakan toko buku Van Dorp) yang ternyata pernah menjadi bioskop yang bernama Pop Theater. Jika dilihat sekarang, di depan Gedung Landmark ada Bank Anda yang dulu juga merupakan sebuah bioskop bernama bioskop Presiden. Reza, koordinator Aleut!, memberikan pengetahuan tambahan bahwa di balik Bank Anda ini terdapat SD Merdeka yang dulunya merupakan gudang garam. Mengingatkan dengan merek rokok? Kalau melihat bungkus rokok tersebut, maka bisa dilihat gambar bungkusnya berupa rumah-rumah di samping rel kereta api seperti letak SD Merdeka sekarang.

Tidak jauh dari sana, terdapat Braga Dangdut yang dulunya merupakan bioskop bernama Braga Sky yang sering didatangi pemuda pemudi untuk menonton film nusantara dan film silat pada tahun 1960-1970an. Bioskop ini merupakan bioskop menengah ke atas sehingga tidak semua orang bisa masuk. Sayangnya, pengunjung saat itu sering menonton sambil menghisap ganja.

Helios

Di sebelah Jalan Kejaksaan, pernah ada sebuah bioskop namanya Helios yang dalam Bahasa Yunani memiliki arti Dewa Matahari. Gedung bioskop yang sekarang dipakai rumah makan Bebek Garang ini dimiliki oleh seorang pengusaha penggadaian yang rumahnya berada di Jalan Naripan. Bioskopnya berupa layar tancap (feesterrein atau taman hiburan rakyat) yang berada di dalam gedung. Pengadaan layar dalam gedung merupakan akomodasi dari hambatan sinar matahari yang memantul di layar jika menonton di siang hari. Tidak hanya bioskop, gedung ini dipakai untuk kesenian. Setelah jadi bioskop, gedung ini dialihfungsikan menjadi kantor distribusi kaset. Helios merupakan salah satu cabang dari Bandung Theater yang dulu dikenal di depan Kosambi.

Di samping Gedung Merdeka terdapat gedung New Majestic yang dulunya merupakan bioskop Concordia di tahun 1900an awal. Gedung ini dinamakan Concordia karena berada di sebelah gedung Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka). Concordia memiliki arti Dewa Keharmonisan dan Kedamaian dalam Romawi Kuno. Bioskop ini merupakan bioskop elit dengan aturan Verbodden voor Honder en irlander yang artinya “dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”.

Tempat duduknya berundak dan menunjukkan kelas dan harga tiket. Untuk kelas 1 terletak di balkon, kelas 2 terletak bagian bawah belakang, dan kelas 3 di paling depan sehingga mungkin bisa menimbulkan efek pegal-pegal leher. Selain itu tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisah, namun pada prakteknya mereka tetap melebur saja.

Bioskop Concordioa dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya arsitekturnya sangat khas yaitu penempatan ornamen nusantara seperti Kala yang terletak di bagian atas. Berbeda dengan Kala yang ada di gedung Landmark, Kala di sini memiliki rahang. Secara keseluruhan, gedung Concordia memiliki bentuk seperti kaleng biskuit atau bilken trommel.

Radiocity

Jika sebelumnya gedung-gedung berada di tempat yang terpisah cukup jauh, maka gedung bioskop di alun-alun Bandung letaknya berdekatan (bahkan bersebelahan). Di Jalan Dalem Kaum terdapat sebuah ruko yang dulunya merupakan bioskop Regol untuk kalangan kelas menengah ke bawah sehingga mereka baru bisa nonton film-film nusantara yang sudah ditayangkan berbulan-bulan sebelumnya di tempat lain. Di sebelah pendopo walikota Bandung terdapat bioskop Radiocity atau Dian yang dimiliki oleh J.F.W. de Kort dan menayangkan film-film India. Radiocity beroperasi di tahun 1940an. Walaupun untuk kelas menengah, bioskop ini memiliki balkon. Pengunjung diperbolehkan naik ke atas untuk melihat balkon dan ruang proyektor.

Di sebelah timur Masjid Raya terdapat bioskop yang berentetan (ki-ka) yaitu: 1) Elita Bioscoop adalah bioskop paling elit setelah Concordia dengan orang-orang terpilih yang menonton dengan pakaian rapi dan memakai sepatu. Bioskop ini dimiliki oleh F. A. A Buse, seorang raja bioskop yang memiliki jaringan besar Elita Concern. Bioskop ini dibangun tahun 1910an dengan gaya arsitektur Art Nouveau dan sempat berganti nama menjadi Puspita tahun 1960an, 2) Varia Park yang merupakan feesterrein atau taman hiburan menampilkan gulat, seni tradisional, dan lainnya. Varia artinya serba-serbi, dan 3) Oriental Show yang dibangun tahun 1930an. Sayangnya ketiga bioskop ini dihancurkan untuk dibangun pertokoan Palaguna yang sekarang kondisinya sudah layak dihancurkan juga.

Elita merupakan bioskop yang memutar film Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926. Film ini merupakan film yang memiliki latar belakang Indonesia (konon syuting dilakukan di antara Bandung-Padalarang) dan dibuat oleh perusahaan NV Java Film Co. Sutradaranya sendiri adalah orang Belanda bernama Heuveldorp dan Krugers sebagai kameramen. Tidak bergerak sendiri, mereka bekerja sama dengan bupati Bandung Wiranatakusumah V dimana keluarganya berakting dalam film tersebut. Latar belakang pembuatan film tersebut adalah film-film impor yang hadir sebelum tahun 1926 adalah film-film yang berbau kekerasan dan pemerkosaan sehingga diharapkan film ini dapat menciptakan image bahwa Belanda itu baik. Loetoeng Kasaroeng berhasil ditayangkan selama 1 atau 2 tahun di Elita tanpa henti karena selalu ada peminatnya.

Bioskop di Bandung tidak hanya yang disebutkan di atas karena masih banyak lagi seperti Apollo di Banceuy, Alhambra Bioscoop di Kompa-Suniaraja, Orion Bioscoop di Kebonjati, Vogelpoel Bioscoop di Braga-Naripan, Luxor di Sudirman, Rivoli Theater (kini Rumentang Siang) di Kosambi, Liberty Bioscoop di Cicadas, dan lainnya. Perkembangan dunia perbioskopan zaman dulu diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan hiburan. Saat itu bioskop tidak hanya sekedar tempat menonton saja tetapi di beberapa diantaranya yang memiliki balkon terdapat ruangan cafe dengan satu meja dan kursi sehingga bisa ngopi-ngopi.

Informasi tambahan:
http://www.sundanetwork.com/bandung-updates/seabad-bioskop-di-bandung.html
http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/photo/190/99?&show_interstitial=1&u=%2Fphotos%2Fphoto

Gunung Padang : Pesona Si Megalithikum Tanah Jawa

Oleh: Hanifa Paramitha

Tentu kita ingat dengan materi di pelajaran Sejarah yang membahas tentang punden berundak. Well, daripada sekadar mempelajarinya lewat buku, ternyata menyenangkan sekali bisa mampir ke Gunung Padang yang notabene merupakan situs megalithikum terbesar di Asia Tenggara. Tempat ini berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Cerminan megalithikum terlihat dari dominasi punden berundak di situs yang diperkirakan udah ada sejak 2500 SM ini. Gunung Padang digunakan sebagai tempat penyembahan yang simetris mengarah ke Gunung Gede, acuan pusat kepercayaan dimana roh leluhur bersemayam. Nggak seperti situs megalithikum lainnya yang mengarah matahari, seperti Piramida, Stonehenge di Inggris, atau Machu Piccu di Peru.

Padang dalam bahasa Sunda berarti terang. Perlu meniti tangga dengan jumlah sekitar 378 anak tangga untuk mencapainya. Lelah sih memang, tapi itu langsung terbayar dengan pemandangan yang didapatkan. Bayangkan deh, ada banyak banget batu berukuran raksasa yang seolah ‘dibiarkan’ berserakan. Uniknya, batu-batu berjumlah ribuan tersebut nggak punya sembarang bentuk. Mereka punya wujud geometri yang teratur seperti gamelan, saron, hingga kecapi. Kalau dipukul dengan tangan atau batu lain, batu gamelan ini bisa menghasilkan bunyi lho. Bahkan nih menurut beberapa warga, terkadang sering juga terdengar sayup-sayup suara melodi dari gesekan angin dengan batu! Wow zaman megalithikum yang belum kenal dunia tulisan rupanya udah kenal dengan instrumen musik. Cool!

Nggak hanya itu, disini juga ada mitos batu gendong. Siapapun yang bisa mengangkat batu andesit cokelat besar setinggi lutut orang dewasa ini konon bakalan terkabul cita-citanya. Namun ternyata berat banget lho! Haha. By the way, keunikan situs ini nggak berhenti di seputaran batu. Jika diperhatikan lebih lanjut, segala unsur di Gunung Padang identik sekali dengan angka lima. Hampir semua ujung batu disini berbentuk pentagonal. Konon ini sesuai dengan tangga nada Sunda yaitu da, mi, na, ti, dan la.

Gunung Padang pun dikelilingi lima bukit: Emped, Gunung Malati, Gunung Batu, Pasir Malang, dan Karuhun. Ia juga mengarah ke lima gunung lain, yaitu Gunung Batu, Gunung Kencana, Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Pasir Pogor. Selain itu, situs ini juga punya lima teras yang semakin ke atas semakin mengecil ukurannya. Teras pertama yang paling luas ini digunakan sebagai tempat upacara peribadatan. Hingga kini masih ada lho dolmennya. Untuk menuju teras kedua dari teras pertama, kita juga mesti melewati lima undakan teras kecil. Lagi-lagi lima ya.

Sebenarnya situs ini udah muncul dalam laporan Rapporten van de oudheid-kundigen Dienst (ROD) pada tahun 1914 yang selanjutnya dilaporkan NJ Krom tahun 1949. Namun baru pada tahun 1979, situs ini ditinjau dan kemudian diteliti dari sudut arkeologis, historis, geologis dan lainnya. Warga setempat pernah mengeramatkan situs ini dan menanggap jadi tempat Prabu Siliwangi membangun istana. Pak Nanang, salah seorang pemandu wisata Gunung Padang bilang, beberapa waktu lalu sempat dilakukan pengeboran sedalam 26 meter dan diperkirakan ada bangunan situs yang masih tekubur.

Bisa dibilang kalau Gunung Padang sebagai cagar budaya merupakan bukti bahwa peradaban asli Indonesia punya nilai yang tinggi. Ada banyak simbol kearifan lokal dan tradisi kuat yang tentunya punya nilai penting bagi sejarah, ilmu budaya, dan keagamaan. Yuk kita jaga, rawat, dan lestarikan kebudayaan purba yang hebat ini! ***

Gunung Padang Runtuhkan Kegalauan

Oleh: Pinot Sity

Dari sekian banyak gunung yang ada di pelosok bumi ini, salah satu dari pada itu yang menjadi bahan perbincangan dan menjadi booming sekarang ini yaitu Gunung Padang. Kunjungan Aleut yang pertama kalinya ke Gunung Padang sangat mengundang ketertarikan para Aleutian untuk ikut serta mendaki dan menggalli apa asal-usulnya Gunung Padang itu. Lebih dari 50 para pegiat Aleut mengikuti kunjungan yang diadakan tiap minggu (ngaleut). Jackal Holliday adalah bus yang kita tumpangi ,walaupun yang ber-AC hanya ada satu tapi tidak menjadikan Aleutian tidak menaiki bus ekonomi. Sebagai konsistensi-nya ada pergantian tempat pada saat pulang. Di pagi hari sekitar pukul 8.00 WIB dari depan Kartika Sari Buah batu,mulailah keberangkatan para Aleutian menuju Gunung Padang , Cianjur.

Pada awalnya saya menaikii bus AC, ternyata banyak kegiatan-kegiatan asyik oleh para Aleutian di dalam pada saat perjalanan. Terutama berbincang-bincang ,saling gombal-gembel atau lebih disebut ‘nyekiel’. Sungguh mengasyikan .. diskusi yang konyol membuat penumpang lebih berstamina dan tidak menjenuhkan suasana. Saya gak bisa berhenti ketawa-ketiwi bersama rekan lainnya. Apalagi disuguhi dengan video dangdut tentu menghidupkan suasana lebih energik lagi.

Dalam hening pun,di sepanjang perjalanan, lirik kanan lirik kiri mataku menembus kaca ,terlihat pohon-pohon besar, diantaranya berjejeran pohon aren, pohon kelapa dsb. Terhanyut dalam lamunan ku sawah yang hijau terlihat cantik dan sepoi-sepoi angin membuat daun-daun bergerai ke atas bawah. Menumbuhkan rasa imajinasi ku, saat terdengar musik dangdut daun-daun itu sedang bergoyang asyik. Dari jarak jauh gunung-gunung terlihat elok parasnya. Walau jalannya terjal dan berbelok-belok masih ku nikmati asri-nya alam itu.

Entah sampai seberapa lama lagi harus ku tunggu perjalanan ini dan tak sabar ingin berjumpa dengan sang ‘Gunung Padang’. Setelah berjalannya waktu , tak terasa sampailah pada tujuan , namun bukan Gunung Padang. Tetapi memasuki terowongan Kereta Api Lampegan. Lampegan adalah terowongan pertama yang di bangun di pulau jawa. Lampegan menurut Bang Ridwan yaitu sejenis tumbuhan. Pada saat memasuki terowongan di dalamnya terdapat pancuran air kecil. Sepertinya mangalir dari bukit.

Selanjutnya, melanjutkan perjalanan lagi menuju Gunung Padang. Sesampainya di tempat tujuan timbul perasaan gembira. Namun ,tampaknya ku rasakan lelah sepanjang pagi hingga siangnya perjalanan kita perlu spirit lagi dengan membeli semangkok baso. Ahaha.. walaupun pedas ,tapi mampu sembuhkan rasa lelah ini. Dengan berjalan lagi, kedua kaki ku hampir tidak kuat untuk mendaki keatas. Namun telah dikalahkan oleh rasa semangat ku yang menggebu-gebu. Keringat yeng terus berkucuran mendaki dan mendaki mengikuti arah. Menapaki tangga yang panjang ini.

Perjalannya lebih gila dari pada lari maraton, tapi semangat itu tetap ku simpan di benak hingga akhirnnya sampai pada puncaknya. Yeahh.. ‘Gunung Padang’ kau unik.. seunik peduliku terhadap semua rahasia di balik sosok mu. Saat ku injakan kaki ku dan memasuki stonehouse rasanya ku seperti mengalami kehidupan baru di jaman purbakala. Batu-batu itu terlihat langka dan tertata rapi namun memang kau unik . kau memang megalitikum… semua ke-elokan dan parasmu luluhkan hatiku, runtuhkan ke-galauan ku,kalahkan rasa letih ku.

Batu-batu mu ku sentuh, ku elus-elus. Sungguh benar kau runtuhkan ke-galauanku mengobatiku dengan parasmu. Rasa penasaran membuat ku masih terus ingin jejaki bebatuan ini, untungnya sepatu ku masih tahan melawan terjalnya bebatuan ini hingga singgah dari teras 1 sampai teras 5. Setelah berhenti ,dan saatnya untuk diskusi tentang asal-usul mualnya ‘Gunung Padang’. Dengan pemanduan sejarah Gunung Padang oleh Pak Nanang (petugas yang berada disana ). Menurutnya situs adalah lokasi yang mengandung cagar budaya dan situs ini berumur 4500 SM yang dibangun oleh nenek moyang kita.
Bebatun tertata rapi yaitu hasil alamiah juga campur tangan manusia. Gunung padang dengan artian sebenarnya yaitu padang yang artinya ‘caang’.

Berikut cerita lainnya masih begitu panjang, karena saya juga kurang terlalu menyimak saat pemanduan. Dan banyak kontroversi para ahli arkeologi dan geologi yang selama ini meneliti situs-situs geologi dan peninggalan arkeologi. Namun kita sama-sama tahu, ‘Gunung Padang’ adalah titipan dari nenek moyang kita. Walaupun pada jaman itu kondisinya jauh berbeda dengan kehidupan yang sekarang kita jalani ‘kosmopolitan’. Tentunya kita layak untuk singgah di Gunung Padang dan yang lebih penting dari pada itu adalah sejarah yang mampu menjadikan motivasi semangat dari mereka. Harapan saya , semoga Gunung Padang tetap menjadi salah satu tempat pilihan untuk tujuan menghirup ke-asrian dengan pengertian. Bagaimana dengan anda?

Gerakan Teosofi

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Gerakan Teosofi (Theosophical Society) didirikan oleh H.P. Blavatsky, Henry Olcott, W. Judge dkk. pada tanggal 17 November 1875 di New York, sejak itu Gerakan Teosofi menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, gerakan ini berkembang pesat dengan banyak menarik anggota dari kalangan terpelajar dan priyayi Jawa.

Markas (Loge) gerakan teosofi di Batavia (Jakarta) terletak di suatu kawasan yang bernama Blavatsky Park (sekarang Menteng). Sedangkan di Bandung, selain bermarkas di Gereja Albanus di Jalan Banda sekarang, mereka juga mendirikan kawasan yang dinamai Olcott-Park pada tahun 1931.

Nama Olcott-Park diambil untuk menghargai jasa salah satu pendiri dan sekaligus presiden Theosophical Society, Henry Steel Olcott (1832 – 1907). Selain di Bandung, nama Olcott juga diabadikan sebagai nama jalan utama di Kolombo dan Galle, Srilanka.

Olcott Park di Bandung dibangun pada tahun 1931 dalam rangka pelaksanaan kongres ‘sepuluh hari’ gerakan teosofi yang dihadiri oleh tokoh-tokoh terkemuka Hindia Belanda. Flat Olcott Park Bandung pada tahun 50’an berubah nama menjadi Hotel Pakunegara. Kini bangunannya sudah tidak tersisa… Di lokasi yang sama, sekarang telah berdiri sebuah bangunan yang kita kenal sebagai Bandung Indah Plaza !

Organisasi Teosofi

Oleh:Muhammad Ryzki Wiryawan

Di Hindia Belanda pada awal abad-20an, berkembanglah suatu paham kebatinan yang diwujudkan dalam organisasi Gerakan Teosofi. Organisasi ini dipimpin Madame Bravatsky dan berpusat di India. Paham gerakan ini, kurang lebihnya seperti yang disebutkan dalam pembukaan Kitab Teosofi di atas.

Beberapa tokoh pergerakan nasional diketahui pernah tergabung dalam gerakan Teosofi ini, utamanya para aktifis Budi Utomo dan para Priyayi Jawa. Contohnya adalah Raden Mas Aryo Woerjaningrat (Surakarta), R.M. Toemenggoeng pandji Djajeng Irawan (Jogjakarta), Pangeran Pakoe Alam VII (Jogjakarta), Radjiman Wediodiningrat (Surakarta), Sarwoko Mangoenkoesoemo, beberapa bupati di Jawa Barat, Dll.

Aktifis pergerakan lain yang pernah tergabung dengan Teosofi salah satunya adalah Haji Agus Salim, beliau menjadi anggota aktif Kelompok Teosofi tahun 1916 dan mengundurkan diri tahun 1918. Selama bergabung, H. Agus Salim sempat menerjemahkan Kitab Suci kaum Teosofi karangan C.W. Leadbeater berjudul “Kitab Teosofi” ke dalam bahasa Melayu, Seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas.

Sakola Menak

Oleh: Muhammad Ryzki Wiryawan

Guru kudu boga angkeuh : “Aing keur murid, lain murid keur aing”. Murid kudu boga angkeuh : “Aing keur guru; lain guru keur aing, da aing teh nu guru”

Minggu kemarin, Komunitas Aleut! mengadakan acara telusur sekolah jadul di Bandung. Namun ada yang kurang, yaitu tidak mengunjungi bekas Sakola Menak, atau nama resminya MOSVIA (Middlebarre Opleidingsschool voor Indlandsche Ambtenaren) yang kemudian berubah menjadi OSVIA. Semacam sekolah IPDN kalau sekarang, menghasilkan pegawai-pegawai negeri yang disipakan untuk mengabdi kepada masyarakat. Berikut ada sedikit kisah mengenai pengalaman seorang siswa OSVIA bernama Moehamad Hasan, yang saya sarikan dari sebuah artikel yang dimuat dalam buku Gedenkboek MOSVIA 1879-1929. Aslinya memakai bahasa Sunda, tapi supaya bisa lebih gampang dimengerti, saya terjemahkan ke bahasa Indonesia. (Hese oge gening,,, hehe)

Jaman dulu yang jadi menak itu selalu berdasarkan keturunan. Contohnya Bupati, selalu diganti sama anaknya. Begitu pula camat dan petinggi lainnya; anak camat akan menggantikan posisi camat, anak petinggi jadi petinggi.

Lalu apakah mereka cakap? Bisa Nulis? … Mungkin bisa kalau cuma aksara Jawa, tapi keterampilan Eropa seperti yang sekarang tidak ada yang punya. Dari sana muncullah sekolah Kabupaten, pertama kali ada sekolah, muridnya terdiri dari anak-anak menak di kota (dayeuh) dan anak Lurah dari desa. Tapi awalnya susah sekali menemukan anak yang mau disekolahkan, bahkan harus setengah dipaksa; Bahkan ada Lurah yang  menyerahkan anak orang lain yang diaku sebagai anaknya, karena katanya sayang kalau anaknya yang disekolahkan.

Sejak itu Kanjeng Dalem (Bupati) mengangkat pejabat (Menak) dari siswa-siswa sekolah, siapa-siapa yang sudah lumayan  pintar menulis, diangkat jadi kepala Cutak (Wedana), atau Camat. Siswa sekolah saat itu bahkan sudah ada yang punya anak. Setelah itu, Gouvernement mulai membangun sekolah di banyak tempat. Orang-orang mulai mengerti kegunaan sekolah dan mulai memasukkan anaknya ke sekolah.

Pada tahun 1880, berdirilah Sakola Menak di Bandung, yang hanya menerikma siswa anak-anak Menak kelas atas, seperti : Dalem, Patih, Wadana dan lain-lain. Ini juga awalnya tidak banyak yang mau, bahkan ada cerita Guru-gurunya harus berkeliling ke desa-desa untuk mencari calon siswa.

Sejak terlihat manfaat keluaran Sakola Menak, orang-orang berebutan memasukkan anaknya ke sini, apalagi sejak ditambahkan pelajaran hukum, kelasnya ditambah, dan dibuat dua afdeeling (bagian); Afdeeling A dan B, serta diganti namanya menjadi “Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Setiap tahun berpuluh-puluh yang mau masuk, tapi tempat yang tersedia hanya belasan, sehingga sisanya terpaksa pulang lagi.

Foto Bersama tahun 1913

Bagaimana tidak pada mau masuk, dilihat dari budi pekerti siswanya yang baik, pengajarannya yang bagus, baik pelajarannya, makan dan tidur ada waktunya,  setiap sore kamar siswa dironda, takut-takut ada yang kurang rajin belajarnya. Bahkan sampai jajan pun diatur, tidak boleh lebih dari 1,5 Gulden sebulan. Supaya tidak cepat habis, ada siswa yang sengaja membungkus uang-uang tersebut, besarnya 5 sen setiap bungkus sebanyak  30 buah, setiap hari diambil sebungkus supaya cukup sebulan.

Pengajaran di Sakola Menak sangat luhur dan bagus, ditambah siswanya yang pintar-pintar, ucapan  sangat disaring dan dijaga, jangan sampai ada yang salah, karena nantinya mereka anak jadi Ambtenar (Pegawai Negeri), harus disiplin (stipt eerlijk), pengertian, baik budi, baik bicara, memiliki perlakuan adil, seperti yang disebut Al Qur’an.

Grup Pengajar tahun 1895

Pemimpin Sakola Menak adalah Directeur dan guru-guru, semuanya pilihan, sangat serius, giat bekerja, menjunjung kemanusiaan, dan jauh dari sikap sombong. Semboyannya adalah “Ieu sakola aing, murid anu aing, bereum hideung tanggungan aing, gorengna wiwirang” (Ini sekolah saya, murid saya, merah atau hitam adalah tanggungan saya, kalau buruk memalukan). Contohnya adalah tuan Directeur Borggreve, dan istrinya, yang sangat mati-matian dalam mengurus siswa.  Kalau ada siswa yang sakit, maka akan dibawa  ke rumahnya, malah sekali waktu beliau sendiri yang menggotong siswa dari kamar ke rumahnya, memakai kursi panjang. Suatu waktu ada 6 murid yang sakit dan dirawat di rumahnya, semuanya diurus mulai dari obatnya, makanannya, mengikuti anjuran dokter.

Saking bagusnya pengajaran di Sakola Menak, sampai-sampai siswanya tidak cuma berasal dari Jawa Barat, ada yang dari Sumatra, bahkan Borneo, dikirim ke Bandung untuk belajar di sini. Banyak siswa yang melanjutkan sekolah ke Sekolah Hukum di Batavia, setelah lulus menjadi Voorszitter Landraad. Ada yang sekolah ke Eropa, pulangnya mendapat gelar Meester. Ada juga yang masuk ke militer, penghasilannya kini mencapai ratusan Gulden.

Banyak juga lulusan Sakola Menak yang berhasil menjadi B.B. (Binnenland Bestuur – Pangreh Praja), banyak yang jadi Bupati, pangkat pribumi tertinggi, menguasai kota, jadi kepala sekalian pejabat pribumi, membina Hamba-hamba Allah se-kabupaten, memantau apakah ada yang kekurangan, merasa kurang nyaman, dan lain-lain. Sehingga yang memegang jabatan ini biasanya jadi paling unggul, paling untung; Berbuat satu kebajikan akan dibalas oleh Gusti Pangeran sebanyak jumlah bawahannya. Apabila bawahannya ada sejuta orang, dan dia membaca kulhu sekali, maka oleh Allah diganjar seperti telah membaca kulhu sejuta kali.

Klub Musik tahun 1910

Historis pendidikan di Indonesia sampai zaman kolonial

Di sini ku berdiskusi dengan alam yang lirih

kenapa indahnya pelangi tak berujung sampai di bumi

aku orang malam yang membicarakan terang

aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang

Oleh: Risman Budiman

Terlintas di pikiran untuk menulis bagian bait OST filmnya Soe hok gie di awal tulisan sederhana ini, karna setiap kita membahas tentang sejarah, di ibaratkan hanya berdiskusi dengan alam. Banyak pertanyaan yang terjawab dengan tidak pasti, alasan, tokoh, watak, tujuan, tempat, waktu, (fakta sebenarnya?) kita hanya orang malam yang membicarakan terang. Terkait dengan tema aleut kali ini pendidikan banyak pertanyaan kenapa pada awalnya harus kaum minoritas bangsawan yang bisa memperoleh pendidikan, apa sebenarnya tujuan politik etis, siapa sebenarnya yang paling berperan R.A Kartini atau Kanjeng Dewi Sartika, sebenarnya pertanyaan intrapersonal saya sendiri.

Kaki melangkah ringan ke arah kerumunan pegiat aleut dibawah patung 3 pekerja PDAM di Jl.Dago yang berpotongan dengan jl.Sultan agung yang seakan menyambut pegiat aleut di awal perjalanan menelusuri sekolah dan konsep pendidikan tempo dulu.

Yang membedakan pendidikan tempo dulu dengan masa sekarang adalah “kebudayaan” karna kebudayaan hasil karsa karya pola pikir diri dan pembentukan sosial. Setiap dekade mempunyai perbedaan kebudayaan walaupun berakar dari kebudayaan sebelumnya begitu juga pendidikan.

  • Sejak zaman purba ada proses belajar mempertahankan hidup dan menjalankan kepercayaan animisme dan dinamisme yang meniru tetua sebelumnya: bagaimana cara berburu, bagaimana cara memuja roh, ada masa ini belum terdapat perbedaan kelas sosial.
  • Bergeser ke sistem pendidikan kerajaan Hindu-Budha hasil kulturasi kebudayaan India dan masyarakat lokal ketika transaksi perdagangan dari mulai bahasa, tulisan, agama berpengaruh pada sistem pendidikan yang bersifat aristokratis artinya masih terbatas hanya untuk minoritas yaitu anak-anak kasta brahmana( pendeta) dan ksatria (tentara perang), belum menjangkau masyarakat mayoritas yaitu anak-anak waisya (pedagang,penguasa) dan syudra (buruh,petani).
  • Kemudian masuk ke pendidikan zaman kerajaan islam,mulai tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta dan keturunan,sesuai ajaran islam.walaupun sebenarnya masih tetap terdapat kelompok raja dan para bangsawan/para pegawai di satu pihak dan kelompok rakyat jelata di lain pihak namun feodalisme di kalangan masyarakat pada umumnya mulai di tinggalkan.
  • Pada awal abad ke -16 bangsa Portugis datang ke Indonesia di susul oleh bangsa Spanyol disertai para missionaris yang bertugas menyebarkan agama katholik, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah (seminarie) di ternate dan solor, kurikulum pendidikannya penyebaran agama katholik, ditambah pelajaran membaca,menulis dan berhitung.
  • 1596 bangsa belanda datang dengan niat awal hanya berdagang,1602 mereka mendirikan VOC merupakan badan perdagangan milik orang-orang belanda yang beragama protestan.kekuasaan VOC di serahkan ke pemerintah Belanda karna itu sejak 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu karakteristik sosial budaya pada zaman ini terdapat stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa dari mulai bansa belanda –> golongan orang timur asing –> golongan priyayi/bangsawan pribumi –> golongan rakyat jelata pribumi.

Seiring dengan perjuangan bangsa yang tak pernah padam, pada awal abad ke-20 muncul tekanan serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat Belanda atas kekeliruan politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda, keaadaain ini memaksa pemerintah melaksanakan politik etis yang diantaranya membangun sekolah untuk kaum pribumi yang sebenar[nya] tetap untuk kepentingan pihak kolonial juga.

1808 Gubernur jendral Daendels memerintahkan para Bupati di pulau jawa menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tapi kebijakan ini tidak terwujud.

1811-1816 Pemerintahan di bawah kekuasaan Raffles pendidikan bagi rakyat masih di abaikan.

1816 Komisaris jenderal C.G.C Reindwardt membuat Undang-undang pengajaran,tetapi masih untuk orang-orang Belanda  dan golongan pribumi penganut Protestan.

1848 Gubernur jenderal Van de Bosch di beri kuasa untuk menggunakan anggaran belanja negara f 25000 tiap tahunnya untuk mendirikan sekolah-sekolah di pulau Jawa dengan tujuan menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan.

1849-1852 Didirikan 20 sekolah bumiputra di peruntukan bagi anak-anak pribumi golongan priyayi tidak untuk rakyat jelata.

1852 Didirikan kweekschool ( sekolah guru ) untuk mengatasi hambatan kekurangan guru, pertama di Surakarta dan menyusul di kota-kota lainnya, sekolah ini pun hanyalah untuk anak-anak golongan priyayi.

1863 dan 1864 Keluar kebijakan bahwa penduduk pribumi boleh di terima bekerja untuk pegawai rendahan dengan syarat dapat lulus ujian.

1864 Berkaitan dengan kebijakan tersebut demi kepentingan di batavia didirikanlah semacam sekolah menengah yang di sempurnakan menjadi HBS ( Hogere Burger School ).

1893 Keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumiputera yaitu Sekolah Kelas I untuk golongan Priyayi sedangkan kelas II untuk golongan rakyat Jelata.

1907 Gubernur Jenderal Van Heutsz mengeluarkan kebijakan

  • Mendirikan sekolah desa biaya operasional di tanggung sepenuhnya oleh pemerintah desa.
  • Memberi corak sifat ke-Belanda-an pada sekolah kelas I maka 1914 sekolah kelas I di ubah menjadi HIS ( holands inlandse School ) 6 tahun dengan pengantar bahasa belanda. sedangkan Sekolah kelas II di sebut Vervoleg School ( sekolah sambungan) . akibat hal ini maka anak pribumi mengalami perpecahan golongan yang satu merasa lebih tinggi dari yang lainnya.

1930 Perluasan pendidikan Bumiputera mengalami hambatan karena kekurangan dana.

sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk Indonesia sekitar 68.632.000 sedangkan yang bersekolah hanya 3,32% nya.

Tidak Jauh dengan keadaan sekarang, pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini bisa di katakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada masa kolonial, yaitu menciptakan manusia yang siap kerja yang entah itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan dan sebagainya.

Pendidikan yang diberikanpun tipenya sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar lalu mencari kerja dan dapat uang.

Harusnya sistem pendidikan yang dapat menstimulasi siswa untuk bisa bepikir sebagai mental penjajah ( bukan arti sebenarnya )

WebRepOverall rating 

Perjalanan Bujangga Manik

Oleh:Ridwan Hutagalung

Bujangga Manik, Pangeran Sunda yang lebih suka hidup sebagai rahib ini, mengadakan dua kali perjalanan melintasi Pulau Jawa hingga bagian timur dan mencakup Pulau Bali dalam perjalanan keduanya*. Bujangga Manik menuliskan pengalaman perjalanannya ini di atas daun lontar dalam bentuk sajak delapan suku kata. Dalam catatannya ini, Bujangga Manik menyebutkan sekitar 450 nama tempat. Cukup menarik untuk membandingkan nama-nama tempat pada masa Bujangga Manik dengan keadaan sekarang seperti yang dilakukan oleh J. Noorduyn dalam tulisannya yang berjudul “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Pulau Jawa; Data Topografis dari Sumber Kuna”.

Dalam rangka Geotrek Trowulan-Bromo, 16-18 Maret nanti, saya ingin cuplikkan saja bagian yang menyebutkan kedua wilayah ini dengan terjemahan seperti yang terdapat dalam buku “Tiga Pesona Sunda Kuna” (J. Noorduyn & A. Teeuw, Pustaka Jaya, 2009).


800 ngalalar aing ka Bubat, aku berjalan lewat Bubat,
cu(n)duk aing ka Mangu(n)tur, aku tiba di Manguntur,
ka buruan Majapahit ke Alun-alun Majapahit,
ngalalar ka Dar/ma Anyar, berjalan lewat Darma Anyar,
na Karang Kajramanaan, itulah Karang Kajramanaan,
805 ti kidulna Karang Jaka. Dari arah selatan Karang Jaka.
Sadatang ka Pali(n)tahan, Setiba di Palintahan,
samu(ng)kur ti Majapahit, setelah meninggalkan Majapahit,
nanjak ka gunung Pawitra, berjalan mendaki ke gunung Pawitra,
rabut gunung Gajah Mu(ng)kur. Tempat suci gunung Gajah Mungkur.
810 Ti ke(n)ca na alas Gresik, Dari arah kirinya wilayah Gresik,
ti kidul gunung Rajuna. di selatan gunung Rajuna.
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan, Semua itu telah kulalui,
ngalalar ka Patukangan, berjalan lewat Patukangan,
datang ka Rabut Wahangan, datang ke Rabut Wahangan,
815 leu(m)pang aing nyangwetankeun. aku berjalan ke arah timur.
Lambung gunung Mahameru, Lereng gunung Mahameru.
disorang kalereunana. kulalui sebelah utaranya.
Datang ka gunung B(e)rahma, Datang ke gunung Brahma,
Datang aing ka Kadiran, sampai ke Kadiran,
820 ka Tandes ka Ranobawa. ke Tandes juga ke Ranobawa.
Leu(m)pang aing ngaler ngetan. Aku berjalan ke arah timurlaut.
Sacu(n)duk aing ka Dingding, Setiba aku ke Dingding,
eta hulu dewaguru. Itulah pusat kepala biara.
Samu(ng)kur aing ti (i)nya, Setelah kutinggalkan tempat itu,
825 datang ka Panca Nagara. datang ke Panca Nagara.

Itulah catatan Bujangga Manik di seputar Majapahit dan Bromo. Dalam perjalanan pulangnya, Bujangga Manik melewati dan menyebutkan lagi beberapa nama tempat di atas.

Beberapa nama tempat di atas masih dapat dikenali sekarang, seperti Plintahan, Gajah Mungkur, Mahameru, B(e)rahma. Beberapa nama tempat lainnya sudah tidak dikenali lagi sekarang, seperti Darma Anar, Karang Kajramanaan, dan Karang Jaka.

Beberapa nama tempat lainnya dapat ditelusuri dengan membuat perbandingan dengan naskah-naskah lain seperti Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Aji Saka, dan lain-lainnya. Dari perbandingan ini dapat diketahui bahwa Manguntur adalah sama dengan wanguntur atau alun-alun kraton seperti disebutkan dalam Nagarakretagama atau bahwa gunung Pawitra adalah nama lama bagi Gunung Penanggungan.

Sambil lalu, saya merasakan keasyikan tersendiri mengikuti pelacakan J. Noorduyn terhadap teks Bujangga Manik ini, perbandingan-perbandingan lintas teks yang begitu banyak, dugaan-dugaan yang diajukan, semuanya seru, rasanya seperti sedang membaca kisah detektif yang rumit, hehe.

Hal yang sama juga saya rasakan saat membaca pelacakan Hadi Sidomulyo atas perjalanan Mpu Prapanca dan Hayam Wuruk seperti yang tertulis dalam Nagarakretagama. Bedanya mungkin, Sidomulyo betul-betul merekonstruksi seluruh perjalanan pujangga itu dari awal sampai akhir. Sidomulyo betul-betul membuat perjalanan ulang, menapaki jarak, dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai catatan Prapanca. Catatan Sidomulyo ini dibukukan dalam “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca” (WWS, 2007).

Pelacakan seru lainnya saya dapatkan dalam buku “Inskripsi Islam Tertua di Indonesia” karya Claude Guillot & Ludvik Kalus (KPG, 2008) yang memeriksa nisan-nisan Islam kuno di berbagai wilayah di Indonesia dan menemukan fakta-fakta yang (bagi saya) mencengangkan. Ternyata masih banyak kemungkinan yang berbeda atas fakta yang sama dan atas pengetahuan yang sudah kita anggap benar selama ini.

*Ada sedikit kerancuan soal kunjungan ke Bali ini dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna. Dalam bagian pendahuluan (halaman 17) disebutkan: “Dengan niat seperti itu dia mengadakan dua kali perjalanan dari Pakuan ke Jawa tengah dan timur, termasuk ke Bali dalam perjalanan pertama, lalu kembali lagi.” Sementara dalam bagian lampiran 3, yaitu sebuah tulisan karya J. Noorduyn berjudul “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Pulau Jawa; Data Topografis dari Sumber Kuna” (halaman 495), dituliskan: “Sebagai rahib dia mengadakan dua kali perjalanan ke Jawa Tengah dan Timur lalu kembali, perjalanan kedua mencakup kunjungan ke Bali, dan setelah kembali tinggal di ….”

Serat Centhini – Bromo

Oleh Ridwan Hutagalung

Ini adalah kisah perjalanan putra Sunan Giri Prapen yang kedua dan ketiga, yaitu R. Jayengsari dan Niken Rancangkapti yang masih muda belia. Mereka lari dari istana Giri yang diserang musuh. Dalam pelarian ini mereka diiringi oleh santri Buras.

Perjalanan panjang ini mereka mulai dengan menumpang perahu tambangan di Kalimas. Lalu menuju Wanakrama, singgah di Sidacrema, lanjut ke Pasuruan, hingga mencapai Danau Grati (masih adakah danau ini?) yang banyak buayanya.

Rupanya dari Pasuruan, mereka agak memutar ke selatan, ke Singasari, Tumpang, dan memutar lagi ke Pasrepan, kemudian Tosari dan mendaki Gunung Tengger. Tampaklah oleh mereka lautan pasir dengan Gunung Brama di sebrangnya.

Seluruh dasarnya memang terdiri dari pasir tertutup abu yang keluar dari Gunung Brama. Oleh karena itu seluruhnya kelihatan putih metah. Bersih, tidak ada rumput dan kerokot atau semak yang dapat tumbuh di sana. Sewaktu gunung mengeluarkan api menjulang, padang pasir itu kelihatan putih sama sekali karena amat tebal pasirnya. Ditimpa sinar matahari bertambah putih mengilau. Gelombang-gelombang udara yang tampak di atas pasir bagaikan  gelombang samudra. Orang tidak akan menyangka bahwa yang kelihatan itu bukan air laut, bahkan mengira yang terbentang luas itu benar-benar lautan di atas gunung.

Di Tengger, Jayengsari dan Rancangkapti ditemani oleh Ki Sudarga, wali desa yang mereka temui di Tosari. Ki Sudarga menyarankan agar mereka berkunjung ke Gunung Brama. Dengan melalui jalan sempit, sulit, bahkan menuruni jurang yang curam dan berbahaya, akhirnya mereka sampai ke lautan pasir.

Setelah menyebrangi lautan pasir, mereka mendaki menuju puncak Gunung Brama, lalu berjalan mengelilingi bibir kawahnya. Dari atas itu ngeri rasanya melihat ke dalam kawah yang luas itu. Kecuali kawahnya, terlihat banyak pula liang-liang terusan kecil-kecil yang senantiasa mengeluarkan asap berbau belerang terbakar. Merasa tak enak oleh bau-bauan itu, mereka pun segera turun.

Sampai di bawah, terlihat oleh mereka di sebelah timur ada sebuah gunung yang tidak seberapa tingginya, tetapi tampak elok. Menurut Ki Sudarga, tempat itu adalah Asrama Ngadisari, tempat pertapaan Ajar Satmaka, penghulu Gunung Tengger. Banyak sontrang dan endang (perempuan pelayan pendeta) yang cantik-cantik rupanya. Ajar Satmaka dan para pengikutnya masih terus menganut agama Buddha yang menyembah Sang Hyang Brama. Mereka tidak diganggu-gugat oleh para pembesar di Prabalingga.

Sebelum pulang ke Tosari, Jayengsari melahirkan hasratnya akan berkunjung langsung ke asrama Ajar Satmaka pada keesokan harinya. Pagi hari, setelah sarapan wajik jepen dan canthel serta ceriping linjik, ceriping singkong, dan ceriping kentang, kacang, gembili, ubi manis dan minuman temulawak panas dengan gula siwalan beserta dodol jagung, Jayengsari meminta Ki Sudarga menemaninya berkunjung ke Ngadisari menghadap Ajar Satmaka. Nyi Sudarga ikut serta pula membawa bekal kalau-kalau Rancangkapti lapar atau kehausan dalam perjalanan. Rombongan pun tiba di ladang padi milik pertapaan Ngadisari.

Mulai hari itu juga, tinggallah untuk sementara Jayengsari, Rancangkapti, dan santri Buras di pertapaan Ngadisari. Tentu saja ada banyak pelajaran yang akan mereka dengar dan dapatkan dari Ajar Satmoko. Di antaranya penjelasan tentang sesaji korban. Sekali setahun pada hari yang mulia orang-orang Tengger laki-laki perempuan tua-muda mempersembahkan korban berupa makanan dan pakaian kepada dewanya, yaitu Batara Brama.  Mereka naik ke Gunung Brama dan sesudah sampai di puncaknya, maka semua yang mereka bawa dicemplungkan ke dalam kawah dipersembahkan kepada Sang Hyang Brama yang bersemayam di dalam api.

Ditulis ulang dari Serat Centhini Jilid I-B (Tardjan Hadidjaja & Kamajaya, 1979)

oleh Ridwan Hutagalung untuk Geotrek Bromo, 16-18 Maret 2012.

Legenda Roro Anteng & Jaka Seger

Oleh:Ridwan Hutagalung

Ini adalah legenda tentang asal mula upacara Kasada bagi masyarakat Tengger. Walaupun berlatar budaya Hindu, namun upacara ini tidak ditemukan dalam kebudayaan Hindu lain selain Tengger. Biasanya dilakukan pada tanggal 15 (purnama) pada bulan keduabelas (Kasada) dan dimulai pada pukul 02.00 hingga 07.00. Pada saat itu orang Tengger akan mengambil air suci atau tirta dari Gunung Widodaren, lalu menyucikan jiwa (nglukat umat) di lautan pasir (poten) di bawah Gunung Bromo.

Roro Anteng dan Jaka Seger adalah sepasang suami-istri yang tidak memiliki keturunan. Karena itu mereka mengajukan permohonan kepada Hyang Widhi di bibir kawah Bromo. Mereka berjanji, bila mendapatkan anak, maka salah satu dari anak mereka akan dikurbankan ke kawah Bromo sebagai tanda terimakasih.

Ternyata permohonan Roro Anteng & Jaka Seger dikabulkan. Mereka dikaruniai 25 orang anak. Pasangan ini sangat berbahagia. Saking bahagianya, mereka lupa janji. Akibatnya, dari kawah Bromo muncul letusan-letusan berapi dan muncratan lahar, pada saat yang sama, cuaca pun menjadi sangat buruk.

Roro Anteng & Jaka Seger teringat akan janji mereka. Bersama dengan ke-25 anaknya, mereka mendatangi bibir kawah Bromo dan memohon ampunan atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Keluarga ini terus berdoa di bibir kawah dalam cuaca mendung, gelap, disertai sambaran-sambaran halilintar.

Tak disangka, Raden Kusuma, salah satu anak suami-istri ini, tersambar petir hinga terjatuh ke dalam kawah Bromo. Setelah agak tenang dari kepanikan, terdengarlah gemuruh dari dalam kawah yang disertai suara Raden Kusuma, “Wahai, Ayah dan Ibuku serta saudara-saudaraku semua, hidupku sudah tentram dan aku sudah berkorban untuk kalian semua. Karena itu, hiduplah dengan rukun dan berbaktilah kepada Sang Hyang Widhi. Jangan memikirkan aku. Pesanku, kirimkanlah sebagian hasil ladang tanah ini ke kawah dan lakukanlah pada saat purnama pada bulan Kasada.”

Sejak itu, upacara Kasada dilakukan oleh orang-orang Tengger.

Legenda dan berbagai hal mengenai orang Tengger berhasil dikumpulkan dan dicatat oleh seorang javanolog Belanda bernama van Hien pada awal tahun 1900-an. Hasil catatannya kemudian dibukukan dalam tiga jilid De Javaansche Geestenwereld yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co., Batavia, pada tahun 1935. Berdasarkan pada ketiga buku van Hien dan ditambah dengan sumber-sumber lain, Capt. R. Suyono menulis buku Mistisisme Tengger yang diterbitkan oleh LkiS pada tahun 2009. Dari buku terakhir inilah kisah Roro Anteng & Jaka Seger saya tuliskan ulang untuk Geotrek Indonesia.

Cihapit, “Surga dan Masa Yang Kelam” Bandung

Kompleks perumahan Cihapit saat masa pembangunan di tahun 1930-an. Tropen Museum.

Oleh: Reza Ramadhan Kurniawan

Cihapit merupakan salah satu tempat dari beberapa bagian kawasan di kota Bandung yang menarik untuk di ceritakan. Jika dianalogikan, Cihapit pada masa sekarang adalah surga bagi para peminatnya:  berbagai makanan yang khas, buku-buku antik, kaset-kaset nuansa lalu, vinyl dan hal-hal unik yang khas lainya dapat kita temui di kawasan satu ini.

Di pasar Cihapit kita bisa menemukan banyak macam makanan khas Kota Bandung yang telah lama ada dengan cita rasa lamanya, beberapa di antaranya: Kupat Tahu Galunggung, Nasi Rames Emak Eha, Lotek Cihapit, Surabi Cihapit, Gorengan Cihapit dan Awug. Dengan berbagai sugguhan kuliner yang lezat lekat di lidah, menjadikan Cihapit magnet tersendiri bagi para pemburu makanan dari dalam ataupun luar daerah Kota Bandung. Ehmm.. lezaat.. aroma nuansa Cihapit begitu memikat, tak ayal seringkali kita temui para pelancong nongkrong sambil icip-icip sugguhan jajaran berbagai makanan yang disajikan di sekeliling Pasar Cihapit.

Salah satu yang terhipnotis lalu terjerat akan nikmatnya kuliner di sekitaran Pasar Cihapit adalah Bondan Winarno, presenter Wisata Kuliner yang terkenal dengan ungkapan “Poko’e maknyus!” ini bahkan sampai tiga kali gagal menyantap suguhan warung Emak Eha yang legendaris itu, ini disebabkan karena Emak Eha yang selalu tutup lebih dahulu karena daganganya habis. Kalau tidak datang pagi, jangan harap masih tersisa, itulah tagline warung Emak Eha yang tersirat di setiap benak para penikmat sajian si emak.

Ke mana pun mata memandang, Cihapit terlihat menarik, masih kita jumpai beberapa pepohonan yang rindang, bangunan gaya lama dan sebuah pasar, menjadikan sebuah petanda bahwa nuansa lama masih terasa hidup kentara. Jika kembali ke sejarah masa lalu, Belanda membangun daerah Cihapit dengan suatu konsep lingkungan yang sehat, komplek perumahan yang dilengkapi dengan pasar, pertokoan, taman dan lapangan terbuka (plein). Sehingga pada tahun 1920-an komplek perumahan Cihapit mendapatkan predikat sebagai contoh lingkungan pemukiman sehat di kota Bandung yang di huni oleh warga golongan menengah baik pribumi maupun Belanda. Beberapa sisa bangunan lama masih dapat disaksikan di Jalan Sabang.

Selain itu kawasan Cihapit dikenal sebagai surga bagi kawasan pecinta barang-barang antik ataupun barang loak, harga yang relatif murah tidak serbanding lurus dengan kualitasnya yang murahan. Misalnya buku-buku loak tua yang dijual bukan berarti barang bekas tak berguna, keasikan tersendiri ketika berburu mencari buku dengan tema yang diinginkan. Tiga sampai empat buku yang kita temui bisa dihargai Rp.20.000 namun ada pula satu buku yang bisa jadi dihargai sampai Rp.100.000 semua tergantung dengan umur tua dan isi buku yang dicari,  semakin sulit didapat semakin mahal.

Cetakan pertama pada penerbitan buku dapat menjadi faktor penentu sebuah harga buku. Artinya harga buku semua abu-abu, seorang penjual menjadi penentu sebuah harga yang dapat kita tawar dalam suatu transaksi jual beli.

Daya tarik kawasan Cihapit lainya adalah pedagang kaset, CD dan vinyl yang hadir di sepanjang Jalan Cihapit bagian utara. Para penjual di sana terkadang merangkap sebagai kolektor. Cihapit layaknya seperti surga penikmat musik,  kaset, CD dan Vinyl yang ditawarkan merupakan barang-barang langka yang tidak dapat kita temukan di toko-toko kaset baru, seperti kaset Dedy Stanzah, Dara Puspita ataupun musisi luar negeri seperti Bob Dylan dan The Smiths  yang jarang ada di pasaran umum. Selain itu juga terdapat piringan hitam lama dan langka dari berbagai genre dan harga.

 Cihapit yang berhimpit

Seorang wanita manis dengan pakaian berwarna merah yang malu tapi tak angkuh bertanya, “Bagaimana keadaan Cihapit pada masa Jepang dahulu?” terhimpit-himpit pada umumnya jawabannya. Pada tahun 1942-1946 Komplek Perumahan Cihapit digunakan sebagai kamp interniran, yaitu sebuah kamp konsentrasi tawanan bagi wanita dan anak-anak warga Belanda atau Eropa lainnya.

Kamp tawanan pada masa penjajahan Jepang dipisahkan kedalam tiga kelompok bagian yaitu: kamp untuk anak anak dan wanita, kamp pria berumur 18 tahun (remaja) dan kamp pria dewasa. Pemisahan wilayah pengkonsentrasian dengan berbagai kategori yang telah ditentukan memiliki tujuan tersendiri. Pemisahan antara kamp wanita dan anak dengan kamp pria bertujuan untuk meminimalisir gejolak kekacauan yang kapan-kapan bisa terjadi, pihak Jepang beranggapan jika kamp disatukan lalu salah satu anggota keluarga teraniaya, faktor tersebut bisa saja dapat memicu kemarahan dan kekacauan bagi kerabat anggota keluarga yang lainya, sehingga dengan itu pengelompokan kamp konsentrasi wilayah dibuat oleh Jepang.

Kamp interniran wanita dan anak- anak terbagi ke dalam beberapa tempat wilayah di Kota Bandung, di antaranya adalah Bloemenkamp, kamp tersebut dibuat mengunakan beberapa bangunan yang terletak dalam komplek yang dibatasi Riouwstraat (Jl. Riau, sekarang Jl. L.L.R.E. Martadinata) Tjitaroemstraat (Jl. Citarum), Houtmanweg (Jln. Tjioedjoeng, sekarang Jl. Supratman) Bengawanslaan (Jl. Bengawan) sampai Grote Postweg (Jalan Raya Timur, sekarang Jl. Ahmad Yani).

Seluruh komplek yang menjadi sebuah kamp konsentrasi terlindung di balik pagar yang terbuat dari anyaman bambu dan kawat berduri yang sangat tinggi, dengan beberapa pengawas yang  bertugas menjaga gerbang pos penjagaan.

Ada hal yang menarik di kamp Interniran Cihapit, kamp dengan penggambaran yang tidak selalu berkesan menakutkan. Konon di Kamp Cihapit selalu hadir pertunjukan kabaret yang dibintangi Corry Vonk artis kabaret terkenal asal Belanda yang ditawan di sana, selain itu muncul pula berbagai kursus sebagai bentuk pengembangan kemampuan bagi tawanan yang tertawan di sana, di antaranya: kursus balet, yoga, sekolah bagi anak-anak dan acara keagamaan. Ramal meramal dengan kartu Bridge atau tarot pun kerap dilakukan menggunakan lahan terbuka yang ada di taman segitiga Poeloelaoetweg (Jl Pulolaut) yang sekarang menjadi gedung pertemuan rukun warga.

Nasib tahanan wanita dan anak-anak masih terlihat lebih baik dari pada tahanan remaja pria dan laki laki dewasa, karena para wanita dan anak-anak tidak selalu diwajibkan harus bekerja sehingga masih bisa berinteraksi dengan baik antara sesama tahanan. Bila ingin mendapatkan jatah makanan lebih, para wanita dapat segera bekerja mengosongkan rumah yang di daulat sebagai kamp tahanan yang akan digunakan oleh tentara wanita Jepang untuk berupaya bekerja di dapur. Namun jika jatah makanan yang semula dapat dirasakan cukup (walaupun kurang bergizi atau bervitamin) semakin berkurang, para wanita menangulangi hal itu dengan menanam sayuran, buah-buahan dilahan perkarangan rumah tahanan mereka, hal ini berbeda jauh dengan keadaan yang ada di kamp konsentrasi pria, para tahanan pria harus bekerja seharian penuh tanpa adanya kebebasan menjalani berbagai aktivitas.

Keadaan menyeramkan dan kesengsaraan luar biasa terkadang tersiar di berbagai kamp interniran, hal tersebut dikarenakan para tahanan yang melanggar secara langsung ataupun tidak langsung peraturan yang dibuat tentara Jepang. Kesalahan yang dapat mengundang berbagai penindasan, pukulan, pengikatan dan penjemuran di bawah terik matahari secara kejam terjadi jika bila: tidak membungkuk atau menghormati orang Jepang, tidak menunduk atau menatap langsung ke mata orang Jepang, melawan tentara jepang, tidak melaksanakan perintah tentara Jepang, menyelundupkan barang terlarang di luar kamp, menyimpan barang berharga berupa uang, menyimpan barang-barang yang dapat diartikan sebagai lambang Raja dan kerajaan Belanda, tidak mematikan lampu tepat waktu ataupun keluar rumah tahanan diluar waktu yang ditentukan.

Namun terkadang juga terjadi penyiksaan tanpa alasan yang jelas, tahanan dipukuli sampai babak belur dan terkapar. Hanya karena perasaan kesal tentara Jepang tahanan bisa dijadikan bulan-bulanan pelampiasan kekesalan.

Para tahanan Kamp Cihapit mendapat dua kali kebaikan hati kaisar, yaitu diperbolehkan mengirimkan kartupos kepada suami dan anak di kamp lainya, Surat yang dituliskan pada sebuah kartupos tidak lebih dari 25 kata, tidak boleh dituliskan tanggal dan ditulis dalam bahasa indonesia. Selain itu surat tidak boleh berisi berita mengenai nama kamp, nama penyakit, menurunnya berat badan dan berita negatif lainya. Berita yang diperbolehkan untuk diceritakan dalam kartupos adalah berita baik dan dan menggembirakan saja, namun hal ini pun tidak mudah karena sulitnya alat tulis, pena, kartupos dan waktu penulisan yang terbatas, menjadikan kesulitan tersendiri.

Pada saat dibuka pada 17 November 1942 penghuni Kamp Interniran Cihapit sekitar 14.000 orang, dan ketika ditutup pada Desember 1944 penghuninya sekitar 10.000 orang lalu dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor dan Jawa tengah. Tercatat sekitar 243 korban yang meninggal di Kamp ini. Dengan kepadatan penghuni yang seperti itu maka keadaan Kamp Cihapit dahulu saling berhimpit dalam satu rumah. Bisa jadi dalam satu rumah kecil bisa berisi 20 orang penghuni. Padat dan berhimpitan bukan.

Belajar dari Masa lalu yang berlalu

Sejarah merupakan sebuah gambaran masa lalu, hal ini dapat bermakna baik ataupun buruk pada kisahnya. Salah satu contohnya bagaimana kita dapat melihat kisah hiruk-pikuk keadaan kawasan Cihapit pada masa lalu hingga suasananya bertranformasi seperti sekarang ini. Kawasan Cihapit yang dulu mempunyai julukan sebagai kawasan percontohan pemukiman sehat di kota Bandung, patutlah untuk dihidupkan kembali konsepenya di berbagai pemukiman kota. Sebuah lingkungan komplek pemukiman dengan dilengkapi taman, lahan terbuka hijau dan pasar, menjadikan keunggukan di banding komplek pada saat ini yang berisi perumahan saja tanpa ruang terbuka publik yang makin lama samakin hilang keberadaanya.

Adanya sebuah lahan terbuka hijau pada suatu komplek perumahan diperlukan sebagai lahan interaksi antar penghuni rumah, atapun juga sebagai sarana rekreasi bagi penghuni komplek perumahan; piknik, bermain dan belajar. Keberadaan rumah yang sama tingginya seperti yang dapat kita lihat pada gambar suasana perumahan di Cihapit pada masa lalu, mengidentifikasikan bahwa, perumahan yang sehat patutlah menerima cahaya matahari yang sama, hal ini bertujuan untuk keberlangsungan hidup rumput dan berbagai tanaman yang ditanam di depan halaman rumah, sehingga tercipta lingkungan sehat bagi penghuni rumah.

Adapun pula konsep pasar yang berada di sebuah komplek pemukiman, pendiriannya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi para penghuni komplek. Pasar yang dapat diartikan sebagai sarana tempat bertemunya para penjual dan pembeli, memiliki keunggulan dibandingkan konsep unit pertokoan yang hadir pada komplek permukiman saat ini, konsep toko serba ada hanya menguntungkan bagi kepentingan beberapa  kalangan orang saja dibanding keberadaan pasar yang mensejahterakan berbagai penjual dan pembeli pada lingkungan sebuah pasar.

Sejarah memberikan gambaran pada kita bagaimana hal yang baik dan yang buruk terjadi pada masa lalu. Patutlah menjadi bijak jika kita bisa belajar dari cerita sejarah masa lalu, hal ini kiranya bisa dijadikan sebuah referensi  untuk kebijakan yang lebih baik ke depanya. Biarkanlah berlalu untuk cerita kelam, tapi hendaklah tidak dilupakan dalam benak, dari sana kita bisa belajar banyak bukan malah makin terperosok ke dalaman sumur nestapa yang gelap.

Apresiasi adalah menghargai segala sesuatu yang ada, mengepresiasi sejarah berarti kita menghargai setiap kejadian cerita yang ada, bukan berarti  mengagung-agungkan romantisme pada masa lalu ataupun mengangkat kisah sejarah kelam yang ada, tetapi hendaklah menjadi sebuah acuan untuk kita bisa belajar. Toleransi adalah perekat perbedaan pendapat yang ada, untuk apa bersikut-sikutan, jika kita punya satu tujuan yang sama menjadikan kota lebih baik, bukankah sejarah bisa dijadikan pijakan pertama untuk bertindak yang bijak. Semoga para petinggi pemerintahan kota Bandung bisa belajar dari masa lalu yang berlalu. Amien.

Daftar pustaka:

Kartodowiro, Sudarsono Katam. 2006. Bandung, Kilas Peristiwa di Mata Filatelis. Sebuah Wisata Sejarah. Bandung : Kiblat Buku Utama.

Schomper, Pans. 1996. Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur. Dorned.

Voskuil, Robert P.G.A. 2007. Bandung Citra Sebuah Kota. Terjemahan Bandung: Jagadhita.

Asdhiana, I made. 2011. Warung Kenangan Pasar Cihapit. dimuat di http://travel.kompas.com/read/2011/01/26/08240089/Warung.Kenangan.Pasar.Cihapit. Diakses 26 Januari, 2011.

Winarno , Bondan. 2008. Mak Eha dan Mbah Karto. dimuat di http://nasional.kompas.com/read/2008/06/20/08510523/Mak%20Eha%20dan%20Mbah%20Karto. Diakses 20 Juni, 2008.

Wiryawan, Ryzki. 2011. Kamp Interniran Cihapit. dimuat di http://aleut.wordpress.com/2011/08/04/kamp-interniran-cihapit/. Diakses 4 Agustus, 2011.

Daftar Gambar:

 Cari Buku Langka? Mungkin Ada di Cihapit http://www.reportase.com/2011/09/cari-buku-langka-mungkin-ada-di-cihapit/. Diakses 15 September,2011.

Wiryawan, Ryzki. 2011. Kamp Interniran Cihapit. dimuat di http://aleut.wordpress.com/2011/08/04/kamp-interniran-cihapit/. Diakses 4 Agustus, 2011.

Asdhiana, I made. 2011. Warung Kenangan Pasar Cihapit. dimuat di http://travel.kompas.com/read/2011/01/26/08240089/Warung.Kenangan.Pasar.Cihapit. Diakses 26 Januari, 2011.

Dalam Memorabilia Masa Anak-anak bersama Aleut

Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita

Cihapit sudah familiar bagi saya. Di sini ada SDN Sabang, yang masuk dalam rute sopir jemputan saya waktu SD, sedang saya sendiri sekolah di SD Istiqamah yang lokasinya tak jauh dari situ. Seingat saya di dekat SDN Sabang ada Toko MM, yang mana berkali-kali saya pernah dibawa ibu saya belanja di situ. Tidak tahu apakah toko tersebut masih ada, Aleut (26/02/12) tidak menggiring kami sampai sana.

 

Pintu masuk yang nyempil di antara dua bangunan

Di Pasar Cihapit kami berpencar. Pintu masuknya berupa lorong yang diapit dua dinding bangunan yang lumayan tinggi. Bagian dalamnya seperti pasar pada lazimnya. Beragam barang didagangkan di sini, mulai dari makanan tradisional, buah-buahan, lauk-pauk, bumbu masak, hingga pakaian dan elektronik. Namun yang menjadikannya demikian terkenal sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di Bandung adalah kehadiran beberapa tempat makan khas seperti warung makan Bu Eha, Surabi Cihapit, dan Kupat Tahu Galunggung.

 

Surabi Cihapit campur telor

Saat kami melintasi los Bu Eha, warung makan tersebut tidak buka. Saya sendiri belum pernah makan di sana. Konon warung makan tersebut menjual masakan khas Sunda biasa—masakan rumahan—yang saking maknyusnya, Bondan Winarno pernah bertandang ke sana. Pasar Cihapit konon sudah berdiri sejak lama, meski mungkin tidak selama Nyonya Meneer, begitupun warung makan Bu Eha.

Penyambung nyawa para survivo

Di sini pula menjadi ajang reuni saya dengan honje. Bagian buahnya yang berwarna merah muda itu dikupas hingga tersisa bagian berwarna putih dengan rasa agak sepet. Buah inilah yang menjadi salah satu penyambung saya dan kawan-kawan yang melakukan survival di Situ Lembang dalam rangka Diksar Jamadagni—ekskul pecinta alam di SMAN 3 Bandung.

 

Belajar nama-nama lalapan yuk… dari atas: Gandaria (penyedap), Belimbing Wuluh, Eceng Gondok dan Kembang Pepaya.

Masih di kawasan Cihapit, terdapat Taman Cibeunying. Taman ini terbagi karena dipisahkan jalan. Salah satu pulau taman menjadi sentra penjualan tanaman hias. Saya pernah ikut Bapak saya belanja ke situ. Sudah begitu, pohon-pohon besar masih anteng merindangi sehingga kawasan ini menjadi salah satu kawasan terhijau di Bandung.

 Di mana ada kawasan hijau di Bandung, itu rupanya memiliki keterkaitan dengan sejarah pembangunan kota pada masa pendudukan Belanda. Taman merupakan elemen yang wajib ada pada pemukiman orang Belanda saat itu sebagai ruang aktivitas warga. Merupakan tradisi pula bagi warga Eropa untuk menghabiskan waktu dengan mengaso di halaman rumah sambil minum teh, makan kue, mengobrol dengan tetangga, dan sebagainya.

 Sebagian taman memang telah raib, namun sebagian taman masih ada dan menawarkan kenyamanan bagi penduduk Kota Bandung kini. Contohnya ya taman-taman yang dilalui dalam lawatan Aleut kali ini. Taman Cibeunying sendiri dulu merupakan pusat pembibitan tanaman (Tjibeunjingplantsoen).

 

Bank yang terletak di seberang Taman Cibeunying ini ternyata warisan Belanda. Cek di sini

Siapa sangka, Cihapit ternyata pernah mengalami masa kelam. Pada masa pendudukan Jepang, Cihapit yang merupakan kawasan pemukiman orang Belanda notabene menjadi kamp interniran terbesar bagi kaum wanita, orang tua, dan anak-anak, sedang para pria ditempatkan di kamp interniran di daerah lain. Sekeliling kawasan diberi pagar berduri. Para interniran pun memanfaatkan gorong-gorong di bawah tanah sebagai sarana berkomunikasi. Dalam masa itu, warga hanya bisa beraktivitas di taman-taman. Hiburan datang dari simpatisan Belanda atau Jerman yang melawat ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Corry Vonk.

Dari Cihapit, kami memasuki jalan demi jalan di pemukiman sekitarnya. Kami bertemu beberapa bangunan tua seperti Gereja Maranatha yang dibangun sekitar 1925 dengan gaya arsitektur khas kolonial, rumah khas Belanda dengan nama anak perempuan pertama di bawah atapnya (Helena dan Leonie), rumah pribumi, dan toko-toko (pertokoan China dan Toko Cairo).

 

Gereja Maranatha yang antara lain terkenal karena loncengnya

 

Salah satu rumah pribumi yang tersisa di jalan buah-buahan

 

Dengan jam buka dari 1 PM – 3 AM, Toko Cairo masih mengikuti tradisi tidur siang dari Eropa yang disebut siesta

 

Rumah bernama Leonie (haha enggak kelihatan yah namanya) di seberang Taman Cempaka

Melewati SDN Priangan, lagi-lagi saya merasa familier. Beberapa orang yang saya kenal di masa awal SD saya merupakan murid SD tersebut. Saya bertemu mereka dalam mobil jemputan setiap pagi dan siang selama enam hari sekolah, sebanyak itu pula saya melintasi daerah ini kala itu. Di sekitar SDN Priangan itulah terdapat bangunan pertokoan khas China dengan lima pintu yang mempengaruhi bentuk rumah khas Betawi.

 

Di pinggir lapangan ini mobil jemputan saya biasa nongkrong. Di seberang sana adalah deretan toko China, namun ternyata sudah ada yang bersalin rupa.

Tidak jauh dari SDN Priangan, terdapat SDN Ciujung. Lapangan yang rada becek berada di seberangnya, dilingkari jalan, dulunya bernama Houtmanplein. Masih dua taman lagi di depan yang kami jumpai. Konon dua taman tersebut berpasangan. Taman yang dinamai dengan nama raja dari Belanda berukuran lebih kecil dan tampak tidak terawat bila dibandingkan dengan taman satunya, yang dinamai dengan nama ratu dari Belanda namun kini lebih dikenal sebagai Taman Cempaka.

 

Lapangan Ciujung alias Houtmanplein yang tertutup semak-semak… :9

 

Sisi taman (aslinya plein atau lapangan) raja Belanda:  sampah apa lemarinya tuna wisma?

 

Kondisi taman raja Belanda

 

Bemukim di Taman Cempaka

 

Beginilah sebaiknya taman dimanfaatkan

Empat pohon ki hujan alias trembesi (Samanea saman) berdiameter sekitar 1,5 m cukup untuk menaungi taman yang cukup luas bagi warga untuk melakukan beberapa aktivitas itu. Beberapa sarana bermain anak menancap di rumputnya yang sebagian telah tergerus. Di sana kami memakan bekal yang kami beli di Pasar Cihapit lalu mendemonstrasikan beberapa permainan di masa lampau.

 

Sondah

 

Permainan congklak konon mengandung filosofi menabung

Entah apakah anak-anak zaman sekarang masih ada yang merasakan kesenangan dari permainan-permainan ini, sebut saja congklak, gatrik, dan benteng-bentengan atau pris-prisan. Saya termasuk generasi yang cukup beruntung dapat merasakannya. Melalui permainan yang sekaligus tampak melelahkan dan sadis inilah anak-anak belajar berstrategi, bersosialisasi, sekaligus mengasah daya motorik seluruh tubuh—tidak hanya jari.

 

Gatrik, belum pernah saya mencoba permainan satu in

Kini kemajuan teknologi yang dibarengi penyempitan lahan telah membuat anak-anak lebih memilih untuk jadi anak rumahan. Permainan individualis tapi aman, misalnya bunuh-bunuhan dengan teman tapi cuman dalam layar, lebih menyita minat mereka.

 

Mana nih yang lagi main benteng-bentengan?

Bang Ridwan—salah satu narasumber Aleut—tidak sependapat bahwa permainan jadul secara persis membentuk karakter. Para “pembesar” negeri ini, yang notabene besar-besaran dalam KKN, juga besar dengan melakukan permainan-permainan jadul.

Tan hana nguni, tan hana mangke, pepatah Sunda Kuno yang berarti tidak ada masa lalu, tidak ada pula hari ini, demikian jargon Aleut. Minggu itu, bersama Aleut dan kru Metro TV yang hendak meliput kegiatan komunitas-komunitas di Bandung, saya menapaktilasi bagian dari masa silam yang ikut membentuk saya yang sekarang. Seperti apa saya yang sekarang hanyalah masa lalu bagi saya di masa yang akan datang. Jika masa lalu demikian nikmat dikenang, maka seyogyanya masa yang dijalani kini bisa menjadi sesuatu yang berharga pula untuk dikenang nanti. Persoalannya, bagaimana caranya?

Kaulinan Tradisional

Oleh: Risman Budiman

Kami anak-anak pencinta pelangi “Pak ketipak ketipung mejikuhibiniu”

Kami kesekolah di antar pelangi ” Pak ketipak ketipung mejikuhibiniu”

Tema Aleut kali ini seperti “Mesin waktu” yang membawa kita kembali ke masa kecil, menjadi manusia tanpa obsesi dan permasalahan seperti sekarang yang sebenarnya sifat dan pembawaan semasa kecil tidak hilang sepenuhnya, karena kita tetap menjadi orang yang sama (angger resep ulin, resep jajan, resep ngahiji) walaupun bentuknya tidak sama.

Terpintas di pikiran kalau saja bisa kembali ke masa kecil dengan kapasitas pemikiran yang sekarang, pasti cerita hari ini akan berbeda. Bang Ridwan kemarin bilang kalau permainan tradisional tidak di ketahui persis akan membentuk watak dan pola prilaku seseorang setelah dewasa, tetapi setiap permainan tradisional punya filosofi yang masuk akal.

Setiap jenis permainan memiliki maksud tertentu dan ternyata penuh dengan filosofi pendidikan. Misalnya saja pada permainan sondah mandah, dimana bidang permainan dibuat dalam bentuk bangun persegi beberapa kotak dan diujungnya dibuat lingkaran besar. Menurut penelitian Kang Zaini, petak pertama media sondah adalah simbol dari bumi, sedangkan lingkaran besar di ujung adalah simbol dari surga.

Perjuangan para pemain sondah untuk mencapai tahap demi tahap permainan adalah simbol dari usaha di dunia ini. Ketika seorang pemain gigih bekerja keras, maka ia pun sedikit demi sedikit akan mendapat bintang di salah satu petak. Bintang itu sendiri adalah simbol kenikmatan duniawi. Jika satu kotak sudah ditandai bintang oleh satu pemain, maka pemain lain tidak boleh menginjaknya, tetapi harus melangkahinya. Hal itu adalah simbol dari aturan dalam menghormati hak milik seseorang di dunia ini. Semakin banyak seseorang pemain mendapat bintang ia semakin santai, dan sebaliknya pemain yang bintangnya sedikit ia pasti kerepotan karena harus melangkahi banyak petak orang lain untuk berjalan. Begitulah juga kehidupan di dunia nyata, bukan?

Filosofi lain yang tak kalah menarik adalah pada bintang yang diperoleh para pemain di lingkaran besar. Kalau pada petak permainan (dunia) para pemain dilarang meletakkan bintang di wilayah yang sudah dimiliki orang, namun berbeda dengan lingkaran di ujung itu (surga). Meskipun hanya satu area, tapi semua pemain boleh berbagi tempat meletakkan bintang di sana, tak peduli apakah pada petak permainan mereka punya banyak bintang (orang kaya) atau sedikit bintang (miskin). Sungguh filosofi yang menarik menurut saya.

Tahukah Anda permainan paciwit-ciwit lutung? entah di daerah lain selain Tatar Sunda bernama apa. Permainan itu adalah saling mencubit punggung tangan menumpuk ke atas. Lagu pengiringnya kalau di Tanah Sunda”Paciwit ciwit lutung si lutung pindah ka tungtung” (saling mencubit para lutung (monyet) si lutung pindah ke ujung). Maka tangan yang paling bawah akan pindah ke atas, mencubit tangan temannya yang lain. Begitulah terus-menerus sampai setiap tangan bergantian naik ke atas dan kemudian tergeser rotasi permainan kembali ke bawah dan seterusnya.

Katanya, permainan itu adalah juga simbol kehidupan dunia. Manusia itu tidak selamanya sengsara, dan tidak selamanya juga kaya raya; tidak selamanya mendapat berkah, tidak selamanya juga berada dalam kesusahan. Hal itu sepertinya untuk menyadarkan manusia agar tidak sombong saat berjaya dan juga tidak merasa rendah diri dan putus asa saat kondisi materil tidak terlalu memadai.

Ternyata kita bisa belajar kehidupan dari masa lalu, dan anak kecil.

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑