Month: February 2012

Braga Pernah Jadi Saksi Pertempuran Mode

Oleh:Arya Vidya Utama

Braga, sekarang ini dikenal sebagai kawasan wisata kota tua di Bandung, walaupun sebenarnya kondisinya sedikit jauh dari layak. Jalanan yang diganti dari aspal menjadi batu andesit malah membuat jalan menjadi rapuh, pembangunan hotel di bekas Toko Bunga Abudantia membuat semakin parahnya kerusakan jalan, dan beberapa bangunan bersejarah yang terkesan (atau mungkin sengaja) tidak dirawat.

Namun mungkin hanya sedikit yang mengetahui bahwa di awal abad ke-20, kawasan selatan Braga pernah jadi saksi pertempuran fashion antara Prancis dan Belanda.

Di sebelah lahan yang kelak menjadi Bioskop Majestic, berdiri sebuah toko pakaian yang berkiblat ke Prancis, bernama “Au Bon Marche”. Didirikan oleh A. Makkinga pada tahun 1913. Au Bon Marche sendiri mempunyai arti “Belanja Murah Berkualitas”, walaupun sebetulnya harga dari pakaian di toko ini tidaklah murah.

Toko ini pun sangat up-to-date. Begitu ada model pakaian baru yang muncul di Paris, hanya berselang beberapa minggu pakaian tersebut telah muncul di toko ini. Tak heran para borjuis Hindia Belanda sering datang ke toko ini untuk berbelanja. Saking majunya usaha Au Bon Marche, toko ini memperluas bangunannya hingga ke utara.

Beberapa tahun berselang, pada awal tahun 20-an, muncul pula sebuah toko pakaian yang berkiblat ke Belanda, bernama “Onderling Belang”. Onderling Belang sendiri dapat diartikan sebagai “saling perhatian”. Toko milik H.J.M. Koch ini sendiri merupakan cabang dari pusatnya yang ada di Amsterdam.

Toko OB di Bandung ini adalah cabang kedua di Hindia Belanda. Sama seperti Au Bon Marche, koleksi pakaian disini pun up-to-date. Pada masa nasionalisasi oleh Presiden Soekarno, nama toko ini diubah menjadi Sarinah.

Sekarang nasib keduanya pun bersaing, sayangnya persaingan itu terjadi dalam hal kehancuran gedung masing-masing. Gedung utama Au Bon Marche terbengkalai (saat ini bagian atapnya sedang dikupas, entah untuk apa tapi semoga untuk direnovasi), bagian perluasan gedungnya sendiri dihancurkan dan dibangun gedung baru, namun cukup beruntung masih menyisakan 2 blok bentuk aslinya yang digunakan sebagai toko dan cafe. Sedangkan gedung Onderling Belang (Sarinah) sudah 90% hancur, seperti tinggal menunggu waktu untuk runtuh.

Referensi:

http://aleut.wordpress.com/2011/10/14/onderling-belang/

http://dieny-yusuf.com/au-bon-marche-building-jalan-braga-3-bandung

Sejarah Di Antara Halaman Buku

 Oleh : Nia Janiar

Langit mendung rupanya tidak membuat 59 pegiat Aleut malas atau patah semangat menyusuri sejarah toko buku lama (juga percetakan) yang ada sepanjang Jalan Braga dan sekitarnya. Sembari makan roti atau minum kopi untuk menghangatkan diri, mereka duduk-duduk di pelataran Landmark–tempat yang terkenal sering mengadakan pesta buku atau pameran elektronik–sambil menunggu yang terlambat.

Lekat dengan perbukuan, tempat yang sedang diduduki para pegiat ini dulunya Toko Buku Van Dorp yang dibangun oleh Schoemaker pada tahun 1922. Schoemaker, yang karyanya tersebar di Bandung ini, menetapkan ciri khasnya pada pemasangan ornamen nusantara Batara Kala (anak Dewa Siwa yang merupakan dewa penguasa waktu dan memiliki wajah buruk rupa) tanpa rahang. Jika ingin melihat Batara Kala dengan rahang, bisa dilihat di Gedung Majestic.

 

Batara Kala di sisi kiri dan kanan gedung

Berbeda dengan Aula Timur ITB buatan Maclaine Pont dimana gaya Eropa dan nusantaranya betul-betul dilebur, ornament nusantara Schoemaker hanya berupa tempelan saja. Dengan gaya arsitektur indo europeeschen architectuur stijl, gedung ini memiliki konsep arcade. Konsep arcade merupakan konsep perencanaan pembangunan pertokoan yang memiliki tujuan agar pejalan kaki nyaman. Bisa dilihat di bangunan Landmark ini, setiap penghubung toko diberi atap sehingga pejalan kaki bisa berjalan tanpa kepanasan dan kehujanan.

 

Arcade

 

Salah satu buku keluaran Van Dorp

Van Dorp mengeluarkan sebuah album buku berjudul Indische Tuinbloemen pada tahun 1940an. Nah, buku tersebut menjual gambar yang terpisah dan pembeli gambar akan mendapatkan bibit bunga dan pot jika membelinya. Selain itu, Toko Buku Van Dorp berada di depan sebuah pasar bunga yang kini berada di Jalan Wastukencana.

Beranjak ke arah Hotel Panghegar, ternyata di sana ada sebuah hotel yang dulunya Toko Buku Prawirawinata di Jalan Oude Hospitaalweg (kini Jalan Lembong) pada tahun 1920-an. Ini merupakan toko buku pertama yang dibuat oleh seorang pribumi dan khusus menjual buku-buku Bahasa Sunda. Selain itu, buku-buku kala itu khas dengan adanya foto pengarang serta peringatan pentingnya hak cipta. Tentunya ditulis dalam Bahasa Sunda.

 

Ngomong-ngomong tentang Bahasa Sunda, Aleut menceritakan tentang runtuhnya kerajaan Sunda dan masuknya Kerjaan Mataram dengan membawa beragam imbas, salah satunya pada bahasa. Bahasa Sunda menjadi tersisih, Bahasa Jawa mulai dipakai para menak, Bahasa Sunda dianggap bahasa gunung dan bahkan Belanda menganggap sebagai distorsi dari Bahasa Jawa. Kalau tambahan dari Ajip Rosidi, undak-usuk yang ada di Bahasa Sunda itu diciptakan Kerajaan Mataram, Sultan Agung, agar menjadi pembeda ia dengan rakyat.

Oleh karena itu diadakan sebuah penelitian dan dibakukanlah Bahasa Sunda oleh Belanda sebagai bahasa yang mandiri. Sekitar tahun 1908, mulai diadakannya buku paket dalam Bahasa Sunda yang dibutuhkan oleh bumi putra. Pemerintah Belanda hanya menyalurkan buku dongeng atau novel ke sekolah-sekolah dengan tujuan mencegah para pelajar membaca buku impor.

Selain toko buku, Bandung juga memiliki beberapa percetakan yaitu salah satunya adalah Toko Tjitak Affandi di tahun 1903. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Wawacan Angling Darma pada tahun 1906. Kalau dari sumber lain, ada percetakan lain yang dimiliki oleh Indo-Eropa yaitu G. Kolff & Co. Percetakan ini menerbitkan novel pertama karya sastrawan Sunda berjudul Baruang kanu Ngarora karya D.K. Ardiwinata tahun 1914. Berhubungan dengan penjelasan Aleut bahwa banyak karya Sunda dalam huruf Latin yang dibeli Belanda sehingga hanya meninggalkan karya bertuliskan huruf Jawa dan Arab saja. Sehingga tidak aneh banyak manuskrip Sunda yang ditemukan di Leiden, Belanda.

Untuk melengkapi pergerakan bacaan di Bandung, ternyata di Gedung Pusat Kebudayaan yang berada di Jalan Naripan ini dulunya merupakan tempat sebuah kabar nasional pertama berbahasa Melayu bernama Medan Prijaji tahun 1907. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo yang kisahnya diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer di novel Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Buku menjadi jendela dunia bagi siapa saja yang membacanya. Buku membantu membuka carkawala serta membuat pikiran melanglang jauh dari raga berpijak dan amat disayangkan jika sejarah keberadaannya dilupakan. Semangat pergerakan buku di Bandung kala itu masih bisa berlangsung hingga generasi sekarang–dengan menciptakan sebuah karya atau sesederhana terus membaca.

Desas-Desus Bawah Tanah

Oleh: Nia Janiar

Kau tahu, rasanya berisik betul saat kau dan teman-teman kau itu melewati kami. Kaki-kaki kalian membuat tanah berdebam, menggetarkan dari kepala hingga kaki, membikin tulang-tulangku semakin keropos saja. Belum lagi, ada yang berisik, ada pula satu orang yang berkata keras-keras (seperti sedang berpidato atau orasi), belum lagi ada yang duduk di atas nisan membikin berat kami yang ada di bawahnya.

“Siapa sih?” tanya Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Suaranya merambat di dalam tanah.

“Mana ku tahu! Dulu pun pernah begini.”

“Heuh!” Pria kelahiran 1882 yang dulu terkenal sebagai arsitek itu mengeluh panjang. Keluhannya semakin membikin teman-temanku yang sedang mengaso dengan tenang di dalam tanah Makam Pandu kini terbangun. Mereka protes sebentar lalu kembali tidur.

“Paling-paling ia mau menjenguk kau yang berprestasi itu. Mereka akan menyebut-nyebut Villa Isola, Gedung Merdeka, Hotel Preanger, sebagai karyamu. Juga akan menyinggung muridmu yang hebat itu–Soekarno. Juga sisipan bahwa kau pernah mendirikan biro C. P. Schoemaker en Associatie, architecten en ingenieurs yang hanya bertahan 6 tahun,” ujarku panjang lebar.

“Ah,” Schoemaker mengeluh lagi, “buat apa banyak yang datang jika mereka tidak membersihkan ilalang di atas nisanku. Hanya ganggu tidur saja.”

Kaki-kaki kau dan teman-teman kau itu melangkah lagi. Tidakkah kau tahu bahwa setiap kaki yang menginjak nisan, gemerutuk batu yang membikin ngilu terasa sampai bawah sini?

Bolehlah jika makamnya seperti keluarga Tan Djin Gie–si pengusaha batik sekaligus pendiri salah satu hotel tertua di Bandung yaitu Hotel Surabaya (1886)–yang memiliki atap dan leluasa. Ketenangan yang harusnya tidak ia dapatkan karena ia bikin orang semakin banyak bersinggah untuk menginap hotel di sini. Mana ia bisa tidur tenang karena keluarganya ada di sampingnya. Nah aku? Satu nisan tanpa atap, bersebelahan dengan kepala di kakiku dan kaki di kepalaku. Di sini sudah seperti rumah susun! Sempit. Padat. Berantakan!

“Kalau mau enak, ya pindah saja ke Ereveld Pandu!” teriak Schoemaker. Aku yakin kau dan teman kau itu pasti ingin ke Taman Kehormatan alias Erevald Pandu. Sayangnya kau harus mengantungi perizinan tertulis untuk masuk ke tempat dikuburkannya para Koninkijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL itu. Jangankan kau yang bukan keturunan, anggota keluarga, atau ahli waris. Orang paling berjasa seperti Schoemaker dan Raymond Kennedy saja tidak dikuburkan di sana. Mereka ikut terinjak bersamaku, si warga sipil sekaligus penganut Kristen taat ini!

“Kristen taat? Apa Salibmu masih utuh di atas nisan? Atau nasibnya sudah sama dengan kuburan Raymond Kennedy yang kini hanya terlihat seperti bongkahan batu di tengah rumput liar?” ejek Schoemaker sambil terkekeh. Setan betul dia!

Kuingat betul ketika Raymond Kennedy baru didatangkan ke pemakaman ini. Walau tidak pernah mengobrol, kudengar ia adalah seorang antropolog kebangsaan Amerika yang terbunuh di Bandung–di negara yang ia cintai betul dan ia tuliskan di buku-bukunya! Hah! Kejam betul orang-orang negeri ini. Kudengar pula bahwa ia sama seperti si tukang ngeluh itu bahwa ia adalah seorang profesor di bidang sosiologi dan antropologi. Orang hebat seperti dia saja makamnya sudah begitu, apalagi aku?

“Mungkin kau harus jadi tukang susu dulu!” ujar Schoemaker sambil terbahak. Kubayangkan rahangnya yang sudah copot itu bergerak ke atas dan ke bawah. Menertawakan seolah-olah makamnya jauh lebih baik dari aku saja!

“Kenapa memangnya si Ursone tukang susu itu? Coba kau ceritakan tentang dia!”

“Di sana dia sama keluarganya yang merupakan pindahan dari kerkhoff Pajajaran. Kuburannya paling megah di sini! Bentuknya seperti kuil di zaman Romawi. Sudah hidup kau di zaman itu? Haha. Mereka penghasil susu kualitas tinggi di akhir abad 19 dengan perusahaan Lembangsche Melkerij Ursone. Awalnya mereka punya 30 ekor sapi, tapi belakangan jadi 250 ekor karena didatangkan dari Belanda. Bayangkan, dari Belanda! Semua susunya mereka simpan di Bandoengsche Melk Centrale (BMC).”

“Itu pasti yang membikin kau dan orang-orang Belanda itu tinggi-tinggi. Bukankah hanya orang mampu yang membeli susu?” tudingku. Seumur-umur, aku baru mencicipi susu barang 3 kali.

Sebelum Schoemaker menjawab, samar-samar kudengar suara di atas tanah, “Kalau orang Islam itu harus engga sih nisannya berbentuk balok? Kalau nisannya bentuknya dikreasikan, dosa enggak ya?”

Biar kutebak. Salah satu dari kau pasti baru melihat makamnya si pilot dan awaknya itu, ‘kan? Kau pasti terkagum dengan ukiran orang di atas batu serta baling-baling patahnya, ‘kan? Perkenalkan, yang sedang menundukkan kepalanya itu bernama Philippe Marie Mathus Bogaerts dan di sebelahnya terbaring JC. Pols yang sama-sama meninggal di tahun 1933. Mereka wafat karena kecelakaan diantara Padalarang – Cililin.

“Mau aneh-aneh saja mereka itu,” ujar Schoemaker, “yang terpenting dari makam bukanlah bentuknya tetapi keturunan yang mengurusnya sambil mengingat bahwa kau terus ada di benak mereka.” Schoemaker berujar sendu. Aku paham karena konon yang membiayai perawatan makamnya bukanlah keluarganya, tapi keturunan dari muridnya yang hebat itu. Aku juga jadi paham tentang makam-makam yang tidak bernama melainkan hanya nomer 1 sampai 109 dengan penanda bambu runcing serta bendera merah putih saja. Mereka tidak pernah dicari keluarganya. Mungkin mereka pernah dicari tapi keluarga tidak tahu ada dimana jenazahnya. Padahal mereka ada di situ, membujur kaku di depan pemakaman megah padahal sama-sama berjuang untuk sesuatu yang diyakini: negara.

Tanah berdebam panjang. Kuyakin itu bukan kau atau teman-temanmu, melainkan sebuah motor yang baru melintas di sampingku. Dibandingkan di sini, lebih baik aku disimpan di laci seperti yang ada di dekat makan si Ursone itu. 52 jenazah dibaringkan di laci bertingkat dua dengan plakat marmer yang dipesan langsung dari Italia. Mereka wafat sebelum tahun 1950-an dan berinskipsi Belanda. Walaupun dari beberapa dari laci ada yang dibongkar entah untuk diambil atau dipindahkan, memperlihatkan ketelanjangan mayat dalam tulang belulang.

Samar-samar suara debaman kaki sudah hilang. Kuyakin hari sudah menjelang sore dan kau sudah pulang. Sementara suara galian tanah di sebelah makin kentara saja. Sepertinya ada yang membongkar makam lagi. Kudengar keluarganya tidak pernah bayar sehingga rumah terakhirnya itu akan dibongkar, lalu mayat akan dibakar kemudian agar liangnya ditempati orang baru. Jika terdengar suara-suara halus yang berdesah dengan debaman kecil namun konstan di atas makam, artinya hari sudah menjelang malam.

“Schoemaker, kau masih di sana?” tanyaku.

Tidak ada jawaban. Kuyakin ia sudah tidur.

Tak Sekadar Makam – Menilik Makam Pandu bersama Aleut

Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita

Saat itu sekitar jam setengah delapan pagi pada hari Minggu ketika saya dan Ayunina berada di kawasan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Tanpa arah yang pasti menuju Jalan Otten, kami bertanya untuk ketiga kalinya pada seorang pria di tepi jalan. Dengan penuh perhatian, pria itu menguraikan jalan dan arah yang harus kami tempuh agar sampai di tempat yang ditentukan oleh pengurus Aleut. Di tengah penjelasan, sebuah intro yang amat familier bagi rakyat Indonesia mengalun dengan kerasnya dari arah pria tersebut. Sepertinya ponselnya berbunyi. Untung saja kami sudah berlalu sebelum intro tersebut sampai pada lirik yang begitu tepat menggambarkan apa yang tengah kami alami…

…ya… ya ya ya ya ya… ya ya ya ya… ya ya ya ya ya…

…ke mana… ke mana… ke mana… ku harus… mencari ke mana…

Minggu lalu kami telah mengisi formulir untuk menjadi anggota komunitas yang sudah eksis sejak enam tahun lalu ini, membayar 10.000 rupiah untuk setahun yang antara lain akan diguna

kan untuk jarkom dan pin, serta mengikuti ngaleut pertama kami ke berbagai taman kota yang ada di kawasan Bandung utara. Buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” buah kata Haryoto Kunto (Bandung: PT Granesia, 1986) adalah babon yang sempurna untuk mengiringi perjalanan asyik waktu itu.

Maka Minggu (12/02/12) ini jadi ngaleut kedua kami dengan agenda: JELAJAH MAKAM PANDU. Wow apa yang menarik dari sebuah makam? Pernahkah kamu membayangkan makam sebagai museum yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah? Kalau selama ini kamu sekadar tahu bahwa pemakaman terdiri dari makam-makam yang berjajar dan menghadap satu arah, berupa gundukan atau kadang-kadang diperkeras, pemakaman kali ini mempersembahkan makam-makam yang beda. Kamu bisa lihat sepasang makam berhadapan, makam dengan pot tanaman (yang mungkin saja sebenarnya tempat dupa), makam orang Batak, Nias, Maluku, China, Belanda, Jerman, Italia, Prancis, Amerika, penganut Freemason, sampai makam pejuang, makam yang belum ada isinya, makam yang menyerupai pura mini, makam dengan gambar traktor di nisannya, makam berupa laci, hingga kerangka tak beridentitas. Beberapa makam bahkan menampilkan potret orang yang dimakamkan semasa hidup. Tapi itu belum semua. Dari apa yang tertera di nisan saja, ada banyak informasi yang bisa kita gali.

Aleut sendiri adalah komunitas di Bandung yang berkegiatan setiap Minggu pagi hingga siang atau bahkan sore. Deskripsi kegiatannya adalah jalan-jalan beramai-ramai, tapi esensinya lebih dari itu. Aleut adalah cara untuk mencintai sebuah kota. Aleut terbuka bagi siapa saja, bahkan untuk keluarga, meski sebagian besar peserta adalah mahasiswa. Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang Aleut sebelumnya di sini. Kalau kamu penasaran ingin mengenal Aleut lebih jauh, silahkan mencarinya di Facebook atau di blog.

Taman Otten di seberang gedung lama RSHS

Syahdan, saya dan Ayunina berhasil jua menemukan ngaleutmania di Taman Otten. Karena kunjungan ke Makam Pandu sebelumnya telah memakan korban demam berdarah, maka kami dianjurkan untuk siaga dengan lotion anti nyamuk. Cuaca amat cerah kala itu setelah malam sebelumnya hujan mengguyur Bandung.

Setelah sekitar satu setengah jam berlalu dari waktu kumpul (7.30 WIB), semua berdiri melingkar untuk memperkenalkan diri masing-masing. Ternyata peserta ngaleut tidak hanya warga Bandung, tapi ada juga yang berasal dari Ambarawa, Salatiga, bahkan Surabaya. Setelah Bang Ridwan memberi prolog, kami pun cabut. O ya Bang Ridwan alias Ridwan Hutagalung ini adalah satu dari dua penulis buku “Braga – Jantung Parijs van Java” (Depok: Ka Bandung). Dalam ngaleut sebelumnya dan kali ini, beliau adalah salah satu narasumber yang berbagi banyak pengetahuan mengenai titik-titik yang kami lalui.

Kompleks Makam Pandu merupakan salah satu makam tertua di Bandung yang kini menjadi taman pemakaman umum. Umumnya orang yang dimakamkan di sini beragama non muslim, terutama Kristen, dengan berbagai latar budaya memengaruhi tata cara pemakaman hingga bentuk makam itu sendiri. Sebagaimana kata Bang Ridwan, makam ini memang tidak sedahsyat Taman Prasasti di Jakarta namun kita masih bisa melihat beberapa hal yang menarik.

 

Anak-anak bermain bola di bawah jalan layang. Lapangannya ke mana, Dek?

Dari Taman Otten, kami berjalan ke barat—kalau saya tidak salah arah. Jadi Makam Pandu terletak di selatan jalan yang saya tengarai bernama Jalan Pasteur—pokoknya ada jalan layang di atasnyalah. Kami memasukinya melewati jalan setapak yang dikepung semak-semak. Sepanjang jalan, pertemanan mulai terjalin melalui kenalan ulang, saling menanggapi, bahkan mengobrol dengan peserta lain yang sebelumnya tidak dikenal.

Makam Kristen

Makam-makam di Makam Pandu berukuran relatif besar dan disemen. Orang Kristen biasanya dimakamkan dalam peti lalu peti itu dikuburkan. Ketika peti mulai rapuh, katakanlah enam bulan, tanah akan turun. Saat itulah makam disemen. Kalau disemen terlalu cepat, tanah di dalam makam tersebut akan growong sehingga makam bisa amblas atau retak-retak. Setelah disemen, bangunan di atas makam bisa bervariasi sesuai adat atau selera. Bentuk makam yang relatif besar dan datar membuat tempat ini rawan akan kegiatan esek-esek. Bang Ridwan pernah menemukan gincu di satu makam, tapi kami malah menemukan pakaian tergantung.

 

Pakaian siapa itu?

Tanggal lahir maupun tanggal meninggal disertai tempat dan simbol di depannya. Bintang menandai tanggal lahir sedang salib menandai tanggal meninggal. Kita juga bisa menemukan tanda salib pada bacaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan meninggalnya seseorang. Salib tersebut biasanya menandai suatu istilah tertentu yang berarti istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi. Ini merupakan tradisi dalam bahasa Latin yang diterapkan di Indonesia kendati mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim (cek kamus buatan Poerwadarminta). “Sistem itu bisa aja diubah tapi entar kalau kita keluar negeri bingung,” kata Bang Ridwan. Sebagai contoh, kita tidak akan menemukan negara Pantai Gading, Aljazair, apalagi Selandia Baru di peta internasional.

 

Ayat Alkitab di salah satu makam

Beberapa makam memuat kutipan ayat Alkitab. Ayat tersebut bisa diambil dari sertifikat katekisasi maupun ayat yang dapat menggambarkan keseharian mendiang. Dalam sertifikat katekisasi, terdapat ayat yang dipilihkan secara random oleh pendeta. Sertifikat katekisasi sendiri, kalau saya tidak salah tangkap, adalah sertifikat yang diberikan oleh umat Kristen yang telah lulus pelajaran agama. Sertifikat itu menandakan bahwa orang tersebut telah dapat bertanggung jawab atas dirinya, sudah boleh menikah, dan ikut perjamuan kudus (ingat lukisan “The Last Supper” yang ada di film “Da Vinci Code”). Dalam perjamuan kudus, roti disimbolkan sebagai daging Kristus sedang anggur adalah darahnya. “Makanya anggur kalau dalam tradisi Kristen tidak aneh, tapi kalau di sini dipakai mabok,” kata Bang Ridwan.

Makam Batak

Nisan makam Batak menyertakan tulisan “dison maradian” yang berarti “di sini beristirahat”.

Bang Ridwan menunjukkan makam ibunya yang baru meninggal 19 Januari lalu. Di sana tertera nama ibunya dilengkapi nama marga—namun bukan marga suami. Menurut Bang Ridwan, ketentuan istri ikut marga suami tidak berlaku lagi dalam keadaan seperti ini meski ada juga yang memasang.

Di bawah nama ibunya, terdapat tulisan “Ompung Boru Martha”—harusnya “Ompung Martha Boru”. Ini berarti ibunya merupakan nenek dari anak pertama Bang Ridwan yang bernama Martha. Bang Ridwan sendiri anak pertama ibunya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa anak pertama laki-laki belum memberi cucu laki-laki. Menurut Bang Ridwan, dalam tradisi Batak seharusnya kita tidak secara langsung menyebut nama seseorang—bahkan dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, seseorang memiliki anak bernama Sondang. Maka ia tidak disebut dengan nama aslinya melainkan dengan Mama Sondang. Kalau untuk hal ini, sepengetahuan saya hal yang sama berlaku dalam tradisi Arab. Jika seseorang memiliki anak bernama Sufyan, maka ia dipanggil Abu Sufyan yang berarti ayahnya Sufyan.

“Sistem kekeluargaan paling rumit itu orang Batak. Saya enggak kenal sama ini, tahu marganya, tinggal lihat silsilahnya tahu panggilnya apa. Jadi bisa bersaudara begitu saja,” jelas Bang Ridwan. Kita tidak bisa begitu saja memanggil nama seseorang tanpa mengetahui marganya. Kalau begitu, kita bisa kena sanksi sosial. “Tidak terlalu jelas sekarang kalau di sini tapi kalau di kampung itu berat. Ya dikucilkan aja dalam keseharian. Ditanya tapi teu diajakan nanaon. Kita hidup hanya dari adat.”

Setiap orang memiliki nomor dalam marganya yang menunjukkan orang tersebut adalah ke generasi berapa dari marganya itu. Di atas suatu marga ada marga lainnya yang bisa ditelusuri hingga ke Raja Batak. Cek buku “Tuanku Rao” oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (LKis) untuk informasi yang lebih seru.

Selama jenazah belum dimakamkan dan masih berada di rumah, pihak keluarga harus memberi uang pada setiap tamu yang datang. Nominal yang diberikan pun beragam karena setiap tamu memiliki kategori tertentu. Setelah jenazah dimakamkan pun, masih ada prosesi lainnya.

Makam China

Jika tradisi Batak menempatkan marga di belakang nama seseorang, maka tradisi China sebaliknya. Marga terletak di depan. Namun yang tertera pada nisan makam China tidak hanya nama China. Sekitar tahun 1960-an, keadaan sosial politik Indonesia saat itu membuat orang China harus mengganti nama China mereka menjadi nama yang “ngindonesia”. Mereka biasanya memilih nama yang terdengar ningrat padahal tidak ada dalam tradisi keningratan. Misalnya Yunus Wangsa, nama ini mungkin terdengar ganjil bagi orang Jawa. Kami juga menemukan nama Islam seperti Halimah, Usman, bahkan Abdullah di makam bersalib.

 

Makam yang dibuat menyerupai bentuk rahim

Tidak semua makam China mengikuti tradisi Kristen, sebagian mengikuti tradisi konghucu. Makam konghucu menyerupai bentuk rahim. Filosofinya, dari rahim kembali ke rahim. Bisa dibilang kalau bentuk rahim di sini lebih seperti bentuk tabung erlenmeyer yang rada lebar. Bagian kepala terletak di lengkungan sehingga nisan berada di bagian kaki. Beberapa nisan bertulisan China, eh Mandarin—eh begitulah. Pada bagian tertentu, terdapat patok-patok dengan aksara yang melambangkan dewa bumi dan dewa kemakmuran.

 

Lambang dewa bumi

Jika makam Islam menghadap kiblat, makam konghucu serupa makam Kristen yang tidak memiliki arah hadap khusus. Akan tetapi, makam konghucu menghadap arah yang disukai orang yang dimakamkan semasa ia hidup—bisa rumahnya atau rumah siapanya.

Bak pengumuman di koran, orang China pun mencantumkan nama istri dan keturunannya mulai dari anak, menantu, sampai cicit pada nisan. Menurut Bang Ridwan, di Cikadut—yang memang terkenal dengan makam Chinanya—informasi yang dipatri pada nisan lebih lengkap. Jika orang tersebut berasal dari China, maka nama kampung asalnya pun akan dituliskan dalam aksara tersebut. Di Cikadut juga kita bisa menemukan hal yang lebih aneh. Misalnya saja simbol dewa bumi ditulis tidak dalam aksara China melainkan Arab.

Makam Freemason

Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yaitu seperti dua segitiga (tanpa garis horizontal) yang saling menumpuk secara terbalik—rada mirip bentuk ketupat.

 

Salah satu makam dengan simbol Freemason

Makam pertama yang kami temukan berupa balok di balik semak, tampak berlumut, yang secara jelas hanya menampilkan simbol Freemason dan nama jasadnya. Makam berikutnya terletak cukup jauh dari makam pertama. Yang tertera pada makam tersebut terlihat lebih jelas. Bentuk makamnya juga lebih lebar dan relatif tampak sebagaimana makam lainnya, namun informasi yang dicantumkan lebih sedikit. Makam tersebut pernah tertutup alang-alang, namun saat kami jumpai kemarin keadaannya cukup bersih.

 

Makam Freemason lainnya

Menurut Bang Ridwan, selain makam Freemason ada pula makam yang nisannya hanya berbentuk bintang atau segitiga kecil. Tidak pasti di mana letaknya, mungkin tanpa sadar kita menginjak-nginjaknya karena itu tertutup tumbuhan. Dinas Pemakaman dan Pertamanan yang tahu secara rinci di mana posisi setiap makam karena mereka memiliki petanya.

Makam Charles Prosper Wolff Schoemaker

 

Di bawah makam ini terdapat seorang tokoh besar

Schoemaker bukan saja pembuat sepatu atau pembalap dari Jerman, dia juga seorang arsitek yang karya-karyanya bertebaran di Kota Bandung seperti Landmark, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Majestic, beberapa gereja, masjid di Cipaganti, dan lain-lain.  Schoemaker yang ini lahir pada 25 Juli 1882 di Ambarawa lalu mengajar di Technische Hogeschool ITB zaman dulu. Soekarno adalah murid kesayangannya. Soekarno menjadi juru gambar Schoemaker saat dia membuat desain untuk Hotel Preanger. Kakaknya, Richard, juga menjadi arsitek untuk bangunan SMAN 3 & 5 Bandung serta Villa Merah.

Sebenarnya dia berasal dari militer. Dari beberapa catatan, dia meninggal dalam keadaan muslim dengan nama Kemal Schoemaker. Sebelum menjadi muslim, dia dikenal rasis. Namun setelah dia memeluk Islam, dia ikut memperjuangkan persamaan hak. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah di tanah suci dalam suatu lawatan ke Timur Tengah. Dia juga terlibat dalam pembentukan paguyuban cendekiawan muslim.

Banyak yang tidak ngeh bahwa dia muslim karena dia juga dikenal misterius. Hewan liar macam ular dan anjing dilepas begitu saja di halaman rumahnya. Rumahnya kini menjadi sebuah restoran di Jalan Sawunggaling.

Sekitar tiga tahun lalu, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana makam Schoemaker. Cucu Schoemaker datang dari Belanda karena pernah mendengar bahwa kakeknya terkenal di Indonesia. Ia mencari makam kakeknya tersebut namun tidak ketemu. Perjumpaannya dengan seseorang yang ayahnya bekerja untuk Schoemaker mengantarkannya ke makam Schoemaker yang tidak terawat itu. Kebetulan ada wartawan yang ikut dan tereksposlah bagaimana pemerintah kita “menelantarkan” pusara orang yang bisa dibilang ikonnya Kota Bandung itu. Kisah ini pun sampai pada Guruh Soekarno Putra yang kemudian membayarkan pajak makam tersebut untuk 20 tahun (setahun 20.000 rupiah). Cek lebih lanjut di buku “Jendela Bandung” karya Her Suganda (Penerbit KOMPAS).

Sebuah sumber menyebutkan bahwa Schoemaker meninggal di interniran pada masa pendudukan Jepang. Namun ini tidak sesuai dengan tahun meninggalnya, yaitu masa agresi militer Belanda . Interniran sendiri berarti tempat semacam kamp konsentrasi di mana para tawanan dikumpulkan, dalam hal ini orang Belanda. Interniran militer Jepang di Bandung pada masa itu antara lain berada di Cikudapateuh dan Cihapit.

Begitulah keterangan dari para narasumber kami. Kali ini bukan lagi Bang Ridwan, tapi ada beberapa yang di antaranya saya kenali sebagai Mang Asep dan Reza—sang koordinator. Tradisi di Aleut, pengetahuan tidak harus dari narasumber yang memang tahu materi. Peserta yang punya pengetahuan terkait juga bisa menambahi.

Ereveld

 

Gerbang menuju teritorial negara lain

Di tengah padatnya makam-makam, terdapat sebuah kompleks eksklusif di kompleks Makam Pandu ini. Kompleks tersebut bernama Ereveld. Untuk bisa memasukinya, kita harus mengajukan izin pada pengurusnya di Jakarta—sepertinya berhubungan dengan Kedutaan Belanda atau AS—sejak tiga bulan sebelum kunjungan. Petugas menyimpan daftar nama keluarga orang-orang yang dimakamkan di situ untuk mengecek kebenaran identitas pengunjung. Kita juga tidak diizinkan memotret kendati tidak ada tulisan dilarang memotret terpajang di sekitar gerbang. Entah apa alasannya, mungkin sekadar privasi. Aturan ketat ini bisa mengancam karyawan kehilangan pekerjaannya bila dilanggar.

Lain dengan makam-makam di luarnya yang tidak beraturan serta belum tentu dirawat, pemakaman di dalam Ereveld tampak tertata dan terpelihara dari kejauhan. Deretan pepohonan di kanan kiri mengantarkan pengunjung sejak gerbang nan tinggi hingga ke bagian dalam. Tentu saja ada pihak yang mendanai sehingga kompleks tersebut tampak apik. Ini adalah bentuk perhatian pemerintah luar terhadap warganya kendati warga tersebut sudah meninggal dan dimakamkan di tanah negara lain. Kendati lokasinya di Bandung—Indonesia—tanah tersebut milik pemerintah Belanda karena yang bersangkutan sudah membelinya. Kata Bang Ridwan, “Jadi (kalau masuk sana—pen) aslinya harus pakai paspor.”

Ada sekitar 4000 makam di kompleks seluas 3,5 ha tersebut. Menurut keterangan petugas, yang dimakamkan di sana tidak hanya orang Eropa yang merupakan bagian dari KNIL. Kita juga bisa mendapati makam pribumi maupun makam muslim, yaitu mereka yang juga berjasa bagi pemerintah saat itu.

Ereveld di Pandu merupakan satu dari dua kompleks sejenis di Bandung (satu lagi di Cimahi) atau dari tujuh yang ada di Indonesia (antara lain di Semarang dan Surabaya). Tadinya makam-makam di dalam kompleks ini tersebar di banyak tempat namun kemudian dikumpulkan di tempat-tempat tertentu agar pengaturannya mudah.

Menurut Bang Ridwan, bentuk makam di Ereveld hanya ditandai patok salib. Bentuk salib menandakan latar belakang agama dan jenis kelamin (cek di blog Aleut di wordpress atau multiply).

 

Makam pejuang tak bernama

Kontras dengan Ereveld, makam pejuang Indonesia di Makam Pandu sendiri bercampur dengan makam-makam lainnya yang umum. Jumlahnya sekitar 34 makam. Apabila identitas yang dimakamkan tak dikenali—demikian yang banyak kami temui—hanya nomor yang dibubuhkan pada penanda berupa marmer. Semacam replika bendera Indonesia yang berkibar, terbuat dari besi, dengan tulisan “PEJUANG” menancap di dekat bagian kepala. Tanggal mereka meninggal juga tidak diketahui, diperkirakan sekitar tahun 1945 – 1949.

Makam laci

Laci bukan nama agama, suku, aliran kepercayaan, maupun orang. Laci adalah tempat menyimpan sesuatu di bawah suatu permukaan yang bisa ditarik keluar. Di Makam Pandu, laci berarti kerangka di dalamnya.

 

Ini laci lo….

Sekilas kita melihat permukaan sebuah dinding dengan kotak-kotak marmer menempel di sepanjangnya hingga membentuk dua barisan—padahal di atasnya ada makam-makam lagi tapi makam yang “wajar”. Ada 26 “laci” pada masing-masing baris dan ada dua blok makam semacam ini di Makam Pandu. Pada marmer-marmer tersebut tertera tulisan yang lazim pada nisan. Di balik marmer itulah, seseorang berbaring untuk selamanya. Ada beberapa laci yang tidak ditutupi marmer. Mungkin marmer tersebut sudah diambili untuk bikin martabak.

Benar saja. Kami menemukan kerangka pada salah satu laci yang terbuka. Saya hanya bisa melihat tengkoraknya saja dan sesuatu yang seperti kain putih menyelubungi bagian bawahnya. Kerangka tersebut tidak tampak utuh karena tertimpa pecahan material.

“Sistemnya baut. Baut ini juga memungkinkan untuk dikerek ulang kalau misalkan mau ditumpuk. Jadi nanti ada besi empat yang buat menarik. Jadi bisa dibuka tutup ini. Sebagian masih ada kerangkanya. Dan ada rel. Jadi memasukkannya peti itu di atas rel,” terang Bang Ridwan. Namun tidak semua marmer ditancapi baut pada ujung-ujungnya. Tahulah baut itu ke mana.

Aleut pernah mendokumentasikan semua makam ini lalu mempublikasikannya di multiply. Uwak salah seorang yang dimakamkan di sini ternyata bekerja di Utrecht Conservation Society. Dia melihat foto tersebut lalu tertarik dan berkunjung ke Bandung. Maka Aleut pun punya mitra di Utrecht—sesama pemerhati heritage.

Menurut Bang Ridwan, alasan pemilihan gaya pemakaman semacam ini hanya supaya simpel saja—penghematan ruang. Di Eropa pun makam seperti ini sudah biasa. Di blok selanjutnya, laci-laci yang kosong terlihat lebih rapi. Sebagian ditutupi oleh balok kayu—mungkin sudah disewakan. Bahkan ada yang tertutup marmer bertulisan nama orang Indonesia.

Makam Ursone

 

Berasa dalam videoklip yak

Ursone adalah seorang peternak sapi perah, penghasil susu segar, dan pemilik industri susu di Lembang. Saking banyaknya sapi yang dimiliki, dia bisa mendistribusikan susu hingga 1000-1500 botol ke Bandung Milk Center (BMC) yang  bisa dijumpai di Jalan Aceh.

Dia memiliki banyak tanah di Lembang. Lahan yang oleh Bosscha dijadikan observatorium merupakan hibah dari Ursone. Keluarga Ursone juga dikenal memiliki grup ansambel musik klasik yang suka tampil di berbagai konser hiburan di Bandung.

Dari gaya makamnya, Ursone merupakan keturunan Italia. Beberapa nama tercantum pada bagian luar makam tersebut yang menunjukkan bahwa makam tersebut menampung banyak jasad sekaligus. Selain nama Ursone, ada nama Van Dijk terselip—mungkin ada hubungan tertentu. Makam Ursone yang khas ini dipindahkan secara manual pada tahun 1970-an dari pemakaman yang kini jadi GOR Pajajaran.

Makam pilot dan kopilot

 

Sang pilot dan asistennya (salib)

Tidak hanya makam Ursone yang dilengkapi dengan patung, ada makam lain dengan patung menyerupai sesosok pilot. Ada dua makam berdampingan di situ yang mana masing-masing berisi pilot dan kopilotnya. Sang pilot diperkirakan meninggal pada umur 33 tahun. Sekitar tahun 1925, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas dua awak jatuh di antara Padalarang dengan Cililin. Kecelakaan ini termuat dalam sejarah dirgantara yang ditulis oleh seorang menteri.

ESENSI TAMAN KOTA : MENGEMBALIKAN BANDUNG SEBAGAI KOTA TAMAN

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Yzermanpark (Taman Ganesha)

 

Taman kota adalah salah satu unsur penting dalam konsep Kota Taman (Garden City), yaitu  sebagai ruang publik yang memiliki peranan utama dalam menyelaraskan pola kehidupan masyarakatnya (Tibbalds, 2002:1). Dalam sejarahnya Pemerintah Kota Bandung sejak jaman Belanda menyadari hal tersebut sehingga mendasari mereka untuk mendesain Bandung sebagai  kota Taman. Saat itu, Taman-taman kota di Bandung sengaja dibangun untuk mengantisipasi perkembangan pesat Bandung di masa depan yang memang sudah diperkirakan sejak itu.

Dalam perkembangannya, konsep kota taman di Bandung telah dilupakan, sehingga saat ini ketika Bandung telah berkembang pesat, banyak masyarakat mulai merasakan kurangnya ketersediaan ruang hijau yang nyaman dan memadai untuk melakukan aktifitas sosial. Di lain pihak, sebagian besar masyarakat  serta pemerintah kota cenderung kurang menaruh perhatian terhadap keberadaan taman kota. Padahal unsur taman (lahan hijau) dalam sebuah kota sangat berkaitan dengan kondisi kesehatan masyarakat secara fisik dan psikologis.

Saat ini, beberapa kota yang mengalami masalah sama di dunia mulai menerapkan kembali konsep Garden City dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih realistis dan pertimbangan lainnya.

 

Ruang Hijau dalam Kota

Kota merupakan wujud fisik yang dihasilkan oleh manusia dari waktu ke waktu yang bertungsi untuk mewadahi aktifitas hidup masyarakat kota yang kompleks dan luas. Pertumbuhan  fisik dan masyarakat  kota yang pesat  tentunya akan menimbulkan permasalahan bagi lingkungan perkotaan maupun sosial masyarakat kota. Salah satu permasalahan tersebut adalah keterbatasan kota untuk memenuhi ketertersediaan ruang-ruang hijau terbuka untuk mewadahi kebutuhanan masyarakat dalam melakukan aktifitas sekaligus untuk mengendalikan kenyamanan iklim mikro dan keserasian estetikanya. Dalam kenyataanya, masalah pemanfaatan lahan ini selalu terkait dengan permasalahan klise antara perebutan kepentingan antara sektor privat dan sektor publik; antara masyarakat strata atas, menengah dan bawah; serta antara kelompok kepentingan ekonomi serta pengambil kebijakan publik. Seringkali yang menjadi korban dalam perebutan kepentingan ini adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang harus tergeser kepentingan komersial yang lebih besar.

Saat ini, pemanfaatan  taman kota cenderung rnenyimpang dari fungsinya. Ditunjukan oleh adanya perubahan  aktifitas di dalam taman yang menunjukan kurangnya kesadaran masyarakat kota dalam memanfaatkan taman kota sebagai penyeimbang kehidupan kota. Padahal masyarakat modern membutuhkan lebih banyak ruang  kota yang sehat dan nyaman untuk beristirahat dan menyegarkan diri setelah menjalani pekerjaan rutin selain untuk berinteraksi dengan warga kota lainnya. Berbagai studi telah membuktikan bahwa volume taman serta lahan terbuka dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat suatu kota. Dari segi kesehatan, berdasarkan penelitian yang dilakukan U.S. Surgeon General pada tahun 1996, ditemukan bahwa masyarakat yang rutin melakukan aktifitas fisik dapat terhindar dari resiko kematian prematur; seperti penyakit jantung, hipertensi, kanker, diabetes, serta menguatkan otot, persendian, menjaga berat badan, dll.[1]  Untuk itulah masyarakat terdidik cenderung memilih lingkungan yang sehat dengan pertimbangan pengeluaran biaya kesehatan. Taman-taman kota juga dapat berperan sebagai agen pembangunan komunitas. Menjadikan setiap sisi kota sebagai lokasi yang nyaman untuk ditinggali, menyediakan lokasi rekreasi murah dan bersahabat bagi anak-anak muda, yang bisa diakses masyarakat dari berbagai strata. Akses terhadap taman-taman kota dan lahan rekreasi ini, memiliki keterkaitan erat dengan pengurangan aksi kriminal dan kenakalan remaja.[2]

Saat ini banyak anak-anak muda yang lebih memilih untuk berekreasi di dalam bangunan-bangunan mall atau bahkan di dalam dunia maya. Tentu saja pilihan ini memiliki aspek negatif, mulai dari aspek kesehatan psikologis, hingga keterbatasan akses. Ruang-ruang publik tersebut cenderung hanya bisa diakses oleh masyarakat dari golongan tertentu. Akibat dari polarisasi tersebut, masyarakat kota cenderung menjadi lebih individualis dan kurang peka secara sosial terhadap keberadaan golongan masyarakat yang lain. Akibatnya konflik-konflik antar masyarakat akan lebih banyak terjadi.

Ekses-ekses tersebut akan menjadi beban tersendiri bagi Pemerintah kota Bandung apabila terus abai  terhadap keberadaan taman kota sebagai unsur yang cukup berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi kota. Pemerintah-pemerintah kota di seluruh dunia yang mengalami permasalahan serupa dengan Bandung  mulai menerapkan kembali konsep Garden City yang dimodifikasi sesuai kebutuhan dan permasalahan yang ada saat ini.[3]  Hasilnya terbukti bahwa  masyarakat kota yang sehat akan mengurangi beban pemerintah dalam menanggung biaya jaminan kesehatan, keamanan, selain dapat menunjang produktifitas ekonomi kota. Selain itu  kenyamanan kota yang dipenuhi taman-taman juga bisa menjadi daya tarik bagi turis-turis untuk mengunjungi  Bandung.

 

Garden City

Inti dari dari konsep Garden City yang diusung pencetusnya, Ebenezer Howard  adalah keseimbangan antara pemukiman dan tempat kerja. Seperti dikatakan Howard dalam salah satu promosinya terhadap kota Welwyn yang dirancangnya, ‘It is not good to waste two hours daily in trains and buses and trams to and from the workshop, leaving no time nor energy for leisure or recreation. At Welwyn Garden City a man’s house will be near his work in a pure and healthy atmosphere. He will have time and energy after his work is done for leisure and recreation’.[4] Secara tidak langsung, Howard menekankan pentingnya sarana-sarana rekreasi dan istirahan untuk warga untuk menunjang produktifitas mereka. Untuk itu selain pengaturan jarak antara rumah dan tempat kerja, taman-taman kota mutlak diperlukan.

Beberapa ide dalam konsep Howard mungkin tidak cocok untuk diterapkan di masa modern, namun secara umum konsep tersebut berhasil dijadikan acuan bagi pembangunan beberapa kota modern di Dunia.  Konsep ini digunakan para perencana kota, contohnya dalam pembangunan perkotaan baru di Inggris pasca perang dunia kedua, antara lain Cumbernauld.

Malaysia turut menerapkan konsep ini, yaitu dalam perencanaan pembangunan kota Petaling Jaya dan Putrajaya. Putrajaya merupakan kota yang didesain sebagai pusat pemerintahan yang nyaman dengan banyak taman dan fasilitas lain. Dari total luas 4.581 hektar, 70% kawasan Putrajaya didesain sebagai lahan hijau dengan hanya menyisakan 30% untuk pembangunan fisik.

 

‘Garden City’ di Bandung

“Bandung sebagai kota kebun. Begitulah yang diketahui orang dan demikianlah adanya kalau kita berjalan-jalan di pinggiran sentrum Kota Bandung. Di mana tiap rumah mempunyai kebun kecil atau besar dan kita berkomentar : Bandung adalah kota yang bagus dan asri kebun-kebunnya.” Ujar seorang nyonya penghuni Bandung dalam sebuah surat yang dimuat majalah MooiBandoeng yang terbit tahun 1937.[5] Pernyataan sang nyonya merupakan gambaran nyata dari keadaan Bandung saat itu. Rumah-rumah berhalaman luas dengan taman-taman kota sebagai pusat interaksi warganya menjadi pemandangan utama kota Bandung khususnya di bagian utara. Begitu terkenalnya Bandung sebagai kota taman sehingga kota ini pernah mendapat julukan Tuinstad  atau Kota Kebun dari  walikota Apeldoorn, Holland, Dr. W. Roosmale Nepveu, pada tahun 1936. Julukan lainnya bagi bandung adalah de Bloem der Indische Bergsteden atau bunga di pegunungan Hindia. Istilah kota kebun “Tuinstad” merupakan adaptasi Belanda terhadap konsep Kota Taman.

Perkembangan Bandung saat itu memang tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep Garden City di Eropa yang dibawa ke Nusantara oleh Belanda. Saat itu tengah digencarkan konsep “Indische Koloniaale Stad” atau kota kolonial untuk menjadi kawasan ideal bagi hunian orang-orang Eropa yang tinggal di Nusantara. Pola baru tata ruang ini mulai diterapkan di kota-kota besar Indonesia pada awal  tahun 1920-an, yang sebenarnya hanya berupa perancangan dan pembangunan sebagian kawasan kota secara parsial. Konsep Garden City ini kebanyakan dilakukan dalam pembangunan kawasan kota yang baru “Nieuwe Wijk” , seperti yang dilakukan pemerintah Kota Bandung di kawasan utara kota. Sedangkan perbaikan kawasan hunian pribumi lebih dikenal sebagai “Kampong verbetering”.

Konsep Koloniaale Stad yang mengadopsi konsep Garden City diterapkan dalam pembangunan kawasan pemukiman baru antara lain di Jakarta meliputi kawasan Menteng dan Gondangdia; daerah Palmenlaan di Kupang, Darmo dan Ketabang Boulevard di Surabaya; Daerah Candi di Semarang; wilayah Kota Baru di Yogyakarta; dan Bandung Utara tentunya. Pelaksanaan konsep ini di Bandung terhitung merupakan yang paling berhasil di antara kota-kota lainnya.

Keberhasilan Konsep Kota Taman ini mungkin juga dipengaruhi oleh karakter orang Belanda yang memang dikenal sebagai botanis terbaik di kalangan orang-orang Eropa.  Saat itu lahan hijau sendiri memiliki beberapa tipologi yang berbeda sesuai dengan karakteristik dan fungsinya. Tipe-tipe lahan hijau tersebut dikenal dengan istilah-istilah sebagai berikut :

Park : sebidang tanah yang dipagari sekelilingnya, ditata secara teratur dan artistik, ditanami pohon lindung, tanaman hias, rumput dan berbagai jenis tanaman bunga. Selain itu dilengkapi pula jaringan jalan (lorong), bangku tempat duduk, dan lampu penerangan. Kadang kala park dilengkapi dengan kolam ikan lengkap dengan teratai, sebuah ‘koepel’, gazebo, kandang binatang, dan saluran air yang teratur. Park adalah Taman dalam arti yang sebenarnya.

Beberapa lahan hijau  di Kota Bandung yang didesain sebagai ‘park’ antara lain Taman Ganeca (Ijzerman Park), Taman Maluku (Molluken Park), Taman Merdeka (Pieter Sijthoffpark), Taman Lalu Lintas (Insulinde Park), dan Taman Sari / Kebon Binatang (Jubileum Park).

JubileumPark

 

Plein : Lapangan, Lahan datar atau pelatara yang tidak terlampau luas. Biasanya ditumbuhi rumput, terletak di sekitar bangunan atau gedung tanpa jaringan jalan di dalamnya. Terkadang ada satu dua pohon lindung. Pada lahan itu sering dilakukan kegiatan bersifat rekreasi, seperti olah raga, kegiatan pramuka, tempat mengasuh anak, dan lain-lain.

Beberapa plein di Bandung antara lain Taman Anggrek (Orchideeplein), Lapangan Ciujung (Houtmanplein), Lapangan Bengawan (Limburg Stirumplein), Taman Pendawa (Pendawa Plein), Lapang Dr. Otten (Rotgansplein), Lapang Sabang (Sabangplein), Taman Citarum (Tjitaroemplein), Taman Pramuka (Oranjeplein), dan lapang alun-alun.

Oranjeplein (Taman Pramuka)

 

Plantsoen : Lahan dalam kota yang digunakan sebagai tempat pembibitan. Tempat untuk memelihara dan membudidayakan berbagai jenis pohon tanaman keras. Berfungsi sebagai taman terbuka yang bisa dikunjungi warga kota. Jaringan jalan setapak yang berada di sana membuka kesempatan bagi masyarakat kota untuk berjalan-jalan di dalamnya.

Bentuk Plantsoen biasanya memanjang. Terkadang menyusuri sungai kecil, dengan kedua tepiannya terdapat pohon-pohon besar. Dengan demikian, funhsi Plantsoen dalam kota adalah sebagai jalur hijau “greenbelt” yang menjadi batasan wilayah. Plantsoen juga berfungsi melestarikan lahan sekitar aliran sungai dari kemungkinan erosi dan pembangunan perumahan liar.  Beberapa Plantsoen yang pernah dimiliki Bandung antara lain Taman Cibeunying Utara (Tjibeungjingspalntsoen Noord), dan Taman Cibeunying Selatan (Tjibeungjingspalntsoen Zuid).  Satu plantsoen lain terdapat di Cibunut, namun kini sudah berubah fungsi menjadi perumahan.

Stadstuin : Kebon pembibitan milih pemerintah kota. Di tempat persemaian ini dibibitkan berbagai jenis tanaman pohon lindung, jenis tanaman keras, tanaman hias,bunga-bungaan dam lahan tempat membudidayakan berbagai jenis rumput.

Di stadstuin, warga Bandung bisa membeli berbagai bibit tanaman untuk ditanam di lahan pribadi. Saat itu stadstuin berada di kawasan Kebon Bibit Tamansari yang kini sudah berubah menjadi kawasan pemukiman dan bisnis.

Boulevard : Sejenis jalur hijau yang menaungi sebuah jalan raya yang lebar. Sederetan pohon lindung sejenis terdapat pada kedua sisi jalan. Sedangkan di tengah jalan terdapat taman bunga yang memanjang, membatasi dua jalur terpisah. Dahulu konsep Boulevard ini pernah diterapkan di sepanjang jalur jalan Dipati Ukur (Beatrix Blvd.), Jl. Ranggagading (Bosscha Blvd.), Jl. Sawunggaling (Dacosta Blvd.), Jl. Surapati (Irene/Juliana Blvd.), Jl. Sulanjana (Multatuli Blvd.), Jl Pasteur dan Jl. Diponegoro (Wilhwlmina Blvd.).[6]

Pembangunan berbagai lahan hijau dengan berbagai karakteristik dan fungsinya tersebut menjadi ciri khas implementasi konsep “Garden City” yang konsisten. Untuk itu, pemerintah kota Bandung di tahun 1930’an sengaja menggunakan jasa planolog terkenal bernama Karsten untuk merancang kawasan ‘tuinstad’ tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ir. Thomas Nix saat itu, angka standar bagi kebutuhan lahan taman bagi kota-kota di Nusantara adalah 3,5 M2  per satu orang penduduk. Khusus untuk Bandung, Thomas Nix bahkan mengajukan angka 6,7 M2 per satu orang penduduk. Angka tersebut diambil dari norma ukuran taman yang diajukan oleh Dr. J. Stubber bagi tipe ‘Kota Taman’ seperti Bandung.

 

‘Garden City’ Bandung Sekarang

Sejak naiknya Dada Rosada menjadi walikota Bandung (2003-sekarang), beliau telah mencanangkan perbaikan lingkungan hidup sebagai salah satu dari 7 program prioritas pembangunan Kota Bandung. Selama itu hingga saat ini, Walikota yang dikenal sebagai “Wagiman”atau  Walikota Gila Tanaman ini telah meluncurkan berbagai program lingkungan seperti penanaman sejuta pohon hingga perluasan Ruang terbuka Hijau dengan bentuk mengubah beberapa lokasi pom bensin menjadi taman kota. Antara lain di Jl.Cikapayang, Jl. Sukajadi, Jl Riau dan Jl. Cibeunying. Perluasan taman juga dilakukan di lokasi tegalega II, TPA Pasir Impun dan Gedebage.[7]

 

Banjir di taman Ganesha

 

Namun perlu diperhatikan,  bahwa selama pengelolaan Bandung di bawah walikota Dada Rosada tersebut, belum ada perbaikan lingkungan secara signifikan. Berdasarkan data tahun 2010, Ruang terbuka hijau di Kota Bandung kini baru mencapai 8,8 persen. Volume itu jauh dari ideal karena luas RTH seharusnya 30 persen dari luas Kota Bandung 16.729 hektar. Hingga saat ini tengah diusahakan penambahan RTH menjadi 13,14 persen. Masih jauh dari amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan 30 persen. Adapun dari total luas RTH tersebut, hanya seperlimanya yang berupa taman atau fasilitas umum.[8] Berdasarkan pernyataan pihak Dinas Pemakaman dan Pertamanan (Diskamtam), mereka pun masih meresahkan minimnya anggaran dari APBD 2011 yaitu sebesar Rp5 miliar untuk perawatan sekitar 604 taman di Kota Bandung yang idealnya, mencapai Rp10 miliar.[9] Di luar itu, tidak ada keterangan jelas mengenai kriteria 604 taman  di Bandung yang dikelola oleh Diskamtam. Apakah taman-taman  ‘portabel’ yang banyak tersebar di Bandung  juga termasuk di sana. Anggaran pun masih difokuskan pada pembangunan fasilitas penunjang seperti pemasangan lampu-lampu, papan petunjuk nama pohon, penyiraman, dan kebersihan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, tidak ada perkembangan signifikan dari luas area taman kota sejak pertama kali taman-taman tersebut dibangun oleh Belanda padahal pertumbuhan penduduk Bandung berlangsung dengan pesat. Hingga saat ini hanya beberapa taman saja seperti taman Cilaki dan taman Ganesha yang masih ramai dikunjungi masyarakat walau kondisinya tidak terawat. Perebutan lahan antara pihak swasta dan publik bahkan sempat terjadi saat Walikota mewacanakan pembangunan lahan Babakan Siliwangi yang dilakukan oleh pihak swasta. Pembangunan ini dikhawatirkan oleh sebagian besar warga Bandung dapat merusak ekosistem lingkungan serta mengurangi lahan hijau di Bandung.[10]

 

Kanal di taman Maluku

 

Kesimpulan

Pada tahun 1936, Mr. Dr. W. Roosmale Nepveu, Walikota Apeldoorn Holand mengunjungi Bandung dan mengucapkan kekagumannya terhadap keindahan kota ini,”Yang menggairahkan diriku adalah, bahwa kota ini telah dirancang dengan baik sebagai Kota Kebun, dengan pembangunan taman dan jalan rayanya yang lebar-lebar, cita rasa keindahan rumah-rumahnya memberi kesan tenang dan nyaman”.[11] Pernyataan tersebut, menggambarkan betapa baiknya sistem perencanaan beserta implementasi kebijakan tata ruang di Bandung sekitar 70 tahun yang lalu. Kini mungkin tidak ada lagi pengunjung Bandung yang spontan mengeluarkan pernyataan tersebut melihat keadaan di lapangan.

Kini sulit bagi warga Bandung untuk bisa menemukan taman yang nyaman untuk beraktifitas dan bersosialisasi, akibatnya warga berduyun-duyun bepergian ke pinggiran Bandung untuk bisa menikmati udara dan lingkungan yang masih asri. Sayangnya seringkali harapan mereka tidak terwujud karena di waktu yang sama pengunjung dari luar Bandung pun mengunjungi tempat yang sama. Orang-orang kaya yang lebih beruntung bisa mendirikan villa-villa di pinggir kota yang jauh dari hiruk pikuk kota, sedangkan warga miskin harus sebisa mungkin memanfaatkan sedikit ruang di dalam kota untuk bisa berekreasi secara tidak nyaman.

Keadaan ini akan terus menerus terjadi dan ujungnya akan menimbulkan efek negatif bagi semua pihak. Secara ekonomi, masyarakat jadi mengeluarkan dana yang cukup besar hanya untuk beristirahat atau berekreasi, padahal pengelola kota berkewajiban menyediakan fasilitas tersebut kepada masyarakat. Tidak ada pertambahan dan perbaikan yang signifikan terhadap lahan hijau atau taman kota khususnya di kota Bandung sejak Jaman Belanda, padahal Bandung telah mengalami lonjakan penghuni dan “revolusi industri” kecil. Akibatnya kurangnya lahan hijau ini, banyak warga Bandung mengalami “sakit” fisik maupun psikologi yang berakibat pada berkurangnya kualitas kreatifitas, sebaliknya meningkatkan anggaran kesehatan dan pengeluaran pemerintah.

Untuk itu perlu lebih banyak pengalokasian dana untuk perawatan dan pembukaan taman-taman baru alih-alih penambahan anggaran belanja rutin. Selain itu pemerintah juga bisa mengembangkan konsep komunitas dan kerjasama swasta dalam perawatan taman kota tersebut. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat kepentingan pemintah dan swasta terhadap kesehatan masyarakat sangatlah berhubungan. Tentu akan menjadi lebih baik dan lebih murah apabila warga Bandung lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di taman-taman kota daripada bepergian ke luar kota. Apalagi pemerintah kota tengah menyebarkan image Bandung sebagai kota jasa, tentu unsur estetika menjadi unsur penting yang bisa menarik wisatawan untuk berekreasi di Bandung dan menikmati keindahan lingkungan terutama taman-taman kotanya.

Solusi

Saat ini, taman-taman kota tidak lagi hanya dipandang sebagai kontributor bagi pemenuhan kualitas fisik dan estetika lingkungan saja. Berbagai penelitian telah dilakukan dan menyimpulkan bahwa taman kota memiliki aspek yang lebih luas terhadap pemenuhan tujuan-tujuan kebijakan publik lainya, seperti aspek ekonomi masyarakat, perkembangan anak muda perkotaan, kesehatan publik hingga perkembangan komunitas.

Dalam pandangan ini, taman kota bisa difungsikan secara lebih luas serta  menjadi media utama bagi perkembangan komunitas masyarakat kota. Di Bandung saat ini, telah ada beberapa komunitas yang mulai menyadari pentingnya taman kota sebagai media perkembangan masyarakat, komunitas tersebut antara lain Komunitas Aleut, Komunitas Bandung Berkebun, Komunitas Taman Kota dan Komunitas Sahabat Kota dll.. Kegiatan komunitas-komunitas ini difokuskan pada pengembangan pendidikan anak muda, baik melalui program-program bersifat intelektual, emosional hingga sosial. Perkembangan komunitas yang terlepas dari campur tangan pemerintah ini, merupakan suatu potensi positif yang bisa dikembangkan. Untuk itu, pemfungsian taman-taman kota sebagai “Park” yang bernilai sosial perlu lebih ditingkatkan  alih-alih memfokuskan diri pada kuantitas tanaman yang ditanam dalam kota. Selain itu, Pembangunan komunitas-komunitas anak muda ini secara tidak langsung juga dapat mengurangi beban pemerintah kota dalam hal penanganan tindakan-tindakan kriminalitas dan vandalisme yang kerap dilakukan anak muda.

Taman kota merupakan sarana kesehatan publik yang sangat terjangkau bagi warga kota dan dapat diakses berbagai golongan masyarakat. Dalam hal ini, sebagian anggaran kesehatan pemerintah kota sepatutnya dialokasikan untuk perbaikan-perbaikan taman kota mengingat perannya yang cukup signifikan dalam menyehatkan warga kota. Untuk itu, taman-taman selayaknya difasilitasi dengan arena berjalan kaki, track jogging, hingga bersepeda. Untuk perawatan, tidak masalah apabila pengelola taman menarik sedikit biaya dari pengguna taman apabila hal tersebut dirasa sangat diperlukan untuk menjaga kenyamanan dan kelayakan taman kota.

 

 

[1] CDC, “Surgeon General,” Physical Activity and Health: A Report of the Surgeon General (Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, 1996), Hlm. 4-8, http://www.cdc.gov/nccdphp/sgr/pdf/sgrfull.pdf.

[2] Paul M. Sherer , “The Benefits of Parks: Why America Needs More City Parks and Open Space”. San Francisco – 2006.  Hlm. 7.

[3] Kota-kota besar seperti Singapura, Canberra, Christchurch and Adelaide telah menerapkan konsep ini. Bahkan Malaysia mendeklarasikan diri sebagai “Garden Nation”.  (Prof. Dr. M. Hamdan Hamad, Malsiah Hamid, Hong Lim Foo, Then Jit Hiung dalam  Paper “Defining the Garden City of Kuching”)

[4] Chris Gossop ,”From Garden Cities to New Towns” (2006) Hlm. 2

[5] Nyonya C.S.V., “Mooi Bandoeng”, November 1938 No. 11, Jaargang 6, Hlm. 6

[6] Haryoto Kunto,”Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Bandung, 1986) Hlm. 226

[7] Tjetje Hidayat P. (Ed.), “Kang Dada Pengabdian Tanpa Jeda”. (Bandung, 2008) Hlm. 37

[8] http://www.csoforum.net/home/klipping-berita/217-ruang-terbuka-hijau-kota-bandung-baru-88-persen.html

[9] http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/431819/

[10] http://lintasjabar.com/bandung-raya/walikota-babakan-siliwangi-tidak-bisa-jadi-rth-murni/

[11] Mooibandoeng, november 1936

Soerjopranoto si Raja Mogok

Oleh : Indra Pratama

Dalam novel “Sang Priyayi”, penulis Umar Kayyam memaparkan kompleksitas kehidupan para priyayi Jawa. Dalam setting waktu 1900-awal hingga 1960-akhir, kehidupan kaum yang satu ini digambarkan tidak pernah lepas dari kerudetan yang haya berganti rupa. Meski mungkin di zaman sekarang semua itu sudah jadi kenangan belaka.

Kepercayaan akan adiluhungnya warisan kebudayaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram, kedudukan sebagai panatagama, pusat kebudayaan, seni dan tata perilaku sosial digoncang oleh masuknya Islam, theosofi, hingga kemudian politik etis, islam reformis, dan komunisme.

Proses tumbukan itu tak disangka menghasilkan suatu golongan baru, pangeran-pangeran, putri-putri yang berkesadaran diri, yang kemudian disebut sebagai Kaum Elit Modern Pribumi oleh Robert van Niels. Meskipun bisa ditemukan antitesis dalam diri Semaoen dan banyak tokoh elit lain dari luar Jawa, tapi tidak bisa disangkal bahwa peran kaum hasil tumbukan ini adalah yang terpenting dalam pergerakan nasional Indonesia.

Salah satu “akademi” yang penting dalam pergerakan adalah Pura Pakualaman. Meskipun awalnya secara aneh terbentuk dari konflik Yogya-Inggris, trah raja kecil ini ternyata banyak menghasilkan pembangkang-pembangkang rust en orde yang terkenal kelak. Paku Alam I, BPH Notokusumo dan Paku Alam II Raden Tumenggung Notodiningrat,bahkan sebelum Pakualaman terbentuk, telah menjalani pembuangan di Cirebon dan Batavia akibat dicurigai Hermann William Daendels menghalangi kepentingannya mengobok-obok Hamengku Buwono.

Salah satu pemberontak paling terkenal dari Pakualaman adalah Soerjopranoto. Lahir sebagai Raden Mas Iskandar,11 Januari tahun 1871, putra Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, putra tertua dari Paku Alam III yang hak naik tahtanya batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Ia dan adiknya, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara, menjadi tokoh penting dari pergerakan pra-nasional dan nasional Indonesia.

Meskipun lahir dan besar di Pura Pakualaman, Iskandar oleh ayahnya dibebaskan untuk bergaul dengan siapapun, termasuk rakyat jelata di sekeliling pura. Ia belajar mengaji bersama anak-anak abdi dalem, bahkan bermain dan tidur bersama mereka di langgar. Pura Pakualaman memang terkenal lebih moderat dalam bersikap. Demikian pula dalam urusan pendidikan (barat), Pakualaman temasuk menjadi yang terdepan dalam memanfaatkan fasilitas ini. Sejak Paku Alam III, Pakualaman memang lebih terkenal dengan aktivitas budaya dan ilmu pengetahuan daripada politik. Mereka telah mempergunakan bahasa Belanda dan Melayu dalam kehidupan sehari-hari, juga mempelopori pendidikan bagi para putri dan para pekerja di Pakualaman.Bahkan salah seorang bibi dari Soerjopranoto, yaitu Raden Ayu Nototaroeno telah dipandang sebagai salah satu ahli sejarah Jawa, meskipun bukan melalui jenjang pendidikan sejarah resmi.

Sorjopranoto dari kecil (hingga akhir hayatnya) dikenal sebagai seseorang yang tempramental, tetapi jujur dan lurus dalam bersikap. Kala ia memasuki sekolah formal di HIS Keputran, dalam benaknya muncul pertentangan-pertentangan yang berhubungan dengan sudut pandang Belanda dan pribumi. Pengetahuan yang ia dapat dari rumah, seringkali ia pertentangkan dengan pengetahuan (khususnya sejarah) dari guru sekolahnya. Namun kenyataan itu malah membuatnya semakin cerdas dan mampu berpikiri ilmiah.

Lulus HIS, ia melanjutkan pendidikannya ke Klein Ambtenaar Cursus, sebuah kursus untuk amtenar. Saat berusia 14 tahun, ia mulai menampakkan reputasinya sebagai seorang pendekar pembuat onar, yang sering menghajar sinyo-sinyo Belanda yang meremehkan orang pribumi, juga sering menentang aturan-aturan dan aparat yang dinilainya berat sebelah dalam berbagai aksi. Statusnya sebagai seorang priyayi tinggi membuat omongan dan aksinya lebih disegani.

Aksi personalnya ini membuat asisten residen setempat gerah, maka selulusnya Soerjopranoto sebagai amtenar, ia “dipaksa” menerima Surat Ketetapan yang menugaskannya di Tuban, Jawa Timur. Di Jawa Timur ia berkenalan dengan Raden Mas Oemar Said, yang aktif di perjuangan hak-hak pedagang kecil pribumi. Oemar Said kelak dikenal sebagai Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Namun hanya 6 bulan ia bertugas di Tuban, tinjunya kembali mengenai orang Belanda, kali ini yang dibuat terkapar adalah seorang kontrolir yang menghina seorang pegawai bangsa pribumi. Ia pun dipecat dan dikembalikan ke Yogya.

Namun sekembalinya di Pakualaman, peristiwa tersebut malah disambut bangga oleh ayahnya dan pamannya, Paku Alam IV sebagai tindakan seorang ksatria. Oleh Paku Alam IV, ia pun segera dipekerjakan kembali sebagai  sekretaris dan salah seorang wedana dalam pemerintahan praja Pakualaman. Dalam pekerjaannya kali ini, ia merasa makin dekat dengan semua unsur masyarakat Pakualaman, dari mulai kalangan priyayi hingga warga termiskin. Ia menganalogikannya dengan “yang kecil menjadi makanan yang sedang, yang sedang menjadi makanan yang besar”.

Berangkat dari pengalaman itu, ia bersama kawan-kawan dekatnya mendirikan Mardi Kaskaya, sebuah organisasi yang utamanya bergerak membebaskan rakyat Pakualaman dari himpitan rentenir, serta memberikan bantuan modal untuk para warga maupun abdi dalem yang memiliki kemampuan dan kemauan berusaha kerja sambilan. Didorong oleh gerakan ini, sikap penolakan terhadap rentenir mulai meluas, berbagai kasus kekerasan terhadap rentenir merebak.

Dengan alasan inilah, pemerintah, pelindung para rentenir, menganggap Soerjopranoto sebagai rebellie, maka dipikirkanlah cara untuk membuangnya. Pemerintah tahu bahwa Soerjopranoto seorang yang haus akan ilmu, Maka mereka membuangnya dengan cara memberikan kesempatan Soerjopranoto bersekolah di Middlebare Landbouwschool di Buitenzorg (sekolah tani, bakal dari Institut Pertanian Bogor). Ia pun gembira, namun ayahnya segera menyadarkannya, bahwa kesempatan belajar itu hanyalah upaya membuang Soerjopranoto dari Pakualaman. Namun ayahnya pun membesarkan hatinya, bahwa dengan belajar ilmu tani, maka Soerjopranoto bisa dekat dengan kaum tani, yang dalam babad-babad Jawa dikenal sebagai pendukung sebuah revolusi. Maka ia pun berangkat ke Buitenzorg.

Di Buitenzorg, ternyata upanya meredam si pemberontak berujung nol besar. Soerjopranoto malah menikmati keuntungan besar dari pembuangannya tersebut. Pertama, ia lulus dengan mengantongi dua ijazah sekaligus, ijazah Landbouwkundige (ahli pertanian), serta ijazah Landbouwlelaar (guru ilmu pertanian). Kedua, ia pun berkenalan dengan kaum pergerakan. Ia indekos di rumah tokoh theosofi Van Hinlopen Labberton, melalui Labberton, ia berkenalan dengan Ernest Eugene Francois Douwes Dekker, seorang dengan penghargaan “The Boer’s Fighting Man”. Ketika Soewardi masuk STOVIA, ia pun memperluas pergaulannya di kalangan pergerakan Batavia pra Boedi Oetomo (meskipun Soewardi akhirnya tidak lulus STOVIA). Bahkan turut membantu dr.Wahidin Soedirohoesodo, dokter keluarga Pakualaman, yang mencari dana untuk studiefonds yang dicanangkannya.

Setelah lulus tahun 1907, tahun berikutnya ia kembali mengalami “pembuangan” ke tempat yang jauh. Ia menjabat Kepala Dinas Pertanian (Landbouwconsulent) untuk wilayah Wonosobo, Dieng dan Batur. Sembari merangkap sebagai pimpinan sekolah pertanian di Wonosobo. Disini ia bertemu Jauharin Insyiah binti Abdussukur, putra kyai reformis Abdussukur dari Karang Anyar. Seluruh putra-putri Abdussukur menerima pendidikan modern. Di Wonosobo pula ia bergabung dengan Boedi Oetomo. Di masa ini pula ia resmi menggunakan nama Soerjopranoto sebagai pengganti nama kecil Iskandar.

Perkembangan Sarekat Dagang Islam dibawah H.Samanhoedi dan R.M. Tirtoadhisoerjo menarik Soerjopranoto dan kaum kelas menengah lain untuk bergabung. Namun ternyata akibatnya fatal, seorang Asisten Wedana Temanggung dipecat secara sepihak oleh pemerintah kolonial karena diketahui bergabung dengan SDI (yang kemudian menjadi Sarekat Islam). Soerjopranoto tidak terima, ia melabrak Asisten Residen Banyumas langsung dikantornya. Mereka berdebat seru, diakhiri dengan Soerjopranoto yang merobek surat keputusan penugasan dan ijazah sekolahnya, sembari bersumpah tidak akan lagi bekerja untuk pemerintah kolonial. Peristiwa ini nampaknya membuat ia menjadi salah satu tokoh non-kooperasi pertama di era pergerakan modern. Sikap yang cukup konsisten dilakukannya di masa depan, seperti saat menolak menjadi anggota Volksraad tahun 1918.

Mengetahui kakaknya menganggur, Soewardi meminta Soerjopranoto mengajar di Taman Siswa sebagai guru tani. Ia pun setuju dan pulang kembali ke Yogya. Di saat yang bersamaan ia pun makin aktif di pergerakan, menjadi pengurus Boedi Oetomo, anggota Sarekat Islam, serta mendirikan ormasnya sendiri, yaitu Arbeidsleger Adhi Dharma atau Barisan kerja Adhi Dharma. Adhi Dharma sendiri merupakan ormas yang bekerja di bidang pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatannya berupa mendirikan sekolah-se, kolah umum untuk wanitas dan priapendidikan keterampilan, bantuan hukum bagi rakyat kecil, pendidikan perdagangan,ceramah dan diskusi problema kemasyarakatan, mendirikan ulang usaha koperasi gotong royong Mardi Kaskaya, serta barisan kesehatan. Sistem organisasinya mirip seperti Salvation Army dari Inggris, dimana para pegawainya memiliki sistem kepangkatan seperti militer, dengan Soerjopranoto sebagai komandannya. Karena Adhi Dharma berafiliasi dengan SI, maka ormas ini pun mendapat keuntungan dengan penyebaran kegiatan di skala wilayah yang cukup besar, hingga ke pelosok dimana terdapat afdeling SI.  Namun sejarawan-sejarawan seperti Ruth T.McVey dan Takashi Shiraishi menyebut Adhi Dharma kurang jelas tujuannya, mungkin karena terlalu luasnya bidang yang ditekuni Adhi Dharma, sehingga kurangnya fokus ormas.

Di dalam SI sendiri, Soerjopranoto tetap menjadi anggota aktif, bahkan di dekade kedua abad ke-20, ia sudah menduduki peranan penting sebagai salah satu orang kepercayaan rezim Tjokroaminoto. Namun seiring berkembangnya SI menjadi partai, muncul pula fragmen-fragmen internal didalam SI. Masuknya pengaruh komunisme lewat Mas Marco, Alimin, Darsono dan Semaoen, sosialisme islam ala H.Misbach, dan islam reformis dari Fachroedin (murid Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyyah) mulai menyulitkan posisi politis SI. DI masa ini Soerjopranoto mulai aktif menyusun program pro buruh dan petani, yang kelak melahirkan julukannya yang paling terkenal : si Raja Mogok.

Tahun 1919, Soerjopranoto mendirikan Personeel Fabriek Bond (PFB), organisasi serikat buruh pertama di Indonesia. Organisasi ini kemudian menjadi jalur para buruh untuk berkompromi dengan Politiek Economische Bond (PEB) organisasi para pengusaha. Di akhir tahun, PFB telah memiliki 90 afdeling dan 10.00 anggota dan calon anggota di seluruh Jawa. Namun kuantitas tak menjamin. Kompromi pertama gagal. Alhasil pada 9 Agustus 1920, Soerjopranoto mengumumkan pemogokan buruh yang pertama kali sepanjang sejarah Hindia modern. Bermula di Pabrik Gula Padokan Yogyakarta, aksi ini meluas hingga ke sebagian besar pulau Jawa. Dengan pemogok sebanyak itu, pers Belanda pun menjuluki Soerjopranoto De Stakingskoning alias Si Raja Pemogokan.

Sementara Soerjopranoto sibuk dengan pemogokan, SI sendiri sedang digoyang masalah internal. Rezim Tjokro yang dianggap korup sudah kehilangan banyak pengikut, terutama setelah serangan-serangan dari kaum komunis dari afdeling Semarang yang dikomandoi Semaoen. Meskipun secara aksi sejalan dengan SI Semarang, namun Soerjopranoto memilih berada di belakang Tjokro, entah untuk alasan politis atau pertemanan. Bersama H.Agus Salim ia masih setia dengan disiplin partai, namun tak urung kecewa juga melihat rapor merah kepemimpinan Tjokro, terutama atas dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan Tjokro.

Namun, idealismenya pula yang membuat sikapnya membingungkan bagi kawan dan lawan. Ia seakan pro Tjokro, tetapi dalam beberapa masalah setuju dengan SI Semarang dan kelompok anti-Tjokro lainnya. Dalam beberapa kali usaha reformasi partai, Tjokro tetap memasukkan Soerjopranoto dalam jajaran pengurus. Demikian pula dengan Sarekat Hindia yang dibentuk Tjipto Mangoenkoesoemo. PFB berkembang menjadi penangkal rezim Tjokro dalam menghadapi SI Semarang yang makin merongong setelah pembentukan Partai Komunis Indonesia. Namun upaya ini gagal ketika Soerjopranoto dan PFB gagal mengahalangi Semaoen menduduki ketua federasi serikat buruh yang baru dibentuk, PPKB (Persatoen Perserikatan Kaoem Boeroeh).

Memasuki dekade 20-an pergerakan buruh yang dikoordinir Soerjopranoto mulai meredup, ancaman dari para pemilik perusahaan serta minimnya dana pergerakan membuat para anggota satu persatu meninggalkan PFB. Dengan penurunan sumber daya, ancaman-ancaman mogok PFB hanya menjadi sebuah gertak sambal yang tidak ditakuti pemerintah dan para pengusaha. Kondisi ini makin mencuatkan isu-isu perpecahan di pergerakan buruh. Kubu SI/PKI Semarang Darsono-Semaoen-Bergsma berusaha mendekati Soerjopranoto untuk bergabung, sementara Fachroedin adu serang dengan Darsono, kondisi ini memecah pergerakan buruh pada umumnya.

Dalam kondisi inilah pergerakan buruh Soerjopranoto mulai kocar-kacir pula, ia mengalami tiga kali penjara pada periode sulit ini. Kekuatan yang tidak lagi besar membuatnya nyaris tidak punya posisi pembelaan yang kuat di pengadilan. Tahun 1923 ia ditahan 3 bulan di Malang, kemudian di Semarang selama 6 bulan tahun 1926. Dua kasus tersebut disebabkan delict pers atas tulisan-tulisannya.

Dekade 30-an,  ia menghadapi kenyataan lebih pahit bahwa Partai Sarekat Islam, yang ditambahkan kata Indonesia di belakangnya sebagai perwujudan tujuan nasionalismenya tahun 1929, menskors dirinya dan dr. Soekiman Wirjosandjojo tahun 1933. Setelah itu di tahun yang sama ketiga kalinya ia dipenjara lagi. Kali ini di Bandung (Sukamiskin) selama 16 bulan , dengan peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan. Kasus kali ini lagi-lagi akibat delict pers. Kali ini atas karya ensiklopedia yang dibuatnya.

Sempat mendirikan Partai Islam Indonesia,namun ternyata sekeluarnya dari Sukamiskin Soerjopranoto sudah terlalu lelah untuk aktif lagi. Ia pun sempat bersimpati pada Partai Nasional Indonesia bikinan Soekarno, murid Tjokroaminoto, namun tidak diketahui apakah ia kemudian ikut aktif didalamnya. Ia kemudian lebih aktif lagi di Adhi Dharma dan meninggalkan politik praktis.Zaman Jepang Adhi Dharma dibubarkan. Namun ia tetap aktif mengajar di Taman Siswa, sekalian menghindari ajakan kerjasama dari Jepang.

Di masa kemerdekaan, Soerjopranoto tetap aktif mengajar, dan menjadi simpatisan PSII. Tahun 1958 Soekarno pun memberi kehormatan kepada Soerjopranoto sebagai anggota kehormatan Dewan Rakyat. Namun setahun kemudian, tanggal 15 Oktober 1959 Soerjopranoto meninggal dunia akibat usia lanjut ketika sedang berada di rumah menantunya di Cimahi. Dua hari kemudian jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Rahmat Jati di kotagede, Yogyakarta, dengan upacara kenegaraan. Dengan keputusan Presiden Republik Indonesia no.310  beliau diangkat sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional RI serta kemudian mendapat Bintang Mahaputra, tingkat II Republik Indonesia pada 17 Agustus 1960.

Soerjopranoto merupakan salah satu contoh generasi pertama elit modern Indonesia. Generasi yang mau dan mampu keluar dari zona kenyamanan priyayi mereka, untuk kemudian bertarung bersusah-susah, baik dengan sesama pribumi maupun dengan penjajah. Ketika suatu sistem pendidikan mampu menghasilkan generasi seperti Soerjopranoto hingga Soekarno-Hatta, perlukah kita berkaca pada sistem pendidikan waktu itu?.

Sumber :

  • McVey, Ruth T. 1965. Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu. Cetakan tahun 2010.
  • Noer, Deliar. 1979. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES. Cetakan kedua tahun 1982.
  • Shiraishi, Takashi. 1990. Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Cetakan kedua tahun 2005.
  • Sukawati, Bambang. 1983. Raja Mogok. R.M.Soerjopranoto. Jakarta : Hasta Mitra

Taman: di Balik Fungsi dan Cerita

Oleh : Nia Janiar

Tiga buah kubus terlihat di sebuah taman yang berada di kampus yang berada di bilangan Jalan Ganesha. Dengan tempat duduk setengah lingkaran serta landainya pepohonan rambat yang meneduhkan, bangunan kampus yang didirikan pada tahun 1920 berdiri kokoh di sebelah utara. Sementara itu di sebelah selatannya terdapat Taman Ganesha yang dulunya bernama Ijzermanpark atau Yzerman Park yang berlatarkan gunung-gunung sebelah selatan kota Bandung.

Plakat nama serta ketinggian gunung di Ijzermanpark (Taman Ganesha)

Ijzermanpark/Yzerman Park/Taman Ganesha

Ijzermanpark dibangun pada tahun 1919 untuk menghargai seorang pegawai jawatan KA bernama Yzerman yang ikut merintis pembangunan De Techniche Hoogeschool te Bandung (THS) atau Institut Teknologi Bandung (ITB). Patungnya dari kepala hingga dada pernah disimpan di taman ini namun diganti pada tahun 1950-an dengan patung Ganesha namun patung masih bisa dilihat di gedung rektorat ITB. Taman ini jika dilihat dari atas akan terlihat seperti huruf ‘y’ sebagai inisial dari Yzerman. Selain itu plakat-plakat tentang nama serta ketinggian gunung, dapat terlihat di tembok batu yang memisahkan bagian depan taman dengan taman itu sendiri.

Taman dirancang secara estetis fungsinya tidak hanya menyerap polusi kota saja tetapi keindahan untuk memberi kesegaran di antara rutinitas keseharian. Setelah lelah belajar dan bekerja, bolehlah pergi ke taman bersama keluarga atau teman sambil menikmati keindahan panorama gunung yang bisa dilihat dari Ijzermanpark. Walaupun sudah tidak bisa melihat gunung, taman ini masih digunakan warga sekitar juga mahasiswa ITB untuk berkumpul, mengerjakan tugas, atau sekedar berdiskusi.

Dalam taman selalu terdapat dua elemen yaitu bidang lunak seperti rumput dan pohon serta bidang keras seperti kolam serta jalan setapak bahkan selokan kecil yang mungkin sudah dipikirkan saat pembangunan taman ini. Berada di tanah dengan level yang lebih rendah, taman ini akan dipenuhi genangan air saat hujan sehingga dua buah selokan pernah dibangun untuk menanggulangi hal tersebut. Namun ketidaan selokan di Ijzermanpark sekarang mengakibatkan genangan serta tumpukan sampah yang terbawa arus air serta efek becek setelahnya.

Tepat di depan Ijzermanpark terdapat kampus ITB yang mengadaptasi kampus bergaya Amerika yaitu adanya taman-taman di dalam kampus dengan fungsi sebagai ruang interaksi. Kampus yang dirancang Henry Maclaine Pont (1879-1955) ini dibangun untuk mencetak para ahli teknik dan arsitektur yang mengerti kondisi lingkungan Hindia Belanda. Maclaine Pont mengawinkan arsitektur lokal dengan gaya modern yaitu ia memasukkan gaya Minangkabau pada atapnya yang bisa dilihat di bangunan utama kampus ITB. Keputusannya ini sempat dikritik karena Minangkabau dirasa tidak pas di lingkungan Sunda. Namun Manclaine Pont memiliki alasan bahwa Sumatera merupakan bagian dari Sunda Besar (Sumatera, Jawa, dan Bali)

Gaya Busur Berikat Cincin

Arsitek yang dilahirkan di Batavia ini juga memasukkan unsur candi yang bisa dilihat di tangga bangunan di ITB yang terbuat dari batu candi. Selain itu, ia juga tidak memakai pilar dalam bangunan tetapi kayu untuk memaksimalkan ruang (terlihat seperti gambar di atas). Dengan gaya busur berikat cincin, Manclaine Pont menghadirkan gaya arsitektur dengan teknologi tercanggih kala itu.

Di sini pernah terdapat lapangan luas tempat bermain sepakbola

Lanjut ke arah PDAM Badak Singa, di sini pernah terdapat sebuah lapangan luas yang dijadikan tempat latihan sepakbola. Namun aktivitas tersebut dipindahkan ke Gasibu yang merupakan singkatan dari Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara. Warga mungkin mengira bahwa Gasibu berasal dari kata Gazebo yang berarti bangunan kecil dengan atap yang dipakai beristirahat.

SMAK Dago dari arah belakang

Sebagai informasi tambahan, dekat dari PDAM terdapat sebuah sekolah bernama SMAK Dago yang sempat heboh sekitar satu tahun yang lalu karena ada sengketa lahan. Sekolah Kristen ini memiliki catatan sejarah panjang. Dengan halaman luas juga bangunan yang tampak tidak terurus serta menyeramkan jika dilihat dari luar ini dikenal sebagai Lyceum. Awalnya merupakan villa milik seorang pengusaha Cina kemudian beralih fungsi menjadi sekolah Christelijk Lyceum di awal abad 20. Sekolah ini juga pernah dipakai sebagai rumah sakit darurat untuk Sekutu.

Lanjut ke taman lainnya yaitu taman yang dikenal sebagai Taman Flexi. Taman ini berada di tengah-tengah pemukiman orang Eropa kala itu. Selain sebagai tempat berinteraksi, taman ini juga berfungsi sebagai penunjung kesehatan. Namun taman yang dikelilingi pagar ini menjadi bulan-bulanan aksi vandalisme seperti coret-moret, sampah yang dibuang sembarangan di selokan sekitar taman, serta pecahan kaca minuman keras yang bisa dilihat di trotoar di sekelilingnya.

Taman, dengan segala fungsinya, harus ditempatkan secara tepat. Taman-taman dilalui kanal-kanal yang mengalirkan air yang berfungsi untuk menyuburkan tanaman yang ada di atasnya. Kanal yang dibuat Martanegara bisa dilihat dengan jelas di dekat Kebon Bibit–tepat di sebelah gedung rektorat ITB juga Taman Lansia yang berada dekat Gedung Sate. Kanal tersebut mengalirkan air dari Cikapundung hingga Lengkong Tengah. Selain itu terdapat kanal lain yang mengalirkan air dari Cikapundung – tengah kota Bandung – Cikapundung Tua (daerah Gatot Subroto).

Taman Flexi

Brandgang/Branghang

Tidak hanya mengenai kisah taman, di sini juga Ridwan Hutagalung menjelaskan mengenai bangunan yang ada di kota Bandung juga brandgang atau branghang. Brandgang merupakan saluran air yang berada di antara bangunan. Brandgang bisa dilihat di Gempol dan dekat foto studio Jonas serta dekat RM. Sambara. Brandgang berfungsi sebagai tempat evakuasi kebakaran. Oleh karena itu dilarang membangunan permanen dan semi permanen di atasnya. Berbeda dengan gang, brandgang tidak memiliki nama jalan.

Taman, dalam KBBI, diartikan sebagai kebun yang ditanami dengan bunga-bunga dan lainnya (tempat bersenang-senang). Namun taman yang ada di Bandung ini umumnya dipagar (bahkan ada yang dipagar tinggi dan dikunci sehingga tidak dapat dipakai untuk bersenang-senang) membuat fungsi taman sebagai ruang publik menjadi berjarak dengan publik itu sendiri dengan alasan agar taman tidak dirusak atau tidak dipakai tidur gelandangan. Padahal taman (selain alasan polusi dan kesehatan) dibutuhkan agar warga bisa rehat sejenak–menjauhkan diri dari rutinitas keseharian atau berdiskusi tentang pentingnya taman itu sendiri barang sebentar saja.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑