Oleh: Dyah Setyowati Anggrahita
Saat itu sekitar jam setengah delapan pagi pada hari Minggu ketika saya dan Ayunina berada di kawasan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Tanpa arah yang pasti menuju Jalan Otten, kami bertanya untuk ketiga kalinya pada seorang pria di tepi jalan. Dengan penuh perhatian, pria itu menguraikan jalan dan arah yang harus kami tempuh agar sampai di tempat yang ditentukan oleh pengurus Aleut. Di tengah penjelasan, sebuah intro yang amat familier bagi rakyat Indonesia mengalun dengan kerasnya dari arah pria tersebut. Sepertinya ponselnya berbunyi. Untung saja kami sudah berlalu sebelum intro tersebut sampai pada lirik yang begitu tepat menggambarkan apa yang tengah kami alami…
…ya… ya ya ya ya ya… ya ya ya ya… ya ya ya ya ya…
…ke mana… ke mana… ke mana… ku harus… mencari ke mana…
Minggu lalu kami telah mengisi formulir untuk menjadi anggota komunitas yang sudah eksis sejak enam tahun lalu ini, membayar 10.000 rupiah untuk setahun yang antara lain akan diguna
kan untuk jarkom dan pin, serta mengikuti ngaleut pertama kami ke berbagai taman kota yang ada di kawasan Bandung utara. Buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” buah kata Haryoto Kunto (Bandung: PT Granesia, 1986) adalah babon yang sempurna untuk mengiringi perjalanan asyik waktu itu.
Maka Minggu (12/02/12) ini jadi ngaleut kedua kami dengan agenda: JELAJAH MAKAM PANDU. Wow apa yang menarik dari sebuah makam? Pernahkah kamu membayangkan makam sebagai museum yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah? Kalau selama ini kamu sekadar tahu bahwa pemakaman terdiri dari makam-makam yang berjajar dan menghadap satu arah, berupa gundukan atau kadang-kadang diperkeras, pemakaman kali ini mempersembahkan makam-makam yang beda. Kamu bisa lihat sepasang makam berhadapan, makam dengan pot tanaman (yang mungkin saja sebenarnya tempat dupa), makam orang Batak, Nias, Maluku, China, Belanda, Jerman, Italia, Prancis, Amerika, penganut Freemason, sampai makam pejuang, makam yang belum ada isinya, makam yang menyerupai pura mini, makam dengan gambar traktor di nisannya, makam berupa laci, hingga kerangka tak beridentitas. Beberapa makam bahkan menampilkan potret orang yang dimakamkan semasa hidup. Tapi itu belum semua. Dari apa yang tertera di nisan saja, ada banyak informasi yang bisa kita gali.
Aleut sendiri adalah komunitas di Bandung yang berkegiatan setiap Minggu pagi hingga siang atau bahkan sore. Deskripsi kegiatannya adalah jalan-jalan beramai-ramai, tapi esensinya lebih dari itu. Aleut adalah cara untuk mencintai sebuah kota. Aleut terbuka bagi siapa saja, bahkan untuk keluarga, meski sebagian besar peserta adalah mahasiswa. Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang Aleut sebelumnya di sini. Kalau kamu penasaran ingin mengenal Aleut lebih jauh, silahkan mencarinya di Facebook atau di blog.
 |
Taman Otten di seberang gedung lama RSHS
|
Syahdan, saya dan Ayunina berhasil jua menemukan ngaleutmania di Taman Otten. Karena kunjungan ke Makam Pandu sebelumnya telah memakan korban demam berdarah, maka kami dianjurkan untuk siaga dengan lotion anti nyamuk. Cuaca amat cerah kala itu setelah malam sebelumnya hujan mengguyur Bandung.
Setelah sekitar satu setengah jam berlalu dari waktu kumpul (7.30 WIB), semua berdiri melingkar untuk memperkenalkan diri masing-masing. Ternyata peserta ngaleut tidak hanya warga Bandung, tapi ada juga yang berasal dari Ambarawa, Salatiga, bahkan Surabaya. Setelah Bang Ridwan memberi prolog, kami pun cabut. O ya Bang Ridwan alias Ridwan Hutagalung ini adalah satu dari dua penulis buku “Braga – Jantung Parijs van Java” (Depok: Ka Bandung). Dalam ngaleut sebelumnya dan kali ini, beliau adalah salah satu narasumber yang berbagi banyak pengetahuan mengenai titik-titik yang kami lalui.
Kompleks Makam Pandu merupakan salah satu makam tertua di Bandung yang kini menjadi taman pemakaman umum. Umumnya orang yang dimakamkan di sini beragama non muslim, terutama Kristen, dengan berbagai latar budaya memengaruhi tata cara pemakaman hingga bentuk makam itu sendiri. Sebagaimana kata Bang Ridwan, makam ini memang tidak sedahsyat Taman Prasasti di Jakarta namun kita masih bisa melihat beberapa hal yang menarik.
 |
Anak-anak bermain bola di bawah jalan layang. Lapangannya ke mana, Dek?
|
Dari Taman Otten, kami berjalan ke barat—kalau saya tidak salah arah. Jadi Makam Pandu terletak di selatan jalan yang saya tengarai bernama Jalan Pasteur—pokoknya ada jalan layang di atasnyalah. Kami memasukinya melewati jalan setapak yang dikepung semak-semak. Sepanjang jalan, pertemanan mulai terjalin melalui kenalan ulang, saling menanggapi, bahkan mengobrol dengan peserta lain yang sebelumnya tidak dikenal.
Makam Kristen
Makam-makam di Makam Pandu berukuran relatif besar dan disemen. Orang Kristen biasanya dimakamkan dalam peti lalu peti itu dikuburkan. Ketika peti mulai rapuh, katakanlah enam bulan, tanah akan turun. Saat itulah makam disemen. Kalau disemen terlalu cepat, tanah di dalam makam tersebut akan growong sehingga makam bisa amblas atau retak-retak. Setelah disemen, bangunan di atas makam bisa bervariasi sesuai adat atau selera. Bentuk makam yang relatif besar dan datar membuat tempat ini rawan akan kegiatan esek-esek. Bang Ridwan pernah menemukan gincu di satu makam, tapi kami malah menemukan pakaian tergantung.
 |
Pakaian siapa itu?
|
Tanggal lahir maupun tanggal meninggal disertai tempat dan simbol di depannya. Bintang menandai tanggal lahir sedang salib menandai tanggal meninggal. Kita juga bisa menemukan tanda salib pada bacaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan meninggalnya seseorang. Salib tersebut biasanya menandai suatu istilah tertentu yang berarti istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi. Ini merupakan tradisi dalam bahasa Latin yang diterapkan di Indonesia kendati mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim (cek kamus buatan Poerwadarminta). “Sistem itu bisa aja diubah tapi entar kalau kita keluar negeri bingung,” kata Bang Ridwan. Sebagai contoh, kita tidak akan menemukan negara Pantai Gading, Aljazair, apalagi Selandia Baru di peta internasional.
 |
Ayat Alkitab di salah satu makam
|
Beberapa makam memuat kutipan ayat Alkitab. Ayat tersebut bisa diambil dari sertifikat katekisasi maupun ayat yang dapat menggambarkan keseharian mendiang. Dalam sertifikat katekisasi, terdapat ayat yang dipilihkan secara random oleh pendeta. Sertifikat katekisasi sendiri, kalau saya tidak salah tangkap, adalah sertifikat yang diberikan oleh umat Kristen yang telah lulus pelajaran agama. Sertifikat itu menandakan bahwa orang tersebut telah dapat bertanggung jawab atas dirinya, sudah boleh menikah, dan ikut perjamuan kudus (ingat lukisan “The Last Supper” yang ada di film “Da Vinci Code”). Dalam perjamuan kudus, roti disimbolkan sebagai daging Kristus sedang anggur adalah darahnya. “Makanya anggur kalau dalam tradisi Kristen tidak aneh, tapi kalau di sini dipakai mabok,” kata Bang Ridwan.
Makam Batak
Nisan makam Batak menyertakan tulisan “dison maradian” yang berarti “di sini beristirahat”.
Bang Ridwan menunjukkan makam ibunya yang baru meninggal 19 Januari lalu. Di sana tertera nama ibunya dilengkapi nama marga—namun bukan marga suami. Menurut Bang Ridwan, ketentuan istri ikut marga suami tidak berlaku lagi dalam keadaan seperti ini meski ada juga yang memasang.
Di bawah nama ibunya, terdapat tulisan “Ompung Boru Martha”—harusnya “Ompung Martha Boru”. Ini berarti ibunya merupakan nenek dari anak pertama Bang Ridwan yang bernama Martha. Bang Ridwan sendiri anak pertama ibunya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa anak pertama laki-laki belum memberi cucu laki-laki. Menurut Bang Ridwan, dalam tradisi Batak seharusnya kita tidak secara langsung menyebut nama seseorang—bahkan dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, seseorang memiliki anak bernama Sondang. Maka ia tidak disebut dengan nama aslinya melainkan dengan Mama Sondang. Kalau untuk hal ini, sepengetahuan saya hal yang sama berlaku dalam tradisi Arab. Jika seseorang memiliki anak bernama Sufyan, maka ia dipanggil Abu Sufyan yang berarti ayahnya Sufyan.
“Sistem kekeluargaan paling rumit itu orang Batak. Saya enggak kenal sama ini, tahu marganya, tinggal lihat silsilahnya tahu panggilnya apa. Jadi bisa bersaudara begitu saja,” jelas Bang Ridwan. Kita tidak bisa begitu saja memanggil nama seseorang tanpa mengetahui marganya. Kalau begitu, kita bisa kena sanksi sosial. “Tidak terlalu jelas sekarang kalau di sini tapi kalau di kampung itu berat. Ya dikucilkan aja dalam keseharian. Ditanya tapi teu diajakan nanaon. Kita hidup hanya dari adat.”
Setiap orang memiliki nomor dalam marganya yang menunjukkan orang tersebut adalah ke generasi berapa dari marganya itu. Di atas suatu marga ada marga lainnya yang bisa ditelusuri hingga ke Raja Batak. Cek buku “Tuanku Rao” oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (LKis) untuk informasi yang lebih seru.
Selama jenazah belum dimakamkan dan masih berada di rumah, pihak keluarga harus memberi uang pada setiap tamu yang datang. Nominal yang diberikan pun beragam karena setiap tamu memiliki kategori tertentu. Setelah jenazah dimakamkan pun, masih ada prosesi lainnya.
Makam China
Jika tradisi Batak menempatkan marga di belakang nama seseorang, maka tradisi China sebaliknya. Marga terletak di depan. Namun yang tertera pada nisan makam China tidak hanya nama China. Sekitar tahun 1960-an, keadaan sosial politik Indonesia saat itu membuat orang China harus mengganti nama China mereka menjadi nama yang “ngindonesia”. Mereka biasanya memilih nama yang terdengar ningrat padahal tidak ada dalam tradisi keningratan. Misalnya Yunus Wangsa, nama ini mungkin terdengar ganjil bagi orang Jawa. Kami juga menemukan nama Islam seperti Halimah, Usman, bahkan Abdullah di makam bersalib.
 |
Makam yang dibuat menyerupai bentuk rahim
|
Tidak semua makam China mengikuti tradisi Kristen, sebagian mengikuti tradisi konghucu. Makam konghucu menyerupai bentuk rahim. Filosofinya, dari rahim kembali ke rahim. Bisa dibilang kalau bentuk rahim di sini lebih seperti bentuk tabung erlenmeyer yang rada lebar. Bagian kepala terletak di lengkungan sehingga nisan berada di bagian kaki. Beberapa nisan bertulisan China, eh Mandarin—eh begitulah. Pada bagian tertentu, terdapat patok-patok dengan aksara yang melambangkan dewa bumi dan dewa kemakmuran.
 |
Lambang dewa bumi
|
Jika makam Islam menghadap kiblat, makam konghucu serupa makam Kristen yang tidak memiliki arah hadap khusus. Akan tetapi, makam konghucu menghadap arah yang disukai orang yang dimakamkan semasa ia hidup—bisa rumahnya atau rumah siapanya.
Bak pengumuman di koran, orang China pun mencantumkan nama istri dan keturunannya mulai dari anak, menantu, sampai cicit pada nisan. Menurut Bang Ridwan, di Cikadut—yang memang terkenal dengan makam Chinanya—informasi yang dipatri pada nisan lebih lengkap. Jika orang tersebut berasal dari China, maka nama kampung asalnya pun akan dituliskan dalam aksara tersebut. Di Cikadut juga kita bisa menemukan hal yang lebih aneh. Misalnya saja simbol dewa bumi ditulis tidak dalam aksara China melainkan Arab.
Makam Freemason
Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yaitu seperti dua segitiga (tanpa garis horizontal) yang saling menumpuk secara terbalik—rada mirip bentuk ketupat.
 |
Salah satu makam dengan simbol Freemason
|
Makam pertama yang kami temukan berupa balok di balik semak, tampak berlumut, yang secara jelas hanya menampilkan simbol Freemason dan nama jasadnya. Makam berikutnya terletak cukup jauh dari makam pertama. Yang tertera pada makam tersebut terlihat lebih jelas. Bentuk makamnya juga lebih lebar dan relatif tampak sebagaimana makam lainnya, namun informasi yang dicantumkan lebih sedikit. Makam tersebut pernah tertutup alang-alang, namun saat kami jumpai kemarin keadaannya cukup bersih.
 |
Makam Freemason lainnya
|
Menurut Bang Ridwan, selain makam Freemason ada pula makam yang nisannya hanya berbentuk bintang atau segitiga kecil. Tidak pasti di mana letaknya, mungkin tanpa sadar kita menginjak-nginjaknya karena itu tertutup tumbuhan. Dinas Pemakaman dan Pertamanan yang tahu secara rinci di mana posisi setiap makam karena mereka memiliki petanya.
Makam Charles Prosper Wolff Schoemaker
 |
Di bawah makam ini terdapat seorang tokoh besar
|
Schoemaker bukan saja pembuat sepatu atau pembalap dari Jerman, dia juga seorang arsitek yang karya-karyanya bertebaran di Kota Bandung seperti Landmark, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Majestic, beberapa gereja, masjid di Cipaganti, dan lain-lain. Schoemaker yang ini lahir pada 25 Juli 1882 di Ambarawa lalu mengajar di Technische Hogeschool ITB zaman dulu. Soekarno adalah murid kesayangannya. Soekarno menjadi juru gambar Schoemaker saat dia membuat desain untuk Hotel Preanger. Kakaknya, Richard, juga menjadi arsitek untuk bangunan SMAN 3 & 5 Bandung serta Villa Merah.
Sebenarnya dia berasal dari militer. Dari beberapa catatan, dia meninggal dalam keadaan muslim dengan nama Kemal Schoemaker. Sebelum menjadi muslim, dia dikenal rasis. Namun setelah dia memeluk Islam, dia ikut memperjuangkan persamaan hak. Dia bahkan sempat menunaikan ibadah di tanah suci dalam suatu lawatan ke Timur Tengah. Dia juga terlibat dalam pembentukan paguyuban cendekiawan muslim.
Banyak yang tidak ngeh bahwa dia muslim karena dia juga dikenal misterius. Hewan liar macam ular dan anjing dilepas begitu saja di halaman rumahnya. Rumahnya kini menjadi sebuah restoran di Jalan Sawunggaling.
Sekitar tiga tahun lalu, tidak ada seorang pun yang mengetahui di mana makam Schoemaker. Cucu Schoemaker datang dari Belanda karena pernah mendengar bahwa kakeknya terkenal di Indonesia. Ia mencari makam kakeknya tersebut namun tidak ketemu. Perjumpaannya dengan seseorang yang ayahnya bekerja untuk Schoemaker mengantarkannya ke makam Schoemaker yang tidak terawat itu. Kebetulan ada wartawan yang ikut dan tereksposlah bagaimana pemerintah kita “menelantarkan” pusara orang yang bisa dibilang ikonnya Kota Bandung itu. Kisah ini pun sampai pada Guruh Soekarno Putra yang kemudian membayarkan pajak makam tersebut untuk 20 tahun (setahun 20.000 rupiah). Cek lebih lanjut di buku “Jendela Bandung” karya Her Suganda (Penerbit KOMPAS).
Sebuah sumber menyebutkan bahwa Schoemaker meninggal di interniran pada masa pendudukan Jepang. Namun ini tidak sesuai dengan tahun meninggalnya, yaitu masa agresi militer Belanda . Interniran sendiri berarti tempat semacam kamp konsentrasi di mana para tawanan dikumpulkan, dalam hal ini orang Belanda. Interniran militer Jepang di Bandung pada masa itu antara lain berada di Cikudapateuh dan Cihapit.
Begitulah keterangan dari para narasumber kami. Kali ini bukan lagi Bang Ridwan, tapi ada beberapa yang di antaranya saya kenali sebagai Mang Asep dan Reza—sang koordinator. Tradisi di Aleut, pengetahuan tidak harus dari narasumber yang memang tahu materi. Peserta yang punya pengetahuan terkait juga bisa menambahi.
Ereveld
 |
Gerbang menuju teritorial negara lain
|
Di tengah padatnya makam-makam, terdapat sebuah kompleks eksklusif di kompleks Makam Pandu ini. Kompleks tersebut bernama Ereveld. Untuk bisa memasukinya, kita harus mengajukan izin pada pengurusnya di Jakarta—sepertinya berhubungan dengan Kedutaan Belanda atau AS—sejak tiga bulan sebelum kunjungan. Petugas menyimpan daftar nama keluarga orang-orang yang dimakamkan di situ untuk mengecek kebenaran identitas pengunjung. Kita juga tidak diizinkan memotret kendati tidak ada tulisan dilarang memotret terpajang di sekitar gerbang. Entah apa alasannya, mungkin sekadar privasi. Aturan ketat ini bisa mengancam karyawan kehilangan pekerjaannya bila dilanggar.
Lain dengan makam-makam di luarnya yang tidak beraturan serta belum tentu dirawat, pemakaman di dalam Ereveld tampak tertata dan terpelihara dari kejauhan. Deretan pepohonan di kanan kiri mengantarkan pengunjung sejak gerbang nan tinggi hingga ke bagian dalam. Tentu saja ada pihak yang mendanai sehingga kompleks tersebut tampak apik. Ini adalah bentuk perhatian pemerintah luar terhadap warganya kendati warga tersebut sudah meninggal dan dimakamkan di tanah negara lain. Kendati lokasinya di Bandung—Indonesia—tanah tersebut milik pemerintah Belanda karena yang bersangkutan sudah membelinya. Kata Bang Ridwan, “Jadi (kalau masuk sana—pen) aslinya harus pakai paspor.”
Ada sekitar 4000 makam di kompleks seluas 3,5 ha tersebut. Menurut keterangan petugas, yang dimakamkan di sana tidak hanya orang Eropa yang merupakan bagian dari KNIL. Kita juga bisa mendapati makam pribumi maupun makam muslim, yaitu mereka yang juga berjasa bagi pemerintah saat itu.
Ereveld di Pandu merupakan satu dari dua kompleks sejenis di Bandung (satu lagi di Cimahi) atau dari tujuh yang ada di Indonesia (antara lain di Semarang dan Surabaya). Tadinya makam-makam di dalam kompleks ini tersebar di banyak tempat namun kemudian dikumpulkan di tempat-tempat tertentu agar pengaturannya mudah.
Menurut Bang Ridwan, bentuk makam di Ereveld hanya ditandai patok salib. Bentuk salib menandakan latar belakang agama dan jenis kelamin (cek di blog Aleut di wordpress atau multiply).
 |
Makam pejuang tak bernama
|
Kontras dengan Ereveld, makam pejuang Indonesia di Makam Pandu sendiri bercampur dengan makam-makam lainnya yang umum. Jumlahnya sekitar 34 makam. Apabila identitas yang dimakamkan tak dikenali—demikian yang banyak kami temui—hanya nomor yang dibubuhkan pada penanda berupa marmer. Semacam replika bendera Indonesia yang berkibar, terbuat dari besi, dengan tulisan “PEJUANG” menancap di dekat bagian kepala. Tanggal mereka meninggal juga tidak diketahui, diperkirakan sekitar tahun 1945 – 1949.
Makam laci
Laci bukan nama agama, suku, aliran kepercayaan, maupun orang. Laci adalah tempat menyimpan sesuatu di bawah suatu permukaan yang bisa ditarik keluar. Di Makam Pandu, laci berarti kerangka di dalamnya.
 |
Ini laci lo….
|
Sekilas kita melihat permukaan sebuah dinding dengan kotak-kotak marmer menempel di sepanjangnya hingga membentuk dua barisan—padahal di atasnya ada makam-makam lagi tapi makam yang “wajar”. Ada 26 “laci” pada masing-masing baris dan ada dua blok makam semacam ini di Makam Pandu. Pada marmer-marmer tersebut tertera tulisan yang lazim pada nisan. Di balik marmer itulah, seseorang berbaring untuk selamanya. Ada beberapa laci yang tidak ditutupi marmer. Mungkin marmer tersebut sudah diambili untuk bikin martabak.
Benar saja. Kami menemukan kerangka pada salah satu laci yang terbuka. Saya hanya bisa melihat tengkoraknya saja dan sesuatu yang seperti kain putih menyelubungi bagian bawahnya. Kerangka tersebut tidak tampak utuh karena tertimpa pecahan material.
“Sistemnya baut. Baut ini juga memungkinkan untuk dikerek ulang kalau misalkan mau ditumpuk. Jadi nanti ada besi empat yang buat menarik. Jadi bisa dibuka tutup ini. Sebagian masih ada kerangkanya. Dan ada rel. Jadi memasukkannya peti itu di atas rel,” terang Bang Ridwan. Namun tidak semua marmer ditancapi baut pada ujung-ujungnya. Tahulah baut itu ke mana.
Aleut pernah mendokumentasikan semua makam ini lalu mempublikasikannya di multiply. Uwak salah seorang yang dimakamkan di sini ternyata bekerja di Utrecht Conservation Society. Dia melihat foto tersebut lalu tertarik dan berkunjung ke Bandung. Maka Aleut pun punya mitra di Utrecht—sesama pemerhati heritage.
Menurut Bang Ridwan, alasan pemilihan gaya pemakaman semacam ini hanya supaya simpel saja—penghematan ruang. Di Eropa pun makam seperti ini sudah biasa. Di blok selanjutnya, laci-laci yang kosong terlihat lebih rapi. Sebagian ditutupi oleh balok kayu—mungkin sudah disewakan. Bahkan ada yang tertutup marmer bertulisan nama orang Indonesia.
Makam Ursone
 |
Berasa dalam videoklip yak
|
Ursone adalah seorang peternak sapi perah, penghasil susu segar, dan pemilik industri susu di Lembang. Saking banyaknya sapi yang dimiliki, dia bisa mendistribusikan susu hingga 1000-1500 botol ke Bandung Milk Center (BMC) yang bisa dijumpai di Jalan Aceh.
Dia memiliki banyak tanah di Lembang. Lahan yang oleh Bosscha dijadikan observatorium merupakan hibah dari Ursone. Keluarga Ursone juga dikenal memiliki grup ansambel musik klasik yang suka tampil di berbagai konser hiburan di Bandung.
Dari gaya makamnya, Ursone merupakan keturunan Italia. Beberapa nama tercantum pada bagian luar makam tersebut yang menunjukkan bahwa makam tersebut menampung banyak jasad sekaligus. Selain nama Ursone, ada nama Van Dijk terselip—mungkin ada hubungan tertentu. Makam Ursone yang khas ini dipindahkan secara manual pada tahun 1970-an dari pemakaman yang kini jadi GOR Pajajaran.
Makam pilot dan kopilot
 |
Sang pilot dan asistennya (salib)
|
Tidak hanya makam Ursone yang dilengkapi dengan patung, ada makam lain dengan patung menyerupai sesosok pilot. Ada dua makam berdampingan di situ yang mana masing-masing berisi pilot dan kopilotnya. Sang pilot diperkirakan meninggal pada umur 33 tahun. Sekitar tahun 1925, sebuah pesawat kecil dengan kapasitas dua awak jatuh di antara Padalarang dengan Cililin. Kecelakaan ini termuat dalam sejarah dirgantara yang ditulis oleh seorang menteri.