Month: December 2011
Oleh : Anggraini Lestari
Bagaimana caranya agar bangsa kita bertambah maju? Hal itu oleh para pembesar sudah dipikirkan, yaitu kaum wanitanya harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum wanita itu akan menjadi ibu. Merekalah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada manusia, yaitu kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan. (R. Dewi Sartika, 1911)
..Yang dimaksud agar kaum wanita orang Sunda bisa maju, meniru orang Eropa, mudah-mudahan bangsa kita tidak terlalu direndahkan oleh bangsa lain (R. Dewi Sartika)
Begitulah, 100 tahun yang lalu, seorang wanita pribumi mengungkapkan pemikirannya mengenai keharusan akan kemajuan pendidikan wanita dan keterkaitannya dengan kemajuan bangsa. Pemikiran yang jika dilontarkan pada masa kini mungkin hampir seluruh kepala akan mengangguk setuju. Tapi tidak pada kondisi saat itu, 1 abad yang lalu, ketika istilah pendidikan wanita pribumi, kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, adalah suatu kalimat mimpi yang terdengar utopis.
Dialah Raden Dewi Sartika, wanita pribumi yang bermimpi (dan beraksi) memajukan bangsa melalui pendidikan wanita. Lahir pada 4 Desember 1884, merupakan seorang anak pribumi yang cukup beruntung sempat menikmati bangku Eeste Klasse School (sekolah setingkat SD) karena ayahnya Raden Rangga Somanegara pada saat itu menjabat sebagai Patih Bandung. Pada umur 9 tahun, Dewi Sartika terpaksa Drop Out karena ayahnya diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Ternate setelah melakukan pemberontakan terkait kekecewaan atas tidak terpilihnya ia sebagai Bupati Bandung yang baru.
Ketika ayahnya akan diasingkan, ibunya lebih memilih untuk ikut suaminya ke tempat pengasingan dan menitipkan Dewi Sartika beserta saudaranya ke sanak keluarga di Bandung. Dewi Sartika dititipkan pada keluarga Patih Afdeling Cicalengka dan terpisah dengan saudaranya yang lain. Selama di Cicalengka, Dewi Sartika diperlakukan seperti abdi dalem, bahkan lebih buruk, dengan ditempatkan dikamar sempit dibelakang rumah dan sering kali dimarahi bahkan oleh abdi dalem sendiri. Perlakuan buruk tersebut dikarenakan kekhawatiran Patih Afdeling yang takut dianggap pemerintah Belanda melindungi anak seorang pemberontak.
Pengalaman pribadi yang melihat ibunya begitu bergantung kepada ayahnya sehingga lebih memilih ikut ke tempat pengasingan dan menitipkan anak-anaknya, boleh jadi menjadi faktor pendorong kesadaran Dewi Sartika bahwa seorang wanita sepatutnya mampu untuk menjadi mandiri dalam menghidupi dirinya ketika tidak ada laki-laki yang melindungi. Kemampuan untuk hidup mandiri diyakini dapat dicapai melalui pendidikan.
Tetapi manusia itu, laki-laki ataupun wanita, tidak cukup hanya baik saja, tetapi harus juga memiliki pengetahuan dan kecakapan buat mencari jalan hidup pada waktu tak ada yang memberi nafkah buat menjaga keselamatan, menghindari marabahaya dan lain sebagainya (R. Dewi Sartika)
Maka ketika kembali ke Bandung, Dewi Sartika sering memberikan pelajaran kepada anak-anak perempuan dimulai dari keluarga dekatnya dengan mengajarkan baca tulis, merenda, menyulam, dan tata krama. Anak-anak yang diajarkan semakin lama semakin banyak sehingga Dewi Sartika memberanikan diri untuk berbicara kepada Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanegera untuk membuat sekolah wanita. Keinginan tersebut baru tercapai ketika Inspektur Sekolah Den Hammer meminta untuk membuat sekolah wanita pribumi di Bandung. Atas persetujuan R.A.A Martanegara maka pada 16 Januari 1904 sekolah khusus wanita pribumi pertama di Bandung, bernama Sakola Istri, mulai di buka dan kegiatannya bertempat di Pendopo Kabupaten Bandung. Dewi Sartika menjadi salah satu pengajarnya.
Sayang bahwa masih banyak diantara orang-orang setanah air saya, yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala apa yang baru (R. Dewi Sartika)
Perjuangan Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan kaum wanita, seringkali mendapat tentangan justru dari bangsanya sendiri. Bermula dari paradigma pemikiran lama yang beranggapan bahwa wanita tidak perlu sekolah karena walaupun pintar tidak akan punya kedudukan seperti laki-laki. Cukuplah wanita diajari cara mengurus rumah tangga untuk nantinya mengabdi kepada suami. Atau bahkan kekhawatiran orang tua jika membiarkan anaknya pergi sekolah maka putri-putri mereka akan begitu lama lepas dari pengawasan orang tua serta tidak ada jaminan bahwa anak mereka akan bergaul dengan teman-teman yang baik. Membatasi kebebasan putri-putrinya dianggap cara yang paling baik untuk menjaga moralitas. Paradigma pemikiran seperti ini dan ketidakrelaan melepaskan kebiasaan lama kerap kali menyulitkan perjuangan beliau.
Hingga sekarang sudah kira-kira tujuh tahun saya berjuang untuk cita-cita saya tanpa merasa kelelahan. Saya memiliki keyakinan yang kokoh bahwa pendidikan rohaniah bagi wanita pribumi tidak akan memberi dampak buruk kepadanya, seperti juga tidak kepada kaum wanita berkulit putih (R. Dewi Sartika, 1911)
Tentangan juga datang dari para pria golongan menengah yang memiliki kebiasaan memperlakukan wanita dengan sesuka hati. Alasannya sudah jelas karena adanya kekhawatiran jika para wanita diberi pendidikan maka akan menjadi tidak bergantung dan patuh lagi pada laki-laki dan akhirnya akan berani menentang ketika mereka diperlakukan tidak baik. Tetapi justru itulah yang menjadi salah satu fokus utama Dewi Sartika. Meningkatkan harkat martabat wanita melalui pendidikan.
Pada masa depan akan dialami bahwa wanita pribumi dapat bernilai sedikit lebih daripada sebuah meubel dirumah […] Kaum pria akan belajar menyatakan penghargaan yang lebih baik kepada kaum wanita. Setelah bertahu-tahun kaum wanita akan menjadi sederajat dengan kaum pria (R. Dewi Sartika)
Tentangan dan gunjingan yang cukup gencar datang dari para wanita yang berasal dari keluarga menak karena hak istimewa mereka untuk memperoleh pendidikan menjadi tidak istimewa lagi sebab wanita dari golongan biasa pun mendapat kesempatan yang sama.
Tetapi penulis tidak ragu dan tidak akan mundur setapak pun, sebab memang demikianlah dalam hidup ini. Walau bagaimana pun baiknya, toh ada saja yang sirik/dengki. (R. Dewi Sartika)
Keyakinan dan sikap persisten beliau memperlihatkan bagaimana kesungguhan hatinya dalam memajukan pendidikan. Bagaimana ia tetap melanjutkan perjuangannya ditengah reaksi sosial yang menentang. Bagaimana ia dengan kerendahan hati mencari tahu apa yang harus dimiliki seorang wanita agar tidak hidup susah dan menderita. Bertanya dan meminta kepada banyak pihak bahkan kepada R.A.A Martanegara yang notabene adalah orang yang dimusuhi ayahnya. Dendam keluarga dilupakan, demi cita-cita luhur memajukan kehidupan bangsa.
Kemudian bertanya-tanya kepada orang-orang tua, para cendikiawan, para bujangga, bahkan para bupati, walaupun segan memberanikan diri juga menanyakan tentang apa yang menjadi kebutuhan kaum wanita agar mereka tidak sampai hidup sengsara (R.Dewi Sartika)
Kesungguhan beliau mendapat perhatian dari Residen W.F.L Boissevan hingga pada akhirnya dibentuk organisasi Kautamaan Istri untuk mengembangkan dan membiaya sekolah khusus wanita pribumi. Sekolah Kautamaan Istri yang dikelola Dewi Sartika semakin berkembang dan menjadi basis bagi berdirinya sekolah khusus wanita pribumi lainnya di Jawa Barat. Sampai masa tuanya Dewi Sartika tetap berjuang dengan memberikan kesadaran pendidikan kepada masyarakat. Bahkan beliau pernah diminta untuk berbicara di Surabaya di depan massa Sarekat Islam.
Begitulah, perjuangan seorang Raden Dewi Sartika yang memperlihatkan secara sempurna bagaimana sebuah pemikiran dan kepedulian termanifestasi dalam suatu gerak nyata perjuangan.
Tetapi nasehat dan contoh yang sedang dilaksanakan oleh penulis, laksana perahu kecil yang sedang dinaiki oleh anak-anak perempuan (murid penulis) akan berlayar ke negara kemajuan, mengarungi samudera besar yang beranjak besar. Perjalanan itu belum tentu sampai ke tempat tujuannya, kalau nasib sial bisa jadi tenggelam. (R. Dewi Sartika)
Hari ini (16122011), tepat 107 tahun 11 bulan sejak didirikannya Sakola Istri, dapatkah dikatakan bahwa perjalanan perahu tersebut telah sampai kepada tujuannya? Berlabuh di negara kemajuan?
Siapapun yang hati kecilnya menjawab BELUM, saatnya menggerakkan raga melalui ilmu pengetahuan dan kemauan, untuk melanjutkan mengayuh perahu perjuangan.
Supaya tidak karam dan tenggelam, sehingga dapat mengantarkan pada tujuan akhirnya menuju negara kemajuan..
Iya, negara kemajuan..
Kita, dan negara kemajuan.
Mari..
Original Post : http://anggrainilestari.tumblr.com/post/14293831315/raden-dewi-sartika
Penjajahan Jepang merupakan mimpi buruk bagi orang Belanda di Nusantara. Yang paling kejam dari mereka adalah dinas rahasia Jepang yang dikenal sebagai Kempeitai. Markas mereka di Bandung terletak di salah satu gedung sekolah di Jalan Sultan Agung. Kondisi penyiksaan yang dialami orang Belanda tergambar dari kisah berikut :
Seorang pendeta dari Bandung, tertuduh menyimpan senjata-senjata, selama setengah tahun disekap dalam sel di gedung Kempeitai.
“…Selama berbulan-bulan saya tidak pernah melepaskan pakaian yang melekat di badan, dan semua permohonan untuk mandi dan menerima pakaian bersih ditolak mentah-mentah. Selagi interogasi, saya tidak boleh duduk, tergantung lamanya interogasi. Selama itu saya menerima pukulan dan siksaan, dengan tangan, dengan tali yang direndam air, dan diikatkan pada kancing-kancing atau dengan bermacam tongkat…
Pada minggu keempat, saya diikat pada meja, dijejalkan selang air ke dalam mulut sehingga perut saya menjadi gembung sedemikian rupa, lalu “si pendek mata sipit” mulai memukuli dengan kepalan tinjunya. Rasa sakitnya tidak tertahankan…
Pada minggu keenam, semua kuku jari saya dicabuti. Setelah itu di dalamsel saya merobek pakaian dalam saya, mencabiknya menjadi potongan kain untuk membalut jari jemari saya. Keesokan paginya si penjaga inlander (pribumi) memergoki perban di tangan saya, dan tanpa pikir lagi dilepasnya perban itu dari tangan saya..Hal ini terjadi sampai dua kali..
Di bulan kelima saya dilistrik. Saya diharuskan berdiri di atas karung basah sekali dan di atas plat listrik sekali. Secara serempak beberapa aliran listrik ditekankan ke beberapa bagian tubuh saya sehingga saya merasa seolah-olah jarum-jarum dimasukkan ke badan saya dalam keadaan berapi…”
Itulah sedikit kisah penyiksaan di markas Kempeitai Bandung, banyak dari tahanan yang meninggal, oleh karena itu bangunan tersebut terkenal angker sampai sekarang,, hiii…
Oleh : M.Ryzki Wiryawan
Dalam Geotrek Indonesia – Dieng Plateau kemarin, selalu ada obrolan ancur-ancuran tentang Purwaceng, yaitu sejenis minuman jamu khas dari Dieng. Minuman ini dipercaya dapat meningkatkan stamina dan kebugaran tubuh. Umumnya terdapat tiga macam rasa, kopi, kopi susu, dan herbal. Yang paling populer tentunya Kopi Purwaceng.
Gambar sebelah kanan bawah itu adalah daunan dan batang purwaceng yang sudah kering dalam kemasan dan siap diseduh. Di sebelah kiri, purwaceng dalam bentuk bubuk, diolah seperti bila meminum kopi. Gambar kanan atas adalah Kopi Purwaceng yang bisa dipesan di banyak tempat di Dieng.
Masih bersumber dari Serat Centhini. Naskah ini tidak menyebutkan keberadaan purwaceng. Namun di halaman 147 pada buku Jilid 1B, diceritakan : “Mereka berbalik kembali arah ke barat dan melihat patung kecil-kecil yang teratur berkelompok-kelompok. Pohon-pohonan yang kelihatan hanya satu jenis, yaitu serupa dengan pohon kopi. Menurut Ki Gunawan pohon itu namanya purwakucila, buahnya sangat manjur untuk penawar bisa. Jika buah purwakucila dipegang atau ditaruhkan di atas (kaungkulanken Jw.) seekor ular, maka binatang itu akan kehilangan kekuatannya dan tak mampu lagi bergerak. Binatang-binatang seperti lipan, kalajengking, ulat dan sebagainya bisa-sengatnya akan hilang apabila diperlakukan demikian. Mendengar keterangan itu, Buras cepat-cepat memetiki buah purwakucila dan mengisi dua kantongnya penuh-penuh.”
Nah apakah purwakucila di masa Serat Centhini ini sama dengan purwaceng yang populer sebagai minuman khas Dieng itu?.
Oleh : Ridwan Hutagalung
Tebaklah di mana lokasi Menara ini berdiri… Apabila anda menyebut Paris, maka anda salah besar…
Bangunan menara Eiflel ini didirikan oleh sekelompok insinyur Belanda di kota kecil Tasikmalaya (Priangan) pada tahun 1898 dalam rangka perayaan penobatan ratu Belanda. Menara Eiffel setinggi tiga puluh meter ini terbuat rangkaian bambu yang diikat dengan tali ijuk, dan tanpa sama sekali menggunakan paku…
SEMPOA!!!.
Oleh : M.Ryzki Wiryawan.
Oleh : M. Ryzki Wiryawan

“…Mulanya hebat, kami belum beberapa lama tinggal di situ, terjadi kebakaran di bangunan tempat cucian di mana cucian kotor hotel dicuci dan digosok dengan setrika arang, sehingga bangunannya habis terbakar.
Terjadinya sewaktu setrika arang mulai meluncur pada waktu si penatu datang ke kamar kecil. Setrika meluncur dari meja dan jatuh di keranjang pakaian, arang bara jatuh keluar dari setrika dan dalam sekejap keranjang pakaian menjadi lautan api…”
Itulah sepenggal pengalaman Pans Schomper, anak pengelola hotel Du Pavillon yang terletak di jalan Naripan. Pengalaman-pengalaman menarik lainnya bisa dibaca dalam buku “Selamat Tinggal Hindia; Janjinya Pedagang Telur” karyanya.
Dalam buku ini dikisahkan perjalanan hidup Pans sejak keluarganya mengelola hotel di Jakarta (Hotel Schomper), lalu pindah ke Lembang (Mengelola Hotel Montagne), dan akhirnya ke Bandung (mengelola Hotel Du Pavillon dan Schomper). Selama di Bandung, Pans Schomper mengalami pahitnya masa pendudukan Jepang, serta masa revolusi yang mengharuskannya berperang melawan orang pribumi yang ‘ganas’.
Kini, Hotel du Pavilion telah tidak tersisa lagi, namun Hotel Schomper yang turut dikelola keluarganya masih berdiri, dengan nama barunya yaitu ‘Hotel Naripan’. ***