Oleh : Andika Budiman
Begitu tahu fashion menjadi tema Aleut! 9 Oktober, yang terlintas di benak saya adalah, “Mau pakai baju apa?” Pada malam sebelum hari H, saya tak bisa tidur sebelum menyetrika pakaian yang mau dipakai besok. Namun saat kombinasi itu saya coba paginya, ada hal-hal yang meleset dari bayangan. Lengan kaos saya terlalu panjang. Syalnya terlalu lebar, ikatannya terlalu tinggi. Usai melakukan beberapa penyesuaian, saya buru-buru menjemput Ajay di tempat kami janjian. Ia kelihatan sudah dari tadi. “Maaf, kelamaan milih baju,” ujar saya, diikuti gelak tawanya. Kami pun meluncur ke Sumur Bandung No. 4.
Sumur Bandung No. 4 adalah titik temu kami hari itu. Rumah Belanda itu milik keluarga Ayan, salah seorang pegiat Komunitas Aleut! Dari pekarangan terdapat sebuah pintu yang mengarah langsung ke kamarnya. Ketika saya sampai, di dalam baru ada Indra dan Icha. Dengan masih mengantuk, Indra mengatakan si empunya kamar sedang mandi. Sementara Icha membolak-balik buku, televisi menyiarkan Spongebob Squarepants. Kamar itu berbentuk trapesium. Langit-langitnya tinggi. Di dinding menempel sejumlah foto hitam putih. Di bawahnya terdapat sebuah rak besar dan dua rak lebih kecil yang penuh diisi buku. Perbandingan buku sejarah dan buku fiksinya barangkali seperti perbandingan air dan gula dalam secangkir kopi pahit. Sebuah karpet gelap digelar menutupi lantai. Kamar Ayan mengingatkan saya dengan kamar kakak saya: nyaman dan acak-acakan.
Setelah lebih dari dua puluh orang berkumpul, perjalanan kaki kami dimulai juga. Tujuan pertama adalah Cihampelas via Babakan Siliwangi. Pada pengantarnya tadi, Indra menjelaskan ngaleut kali ini sebetulnya bukan ‘ngaleut fashion’ per se seperti yang mungkin dibayangkan beberapa di antara kami. (Bukan saya! Bukan saya!) Berbelanja tak masuk dalam agenda. Alih-alih, tujuan kami adalah tempat-tempat yang menandai perkembangan sejarah sandang di kota Bandung. Setelah melewati pinggir sungai, air terjun, melintasi permukiman padat, serta mendaki tanjakan yang mengharuskan badan condong ke depan, kami keluar di jalan raya depan eks-Sultan Plaza. Kami lantas berjalan beberapa puluh meter untuk mencapai persinggahan pertama kami, Kelom Geulis Keng.
Kelom Geulis Keng
Pada era di mana sebagian orang menyebut sepatu dengan crocs, heels, flats, uggs, wedges, atau sneakers ini, istilah kelom geulis mungkin mengundang tanda tanya. Padahal di Bandung alas kaki berbahan kayu ini sudah ada sebelum munculnya jenis-jenis alas kaki yang lain. Kebanyakan dari kita mungkin mengenal klompen, sepatu kayu dari Belanda yang dirancang untuk menghadapi tanah mereka yang becek. Kelom geulis konon merupakan jawaban dari para pembuat sepatu di Bandung atas model sepatu culun dari seberang lautan. Sesuai namanya, kelom geulis ditujukan kepada wanita maupun pria yang ingin kelihatan cantik. Hiasan, tinggi, dan ketebalan kelom dapat dipilih sesuai selera.
Kelom Geulis Keng didirikan pada tahun 1942. Berawal dari kawasan Pecinan Lama, pada perkembangannya usaha ini lantas hijrah ke Cihampelas. Saat Komunitas Aleut! singgah di sana, kami disambut pengelola Kelom Geulis Keng, Pak Yamin Teramurni (64) dan istrinya yang cantik. Keduanya adalah generasi ketiga usaha pembuatan alas kaki ini. Di teras yang teduh, kami membentuk lingkaran mengelilingi Pak Yamin. Menurut beliau, kelom geulis muncul ketika bahan karet dan plastik belum dikenal masyarakat. Alas kaki yang biasa dipadankan dengan kebaya dan kain ini rupanya tak punya hubungan sedarah dengan payung geulis. Pabrik, fungsi, dan bahan bakunya saja berbeda. Mereka lebih seperti aliansi dengan kepentingan sama, yaitu membuat pemakainya lebih geulis.
Pak Yamin sangat berbangga dengan kelom buatannya. “Saya mewarisi usaha ini dari kakek, dan ayah saya. Kakek saya dulu dipercaya dari golongan Kongku. Golongan ini diyakini akan berhasil kalau menjalankan usaha yang berhubungan dengan kayu. Kalau kelom bikinan saya cepat rusak, saya bakalan lebih dari malu!” tutur beliau. Produksi Kelom Keng dikerjakan dengan tangan. Dahulu bahannya kayu acacia yang terkenal kuat. Namun, kuat = keras = berat. Semakin lama konsumen menginginkan kelom yang kalau bisa senyaman dan seringan sepatu basket. Pak Yamin menyatakan kelomnya saat ini dibuat dari kayu pohon sengon atau mahoni. Perlu sekitar sebulan untuk membentuk balok-balok kayu menjadi alas kaki hampir jadi yang sedap dipandang. Berbelanja di Kelom Geulis Keng pun agak lain dengan belanja sepatu di toko alas kaki pada umumnya. Di toko sepatu, kita biasa mencoba beberapa sepatu di rak sebelum memilih salah satu atau salah tiga yang akan dibawa pulang. Namun, kelom-kelom di Kelom Geulis Keng kebanyakan baru produk hampir jadi. Setelah memilih kelom dengan hiasan atau ukiran yang disenangi, pengunjung lantas melakukan proses pengepasan sesuai bentuk kaki. Kata Pak Yamin, prosesnya makan waktu lima sampai sepuluh menit. Jelas durasi bisa mulur sesuai antrian pelanggan ataupun jumlah kelom yang dibeli. Namun, ketika selesai, pelanggan akan pulang dengan perasaan lapang karena membawa kelom yang sesuai dengan kaki dan hatinya. Jika tali dan bantalan kelom rusak, Pak Yamin bersedia mengganti secara cuma-cuma.
Harga Kelom Keng—Thio Keng Siang adalah nama kakek dari Pak Yamin—disesuaikan dengan tinggi dan ketebalan kelom. Pernah suatu hari ada seorang pelanggan yang ngotot memesan kelom setinggi 25cm. Pak Yamin tentu sungkan menerima pesanan itu. Beliau merasa bertanggung jawab kalau-kalau pelanggannya jatuh ketika melangkah dengan kelom itu. Namun sang pelanggan bersikukuh. Ia ingin memakai kelom itu untuk menghadiri sebuah hajatan di mana ia berperan sebagai penerima tamu. Pelanggan itu berjanji akan memakai kelom buatan Pak Yamin cuma untuk berdiri.
Pak Yamin mengakui kendala menjalankan usaha keluarga ini adalah mencari penerus. “Susah sekali. Alasannya bukan nggak bisa, tapi nggak mau. Lain, kan?” ujar beliau gregetan. Terlebih dengan caranya sendiri, Kelom Geulis Keng menjadi bagian dalam cerita tentang sejarah negeri ini. Saat Indonesia merdeka, sejumlah pelanggan setia Kelom Geulis Keng mesti pindah ke Belanda. Lalu perkembangan selanjutnya mengharuskan pelanggan setianya yang lain untuk pindah ke China. “Sampai sekarang, kalau mereka ke Indonesia, beberapa dari pelanggan itu singgah ke sini sama keluarganya buat bernostalgia.”
Ciri khas kelom produksi Pak Yamin adalah sebuah cap bertuliskan “Kelom Geulis Keng”. Pak Yamin mengaku sudah tak lagi mengikuti perkembangan mode, tetapi beliau terus memproduksi model kelom yang klasik dan sederhana. Selain itu, Pak Yamin sayang serat kayu. Beliau lebih suka melapisi kelomnya dengan pewarna yang tak menutup serat itu. “Saya pernah nemuin kayu yang seratnya bagus banget! Tapi saya nggak berani nebang pohonnya.” “Kenapa?” tanya kami. “Biasanya pohon tumbuh di dekat sumber air. Saya percaya menebang pohon berarti merusak sumber air,” sahut Pak Yamin.
Cihampelas: antara jeans dan celana renang
Jika semua orang berpikiran seperti Pak Yamin, bisa jadi Pemandian Tjihampelas sampai kini masih berkilau; memantulkan sinar matahari yang jatuh di atas permukaan airnya. Usai dari Kelom Geulis Keng, kami melanjutkan perjalanan ke area eks-Pemandian Tjihampelas yang kini jabrik dengan konstruksi beton dan batu bata. Kata Indra, Pemandian Tjihampelas awalnya merupakan sebuah kolam yang awalnya dimiliki Nyonya Homann dari keluarga pemilik Hotel Homann. “Dulu orang-orang yang mau renang diantar ke sini dengan delman,” jelas Indra. Menurut situs Bandung Heritage, kolam itu dibangun menjadi kolam renang pertama di Hindia Belanda pada 1902-1904. Arya menambahkan, “Selain itu, waktu PON pertama di Surakarta …” “Pertandingan renangnya di sini, kan?” potong Indra.
Saya ingat semasa SMA dulu. Lima atau enam tahun silam, saya masih sering melewati tangga-tangga batu menuju Pemandian Tjihampelas yang hari ini saya pijak bersama dengan pegiat Aleut lainnya. Nia ingat dulu di sana rindang karena banyak pohon bambu. Rupanya banyak kenangan muncul ketika sekali lagi mengunjungi eks-Pemandian Tjihampelas. Saya ingat para tukang baso tahu yang biasa berjejer di depan gerbang masuk pemandian. Saya ingat loket karcis dengan kacanya yang hitam dan sangat besar. Saya ingat melihat guru olahraga saat dia melompat masuk ke kolam renang. Badannya berisi; dadanya berbulu. Seorang teman pernah tercebur ke kolam lengkap dengan seragam dan ponsel Nokia-nya. Ibu penjaga pemandian dikenal tegas. Seorang teman pernah menghilangkan nomor penitipan barang dan baru bisa mengambil ponsel dan kunci motornya ketika semua orang sudah pulang. Suatu hari saya lupa membawa pakaian renang, padahal hari itu ada tes. Saya lantas menyewa pakaian renang dari ibu penjaga kolam. Dari laci, beliau mengeluarkan keresek plastik berisi tiga celana renang basah. “Pilih yang mana saja,” katanya.
Kembali ke perjalanan ngaleut, tema fashion minggu terlaksana berkat usulan Edo, seorang pengamat mode yang kebetulan juga bergiat di Aleut. Pada kesempatan ini, ia memandu kami memahami perkembangan sandang di Kota Bandung, bahkan dunia. Bergantian dengan Indra, Edo bercerita kepada kami tentang sejarah baju renang dan celana jeans. Indra menunjukkan sebuah foto busana renang orang-orang tempo dulu. Tampak seorang laki-laki mengenakan pakaian renang one-piece yang tak terlalu ketat. Kata Edo bahannya dari kain jersey. Satu hal yang membuat saya malas berenang adalah keharusan mengenakan pakaian renang; sepertinya pakaian renang ini lebih cocok bagi orang-orang bertubuh kurus.
Akan tetapi, bila berbicara soal jeans, tentu saya lebih suka melihat orang kurus yang mengenakan skinny jeans. Indra menjelaskan tentang berbagai versi kemunculan jeans, salah satunya penggunaan jeans oleh Angkatan Laut Italia karena bahannya yang kuat dan tahan air asin. “Katanya istilah blue jeans berakar dari bleu de Gênes, si biru dari Genoa,” ujar Edo dengan lafal Prancis tanpa cela. “Tapi ada juga yang menyebut bahan jeans, denim, dibuat di kota Prancis Nîmes, atau de Nîmes.” Di Amerika Serikat, jeans dipopulerkan oleh Levi Strauss. Awalnya celana ini didesain untuk koboi atau penambang. Namun pamornya naik setelah dikenakan James Dean dalam film Rebel Without a Cause (1955). Saku kecil yang ada di dalam saku depan yang menjadi ciri khas Levi’s konon dirancang sebagai tempat penyimpanan emas. Di Indonesia, jeans mulai populer dekade ’80-an. Dalam film Catatan Si Boy 3, Emon minta dibelikan blue jeans kepada Boy yang hendak pergi ke Amerika Serikat. Cihampelas baru marak menjadi pusat perdagangan jeans sekitar dekade ’80-an. Berawal dari wilayah permukiman, pada dekade ’90-an barulah deretan toko di sana menarik pengunjung dengan aneka patung pahlawan super.
Seragam Sekolah
Perjalanan ngaleut kami selanjutnya singgah ke dua sekolah: Institut Teknologi Bandung (ITB) dan SD Negeri Banjarsari. Indra menunjukkan foto-foto kelas para pelajar ketika itu. Mengamati foto angkatan Presiden Soekarno semasa kuliah di Technische Hooge School—nama ITB dahulu—semasa itu, mahasiswa THS belajar dengan mengenakan kain, kemeja, jas, dasi kupu-kupu, dan blangkon. Menurut Indra, kala itu pakaian orang Melayu dibedakan dengan orang Jawa, pakaian orang Jawa dibedakan dengan orang Belanda, pakaian umat Muslim dibedakan dengan pakaian umat Nasrani, “Mungkin ini untuk mengadu domba, tetapi saya belum bisa memastikan,” ujar Indra. Melihat foto-foto yang ditunjukkan Indra, Edo pun berkomentar, “Seharusnya waktu wisuda, kita pake pakaian begini. Bukan baju adat Yunani!”
Kebetulan beberapa hari kemarin, saya membaca tulisan Mr. Mohammad Roem dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Mohammad Roem adalah seorang mahasiswa sekolah kedokteran, Stovia. Ketika menggambarkan perjumpaan pertamanya dengan sahabat sekaligus mentornya, Agus Salim, secara tak langsung ia memberikan potret sandang pada tahun 1925: “Pakaian Haji A. Salim lain dari yang biasa dipakai orang. Pegawai negeri pergi ke kantor berpakaian lengkap: celana dan baju tertutup atau baju buka dengan dasi dan sepatu. Pelajar-pelajar pun mengenakan pakaian lengkap: celana pendek atau panjang dengan baju, kaos kaki, dan sepatu. Memakai kemeja saja dengan celana dianggap tidak sopan. Rakyat biasa memakai jas, sarung batik, dan peci. Haji A. Salim memakai pakaian menurut model sendiri. Pakaian yang ia kenakan tidak seperti piyama dan tidak juga seperti pakaian untuk ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama, tetapi modelnya lebih dekat ke piyama. Potongan bajunya seperti kemeja, tetapi dipakai di luar celana dan tidak pakai jas lagi. Pakaian Haji A. Salim mendekati pakaian yang kami pakai di tahun-tahun pertama di Yogya. Yang paling menarik, ia memakai tarbus (peci tinggi dari Turki) warna merah dengan kucir hitam. Tarbus umumnya dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Haji A. Salim memakai tarbus sampai ketika umat Islam di Hindia Belanda mengadakan aksi boikot barang-barang Italia pada tahun ’30-an. Boikot ini merupakan protes atas kekejaman-kekejaman yang dijalankan bangsa Italia terhadap orang Islam di Tripoli. Tarbus adalah made in Italy. Pada demonstrasi itu, juga ada seorang membakar mobil Fiat miliknya. Sejak itu, Haji A. Salim menciptakan kopiah model sendiri yang ia sebut peci model OK.”
Distro, Clothing Line, Factory Outlet, dan Concept Store
Duduk di trotoar Jalan Sultan Agung, kami mendengarkan Edo membahas perkembangan fashion di Bandung masa kini. “Sekarang kita sering bingung membedakan distro, clothing line, dan factory outlet,” ujarnya. “Distro kependekan dari distribution outlet, distro cuma menjual barang, nggak memproduksi barang. Beda sama clothing line. Sebuah toko milik clothing line menjual barang-barang produksi mereka sendiri. Misalnya Ouval, The Loops, atau 347. Seperti Maicih, 347 pecah kongsi, UNKL 347 dan EAT 347. Beberapa clothing line sekarang bahkan punya perusahaan konveksi mereka sendiri.” Edo melanjutkan, “Konsep factory outlet dulu dimulai Perry Tristianto dengan The Big Cut Price Store-nya yang menjual barang-barang yang nggak jadi diekspor karena di-reject. Barang-barang itu di-reject karena tidak memenuhi standar kualitas sebuah merk. Misalnya jahitan yang miring, warna pakaian yang bergradasi, dan lain sebagainya.” Konsep factory outlet ini ternyata disukai masyarakat dan meledak pada dekade 2000-an. Seperti Cihampelas, Jalan Riau yang dulunya merupakan permukiman operasi plastik menjadi deretan factory outlet. “Sekarang kita sering dengar istilah concept store,” kata Edo. “Di Bandung, salah satu concept store adalah Happy-Go-Lucky. Concept store sebetulnya merupakan toko yang menjual barang-barang rancangan berbagai desainer dengan satu tema tertentu.”
Apabila dalam Harry Potter terdapat perseteruan antara Death Eater dan Order of Phoenix, sementara di Twilight ada team Edward vs team Jacob, maka dalam dunia clothing line di Bandung terdapat jurang yang memisahkan clothing line Sulanjana dengan clothing line Parahyangan Plaza. “Ada gap-gap-an,” ujar Edo. Contohnya bisa dilihat dalam Kickfest. “Kickfest diadakan asosiasi clothing line, masalahnya nggak semua clothing bisa jadi anggota asosiasi itu. Akibatnya, nggak semua clothing bisa jualan di Kickfest.” Apabila kubu Sulanjana mengincar pasar kelas menengah ke atas, maka kubu Parahyangan mengincar kelas menengah ke bawah. Barang-barang produksi kubu Parahyangan seringkali mirip dengan produksi kubu Sulanjana. Padahal perputaran uang di kubu Parahyangan jauh lebih besar dari kubu Sulanjana. Inilah yang menyebabkan gap, jelas Edo. Kickfest bisa dikatakan sebagai upaya menandingi selisih keuntungan itu. “Tapi kalau kita lihat barang-barang yang dijual di Kickfest, sebetulnya itu stok-stok lama. Jarang yang baru,” tukas Edo.
Adapun yang menjadi acuan rancangan barang-barang distro adalah selera masing-masing pemilik. “Yang punya 347 suka surfing, itu yang menyebabkan desain produk-produk 347 awalnya mirip produk-produk clothing line surfing dari luar.” Berdasarkan pengalamannya bekerja pada sebuah clothing line, Edo dapat mengatakan waktu paling ramai bagi sebuah clothing line adalah saat menjelang lebaran, awal masuk sekolah, dan hari Valentine, di mana banyak diproduksi pakaian yang berpasang-pasangan.
Haute Couture, Ready-to-wear, dan Retail
Hari itu cukup nyaman untuk berjalan kaki. Matahari mulai naik, tetapi kadang-kadang awan datang dan menutupinya. Kami melangkah ke Jalan Braga, melewati rel kereta menuju puing-puing bangunan yang dahulu pernah jadi toko Au Bon Marché. Meskipun sudah hancur, tetapi bangunan itu masih memperlihatkan sisa-sisa pesonanya. Kata Edo, kalau dia punya uang banyak, ia akan membeli bangunan itu. Bawahnya akan ia jadikan toko, sementara atasnya akan dijadikan markas Komunitas Aleut!
Bagi yang sering ngaleut, umumnya sudah hapal mati sejarah toko Au Bon Marché. Indra berbaik hati menjelaskan kepada saya dan peserta baru lainnya, “Sebetulnya Au Bon Marché berarti belanja murah. Tapi pada praktiknya barang-barang yang dijual cuma bisa dijangkau sebagian orang berkulit putih. Barang-barang yang dijual kiblatnya adalah mode terbaru dari Prancis. Beda dengan toko Onderling Belang di seberangnya. Toko ini berkiblat pada mode terbaru di Belanda. Harganya nggak semahal Au Bon Marché. Setelah Indonesia merdeka, Onderling Belang dijadikan Sarinah oleh Soekarno. Barang-barang yang dijual adalah cinderamata asli Indonesia.” Saat ini Sarinah sudah lama tutup, dan bekas bangunannya tinggal jadi puing-puing.
Edo lantas memberi kami rangkuman perkembangan fashion dunia hari ini. Menurutnya, industri fashion bisa dibagi menjadi tiga: haute couture, ready-to-wear, dan retail. Bila melihat harganya, maka haute couture atau adibusana adalah tingkatan tertinggi dari sebuah pakaian. Pakaian-pakaian yang merupakan produk haute couture tidak diproduksi secara massal. Pengerjaannya dilakukan murni dengan tangan mengikuti bentuk tubuh si pembeli. “Detailnya luar biasa, tapi cara pakenya gampang. Tinggal tarik satu ritsleting,” Edo memeragakan. Harganya setinggi langit, tetapi tidak semua orang kaya bisa membelinya. “Buat beli gaun haute couture, si orang itu mesti kenal dulu dengan desainernya,” lanjut Edo. Selain itu, tidak semua desainer dapat membuat haute couture, terlebih dahulu ia mesti menjadi anggota asosiasi pembuat adibusana. Meskipun kelihatannya elitis, tetapi perlu digarisbawahi sasaran utama produksi haute couture bukanlah uang atau membuat pemakainya kelihatan cantik. Filosofinya pakaian itu seni. Ini membuat desainer haute couture menanggung tanggung jawab besar. Saat ini banyak rumah mode dunia yang telah menghentikan produksi haute couture mereka, antara lain Versace, Lanvin, dan Yves Saint Laurent. Beberapa yang masih berproduksi diantaranya Chanel, Givenchy, dan Christian Dior.
Di bawah haute couture, ada ready-to-wear atau baju siap pakai. Berbeda dengan haute couture, pakaian ready-to-wear dibuat dengan standar ukuran baju pada umumnya. Siapapun dapat membuat pakaian ready-to-wear, yang membedakan harganya tentu merk dan kualitasnya. Pada umumnya rumah mode dunia mengeluarkan koleksinya beberapa kali setahun dalam pekan fashion yang diadakan mengikuti pergantian musim: spring/summer dan autumn/winter. Terhitung ada empat kota yang mengadakan pekan fashion kelas dunia: New York, London, Milan, Paris. Indikatornya, pekan fashion itu dihadiri media dan buyers dari berbagai penjuru dunia. Jika ditanyakan mana rumah mode terdepan dalam koleksi ready-to-wear-nya, jelas akan sulit menjawabnya. Setiap orang memiliki selera dan preferensinya masing-masing,
Terakhir, Edo menjelaskan retail. Retail adalah perusahaan yang memproduksi pakaian siap pakai secara massal dengan harga yang relatif terjangkau bila dibandingkan dengan koleksi ready-to-wear yang dikeluarkan rumah mode dunia. Retail tidak mengeluarkan koleksinya pada pekan fashion, acapkali model pakaiannya sangat mirip dengan tren yang diarahkan oleh pekan fashion. Contoh perusahaan sandang retail antara lain Zara, Mango, H & M, dll. Mendengar penjelasan Edo, seorang pegiat Aleut bernama Rini terkulai lemas, “Lalu apa kabarnya fashion Pasar Baru?”
Sesi sharing
Usai berjalan-jalan, Edo mentraktir semua orang segelas soda di Wendy’s. Dari seluruh kegiatan Komunitas Aleut! yang pernah saya ikuti, Aleut! fashion ini paling oke. Jalan-jalannya asyik, cuacanya bersahabat, informasi sejarahnya banyak. Dalam sesi sharing, hampir seluruh peserta mengaku terkesan dengan kunjungan ke Kelom Geulis Keng. Icha mengaku senang bisa mempelajari keadaan sosial dengan mengenali pakaian yang digunakan masyarakat. Sebelumnya, Edo bercerita wanita di Eropa baru berpakaian dengan nyaman sekitar dekade ’20-an, pasca Perang Dunia I. Keterbatasan bahan sandang membuat mereka menanggalkan korset yang merupakan bagian tak terpisahkan dari era Victoria. Betapa asyiknya mendengar cerita ini sambil jalan-jalan mengelilingi kota Bandung! Menunjuk Gilang yang mengenakan kaus bergambar tokoh wayang, Bang Ridwan menyatakan hal yang menarik. Perubahan tren mode adalah bagian dari kebudayaan. Seharusnya manusialah yang mengendalikan kebudayaan, bukan sebaliknya. Satu-satunya cara untuk mengendalikan kebudayaan adalah terlibat aktif dalam pembentukan kebudayaan itu. Mengapa kita tidak lebih sering mengenakan sandang bermuatan nilai-nilai budaya lokal?
Fashion, apa arti kata itu? Dalam Bahasa Indonesia, kata ini sepadan dengan ‘mode’. Mode berarti sebagai ragam terbaru dalam waktu tertentu. Sejak dulu pakaian dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan. Mulai dari cuaca, kenyamanan, tatanan sosial, perang. Lama-lama pertimbangannya semakin banyak: tren, tebal dompet, musik, film, buku yang dinikmati, hobi, tim sepakbola yang didukung. Di satu sisi, saya setuju pakaian semestinya menunjukkan sebuah identitas. Namun identitas bersama terasa seperti sebuah konsep yang jauh. Ketika informasi dari belahan dunia lain tinggal sejauh beberapa klik saja, lebih mudah memuja kebudayaan lain daripada menerima kekurangan budaya sendiri. Satu-satunya identitas yang ingin saya perlihatkan dari pakaian saya adalah identitas pribadi saya. Sebelum mengenakan pakaian bergambar wayang, paling tidak saya ingin tahu cerita di balik tokoh itu. Idealnya pakaian saya mewakili diri saya, bukan suku, bangsa, agama, atau nilai-nilai tertentu.