Month: October 2011

Dalam Perjalanan Pulang

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

*catatan angin yang telah jatuh cinta sejak kali pertama pada Ci Tarum Purba*

Jangan kan biar hilang semua yang telah diberi. Jangan kan pergi rasa manusiawi dan naluri diri. Biar Bumi tetap bersinar di bawah Mentari. Agar kita tetap bersinar di bawah Mentari.

[Deep Blue Sea – Deep Forest feat. Anggun]

Aleutian menuju Ci Tarum Purba (foto oleh Kuke)Aleutian menuju Ci Tarum Purba (foto oleh Kuke)

.

Surga Kecil berkawal pasukan batu ini masihlah merupakan bagian dari salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia.

Ci Tarum mengalir dari hulu di daerah Gunung Wayang, di sebelah selatan kota Bandung menuju ke Utara dan bermuara di Karawang. Sungai ini diperkirakan memiliki panjang sekitar 225 kilometer.

Surga Kecil yang masih lekat dengan nuansa hijau sejuk ini masihlah merupakan bagian dari sungai yang punya keterkaitan hati dengan masyarakat Sunda sejak awalnya. Sungai yang dulu diposisikan lebih besar sebagai sarana transportasi, pusat pemerintahan dan tapal batas  kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Sungai yang sempat menjadi simbol kebesaran para raja/menak yang berkuasa waktu itu.

Pada abad ke-5, dari sebuah dusun kecil yang dibangun di tepi sungai Ci Tarum oleh Jayasinghawarman, lambat laun daerah  berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat.

.

Dulu, Ci Tarum menjadi batas wilayah antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda (pergantian nama dari Kerajaan Tarumanegara pada tahun 670 Masehi). Ci Tarum sebagai batas administrasi ini terulang lagi pada sekitar abad 15, yaitu sebagai batas antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten.

.

[Citarum Dalam Perspektif Sejarah, A.Sobana Hardjasaputra]

Surga Kecil yang pada faktanya kalah populer dengan reputasi pencemarannya yang terlalu aduhai bahkan hingga di mata & telinga dunia (the world’s most polluted river) sebenar-benarnya ada. Masih layak menjadi tempat untuk pulang. Selalu layak menjadi tempat untuk pulangnya para hati yang selalu merindukan makna hening damai, para benak yang selalu terjaga kesadarannya perihal keseimbangan alam dan manusia.

Surga Kecil ini dikenal dengan nama Ci Tarum Purba atau Ci Tarum bersih. Air-nya tidak mengundang kecurigaan akan mengakibatkan sakit perut ketika dikonsumsi (bahkan mentah). Indera penciuman tidak akan terhantui hingga trauma dengan aroma macam Sulfur (belerang) yang menjadi suguhan sekitaran PLTA Saguling dan Sanghyang Tikoro.

Surga Kecil Ci Tarum Purba (foto oleh Kuke)Surga Kecil Ci Tarum Purba (foto oleh Kuke)

.

Dalam bahasan toponimi, Citarum (demikian dunia biasa menuliskannya) berasala dari dua kata yaitu Ci dan Tarum.

Ci atau dalam Bahasa Sunda Cai, artinya air. Sedangkan Tarum, merupakan sejenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila sekaligus diyakini dapat digunakan sebagai obat sakit perut dan penyubur rambut [artikel tentang Tarum oleh T. Bachtiar]

Namun, bahkan pada kali ketiga pulang ke Ci Tarum (dan kali ini bersama Komunitas Aleut!), entah mata ini tersilap atau aku memang kurang fasih dalam memperhatikan tumbuhan-tumbuhan di sisian sepanjang sungai, sepertinya benar-benar tak ada Tarum Areuy yang tersisa. Beberapa buah unik macam buah Loa dan Cermot (yang rasanya seperti buah Markisa) ada. Maka untuk sementara, kembali berimajinasi menjadi satu-satunya solusi. Bekalnya adalah gambar-gambar Tarum Areuy hasil googling juga sisian sungai yang sudah aku kenali. Tapi entah kenapa aku malah jadi teringat mbak Diella Dachlan dari Cita Ci Tarum yang punya keinginan untuk kembali menghiasi Ci Tarum bersih ini dengan gerombolan-gerombolan Tarum Areuy. Akan tampak seperti apa ya Ci Tarum dengan tanaman itu?

Cermot & Loa (foto oleh Kuke)Cermot & Loa (foto oleh Kuke)

.

Di hari Minggu (23 Oktober 2011) yang sarat mendung, sebentar gerimis – hujan agak deras – gerimis, disambut lagi dengan mendung lembab selang-seling dengan panas; yang ada di sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya hatiku (sejak 1 Agustus 2010) ini sungguh beragam :) Bisa jadi karena si Gunung turut serta. Tapi sepertinya yang lebih membuatnya beragam adalah karena perjalanan mudik ini disertai keceriaan para Aleutian (Komunitas Aleut!).

Ya, harus diakui, aku yang sudah sekitar 1 bulan lebih vakum dari kegiatan bersama komunitas (pasal sakit dan kesibukan yang harus ditanggung sebagai dampak istirahat sakit yang 2 minggu itu) menjadikan kesempatan ngAleut bersenang-senang! (yang undangannya diluncurkan 2 hari sebelum perjalanan) sebagai momentum untuk aktif kembali mendokumentasikan aktivitas komunitas, selain berusaha keras menyerap pengetahuan-pengetahuan sejarah Bandung, Indonesia, hingga musik dunia dari para kawan di sana.

.

Ya, harus diakui, para Aleutian lebih banyak ngangeninnya ketimbang ngeboseninnya. Maka seketika perjalanan pulang ini menjadi lebih berharga dibanding perjalanan sebelumnya karena tumpukan kangen beraktivitas bersama terbayar sudah.

Pia tak kunjung habis berdecak kagum ketika kaki-kaki kami semakin menjauhi Sanghyang Poek yang sebelumnya dijadikan spot untuk beristirahat makan siang. Dephol merutuki baterai-baterai DSLR-nya yang sudah kosong sebelum benar-benar jauh meninggalkan Sanghyang Tikoro. Mr. Kobopop berenang senang di salah satu sisian Ci Tarum menjelang Leuwi Malang yang dulu membuatku nyaris tidak ingin lagi pulang ke Bandung. Bey mengambil resiko untuk merekam keceriaan kawan-kawannya dengan masuk ke sungai (yang dibilang dangkal ya dalam, dibilang dalam ya dangkal) sambil tak melepaskan si Alpha DSLR. Nia mengagumi para Aleutian yang saling bahu-membahu di garis belakang demi tidak meninggalkan Pipit.

Ya, Pipit :) sepertinya inilah Aleutian yang akan sangat lama lupa dengan pengalaman pertamanya menyusuri rute air berbatu demi ikut bersenang-senang dengan kawan lainnya, kebulatan tekad Pipit kali ini dan pembuktian yang dia tunjukkan (menurutku) layak diapreasi dengan baik :)

Keceriaan. Kekaguman.Kebulatan tekad. Kerelaan. Bahu-membahu (foto oleh Kuke)

Keceriaan. Kekaguman.Kebulatan tekad. Kerelaan. Bahu-membahu (foto oleh Kuke)

.

Aku jadi terharu. Lagi-lagi terharu di aliran rumahnya hatiku. Karena ya lagi-lagi dapat pelajaran baru. Perihal manusia, perihal alam, perihal alam yang membawakan kekentalan persahabatan dan kekeluargaan antar manusia. Seperti waktu itu :)  (baca: Persahabatan Ci Tarum)

Ternyata Ci Tarum masih menyimpan keajaiban lain. Ternyata bukan hanya ada Surga Kecil yang berhasil disimpan baik-baik. Ternyata sungai ini sudah menunjukkan, dengan siapa pun aku pergi maka kami semua bersedia dengan rela saling mengulurkan tangan dan berbagi kebahagiaan meski itu sebatas seteguk air.

Jika sudah begini, sepertinya aku susah untuk menghindari tumbuhnya harapan-harapan akan kepedulian manusia pada alam dan keseimbangan hidup. Jika sudah begini, sepertinya aku menjadi sangat susah untuk tidak berharap agar para pemuda-pemudi penerus bersedia untuk tidak sekedar berjalan-jalan senang sampai memenuhi harddisk/flash-disk mereka dengan file foto jalan-jalan entah-di-mana-saja tanpa mengambil sari yang alam maksud. Jika sudah begini, apakah kemudian salah mencetuskan keberanian bermimpi bahwa 10 tahun mendatang Ci Tarum Purba tidak akan kehilangan Surga Kecil-nya, malah semakin meruak menulari bagian panjangnya yang sama sekali tak menyenangkan sebagai pendamping kehidupan masyarakat?

Tapi, apa aku hanya terhenti di situ? Hanya bisa berharap dan bermimpi? Tidak berbuat apa-apa sebiji dzarrah pun?

Surga Kecil berkawal pasukan batu ini masihlah merupakan bagian dari salah satu sungai terbesar dan terpanjang di Indonesia. Surga Kecil yang masih lekat dengan nuansa hijau sejuk ini masihlah merupakan bagian dari sungai yang punya keterkaitan hati dengan masyarakat Sunda sejak awalnya.  Surga Kecil yang pada faktanya kalah populer dengan reputasi pencemarannya yang terlalu aduhai bahkan hingga di mata & telinga dunia (the world’s most polluted river) sebenar-benarnya ada. Surga Kecil ini dikenal dengan nama Ci Tarum Purba atau Ci Tarum bersih.

Aku ingin selalu pulang ke sana. Bukan cuma sampai esok atau minggu depan, tapi seterusnya bisa sekali-kali pulang ke sana entah bersama siapa saja. Bersediakah turut menjaganya tanpa seratus persen hanya bergantung pada pasukan batu? Ah, atau, mungkin sebaiknya kau perlu mengalami sendiri perjalanan menuju Surga Kecil itu sepertinya halnya aku, kekasihku, para sahabat, dan kawan-kawanku; agar hatimu bersedia rela ikut menjaga :)

Telusur Citarum Purba

Oleh : Nia Janiar

Saat SMS undangan ngaleut datang tanpa menyebutkan destinasinya, saya tidak memiliki bayangan hingga sms tersebut memberitahukan, “Seru beeng. Ngingetin sama ngaleut pertama kamu, Nia.” Karena ngaleut pertama saya adalah menyusuri Sungai Cikapundung, berarti kali ini juga akan menyusuri sungai. Apalagi di SMS tersebut ada biaya transportasi Rp30.000,00, maka saya jadi curiga bahwa Minggu (23/10) akan pergi ke Citarum Purba.

Buku catatan kecil sudah dibawa. Kamera sudah dipersiapkan. Dan asumsi saya ternyata benar.

Dulu saya bertanya pada teman dimana itu Citarum Purba saat melihat foto-fotonya, dia membalas, “Rahasiaa.” Meh. Melihat saya akan pergi ke sana, rasanya hati ini sudah senang duluan karena perjalanan sekarang ini akan menjawab sebuah rasa penasaran. Dengan carteran angkot di daerah alun-alun, masuk daerah Rajamandala-Padalarang hingga PLTA Saguling, sampailah saya ke sebuah sungai yang panjangnya kira-kira 225 kilometer ini.

Citarum ini dari kata Ci dan Tarum. Ci atau cai dalam bahasa Sunda berarti air, sementara Tarum atau nila itu adalah jenis tanaman. Citarum bukanlah sungai biasa. Bagaimana tidak, ia adalah aliran air yang pernah mampat oleh lahar letusan Gunung Sunda lalu membanjiri cekungan Bandung sehingga terjadi Danau Bandung Purba! Luar biasa.

Pertama kami ke sebuah gua Sangyang Tikorok. Ini merupakan aliran sungai bawah tanah dan menembus sebuah bukit. Menurut Pia, aleutians yang diminta menjelaskan tentang arti nama gua ini, Sangyang itu sama seperti The Almighty atau The Holly sementara Tikorok itu tenggorokan. Bahkan ada mitos jika sebuah kayu masuk ke dalam maka gua ini akan bersuara seperti tenggorokan yang tersedak.

Sangyang Tikorok

Tidak ada yang berani menyusuri gua yang panjangnya sekitar 200 meter ini. Kata Bang Ridwan, orang mungkin hanya berani masuk sekitar 80 meter. Tapi ternyata ada saja beberapa warga yang berani menelusuri panjang gua sampai habis. Membayangkan 200 meter yang gelap dan penuh dengan suara gemericik air saja sudah menyeramkan.

Setelah dari sana, kami ke Sangyang Poek, gua di daratan. Di balik gua ada sebuah ruang yang dikelilingi dan dinaungi oleh batu yang sangat besar. Sebenarnya menuju ruang itu bisa masuk gua Sangyang Poek. Tapi saya memilih lewat jalan yang agak memutar namun tetap terbuka. Untuk mengisi tenaga ke destinasi selanjutnya dan menunggu rintik hujan reda, kami makan siang dari bekal yang sudah kami beli di daerah Padalarang. Penting untuk dicatat karena daerah sini tidak ada warung apalagi Alfamart.

Oke, jika ini Citarum Purba, lalu kita mau kemana lagi? — itu yang terbesit oleh saya karena kalau tidak salah foto-foto teman saya hanya sampai batu besar itu saja. Ternyata, jika tidak jauh, bukan Aleut! namanya. Dan kalau pun jaraknya dekat, pasti aleutians juga kecewa. Kami terus berjalan menuju hulu, melewati, menginjak, dan melompati bebatuan yang begitu besar, sampai ke sebuah kolam hasil bendungan aliran air akibat celah batu yang menghimpit kecil. Maka ini adalah tujuan akhir kami, sebuah pemandian alam yang sesungguhnya dengan air bersih nan hijau di tengah hutan.

Edo–yang entah bagaimana–sudah ada di situ.

Semua orang malu-malu untuk menyebur. Saya sendiri punya ketakutan irrasional terhadap air yang tidak bening dan tidak terlihat dasarnya. Namun ketika Bang Ridwan dan Reza sudah masuk, saya memberanikan diri. Tidak ada yang menarik kaki mereka dan tenggelam ke dasar kolam, artinya di sana tidak ada binatang apa-apa. Begitu masuk … huah! Peluh langsung hilang begitu badan tersentuh segarnya air Citarum. Menyesal bagi mereka yang tidak berenang.

Setelah berenang, berendam, dan berganti pakaian, akhirnya kami pulang. Kala itu waktu sudah sore. Untung angkutannya mau menunggu sehingga kami tidak perlu jalan kaki sejauh 15 kilometer menuju jalan raya. Pipit, salah satu aleutian yang bersusah payah mengumpulkan tenaganya hingga pulang, akhirnya ‘khatam’ hingga tempat kami berakhir. Selamat untuk Pipit. Selamat juga untuk teman-teman yang sudah saling membantu dan merelakan tangan agar saling berpagut di perjalanan yang penuh tantangan ini. Budaya tolong menolong ini sudah saya kenal ketika saya pertama kali gabung Komunitas Aleut! dan masih terjaga hingga sekarang. Luar biasa.

Hari sudah menuju pukul 6 sore. Burung-burung hitam berterbangan di atas langit Citarum, pipa-pipa oranye yang besar tampak berpendar, dan pohon-pohon bergemerisik syahdu ditempa angin. Walau menyisakan pegal di tangan dan di kaki, semoga sebuah pengalaman dan panorama keindahan purba akan terus disajikan Sungai Citarum nan lestari.

Original Post : http://mynameisnia.blogspot.com/2011/10/telusur-citarum-purba.html

Kumpulan Humor Revolusi -2

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Nama…..

 Karena banyaknya pasukan2 bersenjata yang lahir, maka banyak juga jawatan2 baru terpaksa dilahirkan oleh pemerintah, untuk mengurusi pasukan2 ini.

Nama jawatan macam-macam, antara lain ada seorang muda yang rajin menyebut tempat bekerjanya. Kalau ditanya : …Saudara bekerja di mana ..?”

Dijawabnya : “..Di Kementrian Pertahanan Bagian TNI bagian Masyarakat Biro Perjuangan Urusan Pembelaan Rakyat Inspektorat Pemuda di daerah IX bagian ……… suple ……”

Sleutel Oposisi dan alligatar

 Revolusi juga mendorong pemuda2 kita belajar teori revolusioner, dan kadang2memaksa mereka memakai beberapa kata-kata asing. Demikianlah disalah satu rapat kongres pemuda seorang wakil dari daerah Banyumas berpidato :

“Disamping berjuang melawan musuh pemuda harus banyak menduduki sleutel-oposisi …..”

Lain utusan utusan lagi berbicara : “…Disamping bertempur di garis depan, digaris belakang kita harus banyak mendidik ….. aligator-aligator ….”

Yang dimaksudnya ialah agitator.

K.T.N.

 Rakyat kita mengenal orang2 Amerika dan orang2 kulit putih lainnya pertama2 di zaman revolusi, ialah ketika mereka itu masuk pedalaman dengan kendaraan yang dikasih tanda “K.T.N.” atau “Komisi Tiga Negara”.

Rakyat ketika itu tidak diberitahu itu apa, tetapi pada umumnya mereka secara insting membau itu apa, dan sering mengejek mereka itu : “…Kaki Tangan Nica…”

Temple….

 Pada suatu hari seorang anggota KTN  ingin melihat Candi Borobudur. Ia bilang sama sopirnya seorang Indonesia. Katanya : “To the temple…”

Serenta mobil berhenti, alangkah tercengangnya anggota KTN ini serenta melihat bahwa di sekitar tempat berhenti ini tidak ada candi sama sekali. Sebabnya ? ia bilang “to the temple”, tetapi sama sopirnya diantarkan ke Tempel, desa dipinggir kota Jogja.

Pidato

 Tahukah saudara bahwa ketika KNIP Pleno bersidang di Malang ada anggota yang berpidato begitu ngotot sehingga ada satu giginya yang jatuh ? Di papan pengumuman di depan ditulis :

“Siapa yang kehilangan gigi supaya diambil di sekertariat…..”

Tahukah saudara bahwa ketika berbicara di KNIP Pleno Malang mbakyu Sri Mangunsarkoro menyatakan menolak Linggarjati sambil “menggebrak meja”, kemudian turun dari panggung meninggalkan sidang, tetapi kemudian kembali lagi ke panggung sambil bilang sama Sartono : “Maafkan saudara ketua, payung saya ketinggalan….”

Kumpulan Humor Revolusi -1

 Oleh : M. Ryzki Wiryawan

 

Dikutip dari karya Soerjono dalam buku Bingkisan Nasional – Kenangan 10 tahun Revolusi Nasional (1955)

Apa itu Repolusi ?

Apa itu revolusi. Ada yang kasih tafsiran macam-macam. Ada yang bilang revolusi adalah perebutan kekuasaan, ada yang bilang revolusi adalah pemindahan kekuasaan dari satu kelas ke kelas lain yang lebih maju. Ada yang mengartikan revolusi adalah otak-otakan, ada yang bilang tindakan cowboy-cowboy-an juga revolusioner. Tetapi mendiang Jenderal Sudirman alm. dalam kongres pemuda di Madiun bilang dan kasih pengertian yang istimewa, katanya perjuangan revolusi adalah perjuangan “arek” yang “vol” dengan “isi” ini revolusi.

“Tentara Cap Panah”

   Selama revolusi lahirnya pasukan bagaikan cendawan di musim hujan. Ada pasukan ini pasukan itu. Biasanya semua pakai nama yang serem2 dan simbol yang serem pula. Karena banyaknya pasukan, sudah barangtentu banyak juga tentara yang buta huruf. Akibatnya? Ketika peristiwa Tan Malaka “3 Juli 1946”, Perbatasan Jogja-Solo dijaga keras.

   Pada suatu malam ada sebuah mobil diberhentikan diperbatasan kota. Penjaga perbatasan menanyakan penumpang mobil tentara itu apa membawa surat perintah.

   Penumpang itu dengan tenang menunjukan surat perintahnya dan alangkah tercengangnya penumpang tadi serenta melihat laskar tadi memeriksa surat perintah itu hurufnya terbalik yang atas di bawah dan bawah di atas, dan laskar itu dengan penuh disiplin dan memberi hormat secara militer berkata :

   “O ya, tentara cap panah, boleh jalan terus..”

   Yang dimaksud cap panah, ialah surat perintah Bung Tomo yang stempelnya memakai “Cap Panah”.

Tidak ada pelurunya…

   Ada lagi mobil datang lewat penjaga perbatasa ini. Kali ini juga mobil tentara, kalah tidak salah pengendaranya Let. kol. Singgih sekarang ketua PRRI.

   Seorang penjaga sambil mengacungkan karabennya didalam mobil berkata : “Stop, mau pergi kemana, ada surat

   perintah?”.

Penjaga ini mengacungkan senjatanya sambil mengokang senjatanya.

   “Surat perintah ada bung, dan bung boleh periksa, tetapi tidak usah ngokang senjata dan ditodongkan kesetir”.

   “Jangan khawatir pak, tidak apa-apa. Tidak ada pelurunya……”

Laskar Kere

   Nama pasukan selama revolusi banyak yang serem2 dan bikin orang sering berdiri bulu kuduknya. Karena banyaknya kesatuan maka nama itu beraneka ragam juga, dan semuanya mengerikan. Ada “Pasukan Berani Mati”, “Alap-alap Nyawa”, tetapi ada juga yang kasih nama dirinya “Laskar Kere…..”

   Artinya “Laskar Pengemis” tetapi anggotanya terdiri dari anak-anak pelajar Solo.

Pasukan Ber-uang-merah

   Disamping nama2 yang serem-serem, ada juga pasukan yang namanya “Beruang Merah”. Orang mengira ini bangsanya “Tentara Merah” atau “Tentara Jalan Kedelapan”. Bukan saudara, justru tentara ini yang paling tidak merah dan malahan paling anti merah.

   Dia jarang mau ditarik mundur digaris belakang, dan tempatnya yang disenangi adalah didaerah perbatasan dimana banyak lalu lintas barang2 dari dan kedaerah pendudukan seperti gula, kinabas, opium, baju drill CP, ikat pinggang dan kacamata atom….   Karenanya rakyat biasa menamakan mereka  pasukan “Beruang Merah”, alias pasukan “Ber-uang Merah” … Uang yang beredar di daerah pendudukan.

   Revolusi juga membuka segala kemungkinan baru. Tahukah saudara bahwa Achmad Jadau itu selama revolusi adalah Letnan Kolonel dan memegang pasukan di Solo, tetapi di jaman Pra-Revolusi adalah seorang Penyanyi.

Angkatan Lawe

   Ada juga bekas kapten sepakbola lantas jadi Kapten Angkatan Darat. Ada juga tukang catut yang kemudian menjabat opsir ALRI, singkatan dari Angkatan Laut Republik Indonesia. Karena tempatnya tidak di lautan, dan mondar-mandir di Pujon, Lawang, Kaliurang, ngurus dagangan ini dan itu orang sebut Angkatan Lawe…

Bersambung ke bag.2

 

 

Bernostalgia Bersama Keng

Oleh : Nia Janiar

Suara kayu beradu di lantai marmer. Tak tok tak tok—begitu bunyinya. Terukir sebuah ukiran cantik dipinggir-pinggirnya, berpadu dengan serat-serat kayu yang menjalar beraturan. Dipakai sebagai alas, menghiasi kaki-kaki. Kelom geulis siapakah ini?

Semenjak mall Sultan Plaza belum menjadi bangkai besar seperti sekarang ini, saya sudah berkali-kali melewati sebuah toko kecil bertuliskan Kelom Geulis Keng semenjak saya kecil. Namun dari saya kecil itu hingga sebesar sekarang, saya sama sekali belum pernah datang ke sana. Beruntung hari Minggu (09/10) kemarin, Komunitas Aleut mengajak saya dan teman-teman ke toko yang menjadi bagian sejarah fashion mode  para mojang Bandung.

Kelom diambil dari bahasa Belanda yaitu klompen. Ini merupakan sandal perempuan yang terbuat dari kayu. Sebelum menjadi trend seperti sekarang, nyatanya dulu juga pernah menjadi trend busana bagi para mojang Bandung yang dipadukan dengan kain dan kebaya.  Kadang juga dipadukan dengan payung geulis yang motifnya sama dengan motif sepatu. “Dulu kalau mojang Bandung yang tidak pakai kelom geulis itu jadi ketinggalan zaman,” ujar Bapak Yamin, generasi ke tiga yang kini menjadi pengelola dan menceritakan sejarah Keng kepada Aleutians.

Pak Yamin sedang membandingkan kelom yang ada di pasaran dengan kelom buatannya.
Kelom di dalam toko. Ada yang memesan hingga 25 cm tingginya!

Kelom geulis terbuat Albasiah atau sengon tua kaya akan serat, alot, serta ringan (yang kini berganti Mahoni), diukir dan dicat pakai plitur sehingga bentuknya sedemikian cantik. Menurut Pak Yamin, biasanya kayu tua yang banyak seratnya itu ditemukan di tempat yang dekat dengan mata air. Selain bagian dari kayu, serat bisa menjadi ornamen yang memperindah kelom itu sendiri. Jadi, sayang sekali jika harus ditutupi dengan cat.

Melimpahnya kayu dan kulit sebagai sumber daya alam di Indonesia tentunya sangat menunjang pembuatan kelom geulis ini. Dulu ornamen Tionghoa seperti ukiran timbul berbentuk naga menjadi ciri khas yang menonjol pada kelom buatan Keng. Namun sekarang sudah tidak lagi karena tidak ada pengukir generasi muda yang memiliki kemampuan dan kemauan mengerjakannya.

Sayangnya penjualan kelom geulis yang dulu berada di kawasan Pecinan Lama ini harus redup saat impor plastik mulai masuk dan mojang Bandung lebih memilih sandal karet sebagai alas kaki. Kelom memang tidak elastis, namun Pak Yamin bilang bahwa menurut dokter, kelom merupakan obat yang baik untuk kulit pecah-pecah di kaki karena bahannya  tidak panas. Selain itu, karena setiap ukuran dan bentuk kaki wanita itu berbeda-beda, kelom memang bukan sepatu yang siap dipakai. Dibutuhkan 5-10 menit untuk mencocokkan kontur kaki dengan sepatu. Namun tentunya ini akan berbuah baik karena kelom akan sangat cocok dan nyaman pada kaki.

Alih-alih spons yang biasanya menjadi alas kelom-kelom yang bertebaran luas di pasaran, karet sintetis yang tebal dipilih Pak Yamin untuk menjadi alas kelom agar awet dan tidak cepat aus. Harga kelom di tokonya berkisar Rp60.000,00 hingga Rp200.000,00, pantas untuk harga kelom yang murni dibuat oleh tangan. Untuk menjaga kualitas, Pak Yamin hanya melayani pesanan lokal.

Lalu apakah rahasia Pak Yamin dalam menjaga keberlangsungan Keng? Beliau mengatakan bahwa seseorang harus menjiwai pekerjaan yang dilakukannya, kualitas harus terus dipertahankan, serta Keng tidak pernah ketinggalan mode karena bentuknya yang sederhana. Justru tidakkah kesederhanaan itu sulit dibuat?

Tentu bagi Pak Yamin, Keng bukan hanya sebuah warisan usaha dari Thio Keng Siang—kakek dari Pak Yamin, tetapi juga ia berperan dalam melestarikan budaya dan sejarah perkembangan fashion yang ada di Bandung. Ia mengakui bahwa para pengguna kelom adalah para pelanggannya dari zaman dulu yang kadang datang ke toko sekaligus untuk bernostalgia. Apakah anak muda bisa ikut andil dalam pelestarian sejarah dan budaya seperti Keng ini? Tentu bisa. Caranya sederhana: beli kelomnya.

Original post : Disini

Rancangan Kampus UPI

 

UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) yang semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) didirikan tanggal 20 Oktober 1954, diresmikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran saat itu, Mr. Muhammad Yamin.

Kampus ini bermula dari sebuah bangunan Villa Isola yang sejak didirikan tahun 1933 telah berkali-kali berpindah tangan. Pada tahun 1954, pemerintah membeli Villa Isola beserta tanahnya seluas 7,5 hektar seharga 1,5 juta rupiah untuk dijadikan komplek Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Bandung. Saat itu pula nama Villa Isola diubah menjadi Bumi Siliwangi..

“Nama Bumi Siliwangi tempat berkuliah adalah sindiran kepada geria tempat kediaman jang menjinarkan tjahaja keruhanian dan rasa kepahlawanan bersedjarah. Nama Siliwangi membawa djiwa pendidik kealam sakti tanah Pasundan dan memperingatkan kita kepada kebaktian dan djasa pemuda-pedjuang dalam zaman revolusi ketika menegakkan dan memelihara negara kesatuan Republik Indonesia. Dan sungguhlah pula lebih dari pada itu” (JM Menteri PP dan K Muh. Yamin dalam Pidato pembukaan PTPG tgl. 20 Oktober 1954)

Gambar di atas adalah rencana pembangunan kampus PTPG (UPI) yang dibuat tahun 1955.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Peresmian ITB Bandung

Tanggal 2 Maret 1959 ditetapkan sebagai Peresmian Institut Teknologi Bandung. Untuk itu sebelumnya dibentuk panitia pelaksana Institut Teknologi yang di antaranya terdiri dari Ketua Panitia : Prof. S. Soemardja, Wakil ketua : Ir. Soehardi Reksowardojo, Panitera I : Ir. Samudro, Panitera II : Dr. Doddy Tisna Amidjaja, dan Bendahari : Dr. Poei Seng Bow.

Presiden indonesia saat itu, Ir. Soekarno memberikan beberapa amanat menyangkut acara peresmian Institut Teknologi Bandung itu, Sbb. :

1. Tidak boleh ada sifat “inlander”
2. Harus melikwidir “economisch-bijgeloof
3. Harus dapat memenuhi “fantasi” jiwa membangun Rakyat Indonesia
4. Penyelenggaraan pameran2 harus menandaskan problematik pembangunan secara “pakkend”
5. Harus dilputi sifat “keagungan” berhubung kehadiran Tamu Agung Paduka yang Mulia Presiden Republik Vietnam Utara.

Dalam foto tampak sang Presiden Vietnam Utara, Hoo Chi Minh (paling kiri) didampingi Presiden Indonesia (kanan) dalam perayaan peresmian Institut Teknologi Bandung.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Onderling Belang

“WIJ SPECIALISEEREN ONS IN MODEARTIKELEN, LUXEEN
HUISHOUDELIJKE ARTIKELEN, SPEELGOEDEREN ENZ.”

Bandung, khususnya di Jalan Braga dahulunya merupakan salah satu pusat mode Eropa di Hindia Belanda. Salah satu toko busana yang paling terkemuka adalah Onderling Belang (OB) yang dibuka pada awal tahun 1913 sebagai cabang kedua di Hindia Belanda dari OB Amsterdam. Fashion yang disajikan di toko ini berkiblat kepada mode yang tengah populer di Belanda, bersaing dengan toko Au Bon Marche di sebrangnya yang berkiblat ke Perancis.

Toko Onderling Belang berubah nama menjadi Toko Sarinah pada tahun 1960-an, dan kini berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan karena 90% bangunannya telah hancur…

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Buku Harian Aleut Saya: #1 Aleut! Fashion

Oleh : Andika Budiman

Begitu tahu fashion menjadi tema Aleut! 9 Oktober, yang terlintas di benak saya adalah, “Mau pakai baju apa?” Pada malam sebelum hari H, saya tak bisa tidur sebelum menyetrika pakaian yang mau dipakai besok. Namun saat kombinasi itu saya coba paginya, ada hal-hal yang meleset dari bayangan. Lengan kaos saya terlalu panjang. Syalnya terlalu lebar, ikatannya terlalu tinggi. Usai melakukan beberapa penyesuaian, saya buru-buru menjemput Ajay di tempat kami janjian. Ia kelihatan sudah dari tadi. “Maaf, kelamaan milih baju,” ujar saya, diikuti gelak tawanya. Kami pun meluncur ke Sumur Bandung No. 4.

 

Sumur Bandung No. 4 adalah titik temu kami hari itu. Rumah Belanda itu milik keluarga Ayan, salah seorang pegiat Komunitas Aleut! Dari pekarangan terdapat sebuah pintu yang mengarah langsung ke kamarnya. Ketika saya sampai, di dalam baru ada Indra dan Icha. Dengan masih mengantuk, Indra mengatakan si empunya kamar sedang mandi. Sementara Icha membolak-balik buku, televisi menyiarkan Spongebob Squarepants. Kamar itu berbentuk trapesium. Langit-langitnya tinggi. Di dinding menempel sejumlah foto hitam putih. Di bawahnya terdapat sebuah rak besar dan dua rak lebih kecil yang penuh diisi buku. Perbandingan buku sejarah dan buku fiksinya barangkali seperti perbandingan air dan gula dalam secangkir kopi pahit. Sebuah karpet gelap digelar menutupi lantai. Kamar Ayan mengingatkan saya dengan kamar kakak saya: nyaman dan acak-acakan.

 

Setelah lebih dari dua puluh orang berkumpul, perjalanan kaki kami dimulai juga. Tujuan pertama adalah Cihampelas via Babakan Siliwangi. Pada pengantarnya tadi, Indra menjelaskan ngaleut kali ini sebetulnya bukan ‘ngaleut fashion’ per se seperti yang mungkin dibayangkan beberapa di antara kami. (Bukan saya! Bukan saya!) Berbelanja tak masuk dalam agenda. Alih-alih, tujuan kami adalah tempat-tempat yang menandai perkembangan sejarah sandang di kota Bandung. Setelah melewati pinggir sungai, air terjun, melintasi permukiman padat, serta mendaki tanjakan yang mengharuskan badan condong ke depan, kami keluar di jalan raya depan eks-Sultan Plaza. Kami lantas berjalan beberapa puluh meter untuk mencapai persinggahan pertama kami, Kelom Geulis Keng.

 

Kelom Geulis Keng

Pada era di mana sebagian orang menyebut sepatu dengan crocs, heels, flats, uggs, wedges, atau sneakers ini, istilah kelom geulis mungkin mengundang tanda tanya. Padahal di Bandung alas kaki berbahan kayu ini sudah ada sebelum munculnya jenis-jenis alas kaki yang lain.  Kebanyakan dari kita mungkin mengenal klompen, sepatu kayu dari Belanda yang dirancang untuk menghadapi tanah mereka yang becek. Kelom geulis konon merupakan jawaban dari para pembuat sepatu di Bandung atas model sepatu culun dari seberang lautan. Sesuai namanya, kelom geulis ditujukan kepada wanita maupun pria yang ingin kelihatan cantik. Hiasan, tinggi, dan ketebalan kelom dapat dipilih sesuai selera.

 

Kelom Geulis Keng didirikan pada tahun 1942. Berawal dari kawasan Pecinan Lama, pada perkembangannya usaha ini lantas hijrah ke Cihampelas. Saat Komunitas Aleut! singgah di sana, kami disambut pengelola Kelom Geulis Keng, Pak Yamin Teramurni (64) dan istrinya yang cantik. Keduanya adalah generasi ketiga usaha pembuatan alas kaki ini. Di teras yang teduh, kami membentuk lingkaran mengelilingi Pak Yamin. Menurut beliau, kelom geulis muncul ketika bahan karet dan plastik belum dikenal masyarakat. Alas kaki yang biasa dipadankan dengan kebaya dan kain ini rupanya tak punya hubungan sedarah dengan payung geulis. Pabrik, fungsi, dan bahan bakunya saja berbeda. Mereka lebih seperti aliansi dengan kepentingan sama, yaitu membuat pemakainya lebih geulis.

 

Pak Yamin sangat berbangga dengan kelom buatannya. “Saya mewarisi usaha ini dari kakek, dan ayah saya. Kakek saya dulu dipercaya dari golongan Kongku. Golongan ini diyakini akan berhasil kalau menjalankan usaha yang berhubungan dengan kayu. Kalau kelom bikinan saya cepat rusak, saya bakalan lebih dari malu!” tutur beliau. Produksi Kelom Keng dikerjakan dengan tangan. Dahulu bahannya kayu acacia yang terkenal kuat. Namun, kuat = keras = berat. Semakin lama konsumen menginginkan kelom yang kalau bisa senyaman dan seringan sepatu basket. Pak Yamin menyatakan kelomnya saat ini dibuat dari kayu pohon sengon atau mahoni. Perlu sekitar sebulan untuk membentuk balok-balok kayu menjadi alas kaki hampir jadi yang sedap dipandang. Berbelanja di Kelom Geulis Keng pun agak lain dengan belanja sepatu di toko alas kaki pada umumnya. Di toko sepatu, kita biasa mencoba beberapa sepatu di rak sebelum memilih salah satu atau salah tiga yang akan dibawa pulang. Namun, kelom-kelom di Kelom Geulis Keng kebanyakan baru produk hampir jadi. Setelah memilih kelom dengan hiasan atau ukiran yang disenangi, pengunjung lantas melakukan proses pengepasan sesuai bentuk kaki. Kata Pak Yamin, prosesnya makan waktu lima sampai sepuluh menit. Jelas durasi bisa mulur sesuai antrian pelanggan ataupun jumlah kelom yang dibeli. Namun, ketika selesai, pelanggan akan pulang dengan perasaan lapang karena membawa kelom yang sesuai dengan kaki dan hatinya. Jika tali dan bantalan kelom rusak, Pak Yamin bersedia mengganti secara cuma-cuma.

 

Harga Kelom Keng—Thio Keng Siang adalah nama kakek dari Pak Yamin—disesuaikan dengan tinggi dan ketebalan kelom. Pernah suatu hari ada seorang pelanggan yang ngotot memesan kelom setinggi 25cm. Pak Yamin tentu sungkan menerima pesanan itu. Beliau merasa bertanggung jawab kalau-kalau pelanggannya jatuh ketika melangkah dengan kelom itu. Namun sang pelanggan bersikukuh. Ia ingin memakai kelom itu untuk menghadiri sebuah hajatan di mana ia berperan sebagai penerima tamu. Pelanggan itu berjanji akan memakai kelom buatan Pak Yamin cuma untuk berdiri.

 

Pak Yamin mengakui kendala menjalankan usaha keluarga ini adalah mencari penerus. “Susah sekali. Alasannya bukan nggak bisa, tapi nggak mau. Lain, kan?” ujar beliau gregetan. Terlebih dengan caranya sendiri, Kelom Geulis Keng menjadi bagian dalam cerita tentang sejarah negeri ini. Saat Indonesia merdeka, sejumlah pelanggan setia Kelom Geulis Keng mesti pindah ke Belanda. Lalu perkembangan selanjutnya mengharuskan pelanggan setianya yang lain untuk pindah ke China. “Sampai sekarang, kalau mereka ke Indonesia, beberapa dari pelanggan itu singgah ke sini sama keluarganya buat bernostalgia.”

 

Ciri khas kelom produksi Pak Yamin adalah sebuah cap bertuliskan “Kelom Geulis Keng”. Pak Yamin mengaku sudah tak lagi mengikuti perkembangan mode, tetapi beliau terus memproduksi model kelom yang klasik dan sederhana. Selain itu, Pak Yamin sayang serat kayu. Beliau lebih suka melapisi kelomnya dengan pewarna yang tak menutup serat itu. “Saya pernah  nemuin kayu yang seratnya bagus banget! Tapi saya nggak berani nebang pohonnya.” “Kenapa?” tanya kami.  “Biasanya pohon tumbuh di dekat sumber air. Saya percaya menebang pohon berarti merusak sumber air,” sahut Pak Yamin.

 

Cihampelas: antara jeans dan celana renang

Jika semua orang berpikiran seperti Pak Yamin, bisa jadi Pemandian Tjihampelas sampai kini masih berkilau; memantulkan sinar matahari yang jatuh di atas permukaan airnya. Usai dari Kelom Geulis Keng, kami melanjutkan perjalanan ke area eks-Pemandian Tjihampelas yang kini jabrik dengan konstruksi beton dan batu bata. Kata Indra, Pemandian Tjihampelas awalnya merupakan sebuah kolam yang awalnya dimiliki Nyonya Homann dari keluarga pemilik Hotel Homann. “Dulu orang-orang yang mau renang diantar ke sini dengan delman,” jelas Indra. Menurut situs Bandung Heritage, kolam itu dibangun menjadi kolam renang pertama di Hindia Belanda pada 1902-1904. Arya menambahkan, “Selain itu, waktu PON pertama di Surakarta …” “Pertandingan renangnya di sini, kan?” potong Indra.

 

Saya ingat semasa SMA dulu. Lima atau enam tahun silam, saya masih sering melewati tangga-tangga batu menuju Pemandian Tjihampelas yang hari ini saya pijak bersama dengan pegiat  Aleut lainnya. Nia ingat dulu di sana rindang karena banyak pohon bambu. Rupanya banyak kenangan muncul ketika sekali lagi mengunjungi eks-Pemandian Tjihampelas. Saya ingat para tukang baso tahu yang biasa berjejer di depan gerbang masuk pemandian. Saya ingat loket karcis dengan kacanya yang hitam dan sangat besar. Saya ingat melihat guru olahraga saat dia melompat masuk ke kolam renang. Badannya berisi; dadanya berbulu. Seorang teman pernah tercebur ke kolam lengkap dengan seragam dan ponsel Nokia-nya. Ibu penjaga pemandian dikenal tegas. Seorang teman pernah menghilangkan nomor penitipan barang dan baru bisa  mengambil ponsel dan kunci motornya ketika semua orang sudah pulang. Suatu hari saya lupa membawa pakaian renang, padahal hari itu ada tes. Saya lantas menyewa pakaian renang dari ibu penjaga kolam. Dari laci, beliau mengeluarkan keresek plastik berisi tiga celana renang basah. “Pilih yang mana saja,” katanya.

 

Kembali ke perjalanan ngaleut, tema fashion minggu terlaksana berkat usulan Edo, seorang pengamat mode yang kebetulan juga bergiat di Aleut. Pada kesempatan ini, ia memandu kami memahami perkembangan sandang di Kota Bandung, bahkan dunia. Bergantian dengan Indra, Edo bercerita kepada kami tentang sejarah baju renang dan celana jeans. Indra menunjukkan sebuah foto busana renang orang-orang tempo dulu. Tampak seorang laki-laki mengenakan pakaian renang one-piece yang tak terlalu ketat. Kata Edo bahannya dari kain jersey. Satu hal yang membuat saya malas berenang adalah keharusan mengenakan pakaian renang; sepertinya pakaian renang ini lebih cocok bagi orang-orang bertubuh kurus.

 

Akan tetapi, bila berbicara soal jeans, tentu saya lebih suka melihat orang kurus yang mengenakan skinny jeans. Indra menjelaskan tentang berbagai versi kemunculan jeans, salah satunya penggunaan jeans oleh Angkatan Laut Italia karena bahannya yang kuat dan tahan air asin. “Katanya istilah blue jeans berakar dari bleu de Gênes, si biru dari Genoa,” ujar Edo dengan lafal Prancis tanpa cela. “Tapi ada juga yang menyebut bahan jeans, denim, dibuat di kota Prancis Nîmes, atau de Nîmes.” Di Amerika Serikat, jeans dipopulerkan oleh Levi Strauss. Awalnya celana ini didesain untuk koboi atau penambang. Namun pamornya naik setelah dikenakan James Dean dalam film Rebel Without a Cause (1955). Saku kecil yang ada di dalam saku depan yang menjadi ciri khas Levi’s konon dirancang sebagai tempat penyimpanan emas.  Di Indonesia, jeans mulai populer dekade ’80-an. Dalam film Catatan Si Boy 3, Emon minta dibelikan blue jeans kepada Boy yang hendak pergi ke Amerika Serikat. Cihampelas baru marak menjadi pusat perdagangan jeans sekitar dekade ’80-an. Berawal dari wilayah permukiman, pada dekade ’90-an barulah deretan toko di sana menarik pengunjung dengan aneka patung pahlawan super.

 

Seragam Sekolah

Perjalanan ngaleut kami selanjutnya singgah ke dua sekolah: Institut Teknologi Bandung (ITB) dan SD Negeri Banjarsari. Indra menunjukkan foto-foto kelas para pelajar ketika itu. Mengamati foto angkatan Presiden Soekarno semasa kuliah di Technische Hooge School—nama ITB dahulu—semasa itu, mahasiswa THS belajar dengan mengenakan kain, kemeja, jas, dasi kupu-kupu, dan blangkon. Menurut Indra, kala itu pakaian orang Melayu dibedakan dengan orang Jawa, pakaian orang Jawa dibedakan dengan orang Belanda, pakaian umat Muslim dibedakan dengan pakaian umat Nasrani, “Mungkin ini untuk mengadu domba, tetapi saya belum bisa memastikan,” ujar Indra. Melihat foto-foto yang ditunjukkan Indra, Edo pun berkomentar, “Seharusnya waktu wisuda, kita pake pakaian begini. Bukan baju adat Yunani!”

 

Kebetulan beberapa hari kemarin, saya membaca tulisan Mr. Mohammad Roem dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim. Mohammad Roem adalah seorang mahasiswa sekolah kedokteran, Stovia. Ketika menggambarkan perjumpaan pertamanya dengan sahabat sekaligus mentornya, Agus Salim, secara tak langsung ia memberikan potret sandang pada tahun 1925: “Pakaian Haji A. Salim lain dari yang biasa dipakai orang. Pegawai negeri pergi ke kantor berpakaian lengkap: celana dan baju tertutup atau baju buka dengan dasi dan sepatu. Pelajar-pelajar pun mengenakan pakaian lengkap: celana pendek atau panjang dengan baju, kaos kaki, dan sepatu. Memakai kemeja saja dengan celana dianggap tidak sopan. Rakyat biasa memakai jas, sarung batik, dan peci. Haji A. Salim memakai pakaian menurut model sendiri. Pakaian yang ia kenakan tidak seperti piyama dan tidak juga seperti pakaian untuk ke luar rumah. Bahannya lebih tebal dari bahan piyama, tetapi modelnya lebih dekat ke piyama. Potongan bajunya seperti kemeja, tetapi dipakai di luar celana dan tidak pakai jas lagi. Pakaian Haji A. Salim mendekati pakaian yang kami pakai di tahun-tahun pertama di Yogya. Yang paling menarik, ia memakai tarbus (peci tinggi dari Turki) warna merah dengan kucir hitam. Tarbus umumnya dipakai oleh golongan Arab dan keturunannya. Haji A. Salim memakai tarbus sampai ketika umat Islam di Hindia Belanda mengadakan aksi boikot barang-barang Italia pada tahun ’30-an. Boikot ini merupakan protes atas kekejaman-kekejaman yang dijalankan bangsa Italia terhadap orang Islam di Tripoli. Tarbus adalah made in Italy. Pada demonstrasi itu, juga ada seorang membakar mobil Fiat miliknya. Sejak itu, Haji A. Salim menciptakan kopiah model sendiri yang ia sebut peci model OK.”

 

Distro, Clothing Line, Factory Outlet, dan Concept Store

Duduk di trotoar Jalan Sultan Agung, kami mendengarkan Edo membahas perkembangan fashion di Bandung masa kini. “Sekarang kita sering bingung membedakan distro, clothing line, dan factory outlet,” ujarnya. “Distro kependekan dari distribution outlet, distro cuma menjual barang, nggak memproduksi barang. Beda sama clothing line. Sebuah toko milik clothing line menjual barang-barang produksi mereka sendiri. Misalnya Ouval, The Loops, atau 347. Seperti Maicih,  347 pecah kongsi, UNKL 347 dan EAT 347. Beberapa clothing line sekarang bahkan punya perusahaan konveksi mereka sendiri.” Edo melanjutkan, “Konsep factory outlet dulu dimulai Perry Tristianto dengan The Big Cut Price Store-nya yang menjual barang-barang yang nggak jadi diekspor karena di-reject. Barang-barang itu di-reject karena tidak memenuhi standar kualitas sebuah merk. Misalnya jahitan yang miring, warna pakaian yang bergradasi, dan lain sebagainya.” Konsep factory outlet ini ternyata disukai masyarakat dan meledak pada dekade 2000-an. Seperti Cihampelas, Jalan Riau yang dulunya merupakan permukiman operasi plastik menjadi deretan factory outlet. “Sekarang kita sering dengar istilah concept store,” kata Edo. “Di Bandung, salah satu concept store adalah Happy-Go-Lucky. Concept store sebetulnya merupakan toko yang menjual barang-barang rancangan berbagai desainer dengan satu tema tertentu.”

 

Apabila dalam Harry Potter terdapat perseteruan antara Death Eater dan Order of Phoenix, sementara di Twilight ada team Edward vs team Jacob, maka dalam dunia clothing line di Bandung terdapat jurang yang memisahkan clothing line Sulanjana dengan clothing line Parahyangan Plaza. “Ada gap-gap-an,” ujar Edo. Contohnya bisa dilihat dalam Kickfest. “Kickfest diadakan asosiasi clothing line, masalahnya nggak semua clothing bisa jadi anggota asosiasi itu. Akibatnya, nggak semua clothing bisa jualan di Kickfest.” Apabila kubu Sulanjana mengincar pasar kelas menengah ke atas, maka kubu Parahyangan mengincar kelas menengah ke bawah. Barang-barang produksi kubu Parahyangan seringkali mirip dengan produksi kubu Sulanjana. Padahal perputaran uang di kubu Parahyangan jauh lebih besar dari kubu Sulanjana. Inilah yang menyebabkan gap, jelas Edo. Kickfest bisa dikatakan sebagai upaya menandingi selisih keuntungan itu. “Tapi kalau kita lihat barang-barang yang dijual di Kickfest, sebetulnya itu stok-stok lama. Jarang yang baru,” tukas Edo.

 

Adapun yang menjadi acuan rancangan barang-barang distro adalah selera masing-masing pemilik. “Yang punya 347 suka surfing, itu yang menyebabkan desain produk-produk 347 awalnya mirip produk-produk clothing line surfing dari luar.” Berdasarkan pengalamannya bekerja pada sebuah clothing line, Edo dapat mengatakan waktu paling ramai bagi sebuah clothing line adalah saat menjelang lebaran, awal masuk sekolah, dan hari Valentine, di mana banyak diproduksi pakaian yang berpasang-pasangan.

 

Haute Couture, Ready-to-wear, dan Retail

Hari itu cukup nyaman untuk berjalan kaki. Matahari mulai naik, tetapi kadang-kadang awan datang dan menutupinya. Kami melangkah ke Jalan Braga, melewati rel kereta menuju puing-puing bangunan yang dahulu pernah jadi toko Au Bon Marché. Meskipun sudah hancur, tetapi bangunan itu masih memperlihatkan sisa-sisa pesonanya. Kata Edo, kalau dia punya uang banyak, ia akan membeli bangunan itu. Bawahnya akan ia jadikan toko, sementara atasnya akan dijadikan markas Komunitas Aleut!

 

Bagi yang sering ngaleut, umumnya sudah hapal mati sejarah toko Au Bon Marché. Indra berbaik hati menjelaskan kepada saya dan peserta baru lainnya, “Sebetulnya Au Bon Marché berarti belanja murah. Tapi pada praktiknya barang-barang yang dijual cuma bisa dijangkau sebagian orang berkulit putih. Barang-barang yang dijual kiblatnya adalah mode terbaru dari Prancis. Beda dengan toko Onderling Belang di seberangnya. Toko ini berkiblat pada mode terbaru di Belanda. Harganya nggak semahal Au Bon Marché. Setelah Indonesia merdeka, Onderling Belang dijadikan Sarinah oleh Soekarno. Barang-barang yang dijual adalah cinderamata asli Indonesia.” Saat ini Sarinah sudah lama tutup, dan bekas bangunannya tinggal jadi puing-puing.

 

Edo lantas memberi kami rangkuman perkembangan fashion dunia hari ini. Menurutnya, industri fashion bisa dibagi menjadi tiga: haute couture, ready-to-wear, dan retail. Bila melihat harganya, maka haute couture atau adibusana adalah tingkatan tertinggi dari sebuah pakaian. Pakaian-pakaian yang merupakan produk haute couture tidak diproduksi secara massal. Pengerjaannya dilakukan murni dengan tangan mengikuti bentuk tubuh si pembeli. “Detailnya luar biasa, tapi cara pakenya gampang. Tinggal tarik satu ritsleting,” Edo memeragakan. Harganya setinggi langit, tetapi tidak semua orang kaya bisa membelinya. “Buat beli gaun haute couture, si orang itu mesti kenal dulu dengan desainernya,” lanjut Edo. Selain itu, tidak semua desainer dapat membuat haute couture, terlebih dahulu ia mesti menjadi anggota asosiasi pembuat adibusana. Meskipun kelihatannya elitis, tetapi perlu digarisbawahi sasaran utama produksi haute couture bukanlah uang atau membuat pemakainya kelihatan cantik. Filosofinya pakaian itu seni. Ini membuat desainer haute couture menanggung tanggung jawab besar. Saat ini banyak rumah mode dunia yang telah menghentikan produksi haute couture mereka, antara lain Versace, Lanvin, dan Yves Saint Laurent. Beberapa yang masih berproduksi diantaranya Chanel, Givenchy, dan Christian Dior.

 

Di bawah haute couture, ada ready-to-wear atau baju siap pakai. Berbeda dengan haute couture, pakaian ready-to-wear dibuat dengan standar ukuran baju pada umumnya. Siapapun dapat membuat pakaian ready-to-wear, yang membedakan harganya tentu merk dan kualitasnya. Pada umumnya rumah mode dunia mengeluarkan koleksinya beberapa kali setahun dalam pekan fashion yang diadakan mengikuti pergantian musim: spring/summer dan autumn/winter. Terhitung ada empat kota yang mengadakan pekan fashion kelas dunia: New York, London, Milan, Paris. Indikatornya, pekan fashion itu dihadiri media dan buyers dari berbagai penjuru dunia. Jika ditanyakan mana rumah mode terdepan dalam koleksi ready-to-wear-nya, jelas akan sulit menjawabnya. Setiap orang memiliki selera dan preferensinya masing-masing,

 

Terakhir, Edo menjelaskan retail. Retail adalah perusahaan yang memproduksi pakaian siap pakai secara massal dengan harga yang relatif terjangkau bila dibandingkan dengan koleksi ready-to-wear yang dikeluarkan rumah mode dunia. Retail tidak mengeluarkan koleksinya pada pekan fashion, acapkali model pakaiannya sangat mirip dengan tren yang diarahkan oleh pekan fashion. Contoh perusahaan sandang retail antara lain Zara, Mango, H & M, dll. Mendengar penjelasan Edo, seorang pegiat Aleut bernama Rini terkulai lemas, “Lalu apa kabarnya fashion Pasar Baru?”

 

Sesi sharing

Usai berjalan-jalan, Edo mentraktir semua orang segelas soda di Wendy’s. Dari seluruh kegiatan Komunitas Aleut! yang pernah saya ikuti, Aleut! fashion ini paling oke. Jalan-jalannya asyik, cuacanya bersahabat, informasi sejarahnya banyak. Dalam sesi sharing, hampir seluruh peserta mengaku terkesan dengan kunjungan ke Kelom Geulis Keng. Icha mengaku senang bisa mempelajari keadaan sosial dengan mengenali pakaian yang digunakan masyarakat. Sebelumnya, Edo bercerita wanita di Eropa baru berpakaian dengan nyaman sekitar dekade ’20-an, pasca Perang Dunia I. Keterbatasan bahan sandang membuat mereka menanggalkan korset yang merupakan bagian tak terpisahkan dari era Victoria. Betapa asyiknya mendengar cerita ini sambil jalan-jalan mengelilingi kota Bandung! Menunjuk Gilang yang mengenakan kaus bergambar tokoh wayang, Bang Ridwan menyatakan hal yang menarik. Perubahan tren mode adalah bagian dari kebudayaan. Seharusnya manusialah yang mengendalikan kebudayaan, bukan sebaliknya. Satu-satunya cara untuk mengendalikan kebudayaan adalah terlibat aktif dalam pembentukan kebudayaan itu. Mengapa kita tidak lebih sering mengenakan sandang bermuatan nilai-nilai budaya lokal?

 

Fashion, apa arti kata itu? Dalam Bahasa Indonesia, kata ini sepadan dengan ‘mode’. Mode berarti sebagai ragam terbaru dalam waktu tertentu. Sejak dulu pakaian dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan. Mulai dari cuaca, kenyamanan, tatanan sosial, perang. Lama-lama pertimbangannya semakin banyak: tren, tebal dompet, musik, film, buku yang dinikmati, hobi, tim sepakbola yang didukung. Di satu sisi, saya setuju pakaian semestinya menunjukkan sebuah identitas. Namun identitas bersama terasa seperti sebuah konsep yang jauh. Ketika informasi dari belahan dunia lain tinggal sejauh beberapa klik saja, lebih mudah memuja kebudayaan lain daripada menerima kekurangan budaya sendiri. Satu-satunya identitas yang ingin saya perlihatkan dari pakaian saya adalah identitas pribadi saya. Sebelum mengenakan pakaian bergambar wayang, paling tidak saya ingin tahu cerita di balik tokoh itu. Idealnya pakaian saya mewakili diri saya, bukan suku, bangsa, agama, atau nilai-nilai tertentu.

Tentang Situs Kendan [Repost]

Oleh : Yoseph Iskandar
Foto dan Cuplikan oleh : Ridwan Hutagalung

 

Situs kepurbakalaan Kendan

Kendan adalah nama sebuah bukit, yang berlokasi kira-kira 500 meter di sebelah timur-laut stasiun kereta api Nagreg, sebelah tenggara Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada kaki bukit ini terdapat sebuah kampung bernama Kendan, masuk Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka.

 

Kira-kira 200 meter di sebelah utara Stasiun Nagreg, terdapat sebuah situs kepurbakalaan, yang oleh penduduk setempat disebut pamujaan (pemujaan). Mungkin, tempat itu bekas kabuyutan. Karena, menurut Pleyte (1909), di situ pernah ditemukan sebuah patung Durga yang sangat mungil, yang kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.

 

Adanya patung Durga di tempat itu merupakan indikasi bahwa di situ pernah berkembang agama Siwa. Mungkin dari aliran Syakta. Sebab Dewi Durga, dipandang sakti, sebagai sumber kekuatan Siwa.

 

Nama Kendan, sudah lebih dikenal dalam dunia arkeologi. Sebab, tempat itu diketahui, sebagai pusat industri perkakas neolitik. Istilah “batu Kendan”, sudah merupakan semacam tanda paten, di dalam dunia kepurbakalaan di tanah air kita.

Beberapa abad sebelum tarikh Masehi, di daerah Kendan, sudah terindikasi adanya permukiman manusia. Merupakan permukiman yang ramai pada zamannya, dan menjadi pusat pembuatan perkakas, yang diperuntukkan bagi penduduk di daerah sekitarnya.

 

Hasil penyelusuran Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung (sekitar tahun 1980-an) membuktikan bahwa legenda Kendan masih dikenal. Dalam segala kekaburan kisahnya, legenda itu masih menyebut tokoh Manikmaya, sebagai salah seorang penguasa di tempat itu. Peninggalannya, sampai saat ini, masih dianggap “keramat” oleh penduduk di sekitarnya.

 

Nama Resiguru Manikmaya masih mengendap dalam cerita rakyat. Tentu, sebab posisi kesejarahannya yang sangat penting. Terbukti, penulis naskah Carita Parahiyangan pun, memulai kisah kerajaan Galuh, dari tokoh Resiguru Kendan ini.

 

Resiguru Manikmaya, Raja Pertama Kendan

Kisah lengkap tokoh Resiguru Manikmaya dapat kita ikuti dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4, yang selesai ditulis tahun 1602 Saka (1680 Masehi) di Keraton Kasepuhan Cirebon.

 

Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain.

 

Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.

 

Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.

 

Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.

 

Penerus Tahta Kerajaan Kendan

Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman.

 

Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman semakin tampak ketampanannya dan sudah mahir ilmu perang. Oleh karena itu, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.

 

Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah wafat, Sang Baladika Suraliman dirajakan di Kendan, sebagai penguasa baru. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Pada masa pemerintahannya, Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.

 

Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.

 

Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya.

 

Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.

 

Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Garut). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi di Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.

 

Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.

 

Pendahulu Kerajaan Galuh

Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.

 

Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.

 

Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.

 

Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).

 

Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.

 

Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).

 

Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.

 

Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor), sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.

 

Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.

 

Oleh karena itu, betapa pentingnya posisi dan nilai Situs Kendan dan sekitarnya dalam perspektif sejarah dan kepurbakalaan Jawa Barat. Tidak menutup kemungkinan, jika diadakan penggalian dan penelitian arkeologis, pada tebaran radius 5-10 km dari situs Kendan, akan ditemukan bekas candi, arca-arca, artefak, tembikar, keramik, terakota, dan benda-benda peninggalan sejarah lainnya.

 

 

 

Penulis, Alumnus Faculty of Arts and Sciences University of Pittsburgh, Pennsylvania, USA.

 

Cuplikan ini berasal dari artikel berjudul “Situs Kendan di Nagreg Jadi TPS atau Pekuburan” karya Yoseph Iskandar yang dimuat di koran Pikiran Rakyat, Sabtu, 6 Mei 2006. Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas dua wacana yang berkaitan dengan wilayah Kendan waktu itu,

1)     Menjadikan Kendan sebagai TPS (Tempat Pembuangan Sampah) serta rencana pendirian pabrik pengolahan sampah modern di sana.

2)     Rencana pemindahan kompleks perkuburan Tionghoa dari Cikadut ke Kendan, sehubungan dengan rencana menjadikan Cikadut sebagai pusat industri dan perdagangan.

 

 

 

Not Great Men

Oleh : Indra Pratama

Metode termudah untuk mengidentifikasi adalah dengan membuat suatu penanda. Dalam musik industri dan industri musik kita mengenal istilah genre, yang dibuat untuk memudahkan media dan kita mengenal, menganalisis, dan berkegiatan sok-tahu lainnya tentang musik populer berdasarkan  bunyi instrumen,tekstur, tangga nada, pola lagu dan waktu tertentu. Dalam sejarah populer dan sosiologi (konsep timeline) dikenal sebuah teori bernama Great Man theory.

Teori ini dipopulerkan oleh Thomas Carlyle pada 1840an melalui buku “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History”. Dalam buku tersebut Carlyle merumuskan fenomena yang sudah terjadi ribuan tahun bahwa “The history of the world is but the biography of great men,”, bahwa sejarah semata-mata hanyalah biografi dari orang-orang besar. Carlyle melihat sejarah sebagai hasil keputusan pribadi para “pahlawan”, dengan memberikan analisis rinci dari pengaruh orang-orang besar seperti Muhammad, Shakespeare, Luther, Rousseau, dan Napoleon. Epos tertua yang pernah ditulis dan kemudian ditemukan adalah teks Epos Gilgamesh dari 2000 tahun sebelum masehi, yang menceritakan kepahlawanan Gilgamesh dari Mesopotamia yang bertualang melewati berbagai halangan para dewa untuk akhirnya mendapat berkah pengetahuan yang dipergunakan untuk kemakmuran bangsanya. Lalu terjadilah, para pahlawan makin mendapat sorotan : cerita Jason dan Argonauts, Hercules, Buddhacarita, Mahabharata, Ramayana, Beowulf, Arthur, Joan of Arc, hingga Muhammad, Thariq, Alexander, Attila the Hun, Diponegoro, hingga Sebastian Pinera baik dalam epos yang entah fact or fiction,ataupun dalam biografi, dan autobiografi. Para pahlawan selalu dikarakterkan sebagai mereka yang berjuang nyaris one-man show, menjadi agen perubahan bagi kaumnya, dan seringkali dicitrakan sebagai satu-satunya aktor dalam timeline mereka.

Alhasil para penikmat kisah pun seringkali terperangkap pada pengkultusan, seolah-olah memang para pahlawan itu adalah manusia unggul yang semenjak lahir sudah bisa mengorganisir suatu perubahan, atau dalam otaknya sudah langsung ada gagasan-gagasan yang datang dari langit. Sosiolog Herbert Spencer menyatakan pandangannya akan pendekatan heroic ini : Before he can remake his society, his society must make him.

Jika memang para pahlawan itu manusia normal, yang hidup dengan proses lahir-belajar-salah-belajar lagi-praktik-gagal lagi-berhasil/gagal-mati, maka tentunya adalah tidak objektif bila kita mengkultuskan mereka. Seorang jenius pun butuh lingkungan yang mendukung untuk menemukan momen kejayaannya. Muhammad memang manusia istimewa, tapi tanpa bantuan Abu Bakar, ia tidak akan pernah mencapai Madinah untuk kemudian memulai mengorganisasi rezim super tangguh yang kemudian menguasai Timur-Tengah. Diponegoro mungkin akan tertumpas sebelum 1830 jika ia bukan seorang bangsawan. Jim Morrison memang jenius, tapi tanpa The Doors dia akan jadi pengamen puisi yang mabuk. Soekarno tanpa bimbingan Tjokroaminoto, tanpa sekolah HBS Surabaya, tanpa perlindungan Inggit, tanpa dampingan Hatta, dan tanpa desakan para pemuda tidak akan menjadi founding fathers Republik Indonesia.

Tanpa dukungan semesta (lingkungan), kejeniusan dan keinginan kuat para jenius hanya akan menjadi abu. Kepahlawanan mereka ternyata bergantung pada banyak faktor dan tidak terjadi sendiri sesuai keinginan mereka.Maka bagi saya untuk memahami sebuah sejarah, yang selalu saling berkait dari suatu waktu, adalah kurang baik apabila kita hanya fanatik dengan salah satu tokoh tanpa berusaha memahami lingkungan di sekitar si tokoh, dan lebih parah lagi, tanpa perbandingan sumber dan tanpa kritisi terhadap kisah resmi dari si tokoh. Kita tahu bahwa pahlawan adalah para pemimpin, dan pemimpin dekat sekali dengan godaan penggunaan propaganda dan pencitraan. Fanatisme dan pengkultusan tampaknya sudah terlalu lawas untuk dianut, karena ternyata dengan usaha super keras dan lingkungan yang baik serta nasib yang berpihak, semua dari kita bisa jadi pahlawan.

No weak men in the books at home

The strong men who have made the world

History lives on the books at home

The books at home

It’s not made by great men

 

Gang of Four – Not Great Men

Dari Radio sampai Marhaenisme (Part 2)

Oleh : Rini Anggraini Lestari

Saya: “Marhaen tu siapa sih?”

Temen: (dengan gaya meyakinkan) “Gurunya Soekarno. Pernah denger partai PNI Marhaenis kan?”

Saya: “Ohh I see..”

Setelah selesai melihat2 stasiun radio, kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat selanjutnya. Katanya kami akan diajak melihat makam Pak Marhaen. Dengan modal pernah denger nama PNI Marhaenis ditambah pengetahuan sesat  kalau Pak Marhaen adalah gurunya Soekarno, saya dengan setia mengikuti perjalanan panjaaaaang berliku2 menyusuri galengan sawah menuju makam Pak Marhaen.

Sesampainya di makam Pak Marhaen, akhirnya saya mendapat pencerahan mengenai siapa sosok Marhaen sebenarnya dari cerita kang indra.

Alkisah Soekarno muda sedang berjalan-jalan di Kawasan Bandung Selatan, menyusuri galengan sawah yang tadi kami lewati (heu.. ngarang). Kemudian Soekarno bertemu dengan seorang petani yang sedang bekerja di sawah. Nama petani tersebut adalah Pak Marhaen. Sawah yang digarap Pak Marhaen adalah milik Pak Marhaen sendiri. Beliau bukanlah seorang buruh tani yang bekerja untuk sawah orang lain. Tetapi walaupun begitu, kehidupan Pak Marhaen tetap sulit karena hasil sawahnya hanya cukup untuk makan keluarga sehari2. Melihat mayoritas kondisi sosial masyarakat Indonesia yang hidupnya sulit, terkangkangi (bahasanya kang indra) oleh masyarakat kelas borjuis, mendorong Soekarno untuk membuat gerakan perjuangan untuk membebaskan penderitaan masyarakat kelas bawah. Paham gerakannya dinamakan Marhaenisme, karena terinspirasi oleh Pak Marhaen sebagai simbol penderitaan rakyat kecil.

Wait!

Kelas masyarakat? Penderitaan kelas bawah? Perjuangan pembebasan?

Itu sih Marxisme

Br%$#x@*&^%$#@#$%^&%^$#zz Marxisme!” tiba2 terdengar suara kang Indra menyebut kata Marxisme

Nah kan bener ada hubungannya..

Karl Marx yang seorang filosof, ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli ekonomi, sepertinya sangat mempengaruhi faham yang dianut Soekarno. Pemikiran2 Marx yang praktis (dan politis) diterapkan Soekarno di Indonesia dalam bentuk gerakan Marhaenis. Ngga heran sih sebenernya. Karena kondisi penderitaan kelas pekerja (proletar) pada zaman Marx masih sangat terasa juga pada masa penjajahan di Indonesia. Bahkan kalau dipikir2 kondisi penderitaan masyarakat kecil dari setiap zaman komplit ada di Indonesia. Markicek (Mari kita cek)!

  1.  Penderitaan para budak oleh warga bebas khas zaman perbudakan kuno? Ada!
  2. Penderitaan para hamba pengolah tanah oleh kesewenangan tuan tanah pada masyarakat feodal abad pertengahan? Ada!
  3. Penderitaan warga negara biasa oleh kaum bangsawan/pemerintah? Ada!
  4. Penderitaan kaum proletar (pekerja) oleh para pemilik sarana produksi (pemodal) pada masyarakat kapitalis? Ada!
  5. Penderitaan masyarakat yang hidup sulit walaupun mereka memiliki sarana produksi sendiri? Ada, seperti Pak Marhaen. Dan ini yg paling ironi memang.

Astagfirullah, penderitaan yang sangat lengkap sekali.. *ngurut dada sampai kaki*

Bisa jadi yang membedakan Marxisme dengan Marhaenisme adalah bahwa Karl Marx membuat faham Marxisme sebagai gerakan pembebasan penderitaan kelas masyarakat No 4, sedangkan Marhaenisme adalah gerakan pembebasan penderitaan kelas masyarakat No 1,2,3,4,5.  Artinya seluruh masyarakat yang merasa menderita oleh sistem yang diterapkan kelas masyarakat yang lebih berkuasa.

Kalau dihubung2kan, sepertinya Karl Marx yang lambat laun menggaungkan sistem komunis, sedikit banyak mempengaruhi praktek gerakan2 di Indonesia, terutama Soekarno. Melalui tulisannya, Comunist Manivesto, Marx mengusung ide bahwa jalan pembebasan penderitaan kaum proletar hanya bisa dilakukan melalui jalan R-E-V-O-L-U-S-I. Menyatukan seluruh kekuatan masyarakat yang menderita dan  membuat kelompok penguasa gemetar. Aah, bisa jadi Comunist Manivesto-nya Marx kalau di Indonesia adalah Indonesia Menggugat-nya Soekarno . (Haa ngaco..  oke abaikan. Ini cuma skeptis pribadi :p)

Skip ttg Marxisme. Kembali kepada Marhaenisme. Ketika diskusi sempat ada pertanyaan mengenai nama Marhaen yang terdengar kurang lazim untuk nama orang Indonesia apalagi orang sunda. Marhaen.. Berasa nama penyanyi.. Insya Allah~~  Insya Allah~~

Lanjut!

Menurut kang indra, justru Soekarno mengatakan bahwa pada saat itu nama Marhaen banyak digunakan oleh masyarakat sekitar sini. Nah dari nama yang tidak lazim itu pertanyaan menjadi meluas. Benarkah pertemuan soekarno dengan petani bernama Marhaen benar2 terjadi? Seandainya Soekarno bertemu dengan petani bernama Pak Ujang (ini nama yg lebih lazim kayanya) apakah fahamnya akan dinamakan Ujangnisme?

Rasanya untuk Soekarno yang sangat mengedepankan sebuah citra tidak akan menamakan fahamnya Ujangnisme. Boleh jadi Soekarno sebenarnya sudah merencanakan memberi nama Marhaenisme untuk fahamnya (ngga kalah keren kan dengan nama Marxisme). Tapi Soekarno perlu membuat cerita filosofis dan simbolis yang kuat dari nama Marhaenisme tersebut. Maka dibuatlah Alkisah pertemuan Soekarno dengan Pak Marhaen (kalau yang ini udah jadi skeptis rame2 dari dulu, jadi boleh tidak diabaikan..:p)

Hari ini, jauh setelah Indonesia terbebas dari penjajahan kolonialisme, apakah ditandai juga dengan terbebasnya seluruh masyarakat kelas bawah dari penderitaan kelas masyarakat yang lebih berkuasa? Apakabar faham Marhaenisme hari ini? Apakah sudah mati?

Belum (sepertinya)

Selama mata kita masih melihat ada kelas masyarakat yang masih terbelenggu dalam rantai penderitaan, maka gerakan2 pembebasan akan tetap menggeliat. Marhaenisme masih menggaung dalam forum2 masyarakat, bisa dilihat dalam salah satu situs http://marhaenisme.com/ . Semangat Marhaenisme pun masih dianut oleh puteri Soekarno yang mengusung salah satu Partai dengan kredo “Partainya Wong Cilik”. Tapi apakah faham tersebut benar2 dijiwai dalam praktek2 pembebasan penderitaan Wong Cilik atau hanya sebatas dijadikan kredo untuk menarik simpati rakyat?

No comment ah..

Original post : http://anggrainilestari.tumblr.com/post/10799777685/dari-radio-sampai-marhaenisme-part-2

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑