Month: September 2011

Dari Radio Sampai Marhaenisme (Part 1)

Oleh : Rini Anggraini Lestari

 

Sejak obrolan random setaun lalu dengan dua teman saya yang menyentil kesadaran tentang banyaknya perubahan wajah kota Bandung (read my post Bandoengkoe), saya jadi punya hobi baru luntang-lantung jalan kaki sendirian, bagaikan syahrini tanpa mas anang, menyusuri sudut2 kota Bandung. Berjalan kaki untuk sekedar meresapi dan menikmati suasana (semerawut) Bandung hari ini. Bernostalgia dengan memori kenyamanan Bandung masa lalu. Bermain dengan imaji khayal masa depan, membayangkan akan seperti apa tempat yang saya lewati hari ini 20 tahun mendatang.

Tapi sepertinya mulai sekarang saya ngga perlu lagi jalan kaki sendirian. Karena apa?

Karena Briptu Norman sudah mengundurkan diri dari kepolisian..:p

Oke bukan.. Tapi karena sekarang saya sudah bergabung dengan komunitas yang hobinya mapay jalan abring2an menyusuri tempat2 yang menyimpan banyak cerita tentang Kota Bandung. Yes, Komunitas Aleut!

Ngaleut pertama saya adalah hari minggu lalu saat episode Dayeuh Kolot 2. Kami menyusuri jejak2 peninggalan kejayaan teknologi komunikasi radio pada zaman penjajahan.  Menurut cerita Bang Ridwan, sekitar tahun 1920an kolonial belanda mulai membangun menara2 dan stasiun radio untuk saling berkomunikasi dengan  pasukan militer yang ada di daerah lain. Bahkan mereka membangun jaringan komunikasi radio untuk menghubungkan Indonesia dengan Belanda sehingga mereka dapat menerima perintah langsung dari Ratu Belanda.

Zaman kejayaan teknologi radio tersebut diabadikan dengan membangun sebuah monumen setengah bola dunia dengan dua orang (bugil) yang bersebrangan, satunya sedang berbicara dan satunya mendengarkan. Monumen tersebut dulu di simpan di sekitar mesjid istiqamah, tapi sayangnya kemudian dihancurkan, karena takut orang2 nafsu ngeliat patung bugilnya.. heu.. ngga deng..

Saya juga tidak tau persis kenapa di hancurkan, tapi menurut Bang Ridwan kemungkinan memang karena pertimbangan norma kesopanan.

Ketika Jepang datang untuk menduduki Indonesia, Jepang menguasai stasiun radio untuk memutus jaringan komunikasi militer Belanda. Jepang sangat mengetahui pentingya radio untuk kebutuhan komunikasi militer, oleh karena itu mereka tidak memakai gedung2 sebagai tempat stasiun radio, melainkan menggunakan gua2 agar komunikasi radio tidak mudah diputus lawan.

Di Bandung sendiri menara radio pertama di bangun di dataran tinggi puntang dan halimun sehingga jaringan gelombangnya melewati daerah cekungan yang ada di antara kedua gunung tersebut. Kemudian menara2 dan stasiun radio lainnya mulai di bangun di beberapa daerah. Salah satunya di dayeuh kolot yang saat ini menjadi kawasan kampus ITT Telkom. Di dalam kawasan kampus masih ada sisa 2 menara radio yang masih berdiri (sekarang digunakan oleh provider GSM). Plakat menara menunjukkan bahwa menara tersebut di bangun pada tahun 1934. Dulu, semua tempat yang dibangun menara dan stasiun radio, daerah disekitarnya disebut sebagai kampung radio. Termasuk daerah Palasari yang ada di dayeuh kolot ini.

Tidak jauh dari kawasan kampus, terdapat gedung yang dulu digunakan sebagai stasiun radio (sekarang digunakan oleh PT Telkom). Dengan izin pak satpam yang baik hati kami dibolehkan untuk masuk melihat-lihat gudang tua dan naik ke atap gedung untuk melihat menara pengawas. Menurut cerita pak agus (satpam yang baik hati), sejak pertama gedung ini di bangun tidak banyak perubahan pada bentuk bangunan. Bahkan kayu pada atap menara pengawas belum pernah diganti sejak pertama dibangun.


Disaat teman2 lain mengililingi atap gedung, saya berbincang-bincang dengan pak agus. Membicarakan sedikit sejarah stasiun radio ini. Menurut pak agus, dulu stasiun radio ini bernama stasiun Palapa. Nah sebenarnya ini masih harus di konfirmasi lagi kebenaran nama stasiun radio ini. Karena ada perbedaan informasi yang saya dapat dari penggiat aleut lain yang mengatakan bahwa stasiun radio ini dulu bernama stasiun Palasari. Di dalam gedung tersebut ternyata masih ada ruangan tempat menyimpan perangkat2 radio tua, juga terdapat foto-foto ketika stasiun radio masih aktif. Daaann tidak disangka-sangka saat temen2 lain lagi muterin atap gedung, saya diajak pak agus untuk melihat-lihat ruangan tempat perangkat radio tua.

Ruangan perangkat radio tersebut gelap dan dingin. Nyaris tidak pernah terjamah manusia (Ha! berlebihan). Dengan pintu besi dan dinding yang dilapisi besi, alat-alat yang sudah rusak dan terbengkalai, serta cahaya senter yang diarahkan ke wajah pak agus, cukup bikin suasana serem ajah (heu..ampun pak). Sebenarnya pak agus mau memperlihatkan foto-foto jaman dulu ketika stasiun radio masih aktif (Ya ampun pak baek bener). Tapi sayangnya foto2 tersebut ada di dalam lemari dan pak agus harus mendapat izin terlebih dulu untuk membuka lemarinya. Tapi saya sudah cukup merasa beruntung karena bisa melihat ruangan tempat sisa2 perangkat radio. Jejak sisa2 kejayaan teknologi radio di masa lalu. Tempat yang Bang Ridwan bilang, mungkin 5 tahun kedepan sudah hilang tergusur zaman..

To be continued.

Original post : http://anggrainilestari.tumblr.com/post/10721332265/dari-radio-sampai-marhaenisme-part-1

Sejarah Stasiun Kereta Api Bandung

.
Oleh : Nia Janiar
Foto : Yandi “Dephol”
.
Coba kalau kamu pergi ke stasiun kereta lalu menemukan angka di bawah ini, kira-kira itu menandakan apa ya?
Itu tandanya stasiun ini berada 709 meter di atas permukaan laut. Saya baru tahu dan baru memperhatikan. Untung ikut Aleut!.
Minggu (25/08) rute Aleut adalah menyusuri sejarah rel kereta api stasiun Bandung. Kami tidak menyusuri secara harfiah jalur rel kereta api tapi kami masuk ke stasiun lewat pintu baru, lihat-lihat dan diberi penjelasan sebentar, lalu keluar lewat pintu lama. Saat berada di depan pintu lama, terdapat sebuah replika kereta bernama Monumen Purwa Aswa Purba yang dijadikan tempat bagi Indra Pratama dan M. Ryzki bercerita bahwa jalur kereta yang pertama kali masuk ke Bandung berasal dari jalur Cianjur pada tahun 1884. Awalnya pintu depan stasiun kereta ini letaknya di sekitar Jalan Setasiun Barat terus diperbesar dari tahun 1916 karena posisi Bandung yang semakin sentral dan signifikan.
Sebelumnya Belanda mencari jalan yang cocok di Hindia Belanda karena jalan Raya Pos dinilai masih sulit untuk mengangkut hasil perkebunan. Ide pembangunan jalur kereta ini sebenarnya muncul dari jendral militer yang bertujuan untuk pertahanan militer. Karena pada saat itu pemerintah tidak punya uang, mereka mulai mengadakan setidaknya 20 tender untuk swasta. Yang pertama kali dibangun Semarang-Jogja atau Semarang-Solo (M. Ryzki lupa antara yang mana) karena itu jalur yang paling ramai. Jalur Priangan itu dibangun paling terakhir karena medan paling susah (banyak sungai dan lembah) dan memakan biaya paling mahal. Namun pembangunan jalur Priangan ini tidak dibangun oleh swasta.
Pembangunan stasiun kereta ini tentunya berdampak ke lingkungan yang ada di sekitarnya, yaitu angkutan seperti sado (delman), pembangunan hotel-hotel–salah satunya hotel paling tua yaitu Hotel Andreas, dan juga tempat prostitusi di Kebon Jati (Saritem). Dulu prostitusi terjadi karena tidak ada kereta malam sehingga orang harus menginap di Bandung agar bisa berangkat keesokan harinya. Jadi karena mungkin istri atau kekasih jauh sementara udara Bandung yang dingin, jadi disediakan jasa penghangat ini.
Bagi saya, yang menarik adalah penamaan nama jalan dengan menggunakan istilah ‘stasiun’ yang berbeda-beda. Bimbang? Mudah-mudahan tidak.


Selain membicarakan tentang jalur kereta, kami juga sempat mengunjungi replika lokomotif di Viaduct dan Gedung Indonesia Menggugat. Setelahnya kami diberi kejutan dengan masuk ke dalam sebuah toko lukisan di Jalan Braga yang didalamnya terdapat sebuah ruang bawah tanah. Toko lukisan ini dulunya adalah toko jam. Lalu mengapa toko jam memerlukan sebuah ruang bawah tanah?–pertanyaan yang dilontarkan Bang Ridwan itu menggelitik Aleutians untuk mencari tahu lagi apa fungsi ruang yang gelap gulita dan tak luput dari cerita horornya.
Ruang itu memiliki lorong yang berujung ke sebuah lapangan kecil yang terdapat puluhan orang yang sedang menyanyi sambil menari. Kata Aneng, salah satu Aleutian yang sepertinya sempat mengobrol dengan salah satu orang di sana, mereka ini adalah grup pencak silat dari Cililin yang sedang beristirahat. Pasti tidak semua orang tahu tentang keberadaan ruang, lorong, dan lapangan ini.
Pasti juga orang tidak menyadari ada hiruk pikuk kecil dibalik hingar bingar Braga festival yang bertepatan dengan ngaleut kala itu atau hiruk pikuk deru laju kereta di atas besi-besi tua.
.

Stasiun Bandung Selayang Pandang

Ketika perusahaan StaatSpoorwegen dipimpin oleh H.G. Derx , didirikanlah stasiun kereta api di Bandung tepatnya pd tanggal 16 Juni 1884. Mengingat akan dilakukannya serah terima pengelolaan lajur kereta api kepada Dinas Eksploitasi dari Dinas Bangunan yang sebelumnya bertanggung jawab dalam pembangunan jalan kereta api, maka pembangunan stasiun Bandung ikut mengalami percepatan. Pembangunan stasiun dilaksanakan siang dan malam dengan mengandalkan banyak pekerja.

Pada tanggal 5 Juni 1926, perusahaan StaatSpoorwegen merayakan hari jadinya yang ke 50. Untuk itu pemerintah kota melalui jasa murid-murid Gemeentelijk Ambachtschool (sekolah pertukangan) membangun sebuah tugu peringatan di depan Stasiun Bandung. Tugu yang dirancang Ir. H. De Roo ini juga berfungsi sebagai penanda lokasi (triangluasi). Pada tugu itu terpasang lampu listrik yang menyala terang setiap malamnya, menyimbolkan peran Kereta Api sebagai pembawa cahaya “kemajuan” jaman.

Pada gambar di atas yg diambil skitar tahun 50an, tugu itu sudah tidak ada, mungkin karena dicopot di masa pemerintahan Jepang.

Narasi oleh : M.Ryzki Wiryawan.

Pemancar Radio Tua

.
Oleh : Nia Janiar
.
Sekitar seminggu yang lalu (18/09), saya ke kawasan Buah Batu bersama Aleutians untuk melihat menara pemancar radio yang letaknya di belakang kampus IT Telkom. Mengenai sejarah tentang menara ini, sudah diarsipkan dalam blog Aleut yang ditulis oleh M. Ryzki W. dengan judul Ngaleut! Puntang-Malabar with GEOTREK II. Jadi, jurnal saya ini semacam melengkapi apa yang sudah lengkap.
Jika saya tidak ikut Aleut, pasti saya tidak tahu bahwa sebongkah besi berwarna merah putih yang menjulang tinggi itu adalah cikal bakal dan telekomunikasi Hindia Belanda. Pasti saya juga tidak tahu bahwa menara ini adalah salah satu dari 13 sisa menara yang dihancurkan untuk memutuskan telekomunikasi pada masa penjajah Jepang. Dan pasti saya hanya akan menganggap menara pemancar ini hanya berupa tempat sakral orang-orang stress yang mau meregang nyawa.
Lanjut ke belakang IT Telkom, terdapat sebuah jalan bernama Jalan Radio dan perkampungan namanya Kampung Radio. Di sana juga terdapat stasiun radio tua yang kini dipakai oleh salah satu vendor GSM besar, gudang peralatan, dan asrama mahasiswa IT Telkom yang sudah tidak terpakai karena sering kebanjiran. Selain itu kami diizinkan naik ke pos penjaga yang berada di atap gedung oleh satpam yang baik hati.

Gudang

Tangga berkarat menuju pos penjaga

Perjalanan kali ini membuat saya membayangkan bagaimana jika Indonesia tidak dijajah Belanda? Mampukah anak bangsa membangun dari awal sistem telekomunikasi seperti ini? Jika iya, mampukah mereka membangun secepat ini? Lalu apakah seluruh aspek (terutama sistem komunikasi) akan semaju sekarang? Bisakah kita melakukan hubungan dengan kerabat di seberang lautan? Membayangkannya menimbulkan pemikiran bahwa jangan-jangan kita sebetulnya harus berterima kasih karena seolah-seolah negeri ini dibangun oleh konsep atau materi penjajah itu sendiri.
.

Gereja Blenduk, Semarang

Oleh : Achmad Rizal

gereja Blenduk, semarang

Gereja Blenduk  atau GPIB Immanuel adalah gereja tertua di Jawa Tengah dan salah satu yang tertua di  Indonesia. Gereje Blenduk didirikan tahun 1753 ini merupakan salah satu icon dari Kawasan Kota Lama, Semarang yang secara fisik masih sangat utuh dan bahkan masih digunakan untuk kebaktian oleh Penganut Protestan di Semarang.  Dahulu namanya Koepelkerk, dan terletak di Heerenstraat, yang kemudian menjadi Kerk straat (jalan gereja),  sekarang menjadi Jalan Letjen Suprapto.

Pada awalnya, gereja ini berupa bangunan panggung Jawa yang tidak diketahui arsiteknya. Namun oleh   arsitek W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde pada 1894-1895 dirubah secara dramatis dengan menambahkan menara pada bagian depan bangunan. Panggilan Gereja Blenduk diambil dari kubah yang terletak pada puncak gereja yang menonjol sehingga oleh orang  Jawa disebut dengan Mblenduk.

Hasilnya adalah Gereja Blenduk seperti sekarang dengan interiornya juga cantik, dihiasi lampu gantung kristal, bangku-bangku ala Belanda dan kursinya semua masih asli. Lalu ada orgen Barok nan indah, yang sayangnya sudah tidak bisa dipakai (rusak). Tangga dari besi cor (lebur) menuju ke orgen Barok itu buatan perusahaan Pletterij, Den Haag. Salah satu yang menarik bagi yang tidak bisa masuk ke Gereja Blenduk adalah jam pada menara kembarnya, yang masih menggunakan angka IIII menggantikan angka IV.

Daerah sekitar Gereja Blenduk dinamakan dengan Outstadt atau Little Netherland mencakup setiap daerah di mana gedung-gedung yang dibangun sejak zaman Belanda, hanya yang masih tersisa cukup banyak yang di daerah sekitar Gereja Blenduk.  Beberapa gedung Kuno sekitar Gereja Blenduk misalnya Gedung Jiwasraya, gedung Marba, Peek House dan kalau berkunjung ke Gereja Blenduk, jangan lupa untuk mampir ke Sate 29 di depan gereja Blenduk yang terkenal dengan sate Buntel dan gule sumsumnya.. Dijamin Maknyus…

Sumber :

  1. http://www.nederlandsindie.com/koepelkerk-gereja-blenduk-semarang/
  2. http://semarangan.loenpia.net/sejarah/kota-lama-potongan-sejarah-kota-semarang.htm
  3. http://visitsemarang.com/artikel/gereja-blenduk
  4. http://cityguide.kapanlagi.com/semarang/wisata/11191-gereja-blenduk.html
  5. https://www.facebook.com/media/set/?set=a.2201767315949.2120729.1000298462

Drie Locomotief Jalan Dago

Drie Locomotieven. Foto: Het Nieuw Instituut.

Pada tahun 1936 W.H. Hoogland, Direktur Denis Bank yang juga seorang seorang promotor dalam pembangunan Bandung mendirikan tiga buah Villa di Dagoweg no.111, 113 dan 115. Dalam proyek itu ia mempercayakan arsitek A.F. Aalbers sebagai perancang desain ketiga villa tersebut. Ketiga vila anggun yang dikenal sebagai “Drie Locomotief” itu kemudian rampung pada tahun 1937.

Kini hanya salah satu dari ketiga Villa tersebut yang arsitekturnya masih relatif asli, yaitu kediaman keluarga Mashudi. Kedua villa di sebelahnya telah menjelma menjadi bangunan FO. Salah satu alasan penghuni villa terakhir ketika melepas kediamannya untuk dijadikan FO adalah ketidaksanggupannya untuk membayar Pajak Bumi & Bangunan yang besarnya 40 juta/tahun!.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

 

Palasari, Kepala – Pundak – Lutut – Kaki

Oleh : Jana Silniodi

Sabtu 3 September, jadi awal pembuka petulangan saya setelah sebulan kemarin bermeditasi ibadah puasa. Dan sungguh  hal tak biasa bagi aleut! mengadakan kegiatannya di hari Sabtu akhirnya terjawab sudah kebingungan itu karena peserta ngaleut kali ini pun cukup tujuh orang saja, Bang Ridwan a.k.a BR, Asep Nendi, Hanifa, Pia Zakiah, Nia Janiar, dan Andika.

 

Jalur ngaleut kali ini adalah Gunung Palasari yang berada di ujung timur dari patahan lembang dengan ketinggian 1.859 m.d.p.l. Beberapa waktu sebelumnya jalur patahan lembang yang pernah saya lakoni bersama Aleut! ialah dari dago pakar dan berakhir di Batu Loceng dengan peserta berjumlah puluhan. Dengan peserta yang kecil ini dan sudah sangat mengenal, maka perkecualian ritual perkenalan tidak dilakukan kali ini.

 

Meeting point yang dipilih kali ini adalah terminal Cicaheum, tepatnya pangkalan ojek jl.Jatihandap dan karena masih kental dengan suasana lebaran, alhamdulilah ya, kawasan Cicaheum ini menjadi lebih menyenangkan tanpa jejalan antrian angkot di persimpangan dan ramai berseliwerannya para pemakai jalan, juga bunyi-bunyi klakson yang selalu ditekan asal tak berharmoni oleh para sopir angkot yang rajin ngetem.

 

Banyak jalur manuju Roma, begitupun menuju tujuan kami ini, diantaranya melalui Padasuka-Caringin tilu, Jatihandap, Pasir Impun, Sindanglaya, dan Ujung Berung-Palintang. Diputuskan, kami akan menyusuri Palasari melalui jalur Sindanglaya dan titik awalnya dimulai dari bumi perkemahan Oray Tapa. Dari Cicaheum kami mencarter angkot dengan harga Rp 17.000,- per orang yang ternyata melebihi perhitungan awal karena asumsi peserta akan lebih banyak seperti ngaleut biasanya.

 

Dan petualangan pun dimulai. Pintu masuk bumi perkemahan Oray Tapa berada di puncak punggungan,dari tempat ini kita dapat melihat lansekap kota Bandung secara utuh tanpa penghalang, silakan coba berkunjung ke sini malam hari dan lihat riuhnya lampu-lampu gemerlap Bandung di bawah sana. Namun lain halnya dengan kawasan yang serupa dengan tempat ini seperti di Ciburial, Caringin Tilu, atau Punclut kondisi jalan menuju Oray Tapa sangat tidak baik untuk dilalui kendaraan karena terdiri dari batu-batu besar dan tanah saja, lapisan aspalnya nampak telah lama habis tergerus.

 

Kami memasuki kawasan Oray Tapa tidak melalui pintu utamanya, melainkan melipir mengikuti jalan setapak  jalur penduduk setempat yang menuju ladang dan hutan. Di tengah perjalanan kami bertemu ibu yang tengah mengangkut rumput dan bertanya apakah kami di “jalan yang benar”, “Leres acep, ka palih wetan weh ti dieu mah” ujarnya.

 

Sebagai informasi, jalur bagi komunitas aleut adalah titik awal dan akhir, dan terkadang di tengah perjalananan biasanya kita berimprovisasi, maka jangan heran jika nanti berkesempatan ngaleut bersama kami jangan tanyakan apakah ini jalurnya yang benar, cukup ikuti dan nikmati saja perjalanan anda nanti 😉 safety itu pasti, tenang saja kawan dan tersesat itu berarti pengalaman baru untuk dipelajari.

 

Setelah berada di puncak punggungan Oray Tapa kami akhirnya bertemu jalur lebar berupa trek offroad bagi mobil 4 WD dan motor trail, kami kemudian memilih jalur setapak dan turun ke lembah untuk pindah ke punggungan di seberang, menurut informasi Gunung Palasari berada di sebelah Timur Laut dari tempat kami berdiri. Di lembahan ini mengalir sungai kecil selebar kurang dari satu meter, airnya jernih dan bening.

 

Beranjak dari lembahan tadi kami menyusuri jalur berupa kebun bambu dan berakhir di kebun kopi yang mendominasi sebagian besar punggungan ini dengan berbatas hutan pinus di puncaknya.  Dari tempat ini kami mengikuti jalur setapak selebar satu meter dengan melipir dua punggungan hutan pinus, di pinggiran jalur setapak ini banyak terlihat tumbuhan salihara dengan bunga berwarna orange dan buahnya yang berwarna hijau dan ungu dengan batang yang memiliki duri kecil sehingga kami berjalan menghindarinya.

 

Jalan ini berakhir di pertigaan hutan pinus, jalurnya jelas dan lebar, dari pertigaan ini kami berbelok ke arah utara atau kiri dari arah datang kami dan beristirahat di tanah datar yang terletak beberapa belas meter dari persimpangan tadi. Asep membongkar isi tasnya, rupanya dia membawa alat masak trangia, dan menu makan siang berupa spaghetti serta kopi, sungguh paduan yang unik untuk menu makan siang namun tidak ada pilihan bagi kami saat itu karena jangankan berhasrat menemukan warung di tempat ini, bertemu pejalan lainnya pun tidak ada.

 

Jadilah kami makan siang dengan menu utama spagheti sosis yang dimasak dengan tidak sempurna dan desert nya yaitu kopi yang tidak hitam. Bagaimanapun juga saya berterimakasih untuk asep sang penunjuk dan pembuka jalan sudah membuat kejutan dengan membawa trangia dan menu makan siang tersebut.

 

Selesai berkemas, perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan setapak yang lumayan menanjak, hutan pinus ini rupanya hutan produksi karena banyak terlihat pinus disini yang disadap getahnya dan ditampung pada batok kelapa yang disimpan dibawahnya. Setelah beberapa menit berjalan di kerapatan hutan pinus, kami akhirnya berjalan di sisi punggungan dengan pemandangan yang lebih terbuka.

 

Nampak di depan kami berdiri sosok tinggi dengan dominasi hutan yang cukup rapat di bagian perutnya, saya berasumsi dengan Asep bahwa gunung itu adalah Manglayang, dan punggungan yang tengah kami jalani sekarang ini merupakan Gunung Palasari yang menjadi tujuan perjalanan. BR belum mengamini ataupun menolak pendapat saya dan Asep tadi dan yang lainnya tidak banyak berkomentar, hanya Nia saja yang rutin menanyakan “kita mau kemana sih, Puncak nya masih jauh ga?” dan jawaban saya pendek saja “Deket, tuh di depan, bentar lagi juga nyampe  hingga kami tiba di persimpangan yang berupa urat punggungan dengan percabangan lima jalur.

 

Di seberang kami tegak gagah berdiri Gunung Bukitunggul yang merupakan gunung tertinggi di kawasan ini,Cibodas tepat berada di bawah kami berdiri membentang lembahnya hijau dan di beberapa tempat gundul kerontang berupa tanah merah peladangangan baru yang akan dibuka. Akhirnya jawabannya terpecahkan, dua orang pemburu memerikan informasi bahwa Gunung Palasari adalah yang saya kira Gunung Manglayang tadi, dan sekarang kami berada di punggungannya, tempat kami sekarang ini bernama Jalan Lima menurut akang pemburu itu.

 

Dari sini untuk menuju Puncak Palasari kami mengambil jalur yang menanjak sesuai petunjuk para pemburu tersebut. Jalur yang kami lewati ini karakternya sama seperti halnya Gunung Burangrang dan Manglayang, trek berada di urat punggungan dan begitupula dengan vegetasinya, hutan pinus di bagian bawahnya dan heterogen di perut hingga puncak gunung.

 

Saya berasumsi tidak banyak orang yang mendaki ke tempat ini, terlihat dari rerumputan yang tumbuh subur di jalan setapak yang dilewati karena jarang terinjak kaki manusia, namun walau jarang dilewati jalurnya masih jelas sehingga kemunginan untuk tersesat di tempat ini relatif kecil. Jalur yang dilalui cukup landai dan variatif dari tanjakan kecil, datar, melipir pohon tumbang, dan setelah berjalan kurang dari satu jam dari Jalan Lima tadi akhirnya kami ampai di Puncak Palasari.

 

Puncak Palasari ini berupa dataran lapang seluas setengah lapang voli dan tertutup pepohonan sama halnya dengan puncak Manglayang dan Bukitunggul sehingga kita tidak bisa melihat pemandangan di bawah seperti di Oray Tapa yang jadi awal perjalanan kami. Selain itu berkembang cerita bahwa Puncak Palasari dahulu merupakan tempat pemujaan dengan struktur berupa punden berundak tiga tingkat di puncaknya. Sisa punden berundak tidak jelas terlihat, yang terisa hanyalah dua makam, hal yang sama yang dapat ditemukan di puncak Gunung Manglayang.

 

Setelah memasak spaghetti dan kopi yang tidak hitam untuk kedua kalinya, akhirnya kami sepakat untuk segera turun gunung dan menuju peradaban. Jalur yang dipilih yaitu menuju Cibodas, dan kazaaaam … jalur menuju Cibodas ternyata juwara dunia sangat berbeda dengan jalur yang kami lewati saat naik tadi dari Jalan Lima, trek turun ini cukup menyiksa karena kemiringannya berkisar 60-80 derajat dan cukup membuat menguras energi. Tanah berdebu, akar-akar pohon yang menyembul di jalur, serta batang pohon salak yang berduri di pinggiran trek harus membuat kami berjalan hati-hati.

Akhirnya jalur ini berakhir di ladang dan di depan kami tampak pemandangan lepas Gunung Manglayang di sebelah timur,  jauh di sana jalan tanah yang dapat dilalui kendaraan mengular melipir beberapa punggungan, di sebelah utara terhampar kebun kina dengan pohon-pohon mudanya tegak berdiri dengan latar belakang Gunung Bukitunggul,  namun petualangan belum berakhir di sini kawan kami harus mencari angkutan menuju Bandung.

 

Sajian senja di kebun kina cukup memberi semangat saya untuk terus berjalan dan harapan akan datangnya mobil yang berbaik hati untuk memberi serta letupan energi setelah mengisi perut dengan baso dan kopi yang hitam, akhirnya setelah gelap sekitar pukul 7 datanglah bapak sopir baik hati yang telah ditunggu dan mengantarkan kami hingga ke Dago melalui jalur Buniwangi walaupun harus merogoh uang Rp 20.000,- / orang, kami ridho dan ikhlas daripada harus berjalan kaki lagi. Alhamdulilah ya. Sabtu ini menjadi sesuatu sekali. Kepala mendapat masukan gizi ilmu baru, pundak-lutut-dan kaki mendapat kegiatan menyenangkan kembali, dan terakhir adalah ikatan persahabatan yang makin erat walau tidak mengikat. Viva aleut! horray sorak dan soray.

Ulang Tahun Provinsi Jawa Barat

Ada yang tahu kapan tanggal lahir Provinsi Jawa Barat ?.. Betul, berdasarkan seminar baru2 ini ditentukan bahwa Jawa barat lahir tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan..

Pertanyaanya sekarang , adakah yang tahu kapan Provinsi Pasundan Lahir ? Jawabannya adalah tanggal 14 Agustus 1925 berdasarkan Staatsblad (Lembaran Nagara) tahun 1925 nomer 378.

Dalam gambar di atas terlihat sidang Raad Provincie Pasoendan di “Gedong Bitjara” Batavia pada tanggal 19 Agustus 1935 dalam rangka memperingati 10 tahun ulang tahun Provinsi Pasundan (Jubileum).. Dari kanan ke kiri, Tuan van Lith (Direktur B.B.), Loekman Djajadiningrat, Nederburgh, Yo Heng Kam, Gubernur Drossaers, Sekertaris Propinsi Mr. Bak, Ament dan Juragan Oemar Said…

Di luar itu, Apakah mungkin untuk mengembalikan nama provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan kembali ?.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Puisi Tidak Seharusnya Bisu : Selamat Ulang Tahun Wiji Thukul

apa yang berharga dari puisiku

kalau adikku tak berangkat sekolah

karena belum membayar SPP

kalau becak bapakku tiba-tiba rusak

jika nasi harus dibeli dengan uang

jika kami harus makan

dan jika yang dimakan tidak ada?

 

(Wiji Thukul – Apa yang Berharga dari Puisiku)

 

 

Mereka bilang kata-katanya seperti pedang. Sehingga ia termasuk orang yang harus dilenyapkan demi keamanan dan stabilitas. Mereka bilang orang ini berbahaya.

 

Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung kampung Sorogenen, Solo dengan nama asli Wiji Widodo. Anak dari seorang tukang becak katolik, pokoknya biasa-biasa saja latar belakangnya (karena kemiskinan sudah jadi sesuatu yang biasa). Sejak di bangku Sekolah Dasar beliau sudah tertarik menulis sajak, dan ketika SMP mulai merambah dunia teater.Teater yang beliau ikuti bernama Teater Jagat (singkatan dari Jagalan Tengah). Kelompok teater ini sering melakukan “pertunjukkan jalanan”, dengan mengamen berkeliling berbagai daerah di Solo, bahkan sampai ke kota-kota lain. Pada periode inilah beliau mulai mengamenkan puisi-puisinya.

 

Sepertinya tertarik pada seni, setelah lulus SMP tahun 1979, beliau memilih melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Karawitan jurusan tari. Tapi ketika kelas dua, kesulitan ekonomi memaksanya meninggalkan bangku sekolah. beliau pun merambah berbagai macam pekerjaan, mulai dari calo karcis bioskop yang tinggi rendahnya penghasilan bergantung pada Rhoma Irama, berjualan koran, dan disangka orang gila karena mengamen puisi secara solo. Sampai akhirnya seorang kawan mengajak beliau bekerja sebagai tukang pelitur mebel.Sementara puisi-puisi beliau mulai mengalir dengan gaya bahasa curhat, dengan sedikit bunga, yang hadir mendandani kesusahan pada kata-kata yang tertulis.

 

Sebagai seorang yang menyukai puisi, beliau pun mulai mendekatkan diri pada puisi secara teoritis, yang waktu itu beliau anggap sebagai kiblatnya adalah majalah Horison, yang dibidani para pemenang “pertarungan” sastra, yaitu kelompok Manikebu, yang menggantikan para sastrawan Lekra yang habis dilibas di awal Orde Baru. Wiji pun tidak ingin ketinggalan, dia pun mulai mengadopsi gaya Horison, dengan kata-kata aneh, yang dalam benaknya merupakan syarat sebuah puisi agar dinilai sebagai puisi yang bagus. Beliau banyak membuat pertunjukkan puisi kecil di depan kawan-kawannya sesama tukang pelitur, dan mereka tampaknya terhibur dengan puisi-puisi Wiji yang baru ini. Terhibur. Namun ternyata Wiji menyadari bahwa mereka hanya terhibur oleh sulap kata-kata. Kata-kata yang asing menjadi bahan tawa yang hanya cukup mengalihkan pikiran yang lelah. Ketika diajak berdiskusi tentang puisinya, mereka sama sekali tidak mengerti akan konten yang beliau deklamasikan. Kata-kata abstrak itu terlalu dalam untuk direnangi para buruh pelitur yang bahkan sudah kesulitan untuk bergerak di kedangkalan, beberapa sendok nasi untuk keluarga dirumah. Puisinya bisu.

 

Beranjak dari situ Wiji Thukul kembali ke penulisan puisi yang terdahulu, bercerita tentang dirinya dan lingkungan homogennya; tentang kemiskinan, ketidak-adilan, ketidak-berdayaan, dan mimpi-mimpi untuk hidup lebih baik suatu hari nanti.

 

Pak Bejo membentak istrinya :

-hari ini sepi!.

Mbok bejo tak mau kalah :

-anak-anak minta baju seragam!

Pak Bejo juga :

-aku sudah keliling kota

  aku sudah kerja keras

  tapi kalah dengan bis kota

  hari ini aku cuma dapat uang setoran.

Mbok Bejo tak mau mendengar

Mbok Bejo tetap marah

Mbok Bejo tetap ngomel

Pak bejo kesal

Nyaut sarung kabur ke warung

Nenggak Ciu-bekonang

 

(Wiji Thukul – Balada Pak Bejo).

 

Wiji lalu menikah dengan Mbak Sipon, seorang buruh pabrik Moto, anak seorang tukang barang bekas. Sambil membuka usaha jahit (yang beliau bilang paling murah di kampungnya), puisi-puisi beliau mulai mendapat tempat di masayarakat yang lebih luas. Semenjak kumpulan Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain.. diterbitkan oleh Taman Budaya Solo, para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat mulai terbakar oleh puisi-puisi Wiji Thukul. Mereka kini punya rumusan kata-kata untuk diteriakkan di hadapan para petugas bersenjata yang akan balas berteriak “subversif!”.

 

Bersama anak-anak kampung beliau menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak. Dia pun pernah menjadi fasilitator workshop teater untuk buruh-buruh perkebunan di Sukabumi, buruh di Bandung, Jakarta dan di kampung-kampung.Tahun 1988 beliau pernah menjadi wartawan media Masa Kini, meski cuma tiga bulan. Puisi-puisi beliau diterbitkan dalam media cetak dalam dan luar negeri: Suara Pembaruan, Bernas, Suara Merdeka, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan juga di penerbitan-penerbitan mahasiswa seperti Politika (UNAS), Imbas (UKSW), Pijar (UGM), Keadilan (UII), begitu pun berbagai buletin LSM. meski begitu, lebih banyak lagi karya-karya beliau yang diterbitkan sendiri ataupun oleh kawan dan para pengagum dalam bentuk stensil fotokopian.

 

Beliau lalu aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), jaringan pekerja seni budaya yang memiliki agenda membentuk jaringan kebudayaan terkecil pada sanggar seni di basis buruh dan petani di kampung-kampung yang belum terjamah oleh dewan-dewan kebudayaan yang menjadi elitis di kota besar sehingga tak menjamah kebutuhan kekaryaan pekerja seni lapisan bawah bersama Moelyono, Semsar Siahaan, Raharjo Waluyo Djati, Hilmar Farid,Linda Christanty dan masih banyak lagi aktivis lainnya. Gerakan ini merupakan anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

 

Puisi-puisi menyeret Wiji Thukul ke makin masuk ke pergerakan. Pada 1992 beliau ikut menyusun demonstrasi warga memprotes pencemaran lingkungan kampungnya oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo, dimana gebukan polisi pertama dialaminya. 1995, saat ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex, beliau nyaris kehilangan penglihatan mata kanannya akibat dibenturkan ke mobil oleh aparat kepolisian. Padahal belum genap setahun sebelumnya ia dipukuli aparat saat aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Wiji Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

 

Kami rumput

Butuh tanah

Dengar!

Ayo gabung ke kami

Biar jadi mimpi buruk presiden!

 

(Wiji Thukul – Nyanyian Akar Rumput)

 

Kerusuhan 27 Juli 1996 menghancurkan pergerakan, PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintah. Periode itu, hingga 1998, menjadi periode kelam bagi PRD khususnya, dan pergerakan anti-Orde Baru pada umumnya. Banyak aktivis dipenjara maupun dihilangkan paksa. Yang masih belum tertangkap atau hilang berusaha menyembunyikan berkas dan objek apapun yang mengkaitkan mereka dengan pergerakan. 10 Agustus 1996, Budiman Sudjatmiko dan pengurus lain ditangkap dan ditahan. Kepemimpinan partai diambil alih sebuah komite tertutup. Taktik perjuangan berubah menjadi bawah tanah, sementara siluman-siluman memburu, berlomba membawa para aktivis menuju dunia lain, dimana tidak ada yang harus dilawan dan digulingkan. Sejak saat itu Wiji Thukul terus bersembunyi.

 

Komunikasi beliau dengan rekan-rekan aktivis dilakukan via internet. Pada awal 1997 puisi-puisi beliau beredar di internet, dimana yang  tertangkap dari puisinya adalah kesan murung dan kontemplatif, meski masih bernada protes sosial. Situasi pelarian dan rasa terasing terlihat dalam sajaknya yang bertutur soal-soal sepele, seperti berebut ikan dengan seekor kucing atau membeli pakaian loak. Belakangan diketahui Wiji Thukul tinggal selama setengah tahun di Kalimantan selama periode ini sebelum beliau kembali ke Jakarta dan mulai menggalang lagi koordinasi dengan rekan aktivis yang tersisa.

 

Kalau kelak anak-anak

Bertanya mengapa

Dan aku jarang pulang

Katakan

Ayahmu tak ingin jadi pahlawan

Tapi dipaksa menjadi penjahat

Oleh penguasa

Yang sewenang-wenang

Kalau mereka bertanya

“Apa yang dicari?”

jawab dan katakan

dia pergi

untuk merampok haknya

yang dirampas dan dicuri

 

(Wiji Thukul – Catatan)

 

Namun ketika November itu pula beliau memohon ijin kepada rekan-rekan aktivis untuk pulang kampung. Salah satu yang terakhir ditemuinya adalah Jaap Erkelens. 25-27 Desember 1997 Wiji Thukul masih bertemu dengan Istinya bersama kedua anaknya di Kaliurang, Yogyakarta. Istrinya sempat beliau antar ke Stasiun Tugu untuk kembali ke Solo. Saat itu beliau hanya bicara: “Wis kono gek bali lan ati-ati karo anakmu” (sudah kamu cepat pulang dan hati-hati dengan anakmu). Pada Februari 1998 beliau masih bertemu dengan seorang seniman di kota Magelang. 19 Februari 1998 menghubungi keluarga melalui telepon. Ini adalah komunikasi terakhir keluarga dengan beliau. Sekitar Maret – April 1998 beliau masih bertemu dengan Staf Komunitas Utan Kayu di Kantor ISAI Jakarta juga sempat makan bakso bersama-sama disekitar by-pass, jalan Pemuda Jakarta. Sejak itu keberadaan Wiji Thukul sudah tidak pernah terlacak lagi. Hilang, bersama pedang kata-kata yang dulu terhunus.

 

Dengan segala pencapaian dan perjuangannya, Wiji Thukul layak mendapat tempat di ingatan umum masyarakat Indonesia. Saya dengan tulisan ini berusaha menceritakan ulang hasil apresiasi saya terhadap perjuangan dan karya-karya beliau. Mungkin Wiji Thukul tak punya warisan harta untuk anak istrinya yang tetap susah, tapi dia punya warisan yang sangat berharga yang harus kita ingat, kepalsuan hanya akan mendatangkan kebisuan. Untuk bisa berbicara, kejujuran harus ditegakkan.

 

Selamat ulang tahun pak, semoga semua harapan anda tercapai.

 

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

 

(Wiji Thukul – Peringatan)

 

 

 

Sumber :

 

  • Budiman, Arief. 1994. Wiji Thukul Penyair Kampung (Pengantar). Dimuat di Manus Amici. 1994. Mencari Tanah Lapang, Puisi Wiji Thukul. 
  • Wiji Thukul. 2004. Aku ingin jadi peluru: sajak-sajak. Magelang : Indonesia Tera. Dimuat di http://books.google.com/books?id=viLv4Fh7nhgC&printsec=frontcover&source=gbs_atb#v=onepage&q&f=false. Diakses 23 Juli 2011.
  • Andreas Purwanto. 2007. Perkenalan Singkat Dengan Wiji Thukul. Dimuat di http://andreasap.multiply.com/journal/item/215/perkenalan_singkat_dengan_Wiji_Thukul. Diakses 23 Agustus 2011.
  • Anonymous. Wiji Thukul dan Orang Hilang. Dimuat di http://www.ikohi.or.id/g13/wiji-thukul-dan-orang-hilang/#more-318%27. Diakses 23 Agustus 2011.
  • Christanty, Linda. 2001. Seorang Kawan, Wiji Thukul. Dimuat di http://arusbawah20.wordpress.com/2010/08/23/seorang-kawan-wiji-thukul/#more-77. Diakses 23 Agustus 2011.
  • Siaran Pers KONTRAS No: 7/SP-KONTRAS/II/2000 Tentang Hilangnya Wiji Thukul.
  • Wiji Thukul (Profil Penulis). 1994. Dimuat di Manus Amici. 1994. Mencari Tanah Lapang, Puisi Wiji Thukul.
  • Jaringan Kerja Kesenian Rakyat. Dimuat di http://id.wikipedia.org/wiki/Jaringan_Kerja_Kesenian_Rakyat. Diakses 23 Agustus 2011.

 

Oleh : Indra Pratama

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑