Oleh : M.Ryzki Wiryawan
SUNDA NGAHIJI
Muga sing mulus
muga sing banglus
nembongkeun daya
nembongkeun jaya
anaking sing panjang-punjung
aranjeun sing nanjeur nanjung
makayakeun urang sunda
nyabak hanca nu katunda
Kolot mihape
rame ing gawe
ka hareup djeujeuh
ka tukang mejeuh
jadi hulu mangka nyanggut
mangka ngepot lamun buntut
ciriwanci ati hurip
cadu ngandung jawi laip
(Majalah sunda – Kandaga Kasustran Sunda, MA Salmun)
Dalam beberapa acara diskusi tentang kesundaan, selalu saja dikemukakan permasalahan utama yang menghambat kemajuan orang Sunda, salah satunya adalah sulitnya menyatukan orang-orang Sunda dalam satu wadah. Ada banyak analisis yang mencoba mencari penyebab kecenderungan ini, namun ada baiknya kita sedikit meninjau sejarah, sejauh mana usaha urang Sunda untuk bersatu dalam suatu wadah/organisasi pergerakan, dan apakah benar bahwa elit-elit Sunda sulit untuk dipersatukan? Oleh karena itu dalam tulisan ini sy akan mencoba mengupas sedikit sejarah organisasi kesundaan mulai dari Paguyuban Pasundan hingga yang terbaru, Badan Musyawarah Masyarakat Sunda. Dari tulisan kecil ini diharapkan akan ditemukan pola-pola positif tertentu dalam sejarah pergerakan organisasi Sunda yang dapat diaplikasikan guna mendukung kemajuan organisasi kesundaan modern.
Masa Pergerakan – Paguyuban Pasundan
Di masa-masa pergerakan politik melawan penjajah di awal abad -20, Organisasi Kesundaan paling terkenal yang mencoba untuk memberi sumbangsih dalam perjuangan kemerdekaan adalah Paguyuban Pasundan. Sepertihalnya Budi Utomo, Organisasi Paguyuban Pasundan lahir dalam lingkungan pribumi elit yang bersekolah di STOVIA. Dari sini, organisasi-organisasi kesundaan turut modern mengikuti pola tersebut, yaitu selalu berasal dari kalangan elit/menak. Pengagas pendirian Paguyuban Pasundan sendiri adalah DR. Raden H. Djoendjoenan beserta beberapa murid STOVIA asal Sunda lainnya, yang kerap mengadakan pertemuan – pertemuan di antara waktu senggang pelajaran. Pada awalnya ide pembentukan organisasi ini muncul dilandasi oleh kekecewaan akibat kurangnya perhatian Budi Utomo terhadap kepentingan orang Sunda. Dalam pertemuan itu sempat dikemukakan siapa yang nantinya akan mengepalai organisasi ini, ada yang menyebut R. Iskandar Brata, sebagian mendukung D.K. Ardiwinata Ardiwinata, dan lainnya mengajukan R. Emoeng Poerawinata.
D.K. Ardiwinata
Obrolan-obrolan tersebut berujung pada sebuah rapat yang dilakukan murid-murid STOVIA serta tokoh-tokoh Sunda di Jakarta di sebuah rumah di gang Paseban Jakarta, yaitu kediaman D. K. Ardiwinata, seorang tokoh Sunda terkemuka. Dalam pertemuan tersebut akhirnya disepakati untuk mendudukan D.K. Ardiwinata sebagai ketua dari organisasi “Pagoejoeban Pasoendan” ini. Adapun pengurus dari organisasi adalah sebagai berikut :
Ketua : Daeng Kandoeroean Ardiwinata (Hoofdredacteur bij de Commisie van de Volkslectuur)
Wakil Ketua : Dajat hidayat (Murid STOVIA)
Sekertaris I : R. Iskandar brata (Pegawai Firma tiedeman en van Kerchem)
Sekertaris II : R. Emoeng Poerawinata, (Schrijver bij de Commisie voor de Volkslectuur)
Bendahara : R. Koesoema Soedjana (Murid STOVIA)
Para komisaris : R. Djoendjoenan (Murid STOVIA), M. Iskandar (Murid STOVIA), M. Ardiwangsa (Hoofdschatter Gouverments Pandhuis Pasar Senen), M. Sastraprawira) Onderwijzer Inladsche School II Gang Kelinci)
Di pertemuan yang diadakan pada hari Minggu tanggal 20 Juli 1913 itu juga disepakati juga bahwa sifat keanggotaan untuk Pagoejoeban Pasoendan tidak hanya bagi orang Sunda, melainkan juga terbuka untuk semua orang pribumi lainnya. Dapat dilihat dari anggaran dasarnya yang disahkan pemerintah berdasarkan keputusan no. 46 tanggal 9 Desember 1914 pada pasal 5 yang menyebutkan “Gewone leden, uitsluitend inlanders” (Anggota biasa, hanya orang pribumi). Oleh karena itu bisa dilihat keunggulan organisasi ini dibandingkan Budi Utomo yang lebih ekslusif. Ketua PP sendiri, Daeng Kandoeroean Ardiwinata, bukanlah seorang Sunda asli dilihat dari namanya yang mengandung unsur Bugis. Salah satu anggota PP lain, Hoesni Thamrin, yang kelak akan mendirikan perkumpulan sendiri, juga bukan orang Sunda asli. Bahkan dalam perjalanannya, PP berhasil mendirikan cabang-cabang di Surabaya dan Palembang.
Perkembangan tersebut bukan berarti PP tidak menghadapi permasalahan. Dalam salah satu suratnya yang bertanggal 17 September 1964 dalam rangka memperingati 50 tahun Haul Paguyuban Pasundan, DR. Raden haji Djoendjoenan menyebutkan bahwa “Yang paling hebat menyerang Paguyuban Pasundan dalam rapat-rapat adalah anggota-anggota Budi Utomo. Terutama saudara Alimin. Tapi jangan diributkan. Siapa tahu nantinya bisa menguatkan tujuan bersama”.
Berdasarkan putusan no. 72 Tanggal 13 Juni 1919, Paguyuban Pasundan merubah anggaran dasar untuk menjadi perkumpulan politik. Terjadi perubahan pengurus, posisi yang tadinya dijabat D.K. Ardiwinata digantikan R. Poeradireja, kemudian dilanjutkan oleh R. Soeria di Radja, serta R. Otto Koesoemabrata. Pada masa kepemimpinan R. Poeradiredja (1921-1924) PP mulai menempatkan perwakilannya di Volksraad,yaitu R. Kosasih Soeratakoesoemah, seorang Guru pertanian dari Bandung.
Ketika R. Otto Kooesoemabrata menjabat ketua PP, beliau turut diangkat sebagai anggota Volksraad. Ketika melepaskan jabatan ketua PP, sisa masa kepemimpinannya dilanjutkan oleh R. Idih Prawira di Poetra. Setelah itu barulah tampuk ketua diisi oleh R. Otto Iskandar di Nata. Dalam kepemimpinannya, ketika kantor pusat masih terletak di Petodjodwarsweg (Batavia), jabatan pengurus PP diisi oleh : Atik Soeardi (Wakil ketua), Moehammad Moehjiddin (Sekertaris), Pradjakoesoemah (Bendahara), R. Loekman Dajadiningrat, R. Moehammad Enoch, R. Enoeh dan R. Ahmad Atmadja (Komisaris). Beberapa waktu kemudian posisi sekertaris digantikan oleh Ir. R. Djoeanda, R. Enoeh oleh E. Soeparman, sedangkan Komisaris ditambah S. Soeradiredja. Ketika kantor pusat Paguyuban Pasundan dipindahkan ke Bandung (Dalem Kaumweg), susunan pengurusnya pun berubah. Ketua tetap R. Otto Iskandar di Nata, Wakil ketua : R.S. Soeradiradja, Sekertaris : Ir. R. Oekar Bratakoesoemah, Bendahara : Wiriaatmadja. Komisaris : R. Moehammad Enoch, R. Loekman Djajadiningrat, E. Soeparman dan R. Ahmad Atmadja.
Oto Iskandar di Nata
Masih dalam kepemimpinan Otto Iskandar di Nata, Paguyuban Pasundan mencapai puncak perjuangan politiknya ditandai dengan berhasil masuknya wakil-wakil PP dalam dewan rakyat dari tingkat pusat hingga provinsi. Bidang pendidikan juga turut mengalami kemajuan setelah sebelumnya perintisan pendirian sekolah telah dimulai di awal tahun 20’an, antara lain H.I.S. (1922) dan M.U.L.O (1928) di Tasikamalaya. Perkembangan ini dilanjutkan dengan pendirian satu lagi H.I.S. di Tasikmalaya dan Bandung, Schakelschool di Kuningan dan Sukabumi, Inheemsche Muloschool dan sekolah Dagang di Bandung dll. Di tahun 30’an, sekolah Paguyuban Pasundan menyebar cepat ke berbagai kota, kawedanan, hingga kecamatan-kecamatan se-Jawa Barat. Bagian khusus yang mengurusi pendidikan ini kemudian bernama Bale Pamulangan Pasundan yang dipimpin oleh Ahmad Atmadja.
Di bidang ekonomi, tahun 1934 didirikan Bank Pasundan yang kemudian berkembang menjadi Bale Ekonomi Pasundan yang dipimpin oleh R.S. Soeradiradja. Di bidang politik, organ PP yang khusus menangani ini pertama disebut Papaes Nonoman yang kemudian diganti menjadi “Pasundan”. Tanggal 20 April 1923, organ politik cabang Tasikmalaya mulai mengeluarkan mingguan Sipatahoenan. Pada tahun 1931, kantor Sipatahoenan dipindahkan dari Tasikmalaya ke Bandung, bertempat di percetakan “Pengharepan” di Oude Kerkhofweg (banceuy), yang kemudian pindah lagi ke Groote Postweg (Jl. Asia Afrika). Setelah tiga tahun, pengurus pusar PP lantas mendirikan “Gebouwen Complex Sipatahoenan’ di jalan Moskeeweg no. 42. Ketua PP berkantor di lantai atas bangunan tersebut, sedangkan percetakan “Pengharepan” di no. 44, dan Kantor pengurus pusat di No. 46. Dari kompleks bangunan inilah kemudian diterbitkan harian “Sepakat” yang berbahasa Indonesia. Bidang-bidang Paguyuban Pasundan kemudian meluas lagi dengan didirikannya organ Adviesbureau, Reclasseering, Raksa Perlaya dan Pemuda Pasundan.
Volksraad
Pada tanggal 30 April 1930 didirikanlah badan yang lain, bernama Pasundan Istri di Gedung Himpunan Saudara, di jalan Moskeeweg (Dalem Kaum) Bandung. Ketuanya adalah Emma Poeradiredja (anak dari R. Poeradiredja), Sekertaris – Emma Somanagara, Sekertaris II – Komanah Sarkawi, Bendahara – Oetari Satjadidjaja, Anggota – Salsih Woelan (Istri Dokter Djoendjoenan), Kasomi Atmadinata (Istri Atmadinata), Neno Ratnawinadi (Anak D.K. Ardiwinata), Haningsih Marahdjani, Oeboes Satjadidjaja, dll.
Pasundan Istri adalah organisasi pertama yang mendorong pemerintah supaya memberikan hak memilih dan dipilih kepada kaum wanita. Walau sulit, pada 1938 akhirnya pemerintah memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk duduk di dewan kotamadya (Stadsgemeenteraden). Pada tanggal 23-27 Juli 1938, Ny. Emma Poeradiredja diamanahkan memimpin Kongres Perempuan Indonesia yang membahas :
1. Hak Pilih Wanita
2. Pelacuran di Indonesia3. Kedudukan wanita dalam pernikahan
4. Kedudukan pekerja wanita
5. Pendidikan pemuda-pemudi Indonesia.
Kongres ini memutuskan untuk terus mendesak pemerintah guna memberikan hak pilih wanita serta merancang panitia khusus yang memperbaiki kedudukan hukum pernikahan bagi wanita, dipimpin oleh Ny. Sri Mangoensarkoro.
Pada akhir tahun 30’an, jumlah perkumpulan wanita di Indonesia mencapai puncaknya yaitu 160 buah. Tapi dari sebanyak itu hanya Pasundan Istri-lah yang berhasil tergabung dalam G.A.P.I. (Gabungan Politik Indonesia). Di masa itu juga, Pasundan Istri juga berhasil membangun 28 buah cabang dan 3 ranting. Dari semua itu Cabang Bandung dan Tasikmalaya merupakan yang paling besar.
(…Bersambung)