Month: July 2011

Gedung Konperensi Asia-Afrika Bandung, Kisahnya di Masa Lalu

Oleh : Arya Vidya Utama

Kemarin, atau tepatnya hari minggu kemarin, saya dapet tugas (halah) buat memandu beberapa orang mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia untuk lebih mengenal bagaimana Bandung di masa lalu. Berhubung materinya masih nempel  di kepala, mending dituang disini aja, sekalian berbagi.

Di postingan ini, saya menjelaskan mengenai awal mula bangunan yang kita ketahui sebagai Gedung Konprensi Asia Afrika. Awalnya hanya ada bangunan yang berdiri di sebelah barat, bernama Societeit Concordia, yang berada di Bragaweg. Bentuknya pun belum seperti yang sekarang, masih seperti ini. Dibangun pada tahun 1895.

(gambar diambil dari http://dieny-yusuf.blogspot.com, terima kasih)

Gedung ini merupakan tempat berkumpulnya para preanger planters, preanger merupakan sebutan Priangan, daerah Bandung dan sekitarnya. Preanger planters merupakan para pengusaha perkebunan di daerah Bandung dan sekitarnya. Mereka berkumpul di tempat ini biasanya untuk sekedar minum-minum, bersosial, dan berbincang berbagai macam hal.

Baru pada tahun 1941, arsitek asal Belanda, A.F. Aalbers, merubah bentuknya menjadi melengkung.

(gambar diambil dari http://dieny-yusuf.blogspot.com, terima kasih)

Wilayah ini juga menjadi simbol rasialisme Belanda di masa itu. Di Bioskop Concordia (sekarang Majestic) pernah terdapat tulisan “Verbodden voor Honden en Inlander”, artinya “Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”. Mengapa Belanda dulu tega menyetarakan pribumi dengan anjing? Karena dulu pribumi itu sangat jorok. Buang sampah sembarangan, buang air besar maupun besar dimana saja, sehingga menimbulkan kesan jijik bagi para orang Belanda.

Bahkan orang indo, blasteran Indonesia-Belanda pun tidak diterima disini. Walaupun demikian, pribumi terkemuka seperti bupati Bandung dan pribumi terhormat bisa masuk ke sini.

Karena mereka membutuhkan juga hiburan seperti musik dan sandiwara, maka dibangunlah gedung di sebelah timur, yang dinamakan Schowburg (Gedung Pertunjukkan), pada tahun 1921 oleh C.P. Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda kelahiran Banyubiru.

(gambar diambil dari http://dieny-yusuf.blogspot.com, terima kasih)

Karena para preanger planters ini sangat kaya, mereka mampu mendatangkan para pemain drama atau musisi dari Eropa langsung untuk bermain di Schowburg. Kalau saya tidak salah, Ismail Marzuki pernah konser di gedung ini atas undangan para preanger planters (Ralat: ternyata Ismail Marzuki hanya sebatas diundang saja, namun enggan datang kesini). Selain itu, gedung ini juga mempunyai fungsi untuk sebagai tempat dansa.

Fungsinya tidak banyak berubah pada saat masa kependudukan Jepang, gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.

Pada tahun 1955, bertepatan dengan tahun penyelenggaraan Konprensi Asia-Afrika, oleh Ir. Soekarno, nama Schowburg diubah menjadi Gedung Merdeka yang menjadi ruangan konprensinya, sedangkan jalan yang menghadap gedung ini diganti menjadi Jalan Asia-Afrika, dari sebelimnya Jalan Raya Timur. Ssoekarno ingin “mendobrak” keadaan masa lalu gedung ini, dimana dulu kedua belah bangunan ini merupakan simbol rasialisme dari kolonialisme di Indonesia.

Pada tahun 1980, oleh presiden kedua kita Soeharto, bangunan ini diresmikan sebagai Museum Konprensi Asia Afrika, hingga sekarang ini fungsinya masih sebagai museum.

Sebenarnya masih ada objek lain lagi yang bisa diceritakan dari perjalanan pemanduan kemarin, cuma akan saya buat menjadi serial, lumayan buat bikin blog lebih penuh :D

SMAK Dago/Lyceum, Riwayatmu Dulu

SMAK Dago atau lebih dikenal sebagai Lyceum, pada awalnya merupakan villa milik seorang pengusaha Cina. Setelah beralih fungsi menjadi sekolah Christelijk Lyceum di awal abad 20, bangunan kemudian direnovasi oleh arsitek Y.S. Deyvis (1939) dan terakhir oleh A.W. Gmelig Meijling (40’an).. Lyceum diakuisisi Jepang pada tanggal 30 September 1945. Oleh mereka bangunan tersebut diubah menjadi tempat kamp penampungan bagi perempuan dan anak-anak yang sakit.Seperti diperlihatkan gambar di atas, Pada Januari 1946 ketika Bandung utara menjadi kawasan sekutu, bangunan ini dijadikan rumah sakit, tercatat sekitar 161 pasien pernah dirawat di sana. Sekitar akhir tahun 50’an bangunan ini diambil alih oleh pemerintah, dan sepertihalnya bangunan milik pemerintah lainnya, bangunan ini berusaha untuk dikuasai keluarga cendana pada tahun 80’an dan masalah sengketanya masih berlangsung hingga sekarang,,, Selama beberapa dekade, gedung Lyceum juga pernah menjadi saksi perkembangan musik di Bandung,,,

Bangunan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, oleh karena itu kita perlu melindunginya dari segala tindakan yang mengancam keberadaanya..

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Sketsa Borobudur Maclaine Pont

Sejauh yang saya tahu, tidak ada arsitek Nusantara selain Maclaine Pont yang benar-benar menaruh perhatian tinggi terhadap kekayaan budaya Nusantara. Beliau memang tidak banyak mendirikan bangunan, namun sumbangan terbesarnya adalah usahanya dalam menemukan jati diri arsitektur indis. Salah satu mahakaryanya yang didirikan di Bandung adalah bangunan Aula Barat Timur di Komplek ITB.

Sketsa Borobudur di atas dibuat Maclaine Pont semasa meneliti bangunan-bangunan Candi di Jawa tengah di awal abad-20. Maclaine Pont menunjukan apresiasinya yang luar biasa terhadap peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara terutama kompleks ibukota Majapahit di Trowulan dan berbagai Candi yang tersebar di Jawa Tengah. Minatnya yang tinggi terhadap kebudayaan nusantara ini bahkan membuatnya tidak hanya dikenal sebagai arsitek melainkan juga sebagai arkeolog.

Masih adakah arsitek yang menaruh perhatian sedemikian tinggi terhadap budaya Nusantara saat ini ?

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Gatot Mangkoepradja

Oleh : R.Indra Pratama

Ketika pagi saya tadi ziarah ke makam Mbah Kakung dan Mbah Putri serta Mbah Buyut di TPU Sirnaraga, saya melewati makam ini. Saya inget2 namanya kok familiar.. ternyata inilah salah satu dari empat sekawan aktivis PNI yang diperkarakan. Yang kelak atas perkara inilah Soekarno menyampaikan pembelaan menggegerkan Indonesia Menggugat.

Gatot Mangkoepradja muda

Gatot Mangkoepradja lahir pada hari natal tahun 1898 di Sumedang, berasal dari keturunan yang cukup terpandang di kota Sumedang. Ayahnya, Saleh Mangkoepraja, adalah dokter pribumi pertama di Sumedang. Gatot, yang kemudian bersekolah di Bandung, sempat menjadi simpatisan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging, kemudian berganti menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922) yang berbasis di Belanda namun pemikirannya sampai pula di tanah air dan memperoleh banyak simpatisan. Gatot menjadi salah satu aktivis awal Partai Nasional Indonesia, yang dibentuk oleh Ir.Soekarno pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Beliau pun menjadi salah satu aktivis partai yang dipercaya menemani para propagandis utama partai seperti Soekarno maupun Ali Sastroamidjojo.

Poster Propaganda PNI

Aktivitas PNI sendiri dengan cepat menjadi sangat masif dengan banyak sekali simpatisan baik di Bandung maupun di berbagai daerah diluar Bandung, terdaftar 6000 anggota di awal tahun 1929. Penggemukan kuantitas anggota dan simpatisan ternyata berbanding lurus dengan haluan politik PNI yang makin revolusioner dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Pergerakan PNI dan kelompok-kelompok politik lain yang makin banyak memiliki pengikut dengan sifat yang makin radikal memaksa pemerintahan kolonial dibawah Gubernur Jendral de Graeff melakukan tindakan represif pada kegiatan-kegiatan dan para pegiat politik. Korban pertama adalah Mr.Iwa Koesoemasoemantri yang ditangkap dan dipenjara di Medan, lalu tujuh orang pemimpin Sarekat Kaoem Boeroeh ditangkap di Surabaya. Para aktivis PNI pun sadar, cepat atau lambat gelombang aksi ini akan menimpa mereka, namun mereka memilih untuk tetap beraksi sebagaimana biasa.

Para Pendiri PNI

Dalam masa itu, Gatot akhirnya memperoleh gelombang hantamannya dalam sejarah pergerakan. Dalam sebuah mobil taksi milik Bpk.Suhada yang dicarter, Gatot dan Soekarno sedang berbincang dalam perjalanan mereka menuju Solo,dan kemudian Jogja,  guna menghadiri dan berpidato di rapat umum setempat. Mereka berdua sempat berdiskusi tentang nasib para pemimpin pergerakan dalam kondisi serba ketat seperti waktu itu. Soekarno bercerita pada Gatot tentang para pemimpin yang dibuang ke Boeven Digul dan tempat-tempat mengerikan lain, ataupun dipenjara di penjara lokal, dan bahkan yang dihukum mati. Soekarno bercerita pula tentang salah seorang pemimpin pergerakan di Ciamis yang akan dihukum mati yang pernah menitipkan surat untuknya. Surat tersebut berbunyi :

Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung. Saya meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung Karno akan melanjutkan peperangan ini yang merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua kami yang sudah mendahului sebelum perjuangan itu selesai.

Gatot dan Suhada yang mendengarkan hal itu terdiam. Sesuatu telah menancap di dada mereka.

Ketika Gatot dan Soekarno sedang berkeliling untuk menghadiri beberapa rapat umum di Solo dan Jogja, tanggal 24 Desember 1929, pemerintah mengeluarkan perintah untuk menggeledah rumah para pemimpin beberapa gerakan politik, terutama para pemimpin PNI. Tanggal 29 perintah itu dijalankan, di Jakarta 50 rumah aktivis digeledah, di Bandung 41 rumah, dan di Jogja 35 rumah. Gatot yang bersama Soekarno sedang bermalam di rumah Suyudi, salah seorang aktivis PNI di Jogja, tentunya tak luput dari penyergapan.

Gatot lah yang membukakan pintu ketika para petugas menggedor rumah Suyudi. Di saat para petugas masuk, Gatot sadar, bahwa inilah saatnya, perjuangan telah mendapat ujiannya. Gatot dan Soekarno segera dimasukkan ke mobil petugas, dan dalam penjagaan konvoi ketat, dibawa menuju penjara Margangasan. Kemudian karena tidak dianggap berbahaya, petugas membebaskan Suhada. Namun Gatot dan Soekarno harus menginap semalam di penjara yang digambarkan Soekarno sebagai ‘ penjara untuk orang gila’ tersebut, sebelum besoknya dibawa menuju stasiun, untuk naik kereta menuju Bandung. Tanggal 30 Desember mereka berdua dinaikkan kereta yang menuju Bandung. Namun ternyata mereka diturunkan sebelum Bandung, yaitu di Stasiun Cicalengka, dengan tujuan agar di Bandung tidak terjadi kehebohan massal yang bisa menyulitkan penjagaan. Setelah turun dari sedan yang membawa mereka menuju Bandung, Gatot menyadari, ia akan menemani pemimpinnya yang tercinta di tempat yang baru : Rumah Penjara Banceuy.

Penjara Banceuy

Gatot dimasukkan dalam sel nomor tujuh, sementara Soekarno ada di sel nomor lima. Esok paginya dua orang aktivis PNI, Maskoen dan Supriadinata, menyusul menghuni sel nomor sembilan dan sebelas. Sel itu lebarnya hanya satu setengah meter, dimana sudah termasuk ruang untuk tidur, dan tempat untuk buang hajat. Namun hal itu tidak menghalangi ‘kreativitas’ para pahlawan ini, dengan sedikit negosiasi dengan penjaga, Inggit Garnasih dan kawan-kawan lain berhasil menyelundupkan surat kabar dan buku kedalam penjara. Soekarno, yang mendapat suplai itu pertama, kemudian mempunyai akal untuk menyampaikan buku dan surat kabar itu ke kawan-kawannya, maka dengan menggunakan tarikan benang jahit, ia berhasil mengoper buku dan suratkabar ke sel Gatot, Maskoen dan Supriadinata. Soekarno yang kesepian juga meminta Gatot menceritakan kisah-kisah wayang dari buku-buku selundupan, dan rupanya kisah-kisah heroik dari dunia perwayangan mampu menjadi suntikan semangat bagi mereka.

Sel nomor lima yang tersisa dari pengahncuran Penjara Banceuy

Tanggal 18 Agustus 1930, setelah delapan bulan di tahanan, Soekarno, Gatot, Maskoen dan Supriadinata dihadapkan ke persidangan di Landraad Bandung. Mereka dituduh melanggar pasal 169 dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menyalahi pasal 161, 171, dan 153. Mereka secara formal dituduh ‘mengambil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan…. usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda’. Dalam sidang itulah, Gatot bersama semua manusia yang hadir saat itu dihadapkan pada sebuah pemebelaan maha dahsyat dari Soekarno, Indonesia Menggugat. Namun Indonesia Menggugat yang tak terbantahkan, tetap dibantah oleh hakim, Gatot mendapat hukuman 2 tahun 8 bulan. Sedangkan Soekarno 4 tahun, dan Maskoen dan Supriadinata masing-masing 1 tahun 3 bulan.

Para Tersangka

Dalam masa penahanan mereka, PNI dibubarkan. Para aktivis mulai membentuk gerakan-gerakan baru. Mr. Sartono membentuk Partai Indonesia (Partindo) yang mengusung nasionalisme PNI, dan Moehammad Hatta membentuk PNI-baru. Setelah bebas dari hukuman (plus revisi), Gatot dan Maskoen ditugaskan Soekarno membendung pertentangan antar aktivis ini. Namun Gatot dan Maskoen rupanya tidak sanggup membendung perpecahan ini. Setelah menimbang beberapa lama plus diskusi dengan Hatta, Soekarno dan Gatot bergabung dengan Partindo, karena merasa secara idealisme Partindo lebih dekat dengan PNI lama. Soekarno pun terpilih menjadi ketua Partindo pada 28 Juli 1932. Namun ketika Soekarno dibuang ke Ende tahun 1933, Partindo pun melemah, dan itu mengecewakan Gatot, yang bersama Maskoen akhirnya pindah ke PNI -baru.

Sepanjang sisa dekade 30-an, PNI-baru, yang juga dikenal sebagai PNI Pendidikan, fokus pada program membangun sumber daya manusia Indonesia. Saat Hatta dan Sutan Syahrir diasingkan ke Boeven Digul pada Februari 1934 plus dibubarkannya PNI Pendidikan setelahnya, Gatot pun meneruskan program PNI Pendidikan.

Dipulangkannya Soekarno ke Pulau Jawa pada tahun 1942, bersamaan dengan pendudukan Jepang di Hindia,membuat Gatot terlibat lagi dalam pusaran elit pergerakan. Soekarno, Hatta dan para elit pergerakan dimanfaatkan oleh Jepang untuk menarik simpati rakyat, guna melanggengkan kekuasaannya di Hindia. Mereka diberi perintah untuk mempropagandakan Gerakan 3 A, yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia. Gatot pada mulanya menolak untuk ambil bagian, dan membuatnya sempat dipenjara oleh Kempeitai. Namun menyadari bahwa keterlibatan para elit pergerakan dengan Jepang adalah untuk mengambil manfaat bagi proses menuju kemerdekaan Indonesia, Gatot pun turut ambil bagian dalam usaha simbiosis (entah mutualisme atau parasitisme) ini.

Poster Propaganda Gerakan 3A

Bersama para ulama, ia ikut bagian dalam dukungan usulan pembentukan tentara sukarela yang berisikan tentara-tentara pribumi yang dilatih oleh Jepang. Bahkan ia turut menulis surat dengan stempel darah kepada Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang di Hindia) untuk mengusulkan tentara pribumi terlatih ini. Bagi Jepang, keberadaan tentara ini merupakan bukti kepada dunia luar bahwa pendudukan Jepang di Indonesia mendapat dukungan dari pribumi, sedangkan bagi kaum pergerakan, keberadaan tentara ini justru bisa menjadi senjata rahasia untuk mendapatkan tentara perjuangan yang terlatih pada saatnya kelak. Akhirnya Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai. Sejarah membuktikan tentara-tentara terlatih PETA berhasil menjadi senjata pergerakan yang sangat diandalkan, baik dalam masa sebelum kemerdekaan, maupun pada masa revolusi. Alumnus-alumnus PETA pula yang menjadi tonggak berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). (Untuk suratnya sendiri bisa dibaca di http://ourpast.wordpress.com/2008/12/20/surat-gatot-mangkoepradja/).

Bendera PETA

Tentara PETA sedang berbaris

Pasca kemerdekaan, Gatot kembali bergabung dengan PNI yang sudah dikomandoi Soekarno kembali. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada sekitar Pemilihan Umum tahun 1955 karena kecewa dengan keputusan partai bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan. Tahun 1962 ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sampai pada masa pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, Gatot bergabung dengan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI) yang didirikan oleh Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Aziz Saleh, dan beberapa tokoh lainnya tahun1954. Namun kiprah politik Gatot di IPKI tidaklah lama,tahun 1966 Gatot diberhentikan dari MPRS oleh Soeharto karena dianggap berafiliasi dengan komunisme dan Soekarno. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 Oktober 1968 Raden Gatot Mangkoepradja meninggal dunia di Bandung, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Sirnaraga Bandung

Sumber :

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta : Gunung Agung.

Koch, D.M.G. 1951. Menudju Kemerdekaan : Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai 1942. Jakarta : Jajasan Pembangunan Djakarta.

Parto, DJ. 2011. Raden Gatot Mangkoepradja Pahlawan yang (Tidak) dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (artikel). Dimuat di (http://www.radiolitafm.com/index.php?option=com_content&view=article&id=67:raden-gatot-mangkoepradja-pahlawan-yang-tidak-dimakamkan-di-taman-makam-pahlawan-&catid=8:liputan&Itemid=12). Diakses 16 Juli 2011.

Suryanegara, Ahmad Mansyur. 1996. Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan. Jakarta : Yayasan Wira Patria Mandiri.

Riwayat Hidup R.A.A. Wiranatakoesoemah V (Dalem Haji)

Riwayat Hidup R.A.A. Wiranatakoesoemah.Lahir di Bandung tanggal 23 November 1888. Setelah pada tahun 1910, beliau keluar dari kelas tertinggi di H.B.S. Jakarta, kemudian diangkat menjadi Jurutulis Kewadanan Tanjungsari (Sumedang).
Tahun 1911 diangkat menjadi mantri polisi di Kota Tasikmalaya
Tahun 1912 diangkat menjadi Wedana Cibereum (Tasikmalaya)
Tahun 1913 diangkat menjadi Bupati Cianjur
Tahun 1918 dipindahkan menjadi Bupati Bandung
Dalam tahun 1930 – 1934 meletakkan jabatan Bupati berhubung dengan diangkatnya menjadi Gedelegeerde di Volksraad
Tahun 1929 – 1935 memimpin perkumpulan para Priyayi Bestuur seluruh Indonesia yang memakai nama P.P.B.B.
Tahun 1934 iangkat kembali menjadi Bupati Bandung
Pada jaman penjajahan Jepang beliau tetap jadi Bupati Bandung dan menjadi Residen Priangan (Wakil Syutyookan)Pada pemerintahan Republik Indonesia, beliau terpilih mejadi Menteri Dalam Negeri (Direktur Dep. B.B.) di Jakarta dan kemudian diangkat menjadi “Dewan Pertimbangan Agung” di Jogjakarta (1945). Waktu beristirahat di Garut dengan tiba-tiba beliau sakit, sehingga untuk beberapa lama harus tinggal di Garut. beberapa bulan sebelumnya “Politionele actie” Beliau harus pulang ke Jogjakarta.
R.A.A Wiranatakusumah adalah salah seorang Bupati di Jabar yang pertama ditunjuk oleh pemerintah menjalankan “studireis” (tahun 1929) pergi ke Belanda untuk mempelajari soal “Ekonomi dan Koperasi” (boerenleenbanken).

Kedua kalinya beliau berangkat dengan verlof mengelilingi seluruh Eropa dalam tahun 1934 – 1935 atas kehendak dan biaya sendiri. Pada tahun 1924 Beliau pergi berziarah ke Tanah Suci (Makkah dan Madinah) pada ketika beliau mendapat anugrah dari Raja Arab Ibn. Saud bintang “Istiglah Kl. 1”.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Napak Tilas Konperensi Asia-Afrika ::: Sebuah petite histoire :::

 Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Bismillah, Goodspeed !

Ungkapan semangat tersebut kerap terlontar dari mulut kang Adew, sang tour leader dalam acara Napak Tilas Konperensi Asia Afrika yang diadakan tanggal 13 Juli kemarin. Suatu perjalanan yang sangat mengesankan dengan harga yang sangat terjangkau. Beruntung sekali saya bisa  ikut serta dalam kesempatan langka tersebut, dan sebagai  seorang aleuteurs yang budiman, rasanya berdosa sekali apabila saya nggak menuliskan apresiasi saya terhadap perjalanan kemaren,, Sedikit saja karena saya masih awam soal sejarah KAA, dan karena pastinya teman2 di KAA lebih ngerti soal itu. Jadi sy ngebahas sejarah2 kecil  lain aja seputar objek kunjungan, yang bahasa kerennya mungkin bisa disebut petite histoire.

Sejak subuh hari peserta sudah ngumpul di Gedung KAA dengan setelan batik layaknya peserta olimpiade sains. Tapi bukan itu tujuan kita, tujuan kita adalah menapaktilasi jejak Konperensi Asia Afrika ke beberapa objek di luar kota walau tanpa mengunjungi Colombo. Nah, Titik kunjungan pertama dan yang paling berkesan adalah kunjungan ke Istana Bogor. Mengenai sejarah Bogor sendiri,  mungkin bisa cekidot di notes sy yg lain (http://www.facebook.com/note.php?note_id=275108276033). Saya sebenernya nggak terlalu nyimak materi-materi dari sang Guide istana karena terkagum-kagum sama puluhan koleksi patung dan lukisan wanita yang ada di sana. Selera Bung Karno memang  M.A.N.T.A.P. (Sambil ngacungin Jempol).

Nah, Istana Bogor sendiri pada awalnya digunakan sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff yang dibangun pada pertengahan abad-18 dan mulanya disebut dengan “Heerenhuis of Bogor”. Sang Gubernur Jenderal  membeli seluruh kawasan Bogor tahun 1745 dan mengganti nama “Bogor” menjadi Buitenzorg yang berarti “tanpa kesusahan”, suatu nama yang boleh dikatakan sebagai mode saat itu sejak pembangunan istana “Sanssouci” di Postdam oleh raja Friedrich II dari Prusia. Perlu juga diketahui bahwa Kediaman asli Baron van Imhoff di Batavia  adalah yang saat ini dikenal sebagai “Toko Merah”.  Van Imhoff  sendiri merupakan salah satu sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berasal dari keturunan Jerman. Penggunaan Istana Bogor sebagai kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri sudah dimulai sejak masa pemerintahan Daendel dan Raffles di awal abad-19, sehingga pernyataan dalam handout   yang menyebutkan tahun 1870 sebagai masa awal  penggunaan Istana Bogor sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal mungkin kurang tepat kecuali apabila yang dimaksud adalah tahun 1770.

Jamuan Pesta dalam Istana Bogor

Di istana Bogor inilah dilakukan pertemuan lima perdana menteri tanggal 28 dan 29 Desember 1954 yang menghasilkan berbagai keputusan yang salah satunya menjadikan Bandung  sebagai lokasi pelaksanaan konferensi Asia-Afrika. Mengapa Bandung ? Om Ruslan Abdulgani dalam buku Bandung Connection sebennarnya telah memberikan jawaban bahwa Bandung memiliki gedung-gedung yang baik, fasilitas penginapan yang lengkap, dan tentunya seperti yang Pak Desmond sebutkan, hawa yang cukup dingin untuk menekan emosi. Mengenai waktu pelaksanaan KAA, Konferensi Bogor hanya memutuskan “In the last week of April 1955”, akan tetapi karena mempertimbangkan datangnya bulan ramadan dan faktor-faktor lain, diputuskanlah bahwa konferensi akan diadakan tanggal 18 April 1955.

Dari Istana Bogor perjalanan dilanjutkan ke Batavia untuk mengunjungi gedung Pancasila yang dulunya pernah jadi kediaman resmi panglima tentara Belanda (1830) dan Volksraad (1917), sekarang digunakan sebagai kantor Kemenlu. Sejarah Volksraad di diulas cukup lengkap dalam notesnya Indra Pratama (http://www.facebook.com/notes/indra-pratama/volksraad-sebagai-corong-perjuangan-menuju-kemerdekaan/10150255578349177). Sedikit info tambahan, kalo pembentukan Volksraad diajukan oleh menteri Jajahan, Pleyte kepada Raja Belanda yang kemudian disahkan tanggal 30 Maret 1917 dan mulai beroperasi tanggal 1 Agustus 1917. Pendirian volksraad merupakan jawaban atas kebutuhan politik saat itu untuk “mengakomodir” aspirasi kaum pribumi yang semakin menguat.  Selama penjajahan Jepang, Gedung ini digunakan oleh BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyosakai) untuk berkumpul dan bersidang dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sampai pada akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945 di gedung ini pula Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya yang berjudul “Lahirnya Pancasila” , sehingga kemudian gedung ini dinamakan Gedung Pancasila.

Selain terkagum-kagum dengan arsitektur gedung ini, saya juga terkagum-kagum dengan Public Relations Kemenlu yang cantik jelita M.A.N.T.A.P. (…Bapak Mbak pasti orang Kemenlu, karena  mbak telah mendiplomasikan hati saya…)

Gubernur Jenderal Tjarda tengah berpidato di hadapan Volksraad

Saya menginjak ruangan ini!

Perjalanan lanjut lagi ke rumahnya Pak Alm. Ruslan Abdulgani di jalan Diponegoro. Sempet juga lewat kantor pusat Ormas Nasional Demokrat di Gondangdia yang tepat di sebelahnya berdiri kantor parpol nasdem (gak penting)… Dalam lawatan singkat di rumah Pak Ruslan Abdulgani, rombongan disambut dengan sangat ramah oleh  keluarga almarhum. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah itu sambil jalan-jalan dan duduk-duduk, membayangkan memori sejarah yang pernah terjadi di sana. Rumah itu bagaikan sebuah mini museum, ada ratusan benda antik, ribuan koleksi buku, ratusan koleksi tongkat, dll. Perlu lebih dari beberapa jam untuk mengexplore seluruh sisi menarik dari isi rumah, tapi apa boleh buat waktu tidak mengizinkan.

Cak Ruslan Abdulgani

Ketika membayangkan Pak Ruslan Abdulgani, pikiran saya langsung teringat pada suatu kisah dalam buku beliau  “The Bandung Connection” yang sangat menarik. Suatu ketika setelah diadakan pembukaan KAA, hujan turun dengan derasnya di Bandung. Seorang pemimpin penjagaan Gedung Merdeka kemudian mendatangi Pak Ruslan Abdulgani di penginapannya di Hotel Trio.

“Pak, Lapor! Gedung Merdeka bocor. Di bagian ruang sidang pleno. Payah Pak! Basah di mana-mana. Air menggenang di lantai.”

Mendengar laporan tersebut, tanpa basa-basi Pak Ruslan Abdulgani langsung meluncur ke Gedung Merdeka bersama beberapa staffnya.

…Saya dan staf saya beserta belasan petugas-petugas lainnya terus memobilisasi lap-lap pel dan goni-goni dan ember-ember air yang ada. Sambil melepaskan celana, jas, kemeja, kaos kaki dan sepatu, dan hanya mengenakan celana dan kaos dalam saja kita semua mengepel lantai, mengeringkan kursi-kursi dan meja-meja dengan goni-goni dan lap-lap yang dapat menyerap air!…

Nah, Sekarang bayangkan beliau seorang pejabat sekelas Sekjen Kemenlu merangkap Sekjen KAA, ikut basah-basahan ngepel lantai Gedung Merdeka bersama staffnya demi mejaga keberlangsungan KAA. Pejabat2 jaman sekarang mana mau ngepel kayak gitu,  hebat lah kalo ada…  Tapi ada yang lebih mantap, dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang baik, Pak Ruslan Abdulgani mengorganisasi sebuah Hospitality Committe yang tugasnya menyediakan lady’s escort, kumpulan wanita-wanita yang menemani delegasi di waktu santai dan istirahat. Soekarno-lah yang kemudian memilih wanita-wanita ini dari kalangan mahasiswa perempuan yang pintar2. Tindakan Pak Ruslan Abdulgani ini memang menuai kritik dari beberapa kalangan pers, tapi saya setuju bahwa sebagai tuan rumah yang baik, Indonesia harus melayani tamunya dengan sempurna. M.A.N.T.A.P.

Wanita2 dalam KAA

Wanita2 KAA dalam acara jamuan teh

Hari sudah mulai gelap, rombongan berpamitan dari tuan rumah dan langsung meluncur ke Jalan Veteran, tepatnya menuju Masjid Istiqlal untuk sholat dan Newseum untuk makan malam serta penutupan acara. Dalam perjalanan, sekali lagi bus melewati kantor pusat Ormas Nasional Demokrat di Gondangdia yang tepat di sebelahnya berdiri kantor parpol nasdem (–__–)… Oh ya, kita juga lewat Monas lho…

Sebagai penutup, sy mengutip ulang ulasan berita mengenai KAA dari Surat Kabar Sin Min tanggal 20 April 1955 yang masih konsisten hingga saat ini, dalam ulasan tersebut disebutkan bahwa bangsa Asia Afrika telah sanggup untuk melaksanakan konferensi Asia Afrika yang meliputi separoh daerah dan bangsa di dunia tanpa bantuan dan pimpinan bangsa Barat, masih mempunyai kekuatan lahir bathin untuk berkumpul dan bersatu kembali merundingkan dan mencapai jalan guna kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Asia Afrika, bahkan keselamatan dunia umumnya yang kini terancam bahaya kemusnahan dan kehancuran.

Bung Karno dengan berapi-api membuka KAA

Bahan bacaan & Gambar :

Roeslan Abdulgani, “The Bandung Connection” Gunung Agung, Singapore 1981

Roeslan Abdulgani, “The Bandung Spirit” Prapantja, 1964

B.M. Diah, “25 Arti Konperensi Bandung” Yayasan 17-8-45, 1980

Richard Wright,” De Kleur Parriere”, van Hoeve, 1957

Rosihan Anwar ,” Sejarah Kecil jilid 2″ Kompas, 2009

Kementrian Penerangan, “Berita Konferensi Asia Afrika”, 1955

Hardjana HP, “Kekayaan Budaya Peninggalan Jaman Belanda” PT. Jenar Melati Wangi, 2004

Volksraad sebagai Corong Perjuangan menuju Kemerdekaan

Oleh : Indra Pratama

Bandung, 21 Juni 1916, Nationaal Congres pertama dari Centrale Sarekat Islam dibuka oleh Tjokroaminoto. Dari rangkaian kata yang disusun, lembek, tiada kesan revolusioner terdengar, yang bisa memerahkan telinga para polisi di luar. Namun bagi para peserta kongres, kata-kata beliau menyiratkan sebuah hal sebuah harapan besar : pemerintahan sendiri.

“Tidak sekali-kali kita hendak berseru : Hilangkan Gubernemen!. Sebaliknja! kita berkata : Disamping Gubernemen, beserta Gubernemen dan guna menundjang maksud Gubernemen, kita hendak membenarkan haluan kearah jang baik.” . “Tapi meskipun bagaimana, rakjat harus bekerdja sendiri untuk menetapkan nasib peruntungannya.”

Oleh itu Tjokro mengajukan gagasan yang cukup radikal saat itu : pemerintahan sendiri, pembangunan Dewan Djajahan, sidang wakil-wakil rakyat, dewan-dewan daerah, serta hak pilih bagi rakyat. Kondisi saat itu tidak ada anggota bumiputera dalam Sidang Dewan Daerah, satu-satunya saluran parlementer,  kecuali regent yang merupakan para priyayi pribumi, sedang hak pilih bagi dewan tersebut pun pun hanya terdapat pada masyarakat Eropa saja. Bayangkan betapa radikalnya ide tersebut waktu itu.

Ide Tjokro tersebut masih merupakan angan dari para pelaku pergerakan lainnya, namun siapa sangka, pada tanggal 16 Desember 1916, Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, menetapkan undang-undang berdirinya Volksraad, sebuah dewan perwakilan rakyat. Angin segar seakan berhembus kepada kaum pergerakan, terutama mereka yang mengusung jalur kooperatif. Namun harapan itu harus tertunda sekitar setahun lamanya, maklum saja, undang-undang itu hanyalah basa-basi belaka, tidak ada maksud pemerintah untuk menyeriusinya.

Namun keinginan kuat kaum pergerakan berhasil memaksakan berdirinya Panitia Nasional (Nationaal Comite)pada 1 Agustus 1917, yang berusaha menyeriusi perumuskan Volksraad, dan lebih jauh lagi, undang-undang mekanisme pemilihan anggota dewan. Panitia ini terdiri dari tokoh-tokoh Sarekat Islam, Budi Utomo, dan perhimpunan-perhimpunan lain. Didalam perumusan ini juga menetapkan Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis sebagai kandidat anggota Volksraad kelak.

Akhirnya sidang pertama Volksraad diselenggarakan tanggal 18 Mei 1918. Dengan komposisi anggota 39 orang, dimana 15 orang mewakili golongan pribumi (10 orang melalui pemilihan dan 5 orang diangkat pemerintah) dan 23 orang ( 9 orang dipilih dan 14 orang diangkat) mewakili golongan Eropa dan Timur Asing serta satu orang ketua sidang yang dipilih langsung oleh Kerajaan Belanda. Kondisi komposisi Volksraad diakui oleh Limburg Stirum secara pribadi dalam pidato pembukaannya, belumlah sempurna, dan akan ia coba tambah komposisinya. Terlihat bahwa secara personal, Limburg Stirum menyukai ide parlemen ini. [1] Dengan surat keputusan Baginda Raja tanggal 11 Oktober 1920, jumlah anggota anggota Volksraad bertambah lagi menjadi total 49 orang.  Dengan rincian 20 orang pribumi (12 dipilih dan 8 diangkat), dan 28 bangsa Eropa dan Timur Jauh.

Gedung Volksraad di Pejambon

Beberapa anggota awal Volksraad

Sejak awal berdirinya Volksraad, anggota-anggota pribumi menempatkan diri sebagai golongan oposisi, namun menjadi pihak yang dominan.[2] Berbagai ide dan gagasan yang menjadi uneg-uneg kaum pribumi terlontar dari para anggota. Namun pada awalnya mereka belumlah tampil sebagai satu kesatuan, meskipun secara formal tergabung dalam Fraksi Indonesia. Masih ada pertentangan internal fraksi, terutama menyangkut kepentingan golongan, etnis, dan agama.[3]

Pandangan Limburg Stirum yang secara pribadi pro Volksraad, menjadi bumerang bagi kedudukannya.  Kaum konservatif di Tweede Kamer Belanda, yang dikepalai oleh Mr.D.Fock, mencela kebijakan-kebijakan pro parlemen dari Limburg Stirum, menganggap bahwa Limburg Stirum telah memberi jalan bagi para “pengacau” kedudukan kolonial. Pendapat itu ternyata mampu menggoyangkan kedudukan Limburg Stirum sebagai gubernur jenderal, maka tahun 1921, berakhirlah jabatan Limburg Stirum sebagai gubernur jenderal, dan dirinya secara tidak mengejutkan diganti oleh Mr.D.Fock.

Awal pemerintahan D.Fock merupakan kondisi sulit bagi pemerintah kolonial. Gerakan pemogokan pekerja yang dibidani tokoh-tokoh komunis seperti Sneevliet, Sosrokardono dan Semaoen beberapa tahun ke belakang telah menjadi sebuah gerakan yang besar di tahun 1921. Fock mencoba menggunakan dan menekan Volksraad untuk menyudahi aksi pemogokan, dengan ancaman bahwa setiap pemogokan yang bermotifkan aksi politik (non-ekonomi) akan langsung dilibas oleh pemerintah.

Volksraad ternyata pada zaman D.Fock masih merupakan parlemen basa-basi, Volksraad hanya ditujukan sebagai penasihat pemerintah, sedangkan proses pembuatan undang-undang tetap dipegang gubernur jenderal bersama dengan dengan Raad van Indie.[4] Tahun 1925 lewat peraturan pemerintah Volksraad diberi kewajiban dan hak legislatif ; bersama gubernur jenderal merancang kebijakan, mengamandemen atau menolak rancangan undang-undang dari gubernur jenderal, serta memiliki hak interpelasi dan hak pengajuan petisi.

Gedung Raad van Indie, juga di Pejambon

Pergerakan nasional di Volksraad baru terlihat nyata pada masa Gubernur Jenderal Jhr. Andries Cornelis Dirk de Graeff yang memerintah mulai tahun 1926. Segala tekanan dan intervensi pada masa D.Fock menjadi sebuah ujian yang mampu mempersatukan kaum pergerakan pribumi di Volksraad. Tahu 1929 keanggotaan kaum pribumi di Volksraad meningkat menjadi 30 orang dari total 60 anggota. Memanfaatkan momentum ini, pada tahun 1930 kaum pergerakan membentuk sebuah fraksi di Volksraad yang berhaluan nasionalisme bernama Fraksi Nasional. Fraksi ini bisa disebut simbol pergerakan nasionalisme pertama kali bersatu di Volksraad. Fraksi ini diketuai oleh Moh.Hoesni Thamrin, dan beranggotakan antara lain Oetojo, Dwidjoseno, Datoek kajo, Mochtar, Nja’ Arif, Soeankoepon, Pangeran Ali, Soeradi dan Soeroso. Kelompok ini bertentangan kuat dengan Fraksi Vaderlandse Club, yang beranggotakan orang-orang Belanda pro kolonial.

Suasana sidang Volksraad, ada yang ngantuk gak ya?

Mulai inilah Volksraad sebagai corong perjuangan menuju Indonesia merdeka mulai membara. Gerakan-gerakan makin radikal. Para anggota pribumi lain mulai mengkuti langkah bersejarah Jahja Datoek Kajo, yang sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad selalu menggunakan bahasa Indonesia, bahasa persatuan menurut Kongres Pemuda ke II tahun 1928. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad“.

Jahja Datuk Kajo

Pada tahun 1936 Fraksi Nasional kembali membuat ulah yang menggemaskan hati Gubernur Jenderal saat itu De Jonge. Saat itu dunia sedang dilanda kelesuan ekonomi, yang dikenal dengan Zaman Malaise. De Jonge membuat kebijakan yang membuat susah kaum pekerja untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan. Kebijakan ini terang saja memicu reaksi keras Fraksi Nasional. Para pemuka fraksi seperti Soetardjo, Dr.Ratulangie, Dr.Moelia, Oto Iskandar di Nata, Hoesni Thamrin dan Soeroso mencela kebijakan tersebut, dimana kaum pekerja kebanyakan adalah orang pribumi, golongan yang mereka wakili. Namun kali ini reaksi ini berhasil dipatahkan oleh pemerintah.

Masih di tahun yang sama pergerakan untuk memaksakan pemerintahan dan parlemen sendiri untuk Hindia Belanda makin keras. Segala macam keabaian pemerintah terhadap nasib pribumi mendorong Soetardjo untuk membuat sebuah petisi, yang dikenal sebagai Petisi Soetardjo, yang meminta pemerintah Belanda membuatkan suatu konperensi yang beranggotakan kaum pribumi dan Belanda yang sama kedudukannya, yang mengusahakan rancangan Indonesia merdeka. Petisi ini berhasil disepakati di tingkat nasional dengan suara 26 dari 36 anggota Volksraad yang hadir. Namun usulan ini ditolak oleh Den Haag, dan kembali upaya untuk merdeka kandas. Namun di kemudian hari, terkuaklah fakta bahwa dalam petisi itu tidak disokong oleh perundingan dan konsolidasi yang mantap, sebuah pelajaran bagi anggota fraksi.

Sutarjdo Kartohadikusumo

Pihak pemerintah rupanya menganggap Volksraad sudah berubah menjadi sebuah ancaman politis. Sikap-sikap Fraksi Nasional dirasa makin mengganggu kebijakan-kebijakan pro kolonial. Ditambah ancaman Perang Dunia II yang mulai berkecamuk, membuat pemerintah menginginkan sebuah ketertiban internal, dengan sebisa mungkin membungkam Fraksi Nasional. Upaya pertama adalah ketika pada tahun 1940 ada paksaan dari pemerintah untuk memberikan hak Volksraad untuk mengamandemen anggaran belanja pemerintah kepada College van Gedelegeerden (Dewan Perutusan). Paksaan tersebut ternyata berujung pada rencana pemerintah untuk memperkuat angkatan lautnya untuk menghadapi perang. Sedangkan kaum nasionalis menganggap bahwa terlibat dalam peperangan bukanlah sesuatu yang berharga.

Upaya membungkam Volksraad juga mulai dilakukan secara kasar. Pengekangan terhadap pers dan gerakan-gerakan nasionalisme berujung pada penggeledahan rumah para aktivis secara keras. Januari 1941 dilakukan penggeledahan terhadap rumah Hoesni Thamrin. Penggeledahan ini diikuti dengan penawanan terhadap Thamrin, yang saat itu sedang sakit keras. Pada hari ketiga penahanannya, Mohammad Hoesni Thamrin meninggal dunia. Pernyataan resmi pemerintah menyatakan Thamrin bunuh diri, namun rekan-rekan aktivis yakin bahwa ia dibunuh di penjara.[5]

M.Husni Thamrin bersama istri

Tekanan terhadap Fraksi Nasional makin berat setelah pada Juni 1941 keluar suatu rencana undang-undang tentang kewajiban milis bagi penduduk pribumi non-Belanda (Dienstplitch ordonnantie voor onderdanen niet-Nederlanders). Pemerintah berdalih sudah waktunya para penduduk pribumi untuk turut berperan membela tanah airnya dari bencana. Tentunya bukan peran pembelaan tanah air seperti itu yang dikehendaki kaum nasionalis. Oto Iskandar di Nata si Jalak Harupat pun turun membela kepentingan rakyat pribumi dengan pidato-pidato yang pedas, namun tidak berhasil membatalkan rencana penuh tekanan ini.[6]

Oto Iskandar di Nata

Hingga pada akhirnya Hindia Belanda direbut Jepang tahun 1942, para politisi nasionalis ini teguh berjuang di Volksraad, bagaimanapun tekanan yang mereka dapat dari pemerintah kolonial. Dan gaya politik kooperasi mereka di zaman Jepang dan zaman Revolusi diikuti oleh para pemimpin pergerakan non kooperasi di zaman Belanda, seperti yang dilakukan Soekarno dan Hatta.

Banyak yang menyatakan mereka yang berjuang di jalur diplomasi dan kooperasi ini sebagai mereka yang pengecut. Namun jalur apapun memiliki peran yang sama besar dalam pergerakan, dan tidak boleh dihilangkan dalam sejarah bangsa.

Catatan Kaki

[1] Tatacara pemilihan anggota Volksraad bisa dilihat di http://www.dpr-ri.org/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=55&Itemid=59

[2] Stokvis, J.E. 1918. De Taak (article).

[3] Mangoenkoesoemo, Tjipto. De Indier (article).

[4] Sebuah badan penasihat untuk pemerintah Hindia Belanda, terdiri dari seorang asisten gubernur jenderal dan empat orang anggota, tahun 1928 komposisi anggotanya ditambah lagi satu orang asisten gubernur dan dua orang anggota, ketiganya harus seorang pribumi. Hingga 1925 berfungsi sebagai pembuat undang-undang bersama gubernur jenderal, setelah itu hanya menjadi penasihat gubernur jenderal, yang membuat undang-undang bersama Volksraad.

[5] Cici Asiya Ilyas. 2011. Hari-Hari terakhir Husni Thamrin (resensi buku). http://cintebetawi.blogspot.com

[6] Koch, D.M.G. 1951. Menudju Kemerdekaan. Jajasan Pembangunan Djakarta

Peratoeran Boeat Aleuteurs!

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Kita selaku Aleuteurs sekaliannja berhak memakai djalan, oleh sebab itoe perloe diadakan atoeran-atoeran  soepaja terhindar dari bahaja didjalan itoe.  Beikoet adalah atoeran-atoeran jang berlakoe bagi segenap Aleuteurs…

 

1. Teroetama bagi para Aleuteurs, berlakoe atoeran jang kita soedah ketahoei bersama, ja’ni : Djalan kiri!

 

Pada gambar dibawah terlihat beberapa orang berdjalan dikanan djalan (berhoeboeng dengan toedjoean djalannja). Perboeatan mereka itoe salah!  Jang djadi kiri djalan bagi auto jang datang dari depannja ialah tempat mereka berdjalan itoe. Djadi auto berdjalan ditempatnja jang benar/ Lihatlah betapa sekalian orang jang salah mengambil djalan itoe merintang perdjalanan auto itoe. Djika auto itoe tidak segera mengindar kekanan – jaitoe soeatoe perboeatan jang sebenarnja tidak boleh – tentoe ia akan melanggar orang jang berdjalan kaki itoe. Sebab itoe Aleuteurs hendaklah selamanja berdjalan disebelah kiri djalan !

 

 

2. Kalau berdjalan kaki, hendaklah didjalan orang, djika djalan orang itoe ada.

 

Disisi djalan besar, djalan jang diboeat orang bagi kendaraan – atjap kali poela diboeat djalan jang dioentoekan hanja bagi orang jang berdjalan kaki, namanja Djalan Orang atau trotoar. Apabila ada trotoar itoe, maka beloemlah tjoekoep djika kita berdjalan sebelah kiri djalan besar itoe sadja, melainkan haroeslah kita berdjalan diatas trotoar itoe, dan djanganlah diatas bahagian djalan besar jang dioentoekan bagi kendaraan.

 

Digambar bawah, kita lihat beberapa orang berdjalan kaki dipinggir djalan sebelah kiri. Akan tetapi masih berdjalan didjalan kendaraan. Padahal bagi mereka jang berdjalan kaki disediakan djalan orang. Mereka itoe djadi merintang kendaraan. Lihatlah auto jang datang dari belakang mereka. Auto itoe djadi terganggoe.  

Oleh sebab itoe djanganlah laloe didjalan kendaraan kalau ada djalan orang/trotoar !

 

 

3. Djanganlah Aleuteurs mengempang djalan dengan barang bawaan !

 

Banjak Aleuteurs jang mempenjai kebiasaan jang salah, jaitoe tatkala melaloe djalan, membawa barang jang pandjang-pandjang, seperti tangga, bamboe, pikoelan dsb. Berdjalan demikian hingga barang-barang jang diangkoetnja itoe mengempang djalan dan merintang orang lain. Djadi orang lain jang mempoenjai hak atas djalan itoe seperti dia djoega, teralang mempergoenakan djalan itoe, karena perboeatannja jang salah itoe.

 

 

4. Djanganlah berdiri dilengkok djalan !

 

Lengkok djalan itoe ialah bahagian djalan jang penting. Oleh sebab itoe hendaklah selaloe didjaga, soepaja djangan ada jang merintang kendaraan jang laloe lantas dilengkok djalan itoe. Pada gambar berikoet terlihat beberapa oerang jang berdjoempa dilengkok djalan, mereka djadi rintangan bagi kendaraan jang laloe lantas disana.

 

 

5. Kalau Aleuteurs menjebrang djalan, djanganlah menjerong djalan !

 

Apabila kita perloe menjebrang djalan kendaraan, maka hendaklah dengan selekas-lekasnja kita sampai keseberang, soepaja bahaja itoe terdjaoeh dari pada kita, sebab djalan kendaraan itoe tentoe banjak kendaraan jang hilir moedik. Dan soepaja lekas sampai kesebrang djalan, kita perloe mengambil djalan jang sesingkat-singkatnja jaitoe kalau kita tidak menjerong. Djanganlah menjebrang seperti jang ditoendjoekan garis poetoes-poetoes, melainkan seperti jang ditoendjoekan oleh garis tegas.

 

Awaslah! Sewaktoe hendak menjebrang djalan hendaklah dilebihkan mellihat kekanan dan kekiri !

 

 

 

6. Djanganlah djalan raja itoe didjadikan tempat bermain-main!

 

Kadang-kadang Aleuters gemar bertjanda sepandjang perdjalanan, namoen djanganlah bertjandaan itoe berlebihan sehingga membahajakan njawa aleuteurs sekalian.Seperti gambar berikoet, seorang pegiat Aleut, seboet sadja namanja Tjandra, hampir sadja tergiling Auto karena asjik dengan permainanja.

 

 

7. Oentoek Aleuteurs jang gemar berkendaraan kereta angin, sebaiknja tidak berkendaraan berdjajar-djajar seperti jang digambarkan dibawah ini. mengempang djalan, merintang, dan membahajakan…!

 

 

 

 

Sekian,, semoga Aleuteurs tetap djaja dan selamat sampai toedjoean,,,

Foto : Buah Kacapi

Diposting oleh : Pia Zakiyah

 

Kacapi yang satu ini engga bisa dipetik dan engga bisa ngeluarin bunyi. Cara ngebukanya? Dibaledogkeun ke batu atau lantai, niscaya langsung merekah dan engga perlu pake pisau 🙂

Sedikit Pencerahan Mengenai Wisata Kota Tua

Oleh : Arya Vidya Utama

Sejarah Kota Tua

Pelabuhan Sunda Kelapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin oleh Fatahillah, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527, kota tersebut luasnya tidak lebih dari 15 hektar dengan pola tata kota tradisional Indonesia. Kota Jayakarta hancur diserang VOC Belanda pada tahun 1619 yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen.

Pada tahun 1620 diatas reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun kota baru yang diberi nama BataviaBatavieren suku bangsa Eropa yang menjadi nenek moyang orang-orang Belanda, disebelah timur sungai Ciliwung yang pusat kotanya kini masih terlihat disekitar Taman Fatahillah sekarang. sebagai penghormatan atas kaum.

 

 

Orang-orang pribumi Batavia dijuluki Batavianen (orang Batavia) yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi. Orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.

Kota Batavia pada tahun 1635 diperluas ke sebelah barat sungai Ciliwung diatas bekas kota Jayakarta yang hancur. Kota ini dirancang lengkap dengan sistem pertahannya berupa tembok dan parit sekeliling kota. Tata ruang kota dibagi kedalam blok-blok yang dipisahkan oleh kanal. Pembangunan kota Batavia selesai pada tahun 1650. Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi “Jakarta”.

Lingkungan yang termasuk wilayah ini meliputi Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Luar Batang, Kali Besar, Taman Fatahillah dan Glodok. Luas wilayah Kota Tua Daerah sekitar sekitar 139 hektar. Kawasan ini merupakan awal dari masa depan perkembangan kota Jakarta sejak abad 14. Selama tahun 1527 ini adalah Kota pelabuhan yang direbut oleh Fatahillah dan berganti nama menjadi Jayakarta. Lebih lanjut lagi di tahun 1620 kota ini dikuasai oleh VOC Belanda yang diubah menjadi Batavia. Pada abad ke 18 , kota ini telah berkembang ke sisi selatan sampai ke daerah di taman Fatahillah dan Glodok sekarang. Sebagai kota tua, Jakarta telah meninggalkan warisan dari sejarah masa lalu mengambil bentuk bangunan dengan arsitektur Eropa dan Cina dari abad 17 sampai awal abad ke-20. Kota tua ini telah dipelihara sebagai kawasan restorasi.

 

Museum Fatahillah

 

 

Terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi. Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa Belanda: Stadhuis) yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.

Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.

Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama’’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974

 

Toko Merah

 

 

 Terletak di di Jalan Kalibesar Barat 11, Jakarta. Nama Toko Merah muncul pertama kali saat gedung ini digunakan sebagai toko oleh warga Tionghoa pada tahun 1851. Di gedung itu pula, ratusan tahun silam, pernah tinggal gubernur-gubernur jenderal VOC. Adalah Gustaff Willem Baron van Imhoff, Gubernur Jenderal, yang membangun gedung itu pada sekitar tahun 1730. Gedung ini juga pernah menjadi akademi maritim dan penginapan Heerenlogement. Kini Toko Merah dimiliki Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI)

 

 

Jembatan Kota Intan

 

 

Berlokasi dekat Hotel Batavia, jembatan tua peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1628 itu menghubungkan sisi timur dan barat Kota Intan di Jalan Kali Besar Barat, Jakarta Utara. Merujuk sejarah, jembatan di kawasan Kota Intan ini pernah lima kali kali berganti nama.

 

Menara Syahbandar

 

 

Menara Syahbandar dibangun Belanda tahun 1834. Menara Syahbandar yang di masa lalu berfungsi memandu keluar-masuk kapal ke Batavia sebelum Pelabuhan Tanjung Priok dibuka. Sebuah tugu berdiri di pelataran antara Menara Syahbandar dan gedung administrasi pelabuhan zaman Belanda. Prasasti di tugu yang ditandatangani Gubernur Jakarta Ali Sadikin tahun 1977 itu dijadikan penanda Kilometer 0 di masa lalu.

 

Stasiun Kota Tua

 

 

Stasiun kereta api ini dulunya biasa disebut dengan nama B.O.S = Bataviasche Ooster Spoorweg [Batavia Eastern Railway], namun bagi penduduk Jakarta tempo dulu, stasiun ini sering dilafalkan dengan Bé-OS. Stasiun ini didirikan pada tahun 1929.

Stasiun Beos merupakan salah satu landmark kota Jakarta Tua, didirikan pada awal tahun 1930an, yang juga merupakan lambang dari arstitektur bergaya modern pada masa itu. Merupakan pusat dari semua perjalanan kereta api pada masanya dan juga merupakan stasiun pertama yang dibuat.

 

Gereja Sion

 

 

Gereja ini terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Jakarta, tepatnya di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat dibangun tahun 1693. Gereja Portugis ini dibangun pada tahun 1693, disebut De Nieuwe Potugeesche Buitenkerk (The New Gereja Portugis di luar benteng). Gereja ini resmi dibuka pada tanggal 23 Oktober 1695 dan didanai secara bersama oleh Portugis dan Pemerintah Belanda VOC. Gereja ini yang kemudian dikenal sebagai Gereja Sion, Khotbah pertama disampaikan oleh seorang imam bernama Theodorus Zas dan dihadiri oleh Gubernur Jenderal Van Outhoorn. Gereja Sion adalah yang khas Portugis dengan kubah jendela, dan grand mimbar, kursi yang megah. Yang diukir indah lembar mebel adorn gereja yang dibuat oleh pengrajin dari Formosa (Taiwan).

 

Museum Bank Indonesia

 

 

Terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota). menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828. Semula gedung ini merupakan sebuah rumah sakit yang dinamakan Binnen Hospital, namun kemudian dijadikan kantor De Javasche Bank.

 

Museum Bank Mandiri

 

 

Gedung Museum Bank Mandiri (ex-Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM)) dirancang oleh 3 orang arsitek belanda yaitu J.J.J de Bruyn, A.P. Smits dan C. van de Linde. Gedung ini mulai dibangun tahun 1929 dan pada tanggal 14 Januari 1933 dibuka secara resmi Oleh C.J Karel Van Aalst, Presiden NHM ke-10. Gedung ex-NHM ini tampak kokoh dan megah dengan arsitektur Niew Zakelijk atau Art Deco Klasik.

Berdiri tanggal 2 Oktober 1998. Museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.

Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri

 

Dasaad Musin Concern

 

 

Dasaad Musin Concert dibangun pada tahun 1857. Entah dulunya sempat berfungsi sebagai kantor apa, tapi terakhir bangunan ini dulunya berfungsi sebagai kantor milik Agus Musin Dasaad, seorang pengusaha kaya asal Lampung. Usahanya di bidang perkapalan sejak tahun 1930-an. Beliau banyak membantu membiayai perjuangan Alm. Presiden Soekarno dari sejak Soekarno masih sbg politikus sebelum kemerdekaan sampai menjadi presiden. Usahanya ditutup saat era Orde Baru berkuasa.

 

Museum Bahari

 

 

Pada masa pendudukan Belanda bangunan ini dulunya adalah gudang yang berfungsi untuk menyimpan, memilih dan mengepak hasil bumi, seperti rempah-rempah yang merupakan komoditi utama VOC yang sangat laris di pasaran Eropa. Bangunan yang berdiri persis di samping muara Ci Liwung ini memiliki dua sisi, sisi barat dikenal dengan sebutan Westzijdsche Pakhuizen atau Gudang Barat (dibangun secara bertahap mulai tahun 1652-1771) dan sisi timur, disebut Oostzijdsche Pakhuizen atau Gudang Timur. Gudang barat terdiri dari empat unit bangunan, dan tiga unit di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari. Gedung ini awalnya digunakan untuk menyimpan barang dagangan utama VOC di Nusantara, yaitu rempah, kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung-gedung ini dipakai sebagai tempat menyimpan barang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, bangunan ini dipakai oleh PLN dan PTT untuk gudang. Tahun 1976, bangunan cagar budaya ini dipugar kembali, dan kemudian pada 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.

 

Museum Wayang

 

 

Gedung yang tampak unik dan menarik ini telah beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya bangunan ini bernama De Oude Hollandsche Kerk (“Gereja Lama Belanda”) dan dibangun pertamakali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) hingga tahun 1808 akibat hancur oleh gempa bumi pada tahun yang sama. Di atas tanah bekas reruntuhan inilah dibangun gedung museum wayang dan diresmikan pemakaiannya sebagai museum pada 13 Agustus 1975. Meskipun telah dipugar beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini.

Sebagai akibat terjadinya gempa, bangunan Gereja Belanda Baru itu telah rusak. Selanjutnya lokasi bekas Gereja tersebut dibangunlah gedung yang nampak sebagaimana sekarang ini dengan fungsinya sebagi gudang milik perusahaan Geo Wehry & Co. Bagian muka museum ini dibangun pada tahun 1912 dengan gaya Noe Reinaissance, dan pada tahun 1938 seluruh bagian gedung ini dipugar dan disesuaikan dengan gaya rumah Belanda pada zaman Kompeni.

Sesuai besluit pemerintah Hindia Belanda tertanggal 14 Agustus 1936 telah ditetapkan gedung beserta tanahnya menjadi monumen. Selanjutnya dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ( BG ) yaitu lembaga independent yang didirikan untuk tujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi dan sejarah, serta menerbitkan hasil penelitian.

Pada tahun 1937 oleh lembaga tersebut gedung diserahkan kepada Stichting oud Batavia dan kemudian dijadikan museum dengan nama “ de oude Bataviasche Museum “ atau museum Batavia Lama “ yang pembukaannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir, Jonkheer Meester Aldius Warmoldu Lambertus Tjarda van Starkenborg Stachouwer (22 Desember 1939)

Sejak pendudukan Jepang dan revolusi kemerdekaan R.I. gedung museum ini tidak terawat. Pada tahun 1957 diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia ( LKI ) dan sejak itu nama museum diganti menjadi Museum Jakarta Lama

Pada tanggal 1 Agustus 1960 namanya disingkat menjadi Museum Jakarta. Pada tanggal 17 September 1962 oleh LKI diserahkan kepada pemerintah R.I. cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pada akhirnya pada tanggal 23 Juni 1968 oleh Dirjen Kebudayaan Dep. Pendidikan dan Kebudayaan gedung museum diserahkan kepada Pemerintah DKI Jakarta dan di gedung ini pula Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta berkantor

Sejak kepindahan Museum Jakarta (sekarang Museum Sejarah Jakarta) ke gedung bekas KODIM 0503 Jakarta Barat yang dahulunya disebut gedung Stadhuis / Balaikota, maka bekas gedung Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta kemudian dijadikan Museum Wayang.

 

GEBOUW van Het Nieuws van de Dag

 

 

GEBOUW van Het Nieuws van de Dag, gedung perusahaan surat kabar harian, begitulah fungsi gedung ini semula. Sejak 1925, ketika gedung itu dibangun, bangunan itu sudah berada di sisi Kalibesar. Kini gedung itu ada di Jalan Kalibesar Barat. Dari bagian muka, tak terlihat banyak perubahan dari gedung bergaya Art Deco yang masuk dalam kategori A, bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua itu. Gedung megah itu dibikin untuk kepentingan redaksi media cetak sebelum akhirnya berubah menjadi diskotek Athena. Di bagian depan bangunan, masih terlihat tulisan Anno 1927 – tahun selesainya pembangunan gedung. Sebagai diskotek, maka bagian dalam gedung sudah mengalami banyak perubahan.

 

Masjid Luar Batang

 

 

Lokasinya berada di Jalan Luar Batang I, Kampung Luar Batang, Jakarta Utara. Banyak orang Jawa yang tinggal disini, makanya dalam peta yang dibuat Van Der Parra tahun 1780 lokasi disebut Javasche Kwartier, namun setelah itu orang lebih mengenalnya Luar Batang. Usut punya usut, orang pada saat itu jika ke lokasi ini berarti ke luar kota dan harus melewati tanda batas dalam bentuk batang, tidak dijelaskan batang apa. Maka kemudian dikenalkan dengan sebutan Luar Batang hingga kini.

 

Pelabuhan Sunda Kelapa

 

 

Meskipun sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu pelabuhan di Jakarta, daerah ini sangat penting karena desa di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527. Kala itu Sunda Kelapa merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang kota Bogor) yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Walaupun hari jadi kota Jakarta baru ditetapkan pada abad ke-16, sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Kerajaan Sunda, yaitu kerajaan Tarumanagara.

Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.

Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.

Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia – Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.

Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan sekitar Menara Syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa berpindah ke wilayah selatan.

Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara Dai Nippon keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda Kelapa dipakai kembali. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.D.IV a.4/3/74 tanggal 6 Maret 1974, nama Sunda Kelapa dipakai lagi secara resmi sebagai nama pelabuhan. Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di situ terdapat pasar ikan yang besar.

 

 

Refrensi:

http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah

http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2009/02/09/10055120/toko.merah.siap.jadi.hotel

http://kotatua.blogspot.com/2006/08/jembatan-gantung.html

http://arkden.blog.friendster.com/2010/05/menara-syah-bandar-nasibmu-kini/

http://oudbatavia.blogspot.com/2007/10/03-menara-syahbandar.html

http://ubanz-berwisata.blogspot.com/2009/07/wisata-kota-tua-jakarta-bag2.html

http://ubanz-berwisata.blogspot.com/2009/07/wisata-kota-tua-jakarta-bag1.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Bank_Mandiri

http://www.indotravelers.com/museum/museum-bank-mandiri.html

http://bligungtre.wordpress.com/2009/08/07/dasaad-musin-concern/

http://galikano.multiply.com/photos/album/78/Dasaad_Musin_Concern

http://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Bahari

http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/16/13355560/dari.gedung.nieuws.van.de.dag.ke.athena

Asal Mula “Ragunan”

Oleh : Nanang  Cahyana Al-Majalayi

Siapa yang tak kenal nama Ragunan. Setiap hari libur, jalan raya yang berada di sekitar Ragunan atau lebih tepatnya di sekitar Kebun Binatang Ragunan, pasti mengalami kepadatan lalu lintas. Karena Kebun Binatang Ragunan sudah menjadi objek wisata keluarga ketika hari libur tiba. Selain harga tiketnya terjangkau (*sabar ya jika ngantri beli tiket :D), kawasan kebun binatang ini benar-benar menawarkan suasana alam yang menyenangkan disaat hiruk pikuk keramaian ibu kota Jakarta. (*untung ada kebun binatang Ragunan)

Semenjak dibangun Kebun Binatang menggantikan Kebun Binatang Cikini di era Ali Sadikin di awal tahun 1970-an, Ragunan kini berkembang pesat. Di sini dibangun juga pusat pelatihan bagi atlit nasional sebelum mereka pentas ke laga internasional. Ragunan telah menjadi nama sebuah Kelurahan. Tempat ini termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan. Kelurahan Ragunan, Pasar Minggu memiliki kode pos 12550. Di kelurahan ini terletak Kebun Binatang Ragunan. Batas wilayah dan jalan di Kelurahan Ragunan ini, yaitu:

  • Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Cilandak KKO di Kelurahan Cilandak Timur;
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sagu di Kelurahan Jagakarsa;
  • Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Kebagusan Raya di Kelurahan Jagakarsa;
  • Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Pejaten Barat di Kelurahan Pejaten Barat

Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna. Nama aslinya adalah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang Belanda yang mendapat gelar kehormatan dari Sultan Haji, nama lain dari Sultan Banten Abu Nasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. Cardel mendapat gelar ini karena ia menjadi tuan tanah pertama di kawasan tersebut. Menarik untuk disimak, bagaimana seorang Belanda kelahiran Steenwijk, dianugerahi gelar begitu tinggi oleh Sultan Banten, musuh Belanda.

 

  • Menara Masjid Banten

Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar. Diceritakan, setelah kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang juru bangunan yang mengaku melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama Islam dan membaktikan dirinya kepada Sultan Banten.

Bak pucuk dicinta, ulam tiba, Sultan Haji yang saat itu sedang membutuhkan ahli bangunan berpengalaman tertarik dan menerima kehadiran Cardeel. Dalam tradisi Kesultanan Banten, orang asing diberi dua pilihan: tetap memegang keyakinannya dan berbisnis dari luar tembok istana, atau ia berpindah ke agama Islam. Dengan menjadi Muslim, ia dapat mengikat kontrak dengan istana, memperoleh ijin berdagang bebas dan berhak pula memperoleh pekerjaan bergengsi.

Cardeel memilih opsi kedua. Ia bahkan menikah dengan seorang pribumi Banten bernama Nilawati. Atas dasar kepercayaan, Cardeel ditugaskan untuk memimpin pembangunan istana Surasowan Banten, termasuk membangun bendungan dan istana peristirahatan si sebelah hulu Cibanten. Bendungan ini lambat laun dikenal dengan ama Bendungan dan Istana Tirtayasa.

Keterampilan Cardeel dalam membangun sesuai permintaan Sultan Haji rupanya cukup menarik perhatian. Bahkan lebih dari itu, dalam sebuah riwayat, Sultan Haji sampai terkagum-kagum dengan karya besar Cardeel dalam membuat rancangan dan menuangkannya dalam bentuk bangunan. Ia lah yang mengusulkan pembangunan kelengkapan masjid Agung Banten, seperti menara serta bangunan tiyamah yang berfungsi sebagai tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan.

Hingga, karena ketertarikan akan karya Cardeel ini, perhatian Banten yang waktu itu sedang berkonfrontasi dengan pemerintahan Batavia menjadi terlupakan. Padahal, pada saat yang sama, Belanda sedang berkonsentrasi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membantu Mataram menghadapi pemberontakan Trunojoyo di tahun 1677 hingga 1681.

  • Gelar Pangeran Aria Wiraguna

Pada waktu itu, Sultan Haji memang belum diangkat menjadi raja. Kekuasaan masih di tangan Ayahnya, SUltan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji merasa sudah waktunya ia memimpin kesultanan Banten. Permintaan itu ditolak oleh ayahnya dan kemudian terjadilah perang perebutan tahta antara ayah dan anak.

Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan untuk meminta bantuan kompeni Belanda. Utusan yang membawa amanat ke Belanda tak lain adalah Cardeel, sang arsitek istana dan bendungan itu yang sudah mendapat gelar Kiai Aria Wiraguna.

Permintaan Sultan Haji melalui Cardeel ini diterima Kompeni. Belanda akhirnya membantu Sultan Haji merebut kekuasaan dari tangan ayahnya dan berhasil. Atas dasar jasa-jasa Cardeel, gelar Kiai Aria Wiraguna ditingkatkan menjadi Pangeran Aria Wiraguna.

  • Kembali ke Batavia

Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama menetap di Banten, Cardeel alias Pangeran Wiraguna pamit pulang ke Belanda. Ia merasa keberadaannya di istana lambat laun makin banyak tidak disukai. Ia pun diijinkan pulang di tahun 1689.

Bukannya pulang ke Belanda, setelah mendapat restu Pangeran Wiraguna ini malah kembali ke Batavia. Oleh Dewan Hindia kedatangannya disambut kembali. Gubernur Jenderal Champhuys yang berkuasa waktu itu kembali menetapkan dirinya sebagai orang Belanda yang beragama Kristen. Nilawati, istrinya, diceraikan dengan alasan telah berselingkuh.

Namanya muncul pada tahun 1695 sebagai seorang asisten pribadi residen Batavia, seorang tuan tanah dan operator mesin potong dengan kontrak harus mensuplai kayu pada VOC. Dengan kekayaannya ia menguasai tanah luas di selatan Batavia. Dia di sana kemudian dikenal sebagai tuan tanah yang kaya raya. Karena luasnya tanah yang dimiliki Pangeran Wiraguna, penduduk di sekitarnya menjulukinya daerah tersebut dengan sebutan tanah Wiraguna, yang lambat laun berubah menjadi tanah Ragunan atau wilayah Ragunan.

  • sumber:

– id.wikipedia.org (De Haan 1910, 1911, 1935; Colenbrander 1925, jilid 2)

– adangdaradjatun.com

– idjakarta.com

– google.com

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑