Month: June 2011

Jika Bandung Lupa Sungai

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan

Menyamakan Bandung dengan Paris akan membuat sungai Seine kecewa bila di bandingkan dengan Cikapundung

(Richard & Sheila Bannet)

 

Richard dan Sheila Bannet, yang sempat tinggal di kota Bandung sekitar tahun 1980 memberikan sebuah kesan berupa bentuk kecintaan sekaligus keprihatinan akan sungai Cikapundung,pasangan dari Inggris tersebut melalui bukunya Bandung&Beyond menuliskan kesan kekecewaan yang menyatakan kerusakan ekosistem Sungai Cikapundung dari tahun ketahun, walaupun terasa pahit terdengar, namun pernyataan objektif pasangan Inggris ini perlu kita terima dengan lapang dada,karena hal tersebut diakbiatkan ulah kita sendiri yang tidak mampu merawat dengan baik lingkungan DAS (Daerah Aliran Sungai) Cikapundung yang tak lain merupakan nadi sebuah kota Bandung.

 

Sebuah Sejarah dan Perjalanan

 

Suatu toponimi adalah nama dari tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan (seperti kota). Penamaan beberapa sungai di Kota Bandung pada sejarahnya banyak mengambil dari nama-nama pohon yang tumbuh di alam sekitar wilayah tersebut, seperti  nama Sungai Citarum berasal dari kata tarum ‘Indigofera spec’ atau Tarum areuy ‘Marsedenia tinctoria R.BR’, ataupun Sungai Cikapundung, berasal dari nama sebuah pohon kapundung ‘atau (ke)mundung (terutama Baccaurea racemosa (Reinw.) Muell. Arg.; juga B. javanica dan B. dulcis) adalah pohon buah asam-manis seukuran kelereng (menteng dalam bahasa Indonesia) Sekilas buah menteng mirip dengan buah dukuh namun tajuk pohonnya berbeda.

Pohon Kapundung

Sedikit membayangkan bahwa  penamaan  nama Cikapundung mungkin diambil dari sebuah nama pohon kapundung yang berada di hutan Gunung Bukit Tunggul, karena  Sungai Cikapundung berasal dari mata air yang berada di Gunung Bukit Tunggul yang kemudian membentuk Outlet dan bersatu membentuk sungai Cikapundung.

Sungai ini mengalir melewati kawasan hutan lindung yang di dominasi oleh tumbuhan pinus dan kawasan perkebunan kina. setelah itu sungai mengalir menuju Kampung Cikapundung, lalu aliran sungai dilanjutkan sampai bertemu dengan anak sungai Cisarua di Desa Cibodas,kecamatan lembang dan anak sungai Cigulung di kawasan wisata Maribaya, yang terletak di Desa Langen Sari Kecamatan Lembang. Selanjutnya aliran sungai menuju ke kawasan Hutan Lindung Taman Insinyur Haji Djuanda atau bisa dikenal dengan kawasan Dago pakar, kemudian arah aliran sungai menuju ke arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman penduduk, yaitu Babakan Siliwangi,Melong,By pass sampai menuju ke arah desa Bojong Soang dan akhirnya bertemu dengan aliran sungai Citarum.

 

Potret kecil Cikapundung

 

Orang tua dulu banyak bercerita hingga tahun 1970-an, masyarakat sekitar pinggiran sungai Cikapundung masih menfungsikan aliran Sungai sebagai sarana kehidupan, banyak warga sekitar mempergunakan Cikapundung untuk mandi, mencuci,memancing dan tempat bermain anak-anak untuk berenang, sementara sumber -sumber mata airnya digunakan masyarakat untuk air minum,memasak dan berwudhu. Namun itu hanya cerita dulu,kenyataanya Sungai Cikapundung yang merupakan ikon kota Bandung pada masa sekarang sangat tidak terawat keadaanya,hal itu dapat dilihat dengan mata telanjang warna air sungai yang keruh kotor ataupun sampah rumah tangga yang banyak bertebaran di dasar sungai.

sampah cikapundung (Image:reza)

kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai masih menjadi sebuah persoalan utama di bantaran sungai Cikapundung, dapat juga kita hirup DAS Cikapundung , hal ini mungkin di akibatkan banyaknya bakteri yang ada pada air Sungai Cikapundung, bagaimana tidak, pada perjalanan Aleut! mejelajahi Sungai Cikapundung (Start babakan Siliwangi) sampai Curug Dago, pada bantaran sungai banyak terdapat rumah-rumah warga yang padat dan berdempetan tinggal di sisi Sungai Cikapundung membelakangi sungai.

Berdempetan (Image: Dephol)

fakta tersebut mengambarkan bagaimana kotoran mahluk hidup manusia dapat dibuang sewaktu-waktu tanpa rasa tanggung jawab pada sungai, ataupun pada kasus lain jika melirik agak ke hulu Cikapundung, pencemaran Sungai Cikapundung oleh kotoran sapi sudah menjadi suatu masalah serius, sebagian besar limbah tersebut  yang berasal dari lembang kabupaten Bandung Barat dibuang langsung ke Cikapundung.

Belakang rumah (image: Reza)

Imbasnya sungai yang membelah Kota Bandung itu semakin kotor dan membahayakan kesehatan karena disinyalir tercemar bakteri E-Coli.Apalagi disinyalir air sungai Cikapundung yang tercemar tersebut, telah merembes kesumber sumber air bersih warga yang tinggal di dekat sungai.

 

Pelesiran Cikapundung sebagai Refleksi

 

Penanganan Sungai Cikapundung tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan Berkesinambungan dalam program dari hulu ke hilir, selain hal itu juga, penanganan Cikapundung harus dapat melibatkan sebanyak mungkin intansi dan masyarakat, masyarakat bantaran sungai cikapundung sebaiknya di berikan suatu bentuk pengarahan bahwa sungai merupakan sumber kehidupan manusia dalam kehidupan,juga pentingnya budaya hidup bersih dan sehat yang belum dipahami secara merata oleh masyarakat sekitar.

Mengulat (Image: Dephol)

Bila di sederhanakan, masalah cikapundung adalah masalah sampah, jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh, dalam waktu tahun-ketahun yang akan datang, kondisi Cikapundung akan semakin terpuruk. Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan masyarakat Kota Bandung dalam mengingat,menjaga dan menghargai Sungai Cikapundung diantaranya menciptakan Sungai Cikapundung Sebagai tempat pelesiran, sedikit mengandai-andai apabila Sungai Cikapundung dijadikan tempat pelesiran yang dikemas secara menarik, sehingga banyak orang berduyun duyun ingin melakukan pelesiran Cikapundung, warga bantaran Sungai Cikapundung pun mendapat getah pemasukan lebih,entah dari makanan yang mereka jual,penginapan,ataupun keramba keramba ikan yang dapat mereka ternakan di sungai.

gotong royong (Image:dephol)

Yah munkin itu harapan  semata, namun fakta membuktikan  Pada Perjalanan bersama Aleut! Minggu (26/6)2011 bertema menjelajah Sungai Cikapundung- Curug Dago, banyak objek yang menjadikan perjalanan ini menarik untuk dijadikan wisata edukasi dan rekreasi ekonomis, diantaranya:

 

Pothole

 

Pada sekitar DAS Cikapundung, diantara daerah babakan Siliwangi dan Curug dago, dapat ditemukan beberapa  Pothole,Pothole adalah batuan pada dasar sungai yang berbentung lubang-lubang yang terbentuk melalui proses erosi,Awal dari proses pembentukan pothole, menurut von Engeln adalah sebagai berikut :

Ketika sungai mempunyai batuan dasar yang teksturnya tidak seragam, atau mempunyai kekar dan bidang lemah lainnya, maka sebuah cerukan kecil mungkin terbentuk karena erosi, atau akibat adanya bagian/framen yang terlepas. Cerukan ini selanjutnya dapat menjadi tempat berhenti sementara bagi butiran yang agak kasar yang tidak mampu diangkut arus. Butiran/fragmen ini tidak diam dan mengendap, tetapi tetap bergerak karena pengaruh arus, dan membentuk gerakan memutar. Gerakan memutar ini disebabkan kekuatan arus yang tidak cukup kuat membawa butiran tetapi cukup untuk mengangkat dan menggerakkan butiran ini. Proses ini yang memperlebar dan memperdalam cerukan awal, yang selanjutnya akan semakin banyak butiran/fragmen yang berhenti disini.

 

Terowongan Cibarani

 

welcome lorong (Image: Kuke)
dalam lorong (Image: Kuke)

Terowongan Cibarani dapat terlihat meyerupai Lorong dengan panjang kira-kira 100 meter  yang di buat pada masa Hindia Belanda, lorong ini dipergunakan sebagai saluran air Sungai Cibarani.pada tata letaknya, lorong yang tingginya 1,5 meter  dengan tinggi air selutut  ini menembus menerobos sebuah bukit batu sebagai  jalan aliran airnya. Pada ujung terowongan kearah barat laut, nampak terlihat bekas pelakat tertempel  dibangunya lorong sungai tersebut.

 

 

Watervang Cilimus

Watervang Cilimus (Image: Dephol)

Merupakan sebuah pintu air yang di buat Belanda pada masa penjajahan di Indonesia, terlihat pada plakat dengan nama Watervang Cilimus, sangat disayangkan sekali pintu air ini sudah tidak digunakan lagi sekarang, namun tetap saja bangunan ini berfungsi sebagai objek berfoto yang cukup menarik.

waterfall Cilimus (Image: Dephol)

 

Curug Dago

 

Terletak di ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut, Curug Dago juga menyimpan jejak sejarah bagi Kerajaan Thailand. Tak jauh dari lokasi air terjun, terdapat dua prasasti batu tulis peninggalan sekitar tahun 1818. Menurut para ahli sejarah, kedua prasasti tersebut konon merupakan peninggalan Raja Rama V (Raja Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) yang pernah berkunjung ke Curug Dago.

Curug dago (Image: Dephol)

Tinggi air terjun ini memang tidak setinggi Curug Omas di obyek wisata Maribaya, yang memiliki ketinggian 35 meter. Curug Dago hanya memiliki ketinggian lebih kurang 10 meter. Namun karena terjunan air jatuh ke dalam sebuah rongga yang terbentuk oleh batu-batu besar sehingga suara gemuruh air sangat terdengar jelas dari kejauhan.

 

Sungai adalah nadi bumi, selamatkan Cikapundung!! Dengan semangat perubahan sebagai sikap kepedulian sosial terhadap salah satu ikon kota Bandung, penulis berharap munculnya kesadaran warga Bandung khusunya yang tinggal di sekitar bantaran sungai, agar memperlakukan sungai dengan baik, karena Bandung milik warga yang tinggal di Bandung, jika di analogikan seperti rumah kita sendiri, ada kalanya kitapun akan menjaga,membersihkan dan merawat rumah dengan baik karena rasa kepemilikan rumah,untuk itu mari menjaga Sungai Cikapundung, karena Bandung milik penduduk yang tinggal di Bandung.(Reza Ramadhan Kurniawan)

 

Plakat (Image: Dephol)

Sumber:

Hutagalung, Ridwan dan Taufanny Nugraha.(2008).Braga Jantung parijs van java.Bandung: Ka bandung

 

Muhammad Febryan Nugroho. 2011. Pothole Sungai Citarum. Dimuat di http://febryannugroho.wordpress.com/2011/02/26/pothole-sungai-citarum. Diakses: 26 Februari 2011.

 

Indra Kh. 2007. Curug Dago, Air Terjun yang Terlupakan. Dimuat di http://indrakh.wordpress.com/2007/04/09/curug-dago-air-terjun-yang-terlupakan.Diakses:  9 April 2007.

 

Sunda Samanggaran.2009. “BANDUNG“ NAMA POHON YANG TERLUPAKAN http://sundasamanggaran.blogspot.com/2009/08/bandung-nama-pohon-yang-terlupakan.html Diakses : 30 Agustus 2009

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Menteng

Mapay Cikapundung

Oleh : Nia Janiar
Kali pertama saya dan Neni gabung di Komunitas Aleut, kami langsung basah-basahan dan sakit kaki karena jadwal ngaleut saat itu adalah menyusuri Sungai Cikapundung dari Sumur Bandung hingga Curug Dago. Kami bergaya ala Ninja Hatorri: Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir ke samudra. Bersama teman berpetualang!
Teknis menyusuri sungai adalah begini:
1. Jalan di perkampungan di dekat sungai,

2. jalan di daerah aliran sungai,
3. jalan di atas pipa air bersih,

4. melewati gorong-gorong Ci Barani yang dibuat Belanda dan dipenuhi ekosistem laba-laba,

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

5. melewati dan melawan arus sungai,

6. berupaya melalui jalan yang tertutup,

7. jembatan yang tidak aman,

8. melewati sawah,
9. berhenti di warung,

10. hingga akhirnya sampai juga di Curug Dago yang kotor dan berbau tidak sedap.

Perjalanan dilalui selama 5 jam. Padahal, jika menggunakan angkutan umum, mungkin hanya berkisar 10 menit dan jalan sedikit. Tapi jika kami naik angkot, maka tidak akan bisa melihat:
1. Pintu air,
2. arena adu burung,

3. pesantren,
4. jalanan yang melelahkan,

5. atau perumahan mewah di dekat pemukiman sekitar sungai.

Juga tidak akan ada adegan kebersamaan seperti tolong menolong ketika teman mengalami kesulitan menghadapi jalan yang licin atau terpeleset di atas batu kali. Dan jika menggunakan angkot, mungkin tidak ada sesi sharing yang bermakna seperti ini. Mungkin sharingnya hanya sekedar, “Gimana, apa kamu bisa duduk 7-5?”

Tak Kenal Maka Tak (Akan) Sayang

Oleh : Jana Silniodi

 

“Persahabatan bukan tentang siapa yg datang lebih dulu

Persahabatan bukan tentang siapa yang lebih lama kamu kenal

Sahabat adalah mereka yang datang dan tak pernah pergi dari sampingmu”

 

Kita terlahir di dunia sendirian, kemudian tumbuh dan berkembang di lingkungan kecil yaitu keluarga. Tahap selanjutnya adalah lingkungan bermain juga lembaga pendiikan baik formal atupun non formal. Manusia sebagai mahluk sosial tentunya bersentuhan dengan mahluk lainnya, dan menciptakan keharmonisan untuk menjaga kesimbangan, karena semua mahluk yang diciptakan oleh Sang Pengatur  tentunya didisain melengkapi.  Ini sedikit petikan pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan  bersama komunitas Aleut!

 

Titik awal ngaleut, sesi ini dibuka dengan penjelasan global kegiatan, tujuan serta perkenalan anggota. Begitu pun dengan hidup,  tujuan hidup nya mesti ada dan jelas, masalah rute, alur jalan itu akan bergantung dengan keadaan di lapangan, yang pasti jika tujuan jelas walapun di tengah jalan tersesat kita punya patokan finish ataupun start.

 

Pilihannya nanti adalah kembali ke titik awal perjalanan atau mencoba jalur lain sampai ke tujuan. Sesi perkenalan, ini awal untuk membuka diri kita kepada orang lain, kejujuran adalah dasarnya. Dari membuka diri maka orang lain pun tak segan untuk mengenal lebih jauh tentang kita, dan kita pun akan bertukar informasi dengan orang lain ini.

 

Perkenalan adalah awal pertemanan. kita harus mengenali  rekan perjalanan kita, itu penting. Saat tersesat orang seperjalanan itulah yang akan mendampingi kita nanti, bukan orang tua, pasangan, ataupun sahabat karib kita yang nun jauh di sana.

 

Dan perjalanan pun dimulai, beriringan, berdampingan, semua memiliki tugas dan bagiannya masing-masing. Orang terdepan bukalah pemimpin, orang yang ditengah bukanlah pejabat penting, begitupun orang yang dibelakang bukanlah sang pengikut setia. Kita satu tujuan dan saling berbagi,  berpegangan tangan  dan merapatkan ikatan pertemanan.  Terima kasih untuk para pegiat aleut! jabat erat tanpa menjerat.

Radio

Dimuat Ulang oleh M.Ryzki Wiryawan

Pada hari Minggu ibu, bapak, si Ahmad, si Abdul dan si Siti pergi dengan bis ke Djakarta. Sesampai distasiun bis Djakarta, lalu pergi dengan betja kekampung Pedjambon.

“Assalamualaikum!” kata bapak setiba dihadapan rumah pak Masnis, paman si Ahmad. Tetapi pak Masnis tidak mendengar, sebab sedang mendengarkan radio. Sebab itu bapak masuk sadja kedalam rumah itu. “Djangan marah pak Masnis, saja sekonjong-konjong masuk,” kata bapak sambil tertawa “Tadi saja sudah memberi salam, tap rupanya tidak kedengaran.”

“O, Abang!” kata pak Masnis. “Sendiri sadja bang?”

“Tidak!” kata bapak. “Kakakmu dan anak-anak ada diluar”.

Pak Masnis pergi keluar, lalu memberi salam kepada ibu dan anak-anak. Sudah itu dipersilakannja semuanja duduk diserambi muka.

“Sudah ada radio ? Lekas sungguh kamu kaja,” kata bapak.

“Kaja, kaja!” kata pak Masnis. “Radio tidak mahal. Asal djangan dibeli jang baru. Tjari saja jang sudah dipakai orang. f 50,- sudah bagus djuga. Radio ini harganja f75,-, tetapi masih agus. A, hari sudah hampir pukul 9. Tunggu sebentar lagi. Sebentar lagi ada siaran jang bagus dari Bandung.”

“Siaran apa, Pak?” tanja si Ahmad.

“Siaran musik,” kata pak Masnis.

“Disiarkan dari mana?” tanja si Abdul.

“Tunggu sadjalah,” kata pak masnis. “Nanti boleh kaudengar sendiri. Sekarang baiklah saja stel pada pemantjar Bandung.” Pukul 9 betul radio berbunji.

“Selamat pagi, Njinja-njonja dan Tuan-tuan pendengar jang terhormat. Disini Bandung dengan pemantjarnya jang bergelombang 58 m. Sebentar lagi perkumpulan musik “Penawar Hati” akan memperdengarkan lagu-lagu jang merdu sekali. Orkes ini dipimpin oleh Mister Kasep dan dibantu oleh Miss Aju, biduan muda jang masjhur. Lagu jang pertama diperengarkan jaitu “Bunga mawar dipinggir djalan. Mudah-mudahan Penawar Hati dapat menjelangkan hati Tuan-tuan dan Njonja-njonja.”

“Siapa nama pemimpin biduan orkes itu ?” tanja si Ahmad.

“Mister Kasep dan Miss Aju,” kata pak Masnis.

“Belum pernah saja dengar nama jang begitu,” kata si Ahmad.

“Tentu sadja,” kata pak Masnis, “sebab itu nama tjampuran. mister perkataan Inggeris; artinya Tuan; Kasep perkataan Sunda, artinja bagus. Djadi Mister Kasep dalam bahasa Indonesia : Tuan bagus, Miss, perkataan Inggeris djuga artinja nona; Aju perkataan Djawa, perkataan Indonesianya, jaitu : Tjantik.”

 

 

“Betul-betul tjantikkan nona itu, pak?” tanja si Abdul.

“Boleh kaulihat gambarnja,” kata pak Masnis, lalu bangkit, masuk kedalam. Sebentar kemudian ia kembali membawa madjallah “Suara Timur”. Katanja : “Dalam madjallah ini ada potret Miss Aju dan Mister Kasep. Lihatlah!”

Melihat potret itu si Abdul dan si Ahmad tertawa terkial-kial sebab Mister Kasep sudah beruban dan Miss AJu sudah pula tak muda lagi.

“Astaga!” katanja “Kalau namanja bukan main!”

“Tetapi dengarlah suara Miss Aju tiada ada duanja,” kata pak Masnis. :Dengarlah ! Pendeknja…”

Seketika itu djuga orkes “Penawar Hati” memperdengarkan musiknja. Bapak, ibu, paman dan anak-anak mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Lebih-lebih ketika terdengaar suara Miss Aju.

Setengah djam lamanja “Penawar Hati” dan Miss Aju menghidangkan lagu jang bagus-bagus. Sesudah dimainkan lagu penutup terdengarlah suara :

“Tuan-tuan dan Njonja-njonja pendengar jang terhormat! Waktu untuk “Penawar Hati” habislah sudah. Lagu, jang diperdengarkan untuk penutup jaitu lagu “Selamat tinggal”.

“Paman!” kata si Ahmad. “Bagaimana paman dapat mengetahui bahwa pukul 9 ada siaran musik ?”

“Ini madjallah Suara Timur,” kata Paman. “Dalam madjallah ini dapat kaubatja : Hari Minggu pukul 9-9.30 : orkes “Penawar Hati” memperdengarkan lagu-lagu Indonesia. Pemimpin : Mister Kasep ; Biduan Miss Aju. Pukul 12.12.30 Tuan Cholil alias Menir Muda pelawak jang kenamaan meriangkan hati tuan. Pukul 14-14.30 …

 

 

“Pukul 14?” tanja si Ahmad dengan herannja. “Disekolah diadjarkan kepada kami tuma pukul 1 sampai 12.”

“Pukul 14 artinja pukul 2 siang,” kata paman. “14 – 12 + 2 kan? Pukul 7 malam disebut orang djuga pukul 19. Sudah begitu kebiasaan orang dipedjabatan radio. Djadi pukul 12 tengah malam disebutkan pukul 24 oleh pegawai radio.”

“Apa sebabnja pegawai radio memakai djam jang menjalahi kebiasaan itu ?” tanja si Ahmad.

“Sebab lebih terang,” kata paman. “Kalau kita katakan pukul 20, meskipun tidak dengan keterangan jang lain, orang mengerti, bahwa jangkita maksud pukul 8 malam. Tetapi pukul 8 harus diterangkan malam atau pagi; djadi terlalu pandjang. Mengatakan malam, pagi dan petang satu dua kali sadja tidak mengapa, tidak melelahkan atau mendjemukan. Tetapi pegawai radio dalam pekerdjaanja, berpuluh-puluh kali sehari harus mengatakan pukul berapa.”

“O, begitu,” kata si Ahmad. “tetapi jang belum terang bagi saja jaitu, mengapa dapat paman terka, siaran itu dari Bandung.”

“Itupun disebutkan dalam Suara Timur.” kata paman. “Teapi djika nama kota itu tak disebutkan, masih djuga diterka. Begini  : Kalau radio itu berbunji, dan djarumnja menundjuk angka 58, dengan pastidapat dikatakan bahwa siaran itu datangnja dari bandung, sebab diseluruh Indonesia tjuma satu pemantjar, jang bergelombang 58 m, jaitu pemantjar Bandung.”

Bapak, ibu dan anak-anak bertjakap-tjakap djuga dengan paman sambil mendengarkan musik radio.

 

 

 

Kutipan dari buku “Mertju” karangan Samoed-Zainu’ddin – J.B. Wolters Groningen – Djakarta – 1950

Jejak Heijne di Doofstommen Instituut

Oleh : Asep Suryana

Salah satu tempat yang dikunjungi bersama Komunitas Aleut pada hari Minggu tanggal 12 Juni 2011 adalah SLB (Sekolah Luar Biasa untuk tunarungu dan tunagrahita) di Jalan Cicendo No. 2. Letaknya persis di belakang Gedung Pakuan rumah dinas gubernur Jawa Barat. Dahulu sekolah ini bernama Doofstommen Instituut (Lembaga Bisu Tuli) didirikan pada 1933.

Bagian depan SLB dengan bentuk atap tradisional.

Saya belum mendapatkan data siapa arsitek gedung SLB ini. Atapnya bergaya tradisional, sedangkan penyangga atap dan rangka jendela menggunakan pelat baja, suatu yang langka pada jamannya. Ketika mendongak ke atas ternyata pada genting tercetak “J.B. Heijne//Bandoeng”. Langsung saya teringat dengan bekas pabrik pembuatnya yang dekat dengan tempat tinggal saya.

Searah jarum jam:
1. Plakat peletakan batu pertama
2. Plakat kedermawanan K.A.R Bosscha yang menyumbang F 50.000 untuk pembangunan gedung SLB
3. Genting buatan pabrik J.B. Heijne
4. Rangka baja pada atap gedung

J.B. Heijne adalah seorang ahli keramik dari Belanda yang mendirikan pabrik genting di daerah Ujungberung sebelah timur kota Bandung. Pabrik ini didirikan pada awal abad ke-20. Berdasarkan buku telefon tahun 1936 perusahaan Heijne bernama N.V. Oedjoengbroeng. Pada jamannya pabrik ini tergolong modern dengan fasilitas mesin pres, lori, kereta gantung, dll. Hasil produksinya tidak hanya untuk kota Bandung dan sekitarnya, tetapi dikirim pula ke beberapa daerah di Nusantara.

Benteng dan lahan bekas pabrik N.V. Oejoengbroeng/PT Nila. Foto paling bawah bekas rumah kediaman J.B. Heijne.

Pada tahun 1959 perusahaan ini dinasionalisasi dan berganti nama menjadi PT Nila. Ketika “taneuh angir” (tanah lempung) yang merupakan bahan baku mulai habis di daerah Cijambe-Ujungberung, PT Nila mencari bahan baku di luar Bandung. Dan yang mendekati mutu tanah seperti yang diinginkan adalah dari Jatiwangi – Majalengka. Cikal bakal genteng Jatiwangi yang terkenal baik mutunya, teknologi awalnya disinyalir dari N.V. Oedjoengbroeng/PT Nila ini. Bagi orang Ujungberung nama Heijne & PT Nila cukup akrab, semacam legenda. Namun sepengetahuan saya tak pernah seorang pun penulis buku tentang Bandung yang menyinggung J.B. Heijne dan peninggalannya.

Bacaan:

Suganda, Her. “Jendela Bandung”, Kompas Media Nusantara, 2007, hal. 246

Link terkait:

http://bandung.detik.com/read/2011/04/04/100146/1607817/486/genting-heyne-ujungberung-yang-kini-tinggal-legenda (Erna Mardiana – detikBandung)

Metamorfosis si Bale Nyungcung

Mesjid Agung Bandung merupakan salah satu bangunan tertua di Bandung, dibangun tahun 1811/1812 seiring dengan pembangunan Negorij Bandong yang dipindahkan dari Krapyak. Bangunan asli sudah tidak ada karena renovasi sering dilakukan terhadapnya. Sejak bangunan awal yang hanya terbuat dari kayu dan bambu saja, kemudian tahun 1825 sempat diperkokoh dengan kayu, Perubahan besar dilakukan ketika bangunan ini direnovasi pada tahun 1850 oleh Bupati Wiranatakusumah IV (1846-1874). Ketika itu bangunan ini sudah mulai menggunakan tembok sebagaimana diiliustrasikan dalam buku Rambles of Java karya Charles Walter Kinloch.

Masjid Agung sempat mengalami berbagai renovasi lagi di abad 20, dan istilah Bale Nyuncung mungkin baru dipakai tahun 1905 ketika sang Masjid menggunakan atap bertumpang tiga dan berujung lancip khas masjid Nusantara.

Sejak tahun 1955, Masjid ini mulai meninggalkan arsitektur khasnya, yaitu ketika Soekarno memasang kubah bawang di atasnya menggantikan atap “nyungcung”. Sejak saat itu pesona masjid agung mulai memudar, hingga bentuk sekarang yang terhalang oleh keramaian alun-alun Bandung….

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Loge Sint Jan si Gedung Setan!

Bandung dikenal sebagai salah satu pusat gerakan Vrijmetselarij (Freemasonry) di Hindia Belanda. Loge Freemason Bandung bernama “Sint Jan” didirikan tahun 1896 dan merupakan Loge ke-13 di Hindia Belanda.

Kegiatan Sint Jan antara lain membuka perpustakaan “De Openbare bibliotheek van Bandoeng” . Dari perpustakaan inilah Soekarno selama masa penahanannya di Banceuy memperoleh buku-buku yang dijadikan referensi dalam pembuatan peldoi Indonesia menggugat. Selain itu Sint Jan mengadakan kegiatan “Pro Juventute” untuk membina remaja nakal. Di bidang ekonomi, Sint Jan memberikan kredit ringan kepada masyarakat untuk memerangi rentenir. Di Bidang pendidikan, mereka mendirikan Bandoengsche Schoolvereniging yang berhasil mengadakan 3 sekolah dasar, 3 sekolah menengah dan sebuah Taman Kanak-kanak. Aksi terkenal lainnya dari perkumpulan Freemason Hindia Belanda adalah sokongan bagi pendirian lembaga orang buta di Bandung.

Sebelum dibongkar tahun 60an, Loge Sint Jan disebut sebagai ‘Gedung Setan’ oleh masyarakat karena konon berbagai upacara ritual asing dan aneh pernah dilakukan di dalamnya. Kini di atas lokasi Loge tersebut telah berdiri suatu Masjid ‘Al Ukhuwah’ yang mungkin disimbolkan sebagai upaya menetralisasi ‘kekuatan jahat’ yang pernah bersarang di tempat tersebut.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Prof. Kemal C.P. Wolff Schoemaker

Oleh : Ridwan Hutagalung

Para peminat sejarah kolonialisme di Hindia Belanda dan terutamaBandung, tentunya tak asing dengan nama Wolff Schoemaker. Beliau adalah arsitek yang banyak merancang gedung-gedung monumental di Bandung. Dapat disebutkan beberapa karyanya yang terkemuka seperti Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, Mesjid Raya Cipaganti, dan banyak lagi yang lainnya. Demikian banyak karyanya diBandungsehingga seorang pakar arsitektur dari Belanda, H.P. Berlage, pernah mengatakan bahwaBandungadalah “kotanya Schoemaker bersaudara”. Ya, Wolff Schoemaker memang memiliki seorang kakak yang juga terpandang dalam dunia arsitektur masa kolonial, yaitu Richard Schoemaker.

Walaupun demikian populer karya-karyanya diBandung, namun kehidupan pribadinya sama sekali tidak demikian. Tidak banyak informasi mengenai kehidupan Wolff Schoemaker yang bisa didapatkan baik melalui buku-buku lama ataupun melalui internet di masa sekarang ini. Salah satu kemungkinan yang menjadi penyebabnya adalah hilang atau hancurnya semua data-data itu pada masa penjajahan Jepang di Nusantara dan berlanjut pada masa Agresi Militer I dan II. Oleh karena itu dalam tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Wolff Schoemaker umumnya terbatasi hanya dalam bidang arsitektur saja.

Kelangkaan informasi mengenai sosok Wolff Schoemaker tak ayal menimbulkan berbagai dugaan dan keraguan pula. Misalnya saja pertanyaan mengenai apakah sebenarnya agama yang dianut oleh Wolff Schoemaker seperti yang disinggung dalam tulisan mengenai Masjid Cipaganti di buku “200 IkonBandung: Ieu Bandung, Lur” yang baru saja diterbitkan oleh Pikiran Rakyat. Pertanyaan yang sangat wajar karena penulis artikel itu menemui bahwa ada beberapa tulisan yang menyebutkan nama arsitek ini dengan Profesor Kemal C.P. Wolff Schoemaker. Sumber lainnya dengan agak ragu menyebutkan bahwa gelar Kemal didapatkan oleh Wolff Schoemaker setelah ia memeluk agama Islam.

Berikut ini saya sarikan sejumlah informasi tentang Wolff Schoemaker seperti yang terdapat dalam buku “Tropical Modernity; The Life & Work of C.P. Wolff Schoemaker” karya C.J. van Dullemen ditambah dengan beberapa buku lain sebagai bahan pendukung. Penulis buku ini (Dullemen) mengakui kelangkaan informasi tentang sosok arsitek yang karya-karya monumentalnya tersebar diKotaBandung. Oleh karena itu van Dullemen banyak mengandalkan berbagai ingatan dari mantan mahasiswa professor ini saat aktif mengajar di Technische Hoogeschool (sekarang ITB).

Charles Prosper Wolff Schoemaker dilahirkan di Banyubiru, Jawa Tengah, pada tahun 1882. Ia menjalani pendidikan di Akademi Militer di Belanda hingga lulus dengan pangkat letnan zeni militer. Sekembalinya di Hindia Belanda pada tahun 1905, Wolff Schoemaker bekerja sebagai arsitek militer untuk pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1911 Wolff keluar dari dinas militer dan dua tahun kemudian bekerja sebagai insinyur teknik pada Dienst Burgerlijk Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum Batavia. Saat menjabat sebagai direktur di GemeentewerkenBatavia, diketahui ia menjadi seorang Muslim. Tidak ada informasi mengenai faktor apa yang menyebabkannya memutuskan berpindah agama saat itu.

Tak lama setelah memeluk agama Islam, Wolff Schoemaker mendapatkan gelar Kemal dari rekan-rekan Muslimnya. Kegiatannya dalam dunia Islam dilakukannya melalui jabatannya sebagai wakil ketua pada kelompok Western Islamic Association di Bandung. Ia juga bergabung dengan organisasi Persatoean Oemmat Islam setelah masa perang kemerdekaan. Melalui sebuah suratpanjang, Ia bahkan menyarankan pada mantan muridnya yang saat itu menjadi PresidenR.I., Ir. Soekarno, agar mengarahkan republik yang baru berdiri ini menjadi Kesultanan Indonesia Islamyah. Menurut pandangannya sistem demokrasi dengan dasar-dasar yang berasal dari barat itu tidak tepat untuk dijalankan di Indonesia. Beberapa pandangannya mengenai Islam dituangkannya pula dalam sebuah tulisan yang diterbitkan dalam koleksi essay yang berjudul Cultuur Islam (1937).

Pada tahun 1938 Wolff Schoemaker mendapatkan tugas untuk menggantikan kakaknya, Richard, sebagai pengajar di Techincal University di Delft. Dalam perjalanan menuju Belanda itu Wolff berkesempatan untuk mampir dan tinggal sebentar di Kairo, Mesir. Setelah berada di Belanda, Wolff memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah pada akhir tahun 1938. Pada akhir tahun 1939 Wolff kembali keBandungdan melanjutkan tugasnya sebagai professor di Technische Hoogeschool.

Sebagai seorang Muslim yang cukup aktif dalam kegiatan keagamaan, Wolff Schoemaker cukup disegani oleh para mahasiswa Indonesianya. Sementara kalangan mahasiswa Belanda dan orang-orang Eropa lainnya tak dapat memahami pilihan Wolff Schoemaker untuk menjadi Islam. Dalam pengantar untuk Cultuur Islam, Wolff Schoemaker menyatakan bahwa karakter yang humanis dan toleran dalam Islam memberikan peluang bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Mungkin hal itulah yang membuat Wolff Schoemaker merasa cocok dengan pilihannya. Wolff Schoemaker memang merupakan figur yang sangat terbuka bagi ilmu pengetahuan. Ia juga unik sehingga tidak mudah dipahami oleh lingkungannya. Tidak mudah juga untuk dapat berteman dengannya. Kebanyakan rekannya menilainya sebagai seorang yang temperamental, emosional, sekaligus juga flamboyan dan sensual.

Walaupun kegiatannya sebagai Muslim cukup menonjol, dari empat kali pernikahannya Ia tidak pernah menikahi sesama Muslim. Bahkan satu-satunya karya yang berkarakter Islam yang pernah dibuatnya hanyalah Masjid Kaum Cipaganti yang diselesaikannya pada tahun 1934. Masjid ini dibangun di Nijlandweg, di tengah-tengah kompleks permukiman bangsa Eropa di Bandung Utara pada masa pemerintahan Bupati Rd. Tg. Hassan Soemadipradja. Keanehan lainnya adalah fakta bahwa Ia dimakamkan di TPU Kristen Pandu pada tahun 1949.

Ridwan Hutagalung

Penulis buku “Braga; Jantung Parijs van Java”

Sumber-sumber bacaan :

Haryoto Kunto, “Seabad Grand Hotel Preanger; 1897-1997″

C.J. van Dulleman, “Tropical Modernity; The Life & Works of C.P. Wolff Schoemaker”

Huib Akihary, “Architectuur & Steedebouw in Indonesie, 1870/1970″

Her Suganda, “Jendela Bandung”

Sumber foto :

C.J. van Dulleman, “Tropical Modernity; The Life & Works of C.P. Wolff Schoemaker”

1. C.P. Wolff Schoemaker di studionya tahun 1924. Di latar belakang adalah ukiran-ukiran yang dipergunakannya untuk ornamen gedung Societeit Concordia dan Gereja Bethel.

2. C.P. Wolff Schoemaker dengan kostum haji.

3. C.P. Wolff Schoemaker dengan latar belakang piramid saat kunjungannya ke Mesir.

4 & 5. Plakat di Mesjid Cipaganti.

Original Post : http://rgalung.wordpress.com/2011/06/04/prof-kemal-c-p-wolff-schoemaker/

Antara Dago Maribaya

Oleh : Erik Pratama

Dago, siapa tak kenal Dago.Mulai dari FO, Tea House sampai dengan Car Free Day membuat daerah ini sangat dikenal. Dago berasal dari basa sunda Dago yang berarti tunggu ; menunggu. Ya, tempat ini dahulu merupakan tempat orang saling menunggu untuk bersama-sama menuju kota karena saat itu jalanan menuju kota sangat sepi dan rawan.

Wisatawan tentu sudah tak asing lagi dengan tempat ini, di daerah dago berdiri banyak hotel kelas atas dan beberapa fashion outlet. Namun bagi anda yang bosan dengan suasana Dago yang terlalu “kota” anda bisa terus menjelajahi Dago ke arah utara, and akan menemukan suasana yang lebih alami. Ya, Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda bisa menjadi alternatif menikmati liburan anda di kota Bandung. Dari Tahura Juanda ini anda dapatmelanjutkan perjalanan menuju Lembang dengan berjalan kaki. Hanya memerlukan waktu sekitar 2 -3 jam untuk sampai di Lembang.

Selepas memasuki pintu masuk Tahura anda bisa langsung menuju Gua Jepang, gua yang dijadikan penyimpanan mesiu dan pertahanan Jepang pada masa pendudukannya. Gua Jepang ini konon merupakan tambahan dari gua gua sebelumnya yg pada masa belanda dijadikan saluran air untuk pembangkit Listrik. Gua jepang ini dibangun sendiri dengan tenaga rakyat Indonesia namun tentunya atas perintah Jepang melalui suatu kegiatan romusha.

Gua Jepang

Dari Gua jepang kita lanjutkan perjalanan menuju pendahulunya yaitu Gua Belanda, Gua yang pertama kali dibangun untuk kepentingan saluran air pembangkit.

Gua Belanda

Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.

Dari sini anda bisa memlih untuk mengitari gua atau menembus gua untuk melanjutkan perjalanan menuju Maribaya, Lembang. Jika memilih menembus gua sebaiknya anda menyiapkan penerangan yang cukup, atau anda bisa berjalan lurus saja tanpa penerangan dengan berpatokan pada cahaya dari luar gua, karena memang panjangnya yang tidak begitu panjang anda dapat melihat ujung gua ini.

Sebelah kanan dari pintu gua adalah jalan menuju Maribaya. Jalan ini cukup nyaman, bukan jalan setapak yang becek, sehi ngga anda tak perlu kuatir mengalami kesulitan menyusuri  jalan ini. Selama perjalanan anda bisa menikmati pemandangan sembari mengenali berbagi pohon yang ada di kawasan ini. Pohon di sini diberi papan nama,baik nama daerah maupun nama ilmiah, sehingga bagi anda yang  baru belajar mengenal pohon anda dapat lebih terbantu dengan adanya papan nama ini.

Jika ada memiliki waktu yang panjang anda dapat pula mengunjungi air terjun saat menusuri jalur menuju Maribaya ini. Curug Dago bisa menjadi tujuan pertama anda karena letaknya yg lebih dekat.

Curug Dago

Air yang mengalir di Curug Dago ini bersumber dari aliran sungai Cikapundung. Satu lagi peninggalan sejarah di kota Bandung yang dapat kita ketahui yaitu prasasti yang terdapat di sekitar Curug Dago. Konon menurut para ahli sejarah disekitar Curug Dago terdapat 2 buah Bangunan berwarna merah yang didalamnya terdapat 2 buah prasasti peninggalan Raja Rama V dan Raja Rama VII yang berkunjung ke Curug Dago sekitar kurang lebih tahun 1818 dari Kerajaan Thailand. 

Apabila masih belum puas anda bisa pula mengunjungi  Curug Lalay

Curug Lalay di ambil dari Bahasa Sunda yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah Air Terjun Kelelawar (Lalay = Kelelawar), itu sebabnya air terjun ini dinamakan Curug Lalay karena di sekitaran air terjun ini banyak di temukan beberapa kelelawar. Keadaan alam di Curug Lalay masih asri dan tentu saja sejuk dengan ketinggian sekitar 1800m dpl. 

 

Curug Lalay

Curug Lalay merupakan urutan curug terakhir dari sebuah aliran sungai, curug – curug tersebut bila diurut dari hulu ke hilir yaitu seperti ini Curug Layung, Curug Tilu, Curug Brugbrug, Curug Cimahi, Curug Panganten, kemudian yang terakhir inilah Curug Lalay.

Tak perlu cemas jika anda lelah,di sepanjang jalan menuju maribaya anda akan menemukan banyak warung makanan. Jadi jika lelah anda bisa istirahat di warung terdekat.

Saat lelah sudah hilang anda bisa kembali melanjutkan perjalanan menuju maribaya dengan terlebih dahulu mampir di Curug Omas. Sepanjang perjalanan mungkin anda juga akan menemukan monyet-monyet berkeliaran di habitat aslinya.

Curug Omas

Curug Omas merupakan curug yang cukup besar dengan ketinggian mencapai 35m, Di Curug Omas pengunjung tidak dapat bermain – main atau mandi di bawah air terjun ini karena Curug Omas cukup tinggi dan airnya pun terlihat dalam, jadi kita hanya dapat menikmati kesegaran cipratan airnya saja dari jembatan yang ada di Curug Omas tersebut. Di jembatan ini lah para pengunjung lebih senang berlama – lama untuk menikmati kesegaran udara dan gemuruh disertai percikan air terjun lebih dekat.

Dari sini anda semakin dekat denga Lembang, dengan berjalan sebentar saja anda dapat langsung memasuki kawasam Maribaya, Lembang.

Maribaya

Konon Maribaya berasal dari nama seorang perempuan sangat cantik yang menjadi sumber kehebohan bagi kaum laki-laki. Saking terpesona oleh kecantikannya, pemuda-pemuda di kampungya sering cekcok sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi pertumpahan darah. Itulah gambaran keindahan Maribaya tempo dulu. Karena keindahan dan kenyamanan wilayah itu, lokasi pemandian air hangat itu diabadikan dengan nama Maribaya. Keelokan pemandangan disertai desiran air terjun digambarkan bagai seorang gadis cantik jelita yang membuat setiap pemuda bertekuk lutut. Maribaya  adalah salah satu tempat wisata di Bandung yang memiliki sumber Mata Air Panas, taman dan juga air terjun setinggi 2,5 meter. Di sini terdapat beberapa air terjun seperti Curug Cikawari, Curug Cigulung, dan Curug Cikoleang, ketiga curug tersebut bersumber dari Sungai Cigulung dan Sungai Cikawari.

Dari maribaya anda bisa keluar dari pintu maribaya di Cibodas untuk kemudian anda bisa memilih tempat istirahat atau bahkan kembali menuju Dago.

 

Sumber:

http://brilianfirman.wordpress.com/2010/02/11/maribaya/

http://aleut.wordpress.com/2011/01/26/truedee-jajal-geotrek-6/

http://bandung.jacktour.com/

 

foto :

vikathequeen.blogspot.com

http://bandung.jacktour.com/

Ngaleut Taman Hutan Raya ; Setiap Nama Punya Cerita.

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Hari Minggu 5 Juni 2011, Bandung seolah-olah dihujani dengan “keramaian”. Berbagai aktivitas mulai dari kegiatan-kegiatan memperingati hari lingkungan hidup sedunia, kegiatan rutin car free day atau yang sekedar jalan-jalan menghabiskan libur panjang. Kebetulan aku menjadi bagian dari salah satu aktivitas tersebut yaitu kegiatan memperingati hari lingkungan hidup sedunia. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan perayaan-perayaan semacam ini apalagi kalo ujung-ujungnya hanya sekedar ceremony saja, menurutku hari lingkungan hidup sedunia itu harusnya kita rayakan setiap hari, karena memang untuk menjaga bumi kita itu tidak cukup hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Namun, setelah melalui pengkajian lebih lanjut, perayaan seperti ini perlu juga untuk lakukan sebagai pengingat, sebagai penyemangat, ataupun sebagai pengajak pada publik yang lebih luas.

Flyer Baladkuring Bebeja

Peringatan hari lingkungan hidup sedunia kali ini  di”organized” oleh teman-teman Baladkuring bersama BPLHD dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap lingkungan, tema tahun ini adalah “hutan sebagai penyangga kehidupan”, untuk itu kami memutuskan untuk menamakan acara ini sebagai BALADKURING BEBEJA (Bebenah Jawa Barat) : Hutan sebagai penyangga kehidupan. Bebeja sendiri berasal dari kata dalam bahasa sunda yang berarti memberitahukan, karena memang salah satu tujuan dari acara ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang arti penting dari hutan. Acara bebeja ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu bersepeda, yoga dan menanam pohon. Komunitas Aleut! ikut berpartisipasi dalam acara Baladkuring Bebeja tersebut dengan cara Aleut! tentunya yaitu dengan ngaleut! Tahura (taman hutan raya) Djuanda.

Terminal dago tempat berkumpul Aleut!

Ngaleut kali ini dimulai dengan berkumpul di terminal dago yang merupakan spot langganan apabila kita ngaleut ke kawasan dago. Waktu berkumpul yang ditentukan adalah pukul 07.00 WIB namun semua peserta ngaleut! baru berkumpul sekitar jam 8 pagi. Setelah semua berkumpul kami memulai perjalanan dengan menaiki angkot sewaan menuju Tahura dan rencananya dilanjutkan ke warung bandrek. Tak berapa lama kami tiba di Tahura dan langsung ke venue utama untuk berkoordinasi dengan panitia.

Venue acara Balad Kuring bebeja. foto 1 : Komunitas Aleut di depan patung Juanda. foto 2 : peserta acara sedang beryoga.

Venue utamanya terletak di area sekitar patung Ir.H. Juanda. Namun siapakah Ir.H.Juanda? mungkin dari kita ada yang belum tahu atau lupa terhadap beliau, berikut profil singkatnya :

Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan, dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).

Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.

Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Kami hanya sekitar 15 menit berada di venue acara, karena harus melanjutkan perjalanan yang masih sangat jauh. Kami recananya akan naik angkot menuju warung bandrek, namun belum juga keluar dari komplek tahura tiba-tiba ban angkot yang kami naiki kempes dan terpaksa kami pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Memang Komunitas Aleut! ditakdirkan untuk berjalan kaki nampaknya.

pintu masuk II tahura, dari sinilah perjalanan dimulai.

Kami mulai berjalan kaki dari pintu II Tahura lalu berbelok ke jalan Bukit Pakar Utara dan terus menelusuri jalan itu, menaklukan tanjakan demi tanjakan, mencoba tidak mempedulikan peluh dan terik yang mengahadang.

kondisi jalan yang harus ditempuh

Di tengah perjalanan kami berhenti di sebuah bangunan yang sudah tidak ditempati lagi untuk beristirahat sejenak dan berfoto-foto.

tempat beristirahat

Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Beberapa lama kemudian, kami tiba di sebuah warung yang berada di kampung negla, dan karena kondisi kami yang kelelahan setelah melahap beberapa tanjakan yang cukup ekstrim, kami pun memutuskan untuk beristirahat kembali.

suasana istirahat di warung kampung negla

Sambil beristirahat, kami melakukan acara perkenalan. Acara perkenalan yang cukup terlambat sebenarnya, hal ini dikarenakan ada perubahan rencana yang semula akan ngangkot menuju warung bandrek kemudian melakukan perkenalan disana, tapi karena tidak memungkinkan maka kami berjalan kaki dan baru melakukan perkenalan di warung negla ini.

Setelah cukup beristirahat dan melakukan perkenalan, kami melanjutkan perjalanan menuju warung bandrek yang lagi-lagi medannya cukup berat yaitu tanjakan demi tanjakan. Walaupun berat namun semuanya tidak begitu terasa, mungkin karena kami berjalan bersama-sama sehingga beban yang dirasa pun terasa berkurang.

Tak terasa kami pun akhirnya tiba di warung bandrek yang cukup terkenal di kalangan pesepeda, karena warung bandrek ini merupakan salah satu tujuan favorit pesepeda yang ingin menjajal track pegunungan di Bandung. Warung ini dinamakan warung bandrek mungkin karena menyajikan minuman bandrek sebagai jajanan favoritnya yang memang rasanya cukup bisa merefresh tenaga setelah menempuh perjalanan yang melelahkan.

Bandrék adalah minuman tradisional Indonesia yang populer di Jawa Barat, yang dikonsumsi untuk menaikkan kehangatan tubuh. Minuman ini biasanya dihidangkan pada cuaca dingin, seperti di kala hujan ataupun malam hari. Bahan dasar bandrék yang paling penting adalah jahe dan gula merah, tapi daerah-daerah tertentu menambahkan rempah-rempah tersendiri untuk memperkuat efek hangat yang diberikan bandrék, seperti serai, merica, pandan,telur ayam kampung, dan sebagainya. Susu juga dapat ditambahkan tergantung dari selera penyajian. Banyak orang Indonesia percaya bahwa bandrék dapat menyembuhkan penyakit ringan seperti sakit tenggorokan. Ada juga bandrék yang dikhususkan untuk orang dewasa karena efek panasnya.

suasana warung bandrek

Setelah puas menikmati jajanan di warung bandrek, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kami melalui sebuah perkampungan yang bernama Sekejolang. Seke sendiri dalam bahasa sunda berarti mata air dan jolang adalah sebuah wadah besar tempat menampung air. Di perkampungan ini kami sempat nyasar dan menemui jalan buntu, namun atas bantuan penduduk setempat kami bisa menemukan jalan yang dituju. Selepas perkampungan ini kami memasuki kawasan hutan dengan jalan tanah yang becek dan licin, maka kami pun harus lebih berhati-hati melaluinya. Pemandangan di dalam kawasan hutan ini sangat indah, udaranya pun segar dan terdengar suara-suara hewan dan percikan aliran sungai cikapundung, benar-benar kombinasi yang sempurna.

kondisi jalan di kawasan hutan.

Setelah berjuang cukup keras menaklukan jalan hutan yang licin dan menurun kami tiba di jembatan yang merupakan perbatasan kawasan tahura dago dan maribaya. di sini kami beristirahat untuk berfoto-foto dan melakukan diskusi kecil tentang perjalanan kali ini. Bang Ridwan (BR) menjelaskan beberapa hal tentang kawasan tahura dan sekitarnya. Mulai dari nama-nama kampung yang ada di sekitar kawasan tahura yaitu diantaranya kampung kordon, saya pun penasaran dengan asal mula penamaan kampung ini karena di bandung setidaknya ada dua nama kampung kordon, kemudian BR menjelaskan sedikit tentang hal ini dan menyuruh untuk melihat tulisannya yang ada di blog, dan inilah tulisannya :

Paling tidak ada dua nama tempat Kordon yang cukup populer di Bandung, satu di atas kawasan Dago dan satu lagi di sebelah timur Buahbatu. Dalam kamus Inggris, cordonberarti garis atau lingkaran penjaga. Mungkin kata ini bentukan dari cord yang berarti kawat, kabel atau pita. Kata cordon juga dapat dipakai untuk kata kerja seperti dalam cordoned off yang artinya menutup dengan penjagaan ketat. Sedangkan kamus Belanda menerangkan kordon sebagai garis pelindung atau garis pertahanan.

Masih ingin berspekulasi lebih lanjut, berbatasan dengan wilayah Kordon di Buahbatu terdapat nama daerah Tegal Luar yang dulu berbatasan dengan Ciparay. Kedua tempat dengan nama Kordon ini memiliki dam dengan pintu air dan terletak agak jauh dari pusat kota.

Kemudian BR menjelaskan sedikit tentang sejarah Tahura, dan lagi-lagi BR menyuruh untuk membaca tulisannya tentang tahura, dan inilah tulisannya :

Taman Hutan Raya Juanda merupakan taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Sebagai taman hutan raya, maka Hutan Lindung Gunung Pulosari ini merupakan taman hutan raya yang pertama didirikan di Hindia-Belanda. Pada tahun 1965 taman hutan raya ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu, Brigjen. H. Mashudi, sebagai Kebun Raya atau Hutan Rekreasi. Baru pada tanggal 14 Januari 1985 taman hutan diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tanggal peresmian ini memang bertepatan dengan hari kelahiran Pahlawan Kemerdekaan, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, seorang tokoh nasional yang pernah memangku 18 jabatan menteri dalam rentang waktu antara 1946-1963.

suasana diskusi dan foto di jembatan perbatasan maribaya

BR lalu menceritakan bahwa sampai tahun 70-an kawasan maribaya merupakan salah satu kawasan favorit untuk tujuan wisata di Bandung, hampir semua turis lokal maupun mancanegara minta diantarkan ke tempat ini, namun kondisi sekarang sangat jauh berbeda dengan kondisi waktu itu, sekarang maribaya sudah kumuh dan tidak lagi menarik bagi wisatawan. Mungkin ini harus menjadi renungan dan “pekerjaan rumah” bersama dalam menjaga aset yang kita punya, tidak hanya maribaya, karena saya yakin berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tempat wisata yang menjadi aset kita kondisinya serupa dengan maribaya. BR juga menceritakan tentang aliran sungai cikapundung yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul Lembang, saya jadi tertarik untuk menelusuri Gunung bukit tunggul dan hulu sungai cikapundung, mungkin Aleut! bisa kesana suatu saat nanti.

Setelah puas berdiskusi kita melanjutkan perjalanan menelusuri kawasan hutan raya menuju arah dago yang katanya jaraknya kurang lebih 5 km, sebuah jarak yang cukup menciutkan nyali namun ternyata tidak begitu terasa apabila kita menajalaninya apalagi jika  bersama-sama. Rencananya kami ingin menelusuri sebuah batu yang terbentuk dari lipatan lava hasil letusan gunung tangkuban parahu yang bentuknya unik sepeti bentuk daun tanaman pakis, namun sayang kami tidak berhasil menemukannya karen lokasi nya yang cukup tersembunyi di tengah-tengah sungai cikapundung dan jalan setapak menuju kesana katanya lumayan curam dan licin.

Di tengah perjalanan menuju dago tepatnya di sebuah saung yang cukup luas kami bertemu dengan beberapa orang yang cukup kami kenal, mereka merupakan kelompok riset cekungan Bandung (KRCB) yang memang telah sering berinteraksi dengan komunitas Aleut!, kita berhenti untuk beristirahat sambil diskusi santai dengan kelompok tadi, disana kami diperkenalkan dengan Pak Ganjar yang merupakan salah satu staff dari tahura yang mengenal banyak sekali koleksi tanaman di tahura ini dan kami pikir inilah kesempatan untuk belajar tentang tanaman lebih mendalam.

suasana diskusi dengan KRCB

Akhirnya kami memutuskan untuk bergabung dengan perjalanan KRCB untuk belajar mengenal berbagai tanaman, sepanjang perjalanan kami belajara mengenal banyak sekali tanaman diantaranya : pohon kaliandra, pohon kondang, pohon binar, pohon johar, pohon hampelas, pohon kiciat, harendong dll. saking banyaknya saya pun lupa sebagian nama tanaman karena memang tidak dicatat, satu pelajaran yang bisa diambil : lain kali bawa catatan setiap kali ngaleut!. Banyak sekali dari nama-nama tanaman tersebut menjadi nama daerah, dan mempunyai ceritanya masing-masing, dari sini saya mendapatkan pelajaran baru bahwa setiap nama itu punya cerita, hampir setiap nama yang diberikan kepada tempat atau manusia atau apapun itu saya yakin tidaklah dengan kebetulan atau asal saja, melainkan selalu ada cerita, harapan atau maksud tertentu”.

Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Pak Ganjar ini untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang belum menemukan jawabannya selama ini, yaitu kenapa di sunda banyak sekali nama pohon yang awalan namanya memakai “ki” ? seperti : Kiciat, kihoe, kimerak, dll. Dan saya akhirnya mendapatkan jawabannya, kata Pak Ganjar “ki” itu merupakan kependekan dari :”kai” (bhs. Indonesia : kayu) seperti halnya “ci’ yang berasal sari “cai” .

Pak Ganjar menjelaskan tentang tanaman

Setelah beberapa lama berjalan kami tiba di kawasan kolam penampungan air yang di bangun Belanda untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air yang alirannya nanti akan melalui gua belanda. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Gua Belanda dan Gua Jepang dan berikut adalah sejarah kedua gua tersebut yang ada pada tulisannya BR :

 Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.

Pada masa penjajahan Jepang, fungsi gua sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu dilanjutkan sambil menambahkan gua-gua baru lainnya di dekatnya (1943-1944) yang belakangan disebut sebagai Gua Jepang. Untuk membangun gua ini, Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) pada penduduk saat itu. Gua-gua ini kemudian juga menjadi tempat pertahanan terakhir Jepang di Bandung. Setelah kemerdekaan RI gua-gua ini tidak terperhatikan dan baru ditemukan kembali pada tahun 1965 dengan kondisi tertutup alang-alang dan tetanaman yang lebat. Saat itu di dalam gua banyak didapati amunisi bekas tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak ditemukannya, Gua Jepang masih berada dalam kondisi aslinya sementara Gua Belanda sudah mengalami 3 kali perbaikan.

Gua Belanda

Setelah melewati kawasan gua jepang, kami akhirnya tiba kembali di kawasan depan tahura dago, namun bertepatan dengan itu pula hujan mengguyur seolah tak ingin ketinggalan berpartisipasi meramaikan hari lingkungan hidup sedunia ini. Kami memutuskan untuk berteduh sejenak sambil membeli jagung bakar dan roti di warung yang ada di areal tahura.

Setelah hujan reda, kami melanjutkan dengan sholat Dzuhur dan istirahat sejenak dikawasan kantor pengelola tahura. Sambil menunggu teman-teman yang belum selesai sholat kami berbincang-bincang kembali dengan Pak Ganjar, kali ini kita berdiskusi tentang temuan-temuan baru yang baru-baru ini ditemukan di tahura dan hal-hal baru yang kemungkinan terdapat di tahura. Diskusi yang sangat menarik dan bikin penasaran untuk menelusuri tahura lebih jauh dan dalam, namun sayang kami harus melanjutkan perjalanan karena hari mulai beranjak sore.

Kami melanjutkan perjalanan menuju situs makam cibitung yang sempat diceritakan oleh Pak Ganjar, lokasi situs makam ini berada di kampung cibitung di sekitar kawasan tahura, namu kami belum tahu persis dimana lokasinya. Dengan rasa penasaran kami yang besar yang sampai-sampai mengalahkan rasa lelah kami pun menelusuri mencari situs tersebut. Kami menempuh tangga-tangga yang licin kemudian tangga-tangga yang menanjak, menemukan mata air yang sangat jernih lalu melalui jalan tanah yang becek dan sempat pula beberapa kali salah jalan. Namun akhirnya dengan perjuangan yang tiada henti, kami menemukan situs makam tersebut, namun sayang tidak ada informasi yang bisa kami dapat tentang siapa yang dimakamkan disitu karena memang tidak ada kuncen yang menjaga, hanya ada makam, pohon-pohon besar dan sisa-sisa bangunan yang menyerupai benteng yang entah apa fungsinya.

makam di kampung cibitung

Setelah dari makam tersebut kami pun melanjutkan perjalanan menuju PLTA Bengkok, namun di tengah perjalanan kami menemukan satu lagi penampungan air yang di bangun oleh Belanda demi keperluan PLTA yang sekarang sudah tidak digunakan lagi.

Komunitas Aleut! di dekat penampungan air.

Kami akhirnya tiba di kawasan atas PLTA bengkok, disini kita bisa melihat pipa-pipa raksasa yang mengalirkan air dari kawasan tahura ke PLTA sebagai pembangkit listrik, kebetulan disini terdapat warung, kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak untuk mengisi perut yang memang mulai keroncongan. Sensasi makan di atas pipa-pipa raksasa sambil memandang pemandangan dago dari ketinggian memang luar biasa, sehingga makanan yang cuma mie rebus pun terasa sangat istimewa.

pipa raksasa PLTA Bengkok 

Setelah beristirahat dan mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan ke spot terakhir yang menjadi tujuan ngaleut kali ini yaitu PLTA Bengkok.

PLTA pertama yang dibangun di aliran Sungai Ci Kapundung adalah Waterkracht werk Pakar aan de Tjikapoendoeng nabij Dago (PLTA Pakar, belum jelas di mana lokasinya). Produknya adalah tenaga listrik yang didistribusikan ke rumah-rumah di Bandung dan sekitarnya olehBandoengsche Electriciteit Maatscappij. PLTA yang masih ada saat ini adalah PLTA Bengkok yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Gedung yang masih berdiri sekarang dibangun tahun 1923 dan di dalamnya masih dapat ditemukan mesin-mesin buatan tahun 1922, di antaranya mesin pendingin Ceber-Stroco Henegelo dan generator Smit Slikkerveer.

Untuk menggerakkan turbin di PLTA ini, air Sungai Ci Kapundung dialirkan melalui saluran khusus yang kemudian ditampung di kolam pengendapan lumpur dan kolam penenang di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (dibangun tahun 1918). Kolam ini sering disebut dengan Kolam Pakar. Melalui pintu pembuang, air memasuki suatu saluran dan menuju pipa pesat sepanjang ± 500 m (tinggi jatuh air sekitar 104 meter) dan kemudian dijadikan pembangkit generator. Listrik yang dihasilkan lalu disalurkan untuk rumah-rumah orang Belanda yang berada di daerah Bandung Utara.

Sejak tahun 1920, pengelolaan distribusi listrik ditangani olehGemeenschappelijk Electrisch Bedrift Bandoeng en Omstreken atauG.E.B.E.O. (kemudian menjadi PLN). Menurut salah seorang mantan pekerja di Radio Malabar di Gunung Puntang, pembangunan pembangkit listrik di utara Bandung ini juga difungsikan untuk menambah pasokan kebutuhan listrik dalam mengoperasikan stasiun pemancar Radio Malabar.

Selain PLTA Bengkok, di tempat terpisah di kawasan ini juga terdapat PLTA Dago yang selain berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik juga untuk memenuhi kebutuhan PDAM.

PLTA Bengkok

Dari PLTA Bengkok kita melanjutkan perjalanan pulang menuju terminal dago, dan sebelum pulang kita berhenti sejenak untuk memberikan bebrapa informasi. Sharing yang menjadi menu wajib setiap kali ngaleut akhirnya diputuskan via online saja melalui FB Komunitas Aleut! dikarenakan kondisi badan yang sudah tidak mendukung dan hari yang sudah senja. Dan sekitar pukul 17.00 WIB akhirnya ngaleut! kali ini selesai dan para pegiat Aleut! pulang ke tempatnya masing-masing.

Beberapa foto keindahan tahura :

Foto karya Yandi Dephol 

Sebuah perjalanan yang sangat menarik, berjalan jauh, belajar tentang tanaman, tersesat, menemukan hal baru, dapet teman baru, dapet pelajaran baru. cape tapi super seru!!! Semoga saja dengan lebih mengenal alam dan lingkungan, kita lebih tergugah untuk menjaganya.

 

Belum ke Bandung kalo Belum Ngaleut!

Dimuat juga di : http://oenank.tumblr.com/post/6241387926/ngaleut-taman-hutan-raya-setiap-nama-punya-cerita

Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja

http://aleut.wordpress.com/category/taman-hutan-raya-djuanda/

http://rgalung.wordpress.com/2011/02/07/aleut-berbagi-cerita-06-02-11/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bandrek

Sumber foto :

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2076635125431.126629.1531574635

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1945977841744.2109680.1011473467

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1865412229117.2102237.1055356878

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑