Oleh : Unang Lukmanulhakim
Hari Minggu 5 Juni 2011, Bandung seolah-olah dihujani dengan “keramaian”. Berbagai aktivitas mulai dari kegiatan-kegiatan memperingati hari lingkungan hidup sedunia, kegiatan rutin car free day atau yang sekedar jalan-jalan menghabiskan libur panjang. Kebetulan aku menjadi bagian dari salah satu aktivitas tersebut yaitu kegiatan memperingati hari lingkungan hidup sedunia. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan perayaan-perayaan semacam ini apalagi kalo ujung-ujungnya hanya sekedar ceremony saja, menurutku hari lingkungan hidup sedunia itu harusnya kita rayakan setiap hari, karena memang untuk menjaga bumi kita itu tidak cukup hanya dilakukan sekali dalam satu tahun. Namun, setelah melalui pengkajian lebih lanjut, perayaan seperti ini perlu juga untuk lakukan sebagai pengingat, sebagai penyemangat, ataupun sebagai pengajak pada publik yang lebih luas.
Flyer Baladkuring Bebeja
Peringatan hari lingkungan hidup sedunia kali ini di”organized” oleh teman-teman Baladkuring bersama BPLHD dan pihak-pihak lain yang peduli terhadap lingkungan, tema tahun ini adalah “hutan sebagai penyangga kehidupan”, untuk itu kami memutuskan untuk menamakan acara ini sebagai BALADKURING BEBEJA (Bebenah Jawa Barat) : Hutan sebagai penyangga kehidupan. Bebeja sendiri berasal dari kata dalam bahasa sunda yang berarti memberitahukan, karena memang salah satu tujuan dari acara ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang arti penting dari hutan. Acara bebeja ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yaitu bersepeda, yoga dan menanam pohon. Komunitas Aleut! ikut berpartisipasi dalam acara Baladkuring Bebeja tersebut dengan cara Aleut! tentunya yaitu dengan ngaleut! Tahura (taman hutan raya) Djuanda.
Terminal dago tempat berkumpul Aleut!
Ngaleut kali ini dimulai dengan berkumpul di terminal dago yang merupakan spot langganan apabila kita ngaleut ke kawasan dago. Waktu berkumpul yang ditentukan adalah pukul 07.00 WIB namun semua peserta ngaleut! baru berkumpul sekitar jam 8 pagi. Setelah semua berkumpul kami memulai perjalanan dengan menaiki angkot sewaan menuju Tahura dan rencananya dilanjutkan ke warung bandrek. Tak berapa lama kami tiba di Tahura dan langsung ke venue utama untuk berkoordinasi dengan panitia.
Venue acara Balad Kuring bebeja. foto 1 : Komunitas Aleut di depan patung Juanda. foto 2 : peserta acara sedang beryoga.
Venue utamanya terletak di area sekitar patung Ir.H. Juanda. Namun siapakah Ir.H.Juanda? mungkin dari kita ada yang belum tahu atau lupa terhadap beliau, berikut profil singkatnya :
Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan, dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Kami hanya sekitar 15 menit berada di venue acara, karena harus melanjutkan perjalanan yang masih sangat jauh. Kami recananya akan naik angkot menuju warung bandrek, namun belum juga keluar dari komplek tahura tiba-tiba ban angkot yang kami naiki kempes dan terpaksa kami pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Memang Komunitas Aleut! ditakdirkan untuk berjalan kaki nampaknya.
pintu masuk II tahura, dari sinilah perjalanan dimulai.
Kami mulai berjalan kaki dari pintu II Tahura lalu berbelok ke jalan Bukit Pakar Utara dan terus menelusuri jalan itu, menaklukan tanjakan demi tanjakan, mencoba tidak mempedulikan peluh dan terik yang mengahadang.
kondisi jalan yang harus ditempuh
Di tengah perjalanan kami berhenti di sebuah bangunan yang sudah tidak ditempati lagi untuk beristirahat sejenak dan berfoto-foto.
tempat beristirahat
Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Beberapa lama kemudian, kami tiba di sebuah warung yang berada di kampung negla, dan karena kondisi kami yang kelelahan setelah melahap beberapa tanjakan yang cukup ekstrim, kami pun memutuskan untuk beristirahat kembali.
suasana istirahat di warung kampung negla
Sambil beristirahat, kami melakukan acara perkenalan. Acara perkenalan yang cukup terlambat sebenarnya, hal ini dikarenakan ada perubahan rencana yang semula akan ngangkot menuju warung bandrek kemudian melakukan perkenalan disana, tapi karena tidak memungkinkan maka kami berjalan kaki dan baru melakukan perkenalan di warung negla ini.
Setelah cukup beristirahat dan melakukan perkenalan, kami melanjutkan perjalanan menuju warung bandrek yang lagi-lagi medannya cukup berat yaitu tanjakan demi tanjakan. Walaupun berat namun semuanya tidak begitu terasa, mungkin karena kami berjalan bersama-sama sehingga beban yang dirasa pun terasa berkurang.
Tak terasa kami pun akhirnya tiba di warung bandrek yang cukup terkenal di kalangan pesepeda, karena warung bandrek ini merupakan salah satu tujuan favorit pesepeda yang ingin menjajal track pegunungan di Bandung. Warung ini dinamakan warung bandrek mungkin karena menyajikan minuman bandrek sebagai jajanan favoritnya yang memang rasanya cukup bisa merefresh tenaga setelah menempuh perjalanan yang melelahkan.
Bandrék adalah minuman tradisional Indonesia yang populer di Jawa Barat, yang dikonsumsi untuk menaikkan kehangatan tubuh. Minuman ini biasanya dihidangkan pada cuaca dingin, seperti di kala hujan ataupun malam hari. Bahan dasar bandrék yang paling penting adalah jahe dan gula merah, tapi daerah-daerah tertentu menambahkan rempah-rempah tersendiri untuk memperkuat efek hangat yang diberikan bandrék, seperti serai, merica, pandan,telur ayam kampung, dan sebagainya. Susu juga dapat ditambahkan tergantung dari selera penyajian. Banyak orang Indonesia percaya bahwa bandrék dapat menyembuhkan penyakit ringan seperti sakit tenggorokan. Ada juga bandrék yang dikhususkan untuk orang dewasa karena efek panasnya.
suasana warung bandrek
Setelah puas menikmati jajanan di warung bandrek, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini kami melalui sebuah perkampungan yang bernama Sekejolang. Seke sendiri dalam bahasa sunda berarti mata air dan jolang adalah sebuah wadah besar tempat menampung air. Di perkampungan ini kami sempat nyasar dan menemui jalan buntu, namun atas bantuan penduduk setempat kami bisa menemukan jalan yang dituju. Selepas perkampungan ini kami memasuki kawasan hutan dengan jalan tanah yang becek dan licin, maka kami pun harus lebih berhati-hati melaluinya. Pemandangan di dalam kawasan hutan ini sangat indah, udaranya pun segar dan terdengar suara-suara hewan dan percikan aliran sungai cikapundung, benar-benar kombinasi yang sempurna.
kondisi jalan di kawasan hutan.
Setelah berjuang cukup keras menaklukan jalan hutan yang licin dan menurun kami tiba di jembatan yang merupakan perbatasan kawasan tahura dago dan maribaya. di sini kami beristirahat untuk berfoto-foto dan melakukan diskusi kecil tentang perjalanan kali ini. Bang Ridwan (BR) menjelaskan beberapa hal tentang kawasan tahura dan sekitarnya. Mulai dari nama-nama kampung yang ada di sekitar kawasan tahura yaitu diantaranya kampung kordon, saya pun penasaran dengan asal mula penamaan kampung ini karena di bandung setidaknya ada dua nama kampung kordon, kemudian BR menjelaskan sedikit tentang hal ini dan menyuruh untuk melihat tulisannya yang ada di blog, dan inilah tulisannya :
Paling tidak ada dua nama tempat Kordon yang cukup populer di Bandung, satu di atas kawasan Dago dan satu lagi di sebelah timur Buahbatu. Dalam kamus Inggris, cordonberarti garis atau lingkaran penjaga. Mungkin kata ini bentukan dari cord yang berarti kawat, kabel atau pita. Kata cordon juga dapat dipakai untuk kata kerja seperti dalam cordoned off yang artinya menutup dengan penjagaan ketat. Sedangkan kamus Belanda menerangkan kordon sebagai garis pelindung atau garis pertahanan.
Masih ingin berspekulasi lebih lanjut, berbatasan dengan wilayah Kordon di Buahbatu terdapat nama daerah Tegal Luar yang dulu berbatasan dengan Ciparay. Kedua tempat dengan nama Kordon ini memiliki dam dengan pintu air dan terletak agak jauh dari pusat kota.
Kemudian BR menjelaskan sedikit tentang sejarah Tahura, dan lagi-lagi BR menyuruh untuk membaca tulisannya tentang tahura, dan inilah tulisannya :
Taman Hutan Raya Juanda merupakan taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.
Sebagai taman hutan raya, maka Hutan Lindung Gunung Pulosari ini merupakan taman hutan raya yang pertama didirikan di Hindia-Belanda. Pada tahun 1965 taman hutan raya ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu, Brigjen. H. Mashudi, sebagai Kebun Raya atau Hutan Rekreasi. Baru pada tanggal 14 Januari 1985 taman hutan diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tanggal peresmian ini memang bertepatan dengan hari kelahiran Pahlawan Kemerdekaan, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, seorang tokoh nasional yang pernah memangku 18 jabatan menteri dalam rentang waktu antara 1946-1963.
suasana diskusi dan foto di jembatan perbatasan maribaya
BR lalu menceritakan bahwa sampai tahun 70-an kawasan maribaya merupakan salah satu kawasan favorit untuk tujuan wisata di Bandung, hampir semua turis lokal maupun mancanegara minta diantarkan ke tempat ini, namun kondisi sekarang sangat jauh berbeda dengan kondisi waktu itu, sekarang maribaya sudah kumuh dan tidak lagi menarik bagi wisatawan. Mungkin ini harus menjadi renungan dan “pekerjaan rumah” bersama dalam menjaga aset yang kita punya, tidak hanya maribaya, karena saya yakin berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tempat wisata yang menjadi aset kita kondisinya serupa dengan maribaya. BR juga menceritakan tentang aliran sungai cikapundung yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul Lembang, saya jadi tertarik untuk menelusuri Gunung bukit tunggul dan hulu sungai cikapundung, mungkin Aleut! bisa kesana suatu saat nanti.
Setelah puas berdiskusi kita melanjutkan perjalanan menelusuri kawasan hutan raya menuju arah dago yang katanya jaraknya kurang lebih 5 km, sebuah jarak yang cukup menciutkan nyali namun ternyata tidak begitu terasa apabila kita menajalaninya apalagi jika bersama-sama. Rencananya kami ingin menelusuri sebuah batu yang terbentuk dari lipatan lava hasil letusan gunung tangkuban parahu yang bentuknya unik sepeti bentuk daun tanaman pakis, namun sayang kami tidak berhasil menemukannya karen lokasi nya yang cukup tersembunyi di tengah-tengah sungai cikapundung dan jalan setapak menuju kesana katanya lumayan curam dan licin.
Di tengah perjalanan menuju dago tepatnya di sebuah saung yang cukup luas kami bertemu dengan beberapa orang yang cukup kami kenal, mereka merupakan kelompok riset cekungan Bandung (KRCB) yang memang telah sering berinteraksi dengan komunitas Aleut!, kita berhenti untuk beristirahat sambil diskusi santai dengan kelompok tadi, disana kami diperkenalkan dengan Pak Ganjar yang merupakan salah satu staff dari tahura yang mengenal banyak sekali koleksi tanaman di tahura ini dan kami pikir inilah kesempatan untuk belajar tentang tanaman lebih mendalam.
suasana diskusi dengan KRCB
Akhirnya kami memutuskan untuk bergabung dengan perjalanan KRCB untuk belajar mengenal berbagai tanaman, sepanjang perjalanan kami belajara mengenal banyak sekali tanaman diantaranya : pohon kaliandra, pohon kondang, pohon binar, pohon johar, pohon hampelas, pohon kiciat, harendong dll. saking banyaknya saya pun lupa sebagian nama tanaman karena memang tidak dicatat, satu pelajaran yang bisa diambil : lain kali bawa catatan setiap kali ngaleut!. Banyak sekali dari nama-nama tanaman tersebut menjadi nama daerah, dan mempunyai ceritanya masing-masing, dari sini saya mendapatkan pelajaran baru bahwa ”setiap nama itu punya cerita, hampir setiap nama yang diberikan kepada tempat atau manusia atau apapun itu saya yakin tidaklah dengan kebetulan atau asal saja, melainkan selalu ada cerita, harapan atau maksud tertentu”.
Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Pak Ganjar ini untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang belum menemukan jawabannya selama ini, yaitu kenapa di sunda banyak sekali nama pohon yang awalan namanya memakai “ki” ? seperti : Kiciat, kihoe, kimerak, dll. Dan saya akhirnya mendapatkan jawabannya, kata Pak Ganjar “ki” itu merupakan kependekan dari :”kai” (bhs. Indonesia : kayu) seperti halnya “ci’ yang berasal sari “cai” .
Pak Ganjar menjelaskan tentang tanaman
Setelah beberapa lama berjalan kami tiba di kawasan kolam penampungan air yang di bangun Belanda untuk digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga air yang alirannya nanti akan melalui gua belanda. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Gua Belanda dan Gua Jepang dan berikut adalah sejarah kedua gua tersebut yang ada pada tulisannya BR :
Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.
Pada masa penjajahan Jepang, fungsi gua sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu dilanjutkan sambil menambahkan gua-gua baru lainnya di dekatnya (1943-1944) yang belakangan disebut sebagai Gua Jepang. Untuk membangun gua ini, Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) pada penduduk saat itu. Gua-gua ini kemudian juga menjadi tempat pertahanan terakhir Jepang di Bandung. Setelah kemerdekaan RI gua-gua ini tidak terperhatikan dan baru ditemukan kembali pada tahun 1965 dengan kondisi tertutup alang-alang dan tetanaman yang lebat. Saat itu di dalam gua banyak didapati amunisi bekas tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak ditemukannya, Gua Jepang masih berada dalam kondisi aslinya sementara Gua Belanda sudah mengalami 3 kali perbaikan.
Gua Belanda
Setelah melewati kawasan gua jepang, kami akhirnya tiba kembali di kawasan depan tahura dago, namun bertepatan dengan itu pula hujan mengguyur seolah tak ingin ketinggalan berpartisipasi meramaikan hari lingkungan hidup sedunia ini. Kami memutuskan untuk berteduh sejenak sambil membeli jagung bakar dan roti di warung yang ada di areal tahura.
Setelah hujan reda, kami melanjutkan dengan sholat Dzuhur dan istirahat sejenak dikawasan kantor pengelola tahura. Sambil menunggu teman-teman yang belum selesai sholat kami berbincang-bincang kembali dengan Pak Ganjar, kali ini kita berdiskusi tentang temuan-temuan baru yang baru-baru ini ditemukan di tahura dan hal-hal baru yang kemungkinan terdapat di tahura. Diskusi yang sangat menarik dan bikin penasaran untuk menelusuri tahura lebih jauh dan dalam, namun sayang kami harus melanjutkan perjalanan karena hari mulai beranjak sore.
Kami melanjutkan perjalanan menuju situs makam cibitung yang sempat diceritakan oleh Pak Ganjar, lokasi situs makam ini berada di kampung cibitung di sekitar kawasan tahura, namu kami belum tahu persis dimana lokasinya. Dengan rasa penasaran kami yang besar yang sampai-sampai mengalahkan rasa lelah kami pun menelusuri mencari situs tersebut. Kami menempuh tangga-tangga yang licin kemudian tangga-tangga yang menanjak, menemukan mata air yang sangat jernih lalu melalui jalan tanah yang becek dan sempat pula beberapa kali salah jalan. Namun akhirnya dengan perjuangan yang tiada henti, kami menemukan situs makam tersebut, namun sayang tidak ada informasi yang bisa kami dapat tentang siapa yang dimakamkan disitu karena memang tidak ada kuncen yang menjaga, hanya ada makam, pohon-pohon besar dan sisa-sisa bangunan yang menyerupai benteng yang entah apa fungsinya.
makam di kampung cibitung
Setelah dari makam tersebut kami pun melanjutkan perjalanan menuju PLTA Bengkok, namun di tengah perjalanan kami menemukan satu lagi penampungan air yang di bangun oleh Belanda demi keperluan PLTA yang sekarang sudah tidak digunakan lagi.
Komunitas Aleut! di dekat penampungan air.
Kami akhirnya tiba di kawasan atas PLTA bengkok, disini kita bisa melihat pipa-pipa raksasa yang mengalirkan air dari kawasan tahura ke PLTA sebagai pembangkit listrik, kebetulan disini terdapat warung, kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak untuk mengisi perut yang memang mulai keroncongan. Sensasi makan di atas pipa-pipa raksasa sambil memandang pemandangan dago dari ketinggian memang luar biasa, sehingga makanan yang cuma mie rebus pun terasa sangat istimewa.
pipa raksasa PLTA Bengkok
Setelah beristirahat dan mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan ke spot terakhir yang menjadi tujuan ngaleut kali ini yaitu PLTA Bengkok.
PLTA pertama yang dibangun di aliran Sungai Ci Kapundung adalah Waterkracht werk Pakar aan de Tjikapoendoeng nabij Dago (PLTA Pakar, belum jelas di mana lokasinya). Produknya adalah tenaga listrik yang didistribusikan ke rumah-rumah di Bandung dan sekitarnya olehBandoengsche Electriciteit Maatscappij. PLTA yang masih ada saat ini adalah PLTA Bengkok yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Gedung yang masih berdiri sekarang dibangun tahun 1923 dan di dalamnya masih dapat ditemukan mesin-mesin buatan tahun 1922, di antaranya mesin pendingin Ceber-Stroco Henegelo dan generator Smit Slikkerveer.
Untuk menggerakkan turbin di PLTA ini, air Sungai Ci Kapundung dialirkan melalui saluran khusus yang kemudian ditampung di kolam pengendapan lumpur dan kolam penenang di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (dibangun tahun 1918). Kolam ini sering disebut dengan Kolam Pakar. Melalui pintu pembuang, air memasuki suatu saluran dan menuju pipa pesat sepanjang ± 500 m (tinggi jatuh air sekitar 104 meter) dan kemudian dijadikan pembangkit generator. Listrik yang dihasilkan lalu disalurkan untuk rumah-rumah orang Belanda yang berada di daerah Bandung Utara.
Sejak tahun 1920, pengelolaan distribusi listrik ditangani olehGemeenschappelijk Electrisch Bedrift Bandoeng en Omstreken atauG.E.B.E.O. (kemudian menjadi PLN). Menurut salah seorang mantan pekerja di Radio Malabar di Gunung Puntang, pembangunan pembangkit listrik di utara Bandung ini juga difungsikan untuk menambah pasokan kebutuhan listrik dalam mengoperasikan stasiun pemancar Radio Malabar.
Selain PLTA Bengkok, di tempat terpisah di kawasan ini juga terdapat PLTA Dago yang selain berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik juga untuk memenuhi kebutuhan PDAM.
PLTA Bengkok
Dari PLTA Bengkok kita melanjutkan perjalanan pulang menuju terminal dago, dan sebelum pulang kita berhenti sejenak untuk memberikan bebrapa informasi. Sharing yang menjadi menu wajib setiap kali ngaleut akhirnya diputuskan via online saja melalui FB Komunitas Aleut! dikarenakan kondisi badan yang sudah tidak mendukung dan hari yang sudah senja. Dan sekitar pukul 17.00 WIB akhirnya ngaleut! kali ini selesai dan para pegiat Aleut! pulang ke tempatnya masing-masing.
Beberapa foto keindahan tahura :
Foto karya Yandi Dephol
Sebuah perjalanan yang sangat menarik, berjalan jauh, belajar tentang tanaman, tersesat, menemukan hal baru, dapet teman baru, dapet pelajaran baru. cape tapi super seru!!! Semoga saja dengan lebih mengenal alam dan lingkungan, kita lebih tergugah untuk menjaganya.
Belum ke Bandung kalo Belum Ngaleut!
Dimuat juga di : http://oenank.tumblr.com/post/6241387926/ngaleut-taman-hutan-raya-setiap-nama-punya-cerita
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja
http://aleut.wordpress.com/category/taman-hutan-raya-djuanda/
http://rgalung.wordpress.com/2011/02/07/aleut-berbagi-cerita-06-02-11/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bandrek
Sumber foto :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2076635125431.126629.1531574635
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1945977841744.2109680.1011473467
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1865412229117.2102237.1055356878