Oleh : Indra Pratama
R.A.A Martanagara lahir pada tanggal 9 Februari 1845. Ayahnya adalah Raden Kusumayuda yang tak lain adalah cucu Pangeran Kusumahdinata alias Pangeran Kornel, sedangkan Ibunya bernama Nyai Raden Tejamirah, merupakan putri Dalem Tumenggung Suryadilaga, pejabat bupati Sumedang yang dikenal dengan sebutan Dalem Sindangraja.
Saat Martanagara lahir, yang menjabat sebagai bupati Sumedang adalah kakak tiri ayahnya, yaitu Pangeran Suria Kusumah Adinata atau terkenal dengan nama Pangeran Sugih. Pangeran Sugih disebutkan sangat menyayangi Martanegara selayaknya anaknya sendiri. Martanagara sudah dibawa tinggal bersamanya sejak usia tiga tahun.Bahkan Pangeran Sugih mempertunangkan Martanagara, yang baru berusia lima tahun, dengan putrinya, Armunah, yang baru berusia tiga tahun. Rasa sayang Pangeran Sugih pada Martanagara juga tidak putus ketika ayah Martanagara, Raden Kusumayuda, yang waktu itu menjabat wedana distrik Cibeureum, Sumedang, diasingkan ke Probolinggo karena berselisih paham dengan Pangeran Sugih. Martanagara juga sudah dianggap saudara kandung oleh putra-putra Pangeran Sugih, Enden Durahman dan Enden Durahim. Bahkan hajatan sunatan ketiga anak laki-laki itu tahun 1857, termasuk hajatan besar pada saat itu.
Sekitar setengah tahun semenjak pesta yang menghebohkan itu, datanglah seorang seniman hebat pada masanya, yang berjulukan the King’s Painter. Ya, Raden Saleh Syarif Bustaman datang mengunjungi Pangeran Sugih di Sumedang. Raden Saleh tinggal selama limabelas hari di Sumedang, dan Pangeran Sugih Nampak sangat menyukai tamunya itu. Ketika Raden Saleh hendak pamit pulang, ia menyuruh Martanagara dan Enden Durahim ikut belajar kepada Raden Saleh. Akhirnya kedua bocah itu dibawa Raden Saleh ke kediamannya di Kampung Gunung Sari, sebelah utara Batavia. Raden Saleh dan istrinya, Ny.Winkel Hagen sehari-hari berbahasa Belanda, sehingga Martanagara dan Durahim pun perlahan terbiasa berbahasa Belanda. Mereka pun juga terlatih berbahasa Jawa, karena seluruh pekerja di rumah Raden Saleh adalah orang-orang asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sekitar tahun 1858, suami istri Raden Saleh dan Ny.Winkel memutuskan bahwa Martanagara dan Durahim akan melanjutkan sekolah ke Ambachtschool, alias sekolah menengah teknik (mungkin sekarang serupa SMK) di Semarang. Disana mereka tinggal di kediaman seorang pedagang asal Palembang bernama Ence Dimah, rekan Ny.Raden Saleh. Mereka menuntut ilmu selama dua tahun di Semarang. Sebelum kembali ke kediaman Raden Saleh, yang telah pindah ke Cikini selama dua bulan, dan kembali ke Sumedang pada Januari 1861, dimana Martanagara dan Durahim harus berpisah. Durahim akan melanjutkan sekolah agama, sedangkan Martanagara diberi posisi magang di Kepatihan Sumedang selama beberapa lama, sebelum akhirnya ditunjuk menjadi guru sekolah. Tugas sebagai guru sekolah dilakoni beliau sampai tahun 1864.
Tahun itu ia diangkat menjadi camat di Cikadu. Dan sembilan bulan setelah diangkat sebagai camat, ia pun menikah dengan tunangannya, Armunah, di usia 20 tahun. 6 bulan kemudian, ia dipanggil pulang ke Sumedang sebagai Kaliwon, juru bicara dan sekretaris untuk Patih Sumedang. Karirnya makin menanjak setelah pada Juni 1869 ia diangkat menjadi Wedana di distrik di Sumedang. Tapi peningkatan karirnya tak membuatnya bahagia selalu, tahun 1871 Armunah meninggal dunia setelah terserang wabah kolera.
R.A.A Martanegara. (Pics : Mahanagari)
1871 sendiri adalah tahun penuh goncangan bagi para pembesar pribumi. Reorganisasi Priangan yang dilakukan pemerintah kolonial dengan menghapus preangerstelsel otomatis mengurangi pemasukan para pembesar secara signifikan. Tapi Martanagara yang tidak dibiasakan hidup penuh kemewahan tidak ambil pusing dengan itu semua, ia malah makin bersemangat memberikan pendidikan untuk keluarga barunya, setelah pada 1872 ia menikah lagi dengan Raden Ajeng Sangkanningrat, masih putri dari Pangeran Sugih pula, dari seorang padmi bernama Raden Ayu Rajapamerat. Pada keluarganya ia menanamkan sebuah nilai, bahwa kedudukan para bangsawan pribumi suatu saat akan bergeser menjadi kedudukan yang tidak berarti sama sekali. Ia sudah memandang jauh, bahwa di kemudian hari, serah terima jabatan berdasarkan garis keturunan akan terhapus. Oleh karena itu ia mendidik putra-putranya dengan giat. Beberapa anaknya disekolahkan di Bandung, misalnya, Aom Alybasyah, ia tercatat sebagai murid De Openbare Lagre School, sedangkan Raden Ace menjadi murid sebuah sekolah swasta. Sementara itu, putranya yang lain Raden Ogog sudah menjadi juru tulis di Distrik Cidamar.
Pada tahun 1881 Martanagara dipercaya menjabat patih Sumedang, mendampingi ayah angkatnya, Pangeran Sugih. Namun tahun berikutnya Pangeran Sugih wafat. Martanegara merasa kehilangan yang amat sangat, namun ia harus menutup dalam-dalam kesedihannya, ia harus menjadi pemimpin sementara Kabupaten Sumedang, karena sampai beberapa saat Pangeran Sugih wafat, putra-putranya belum ada yang berada di Sumedang untuk menggantikan kedudukannya. Empat bulan sesudahnya, ditunjuklah Raden Rangga Suriaatmaja, patih Mangunreja, untuk menjabat sebagai Bupati. Sedangkan Martanagara sendiri menggantikan Suriaatmaja sebagai patih di Mangunreja.
Raden Rangga Suriaatmaja (Pangeran Mekkah)
Pada Maret 1893, pangkal cerita Martanagara di Bandung dimulai. Asisten Residen Van Ravenswaai membisikinya, bahwa ia akan ditunjuk sebagai Bupati Bandung, selepas wafatnya Adipati Kusumahdilaga. Tapi sebelum ada keputusan resmi dari Residen, ia tidak diperbolehkan bicara apapun tentang hal ini. Satu hal yang ia tidak sadari, di Bandung sendiri terjadi sebuah polemik, siapakah yang akan menjadi bupati selanjutnya, karena putra Kusumahdilaga, yaitu Raden Muharram, masih berusia empat tahun. Dilihat dari segi keturunan Raden Somanagara yang menjabat Patih Bandung-lah yang dijagokan untuk menjadi bupati. Karena beliau merupakan menantu dari Wiranatakusumah IV alias Dalem Bintang, kakak dari R.Kusumahdilaga. Tanggal 29 Juni 1893 akhirnya keputusan resmi dari Residen pun tiba, Martanagara adalah bupati Bandung yang baru.
Pengangkatan ini rupanya menimbulkan rasa kecewa bagi Somanagara. Ketika perayaan pengangkatan Martanagara diadakan di pendopo tanggal 14 Juli 1893 malam, terdengarlah suara ledakan di jembatan Cikapundung. Namun karena dirasa tidak mengganggu, suara ledakan itu tak terdengar. Namun ketika tanggal 17 Martanagara menerima laporan bahwa terjadi ledakan di panggung direksi Lapangan Pacuan Kuda Tegalega. Yakinlah bahwa ada sabotase dalam kedua peristiwa ini. Laporan yang diterima kala itu, dinamit-dinamit itu mengincar nyawa dari Residen, yang sedang menetap di Bandung. Penyelidikan pun dilakukan, hasilnya ditemukanlah tumpukan dinamit di rumah seorang kerabat Kusumahdilaga yang bernama Raden Nata Anbia. Yang berakhir dengan dibuangnya sejumlah pelaku, didalamnya termasuk empat orang priyayi (yang salah satunya adalah Raden Somanagara) ke berbagai tempat.
Tentu saja hal itu menimbulkan ketidaktentraman bagi Martanagara. Ada beberapa cara yang dilakukannya unntuk mengatasi hal itu. Pertama, ia menempatkan pasukan Sumedang di Soreang. Pangeran Sumedang sendiri bahkan setiap minggu datang ke Kabupaten Bandung untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Kedua, membuka dan memperbaiki hubungan dengan elite birokrasi asli Bandung dengan cara-cara yang kompromistis, meskipun memakan waktu yang tidak sebentar. Cara kedua ini dimulai dengan membuka Parukunan, semacam Societeit pribumi yang berlokasi di bagian depan bangunan Kabupaten Bandung. Tempat ini kemudian disebut “Bale Kebudayaan Priangan”. Para bangsawan Bandung sering diundang ke tempat ini untuk menikmati hiburan, misalnya menonton pertunjukan seni tari, sandiwara, dan ikut menari dengan diiringi gamelan. Dengan cara demikian Martanagara dapat membina hubungan baik dengan bawahannya yang asli Bandung.
Setelah situasi mulai kondusif, Martanagara pun memulai tugasnya membangun kota Bandung. Kota Bandung saat itu mulai tersohor sebagai kota besar. Dapat diakses jalur kereta api, pusat departemen peperangan, serta tempat bisnis-bisnis besar, seperti Toko De Vries dan Toko Liem. Program- programnya mulai berjalan. Yang paling terkenal adalah program atap genting untuk rumah-rumah. Program ini diinstruksikan dijalankan oleh sebuah kampung di Balubur. Oleh karena kampung ini memproduksi genting atau Lio, maka kampung ini terkenal dengan nama Kampung Lio. Nama ini kemudian berubah setelah pemerintah memerdekakan kampung ini dari pajak, sehingga nama beken kampung ini pun menjadi Merdika Lio.
Aleut! di Kawasan Merdikalio (photo by : Ridwan Hutagalung)
Program-program lain pun tak kalah revolusioner. Martanagara mengisi kas daerah dengan menginstruksikan penanaman singkong besar-besaran, karena singkong saat itu sedang laku di pasaran dunia. Hasil kas digunakan untuk program-program lain, seperti memperluas area persawahan plus memperbaiki sistem irigasi. Martanegara bahkan mengungkapkan, bahwa tanah akan lebih berguna jika ditanami dibandingkan dengan diurug untuk dijadikan perumahan. Sedangnkan program irigasi diwujudkan lewat mega proyek irigasi Cihea, yang menghabiskan satu juta gulden. Mungkin hanya di masa Martanagara lah luas daerah persawahan tidak berkurang seiring majunya perekonomian sebuah kota, melainkan makin meluas. Pada tahun 1896 luas areal persawahan mencapai 800.000 bau. Dan ketika tahun 1912 mencapai 1.000.000 bau.
Pembangunan prasarana publik pun tidak terlupa. Untuk mempermudah akses keluar masuk daerah, beliau membangun jembatan (jembatan bambu)di beberapa sungai besar di sekitar Bandung. Dalam waktu singkat telah dibangun lima buah jembatan di aliran Citarum; yang menghubungkan Cicalengka-Majalaya, Ujungberung-Ciparay, Dayeuhkolot-Banjaran, Cimahi-Kopo, dan yang terakhir menghubungkan Rajamandala dan Cihea, dimana arus lalu lintas dari dan ke Batavia serta Bogor berhasil dipersingkat. Bahkan ketika pejabat kolonial meninjau proyek-proyek ini, disangkanya Martanagara adalah seorang insinyur teknik lulusan Belanda. Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini sudah diganti dengan yang berbahan besi.
Jembatan Besi Baru Citarum, 1917
Martanagara pun berhasil membangun irigasi beberapa taman di Bandung seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark), Taman Maluku (Molukenpark), dan Taman Ganesha (Ijzermanpark).
Tahun 1897 Martanagara lagi-lagi harus mengalami kehilangan seorang istri. Raden Ayu Sangkanningrat meninggal satu bulan setelah melahirkan putra pertamanya, Aom Singgih. Beliau dimakamkan di Karang Anyar. Setahun kemudian ia pun menikah lagi, lagi-lagi dengan putrid Pangeran Sugih, yaitu Nyai Raden Rajaningrat.
Tahun 1904. Untuk ke sekian kalinya, datanglah Raden Dewi Sartika ke kantor Martanagara. Raden Dewi tak lain adalah putri dari Somanagara, sang pengacau pada awal kepemimpinannya. Raden Dewi datang untuk kesekian kalinya memohon untuk diizinkan membuka sekolah untuk kaum perempuan, dari kalangan apapun. Martanagara dilanda kebimbangan, rencana Raden Dewi merupakan rencana yang sangat mulia dan progresif untuk jamannya. Namun di sisi lain akan menimbulkan kegoncangan bagi kaum priyayi, terutama para wanitanya. Karena sekolah adalah eksklusivitas yang hanya diperoleh kaum priyayi dan kaum berada. Tapi pada akhirnya, kecintaannya pada kemajuan membuatnya mengizinkan rencana Raden Dewi membuka sekolah. Agar tidak terlalu menghebohkan, sekolah Raden Dewi ia sediakan tempat di halaman rumah dinasnya. Dukungannya pada sekolah yang kelak bernama Sakola Kautamaan Istri tersebut berlanjut, bahkan ketika sekolah mencari tempat baru karena membludaknya murid, Martanagara ikut patungan (dari kocek pribadi) bersama Raden Dewi untuk membeli sebuah tanah di Ciguriang berikut membangun bangunan dari kayu dan bambu.
Beragam penghargaan pernah beliau terima ketika menjabat sebagai bupati. Tahun 1900 penghargaan bintang emas beliau terima dari pemerintah kolonial. Tahun 1906 memperoleh gelar adipati. Tahun 1909 beliau mendapatkan penghargaan tertinggi, yaitu payung emas (golden parasol) dari pemerintah. Beliau pun pernah mendapat gelar kehormatan dari Raja Siam, Officer of the Order of the Crown of Siam.
R.A.A Martaegara dengan Bintang Jasa
Tahun 1918, setelah 25 tahun menjabat bupati Bandung, Martanagara merasa sudah waktunya ia untuk mundur. Usia yang sudah menginjak 74 tahun menyulitkannya untuk bekerja dengan fokus dan baik. Ia pun resmi mundur bersamaan dengan dikeluarkannya surat keputusan resmi pemerintah tanggal 14 Oktober 1918. Martanagara menghabiskan masa tuanya di Sumedang, tanah kelahirannya. Tempat tinggalnya di masa pensiun ini berpindah-pindah. Pertama ia menempati bagian selatan kompleks kabupaten, lalu ia dipinjami sebuah rumah oleh seorang Belanda, sembari ia pun membangun sebuah rumah di Burujul, sebelah barat kota Sumedang.Yang dihuninya sampai akhir hayat sebelum dimakamkan di Kompleks Makam Gunung Puyuh. Tidak diperoleh info tentang kapan beliau wafat.
Sumber :
Blogs Kajian Sejarah Dan Antropologi Pers. 2010. Analisis Buku: Konflik Elit Birokrasi ( Biografi Politik Bupati R.A.A Martanegara ) Karya Nina Lubis. http://dedenmyger.blogspot.com/. Diakses 9 Mei 2011.
Nurul Wachdiyyah. 2010. Siapa Gerangan R. A. A. Martanegara?. http://www.mahanagari.com/. Diakses 9 Mei 2011.
R. A. A. Marta Nagara, 1923, Babad Raden Adipati Aria Marta Nagara Regent Pensioen Bandoeng di Soemedang, Bandoeng: Drukkerij Aurora. Dimuat dalam : G.W.J Drewes. 1985. The Story of an Old Time Priangan Regent As Told By Himself. Leiden.
Nina H.Lubis. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda
Kartadibrata, R.M. Abdullah. 1989. Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Brosur. Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun. Cetakan ke-2.