Month: May 2011

Menelusuri Bioskop Tua di Bandung

Oleh : Annisa Wibi

Siapa sih yang enggak tahu bioskop? Hampir semua orang pasti udah pernah nonton film di bioskop. Dulu, bioskop itu sifatnya berpindah-pindah atau mobile, dari suatu tempat ke tempat lain.

Pada tahun 1905, untuk pertama kalinya sebuah film masuk ke kota Bandung dan diputar di sebuah tempat di Jalan Braga, yang sekarang menjadi sebuah restoran yang menyediakan menu berbahan dasar ‘bebek’. Pada tahu kan restoran yang dimaksud apa? Yup, Bebek Garang. Nah, bioskop itu namanya Helios yang berarti dewa matahari. Jangan bayangkan bioskop dulu sama persis seperti sekarang ini, jaman itu bentuknya masih seperti layar tancep.

Beberapa tahun kemudian, dibangunlah seperti sebuah kompleks atau kawasan khusus untuk bioskop. Selain terdapat bioskop didalamnya juga terdapat layar tancep yang dikenal dengan istilah theatre. Contohnya adalah seperti gedung Majestik atau AACC di Braga, yang merupakan gedung khusus Bioskop.

Pernah memperhatikan bangunan tua terletak persis di depan Bandung Indah Plaza (BIP), Jalan Merdeka? Ternyata dulunya bangunan itu merupakan salah satu bangunan bekas bioskop di Bandung yang bernama Panti Karya. Panti Karya ini bukan sebuah gedung yang sengaja dibangun untuk bioskop, melainkan gedung milik PJKA. Gedung ini dijadikan bioskop karena pada jaman itu perfilman sedang booming di Bandung.

Ngomong-ngomong soal theatre dan bioskop, dulu tuh orang pribumi enggak boleh nonton di dalam gedung bioskop, kalau pun nonton di dalem bioskop, nontonnya harus dibalik layar, otomatis orang pribumi ketika itu nonton filmnya terbalik, hehe lucu ya.

Nah, jadi kalau orang pribumi mau nonton film enggak terbalik, ya bentuknya layar tancep. Kalau gerimis bubar alias misbar!

Oya, ternyata Lutung Kasarung merupakan film pertama di Indonesia loh! Film ini dibuat di sekitar Bandung dan Padalarang, terus pemeran-pemeran di film ini berasal dari keluarga Wiranatakusumah yang katanya cantik-cantik. Tapi, karena sutradara film ini berkebangsaan Belanda, jadi film ini enggak dianggap sebagai film pertama di Indonesia sampai pada tahun 1956 muncul lah sebuah film yang berjudul Darah dan Doa yang kemudian dianggap sebagai film pertama di Indonesia.

Bioskop lainnya di Bandung, yaitu di Gedung BI Bandung sekarang ini. Tempat itu merupakan salah satu theatre di Bandung bernama Vanda Theatre sebuah bioskop kelas menengah bawah. Tapi karena tempat ini hanya sebuah theatre yang kegiatannya cuma nonton, tempat ini jarang banget dipakai buat nongkrong. Biasanya orang-orang nongkrong di Kebon Raja atau sekarang dikenal dengan nama Balai Kota. Sayangnya, dulu Kebon Raja ini imejnya negatif karena terkenal dengan sebuah taman yang banyak waria nya dan kegiatan prostitusi. FYI, jalan di depan gedung ini, yaitu Jalan Perintis Kemerdekaan merupakan jalan pertama yang di ‘aspal’ di kota Bandung loh..

Bekas bioskop jaman dulu selanjutnya adalah Bioskop Apollo. Terletak di daerah Banceuy, di belakang Kantor Pos Alun-alun. Alun-alun itu sendiri merupakan pusat dunia bioskop di Bandung. Banyak sekali bioskop-bioskop yang berada di daerah ini seperti Bioskop Elita yang kelas Mewah, Bioskop Radiocity dalemkaum, Bioskop Regol, Bioskop Dian disamping Palaguna, Bioskop Nusantara, Bioskop Dallas, Bioskop Galaxy, sampai Plaza Parahyangan pun dulunya adalah sebuah bioskop.

Dari daerah Alun-alun, lanjut ke daerah Luxor Permai. Terdapat bangunan bekas bioskop tua di Bandung, namanya Bioskop Roxy. Bioskop ini merupakan bioskop yang memutar film bicara pertama, karena dulu tuh film hanya sebuah gambar dan musik.

Sebenarnya masih banyak bioskop-bioskop tua lainnya selain yang diceritakan disini. Seperti daerah kosambi, cicadas, dan daerah lainnya di Bandung. Ini hanya beberapa. Semenjak tahun 1990-an, bioskop independen sudah semakin berkurang, makin kesini bioskop rata-rata bergabung dengan mall, seperti yang kita ketahui saat ini.

Lalu, siapakah orang dibalik bioskop-bioskop di Bandung ini? Jawaban nya adalah F.A Busche (maaf kalo salah nulis). Beliau dikenal sebagai Raja Bioskop kota Bandung pada masa itu, karena hampir 80 persen jaringan bioskop di kota Bandung ini dikuasainya.

Julukan Kota Kreatif sepertinya memang sudah sejak dulu dipegang oleh kota Bandung ini. Selain art, musik, ternyata puncak perfilm-an pun pada tahun 1970 berpusat di Bandung. Wow! Yuk! Sebagai generasi muda, kita buat Bandung makin kreatif lagi! (Sumber: Komunitas Aleut)

Original Post : http://bandung.detik.com/read/2011/05/27/104320/1648306/667/menelusuri-bioskop-tua-di-bandung?881104485

Video Ngaleut! ITB

Oleh : Nanang Cahyana Al-Majalayi

Seperti biasa pegiat Nanang Cahyana Al Majalayi alis om Yance selalu mengupload video dokumentasi ngaleut!. Kali ini ngaleut! ITB minggu kemarin tanggal 22 Mei 2011.  Kata beliau : “Mangga Ditenjo Lur..

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=JetTHwyG_hI]

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=SD_k4kiqqBM]

NgAleut (Kuliner) ITB

Oleh : Ihsan Nurul Fauzi

NgAleut! tanggal 22 Mei 2011 adalah ngaleut kampus ITB. Ngaleutin kampus sendiri bareng temen-temen dari komunitas aleut bener-bener pengalaman yang luar biasa. Meskipun ga banyak tempat dan terlalu mendetail ceritanya, tetapi seru pisan. Setelah selesai ngaleut, para aleutian beranjak menuju jl. sawung galing no. 2. Yups, disana ada “MAKAN-MAKAN” yang juga dulunya merupakan tempat tinggal Charles Prosper Wolff Schoemaker.

lokasi “makan-makan” [http://goo.gl/maps/dn2A]

Tempatnya bener-bener nyaman. Bisa duduk di luar buat dapetin udara seger, atau bisa juga di koridor duduk di kursi kayunya, atau juga bisa di dalem duduk di sofa seperti ngerasain di rumah sendiri.

di luarnya
di koridornya
di dalemnya

Dan yang bikin enaknya lagi tempat ini, FREE HOTSPOT. Jadi bisa internetan pake jariangan Wi-Fi, tinggal tanya mas-masnya aja buat minta passwordnya. (ini alesan urang sama pacar sering banget maen ke tempat ini).

Makanan?? Beuh, banyak pisan pilihan yang bisa dicobain. Ada makanan asli dalem negeri, seperti nasi goreng, sate, dan lain-lain. Oriental kaya ramen dan sushi juga ada. Atau mau steak dan sosis ala barat juga ada disini. Lengkap banget menu makanan di “makan-makan”.

Kemarin pesennya ini…

chicken mayo

sapo tahu

Chicken mayo dengan irisan daging yang tipis dan berbumbu merica dibalut tepung panir terasa sangat enak. Ditemani dengan onion ring dan kentang yang dibalut tepung yang sama serta salad, cocok buat perut yang membutuhkan porsi cukup banyak. Harganya Rp. 17.500 saja. Sapo tahunya yang seharga delapan ribu rupiah pun tak kalah enak. Didalamnya terdapat tahu yang dipotong dadu kecil-kecil dan terdapat rumput laut basah serta potongan ayam kecil-kecil, cocok buat para penggemar soup.

Demikian review NgAleut! Jajan kali ini. Tunggu ulasan jajanan selanjutnya.

sumber gambar

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=2049703372154&set=a.2049683011645.125089.1531574635&type=1

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1842532097128&set=a.1842505616466.2100905.1055356878&type=1

———

pelayanan : 3.5/5

kenyamanan : 4/5

makanan : 4/5

post #2

Lonteku, Terima Kasih.

Oleh : Indra Pratama

Lonteku terima kasih

Atas pertolonganmu di malam itu

Lonteku dekat padaku

Mari kita lanjutkan cerita hari esok

Walau kita berjalan dalam dunia hitam

Benih cinta tak pandang siapa

Meski semua orang singkirkan kita

Genggam tangan erat erat kita melangkah

Lonteku – Iwan Fals

Pelacur, bisyar, pecun, atau lonte seperti kata Iwan Fals di lirik diatas,adalah warganegara kelas terakhir. Kehadirannya selalu dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Tidak bermoral, kotor. Dekatkan dengan agama, semua akan beres. Hidup terjepit, antara rasa jijik, dosa, nikmat, dan lapar. Mereka ini unik, dalam beberapa menit kamu bisa memujanya seperti Aprodhite, dan mencibir di menit berikutnya.

Pelacuran di kota Bandung sangat eksis. Dari mulai yang terjun total, ada yang pijit-pijit dulu, bahkan ada yang menyambi sembariil mengerjakan tugas sekolah atau kuliah. Dan tentunya sudah tahu lah nama-nama macam Saritem, Alketeri, ruko-ruko X, spa Y. Dan berikut nocan dan id YM nya. Tapi Pernahkah kita tahu bahwa pelacur-pelacur Bandung ini pernah mencatatkan namanya di sejarah pergerakan bangsa?.

Kupu-kupu malam Bandung konon mulai booming saat pemerintah kolonial membangun jalur kereta yang melewati kota Bandung. Tahun 1881-1884 pemerintah membangun jalur pertama yang melibatkan kota Bandung, yaitu rel jurusan Batavia-Buitenzorg-Bandoeng (Jakarta-Bogor-Bandung). Semenjak itulah stasiun Bandung dan Bandung sendiri, mulai ramai dengan arus migrasi dari daerah lain. Baik yang tinggal permanen maupun hanya singgah untuk berganti kereta.

Golongan migran kedua inilah yang jadi pemicu. Bayangkan, punya duit, sendirian, bengong, ditambah udara Bandung yang dingin-dingin empuk. Nah. Dari kebutuhan gologan inilah kawasan sekitar Stasiun Bandung (Kebonjati) mulai ramai oleh bisnis esek-esek. Tak hanya wilayah ini, wilayah lain seperti Gang Coorde di sekitar Braga (sekarang Jl.Kejaksaan) pun pada perkembangannya mulai bergeliat dengan komoditi mojang-mojang indo nya.

Alkisah di sekitar Kebonjati ada seorang wanita yang menjadi favorit para lelaki hidung belang. Yang kesohorannya konon sudah mencapai daerah luar Bandung. Namanya adalah Nyi Item. Konon kulitnya yang eksotis (kemudian dijadikan nama beken), dan bentuk tubuhnya yang bagaikan dandang (dandang yang seperti jam pasir) membuat banyak pria dari berbagai latar belakang memburu kenikmatan sesaat bersama Nyi Item ini. Dimulai dari Nyi Item inilah dimulai kejayaan kerajaan esek-esek Saritem hingga sekarang.

Meskipun di peraduan Nyi Item dan kawan-kawan adalah primadona dan dipuja, namun dalam kehidupan sosial sehari-hari Nyi Item dan rekan-rekan seprofesinya adalah mereka yang hidup dalam himpitan. Mereka terhimpit oleh apa yang disebut norma, nilai dan ajaran agama. Para pria mencibir di siang hari dan mencari di malam hari. Dan para wanita yang membosankan menyalahkan mereka atas kaburnya para suami. Singkatnya, mereka adalah warga kelas terendah. Jarang ada yang menghargai mereka. Kehidupan mereka menyedihkan, dan dianggap sampah yang tak penting. Bahkan ketika waktu dan zaman sudah berganti.

Sampailah waktu pada sebuah tengah malam di tahun 1926. Seorang berpeci dan berjas rapi mengendap memasuki area merah itu. Tampangnya sih bukan tampang seorang hidung belang. Tapi kita semua tahu, bahwa wajah bisa menipu. Lelaki itu berjalan mengendap, memasuki sebuah kamar. Duapuluh menit berlalu ia keluar. Wah, terlalu cepat untuk ukuran lelaki berusia pertengahan 20. Harusnya 45 menit paling cepat. Dan dua puluh menit bajunya rapi seperti itu?. Lelaki itu berjalan tenang. Tahu diikuti. Tapi ia pun lalu mengayuh cepat sepeda ke arah selatan.

Besoknya di rumahnya. Lelaki itu sedang berdebat dengan Ali Sastroamidjojo. Ali setengah berteriak : “Sungguh Memalukan!,” keluhnya. “Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal. Ini sangat memalukan!”. Lelaki tampan itu menantang. “Kenapa?!, mereka jadi orang revolusioner yang terbaik. Saya tidak mengerti pemikiran Bung Ali yang sempit.”

Lelaki itu menggelegar dengan suaranya, khas si Singa Podium. “Apakah Bung Ali pernah menanyakan kenapa saye mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?!”. “Saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa kekuatan. saya memerluka tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga mereka ampuh!”. “Aku lebih memilih melepaskan anggota PNI yang lain, daripada para pelacur itu. Ambillah contoh Madamme Pompadour, pelacur yang namanya mahsyur dalam sejarah, Theroigne de Merricourt dan Barisan Roti-nya! siapa yang memulai !?. Perempuan lacur.”

Ruapanya Ali Sastroamidjojo tidak tahu, bahwa setiap hari musuh-musuh Partai Nasional Indonesia datang bertama kepada gadis-gadis itu. Tak hanya termabuk dan menyerahkan uang, tetapi juga tanpa sadar menyerahkan informasi pada gadis-gadis lacur itu.Ali juga tidak memperoleh informasi bahwa gadis-gadis itu sengaja tidak menyogok agar dikenai hukuman penjara tujuh hari pasca razia oleh pemerintah. Semata-mata agar mereka kenal dan mampu berhubungan dengan para penegak hukum. Ali tidak tahu, siapa yang membuat opsir-opsir polisi pusing setelah ribut dengan istrinya, karena dikedipi dan disapa oleh pelacur di jalanan. Ali tidak juga tahu siapa yang berhasil menemukan mata-mata pemerintah dalam tubuh partai. Lagi-lagi Ali pun tidak mengetahui, siapa donatur terbesar Partai Nasional indonesia. Ali tidak tahu siapa mereka itu. Gadis-gadis itu donatur, tentara dan intelejen terkuat Soekarno, sekaligus donatur, tentara dan intelejen terkuat dalam sejarah perjuangan bangsa.

Selama enam bulan lamanya, gadis-gadis itu dilatih dalam sistem semi kaderisasi oleh Soekarno dengan jabatan “calon anggota”. Mereka mungkin tidak memahami kursus-kursus politik, tapi mereka hadir selalu, agar para pejuang politik semata menjadi bersemangat dalam kursus. Mereka menyisihkan pendapatan mereka dengan persentase yang besar, untuk kas partai. Mereka merayu dengan semanis mungkin, agar para perwira mau membocorkan rencana-rencana rahasia pemerintah untuk PNI.

 Mereka merasa sebagai bagian dari perjuangan. Mereka tidak bisa berjuang dengan orasi seperti Soekarno, tulisan tajam seperti Agus Salim, dengan pemogokan seperti Musso dan Alimin, maupun dengan senjata seperti para jawara di Banten. mereka berjuang dengan apa yang mereka bisa, rayuan, sentuhan dan tubuh mereka. Mereka mau dan bersemangat. Dan mereka bersama Soekarno mampu mengalahkan semua stigma, dengan tujuan yang jelas. Perjuangan untuk merdeka.

“Tak ada satu pun anggota partai nan gagah terhormat dari golongan laki-laki yang dapat melakukan tugas istimewa ini.”. Soekarno.

Mungkin dibandingkan dengan wanita mulia angelic seperti Inggit Garnasih perjuangan mereka sangat tidak populis dan kalah hebat. Namun mereka ada ketika dibutuhkan. Melakukan apa yang mereka bisa. Menjadi keping kecil di mega-puzzle perjuangan bangsa Indonesia. Tanpa mereka, tidak ada pergerakan PNI. Tanpa ada pergerakan PNI tidak ada Indonesia Menggugat. Tanpa Indonesia Menggugat tidak ada konsep Indonesia merdeka. Tanpa konsep, tidak ada Indonesia merdeka. Sesimpel itu menurut saya.

 Soekarno, Titiek Puspa, dan Iwan Fals mungkin hanya secuil dari kita yang mampu menangkap mereka bukanlah sebagai kupu-kupu, tetapi manusia kerdil. Manusia yang dikerdilkan oleh segala himpitan.

 Dan kini, mereka pun masih berjuang. Mengisi perut yang lapar, menyekolahkan anak, menyetor kepada preman legal dan ilegal, memuaskan kawan-kawan kita. Dan hanya manusia yang berjuang serumit itu. Kupu-kupu tidak.

“Kehadiran pelacuran tidak hanya menjadi sebuah gambaran degradasi moral sejumlah wanita, namun juga mempertontonkan struktur masyarakat yang tidak sempurna, toh, setiap manusia hadir di dunia ini adalah sebagai mahluk yang suci. Kondisi masyarakat turut mengkondisikan jutaan wanita memilih menjadi seorang pelacur setidaknya menjadikan kejalangan sebagai pilihan yang mungkin. Saat kemiskinan, kesenjangan penguasaan materi ada, akan selalu menumbuhkan pelacuran yang sesungguhnya merupakan bentuk lain dari eksploitasi. Oleh karena itu, pelacuran tidak akan mungkin dilenyapkan selama masih ada orang yang membutuhkannya serta ketika memasukinya menjadi sebuah pilihan yang rasional terutama bagi para wanita yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik.”

Moan Sipayung

 Sumber :

Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. 2007. Pelacuran Dalam Kajian kebudayaan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal.X.

Traktor Lubis. 2010. Pelacur Cinta (Hubungan Julia Robert, Evita dan Dewi Soekarno). Dimuat di traktor.co.cc. Diakses 24 Mei 2011.

Cindy Adams. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Gunung Agung. Hal 116-119.

Moan Sipayung. 2007. Fenomena Pelacuran. Dimuat di http://moanbb.blogspot.com/2007/06/fenomena-pelacuran.html. Diakses 24 Mei 2011.

Wakhudin. 2006. Proses Terjadinya Degradasi Moral Pada Pelacur dan Solusinya (Thesis). Bandung. Program Studi pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1. Bandung. CV Angkasa dan APKA.Hal.66.

The Unknown ITB

Oleh : Fadhli A.Sadar

Aleutian, hari ini baru saja melakuakan aktivitas ngaleut di institut teknologi ternama di Indonesia! Di institut ini juga telah melahirkan banyak engineer handal, salah satunya presiden pertama, Soekarno.  Awalnya sekolah ini didirikan dalam rangka adanya politik etis.  Politik yang “mengharuskan” Belanda, utk mensejahterakan rakyat pribumi.

Adit mahasiswa ITB yang jadi Guide ngaleut ITB. (Doc Fadhli)

Pada tahun 1920 Belanda meresmikan sekolah ini dengan nama Technische Hogeschool (TH). Bangunan ini dibuat oleh seorang arsitek-arsitek Belanda yang lahir di tanah pribumi. Maclaine Pont .  alih alih menggunakan gaya arsitektur barat, Maclaine menggunakan gaya nusantara seperti yang kita bisa lihat di Aula Barat dan Timur ITB

Sketsa Gedung Aula barat ITBSketsa Gedung Aula barat ITB (doc. fadhli)

Gedung Aula Barat ITB (doc.fadhli)

Maclaine, membuat denah ITB dengan simetris. terbukti di ITB banyak gedung kembar.  Desain ITB juga dibuat mengikuti Fengshui, jika kita berdiri di tengah tengah Plaza Widya di tempat plakat pendirian ITB oleh  Soekarno pada tanggal 2 Maret 1959, kita dapat melihat Gunung Tangkuban Perahu.

Plakat pendirian ITB oleh presiden SoekarnoPlakat pendirian ITB yang diresmikan oleh Soekarno (doc Fadhli)

Ditengah tengah plaza widya kita bisa melihat gunung tangkuvab parahaumelihat Gunung Tangkuban Parahu di tengah Plaza Widya (doc. fadhli)

Selain ngaleut ke gedung-gedung heritage di ITB, aleutian juga ngaleut ke bekas  rumahnya seorang arsitek  ITB, Wolff Schoemaker, di Jalan Sawunggaling.  Bekas rumah sang arsitek ini, terdaftar di UNESCO sebagai gedung heritage yang dilindungi.  Dan sekarang rumah tersebut dijadikan tempat makan.

Eks rumah Schoemaker di Jl. Sawunggaling, yang sekarang jadi tempat makan (doc. fadhli)

Teras di rumah Schoemaker, yang dijadikan tempat makan (doc. Fadhli)
Interior rumah Schoemaker, lantainya dikembalikan ke pola asli (doc. fadhli)

Trivia

1.Jalan ITB terletak di jl Ganesha 10? dimana angka penenjuk 10 nya? terletak di depan Aula Timur, di belakang spot khusus pemasangan baliho.

penunjuk angka 10 ITB

2. Di belakang tugu kubus Ganesha, ada penunjuk arah gunung di Jawa Barat.

                                                    
Penunjuk arah gunung di belakang tugu kubus doc.fadhli

3. Di Plaza Widya, ada kolam Indonesia tenggelam, dan diteangtengahnya ada parit yang motif mozaik pada lantainya, ternyata partitur lagu Indonesia Raya
Pada parit, di tengah tengah Plaza Widya, motif mozaiknya ternyata partitur Indonesia Raya doc.fadhli

Kolam indonesia tenggelam,yg selalu digunakan mahasiswa Seni Rupa untuk menceburkan mahasiswa yang telah lulus. doc. fadhli

4. ITB pernah pindah ke Yogyakarta, dan menjadi cikal bakal UGM, ITB juga pernah menjadi bagian dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia bisa dilihat di situs resmi ITB di sini.

Postingan asli : http://fadhliakhmad.lokal.detik.com/2011/05/23/the-unknown-itb/

Bandung Mitra Kota (Sister Cities) Braunschweig

Oleh : Reza Ramadhan

Tepat hari ini tanggal 24 Mei 2011, selama kurun waktu 51 Tahun Braunschweig telah menjadi mitra Kota Bandung, piagam persahabatan kedua kota tersebut disempurnakan setelah ditandatangani oleh  Walikota Bandung R. Prianatakusumah disaksikan oleh tokoh-tokoh Bandung  dan utusan Braunschweig, Prof. Dr. Eckert, di Bandung, 24 Mei 1960.Bandung merupakan salah satu mitra kota (Sister Cities)  Braunschweig Jerman. Monument mitra kota antara Braunschweig dan Bandung berdiri tegak terlihat berada di pertigaan Jalan Wastu Kencana, Jalan Taman Sari dan Purnawarman, Sister City adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perjanjian kerjasama antar kota atau provinsi antara 2 negara untuk peningkatan perekonomian, mempromosikan kebudayaan dan menjalin kerjasama di berbagai bidang lain secara erat. Perjanjian sister city sendiri biasanya di lakukan atas dasar kesamaan  dari kedua kota tersebut.

(Monumen Sister City di Bandung)

Landasan atau dasar dari pada keinginan Kota Braunschweig dan Kota Bandung mengadakan partnership atau istilah lainya Partnerschaft ini, berpijak kepada kenyataan yang ada bahwa pada ke dua kota ini ada terdapat perguruan tinggi keguruan (Pedagogische Hochschule Braunschweig – Universitas Pendidikan Indonesia) dan Sekolah Tinggi Tehnik (Tehnische Universitat Braunschweig – Instiute Teknologi Bandung), disamping itu juga bandung memiliki iklim yang sejuk hawanya, dikelilingi alam yang indah dan secara tidak langsung Bandung terkenal karena adanya konfrensi Asia Afrika yang merupakan symbol dari kebangkitan negara-negara Terjajah di kawasan tersebut di atas dalam usahanya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Namun lebih utama dari semua persamaan itu dilandasi adanya hasrat dan minat diantara kedua warga kota Bandung dan Braunschweig untuk berkerjasama dan bersahabat.

Sekilas Sejarah Persahabatan Bandung – Braunschweig

Sesuai dengan saran dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), Prof.Dr.George Eckert yang pada waktu itu menjadi Direktor Internasionales Schulbuchinstitute di Braunschweig mengadakan hubungan dengan UPI Bandung yang pada waktu itu masih bernama P.T.P.G sekitar tahun 1950.

R.S Hardjapamekas yang pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa Jerman di PTPG mengenal Prof.Dr. George Eckert lebih akrab dari yang lain.Hasil korespondensi beliau dengan Prof.Dr. George Eckert yelah memperoleh bantuan 1000 buah buku Pelajaran Bahasa Jerman dan buku buku tersebut telah dijadikan modal pertama perpustakaan Jurusan Bahasa jerman PTPG.

Hubungan baik dikembangkan oleh para sarjana,akhli sejarah dan pengarang buku-buku sekolah termuka kedua bangsa.Dalam bulan Mei 1957 para akhli sejarah Indonesia dan Jerman mengadakan konprensi di Braunschweig dengan bantuan dari UNESCO komisi Jerman.

Wakil dari kebudayaan RI di Swis berkenan mengunjungi Seminar Pengajaran Sejarah dan pada kesempatan itu pula dikemukakan pula gagasan untuk mengadakan persahabatan dua kota antara kota Bandung dan Braunschweig yang disampaikan melalui Kuasa Usaha RI Marjoenani.

Untuk merealisir hubungan persahabatan dan kerjasama antara Kota Bandung dengan Kota Braunschweig, pada bulan Sepetember 1959 telah diadakan pertemuan secara khusus antara Duta Besar RI Dr. Zairin Zain dengan Prof.Dr. George Eckert dalam seminar tentang sejarah kebudayaan Indonesia. Kemudian secara resmi hal ini disampaikan oleh Atase Kebudayaan RI, Rochmat Hardjono kepada Oberstadtdirektor Hans Gunther Weber di Balaikota Braunschweig.

Pada tanggal 18 Mei 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Kota Braunschweig dalam suatu upacara khusus telah diresmikan persahabatan kedua Kota tersebut, ditandai dengan penandatanganan Piagam Ikatan Persaudaraan Bandung dan Braunschweig. Dari pihak Indonesia adalah Duta besar RI Dr. Zairin Zain dan dari pihak Jerman oleh Oberstadtdirektor Hans Gunther Weber dan Oberburgermeister Ny.Martha Fuchs.

(3 Serangkai Jerman)

Sebenarnya piagam persahabatan itu belum rampung penanda tangananya, karena Walikota Bandung yang waktu itu dijabat oleh R.Prinatakusumah belum menandatanganinya. Prof.Dr. George Eckert selaku ketua Perhimpunan Jerman Indonesia cabang Indonesia yang juga Guru Besar di Pedagogische Hochschule Braunschweig telah diutus ke Bandung sebagai duta dari Kota Braunschweig membawa Piagam yang akan ditanda tangani tersebut.

Pada Tanggal 2 juni 1960 dalam suatu upacara yang kidmat yang dihadiri oleh kurang lebih 300 orang tokoh masyarakat telah ditanda tangani Piagam Persahabatan Kota Bandung Braunschweig dan mulai hari itu lengkaplah sudah Piagam Persahabatan tersebut.

Maka dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa Prof.Dr.G Eckert dan R.Sobri H. mempunyai andil besar dalam merintis persahabatan antara kota Bandung – Braunschweig di samping tokoh-tokoh lainya.

*******

Sumber:

Tim Pusat Pemerintah daerah dan kadin Koyamadya DT II Bandung . 1985. Sekilas Tentang kota Bandung. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal.62-65

true colors. 2011. Braunschweig, mitra Kota Bandung . Dimuat di .http://uwiedama.blogspot.com/2011/04/braunschweig-mitra-kota-bandung.html. Diakses 13 April 2011

Yanuar Farhanditya 2010. Sister City di Indonesia . Dimuat di .http://asikunik.blogspot.com/2010/06/sister-city-di-indonesia.html. Diakses 20 Juni 2010

Kartodiwirio, Sudarsono.Katam.2006. Bandung, Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah Bandung

Aleut! : Ikhtiar Melawan Lupa

Oleh : Eka An Aqimuddin

Sebuah kota tidak lahir dalam semalam. Ada rangkaian cerita, kisah dan persitiwa yang membentuknya. Coba tengok kisah awal berdirinya kota Roma oleh dua bersaudara, Romulus dan Remus. Ada tragedi di sana. Romulus membunuh kembarannya itu, selepas mereka membangun sebuah kota, hanya karena berbeda pendapat. Jika terlalu jauh, mari alihkan perhatian kita sejenak ke pesisir pantai barat Sumatera. Terdapat sebuah kota kosmopolit yang tersohor dalam perdagangan internasional sejak abad ke-2 Masehi disebabkan oleh  kapur barus. Apakah nama kota itu? Ya betul, kota itu bernama Barus, diambil dari kekayaan alam yang dikandungnya.

Singkatnya, setiap kota memiliki sejarahnya masing-masing.

Bagaimana dengan Bandung? tentu saja ada sejarah dibaliknya. Julukan Parisj van Java, Ibu Kota Parahiangan atau Kota Kembang, sebagai sinonim Bandung, mungkin bisa jadi petunjuk untuk mengetahui sejarah Bandung. Namun, tulisan ini tidak berpretensi untuk mendedahkan ihwal sejarah Bandung, biarlah tugas itu dikerjakan oleh sejarawan dan komunitas Aleut! :). Tulisan ini cuma berisikan sejumput tafsir bebas atas kegiatan Aleut! dalam menyelidik dan menafsir sejarah Bandung. Tafsir di atas tafsir.

Sesekali cobalah buka laman komunitas Aleut! Di situ kita akan temukan cerita fragmen sejarah  Bandung yang beragam. Tulisan-tulisan itu menandakan bahwa sejarah tidak bersifat monolitik, ada kekayaan tafsir dalam memahami sebuah kota dari berbagai ruang. Uniknya, keragaman tafsir itu diperoleh tidah hanya sekedar mempelajari data, fakta dan cerita akan tetapi juga melalui kegiatan mengalami (Ngaleut!). Dengan demikian, sejarah Bandung tidak hanya dibicarakan dan diimajinasikan dalam nalar namun melibatkan pengalaman inderawi. Melalui mata, dapat disaksikan bagaimana gedung-gedung bersejarah di sepanjang Braga kini tidak terurus dan dengan berjalan, rute peristiwa Bandung Lautan Api coba dikonstruksi ulang.  Pendeknya, sejarah Bandung dipahami melalui proses mengalami walaupun dengan perbedaan rentang waktu yang jauh serta kondisi yang tidak persis sama.

Proses mengalami itu dapat membantu kita untuk mudah mengingat sejarah Bandung dan terhindar dari peliknya sejarah yang berliku dan rigid. Memahami Bandung lebih terasa ringan dan riang. Pada titik inilah saya menerjemahkan Aleut! sebagai ikhtiar melawan lupa. Berusaha untuk mengalahkan sisi ketidak-sadaran kemanusiaan kita. Bukankah lupa merupakan sesuatu yang manusiawi? iya, jika itu berkenaan dengan individu dan sesekali. Akan tetapi jika lupa menjadi modus kolektif dan terus menerus, bisa jadi pesan Rhoma Irama ada benarnya,”….kalau selalu lupa. itu mah disengaja.”

Upaya melawan lupa memang bukan kerjaan yang mudah. Milan Kundera bahkan pernah mengingatkan bahwa perjuangan melawan lupa sama sulitnya dengan menumbangkan sebuah kekuasaan. Dan sejarah di negeri ini sering dilupakan dan dimanipulasi melalui rekayasa kuasa yang bisa berasal dan berada dimana-mana. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat akan sejarahnya.

Ikhtiar yang telah dilakukan oleh Aleut! selama ini  bisa ditempatkan dalam bingkai melawan kuasa tersebut. Mungkin terdengar sangat spekulatif dan bombastis. Tapi minimal kita berusaha melawan kuasa atas diri masing-masing yang kerap enggan memahami sejarah kota dimana kita lahir, tumbuh dan besar atau bahkan sekedar singgah, Bandung.

eka_aa

tanbihat: sekedar tafsir bebas atas kegiatan aleut!. serupa dengan tulisan Unang Lukmanulhakim

Investasi Ala Aleut!

Tuliskanlah sesuatu! walaupun menurut kita tulisannya sederhana tapi siapa tahu memberikan dampak yang luar biasa.


 Oleh : Unang Lukmanulhakim

Hari ini entah ada angin apa tiba-tiba saja ingin mencoba mulai menulis lagi, walaupun sebelumnya juga belum banyak tulisan yang ku tulis. Sebenarnya semangat menulis ini muncul lagi setelah membaca tulisan-tulisan seorang temanku, teman baruku, teman baru yang sebenarnya lama, baru berkenalan tapi telah lama ku dengar namanya dari temanku yang lain. Hampir semua tulisan dia di blognya kubaca habis dan menurutku tulisan-tulisannya menarik, mungkin karena dia menulis dengan gaya dia sendiri kali ya. Cara penyampaiannya khas dan isinya pun cukup berbobot, Terima kasih buat kamu yang telah menginspirasi untuk menulis lagi.

Hari ini terasa cukup special buatku, bukan karena mendapatkan belahan jiwa seperti yang selama ini kunanti-nanti (padahal itu juga yang masih diharapkan sampai sekarang hehe), tapi karena hari ini pertama kalinya aku menjadi pembicara di sebuah acara talkshow yang diselenggarakan oleh sebuah himpunan mahasiswa di UPI. Aku menjadi pembicara mewakili Komunitas Aleut, kayaknya bukan karena aku hebat dalam hal sejarah dan semacamnya tapi lebih karena hari ini orang-orang yang berkompeten di Komunitas Aleut punya kesibukan masing-masing yang lain, jadilah aku yang menjadi utusan Komunitas Aleut untuk jadi pengisi talk show tersebut. Judul yang diberikan oleh panitia menurutku lumayan berat yaitu “Metoda mengembangkan kota agar menjadi investasi arsitektur”, wow dari kata-katanya saja udah nyeremin nih, tapi setelah berkonsultasi sana-sini dengan pegiat Aleut yang lebih senior akhirnya diputuskan bahwa saya akan menyampaikan investasi kota ala Aleut! mau tahu seperti apa? mungkin akan saya tunjukan dulu slide yang tadi aku bawakan di talk show itu.

Nah, itulah slide-slide yang disampaikan pada talk show tadi, sebenarnya sih ga ada materi baku yang dimiliki oleh Komunitas Aleut untuk mengisi seminar-seminar atau talk show-talk show, semuanya adalah hasil interpretasiku selama bergabung dan berkegiatan bersama Aleut! dan ada juga yang diambil dari blognya Aleut!.

Pertama-tama aku menjelaskan tentang apa itu komunitas Aleut dan seperti apa kegiatan-kegiatannya. Lalu selanjutnya menjelaskan yang menjadi inti dari tema yang dibawakan oleh Aleut yaitu “Investasi Kota Ala Aleut”. Dari interpretasiku selama ini Komunitas Aleut telah berinvestasi dengan cara yang unik, dengan caranya sendiri, dengan Ala Aleut banget deh. Komunitas Aleut berinvestasi pasa sisi “manusia” yang merupakan elemen penting dari sebuah kota dan memposisikan sejarah dan cagar budaya sebagai sarana belajarnya. Saya beranggapan bahwa segala sesuatu yang bersifat material, misal : bangunan, situs-situs, benda-benda cagar budaya sifatnya hanya sementara dan tidak akan ada selamanya, hal-hal tersebut bisa saja tiba-tiba hilang baik itu karena dihilangkan dengan sengaja ataupun hilang karena ada faktor yang diluar kuasa manusia yang menghilangkannya. Maka Aleut! beranggapan dibutuhkan sesuatu yang lebih bisa bertahan lama dan bisa berkelanjutan, untuk itu Aleut dalam kegiatannya selama ini telah berinvestasi pada sisi ‘manusia’ Kota bandung, 3 hal yang dapat aku simpulkan dari kegiatan-kegiatan Aleut selama ini adalah :

1Mengajak berpola pikir yang “ramah kota”: dalam setiap kegiatan Aleut kita selalu diajak untuk bertindak dan berperilaku yang baik terhadap kota kita, misalnya tidak buang sampah sembarangan, menyebrang jalan pada tempat yang benar, berjalan kaki di tempat yang semestinya, dll. Hal-hal tersebut mungkin kelihatan sederhana dan sangat klise, mungkin telah berpuluh-puluh kali orang-orang menganjurkan untuk berbuat seperti itu, tapi disadari atau tidak dari hal-hal kecil tadi itu apabila dikerjakan secara konsisten akan memacu kesadaran-kesadaran lain yang sifatnya lebih besar dan lebih penting.

2. Belajar memaknai danmenghargai (perjalanan, tempat,orang dan setiap yang ditemui): dalam setiap kegiatan Aleut! kita diajak untuk mencoba lebih menghargai dan memaknai setiap hal yang kita jumpai baik itu perjalanannya, orang-orangnya, tempat-tempatnya atau benda-benda lain yang ditemui, dengan cara itulah maka setiap pegiat Aleut! akan memiliki interpretasi yang bermacam-macam mengenai sebuah kegiatan yang akan memperkaya pengetahuan pegiat Aleut! sevara keseluruhan. Dan dengan memaknai dan menghargai pula kita bisa menemukan sesuatu yang mungkin kelihatannya kecil namun menjadi sesuatu yang luar biasa karena kita telah memaknainya.

3. Mengajak berbuat sesuatu : tak cukup hanya tahu, berbuatlahsesuatu! : Dalam setiap kegiatannya, Aleut mengajak semua pegiatnya agar bisa melakukan sesuatu yang “riil”, tidak harus besar dan luar biasa bentuknya tapi bisa dengan melakukan hal-hal kecil yang bisa dilakukan, hal yang paling sering dicontohkan adala “menulis”. Menulis merupakan hal yang biasa dilakukan pegiat Aleut! setelah melakukan sebuah kegiatan, menulis bisa bentuknya apa saja, bisa menulis artikel, menulis catatan perjalanan, menulis puisi, menulis cerpen atau apapun yang bisa ditulis. Disadari atau tidak dengan cara seperti itu pegiat Aleut telah melakukan sesuatu yang riil, karena tulisan bisa mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama ataupun memberikan gagasan kepada orang tersebut. Menulis bisa menciptakan sebuah sejarah baru, karena inti dari sejarah adalah tulisan. Dan memamng menurutku disamping kita belajar tentang sejarah-sejarah yang telah lampau kita seharusnya menciptakan sejarah untuk masa depan, “create your own history” tentunya melalui tulisan salah satunya.

Itulah kira-kira inti yang tadi aku sampaikan pada talkshow di kampus UPI sore ini. sebenarnya sebagian merupakan interpretasiku sendiri, hasil dari semua yang aku peroleh selama ini di Komunitas Aleut, kalo meminjam istilah temanku “hasil endapan dari jeda yang telah dilakukan selama ini”.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang tidak ada di slideshow yang tadi aku sampaikan yaitu Komunitas Aleut mengajak untuk lebih peka dan peduli pada lingkungan sekitar kita, kalo dalam istilah bisnis “Think Globally Act Locally” atau dalam peribahasanya adalah “dimana langit dipijak disana langit dijunjung”. Dan saya rasa ajakan ini merupakan suatu hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang, dimanapun kita berada cobalah kenali keadaan sekitar lalu berkontribusilah terhadapnya. Apabila semua orang telah melakukan hal ini, saya rasa pemerintah akan sangat ringan sekali tugasnya, karena masyarakatnya telah dengan sukarela mengurusi dirinya dan sekitarnya.

Semoga saja kita bisa mewujudkan semua hal yang tadi telah dituliskan, karena aku yakin mewujudkannya tidak akan semudah mengucapkan dan menuliskannya. Tapi kalo kita berusaha, apa sih yang ga bisa?

tak cukup hanya tahu, berbuatlah sesuatu!

Belum Ke Bandung Kalau Belum Ngaleut!

 

sumber :

http://aleut.wordpress.com/about/

Intrepretasi pribadi terhadap kegiatan Komunitas Aleut!

Foto-foto koleksi Komunitas Aleut!

Ulasan Kuliner dari Ngaleut! Bioskop

Oleh : Ihsan Nurul Fauzi

NgAleut! tanggal 15 Mei 2011 adalah ngaleut tentang bioskop. Meskipun urang udah pernah ngaleut bioskop, tapi selalu aja beda. Beda jalurnya, beda teman-temannya, bedalah suasananya. Ga akan pernah ada ngaleut yang sama meskipun temanya sama. Tapi urang ga akan bahas tentang ngaleut bioskopnya. Urang mau bahas tentang jajanan selama ngaleut.. Cekidot..

1. Lotek alkateri

Sesuai namanya, lotek ini berlokasi di jalan alkateri. Salah satu lotek yang terkenal di Bandung.


Yang ngebedain lotek alkateri sama lotek lainnya, yaitu adanya sayuran paria. Jadi bikin lotek rada pait-pait dikit tapi bikin sehat. Terus yang ngebedainnya lagi adalah penyajiannya yang di pincuk mencorong.

                                                                   

Soal rasa menurut urang ga terlalu istimewa, bumbunya kurang “nonjok”. Cikur dan cengeknya kurang terasa, jadi terasa hambar. Mungkin gara-gara melayani banyak pesanan dari anak-anak aleut, jadi kurang terperhatikan rasanya. Cukup kenyang dengan harga Rp. 7500 per pincuk sudah ada lontong dan kerupuk di dalam loteknya. Lotek ini berjualan dari jam 10 pagi sampe jam 3 sore.

2. Cendol gentong

Cendol ini berjualan tepat di depan penjual lotek. Diberi nama cendol gentong bukan karena cendolnya segede gentong, tapi karena tempat cendolnya dari gentong. Cendol ini berbeda dengan “Cendol Elisabeth” yang sudah terkenal. Cendol gentong berwarna bening dan ukurannya lebih lebih kecil. Jadi kita bisa nyuruput cendolnya dengan sedotan.

                                                    

Dengan ditambah cairan gula merah dan sedikit potongan nangka, cendol ini terasa nikmat setelah makan lotek, apalagi klo siang-siang setelah ngaleut. Dengan tiga ribu lima ratus rupiah saja, kita sudah bisa menikkmati cendol yang unik ini.

Demikian review NgAleut! Jajan kali ini. Tunggu ulasan jajanan selanjutnya.

Sumber gambar

http://visitbandung.multiply.com/photos/photo/83/8

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150184502189716&set=a.10150184486219716.306354.549299715&type=1&theater

——

Lotek : 2/5

Cendol : 3.5/5

Post #1

R.A.A Martanagara sang Pembaharu

Oleh : Indra Pratama

R.A.A Martanagara lahir pada tanggal 9 Februari 1845. Ayahnya adalah Raden Kusumayuda yang tak lain adalah cucu Pangeran Kusumahdinata alias Pangeran Kornel, sedangkan Ibunya bernama Nyai Raden Tejamirah, merupakan putri Dalem Tumenggung Suryadilaga, pejabat bupati Sumedang yang dikenal dengan sebutan Dalem Sindangraja.

Saat Martanagara lahir, yang menjabat sebagai bupati Sumedang adalah kakak tiri ayahnya, yaitu Pangeran Suria Kusumah Adinata atau terkenal dengan nama Pangeran Sugih. Pangeran Sugih disebutkan sangat menyayangi Martanegara selayaknya anaknya sendiri. Martanagara sudah dibawa tinggal bersamanya sejak usia tiga tahun.Bahkan Pangeran Sugih mempertunangkan Martanagara, yang baru berusia lima tahun, dengan putrinya, Armunah, yang baru berusia tiga tahun. Rasa sayang Pangeran Sugih pada Martanagara juga tidak putus ketika ayah Martanagara, Raden Kusumayuda, yang waktu itu menjabat wedana distrik Cibeureum, Sumedang, diasingkan ke Probolinggo karena berselisih paham dengan Pangeran Sugih.  Martanagara juga sudah dianggap saudara kandung oleh putra-putra Pangeran Sugih, Enden Durahman dan Enden Durahim. Bahkan hajatan sunatan ketiga anak laki-laki itu tahun 1857, termasuk hajatan besar pada saat itu.

Sekitar setengah tahun semenjak pesta yang menghebohkan itu, datanglah seorang seniman hebat pada masanya, yang berjulukan the King’s Painter.  Ya, Raden Saleh Syarif Bustaman datang mengunjungi Pangeran Sugih di Sumedang.  Raden Saleh tinggal selama limabelas hari di Sumedang, dan Pangeran Sugih Nampak sangat menyukai tamunya itu. Ketika Raden Saleh hendak pamit pulang, ia menyuruh Martanagara dan Enden Durahim ikut belajar kepada Raden Saleh. Akhirnya kedua bocah itu dibawa Raden Saleh ke kediamannya di Kampung Gunung Sari, sebelah utara Batavia. Raden Saleh dan istrinya, Ny.Winkel Hagen sehari-hari berbahasa Belanda, sehingga Martanagara dan Durahim pun perlahan terbiasa berbahasa Belanda.  Mereka pun juga terlatih berbahasa Jawa, karena seluruh pekerja di rumah Raden Saleh adalah orang-orang asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Raden Saleh (1872)

Sekitar tahun 1858, suami istri Raden Saleh dan Ny.Winkel memutuskan bahwa Martanagara dan Durahim akan melanjutkan sekolah ke Ambachtschool, alias sekolah menengah teknik (mungkin sekarang serupa SMK) di Semarang.  Disana mereka tinggal di kediaman seorang pedagang asal Palembang bernama Ence Dimah, rekan Ny.Raden Saleh. Mereka menuntut ilmu selama dua tahun di Semarang. Sebelum kembali ke kediaman Raden Saleh, yang telah pindah ke Cikini selama dua bulan, dan kembali ke Sumedang pada Januari 1861, dimana Martanagara dan Durahim harus berpisah. Durahim akan melanjutkan sekolah agama, sedangkan Martanagara diberi posisi magang di Kepatihan Sumedang selama beberapa lama, sebelum akhirnya ditunjuk menjadi guru sekolah. Tugas sebagai guru sekolah dilakoni beliau sampai tahun 1864.

Ambachtschool Semarang

Tahun itu ia diangkat menjadi camat di Cikadu. Dan sembilan bulan setelah diangkat sebagai camat, ia pun menikah dengan tunangannya, Armunah, di usia 20 tahun. 6 bulan kemudian, ia dipanggil pulang ke Sumedang sebagai Kaliwon, juru bicara dan sekretaris untuk Patih Sumedang. Karirnya makin menanjak setelah pada Juni 1869 ia diangkat menjadi Wedana di distrik di Sumedang. Tapi peningkatan karirnya tak membuatnya bahagia selalu, tahun 1871 Armunah meninggal dunia setelah terserang wabah kolera.

R.A.A Martanegara. (Pics : Mahanagari)

1871 sendiri adalah tahun penuh goncangan bagi para pembesar pribumi.  Reorganisasi Priangan yang dilakukan pemerintah kolonial dengan menghapus preangerstelsel  otomatis mengurangi pemasukan para pembesar secara signifikan. Tapi Martanagara yang tidak dibiasakan hidup penuh kemewahan tidak ambil pusing dengan itu semua, ia malah makin bersemangat memberikan pendidikan untuk keluarga barunya, setelah pada 1872 ia menikah lagi dengan Raden Ajeng Sangkanningrat, masih putri dari Pangeran Sugih pula, dari seorang padmi bernama Raden Ayu Rajapamerat. Pada keluarganya ia menanamkan sebuah nilai, bahwa kedudukan para bangsawan pribumi suatu saat akan bergeser menjadi kedudukan yang tidak berarti sama sekali. Ia sudah memandang jauh, bahwa di kemudian hari, serah terima jabatan berdasarkan garis keturunan akan terhapus. Oleh karena itu ia mendidik putra-putranya dengan giat.  Beberapa anaknya disekolahkan di Bandung, misalnya, Aom Alybasyah, ia tercatat sebagai murid De Openbare Lagre School, sedangkan Raden Ace menjadi murid sebuah sekolah swasta. Sementara itu, putranya yang lain Raden Ogog sudah menjadi juru tulis di Distrik Cidamar.

Pada tahun 1881 Martanagara dipercaya menjabat patih Sumedang, mendampingi ayah angkatnya, Pangeran Sugih. Namun tahun berikutnya Pangeran Sugih wafat. Martanegara merasa kehilangan yang amat sangat, namun ia harus menutup dalam-dalam kesedihannya, ia harus menjadi pemimpin sementara Kabupaten Sumedang, karena sampai beberapa saat Pangeran Sugih wafat, putra-putranya belum ada yang berada di Sumedang untuk menggantikan kedudukannya. Empat bulan sesudahnya, ditunjuklah Raden Rangga Suriaatmaja, patih Mangunreja, untuk menjabat sebagai Bupati.  Sedangkan Martanagara sendiri menggantikan Suriaatmaja sebagai patih di Mangunreja.

Raden Rangga Suriaatmaja (Pangeran Mekkah)

Pada Maret 1893, pangkal cerita Martanagara di Bandung dimulai. Asisten Residen Van Ravenswaai membisikinya, bahwa ia akan ditunjuk sebagai Bupati Bandung, selepas wafatnya Adipati Kusumahdilaga. Tapi sebelum ada keputusan resmi dari Residen, ia tidak diperbolehkan bicara apapun tentang hal ini. Satu hal yang ia tidak sadari, di Bandung sendiri terjadi sebuah polemik, siapakah yang akan menjadi bupati selanjutnya, karena putra Kusumahdilaga, yaitu Raden Muharram, masih berusia empat tahun. Dilihat dari segi keturunan Raden Somanagara yang menjabat Patih Bandung-lah yang dijagokan untuk menjadi bupati. Karena beliau merupakan menantu dari Wiranatakusumah IV alias Dalem Bintang, kakak dari R.Kusumahdilaga. Tanggal 29 Juni 1893 akhirnya keputusan resmi dari Residen pun tiba, Martanagara adalah bupati Bandung yang baru.

Pengangkatan ini rupanya menimbulkan rasa kecewa bagi Somanagara. Ketika perayaan pengangkatan Martanagara diadakan di pendopo tanggal 14 Juli 1893 malam, terdengarlah suara ledakan di jembatan Cikapundung. Namun karena dirasa tidak mengganggu, suara ledakan itu tak terdengar. Namun ketika tanggal 17 Martanagara menerima laporan bahwa terjadi ledakan di panggung direksi Lapangan Pacuan Kuda Tegalega. Yakinlah bahwa ada sabotase dalam kedua peristiwa ini. Laporan yang diterima kala itu, dinamit-dinamit itu mengincar nyawa dari Residen, yang sedang menetap di Bandung. Penyelidikan pun dilakukan, hasilnya ditemukanlah tumpukan dinamit di rumah seorang kerabat Kusumahdilaga yang bernama Raden Nata Anbia. Yang berakhir dengan dibuangnya sejumlah pelaku, didalamnya termasuk empat orang priyayi (yang salah satunya adalah Raden Somanagara) ke berbagai tempat.

Tentu saja hal itu menimbulkan ketidaktentraman bagi Martanagara. Ada beberapa cara yang dilakukannya unntuk mengatasi hal itu. Pertama, ia menempatkan pasukan Sumedang di Soreang. Pangeran Sumedang sendiri bahkan setiap minggu datang ke Kabupaten Bandung untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Kedua, membuka dan memperbaiki hubungan dengan elite birokrasi asli Bandung dengan cara-cara yang kompromistis, meskipun memakan waktu yang tidak sebentar. Cara kedua ini dimulai dengan membuka  Parukunan, semacam Societeit pribumi yang berlokasi di bagian depan bangunan Kabupaten Bandung. Tempat ini kemudian disebut “Bale Kebudayaan Priangan”. Para bangsawan Bandung sering diundang ke tempat ini untuk menikmati hiburan, misalnya menonton pertunjukan seni tari, sandiwara, dan ikut menari dengan diiringi gamelan. Dengan cara demikian Martanagara dapat membina hubungan baik dengan bawahannya yang asli Bandung.

Setelah situasi mulai kondusif, Martanagara pun memulai tugasnya membangun kota Bandung. Kota Bandung saat itu mulai tersohor sebagai kota besar. Dapat diakses jalur kereta api, pusat departemen peperangan, serta tempat bisnis-bisnis besar, seperti Toko De Vries dan Toko Liem. Program- programnya mulai berjalan. Yang paling terkenal adalah program atap genting untuk rumah-rumah. Program ini diinstruksikan dijalankan oleh sebuah kampung di Balubur. Oleh karena kampung ini memproduksi genting atau Lio, maka kampung ini terkenal dengan nama Kampung Lio. Nama ini kemudian berubah setelah pemerintah memerdekakan kampung ini dari pajak, sehingga nama beken kampung ini pun menjadi Merdika Lio.

Aleut! di Kawasan Merdikalio (photo by : Ridwan Hutagalung)

Program-program lain pun tak kalah revolusioner. Martanagara mengisi kas daerah dengan menginstruksikan penanaman singkong besar-besaran, karena singkong saat itu sedang laku di pasaran dunia. Hasil kas digunakan untuk program-program lain, seperti memperluas area persawahan plus memperbaiki sistem irigasi. Martanegara bahkan mengungkapkan, bahwa tanah akan lebih berguna jika ditanami dibandingkan dengan diurug untuk dijadikan perumahan. Sedangnkan program irigasi diwujudkan lewat mega proyek irigasi Cihea, yang menghabiskan satu juta gulden. Mungkin hanya di masa Martanagara lah luas daerah persawahan tidak berkurang seiring majunya perekonomian sebuah kota, melainkan makin meluas. Pada tahun 1896 luas areal persawahan mencapai 800.000 bau. Dan ketika tahun 1912 mencapai 1.000.000 bau.

Pembangunan prasarana publik pun tidak terlupa. Untuk mempermudah akses keluar masuk daerah, beliau membangun jembatan (jembatan bambu)di beberapa sungai besar di sekitar Bandung. Dalam waktu singkat telah dibangun lima buah jembatan di aliran Citarum; yang menghubungkan Cicalengka-Majalaya, Ujungberung-Ciparay, Dayeuhkolot-Banjaran, Cimahi-Kopo, dan yang terakhir menghubungkan Rajamandala dan Cihea, dimana arus lalu lintas dari dan ke Batavia serta Bogor berhasil dipersingkat. Bahkan ketika pejabat kolonial meninjau proyek-proyek ini, disangkanya Martanagara adalah seorang insinyur teknik lulusan Belanda. Dua tahun kemudian, kelima jembatan bambu ini sudah diganti dengan yang berbahan besi.

Jembatan Besi Baru Citarum, 1917
Jembatan Bambu

Martanagara pun berhasil membangun irigasi beberapa taman di Bandung seperti Taman Merdeka (Pieterspark), Taman Nusantara (Insulindepark), Taman Maluku (Molukenpark), dan Taman Ganesha (Ijzermanpark).

Tahun 1897 Martanagara lagi-lagi harus mengalami kehilangan seorang istri. Raden Ayu Sangkanningrat meninggal satu bulan setelah melahirkan putra pertamanya, Aom Singgih. Beliau dimakamkan di Karang Anyar. Setahun kemudian ia pun menikah lagi, lagi-lagi dengan putrid Pangeran Sugih, yaitu Nyai Raden Rajaningrat.

Tahun 1904. Untuk ke sekian kalinya, datanglah Raden Dewi Sartika ke kantor Martanagara. Raden Dewi tak lain adalah putri dari Somanagara, sang pengacau pada awal kepemimpinannya. Raden Dewi datang untuk kesekian kalinya memohon untuk diizinkan membuka sekolah untuk kaum perempuan, dari kalangan apapun. Martanagara dilanda kebimbangan, rencana Raden Dewi merupakan rencana yang sangat mulia dan progresif untuk jamannya. Namun di sisi lain akan menimbulkan kegoncangan bagi kaum priyayi, terutama para wanitanya. Karena sekolah adalah eksklusivitas yang hanya diperoleh kaum priyayi dan kaum berada. Tapi pada akhirnya, kecintaannya pada kemajuan membuatnya mengizinkan rencana Raden Dewi membuka sekolah. Agar tidak terlalu menghebohkan, sekolah Raden Dewi ia sediakan tempat di halaman rumah dinasnya. Dukungannya pada sekolah yang kelak bernama Sakola Kautamaan Istri tersebut berlanjut, bahkan ketika sekolah mencari tempat baru karena membludaknya murid, Martanagara ikut patungan (dari kocek pribadi) bersama Raden Dewi untuk membeli sebuah tanah di Ciguriang berikut membangun bangunan dari kayu dan bambu.

Dewi Sartika

Beragam penghargaan pernah beliau terima ketika menjabat sebagai bupati. Tahun 1900 penghargaan bintang emas beliau terima dari pemerintah kolonial. Tahun 1906 memperoleh gelar adipati. Tahun 1909 beliau mendapatkan penghargaan tertinggi, yaitu payung emas (golden parasol) dari pemerintah. Beliau pun pernah mendapat gelar kehormatan dari Raja Siam, Officer of the Order of the Crown of Siam.

R.A.A Martaegara dengan Bintang Jasa

Tahun 1918, setelah 25 tahun menjabat bupati Bandung, Martanagara merasa sudah waktunya ia untuk mundur.  Usia yang sudah menginjak 74 tahun menyulitkannya untuk bekerja dengan fokus dan baik. Ia pun resmi mundur bersamaan dengan dikeluarkannya surat keputusan resmi pemerintah tanggal 14 Oktober 1918. Martanagara menghabiskan masa tuanya di Sumedang, tanah kelahirannya. Tempat tinggalnya di masa pensiun ini berpindah-pindah. Pertama ia menempati bagian selatan kompleks kabupaten, lalu ia dipinjami sebuah rumah oleh seorang Belanda, sembari ia pun membangun sebuah rumah di Burujul, sebelah barat kota Sumedang.Yang dihuninya sampai akhir hayat sebelum dimakamkan di Kompleks Makam Gunung Puyuh. Tidak diperoleh info tentang kapan beliau wafat.

Sumber :

Blogs Kajian Sejarah Dan Antropologi Pers. 2010. Analisis Buku: Konflik Elit Birokrasi ( Biografi Politik Bupati R.A.A Martanegara ) Karya Nina Lubis. http://dedenmyger.blogspot.com/. Diakses 9 Mei 2011.

Nurul Wachdiyyah. 2010. Siapa Gerangan R. A. A. Martanegara?. http://www.mahanagari.com/. Diakses 9 Mei 2011.

R. A. A. Marta Nagara, 1923, Babad Raden Adipati Aria Marta Nagara Regent Pensioen Bandoeng di Soemedang, Bandoeng: Drukkerij Aurora. Dimuat dalam : G.W.J Drewes. 1985. The Story of an Old Time Priangan Regent As Told By Himself. Leiden.

Nina H.Lubis. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda

Kartadibrata, R.M. Abdullah. 1989. Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, Brosur. Yayasan Pangeran Sumedang, Museum Prabu Geusan Ulun. Cetakan ke-2.

Perjalanan Jalur Pendidikan Dewi Sartika

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan
(Raden Dewi Sartika)

Suatu pagi yang cerah berawan di awal bulan Mei tepatnya tanggal 8 Mei 2011. Matahari terlihat cukup cerah dan langit biru tampak berawan menutupi matahari, terasa pagi itu akan turun hujan di kota Bandung, namun semangat untuk menulusuri sejarah salah satu Pahlawan pelopor pendidikan di Indonesia Raden Dewi Sartika membuat seakan-akan angin sepoi-sepoi menyambut suasana pagi gembira mengalahkan cuaca yang terlihat kurang mendukung. Dari kejauhan terlihat penduduk komunitas Aleut! Telah berkumpul di halaman depan Gedug Merdeka  yang dalam sejarah zaman kolonial Hindia Belanda dahulu dikenal dengan nama Schouwburg tempat di selenggarakanya berbagai pertunjukan kesenian bagi kalangan elite Societeit Concordia.

Di halaman Gedung Merdeka , tempat para pecinta pariwisata dan apresiasi sejarah berkumpul, merupakan tempat titik awal yang telah direncanakan untuk memulai trip pariwisata sejarah bertema pelopor pendidikan Raden Dewi Sartika, perjalanan di mulai dengan berjalan menelusuri jalan gang ke arah Jl. Dalem Kaum, tepatnya di antara bangunan Savoy Homan dan bangunan toko De Vries, sedikit tentang jalan antara hotel Savoy Homan dan toko De Vries, pada masa kolonial jalan tersebut merupakan jalan yang memisahka antara bagian utara yang ditempati oleh bangsa Penjajah Eropa dan bagian selatan yang di tempati oleh para pribumi, hal ini menggambarkan diskminatifnya bangsa penjajah terhadap pribumi dengan melakukan penyekatan wilayah-wilayah dengan tidak diperbolehkanya di singgahi pribumi di bagian utara Bandung.

Lanjut kearah jalan dalem kaum tepatnya di suatu jembatan sungai cikapundung, jembatan ini mempunyai sejarah yang cukup menarik pada masa lalu, dikisahkan ketika patih Bandung yang tidak lain bapak Raden Dewi Sartika bernama Raden Rangga Somanegara tidak puas atas terpilihnya Raden Adipati Aria Martanegara sebagai Bupati Bandung ke 10 menggantikan R.A Kusumadilaga yang sakit. Ketidak puasan Raden Rangga Somanegara dipicu karena adanya politik yang dilancarkan Residen Priangan dibawah L.J.D Harders yang mencium gelagat sikap kurang proaktif di dalam tubuh R. Rangga Somanegara apabila terpilih menjadi Bupati Bandung, dengan alasan itulah pemerintahan kolonial Hindia Belanda dibawah Residen Priangan mengurungkan niatnya memilih R.Rangga Somanegara menjadi Bupati bandung menggatikan R.A Kusumadilaga. Padahal seharusnya secara struktural R.Rangga Somanegara-lah yang berhak mengemban jabatan sebagai Bupati Bandung kala itu, hal tersebut beralasan karena jabatan patih Bandung memamang pantas menggantikan posisi bupati Bandung yang kala itu didera sakit panjang, yang  pada akhirnya meninggal, pasalnya apabila terjadi sesuatu hal yang memerlukan penggantian bupati, otomatis patihlah yang berhak menggantikan jabatan Bupati, itu di karenakan jabatan patih merupakan wakil bupati pada masa tersebut.

(Raden Adipati Aria Martanegara)

Pada perjalanan sejarahnya akhirnya R.A.A Martanegaralah yang terpilih menjadi Bupati Bandung seorang keturunan darah Sumedang anak dari Raden Kusumahyuda, cucu Pangeran Kornel yang merupakan bupati Bandung XII (1791-1892). Karena ketidak puasan itulah akhirnya R.A Somanegara merencanakan pemberontakan melakukan aksi perlawanan bersama kerabatnya terhadap Gubenerman dan Bupati Bandung yang baru dengan melakukan perencanaan peledakan jembatan cikapundung menggunakan 2 ikat dinamit masing-masing berisi 90 batang yang telah direncanakan sebelumnya. Runtuhlah ketika itu jembatan cikapundung sehingga menciptakan suara letusan dasyat yang sampai terdengar ke Pendopo Dalem, ketika itu kabarnya Bupati  R.A.A Martanegara sedang menyelenggarakan acara syukuran atas terpilihnya menjadi bupati Bandung baru. Tak khayal suasana panik pun terjadi di syukuran tersebut.

Setelah menguak cerita cukup panjang di jembatan cikapundung di jalan Dalem Kaum, perjalanan berlanjut ke arah jalan pasundan. Ketika zaman dahulu jalan pasundana merupakan wilayah Regol,  kata regol berasal dari “Regal” yang berarti bersifat kebangsawanan, regol sendiri merupakan suatu istilah yang berada di pusat pemerintahan, dengan arti demikiaan wilayah regol dapat menggambarkan bahwa dahulu wilayah regol (sekarang Jalan pasundan) merupakan tempat tinggal para abdi kaum yang tinggal pada wilayah pusat pemerintahan Bandung, yang kala itu berada di antara bangunan pendopo Bandung tempat bupati Bandung menetap dan menjalankan kekuasaan di wilayahnya.

Perjalanan akhirnya melanjut ke arah jalan Dewi Sartika, cuaca mulai tidak mendukung, hujan rintik- rintik pun mulai turun, tapi semangat mengapresiasikan sejarah Komunitas Aleut! Tidak padam, di tengah perjalanan di jalan Dewi Sartika, tampak bagian belakang pendopo Bandung terlihat, ornamen gada yang merupakan ciri khas arsitektur Ir.Soekarno nampak di atas bangunan tersebut, sedikit menggambarakan ornamen gada merupakan senjata Bima atau Werkudara pada tokoh perwayangan salah satu bagian tokoh dari Pandawa Lima yang di gemari Ir Soekarno. Oleh sebab itulah Soekarno  selalu memberikan sentuhan ornemen gada pada arsitektur bangunan yang di buatnya.

Perjalanan selanjutnya dilanjutkan ke jalan Kautamaan Istri yang merupakan tempat berdirinya sekolah Istri yang di bangun oleh Dewi Sartika pada tahun 1905  dengan dana tabungan pribadinya di bantu dana Bupati R.A.A Martanegara. Sekolah yang dibangun Dewi Sartika mempunyai sejarah panjang pada masa-kemasa di mulai pada tahun 1904 dengan nama sekolah Istri bertempat sementara di  ruangan Paseban Barat di halaman depan rumah bupati Bandung dengan murid berjumlah 60 orang siswi dan tiga orang tenaga pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri dan dua saudara misanya yaitu, Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Persisnya pada tahun 1905 karena ruangan tidak lagi dapat menampung jumlah siswi yang bertambah sekolah tersebut di pindahkan ke jalan Ciguriang- Kebon Cau (sekarang:Jalan Kautamaan Istri) sekolah dibangun dengan nama sekolah yang sama yaitu Sakola Kautamaan Istri.  Barulah ketika tahun 1910 sekolah yang di bangun Dewi Sartika berubah menjadi yayasan, hal ini bertujuan untuk mengembangkan sekolah bumi putera yang di bangun oleh Dewi Sartika dengan bantuan himpunan dana dari pihak-pihak yang ingin menyumbang dana bagi pengembangan sekolah bumi putera istri, akhirnya dengan berubahnya sekolah menjadi berlandaskan yayasan sekolah isri berubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri. Yayasan perkumpulan kautamaan istri yang dipimpin oleh istri Residen Priangan dalam waktu singkat membuhkan hasil,  sehingga dari dana yang di himpun yayasan, yayasan Kautamaan Istri dapat mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi ,Tasikmalaya,Garut,Purwakarta dan sebagainya. Pada tahun 1929 bersamaan genap usia 25 tahun berdirinya Sekola Kautamaan Istri. Pemerintah Hindia Belanda memberi hadiah berupa sebuah gedung baru yang permanen. Pada perayaan peresmian gedung baru itu, nama Sakola Kautamaan Istri diumumkan berganti menjadi Sekola Raden Dewi. Pada perkembanganya pada zaman penjajahan Jepang Sakola Raden Dewi berganti nama menjadi Sekolah Gadis no 29.

(Sekolah Dewi Sartika)

Sampai setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 Sekolah Rakyat Gadis no.29 masih tetap dibuka, tetapi menjelang meletusnya perang kemerdekaan sekolah istri-pun ditutup.pada masa setelah kemerdekaan tepatnya tanggal 17 April 1951 dibentuklah sebuah yayasan kembali dengan nama Yayasan Dewi Sartika. Di awal pembentukan yayasan Dewi Sartika, Sekolah Dewi Sartika dijadikan sekolah Guru Bawah (SGB) namun hal ini tidak bertahan lama karena Surat Keputusan Mentri Pendidikan Dasar pada saat itu untuk menghapuskan Sekolah Guru Bawah, maka Sekolah Dewi Sartika berganti menjadi Sekolah Kepandaiaan Puteri (SKP) Dewi Sartika.Lalu pada tahun 1963 SKP berubah nama menjadi Sekolah Kejuruan Kepandaian  Puteri (SKKP) Dewi Sartika lalu pada perkembangan selanjutnya akhirnya Tahun 1968 Yayasan Dewi Sartika mendirikan sekolah dasar yang dinamakan sekolah SD Dewi Sartika di tempat yang sama sampai sepuluh tahun berikutnya pada tahun 1978, Yayasan Dewi Sartika membentuk sekolah menengah pertama yang dinamakan SMP Dewi Sartika sampai sekarang.

Pada masa Bandung Lautan Api tahun 1946, pada masa itu Mentri Petahanan Republik Indonesia Mr.Amir Syarifuddin mengumumkan perintah agar semua penduduk pribumi di Bandung mengungsi ke wilayah Bandung selatan sampai ke luar kota Bandung, karena pada saat itu kota Bandung akan di bumi hanguskan. Dengan kejadiaan itu akhirnya Dewi Sartika bersama anak dan cucu pergi mengungsi ke ciparay, kemudian melanjutkan perjalanan ke Garut dilanjut ke daerah antara kota Tasikmalaya dan Ciamis yaitu Desa Cineam. Dalam pengungsiaan ini Dewi Sartika merasa sedih dan prihatin memikirkan sekolah dengan susah payah ia perjuangakan.Akhirnya pada tanggal 11 September 1947 Dewi Sartika di panggil Yang Maha Kuasa, karena sakit yang diderita olehnya, Kemudiaan dalam suatu upacara pemakaman yang sederhana, Dewi Sartika dimakamkan di Pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tibalah sampai tiga tahun kemudian, persisnya pada tahun 1950, kerangkanya dipindah dan dimakamkan kembali di Komplek Pemakaman Bupati Bandung di jalan Karang Anyar Bandung.

Melihat sejarah Dewi Sartika dalam dunia pendidikan, Dewi Sartika merupakan tokoh wanita yang  membentuk para wanita indonesia di masa lalu hingga masa kini, melalui berbagai kegiatan pendidikan yang diperjuangkan sejak tahun 1904. Prinsip yang sejak dahulu ditanamkan kepada anak didiknya dulu menjadi kenyataan bahwa “Ari jadi awewe kudu sagala bisa!” telah terbukti nyata pada zaman sekarang. (REZA RAMADHAN KURNIAWAN) (*Dari berbagai sumber)

                                                                                 ******

Kali Ini Dengarlah

Oleh : Ayu “Kuke” Wulandari

Saya tak punya pengkotak-kotakan perihal Musik. Dimainkan siapa pun dengan apa pun dari mana pun, sepanjang itu bisa dinikmati dan tidak membuat tatanan imajinasi saya berantakan alih-alih mati, saya akan menerima dengan senang hati. Entah bagaimana awalnya, saya sendiri seperti tak punya ingatan perdana ketika Musik menemukan saya. Sejauh ini yang saya pahami, Musik telah mampu sekonyong-konyong hadir dalam kepala meski tak ada instrumen lazim yang dimainkan di sekitar. Sejauh ini ke manapun saya memilih melangkah pergi, musik ada di kepala, berkumandang di hati, mengiringi peralihan tema waktu, bahkan ketika si kaki-kaki ini hanya berangkat untuk menemui para murid di kelas. Aneh? Terserah saja. Tapi begitulah adanya 🙂 biar saja.

Ketika mendapat pesan singkat dari Indra dan membaca pesan di “halaman rumah” BR (Ridwan Hutagalung) perihal Apresiasi Musik sebagai kegiatan Komunitas Aleut minggu lalu yang bersinggungan dengan Musik Tradisional Indonesia, terlebih satu kalimat, “Jangan kira sudah kenal banyak musik tradisional Nusantara.“, rasanya itu hari berlalu lama sekali. Ingin cepat hari Minggu! Ingin cepat-cepat tahu apa maksud kalimat itu. Ingin cepat mendengar pengolahan nada yang khas Nusantara itu seperti apa. Buncahan rasa ingin tahu itu mungkin seperti ketika “Beluk” sibuk jadi bahan eksplorasi singkat sebagai dampak salah satu edisi ngAleut.

ini tumpukan harta karun, ga boleh diambil dari tempatnya, potensial mengakibatkan stress menahun pada pemiliknya

Begitu harinya tiba pun, mendadak saya ingin menggila sendiri. Bagaimana tidak 🙁 aaah.. itu koleksi BR banyak sekali. Itu pun yang terlihat, belum harta karunnya lho! Tumpukan CD, berderet-deret file yang terkategori baik dalam folder-folder, inginnya ada yang berbaik hati menjatuhkan harddisk eksternal tataran terabyte atas nama kebahagiaan dan kedamaian dunia *heh? heuheu.. kuke kesambet..* Sayangnya kesadaran harus tetap terjaga 🙂 saya mematri dulu niatan, “Nanti, balik lagi, bawa eksternal harddisk, kuras habis semuanyah.. nyah.. nyah.. heuheuheu..”

Baiklah. Sebelum kegilaan saya kembali dan jadilah ngalor-ngidul tanpa bobot, saya akan mencoba memaparkan hasil pencatatan plus riset kecil-kecilan untuk melengkapi catatan ini. Mungkin tidak selengkap penuturan BR, saya bukan pengingat kata-kata yang baik 🙂 tapi.. aaah.. sudahlah.. mari.. mari..

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑