Month: April 2011

Selintas tentang Ngaleut Jalur Pendidikan

Oleh : Indra Pratama

Pendidikan seringkali disebut-sebut sebagai salah satu kebutuhan primer baru manusia. Tanpa pendidikan, manusia seringkali dianggap tidak akan bisa survive. Di era kemerdekaan Indonesia sekarang ini, persoalan pendidikan masih menjadi salah satu concern utama. Tapi tahukah anda bahwa dinamika pendidikan di Indonesia, khususnya kota Bandung, telah mencuat sejak tahun 1800-an awal?.  Tak terbayang? Bagaimana jika kita mulai berjalan sambil membayangkan kehidupan sekolah di Bandung zaman pra-kemerdekaan..

 Pada masa kolonial, baik Belanda maupun Jepang, pendidikan merupakan barang yang mahal bagi penduduk pribumi. Dibandingkan dengan penduduk ras Eropa yang memperoleh segala macam fasilitas pendidikan yang baik.

Sekolah Kautamaan Istri karya Dewi Sartika

Paradigma itu dicoba digeserkan oleh Gubernur Jenderal Herman William Daendels. Pada tahun 1808, ia mengeluarkan keputusan bahwa setiap bupati/regent wajib membangun sekolah untuk kaum bumiputera termasuk didalamnya pengangkatan guru-guru berkualitas untuk mereka. Namun entah karena apa, keputusan tersebut belum dipatuhi oleh para regent. Ketika pada tahun 1818, pemerintah Hindia belanda memasukkan menuliskan keputusan tersebut pada Regerings Reglement atau Peraturan Pemerintah Hindia Belanda (dengan tambahan kewajiban setiap sekolah untuk menyediakan fasilitas yang sama atau setidaknya mirip dengan fasilitas pendidikan anak-anak Eropa bagi sekolah bumiputera), niat tersebut pun belum telaksana dengan lancar. Barulah saat pemerintah Belanda di Den Haag pada Septemer 1848 membuat keputusan yang memberi hak pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengeluarkan anggaran sebesar 25.000 gulden pertahun untuk pembangunan sekolah-sekolah bagi bumiputera Jawa, maka mulailah didirikan sekolah-sekolah bumiputera. Kebanyakan dari sekolah itu merupakan sekolah calon pejabat pemerintah.

Terlebih semenjak Theodore Conrad Van Deventer menulis dalam artikel bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1899 di Negeri Belanda. Buah pemikiran itu terkenal dengan kelaks ebagai tonggak pemikiran politik etis : Trilogi van Deventer. Yang pertama adalah migrasi, kedua Irigasi, dan yang ketiga ini lah akan jadi materi utama : Edukasi. Pada masa politik etis inilah, sifat sekolah dirubah dari elitis menjadi populis.

Theodore Conrad Van Deventer

Nah dari perjalanan panjang dunia pendidikan modern di Hindia-Belanda hingga Indonesia, Komunitas Aleut mencoba menelusuri dan mencari tahu perkembangan pendidikan modern di kota Bandung. Caranya? ya tentu gaya Aleut!. Dengan mendatangi artefak-artefak berupa bangunan yang masih tersisa, sembari berbagi pengetahuan.

Saya akan mencoba membahas titik per titik dari ngaleut kemarin, semoga tidak bosan yaa..

MULO St.Aloysius 

Di masa politik etis sedang menjamur. Banyak sekali keinginan dari warga Belanda untuk membantu perkembangan SDM di wilayah kolonial. Ditandai dengan banyaknya pendirian sekolah-sekolah, baik swasta maupun oleh pemerintah. Menyadari belum adanya sistem sekolah Katolik di Indonesia, empat imam asal Oudenbosch, Negeri Belanda dikirim ke Indonesia: Bruder Engelbertus Cranen, Bruder Felix, Bruder Anthonius, dan Bruder Stanislaus. Setelah tiba di Surabaya, mereka mendirikan sekolah pertama mereka pada 1862 dengan nama “Santo Yusuf”. Pada tahun 1905, kelompok diperluas pada imam didirikan “St Hilarius” di Jakarta. Tak lama setelah itu, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah di Semarang, Madiun, dan beberapa kota lainnya di Jawa.

Peletakan Batu Pertama MULO St.Aloysius

MULO “ST. ALOYSIUS” menerima murid kelas 1 terhitung sejak 1 Agustus 1930. Dengan lokasi sekolah di Jln. Malabar 15 Bandung, sambil menunggu Bangunan sekolah MULO St. Aloysius mulai dibangun. Bangunan yang sekarang selesai tahun 1932. Berupa Gedung baru bertingkat di Heetjansweg 8 (Sultan Agung). St.Aloysius memiliki juga ELS (lebih berupa SR) afiliasi di Jl.Trunojoyo (Wenckebach Straat), yang mulai beroperasi tahun 1936. Tahun 42-45 gedung MULO digunakan sebagai markas Ken Pei Tai dan termasuk sebagai wilayah kamp konsentrasi WN Eropa. Saat ini pengelolaannya dipegang oleh keuskupan Bandung semenjak tahun 1976.

HBS van Zuster Ursulinen

 (St. Ursula School) atau sekarang adalah SMP-SMA Santa Angela  terletak di Merdikaweg/Schoolweg??? (sekarang Jl.Merdeka no.24) yang merupakan SMP-SMA Katolik. Gedng ni dibangun berdasarkan rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermont & Cuypers Dikstaal pada tahun 1922. Bangunan gedung beratap dua tumpuk mempunyai pintu masuk di tengah bangunan seperti pada gedung SMAN 3. didepan sebuah taman yang bernama Pietersz Park yang sekarang adalah Taman Balai Kota (Bandung).

HBS Ursulinen (skrg St.Angela)

Sejarah bangunan dan sekolah ini berawal dari tahun 1905 ketika Murder Agustine Philipsen dari Noordwijk, membeli rumah dekat “Grejah Poetti” depan “Pieter Slijthoffpark” alias di lokasi sekolah ini sekarang dan mendapat ijin dari uskup Bandung, Mgr, Luypen untuk membuka sebuah Sekolah Dasar. Tetapi pada faktanya Sekolah ini berawal dengan tidak menyelenggarakan program sekolah dasar seperti yang diinginkan, melainkan dimulai dari dibukanya kursus keterampilan tangan dan TKK . Ironisnya program ini dibuka sebab para suster terpaksa berwiraswasta dengan cara menjahit karena tidak memiliki penghasilan. Barulah pada tanggal 2 Juli 1906 program Sekolah Dasar dapat dibuka.

Sekolah ini terus berkembang hingga pada tanggal 1 Juli 1921 dibukalah program HBS (Hogere Burger School) diawali dengan total murid 11 orang.  Seiring dengan meningkatnya peminat, pihak pengelola pun membangun sebuah gedung baru yang dimulai tahun 1922 dengan rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermont & Cuypers Dikstaal. Pada 9 Juli 1923, Gedung HBS yang baru diberkati dan dinamakan St Angela. Sekedar informasi, pendidikan di sekolah ini memakan waktu 3 tahun dan memiliki dua kelas paralel dengan jumlah murid 50 orang.

Pada saat pendudukan Jepang, nasib sekolah ini pun turut terombang-ambing seiring dengan perintah tentara Jepang untuk menutup semua sekolah, tak terkecuali di Bandung. Para suster pengajar yang berkebangsaan Eropa harus masuk ke kamp tahanan di Biara Ursulinen Supratman. Tetapi tidak menyurutkan langkah para suster ini untuk mengajar. Sebagian murid mereka bawa ke kamp tahanan dan kegiatan belajar mengajar tetap mereka lakukan di situ meskipun secara diam-diam dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Setelah lama disekap dalam kamp, pada akhirnya pada Oktober 1945 para suster diperbolehkan kembali ke gedung Jl.Merdeka, meskipun salah satu suster senior yaitu Sr. Aquina van de Berg meninggal dunia karena disentri saat para suster dan sebagian murid dipindah paksa ke kamp Adek dan kamp Kramat di Jakarta. Seusai kembali ke HBS Merdeka, mereka harus menemui kenyataan pahit yang lain. HBS ditutup karena jumlah tenaga guru yang tidak memadai akibat para suster tercerai berai saat era pemasukan ke kamp. Pada Agustus 1947, program HBS dibuka kembali disertai dengan pembukaan program AMS (Aldemene Middlebare Scholl) dan pengaktifan kembali SKKP. Sekolah ini masih bertahan dan terus berdinamika  hingga saat ini dengan program lengkap mulai dari Playgroup hingga tingkat SMU.

SD Banjarsari

SD Banjarsari terkenal sebagai salah satu Sekolah dasar favorit di Bandung. Terkenal akan kualitas alumninya. Tetapi dibalik semua itu, tempat ini menyimpan sejarah yang sudah cukup tua untuk diketahui. Di lahan SD Banjarsari sekarang ini, dulunya berdiri sebuah sekolah khusus pribumi milik pemerintah. Sekolah ini didirikan tahun 1870 (tetapi sekarang bangunan SD Banjarsari sudah 100% baru) sebagai tempat praktek siswa Kweekschool atau sekolah guru tingkat terakhir.

Keberadaan sekolah ini membuat adanya hubungan saling menguntungkan dengan tetangganya tersebut. Sekolah ini tidk akan pernha kekurangan guru, dan para guru pemula dari Kweekschool pun dapat menimba pengalaman mengajar di sekolah ini sebagai bekal ketika lulus kelak. Sistem afiliasi ini mungkin sekarang serupa seperti para mahasiswa pendidikan tingkat akhir yang harus menjalani praktek mengajar di sekolah sebelum bisa lulus menjadi sarjana. Sebagai catatan, pada masa tahun 1930-an, pekerjaan sebagai guru dihargai sangat mahal. Seorang guru yang mengajar pada sekolah milik pemerintah digaji sebesar 70 Florins/Gulden per bulan, sedangkan guru yang mengajar di sekolah swasta digaji rata-rata 45 Florins/Gulden per bulan. Sebagai perbandingan, harga beras sebagai makanan pokok waktu itu hanya seharga 8-10 Florins/Gulden per 100kg!.

 

 

Contoh Praktek mengajar siswa KweekSchool

 

 

Polwiltabes Bandung /Kweekschool.

Kweekschool bisa diartikan secara harfiah sebagai ‘Sekolah Pembibitan”. Yang dibibitkan di sekolah ini bukanlah bibit tanaman, melainkan bibit-bibit guru, sebuah profesi mulia. Bangunan yang terletak di Schoolweg (kemudian menjadi Merdikaweg, sekarang Jln merdeka) ini didirikan berdasarkan prakarsa K.T.Holle, Administratur kebun Teh Waspada di Gunung Cikurai, Bayombong Garut. Beliau juga menjabat sebagai Penasihat Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda Untuk Masalah Sekolah Guru Pribumi.

Masyarakat Bandung menyebut ini Sakola Radja, karena kebanyakan muridnya merupakan anak raja, kepala negeri, atau kepala suku baik dari Badnung maupun dari luar Bandung. Maka taman di seberang sekolah ini (sekarang taman Sewi Sartika atau taman Balai Kota) sering juga disebut Kebon Radja. Meskipun ada pendapat lain tentang penyebutan Sakola Radja ini karena sekolah ini didirikan bersamaan dengan naik tahtanya Ratu Wilhelmina di Belanda. Sebagai catatan, Sekolah ini adalah gedung sekolah Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzern (Sekolah guru bagi kaum pribumi) yang pertama di Hindia Belanda.

Gedung Kweekschool voor Inlandsche Onderwijern dibangun dengan gaya arsitektur Neo Clasic pada tahun 1866, yang dicirikan pada penggunaan tiang-tiang kolom dari Ionic Order. Gaya arsitektur ini berkembang pada tahun 1800-an, merupakan arsitektur yang amat digemari oleh tuan-tuan tanah kaya. Mereka menganggapnya sebagai perlambang kekasaan, sehingga gaya bangunan disebut juga Indische Empire Stijl. Gedung ini sekarang berfungsi sebagai Kantor Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung.

SD Merdeka

Bangunan SD yang juga salah satu SD favorit di Kota Bandung ini juag merupakan salah satu bangunan pendidikan tertua di Bandung yang masih bertahan. Bangunan bergaya Indische Style ini dibangun tahun 1884. Ketika didirikan memang sudah diperuntukkan sebagai bangunan sekolah, meskipun masih belum diperoleh keterangan sekolah tingkat apakah yang diselenggarakan disini.

Mungkin jika anda berkunjung ke bangunan ini, anda akan menemukan bangunan lamanya hanya berada di depan saja, sedangkan bangunan sekolah belakangnya merupakan bangunan bertingkat yang baru. Tapi tahukah anda, di lokasi yang sekarang menjadi bangunan baru tersebut, dulunya berdiri sebuah gudang tempat penyimpanan garam hingga tahun 1910-an.

Entah milik siapa gudang tersebut, apakah masih berkaitan dengan gudang kopi milik Andreas de Wilde di lokasi balai kota sekarang atau tidak, masih belum ada yang berani berpendapat karena kaburnya informasi.

Sekolah Van Deventer

Tidak banyak cerita mengenai sekolah ini yang beredar. Saya menduga bahwa sekolah ini adalah sekolah khusus putri, atau dulu oleh Conrad Theodore Van Deventer dinamakan Sekolah Kartini.

Van Deventer (1857-1915) dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Dia pada usia muda bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer telah menjadi kaya, karena perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang bermunculan saat itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum. Namun pada saat dia bekerja di Hindia Belanda, timbul pada dirinya rasa keganjilan, terlebih mengenai kondisi warga koloni Hindia Belanda.

Sekolah Van Deventer (skrg Wisma Van Deventer)

Pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial adalah “Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut dimuka hakim”. Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.

Salah satu usaha konkret Van Deventer dan istrinya adalah dengan mendirikan Yayasan Kartini, yang kemudian menelurkan Sekolah Kartini. Yang dibentuk sebagai wadah kepedulian bagi pendidikan khusus kaum perempuan muda pribumi, diilhami oleh ketertarikan mereka akan pemikiran Raden Ajeng Kartini.

                                                                 

SMP Negeri 5 Bandung,

Bangunan unik ini dulu berfungsi sebagai Government Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau disingkat MULO (sekolah setaraf SMP) ini dibangun tahun 1917 oleh pemerintah kota, khusus sebagai gedung sekolah. Bangunan induk menghadap diagonal mengarah ke Jl.Jawa dan Jl.Sumatera. Bangunan ini dipercantik dengan dua buah menara yang unik. Di dalam, anda bisa menjelajahi bangunan kelas yang masih asli bergaya kolonial, serta sebuah ruang serba guna yang luarnya masih bergaya Eropa pula. Ruang-ruang kelas asli di kompleks sekolah ini mengadaptasi model Eropa yang disesuaikan dengan kondisi cuaca di Kota Bandung yang tropis. Jendela-jendela dibuat besar, atap-atap ditinggikan, serta dibuat koridor-koridor agar sirkulasi udara lancar, serta suhu tetap terjaga sejuk agar nyaman dipakai untuk belajar.

MULO (skrg SMP 5 Bdg)

Disekitar lokasi ini Juga terdapat beberapa tempat kuliner untuk anda beristirahat seperti Double Steak di Jl.Jawa ataupun warung nasi timbel Kumis di Jl.Kalimantan (dekat SMA 3 Bandung) serta Bakso Ajo di dekat SMA 5 Bandung.

Gedung Sekolah SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 3 Bandung

Terakhir ada pula sebuah bangunan megah yang kini menjadi gedung Sekolah SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 3 Bandung. Gedung megah yang diarsiteki oleh arsitek terkenal pada masanya, yaitu C.P. Wolff Schoemaker, ini sekarang fungsinya dibagi dua, sebelah timur di pakai oleh SMA Negeri 3 Bandung, sedangkan sebelah Barat oleh SMA Negeri 5 Bandung. Jika anda bisa memasuki gedung ini, anda akan terpukau oleh kemegahan bangunan utama. Sebuah tangga marmer besar yang didukung oleh suasana yang diberikan oleh penerangan remang-remang cukup untuk membawa anda ke masa-masa awal gedung ini. Gedung yang terletak masih di Jl.Belitung (dulu Bilitonstraat) ini dahulu berfungsi sebagai Government Hogere Burger School atau disingkat HBS.

Siswa-siswa HBS JL.Belitung (skrg SMA 3 dan 5 Bdg)

Diatas bangunan utama dahulu terdapat sebuah tempat lentera besar sebagai elemen estetika. Gedung ini tidak banyak mengalami perubahan. Bagi yang ingin membayangkan bentuknya dulu dapat melengkapi imajinasi dengan melihat pondasi pagar gedung yang asli tepat dibelakang pondasi pagar baru yang lebih tinggi, sebagai upaya untuk tidak menghilangkan keaslian gedung.

Sumber :   

Yayasan Santo Aloysius, Sejarah Sekolah Santo Aloysius.

Mikihiro Moriyama, Semangat Baru, KPG, 2003 (hal 78-80)

Sudarsono Katam, Bandung : Kilas Peristiwa DI Mata Filatelis, Sebuah Wisata Sejarah, Kiblat, 2006

Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Suparlan. 2007. Trilogi Van Deventer. http://www.suparlan.com/pages/posts/trilogi-van-deventer92.php. Diakses 23 April 2011.

Gambar-gambar : Koleksi Tropen Museum

Video Tur “Kuantar ke Gerbang”

Videos by : Nanang Cahyana al Majalayi alias Yance

Berikut adalah video dokumentasi tur “Kuantar ke Gerbang” , dimana Komunitas Aleut dan Mooibandoeng bekerjasama dengan Bentang dan Goodreads Indonesia.

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=ze-j-S2gruE]

[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=s7hi9QCoAWo]

Inggit Garnasih, Kekasih yang Tersisih ?

 Oleh : Naluri Bella Wati

Selain dikenal sebagai founding father Negara Kesatuan Republik  Indonesia, Ir. Soekarno dikenal  juga sebagai lelaki karismatik yang tak lepas dari banyak perempuan. Kecintaanya terhadap sosok perempuan memang sudah menjadi rahasia umum. Seolah membenarkan “hobinya” menikah dengan banyak perempuan cantik, seperti dikutip dari  biografi Soekarno berjudul  Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat yang ditulis oleh Cindy Adams pada tahun 1966,  ia  berkata dalam biografinya,  “ I’am a physical man. I must have sex everyday!”

 

Dari banyak perempuan yang pernah hadir di kehidupan Soekarno, Inggit Garnasih bisa dikatakan sebagai salah seorang significant others yang banyak mempengaruhi pribadi Soekarno. Perempuan priangan ini berperan banyak dalam membangun mental Soekarno, sebelum akhirnya menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Ialah yang setia mendukung Soekarno, baik secara lahir maupun bathin,  sebelum memasuki gerbang istana.

Inggit Garnasih lahir di Kamasan, Banjaran, pada tanggal 17 Februari 1888. Nama “Garnasih” merupakan akronim dari dua kata bahasa Sunda, yakni “Hegar” dan “Asih”. Nama “Inggit” juga tidak muncul begitu saja. Semasa kecil, ia sering pergi ke pasar. Orang-orang di pasar sangat senang melihat kecantikan perempuan kecil ini, terutama senyumnya yang manis. Kemudian orang-orang di pasar menyuruhnya tersenyum dengan imbalan uang sebesar satu ringgit. Dari situlah, panggilan “Inggit” muncul.

Sebelum menikah dengan Soekarno, Inggit telah menikah sebanyak dua kali. Pada usia 12 tahun, ia menikah dengan Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen  Priangan.  Pernikahan ini tak bertahan lama. Beberapa tahun kemudian, ia menikah dengan seorang saudagar kaya yang juga tokoh Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi.

Kehidupan rumah tangga Inggit berjalan normal sampai suatu ketika, sekitar tahun 1921, datanglah seorang intelektual muda dari Surabaya yang hendak melanjutkan pendidikan ke THS (sekarang ITB). Lelaki berusia 20 tahun itu bernama Soekarno. Ia bermaksud indekos di rumah Inggit dan H. Sanoesi. Soekarno tak datang sendirian. Ia membawa serta istrinya, Siti Oetari (15 tahun), puteri dari Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Karena ayah Oetari sama-sama tokoh Sarekat Islam, maka H. Sanoesi menerima kedatangan mereka dengan baik.

Ternyata, kedatangan Soekarno merupakan awal dari hancurnya rumah tangga H.Sanoesi-Inggit. Sejak semula, Soekarno telah jatuh cinta pada sosok Inggit yang cantik, lembut, dan keibuan. Inggit pun merasakan hal yang sama. Ia melihat sosok penuh karismatik dan cerdas dari diri Soekarno. Skandal pun tak terelakkan. Akhirnya, Soekarno mengembalikan Oetari pada ayahnya. H. Sanoesi pun merelakkan Inggit dinikahi Soekarno. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh (Inggit lebih tua 12 tahun) rupanya tak menghalangi mereka untuk bersama. Pada 24 Maret 1923, mereka resmi menikah.

Selama 19 tahun bersama Soekarno, Inggit menampilkan performa terbaiknya sebagai seorang istri. Ia adalah all in one wife. “Nggit” (panggilan sayang Soekarno kepada Inggit) adalah istri yang mendampingi ”Ngkus” (pangilan sayang Inggit pada Soekarno) ketika tengah  menjejakan kaki ke dalam dunia politik. Kehadiran Inggit adalah bentuk semangat yang nyata bagi Soekarno. Ialah yang memotivasi Soekarno ketika di penjara di Banceuy dan diasingkan di Flores serta Bengkulu. Bahkan, Inggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga, sementara Soekarno berjuang memerdekakan negeri ini.

Melihat pengorbanan yang dilakukan Inggit, saya selalu berpikir bahwa dialah yang seharusnya menikmati gemerlap kehidupan istana. Ialah yang pantas mendapat gelar the first  first lady. Tapi, apa boleh dikata. Kenyataan bahwa Inggit tidak bisa mendapatkan keturunan, lambat laun  menjadi momok tersendiri bagi kehidupan pernikahan Soekarno-Inggit. Ketika Soekarno meminta izin untuk menikahi Fatmawati, yang notabene sudah dianggap anak oleh pasangan ini, Inggit menolak. Ia tak mau dimadu dan memilih becerai dengan Soekarno. Sungguh ironis.

Semakin ironis ketika mengetahui bahwa banyak orang yang tidak mengenal sosok Inggit Garnasih. Terutama masyarakat di Kota Bandung. Kebanyakan mereka tidak tahu bahwa ada perempuan priangan yang begitu berpengaruh di kehidupan Soekarno.  Mereka hanya tahu bahwa Inggit Garnasih adalah nama salah satu jalan yang ada di Kota Bandung. Tempat tinggal Inggit Garnasih di Jalan Ciaetul, Bandung, juga sepi pengunjung. Padahal, rumah itu sudah ditetapkan menjadi rumah bersejarah oleh pemerintah.  Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap sejarah memang bukan cerita baru di negeri ini.

Sosok Inggit Garnasih mungkin kurang populer di kalangan masyarakat. Tapi bagi saya, Inggit adalah perempuan yang hebat, tangguh, dan luar biasa. Di antara sedikit tokoh perempuan yang muncul  pada masa perjuangan Indonesia, seharusnya nama Inggit Garnasih masuk ke dalam daftar. Dia adalah representasi perempuan yang berjuang dengan  caranya. Seorang perempuan inspiratif yang meskipun tersisih, tapi tetap memiliki kasih.

Inggit Garnasih Semasa Muda

sumber.
www.aleut.wordpress.com

Terima kasih untuk Komunitas Aleut atas kekayaan informasinya mengenai Inggit Garnasih.

Ngaleut cinta “Kuantar Ke Gerbang”

Oleh : Tatie Haryani

Ini kali pertama aku ikut acara Komunitas Aleut, sebenarnya sih udah lama pengen ikut acara-acara yang diselenggarakan Komunitas tersebut namun berhubung waktu yang tidak memungkinkan, jadinya baru bisa ikut minggu ini. Ngaleut kali ini tentu saja menjadi sangat special karena temanya adalah “Kuantar Ke Gerbang, Napak Tilas Romansa Inggit Soekarno di Bandung”. Acara ini diselenggarakan oleh Mooibandoeng plezier company ini bekerjasama dengan Bentang Pustaka, Goodreads Indonesia dan tentu saja Komunitas Aleut.

Acara yang dimulai pukul 08.00 WIB (tentu saja lebih) dimulai dari Gedung Merdeka (Museum KAA), Bekas Penjara Banceuy, Mesjid Agung, Pendopo, Mardihardjo, Gereja Rehoboth, Gedong Dalapan, Gang Jaksa dan terakhir adalah Rumah Bersejarah Inggit Garnasih di Jalan Ciateul sekaligus bedah buku dengan judul yang sama karya Ramadhan KH.
sambil nunggu foto-foto dulu yuuk…

Acara ngaleut kali ini di bagi 4 kelompok dan dibimbing oleh seorang pemandu (karena aku baru pertama kali ikut acaranya jadi yang aku tau (namanya) hanyalah Candra, sang Pemandu di kelompok kami yang diberi nama Kelompok Uci Sanusi – barangkali berawal dari simpati kami terhadap Pa Sanusi-mantan suami bu inggit- yang telah merelakan bu inggit di nikahi oleh Sukarno. Aku tidak hendak menuliskan kembali kisah cinta inggit dan sukarno, kalian semua bisa membeli bukunya *bukan promosi lho* aku sih mungkin hanya ingin menyimpulkan aja, jika temans berbeda pendapat, itu wajar, bukan sebuah kesalahan jika kita berbeda pendapat, so yang bisa aku simpulkan dari perjalanan hari ini adalah bahwa Inggit adalah perempuan yang hebat. Perempuan yang luar biasa karena sifat dan tindakannya, dan aku tidak pernah tahu ini sebelumnya.

Cinta memang begitu misteri, begitupun kehidupan. Kita tidak dapat menerka apa yang terjadi pada kehidupan kita yang akan datang, barangkali itu gambaran kisah cinta Inggit dan Sukarno. Sukarno yang pada waktu itu merupakan menantu dari HOS Tjokroaminoto yang berniat ke Bandung untuk melanjutkan sekolah di THS –ITB sekarang, mungkin tidak akan membayangkan kalo akhirnya dia akan menikahi Inggit sang induk semang, demikian pula Inggit yang telah bersuamikan Sanusi, tentu tidak berpikir untuk “selingkuh” kemudian menikah dengan Sukarno yang usianya terpaut jauh. Tapi begitulah hidup, terkadang kehidupan memberi kita pilihan yang sulit, memberi kejutan-kejutan yang tak pernah kita bayangkan, kadang pilihan yang kita ambil akan menimbulkan reaksi negative dari orang lain yang hanya melihat sesuatu dari sisi luar saja (mungkin begitu juga terhadap Inggit dan Sukarno), tapi hidup harus senantiasa berjalan, dan kita harus berusaha untuk istiqomah sesulit apapun resiko yang akan terjadi. Kekuatan, ketegaran, ketabahan dan cinta Inggit mendampingi Sukarno dalam masa sulit (masa-masa pembuangan dan penjara) telah memberi banyak inspirasi bagi kaum perempuan, Inggit memberikan peran terbaiknya sebagai istri, sebagai pendamping dalam setiap kegiatan politik Soekarno.

Bagiku Inggit adalah sosok perempuan yang luar biasa, dia bukan hanya sebagai kekasih, tetapi juga sebagai kawan dan ibu dari Sukarno (seperti yang diceritakan dalam buku). Tak banyak perempuan hebat semacam itu, barangkali tanpa Inggit, Sukarno takkan sehebat itu, seperti kata pepatah, laki-laki (suami) yang hebat (berhasil) adalah karena memiliki perempuan yang super (kuat, tegar, sabar), pun demikian ketika Sukarno memutuskan untuk menikah dengan Fatmawati, setelah kurang lebih 19 atau 20 tahun mereka menikah, Inggit memilih untuk bercerai, tidak bersedia untuk di madu, padahal jika saja Inggit mau tetap menjadi istri pertama Sukarno, Inggit memiliki kesempatan untuk menjadi Ibu Negara yang peranannya tentu akan lebih dihargai dan dihormati, bukan menjadi perempuan yang biasa yang “dilupakan”, disitulah aku menemukan Inggit sebagai sosok perempuan yang kuat, perempuan yang mampu berdaulat atas dirinya sendiri, perempuan yang memiliki prinsip dan sikap.

Begitulah… ngaleut pertama ini benar-benar sesuatu yang menyenangkan, sekaligus juga menyedihkan karena seperti pada umumnya tempat-tempat bersejarah di Indonesia, banyak tempat-tempat bersejarah yang seharusnya terjaga dan mendapat perawatan kini hanya menjadi tempat-tempat kumuh yang penuh sampah, bahkan sebagian sudah tidak ada, banyak yang sudah beralih fungsi menjadi pertokoan bahkan tempat pembuangan sampah. Sungguh miris melihat kondisi itu, padahal kita bisa belajar dari masa lalu, sebagaimana kata Bung Karno “JAS MERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tapi begitulah kita, kita tak pernah bisa menghargai peninggalan-peninggalan masalalu, kita sepertinya hendak dijadikan lupa dengan sejarah masa lampau, padahal jika kita mau belajar, masalalu adalah pelajaran berharga untuk masa depan.

Inilah rumah terakhir Inggit Garnasih, rumah ini terlihat “cukup bagus” karena mungkin baru direnovasi..
Di ruangan inilah Sukarno ditahan di Penjara Banceuy (yang kini telah beralih fungsi menjadi pertokoan)yang tersisa hanyalah ruangan bersejarah ini, dengan kondisi yang memprihatinkan..


Kota Tua, Bandung Punya

Oleh : Lika Lulu

Setelah terakhir ngaleut tgl 27 Maret kemaren.. dan sempat meninggalkan catatan yang menggantung

http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1919247269199&id=1482551124&ref=notif&notif_t=wall#!/note.php?note_id=10150114372604426

Masih dengan motif yang sama, ingin lebih mengenal kota dimana saya lahir dan dibesarkan.

Muluk sih… tapi minimal ada usaha setuju?

Mau sedikit bahas yang kemarin, betapa pun megah dan glamour nya kota tua Bandung sekitaran jalan Braga yang menjadi jantung ekonomi kelas atas, tapi sama sekali tidak di nikmati oleh nenek moyang kita dulu.

Tapi itu kan uda lewat, makna positif yang bisa jadi inspirasi salah satunya adalah bagaimana pemerintah Hindia Belanda membangun kota Bandung menjadi hunian yang nyaman bagi kaum mereka, sampai tek-tek-bengek pun mereka rencanakan. Salah satunya adalah penerangan dikala itu belum populer yang namanya listrik, tapi pemerintah Hindia Belanda punya yang namanya saluran gas yang didistribusikan ke rumah2 sebagai sumber energi, gedung tempat pembayaran dan pusat complain nya di jalan braga itu. perencanaan dan pelayanan struktur sudah jauh mereka pikirkan dibanding bangsa lain di zaman itu. Setelah revolusi dan perusahaan itu dinasionalisasi ditempatkan lah orang2 yang tidak berkompeten sehingga munculah kebijakan yang makin aneh dan nyeleneh..

Nah.. itu ada hubungan nya dengan perjalanan Aleut Kota Tua Bandung bagian 2 kali ini,

Ceritanya kita bakal ngaleut ke daerah militer di daerah jalan nusantara, knp jalan nusantara? soalnya pemerintah Hindia Belanda punya sistem pemberian nama jalan sesuai klasifikasinya, di daerah militer ini di beri nama sesuai nama pulau2 yang ada di Indonesia, mulai dari Bali, Belitung, Jawa, Sumatra, Kalimantan, Maluku,dll. selain itu para Aleutian akan mengunjungi perumahan kolonial Belanda di gempol.

Sebelumnya kami melewati Taman Maluku, dan yang menarik adalah bangunan yang bernama Jaarbeurs

Konon katanya dulu Bandung adalah kota yang sepi ga serame sekarang, oleh karena itu untuk lebih menghidupkan lagi kota Bandung dibuat lah bursa dagang tahunan, pasar malam, festival pokonya konsepnya mah mirip-mirip PRJ (Pekan Raya Jakarta) kalo kata Reza mah, di bangun lah gedung Jaarbeurs ini, yg unik dan jadi favorite bu Wiwit katanya, 3 patung Atlas yang sangat vulgar dan sempat di tutup pada masa pemerintahan gusdur, awalnya sempat setengah badan patung, lalu ditutup semua, hingga dibuka tanpa tutup seperti sekarang,

Memang vulgar, jadi malu liatin nya juga. disana ada 3 pos yang jadi tempat penjualan tiket untuk 3 kategori pengunjung, dari yang totok Belanda asli, Campuran dan Pribumi. jelas rasisme sangat di junjung tinggi di zaman itu.

Tempat menarik lainnya, gereja S.Albanus.. banyak desas-desus mengenai gereja ini, mulai dari gereja aliran sesat dll, tapi menurut candra yang pernah ngobrol langsung face to face sama pastur nya mereka bukan aliran sesat ko,

Mungkin hanya beda faham saja dengan kristen katolik dan protestan, yah.. namanya juga manusia. Yang pasti disana skr dibuka kursus bahasa Belanda dan salah satu muridnya menjadi New be Aleut kali ini, Adit baru.

Hal menarik di depan gereja s.Albanus ini, trotoar yang dibangun sejak zaman Walanda yang menjorok kedalam yang dimaksudkan untuk tempat pemberhentian delman, hebat ko kepikiran sampai situ ya? angkot sekarang mana ada yang mau berhenti sesuai aturan?

Jalan-jalan… akhirnya kita masuk ke salah satu gang, kirain aleut nya mau lewat jalan tikus. Eh ternyata kita masuk ke jalur evakuasi kebakaran yang dibuat pemerintah Belanda untuk perumahan para pegawai mereka di jalan Banda namanya “Brandgang” yang tujuan nya memudahkan pemadam kebakaran kalau terjadi kebakaran. selain itu dibawahnya pasti ada saluran air. salut… ayo para planolog? belajarlah..

Akhirnya kita muncul di perumahan gempol, bersih…. bgt, penataan nya memang sudah direncanakan. pokonya ga akan lupa sama daerah ini soalnya ada yang mau dikunjungi, Roti Gempol dan Kupat Tahu Gempol jadi agenda utama kalau kesana lagi.hehe..

Setelah melewati pondasi gerbang yang masi ada, di depannya ada taman, mungkin dulu fungsinya untuk mengakrabkan warga yang tinggal di daerah itu kali ya.. soalnya disitu juga temen2 Aleut mengakrabkan diri sambil jajan batagor yang enak, nyesel cuma minta dari mba Kuke, kapan lagi ketemu sama mang batagornya ya?

Perjalanan berlanjut ke rumah sang arsitek legendaris, Wolff Schoemaker. tidak banyak yang bisa lika infokan pokonya ini jadi tempat favoritenya Lika. share dari Putri katanya dulu bangunan ini sempet terbengkalai dan di renovasi oleh salah satu guru besar arsitektur ITB hmm.. Sudibyo ya? waduh.. tanya Putri deh.. nyesel ga nyatet yang ini. mirip dengan aslinya dengan bahan bangunan yang langsung diimpor yang merogoh kocek yang ga sedikit. tapi entah dibeli siapa, dirubahlah jadi bentuk cafe dengan konsep yang sangat menarik. padahal jika digemborkan bahwa makan-makan adalah rumah nya om Schoemaker pasti yang berkunjung akan lebih banyak lagi..

Nah.. sedikit mengambil pelajaran disana, bahwa pemerintah Hindia Belanda begitu memperhatikan warganya agar Bandung menjadi hunian yang nyaman dan layak ditinggali dengan berbagai fasilitas dan sarana yang direncakan detail, pertanyaan nya..

Mampukah sekarang pemerintah kota bandung memperhatikan KITA, seperti pemerintah Hindia Belanda?

Ada yang mau berpendapat? boleh…

Potensi Geowisata Kawah Cibuni

Oleh : Nara Wisesa

Bandung adalah sebuah kota yang dikelilingi sejumlah gunung berapi. Salah satu dari gunung api tersebut adalah Gunung Patuha yang letaknya hanya sekitar 46 kilometer ke arah selatan Kota Bandung. Gunung dengan ketinggian sekitar 2400 meter ini memiliki sejumlah kawah yang umum dikunjungi sebagai obyek geowisata, salah satunya yang mungkin paling terkenal adalah Kawah Putih. Tetapi Gunung Patuha juga memiliki kawah lain yang masih jarang terdengar dan dikunjungi oleh wisatawan. Namanya adalah Kawah Cibuni.

 

Untuk mencapai kawah ini, wisatawan bisa berkendara melalui kota Ciwidey menuju arah Situ (Danau) Patenggang/Patengan. Jalur ini akan membawa wisatawan melintasi hutan pegunungan di mana bisa ditemukan gerbang masuk kawasan Kawah Putih dan kawasan wisata Ranca Upas, kemudian jalan ini akan membawa wisatawan melalui indah perkebunan teh yang menghampar luas. Setelah beberapa kilometer, di sebelah kiri jalan akan terlihat sebuah pondok kecil dari bambu dengan tenda biru. Di sebelah pondok ini terdapat jalan setapak yang naik membelah perkebunan teh, inilah jalan masuk menuju Kawah Cibuni.

 

Pemandangan kebun teh bila dilihat dari jalan setapak menuju Kawah Cibuni

Setelah hiking melalui jalan setapak tersebut selama sekitar 15-20 menit, dan melalui sebuah perkampungan yang terletak di “bibir” kawah, wisatawan pun akhirnya akan mencapai kawasan Kawah Cibuni, di mana dapat terlihat sejumlah hamparan batuan dengan semburat warna kuning yang dan terselubung gas belerang, menunjukkan kondisi aktif kawah vulkanik ini. Selain itu, para wisatawan juga dapat melihat sejumlah mata air panas dan kolam lumpur vulkanik yang mendidih.

 

Sejumlah fenomena vulkanis yang dapat dilihat di Kawah Cibuni

Bila melanjutkan berjalan ke arah hulu sungai yang mengalir deras membelah kawah ini, para wisatawan akan menemukan Curug (Air Terjun) Perak yang indah, tersembunyi di antara batuan vulkanik yang berselimutkan lumut dan pakis. Di daerah kawah ini pun dapat ditemukan beberapa situs yang dikeramatkan oleh penduduk setempat, misalnya sebuah kolam air panas yang berjarak hanya beberapa sentimeter di sebelah aliran air sungai gunung yang dingin.

 

Aliran sungai (kiri) yang berasal dari Curug Perak (kanan)

 

Bila dikembangkan dan dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin Kawah Cibuni bisa berkembang menjadi kawasan geowisata menarik yang mampu menggabungkan unsur-unsur geologi, budaya, dan lingkungan. Mungkin serupa dengan Thermal Wonderland yang dapat dikunjungi di kota Rotorua, Selandia Baru, yang mampu mengemas sebuah obyek wisata vulkanis dan menggabungkannya dengan sebuah desa Maori setempat untuk meningkatkan daya tariknya, di mana penduduk desa tersebut kemudian bertanggung jawab dalam pengelolaan sehari-hari obyek wisata itu. Pendekatan ini mungkin bisa diadaptasi dan diaplikasikan di Kawah Cibuni untuk menjadikannya menjadi obyek wisata yang selaras dengan budaya penduduk setempat dan kondisi alam di sekitarnya.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑