Oleh : Indra Pratama
Pendidikan seringkali disebut-sebut sebagai salah satu kebutuhan primer baru manusia. Tanpa pendidikan, manusia seringkali dianggap tidak akan bisa survive. Di era kemerdekaan Indonesia sekarang ini, persoalan pendidikan masih menjadi salah satu concern utama. Tapi tahukah anda bahwa dinamika pendidikan di Indonesia, khususnya kota Bandung, telah mencuat sejak tahun 1800-an awal?. Tak terbayang? Bagaimana jika kita mulai berjalan sambil membayangkan kehidupan sekolah di Bandung zaman pra-kemerdekaan..
Pada masa kolonial, baik Belanda maupun Jepang, pendidikan merupakan barang yang mahal bagi penduduk pribumi. Dibandingkan dengan penduduk ras Eropa yang memperoleh segala macam fasilitas pendidikan yang baik.

Paradigma itu dicoba digeserkan oleh Gubernur Jenderal Herman William Daendels. Pada tahun 1808, ia mengeluarkan keputusan bahwa setiap bupati/regent wajib membangun sekolah untuk kaum bumiputera termasuk didalamnya pengangkatan guru-guru berkualitas untuk mereka. Namun entah karena apa, keputusan tersebut belum dipatuhi oleh para regent. Ketika pada tahun 1818, pemerintah Hindia belanda memasukkan menuliskan keputusan tersebut pada Regerings Reglement atau Peraturan Pemerintah Hindia Belanda (dengan tambahan kewajiban setiap sekolah untuk menyediakan fasilitas yang sama atau setidaknya mirip dengan fasilitas pendidikan anak-anak Eropa bagi sekolah bumiputera), niat tersebut pun belum telaksana dengan lancar. Barulah saat pemerintah Belanda di Den Haag pada Septemer 1848 membuat keputusan yang memberi hak pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengeluarkan anggaran sebesar 25.000 gulden pertahun untuk pembangunan sekolah-sekolah bagi bumiputera Jawa, maka mulailah didirikan sekolah-sekolah bumiputera. Kebanyakan dari sekolah itu merupakan sekolah calon pejabat pemerintah.
Terlebih semenjak Theodore Conrad Van Deventer menulis dalam artikel bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan” dalam majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1899 di Negeri Belanda. Buah pemikiran itu terkenal dengan kelaks ebagai tonggak pemikiran politik etis : Trilogi van Deventer. Yang pertama adalah migrasi, kedua Irigasi, dan yang ketiga ini lah akan jadi materi utama : Edukasi. Pada masa politik etis inilah, sifat sekolah dirubah dari elitis menjadi populis.

Nah dari perjalanan panjang dunia pendidikan modern di Hindia-Belanda hingga Indonesia, Komunitas Aleut mencoba menelusuri dan mencari tahu perkembangan pendidikan modern di kota Bandung. Caranya? ya tentu gaya Aleut!. Dengan mendatangi artefak-artefak berupa bangunan yang masih tersisa, sembari berbagi pengetahuan.
Saya akan mencoba membahas titik per titik dari ngaleut kemarin, semoga tidak bosan yaa..
MULO St.Aloysius
Di masa politik etis sedang menjamur. Banyak sekali keinginan dari warga Belanda untuk membantu perkembangan SDM di wilayah kolonial. Ditandai dengan banyaknya pendirian sekolah-sekolah, baik swasta maupun oleh pemerintah. Menyadari belum adanya sistem sekolah Katolik di Indonesia, empat imam asal Oudenbosch, Negeri Belanda dikirim ke Indonesia: Bruder Engelbertus Cranen, Bruder Felix, Bruder Anthonius, dan Bruder Stanislaus. Setelah tiba di Surabaya, mereka mendirikan sekolah pertama mereka pada 1862 dengan nama “Santo Yusuf”. Pada tahun 1905, kelompok diperluas pada imam didirikan “St Hilarius” di Jakarta. Tak lama setelah itu, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah di Semarang, Madiun, dan beberapa kota lainnya di Jawa.

MULO “ST. ALOYSIUS” menerima murid kelas 1 terhitung sejak 1 Agustus 1930. Dengan lokasi sekolah di Jln. Malabar 15 Bandung, sambil menunggu Bangunan sekolah MULO St. Aloysius mulai dibangun. Bangunan yang sekarang selesai tahun 1932. Berupa Gedung baru bertingkat di Heetjansweg 8 (Sultan Agung). St.Aloysius memiliki juga ELS (lebih berupa SR) afiliasi di Jl.Trunojoyo (Wenckebach Straat), yang mulai beroperasi tahun 1936. Tahun 42-45 gedung MULO digunakan sebagai markas Ken Pei Tai dan termasuk sebagai wilayah kamp konsentrasi WN Eropa. Saat ini pengelolaannya dipegang oleh keuskupan Bandung semenjak tahun 1976.
HBS van Zuster Ursulinen
(St. Ursula School) atau sekarang adalah SMP-SMA Santa Angela terletak di Merdikaweg/Schoolweg??? (sekarang Jl.Merdeka no.24) yang merupakan SMP-SMA Katolik. Gedng ni dibangun berdasarkan rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermont & Cuypers Dikstaal pada tahun 1922. Bangunan gedung beratap dua tumpuk mempunyai pintu masuk di tengah bangunan seperti pada gedung SMAN 3. didepan sebuah taman yang bernama Pietersz Park yang sekarang adalah Taman Balai Kota (Bandung).

Sejarah bangunan dan sekolah ini berawal dari tahun 1905 ketika Murder Agustine Philipsen dari Noordwijk, membeli rumah dekat “Grejah Poetti” depan “Pieter Slijthoffpark” alias di lokasi sekolah ini sekarang dan mendapat ijin dari uskup Bandung, Mgr, Luypen untuk membuka sebuah Sekolah Dasar. Tetapi pada faktanya Sekolah ini berawal dengan tidak menyelenggarakan program sekolah dasar seperti yang diinginkan, melainkan dimulai dari dibukanya kursus keterampilan tangan dan TKK . Ironisnya program ini dibuka sebab para suster terpaksa berwiraswasta dengan cara menjahit karena tidak memiliki penghasilan. Barulah pada tanggal 2 Juli 1906 program Sekolah Dasar dapat dibuka.
Sekolah ini terus berkembang hingga pada tanggal 1 Juli 1921 dibukalah program HBS (Hogere Burger School) diawali dengan total murid 11 orang. Seiring dengan meningkatnya peminat, pihak pengelola pun membangun sebuah gedung baru yang dimulai tahun 1922 dengan rancangan Biro Arsitek Hulswit Fermont & Cuypers Dikstaal. Pada 9 Juli 1923, Gedung HBS yang baru diberkati dan dinamakan St Angela. Sekedar informasi, pendidikan di sekolah ini memakan waktu 3 tahun dan memiliki dua kelas paralel dengan jumlah murid 50 orang.
Pada saat pendudukan Jepang, nasib sekolah ini pun turut terombang-ambing seiring dengan perintah tentara Jepang untuk menutup semua sekolah, tak terkecuali di Bandung. Para suster pengajar yang berkebangsaan Eropa harus masuk ke kamp tahanan di Biara Ursulinen Supratman. Tetapi tidak menyurutkan langkah para suster ini untuk mengajar. Sebagian murid mereka bawa ke kamp tahanan dan kegiatan belajar mengajar tetap mereka lakukan di situ meskipun secara diam-diam dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Setelah lama disekap dalam kamp, pada akhirnya pada Oktober 1945 para suster diperbolehkan kembali ke gedung Jl.Merdeka, meskipun salah satu suster senior yaitu Sr. Aquina van de Berg meninggal dunia karena disentri saat para suster dan sebagian murid dipindah paksa ke kamp Adek dan kamp Kramat di Jakarta. Seusai kembali ke HBS Merdeka, mereka harus menemui kenyataan pahit yang lain. HBS ditutup karena jumlah tenaga guru yang tidak memadai akibat para suster tercerai berai saat era pemasukan ke kamp. Pada Agustus 1947, program HBS dibuka kembali disertai dengan pembukaan program AMS (Aldemene Middlebare Scholl) dan pengaktifan kembali SKKP. Sekolah ini masih bertahan dan terus berdinamika hingga saat ini dengan program lengkap mulai dari Playgroup hingga tingkat SMU.
SD Banjarsari
SD Banjarsari terkenal sebagai salah satu Sekolah dasar favorit di Bandung. Terkenal akan kualitas alumninya. Tetapi dibalik semua itu, tempat ini menyimpan sejarah yang sudah cukup tua untuk diketahui. Di lahan SD Banjarsari sekarang ini, dulunya berdiri sebuah sekolah khusus pribumi milik pemerintah. Sekolah ini didirikan tahun 1870 (tetapi sekarang bangunan SD Banjarsari sudah 100% baru) sebagai tempat praktek siswa Kweekschool atau sekolah guru tingkat terakhir.
Keberadaan sekolah ini membuat adanya hubungan saling menguntungkan dengan tetangganya tersebut. Sekolah ini tidk akan pernha kekurangan guru, dan para guru pemula dari Kweekschool pun dapat menimba pengalaman mengajar di sekolah ini sebagai bekal ketika lulus kelak. Sistem afiliasi ini mungkin sekarang serupa seperti para mahasiswa pendidikan tingkat akhir yang harus menjalani praktek mengajar di sekolah sebelum bisa lulus menjadi sarjana. Sebagai catatan, pada masa tahun 1930-an, pekerjaan sebagai guru dihargai sangat mahal. Seorang guru yang mengajar pada sekolah milik pemerintah digaji sebesar 70 Florins/Gulden per bulan, sedangkan guru yang mengajar di sekolah swasta digaji rata-rata 45 Florins/Gulden per bulan. Sebagai perbandingan, harga beras sebagai makanan pokok waktu itu hanya seharga 8-10 Florins/Gulden per 100kg!.

Polwiltabes Bandung /Kweekschool.
Kweekschool bisa diartikan secara harfiah sebagai ‘Sekolah Pembibitan”. Yang dibibitkan di sekolah ini bukanlah bibit tanaman, melainkan bibit-bibit guru, sebuah profesi mulia. Bangunan yang terletak di Schoolweg (kemudian menjadi Merdikaweg, sekarang Jln merdeka) ini didirikan berdasarkan prakarsa K.T.Holle, Administratur kebun Teh Waspada di Gunung Cikurai, Bayombong Garut. Beliau juga menjabat sebagai Penasihat Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda Untuk Masalah Sekolah Guru Pribumi.
Masyarakat Bandung menyebut ini Sakola Radja, karena kebanyakan muridnya merupakan anak raja, kepala negeri, atau kepala suku baik dari Badnung maupun dari luar Bandung. Maka taman di seberang sekolah ini (sekarang taman Sewi Sartika atau taman Balai Kota) sering juga disebut Kebon Radja. Meskipun ada pendapat lain tentang penyebutan Sakola Radja ini karena sekolah ini didirikan bersamaan dengan naik tahtanya Ratu Wilhelmina di Belanda. Sebagai catatan, Sekolah ini adalah gedung sekolah Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzern (Sekolah guru bagi kaum pribumi) yang pertama di Hindia Belanda.
Gedung Kweekschool voor Inlandsche Onderwijern dibangun dengan gaya arsitektur Neo Clasic pada tahun 1866, yang dicirikan pada penggunaan tiang-tiang kolom dari Ionic Order. Gaya arsitektur ini berkembang pada tahun 1800-an, merupakan arsitektur yang amat digemari oleh tuan-tuan tanah kaya. Mereka menganggapnya sebagai perlambang kekasaan, sehingga gaya bangunan disebut juga Indische Empire Stijl. Gedung ini sekarang berfungsi sebagai Kantor Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung.
SD Merdeka
Bangunan SD yang juga salah satu SD favorit di Kota Bandung ini juag merupakan salah satu bangunan pendidikan tertua di Bandung yang masih bertahan. Bangunan bergaya Indische Style ini dibangun tahun 1884. Ketika didirikan memang sudah diperuntukkan sebagai bangunan sekolah, meskipun masih belum diperoleh keterangan sekolah tingkat apakah yang diselenggarakan disini.
Mungkin jika anda berkunjung ke bangunan ini, anda akan menemukan bangunan lamanya hanya berada di depan saja, sedangkan bangunan sekolah belakangnya merupakan bangunan bertingkat yang baru. Tapi tahukah anda, di lokasi yang sekarang menjadi bangunan baru tersebut, dulunya berdiri sebuah gudang tempat penyimpanan garam hingga tahun 1910-an.
Entah milik siapa gudang tersebut, apakah masih berkaitan dengan gudang kopi milik Andreas de Wilde di lokasi balai kota sekarang atau tidak, masih belum ada yang berani berpendapat karena kaburnya informasi.
Sekolah Van Deventer
Tidak banyak cerita mengenai sekolah ini yang beredar. Saya menduga bahwa sekolah ini adalah sekolah khusus putri, atau dulu oleh Conrad Theodore Van Deventer dinamakan Sekolah Kartini.
Van Deventer (1857-1915) dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Dia pada usia muda bertolak ke Hindia Belanda. Dalam waktu sepuluh tahun, Deventer telah menjadi kaya, karena perkebunan perkebunan swasta serta maskapai minyak BPM yang bermunculan saat itu banyak membutuhkan jasa penasihat hukum. Namun pada saat dia bekerja di Hindia Belanda, timbul pada dirinya rasa keganjilan, terlebih mengenai kondisi warga koloni Hindia Belanda.

Pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial adalah “Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut dimuka hakim”. Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Salah satu usaha konkret Van Deventer dan istrinya adalah dengan mendirikan Yayasan Kartini, yang kemudian menelurkan Sekolah Kartini. Yang dibentuk sebagai wadah kepedulian bagi pendidikan khusus kaum perempuan muda pribumi, diilhami oleh ketertarikan mereka akan pemikiran Raden Ajeng Kartini.
SMP Negeri 5 Bandung,
Bangunan unik ini dulu berfungsi sebagai Government Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau disingkat MULO (sekolah setaraf SMP) ini dibangun tahun 1917 oleh pemerintah kota, khusus sebagai gedung sekolah. Bangunan induk menghadap diagonal mengarah ke Jl.Jawa dan Jl.Sumatera. Bangunan ini dipercantik dengan dua buah menara yang unik. Di dalam, anda bisa menjelajahi bangunan kelas yang masih asli bergaya kolonial, serta sebuah ruang serba guna yang luarnya masih bergaya Eropa pula. Ruang-ruang kelas asli di kompleks sekolah ini mengadaptasi model Eropa yang disesuaikan dengan kondisi cuaca di Kota Bandung yang tropis. Jendela-jendela dibuat besar, atap-atap ditinggikan, serta dibuat koridor-koridor agar sirkulasi udara lancar, serta suhu tetap terjaga sejuk agar nyaman dipakai untuk belajar.

Disekitar lokasi ini Juga terdapat beberapa tempat kuliner untuk anda beristirahat seperti Double Steak di Jl.Jawa ataupun warung nasi timbel Kumis di Jl.Kalimantan (dekat SMA 3 Bandung) serta Bakso Ajo di dekat SMA 5 Bandung.
Gedung Sekolah SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 3 Bandung
Terakhir ada pula sebuah bangunan megah yang kini menjadi gedung Sekolah SMA Negeri 5 dan SMA Negeri 3 Bandung. Gedung megah yang diarsiteki oleh arsitek terkenal pada masanya, yaitu C.P. Wolff Schoemaker, ini sekarang fungsinya dibagi dua, sebelah timur di pakai oleh SMA Negeri 3 Bandung, sedangkan sebelah Barat oleh SMA Negeri 5 Bandung. Jika anda bisa memasuki gedung ini, anda akan terpukau oleh kemegahan bangunan utama. Sebuah tangga marmer besar yang didukung oleh suasana yang diberikan oleh penerangan remang-remang cukup untuk membawa anda ke masa-masa awal gedung ini. Gedung yang terletak masih di Jl.Belitung (dulu Bilitonstraat) ini dahulu berfungsi sebagai Government Hogere Burger School atau disingkat HBS.

Diatas bangunan utama dahulu terdapat sebuah tempat lentera besar sebagai elemen estetika. Gedung ini tidak banyak mengalami perubahan. Bagi yang ingin membayangkan bentuknya dulu dapat melengkapi imajinasi dengan melihat pondasi pagar gedung yang asli tepat dibelakang pondasi pagar baru yang lebih tinggi, sebagai upaya untuk tidak menghilangkan keaslian gedung.
Sumber :
Yayasan Santo Aloysius, Sejarah Sekolah Santo Aloysius.
Mikihiro Moriyama, Semangat Baru, KPG, 2003 (hal 78-80)
Sudarsono Katam, Bandung : Kilas Peristiwa DI Mata Filatelis, Sebuah Wisata Sejarah, Kiblat, 2006
Dedi Supriadi (Ed.). 2003. Guru Di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Suparlan. 2007. Trilogi Van Deventer. http://www.suparlan.com/pages/posts/trilogi-van-deventer92.php. Diakses 23 April 2011.
Gambar-gambar : Koleksi Tropen Museum