Month: March 2011

Kampung Apandi

Oleh : Ridwan Hutagalung

Ruas Jl. Braga di Bandung tentulah sudah dikenal baik oleh masyarakat, baik sebagai objek wisata berwawasan sejarah atau arsitektur. Sejumlah bangunan tua di Jl. Braga belakangan ini menjadi lebih populer sebagai tempat berfoto-ria yang dilakukan baik oleh kalangan wisatawan atau pun para pelajar dan remaja Kota Bandung. Belakangan Jl. Braga agak mengundang kegaduhan dalam masyarakat sehubungan dengan program revitalisasi yang menggantikan bahan jalan dari aspal dengan batu andesit. Jalan berbatu andesit ini ternyata tak pernah mampu bertahan cukup lama dalam kondisi baik.

 

Tapi dari pada membicarakan masalah revitalisasi yang tidak vital itu, saya langsung saja ke perhatian utama saat ini, yaitu Kampung Apandi. Ruas Jl. Braga sebetulnya diapit oleh dua kawasan di kiri-kanannya, masing-masing Kampung Apandi di sebelah barat dan sebuah Europeschewijk di sisi timurnya. Europeschewijk yang dulu dikepalai oleh Coorde sekarang menjadi kawasan Kejaksaan Atas dan nama Gang Coorde menjadi Jl. Kejaksaan. Istilah Kejaksaan Atas dan Kejaksaan Bawah adalah istilah tidak resmi dari warga untuk membedakan potongan Jl. Kejaksaan antara Tamblong-Braga dengan Tamblong-Saad.

 

Di sebelah barat ruas Jl. Braga terletak perkampungan berbentuk memanjang utara-selatan dan secara administratif termasuk ke dalam Kelurahan Braga. Kampung yang padat ini hampir selalu luput dari perhatian saat masyarakat membicarakan masalah Jl. Braga. Hanya kadang-kadang saja perhatian masyarakat ditolehkan ke wilayah ini, yaitu saat banjir besar melanda secara rutin setiap tahunnya. Seperti yang terjadi pada 28 April 2007, tak kurang dari walikota Dada Rosada mendatangi kawasan kampung ini untuk melihat keadaan kampung yang porak-poranda akibat terjangan banjir pada malam sebelumnya.

 

 

 

Di masa Hindia-Belanda, wilayah utama Kampung Apandi terletak di lokasi yang sekarang ditempati oleh Hotel Kedaton. Kampung ini memanjang ke arah selatan sampai sekitar di seberang restoran Braga Permai. Secara perlahan wilayah perkampungan ini digerus oleh zaman. Penyusutan wilayah pertama kali terjadi sekitar tahun 1938 saat pembangunan viaduct. Jembatan kereta api yang melintasi sungai Ci Kapundung di sebelah barat kampung ini sekaligus juga membukakan akses jalan baru dari arah Jl. Braga ke Jl. Banceuy. Jalan baru ini menjadi bagian dari Jl. Suniaraja.

 

Sebelum pembukaan jalan baru, akses jalan dari Braga menuju Jl. Banceuy hanyalah jalan gang di tengah perkampungan saja. Jalan baru dibuat menyambung dengan potongan Jl. Suniaraja yang bersambungan dengan ujung Jl. Banceuy dan berawal dari persimpangan Jl. Kebonjati. Warga tempo dulu menyebutnya Parapatan Kompa. Di wilayah inilah dulu lahir seseorang yang pada masa remajanya sempat menghebohkan warga Bandung karena berjibaku dengan meledakkan gudang mesiu Jepang di Dayeuhkolot, Mohammad Toha. Sayang sekali detail cerita seputar peledakan ini masih kabur hingga sekarang.

 

Pembukaan jalan baru yang membelah Kampung Apandi itu sebetulnya merupakan bagian dari sebuah rencana lain yaitu pengembangan ruas jalan di sepanjang jalur sungai Ci Kapundung dimulai dari sekitar viaduct hingga kompleks pertokoan elektronik Banceuy (Cikapundung) sekarang. Entah kenapa rencana ini tidak pernah terwujud.

 

Penyusutan Kampung Apandi berikutnya terjadi saat didirikannya Hotel Kedaton persis di bekas rumah tokoh setempat yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama kampung, H.M. Affandi. Masih belum selesai, berikutnya sebagian wilayah Kampung Apandi menghilang lagi dengan pembangunan kompleks hotel dan mall Braga City Walk yang juga mengambil area bekas pabrik perakitan mobil Mercedez Fuchs & Rens (kemudian Permorin). Dari seluruh bagian bengkel Fuchs & Rens yang masih tersisa adalah ruang pamer mobil yang terletak persis di sisi Jl. Braga. Ruang pamer ini sekarang ditempati oleh restoran Wendy’s. Beberapa bagian bangunan, terutama bagian depan, masih menyisakan bagian asli ruang pamer Fuchs & Rens. Plakat pembangunan ruang pamer yang terbuat dari marmer pun masih dapat dilihat terpasang di tembok depan.

 

Sekarang bekas wilayah Kampung Apandi tinggal sedikit saja tersisa di sekitar seberang restoran Braga Permai. Persis berhadapan dengan restoran bekas Maison Bogerijen yang terkenal itu terdapat sebuah jalan gang mengarah ke timur. Jalan masuk gang ini cukup unik karena berbentuk lorong jalan di bawah bangunan gedung, yaitu Toko Buku Jawa. Di mulut gang terdapat plang nama jalan bertuliskan Gg. Apandi. Dari mulut gang ini tak sampai 20 meteran, suasana perkampungan sudah langsung terasa.Jalan masuk lain menuju kampung ini dapat melalui Gg. Apandi III dan Jl. Afandi Dalam dari arah Jl. Suniaraja (seberang Hotel Kedaton) yang ditandai dengan keberadaan bengkel-bengkel dan pusat penjualan ban mobil.

 

 

Penulisan nama Apandi sebagai nama daerah ini memang memiliki sejumlah variasi. Ada yang menuliskan Apandi, Affandi, atau Affandie. Pengucapan nama Affandi dalam logat Sunda menjadi Apandi tentu merupakan hal yang biasa sekali. Pengucapan ini mempengaruhi pula cara menuliskannya sehingga banyak nama yang ditulis secara resmi menjadi Apandi, seperti pada plang nama gang yang terletak di seberang Braga Permai.

 

Apandi atau Affandi, seperti yang tertulis pada nisan makamnya di Astana Anyar, adalah tokoh setempat yang dikenali sementara orang sebagai seorang yang sangat ramah pada tetangganya. Pada tahun 1903 Affandi mendirikan sebuah percetakan dengan nama Toko Tjitak Affandi. Percetakan ini termasuk percetakan pribumi angkatan pertama yang banyak mencetak buku-buku berbahasa Sunda. Salah satu terbitannya yang terkenal adalah Wawacan Angling Darma (Martanegara) pada tahun 1906. Buku cerita hiburan ini sempat mengalami cetak ulang oleh penerbit lain namun sayangnya dalam edisi yang agak terbatas. Affandi sendiri sempat menulis beberapa buku, di antaranya sebuah novel berjudul ”Pieunteungeun” yang diterbitkan pada tahun 1937.

 

 

Menurut salah satu kerabat H. Affandi, lokasi pendirian Toko Tjitak Affandi ini terletak di Gedung Landmark sekarang. Tanah di wilayah ini sampai ke dekat Jl. Suniaraja memang dimiliki oleh keluarga Affandi. Pada tahun 1922 di lokasi yang sama didirikan sebuah toko buku terkenal, van Dorp, dengan arsitektur bangunan hasil rancangan arsitek terkenal Wolff Schoemaker. Sangat mungkin van Dorp membeli dan melanjutkan percetakan yang memang telah ada sebelumnya.

 

Mengenai tokoh Affandi ini sebetulnya banyak informasi yang masih samar namun sangat menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Di antara kisah-kisah itu adalah cerita lisan bahwa kerabat-kerabat Affandi memiliki rumah-rumah besar di sepanjang Merdikaweg. Salah satu rumah itu terletak di lokasi berdirinya Bandung Indah Plaza (BIP) sekarang. Rumah lainnya berseberangan dengan gedung Balaikota dan memiliki ruang bawah tanah yang luas.

 

Menurut catatan dalam buku Braga: Revitalisation in an Urban Development (Wieland, 1997), di awal pembangunan Braga, sudah terdapat sebuah kampung di daerah itu yang bernama Babakan Soeniaradja. Konon pada tahun 1826, terdapat beberapa rumah di antara Sungai Ci Kapundung dan Braga (waktu itu Karrenweg). Kemudian baru pada tahun 1925 tercatat lagi mengenai kampung ini, ketika sejumlah penjaga kuda di jalur Jalan Raya Pos menempati tiga perkampungan, Kampung Banceuy (= bahasa Sunda yang berarti ‘istal’, kandang kuda), Kampung H. Affandi dan Kampung Cibantar. Perkampungan ini terdiri dari rumah-rumah panggung tradisional Sunda.

 

 

Ada empat orang yang tercatat sebagai pemilik atau tuan tanah di wilayah itu. Mereka adalah Haji Affandi dengan pemilikan tanah di sebelah barat Jl. Braga, dari tengah hingga ke sekitar viaduct; Asep Berlian dengan pemilikan tanah mulai di belakang eks-Fuchs & Rens ke selatan; Juragan Alketeri yang memiliki sebagian besar tanah di selatan Jl. Banceuy, dan Juragan Yiep Ging yang memiliki bidang tanah mulai dari sekitar Gg. Cikapundung hingga ke selatan Jl. Braga. Selain itu ada juga bagian tanah yang dimiliki oleh pemerintah dan tuan tanah bangsa Belanda, yakni di sebelah barat Jl. Braga bagian selatan hingga sekitar penjara Banceuy.

 

Sejak terjadi peristiwa kebekaran yang melanda Kampung Apandi tahun 1994, keluarga dan kerabat H. Affandi terpencar dan tinggal ke beberapa daerah lain di Kota Bandung. Pemilikan tanah oleh keluarga keturunan dan kerabat H. Affandi masih berlangsung sampai sekarang, namun sedikit demi sedikit terjual kepada para pengembang.

 

 

* * *

Affandie, R.M.A.

1969     Bandung Baheula (Djilid  1 & 2). Guna Utama. Bandung.

Anonim.

1933     “Bandoeng’s Geboorte en Groei: van Desa tot Trotsche Bergstad”. Artikel dalam majalah Mooi Bandoeng, Agustus, 1933.

Amin, Sjarif.

1983     Keur Kuring di Bandung. Pelita Masa. Bandung

Kunto, Haryoto.

1984        Wajah Bandung Tempo Doeloe. Granesia. Bandung.

Moriyama, Mikihiro.

2005        Semangat Baru. KPG. Jakarta.

Schomper, Pans.

1996 Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur. Dorned.

Wieland, H.F.

1997 Braga: Revitalisation in an Urban Development. Department of Architecture, Parahyangan Catolic University. Bandung.

Wawancara :

–          Goerjama, H.R.E.  Kelahiran Bandung, 1925. Wawancara di Bandung, tanggal 19 Februari 2007.

–          Roesman, Tien. Kelahiran Bandung, 1919. Wawancara di Bogor, tanggal 3 Maret 2007.

–          Informasi lisan Malia Nur Alifa.

Sekilas Seni Beluk

Oleh : Ridwan Hutagalung

Seni beluk adalah seni vokal tanpa iringan instrumen khas masyarakat Sunda yang sekarang ini sudah langka sekali ditemui. Sebarannya adalah wilayah agraris dan terutama di dataran-dataran tinggi, mulai dari Banten hingga Sumedang dan Tasikmalaya. Namun sayangnya sebaran yang luas ini tidak berarti bahwa seni beluk (mungkin juga seni tradisional lainnya) memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi perubahan zaman. Salah satu yang masih bertahan adalah beluk dari Batu Karut, Desa Lebakwangi, Banjaran.

Di Lebakwangi seni beluk masih cukup sering ditampilkan dalam upacara-upacara seperti yang berhubungan dengan kelahiran bayi. Penyajiannya biasa dilakukan di ruang tengah rumah dengan alas tikar. Penyaji beluk yang biasanya terdiri dari empat orang duduk bersila diapit keluarga tuan rumah dan membentuk pola lingkaran. Penyajian seperti ini terasa agak aneh buat saya mengingat “nyanyian” beluk yang banyak berbentuk lengkingan vokal. Lengkingan seperti ini memang akan terasa ingar-bingar bila dikumandangkan dalam ruangan tertutup seperti di rumah. Namun tampaknya sekarang hal ini sudah menjadi kelaziman pula.

Seni lengking vokal ini diperkirakan berasal dari tradisi bersawah-ladang sebagai media komunikasi antarpetani. Masyarakat Baduy dulu sering berteriak dengan nada mengesankan bila sedang berada dalam hutan atau ladang sorang diri. Teriakan yang bisa dilakukan sebagai pengusir sepi atau juga memberitahukan keberadaannya di dalam hutan. Konon bentuk nyanyian dengan nada-nada tinggi, mengalun dan meliuk-liuk adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat berkomunikasi dengan sesama komunitasnya yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.

Seni beluk mirip dengan karinding dalam hal tidak termasuk kategori seni pertunjukan dan lebih bersifat hiburan personal, sarana menghibur diri, dan pengusir rasa sepi. Belakangan, kesenian ini lebih banyak dipakai untuk keperluan ritual seperti dalam syukuran 40 hari kelahiran bayi. Ada empat orang penyaji utama dengan peranan yang berbeda. Disebut penyaji utama karena sebetulnya hadirin juga diperbolehkan untuk turut serta menyajikannya. Empat peranan tersebut adalah 1) tukang ngilo atau juru ilo, 2) tukang ngajual, 3) tukang meuli, dan 4) tukang naekeun.

Tukang ngilo adalah pembaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh yang berjumlah 17, yaitu asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh, gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong.

Tukang ngajual menyanyikan syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen. Tukang meuli melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Sedangkan tukang naekeun melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara secara bersama (koor).

Dalam penyajian beluk dikenal beberapa teknik, seperti nyurup yaitu kesesuaian dengan laras yang dibawakan; jentre artikulasi yang jelas; eureur kesesuaian vibrasi dengan kalimat lagu; senggol ketepatan ornamentasi; leotan ketepatan nada yang digunakan; embat walaupun musik vokal ini bertempo bebas, namun tetap ada acuan metris-melodis kendati sangat samar; pedotan ketepatan waktu untuk mengambil nafas; renggep atau saregep keseriusan dalam penyajian; cacap kata demi kata harus disajikan sampai tuntas; bawarasa ekspresi dalam penyajian; dan bawaraga penegasan suasana dengan gestur yang dianggap menarik.

Sebagai bentuk kesenian yang lahir dari keseharian masyarakat agraris yang sederhana, dalam penyajiannya seni beluk tidak menerapkan aturan berpakaian tertentu. Yang paling umum ditemui menggunakan baju takwa, sarung, kopiah, dan celana panjang saja. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

Demikianlah rangkaian catatan yang berhubungan dengan beberapa objek dalam kegiatan Komunitas Aleut! pekan lalu.

 

Sumber informasi

–  Beluk Kehilangan Regenerasi, Pikiran Rakyat, 31 Januari 2011

–  Sampul album CD “Beluk Dzikir – Nyanyian Banten Jawa Barat”, produksi Program Studi Etnomusikologi Jurusan

Karawitan, STSI Surakarta, 2003

–  Dokumen KKN Program Seni Budaya, http://www.scribd.com/doc/22769078/KKN-PROGRAMSENI-BUDAYA

–  Mata Kita, Kesenian Beluk, Salah Satu Identitas Masyarakat Agraris Pasundan,http://matakita.net/post/kesenian

beluk-salah-satu-identitas-masyarakat-agrarispasundan.html

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran

Oleh : Ridwan Hutagalung

Sebagai laporan dari ngaleut ke Dayeuhkolot-Banjaran tanggal 20 Maret 2011 kemarin, saya bikin catatan yang ternyata berpanjang-panjang. Semoga tidak membosankan membacanya.

MONUMEN MOHAMMAD TOHA

Pada hari Minggu lalu, 20 Maret 2011, Komunitas Aleut! mengadakan kunjungan ke daerah Dayeuhkolot dengan tema utamanya mengenang peristiwa Bandung Lautan Api (BLA – 1946). Sebagian kita mungkin sudah mengetahui kaitan Dayeuhkolot dengan BLA. Di sinilah seorang tokoh kontroversial , Mohammad Toha, meledakkan gudang mesiu Belanda. Bukan hanya ketokohan Moh. Toha yang kontroversial, namun kronologi peristiwanya pun lumyan simpang-siur, maklum tak ada seorang pun yang secara langsung menyaksikan atau mengetahui secara persis peristiwa itu. Koran Pikiran Rakyat pernah mengadakan investigasi intensif pada tahun 2007 dengan mewawancarai sejumlah tokoh yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mungkin berkaitan. Di antara mereka ada yang juga mengenali Moh. Toha secara pribadi.

Hasil investigasi Pikiran Rakyat kemudian dimuat secara berturut selama seminggu penuh. Termasuk di antaranya adalah tulisan dari kalangan akademisi serta laporan masyarakat pembaca. Tidak semua hal menjadi terang-benderang setelah peliputan itu, bahkan sempat pula ada keraguan tentang wajah Moh. Toha yang beberapa fotonya ditampilkan dalam liputan koran itu.

Kunjungan Komunitas Aleut! hari itu tidak hendak ikut nimbrung dalam kontroversi ini melainkan sekadar mengenalkan saja secara selintas peristiwa bersejarah yang hampir terlupakan itu. Di Dayeuhkolot kami dapat kunjungi lokasi peledakan gudang mesiu yang sekarang sudah menjadi kolam. Sebuah laporan berdasarkan ingatan, dari Misbah Sudarman, menyebutkan tentang sebuah lubang yang menganga dan dalam, sementara di sekitarnya tanah menggunung dalam radius 25 meter. Rumah-rumah Belanda dan warga di sekitar lokasi itu hancur berantakan. Saat diwawancarai pada tahun 2007, Misbah Sudarman berusian 72 tahun.

Sekarang lokasi bekas ledakan itu sudah menjadi kolam dengan air berwarna coklat. Di salah satu sisinya terdapat sebuah karamba besar. Beberapa orang tua tampak memancing di pinggiran kolam. Di depan kolam didirikan dua buah monumen, satu monumen berupa patung dada Moh. Toha dan di belakangnya sebuah monumen yang menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara yang terperangkap dalam kobarannya. Di sebelah kiri monumen ini terdapat tembok prasasti berisi 15 kotak marmer. Pada 13 kotak di antaranya terpahatkan daftar nama pejuang yang gugur dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Dua kotak di sudut kanan bawah masih tampak kosong. Di bagian atas tembok prasasti ini terdapat ornamen kobaran api.

Di seberang kolam, agak kurang menonjol, tampak tembok memanjang dengan relief cerita seputar BLA. Agak sulit untuk menangkap isi relief ini karena selain letaknya yang jauh di seberang kolam, tidak terdapat warna-warna yang dapat membantu penglihatan selain sedikit warna emas yang tampaknya sudah luntur dan kusam. Warna yang mendominasi hanyalah warna batu andesit yang menjadi bahan tembok ini. Dengan zoom kamera saya dapat lihat gambaran umum relief yang berisi hal-hal seputar BLA. Ada gambaran umum pertempuran, Soekarno-Hatta, truk-truk militer, tulisan-tulisan “Merdeka”, “Bengkel Sepeda Motor Cikudapateuh”, dan “Dengki Amunition”. Paling kanan adalah relief ledakan gudang mesiu.

Di depan Patung dada Moh. Toha terletak kompleks Batalyon Zeni Tempur 3/YW. Dalam dua kali kunjungan ke monumen ini ternyata selalu ada tentara yang menghampiri menanyakan tujuan kedatangan dan izin kunjungan. Mungkin kedatangan rombongan Aleut! ke tempat ini terlihat tak lazim, apalagi dengan begitu banyak kegiatan pengamatan dan foto-foto. Sementara itu di belakang monumen terletak gedung Komando Daerah Militer 0609 – Komando Rayon Militer 0908 Dayeuhkolot. Kompleks monumen ini memang terletak di tengah-tengah kawasan militer Dayeuhkolot, jadi bila ingin berkunjung sebaiknya persiapkanlah berbagai hal yang diperlukan terutama yang berkaitan dengan perizinan.

Dengan menggunakan angkutan kota baik dari arah Buahbatu/Bale Endah atau dari arah Kebon Kalapa dan Tegalega, jarak tempuh ke lokasi ini tidak akan lebih dari 30 menit saja, kecuali di hari-hari biasa yang umumnya selalu macet. Markas militer dan monumen ini dengan mudah terlihat di sisi jalan. Selain itu jalur angkutan kota dari kedua arah itu juga mewakili peristiwa BLA karena merupakan jalur-jalur utama pengungsian masyarakat Kota Bandung ke daerah selatan setelah Bandung dijadikan lautan api.

MAKAM LELUHUR BANDUNG

Dari Monumen Moh. Toha, rombongan Aleut! melanjutkan kunjungan ke kompleks makam bupati di Kampung Kaum. Kompleks makam ini terletak agak tersembunyi di tengah kampung. Di ujung gang sudah tampak sebuah gapura putih dengan pintu besi yang masih terkunci. Kompleks makam seluas satu hektare ini dibentengi oleh tembok yang juga berwarna putih. Tanah ini adalah tanah wakaf dari keluarga Dewi Sartika. Pada tembok depan terpasang sebuah prasasti marmer bertuliskan nama-nama tokoh yang dimakamkan di situ :

–          Ratu Wiranatakusumah (Raja Timbanganten ke-7)

–          R. Tmg. Wira Angun-Angun (Bupati Bandung ke-1)

–          R. Tmg. Anggadiredja II (Bupati Bandung ke-4)

–          R. Adipati Wiranatakusumah I (Bupati Bandung ke-5)

–          R. Dmg. Sastranegara (Patih Bandung)

–          R. Rg. Somanegara (Patih Bandung)

–          R. Dmg. Suriadipradja (Hoofd Jaksa Bandung)

Selain nama-nama yang tercantum di atas, masih banyak nama tokoh lain yang dimakamkan di sini yang mungkin menarik untuk ditelusuri karena sedikit-banyak mungkin menyimpan cerita tentang sejarah Bandung.

Di tengah kompleks terdapat empat buah makam bercungkup yang seluruhnya adalah makam pindahan. Masing-masing adalah makam R. Tmg. Wira Angun-Angun, bupati Bandung pertama (1641-1681), yang dipindahkan dari Pasirmalang, Bale Endah, pada tahun 1984; Ratu Wiranatakusumah yang dipindahkan dari tempat asalnya di Cangkuang, Leles, pada tahun 1989; Makam R. Rg. Somanegara yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ternate; dan R. Dmg. Suriadipradja yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Pontianak. R. Dmg. Suriadipradja adalah ayahanda Dewi Sartika. Dua tokoh terakhir ini dipindahkan pada tahun 1993. Seluruh pemindahan dilakukan oleh Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten-Bandung.

Peristiwa apakah yang melatari pembuangan Somanegara dan Suriadipradja? Ternyata pada tanggal 14 dan 17 Juli 1893 telah terjadi suatu keriuhan yang dikenal dengan sebutan “Peritiwa Dinamit Bandung”. Saat itu di Pendopo Bandung tengah berlangsung perayaan pengangkatan R. Aria Martanegara sebagai Bupati Bandung. Beliau yang keturunan Sumedang, sebelumnya menjabat sebagai Patih Onderafdeling Mangunreja (Sukapurakolot) dan diminta oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menggantikan Bupati Bandung R. Adipati Kusumadilaga yang wafat pada 11 April 1893. Saat itu putera Kusumadilaga, R. Muharam baru berusia empat tahun, sehingga tidak bisa menggantikan ayahnya. Pejabat sementara dipegang oleh Patih Bandung, R. Rg. Somanegara.

Pengangkatan Martanegara sebagai bupati ternyata diterima dengan kekecewaan mendalam oleh Somanegara. Menurut tradisi yang berlaku, pengganti pejabat pribumi yang wafat adalah putra sulungnya. Hak ini tidak dapat diganggu-gugat, namun dengan syarat tambahan yang pelanjut harus cakap untuk jabatan tersebut. Dalam kasus tertentu, dapat juga menantu melanjutkan jabatan mertuanya seperti yang terjadi pada Bupati Bandung pertama, Wira Angun-Angun, yang menyerahkan jabatan kepada menantunya. Kasus lain terjadi juga pada Bupati Tanggerang di tahun 1739. Walaupun bupati tersebut memiliki tiga orang putera, namun pemerintah memilih untuk mengangkat menantunya sebagai pengganti jabatan Bupati Tanggerang.

R. Rg. Somanegara adalah menantu Dalem Bintang atau Adipati Wiranatakusumah IV, Bupati Bandung sebelum R. Kusumadilaga. Kesempatannya untuk menjadi Bupati Bandung telah dua kali diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pertama, saat mertuanya, R. Adipati Wiranatakusumah IV, wafat pada 1874, ia harus menerima keputusan pemerintah yang memilih untuk mengangkat saudara Wiranatakusumah IV yaitu R. Kusumadilaga. Yang kedua, saat pemerintah memilih mengangkat seorang keturunan Sumedang, R. Aria Martanegara, sebagai pengganti Bupati Bandung, R. Kusumadilaga.

Karena itulah mungkin Somanegara merasa kecewa sehingga merencakan pembunuhan terhadap Residen, Asisten Residen, Bupati Bandung dan Sekretarisnya. Caranya adalah dengan melakukan pendinamitan di beberapa lokasi. Di antaranya di sebuah jembatan di atas CI Kapundung dekat Pendopo dan di panggung direksi pacuan kuda di Tegallega. Hasil pengusutan polisi mendapatkan 8 orang tertuduh yang berada dalam pimpinan R. Rg. Somanegara dan ayahanda Dewi Sartika, R. Dmg. Suriadipradja. Pemerintah memutuskan untuk membuang kedua tokoh ini masing-masing ke Ternate dan Pontianak.

Kembali ke kompleks makam. Dulu, wilayah kompleks makam ini adalah bekas pusat pemerintahan Kabupaten Bandung saat masih berada di Krapyak. Di sinilah terletak pendopo kabupaten. Mengelilingi pendopo ini terdapat bangunan-bangunan seperti tajug (sekarang sudah menjadi mesjid) dan kantor kabupaten yang lahannya sekarang sudah habis menjadi permukiman. Bale pertemuan terletak di wilayah Bale Endah sekarang. Dekat dengan pusat pemerintahan ini terletak titik pertemuan sungai Ci Kapundung dengan Ci Tarum, yaitu di Cieunteung yang sekarang bernama Mekarsari.

Semestinya setelah dari kompleks Makam Leluhur Bandung, perjalanan akan dilanjutkan ke Cieunteung, namun karena juru kunci selintas menyebutkan sebuah kabuyutan di Batu Karut, maka saya secara spontan mengajukan usul untuk sekalian menyambangi tempat itu. Sebelumnya saya sudah pernah dua kali mengunjungi tempat itu, namun kali ini suasana yang saya temui agak berbeda.

Kali ini suasana di Bumi Alit Kabuyutan terlihat lebih resik dan terang benderang, tidak seperti pada kunjungan sebelumnya yang terkesan agak gelap sehingga terasa menyeramkan. Sebuah bale besar yang cukup mewah sudah hadir pula di bagian depan. Rasa mewah tentu saja bila dibandingkan dengan bale panggung yang ada sebelumnya. Bumi Alit tampak sangat bersih dan terawat. Belum lagi kehadiran toilet yang baru di bagian lain. Di lokasi ini dulu kosong melompong langsung berbatasan dengan sungai. Sekarang sudah ada pagar dengan jalur jalan batu di bagian luarnya. Tak ada lagi kesan angker dan mistis seperti yang sudah sempat saya iklankan saat mengajukan usulan untuk berkunjung ke kabuyutan ini.

Kunjungan pada hari ini juga berbeda karena bersama saya ada 24 Aleutians yang turut serta, sungguh ramai..

BUMI ALIT KABUYUTAN, BATU KARUT

Perjalanan ke lokasi ini kami tempuh dengan dua buah angkot borongan. Lama perjalanan sekitar 15-20 menit. Tiba di lokasi, kami masih harus mencari juru kunci dulu karena kompleks situs ternyata terkunci. Dari luar tampak plang  bertuliskan “Situs Rumah Adat Sunda (Bumi Alit Kabuyutan) – Lebakwangi Batu Karut – Kec. Arjasari Kab. Bandung”.

Juru kunci, Bapak Enggin, segera membukakan gerbang dan mengajak semua peserta untuk berkumpul di bale. Pertanyaan utama dari beliau adalah “apa tujuan kunjungan ini?.” Usia sepuh membuatnya berbicara sangat perlahan dengan artikulasi yang kurang tegas, karena itu semua Aleutians merapat sangat dekat agar dapat menyimak dengan baik. Bagi beberapa teman, usaha ini cukup sia-sia, karena Pak Enggin menggunakan bahasa Sunda dengan banyak kata yang tidak terlalu biasa terdengar dalam percakapan sehari-hari di kota.

Inti cerita, Pak Enggin menyampaikan berbagai simbol yang terdapat dalam Bumi Alit Kabuyutan. Semua simbol ini berkaitan dengan filosofi kehidupan dan keagamaan yang menjadi pedoman hidup masyarakat penganutnya. Menurutnya, Batu Karut adalah pusat penyebaran agama Islam dengan menggunakan siloka. Misalnya saja ukuran rumah yang 5×6 meter dikaitkan dengan rukun Islam dan rukun Iman. Perkalian dari ukuran itu adalah jumlah juz dalam Quran. Angka-angka yang sama terulang lagi dalam menceritakan isi Bumi Alit. Di dalamnya terdapat 5 buah pusaka, yaitu lantingan, pedang, keris, badi, dan tumbak. Kelima pusaka ini ditempatkan dalam sumbul yang sekaligus menjadi pusaka keenam. Semua pusaka dibungkus oleh 5 lapis boeh.

Penceritaan filosofi ini berlangsung cukup lama dan intensif. Namun yang seringkali terjadi dalam kunjungan ke situs-situs keramat seperti ini adalah tidak ada keterangan sejarah yang memadai. Kebanyakan pertanyaan akan dijawab dengan agak kabur atau tidak tahu. Misalnya saja pertanyaan asal mula rumah adat ini, siapa pembangunnya,siapa yang menghuni, bagaimana kisahnya hingga menjadi tempat penyimpanan benda pusaka, dst. Bapak Enggin hanya selintas saja bercerita tentang situs Gunung Alit yang berada dekat dengan Bumi Alit. Di Gunung Alit terdapat beberapa makam tokoh dengan fungsi pemerintahan dan sosial di Batu Karut dahulu.

Masing-masing makam tersebut adalah Mbah Lurah yang memegang urusan pemerintahan, Mbah Wirakusumah sebagai panglima, Mbah Patrakusumah urusan seni-budaya, Mbah Ajilayang Suwitadikusumah bagian keagamaan, dan Mbah Manggung Jayadikusumah. Nama terakhir ini tak saya temukan fungsinya dalam catatan yang saya buat, tampaknya terlewatkan.

Selain itu Bapak Enggin juga bercerita tentang upacara adat dan tata cara berziarah. Pada bagian ini saya kesulitan mencatat detail sesajian yang semuanya juga dihubungkan dengan filosofi kehidupan. Secara sepintas saya juga bertanya tentang sertifikat yang sebelumnya saya lihat terpajang di rumah Bapak Enggin. Sertifikat itu dikeluarkan oleh Depdikbud Dirjen Kebudayaan Direktorat Kesenian, Jakarta, tahun 1993 bagi peserta Festival Musik Tradisional Tingkat Nasional 1993 di Jakarta. Obrolan pun berlanjut ke kesenian yang dianggap asli Batu Karut, yaitu goong renteng atau sering juga disebut goong renteng Mbah Bandong dengan istilah bandong yang dikaitkan dengan asal-usul nama kota Bandung. Maksudnya adalah bahwa dalam kesenian gamelan ini terdapat dua buah goong yang ngabandong atau berpasangan, berhadapan.

Laras dalam gamelan goong renteng berbeda dengan yang umumnya dikenal, mereka menyebutnya laras bandong. Instrumen lain yang dipergunakan dalam gamelan ini adalah sejenis bonang yang disebut kongkoang, gangsa (sejenis saron), paneteg (sejenis kendang), dan beri yang mirip gong namun tidak berpenclon. Penggunaan gangsa dapat menunjukkan ketuaan kesenian ini karena biasanya tidak digunakan lagi dalam gamelan umumnya. Demikian juga dengan gong beri yang biasanya digunakan dalam peperangan dengan fungsi sebagai penanda. Gong beri tidak lazim digunakan dalam gamelan namun masih dapat ditemui digunakan dalam iringan seni bela diri tradisional.

Selain goong renteng, di daerah ini juga dapat ditemukan seni terebangan (sejenis rebana), reog, barongan, dan beluk. Beberapa tahun lalu, seorang teman peneliti musik dari Perancis pernah mengajak untuk menyaksikan dia merekam kesenian beluk di beberapa tempat, di antaranya di Banjaran. Saya masih selalu menyesal karena saat itu berhalangan untuk memenuhi undangan-undangannya. Namun akhirnya saya sempat juga beberapa kali menyaksikan kesenian ini diperagakan di Sumedang.

Sumber bacaan :

– “Bandung in the Early Revolution 1945-1946”, John R.W. Smail, Cornell Modern Indonesia Project, New York,

1964

– “Dewi Sartika”, Rochiati Wiriaatmadja, Dep. PDK, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi

dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984

– “Kisah Perjuangan Unsur Ganesa 10 Kurun Waktu 1942-1950”

– “Musical Instruments – A Comprehensive Dictonary”, Sibyl Marcuse, The Norton Library, New York, 1975

– “Saya Pilih Mengungsi”, Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo,

Bunaya, Bandung, 2002

–  Keterangan juru kunci Makam Leluhur Bandung, 18 & 20 Maret 2011

–  Keterangan juru kunci Situs Rumah Adat Kabuyutan, Batu Karut, Bapak Enggin, 20 Maret 2011

–  Kliping Bandung Lautan Api di HU Pikiran Rakyat 16-28 Maret 2007

NgAleut! Bandung Lautan Api! 20.03.2011

Oleh : Aditia Febriansya

Minggu 20 Maret besok Aleut! akan mengunjungi Dayeuh Kolot, untuk melihat sisa peristiwa Bandung Lautan Api.. bwt anggota Aleut harap bawa 5rb rupiah utk ganti print an materi, sedangkan yg mau daftar bawa 15 rb utk daftar dan materi.. Kita kumpul di Apotek Damai Jl. Buahbatu (sbrng Kartika Sari) jam 7.30 pagi.. konfirmasi ke 0857201048xx pake nama ya.. oiya yg mesen kaos udah ada tuh besok

Begitu pesan yang terpapar di dinding Facebook Komunitas Aleut, langsung pengen ngAleut soalnya udah bolos seminggu ga ngAleut (maklum mamah ngijinin ngAleut 2 minggu sekali).

Oke, minggu pagi setelah sholat subuh, saya siap siap mau berangkat ke tempat janjian dengan naik angkot (perdana yeuh ke Buahbatu make angkot sendirian). Pertama dari rumah naik Cimahi-Leuwipanjang sampe perempatan jl. Kopo lalu dilanjutkan pake angkot Cijerah-Ciwastra sampe jl. Buahbatu, dari situ kekeliruan dimulai, lantaran salah nanya saya malah naik angkot Kalapa-Buahbatu sampe jl. Moch. Ramdan da kata si sopirnya lewat apotik damai tempat kumpulnya, setelah sampai disana tidak ketemulah si apotiknya, lalu nanya-nanya lagi dan ternyata ada ditempat yang berlawanan arah, terpaksa jalan dan lari sampe tempat tujuan.

Foto : Depan Apotek Damai, Jl. Buahbatu

Sesampainya di apotik damai dengan hoshhoshan langsung disuruh ke rumah BR dan ternyata kaos Aleut! udah jadi! (y) langsung dipake ngAleut bajunya biar maching sama yang lain. Lalu Aleut! susur bekas peninggalan Bandung Lautan Api kita sebut BLA dimuai, pertama BR sama Kang Indra basa-basi dulu tentang latar belakang BAL tentang Moh. Toha yang meledakkan gudang mesiu milik Jepang di Dayeuh Kolot dan terjadi banyak pertumpahan darah saat BAL terjadi, lalu dilanjutkan dengan perkenalan karena ada anggota baru. Setelah basa-basi selesai Aleut! langsung caw ke Dayeuh Kolot dengan mem-booking angkot.

Sebelum ke Aleut! saya mau menjelaskan tentang Moh. Toha dan latar belakang terjadinya BAL dulu yang saya kutip dari Portopolio yang dibagiin saat kegiatan. Moh. Toha menurut isunya adalah pelaku peledakkan gudang mesiu milik Jepang yang di Dayeuh Kolot bersama Moh. Ramdan cs. Peledakan tersebut terjadi pada 10 Juli 1946 di pagi hari. Dikutip dari wikipedia, Moh. Toha lahir di jl. Banceuy, Desa Suniaraja, Bandung pada tahun 1927.

Latar belakang terjadinya Bandung Lautan Api dimulai ketika kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Jepang dan Belanda tidak mau kehilangan daerah jajahannya. Belanda pun membentuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di bawah pimpinan Van der Plas di bawah tanggung jawab Inggris. Sementara itu, pihak sekutu yang memenangi PD II membentuk AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang terdiri dari pasukan Inggris yang bertugas antara lain:

  1. Menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang,
  2. Membebaskan para tawanan perang (interniran) di Indonesia,
  3. Melucuti dan mengumpulkan tentara Jepang untuk dipulangkan ke negerinya,
  4. Menjaga perdamaian, dan
  5. membuat data tentang penjahat perang untuk kemudian diajukan ke pengadilan pihak sekutu.

Pemerintah Indonesia yang tidak mau terus dijajah oleh Belanda mengadakan berbagai perlawanan dengan membentuk laskar penjaga keamanan umum BKR (Badan Keamanan Rakjat) yang kemudian nantinya pada 27 Juni 1947 akan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Selain laskar yang dibentuk Pemerintah sebagian pemuda membentuk badan-badan perjuangan yang militan lainnya, diantaranya : PRI (Pemoeda Repoeblik Indonesia), Angkatan Pemoeda Indonesia, Hizbullah, Angkatan Muda PTT, BRRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia), LASWI (Laskar Wanita Indonesia) dan lain lain.

Kedatangan Inggris di Bandung disusul dengan ultimatum pada 27 November 1945 agar penduduk pribumi harus segera pindah ke sebelah selatan rel kereta api dengan batas waktu sampai 29 November 1945, semua pelanggaran akan ditembak mati. Ultimatum ini  dilakukan dengan tujuan agar proses pembebasan tawanan perang dan pelucutan senjata dari Jepang berjalan lancar. Namun banyak pemuda yang membangkang dan akhirnya dibombandir oleh Inggris. Lalu terjadi chaos dimana pemuda Indonesia tidak bisa membedakan bule Inggris dan bule Belanda sehingga mereka pun turut memerangi Inggris yang sebenarnya dalam misi perdamaian sampai Inggris marah dan mengeluarkan ultimatum ke-2 pada 17 Maret 1946 melalui PM Sutan Sjahrir agar pasukan bersenjata RI mundur ke Bandung Selatan sampai radius 11 km dari pusat kota sampai batas waktu 24 Maret 1946. Bila tidak dipenuhi, maka Inggris akan membombandir Bandung bagian Selatan.

Awalnya pemuda menolak mundur ke selatan sampai terjadi perundingan antara Kol. A.H. Nasution (Komandan Divisi III), Mayjen. Didi Kartasasmita (Panglima Komandemen Jawa Barat), dan PM Sjahrir yang dilanjutkan dengan perundingan antara komandan laskar pejuang di Markas Divisi III diputuskanlah untuk menuruti ultimatum untuk mundur ke selatan. Setelah itu terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api yang dimulai dari peledakan bangunan pertama yaitu Indische Restaurant (di lokasi gedung BRI sekarang) di Grootepostweg (Jalan Raya Pos) yang sekaligus menjadi kode untuk meledakkan bangunan-bangunan lainnya.

Yak, mari kita kembali ke Aleut!

Setelah sampai di Dayeuh Kolot kita mengunjungi Monumen Mohammad Toha di sebelah Markas Batalyon Zeni Tempur 3/YW. Monumen tersebut dibangun diatas tempat bekas gudang mesiu yang diledakkan Toha. Bekas ledakkan sangat besar dan saat ini digenangi air dan menjadi tempat pemancingan umum bagi warga sekitar. Di Monumen tersebut terdapat patung dada yang wajahnya dianggap sebagai Moh. Toha lalu di samping kanan Monumen terdapat tugu yang isinya nama pahlawan yang ikut berjuang pada saat Bandung Lautan Api.

Monumen Mohammad Toha

Foto : Aleut! dan Monumen Mohammad Hatta, Dayeuh Kolot

Dari Monumen Mohammad Toha kita lanjut ke Situs Makan Leluhur Bandung masih di Dayeuh Kolot. Sesampainya disana kita bertemu dengan kuncennya yang bercerita tentang makam-makam disana. Memang benar di sana terdapat makam Ratu Wiranatakusumah (Ratu disini maksudnya Raja), makam patih, dan bupati Bandung (CMIIW).

Foto : Aleut! di Situs Makam Leluhur Bandung, Dayeuh Kolot

Dari Situs Makam Leluhur Bandung kita lanjut ke Situs Rumah Adat Sunda Bumi Alit Kabuyutan di jl. Batukarut, Ds. Lebak Wangi, Kec. Anjarsari, Kab. Bandung dengan kembali mem-book angkot. Sebelum berangkat beberapa pegiat Aleut! mengisi perut dulu karena ada yang belum sarapan ternyata. Ternyata dari Dayeuh Kolot sampai Batukarut (Banjaran ke sana lagi) jauh banget, untung ga jalan kaki, bisa-bisa kakinya pada coplok lagi.

Sesampainya di Batukarut, kita langsung mengunjungi Situs Rumah Adat Sunda Bumi Alit Kabuyutan yang berada di sisi kanan jalan. Setelah bertemu dengan Kuncennya kita baru boleh memasuki Situs tersebut. Sang Kuncen bercerita banyak hal saat itu namun karena sudah tua suara yang dikeluarkannya sangat kecil, namun informasi tetap kami dapatkan karena BR menyimak semuanya, hingga Adzan Dzuhur berkumandang. Beberapa pegiat Aleut! sholat dulu karena sholat itu tidak boleh dinanti-nanti. Setelah sholat kita kembali menyimak Bapak Kuncen dan setelahnya kita berkeliling daerah Situs tersebut. Di dalam situs tersebut terdapat Rumah Adat Sunda yang dicat putih dan kita ga boleh memasukinya karena konon didalamnya ada pusaka-pusaka lambang kebesaran agama Islam.

Foto : Aleut! di Situs Rumah Adat Sunda Bumi Alit Kabuyutan berserta Bapa Kuncen, Batukarut, Kab. Bandung

Foto : Bapa Kuncen sedang diwawancara dan Rumah Adat Sunda (Cat Putih)

Perjalanan belum selesai, setelah dari Situs Rumah Adat Sunda Bumi Alit Kabuyutan kita lanjut ke Desa Cienteun (sekarang Desa Mekarsari) dengan menggunakan angkot. Desa Cienteun merupakan daerah bencana banjir yang menimpa daerah Dayeuh Kolot karena di sana terdapat muara sungai, atau tempat bertemunya dua sungai yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum, sehingga kalau terkena hujan pasti akan banjir. Banjir tersebut tidak tanggung-tanggung, ketinggiannya bisa mencapai 2,5 meter, bujubuneng.

Foto : Muara Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum, Dayeuh Kolot

Setelahnya kita langsung ke spot yang dapat melihat dengan jelas dimana Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum menjadi 1. Sungai yang sangat lebar dan panjang membawa ribuan kubik air siap banjir. Jadi inget kata BR waktu itu “sekarang banjirnya sudah bukan musiman lagi tapi udah bisa terjadi kapan saja” bener banget, melihat air yang begitu banyak terkena hujan bisa langsung meluap dan menggenangi rumah warga. Anehnya masih ada saja warga yang menetap di sekitar area luapan air, saya juga melihat di beberapa rumah warga pun sudah siap perahu untuk mengevakuasi diri saat banjir.

“Pemandangan yang menghanyutkan” ucap BR melihat perpaduan dua sungai tersebut.

Setelah puas memandangi muara sungai kita langsung caw lagi nih ke tempat finish menggunakan angkot. Tempat finishnya di jl. Buahbatu tepatnya di Cafe KupiGayo, langsung deh seperti biasa masing-masing pegiat menyampaikan kesan-kesannya selama perjalanan dan setelah beristriahat cukup masing-masing pegiat membubarkan dirinya masing-masing.

Oh 1 hal lagi, jalur-jalur yang kita lalui menggunakan angkot itu adalah jalur pelarian pribumi saat bombardir dilakukan, jalur Napak Tilas Bandung Lautan Api sebelum jalurnya dialihkan ke Tegalega (CMIIW).

Sampai ketemu lagi di Aleut! berikutnya 🙂

sumber :

  • Portopolio Ngaleut Bandung Lautan Api dan Mohammad Toha
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Toha
  • Narasumber (Kuncen Situs Makam Leluhur Bandung dan Kuncen Situs Rumah Adat Sunda Bumi Alit Kabuyutan)
  • Guide Aleut! 20 Maret 2011
  • Foto dari Mba Kuke 🙂

 

Original Post : http://aditfebriansya.tumblr.com/post/3982052407/ngaleut-bandung-lautan-api-20-03-2011

Mengenal Peristiwa Bandung Lautan Api dan Mohammad Toha bersama Komunitas Aleut!

Oleh : Pipin Pramudia

Seperti pada biasanya ketika senggang, setiap hari Minggu kita selalu jalan jalan bersama Komunitas Aleut, entah jalan kaki di kota, di gunung, atau keliling naik angkot, wisata sejarah, kuliner, dan sebagainya sebagainya.

Minggu ini 20 maret 2011, kita ngaleut! (istilah jalan jalannya) ke daerah Dayeuh Kolot untuk mengetahui peristiwa Bandung Lautan Api dan peledakan gudang mesiu oleh Moh. Toha dan Moh Ramdan, jujur saya sering dengar nama Moh Toha dan saya juga sering lewat jalan Moh Toha, tapi baru tahu kalau Moh Toha adalah pelaku dan gugur dalam peledakan gudang mesiu di Dayeuh Kolot, usia Moh Toha ketika itu baru berusia 19 tahun.

Ternyata Moh Toha ini hingga sekarang belum juga diangkat statusnya sebagai pahlawan nasional, terjadi banyak kontroversi mengenai kebenaran Moh. Toha sebagai pelaku peledakan 1100 ton bubuk mesiu di gudang mesiu milik jepang. Ada yang mengatakan bahwa waktu itu Moh. Toha sudah tertembak dan memutuskan untuk berjibaku, ada juga yang mengatakan bahwa peledakan memang sudah direncanakan. Dikatakan ada tapi tidak ada bukti, dikatakan tidak ada tetapi banyak saksi yang menyatakan bahwa pelaku peledakan memang Moh. Toha.

Terlepas dari kontroversi tentang kepahlawan Moh. Toha, saya yakin jika beliau nya sendiri tidak membutuhkan itu.

Setelah puas berfoto foto dan berpanas panasan di Monument Bandung Lautan Api, kita mengunjungi makam makam Bupati Bandung seperti Raden Wiranatakusumah, Raden Astamanggala, dan bupati lainnya, jujur saya kurang paham dengan sejarah Bandung. Yang saya tahu hanya sedikit cerita tentang kerajaan Sunda Galuh dan Sunda Pakuan, tahu sedikit tentang Raja Linggabuana yang tahtanya diwarisi oleh anaknya Wastu Kencana yang kemudian bergelar Prabu Siliwangi. Itu tahunya juga dari novel Gajah Mada.

Oke balik ke Aleut, setelah berfoto foto di komplek makam, kita melanjutkan perjalanan ke banjaran untuk mengunjungi situs Bumi Alit, sebuah rumah adat sunda, bertemu dengan juru kunci yang umurnya mmmhh, pokoknya sudah tua lah, briefing dikit dengan bahasa Sunda yang sudah susah lagi untuk saya trace artinya, melainkan sedikit.

Saat yang paling mendebarkan adalah ketika si juru kunci mendatangi saya (yang bukan orang Sunda) mengajak saya ngobrol dengan bahasa sunda, saya tegang sekali waktu itu karena bener bener tidak terdeteksi bahasanya, saya tertawa dan senyum seolah olah saya mengerti, namun kecut sekali, tangan saya di sebelah si juru kunci melambai lambai ke kang Asep minta pertolongan. Untung kang Asep cepat datang dan menyelamatkan saya, satu satunya yang bisa saya tangkap adalah bahwa tiga tahun yang lalu datang seorang Prancis, menitipkan sebuah barang yang entah apa itu kepada beliau dan sampai sekarang tidak kunjung diambil.

Next, perjalanan berikutnya adalah melihat desa Cieunteung apa ciotong gitu di kawasan Baleendah yang selalu terendam banjir setiap terjadi hujan lebat, daerah ini terletak di pertemuan Sungai Citarum dan Sungai Cikapundung. Pergi ke kawasan ini lumayan bikin miris, rumah rumah sebagian besar sudah ditinggalkan oleh penghuninya, karena terendam banjir sedalam dua meter, sekolah kosong, dan di garasi beberapa rumah yang sudah ditinggalkan terdapat perahu. Sampah dimana mana, ketika kami mengunjungi pertemuan dua sungai tersebut, yang saya amati sampah sebagian besar berasal dari Sungai Cikapundung yang mana itu pasti berasal dari warga bandung, entah warga bandung asli entah pendatang, melihat ini rasa rasa nya pantas kalau warga yang membuang sampah seenaknya ke sungai di penjara atau dihukum dengan hukuman berat lainnya.

Setelah jalan seharian, perjalanan diakhiri dengan minum minum dan review di Kupi Gayo di daerah Buah Batu, kopi gayo presso dinginnya enak sekali :)

Sumber pendukung : dari berbagai sumber, dan foto foto segeramenyusul

Original post : http://journalight.wordpress.com/2011/03/20/mengenal-peristiwa-bandung-lautan-api-dan-mohammad-toha-bersama-komunitas-aleut/

Secabik Cerita Komunitas Aleut!

Oleh : Catra Prathama

Kali ini saya tidak akan cerita tentang perjalanan-perjalanan bersama aleut. Karena saya yakin ada seratusan catatan perjalanan yang telah dibukukan, eh di posting di http://aleut.wordpress.com/ .Ya, kami menamakan komunitas ini dengan Komunitas aleut. *bukan kami juga sih, tapi orang2 sebelum kami masuk*. Aleut dalam bahasa sunda artinya berjalan beriringan. Kita selalu terlihat berjalan bergerombolan di pinggir jalan, kadang di pematang sawah, kadang di tengah pemukiman penduduk, bermacam-macam.

 

Awalnya saya menemukan tulisan seorang penggiat aleut di salah satu situs komunitas. Saya telusuri dan akhirnya saya nekat datang sendiri tanpa diajak oleh siapapun. Saya coba sms Contact Person nya, dan dibalas kumpul di depan gerbang ITB jam 7 pagi. Buset, kala itu memang siklus tidur saya sedang tidak teratur. Kebanyakan begadang dan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna.

 

Sembari menganggap enteng, saya mencoba cari sarapan dulu dandatang jam 7.30 ke depan gerbang ITB. Ternyata tak ada satupun orang yang berkumpul. Usut punya usut ternyata rombongan telah pergi menelusuri gedung-gedung kuno ITB dan saya ditinggal. First Impression yang luar biasa menyadarkan saya akan selalu tepat waktu.

 

Komunitas ini awalnya didirakan oleh sekumpulan mahasiswa sejarah Unpad kira-kira 6 tahun yang lalu dan dinamakan Klab Aleut, komunitas pencinta sejarah dan apresiasi wisata. Setiap minggu selalu punya kegiatan, entah itu menelusuri peninggalan sejarah, menikmati wisata alam, mengunjungi tempat purbakala dan sebagainya.

 

Komunitas ini dibangun tanpa memikirkan profit apapun dan tak menerapkan ikatan apapun terhadap pegiatnya. Semuanya berkumpul disini dengan semangat anak muda dalam mengapresiasi dan mencintai kotanya. Mencintai kota tak harus dengan ide-ide kosong bualan tanpa realisasi. Cukup dengan hal-hal kecil, seperti kita ngaleut tanpa membuang sampah, menulis catatan perjalanan dan menyebarkan pengetahuan kota nya kepada teman-teman, menghormati penduduk dimana tempat yang kita lewati dan lain sebagainya.

 

Memang, dalam setiap perjalanan rasa penat menghampiri kita semua. *maklum, kita jalan kaki gan!!* Tapi rasa itu dapat dikalahkan dengan semangat kekeluargaan yang kita punya. Kita berjalan tanpa ada sekat-sekat pembatas apapun itu. Ada bapak guru, ada ibu dosen, Ibu guru SMP, Mahasiswa, Pelajar SMA , penulis. Ada mahasiswa UPI, Unpar, Maranatha, ITB, Unpad, enhaii. Ada tua, muda, kasep, geulis beriringan berjalan di pinggir jalan di tengah terik matahari bersama-sama. Tidak hanya berjalan, kalau bosan keluar, kita di hari minggu kumpul untuk nonton bareng, mengapresiasi musik, atau hanya berbagi cerita masa kecil kita.

 

Ada beberapa hal menarik yang saya dapatkan disini

  • Apresiasi, Setiap akhir sesi kita selalu mengeluarkan pikiran kita saling ngeresume dan berdialektika sesuai dengan gaya kita masing-masing. Bermacam-maca ciri khas dari berbagai pegiat. Tentunya kita masing-masing menginterpretasikannya dari sudut pandang kita masing-masing
  • Wawasan, Setiap perjalanan saya selalu mendapatkan hal-hal baru yang selama ini luput dari pengetahuan saya. Entah itu info sejarah, info bangunan tua, rute kota, cara menjepret kamera yang bener, cerita rakyat hingga lokasi wisata kuliner yang berasal dari referensi temen2 aleut. :p
  • Teman Baru, Tentunya ini menjadi salah satu hal yang menarik karena kita bertemu dengan berbagai orang dari latar belakang berbeda, suku berbeda, umur yang beda, kampus yang beda. Disini saya selalu mencuri ilmu-ilmu mereka dan mereka pun mengikhlaskan ilmu itu untuk saya dan pegiat lainnya. *Sssttt salah satu sesepuh aleut bahkan bukan orang sunda asli lho*.
  • Dan yang paling penting adalah, Have Fun, disini hampir semua pegiat merupakan orang yang gila tak peduli entah ia adalah seorang lulusan S2 luar negeri, entah itu seorang penulis, entah itu dia seorang kasep seperti saya, semua nya bercengkrama saling bercanda satu sama lain yang tak jarang mengocok perut saya
  • Everysunday is a new experience. Selalu ada hal baru yang saya dapatkan walaupun dengan rute yang sama. Entah itu pelajaran langsung dari narasumber ataupun celetukan-celetukan para pegiat yang sangat bermanfaat

 

“belum lengkap ke Bandung kalau belum Ngaleut“, imbuh Prince of Majalaya

 

 

Disclaimer: Saya bukan seorang marketing komunitas, semua ini penilaian subjektif saya yang juga manusia ganteng biasa 🙂

Pabrik Kertas Pertama di Indonesia, Nasibmu Kini…

Oleh : Noviana Dewani

Hari ini kali ketiga saya ikut ngaleut, sebelumnya saya ikut ngaleut cikapundung dan Romantika cinat Inggit ganarsih.  Sebenarnya hari ini gak ada agenda untuk ikut aleut. Tapi dari pada semua gak pasti jadi mending saya ikut ngaleut, sekalian refreshing dan pengen tau juga tentang pabrik kertas.hehe

berhubung tidak di agendakan, maka saya pun bangun telat, mencari referensi tugas dahulu, santai-santai dan berangkat pakai kereta jam 8.10. dengan asumsi kereta itu adalah kereta yang pertama ke padalarang diatas jam 8. jadi saya tidak akan ditinggal oleh Aleut!.hehehe.

Dengan menumpang Kereta Baraya Geulis dengan jadwal 09.12, para aleutian berangkat menuju padalarang. Saya sendiri baru tahu kalau di Padalarang itu ada pabrik kertas. Yang saya tahu hanya Kota Baru Parahyangan, Tebing Citatah. Sampai padalarang, menyusuri jalan yang lumayan tidak panjang, sampailah kami di PT. Kertas Padalarang. PT. Kertas Padalarang ini merupakan pabrik kertas pertama yang ada di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan ini merupakan milik Belanda, dan merupakan salah satu cabang pabrik kertas yang ada di  Belanda. Dan masyarakat sekitar pabrik ini pula mengenal pabrik ini dengan sebutan PN Kertas, bukan PT kertas.

PT. Kertas Padalarang ini memproduksi dua jenis kertas, yakni jenis sekuritas dan jenis kertas sigaret. Kertas sekuritas adalah kertas yang memiliki ciri-ciri khusus atau memiliki tanda pengamanan agar tidak bisa ditiru. maksudnya dapat diketahui mana yang asli atau kalau ada yang palsu bisa diketahui. Contoh kertas sekuritas antara lain ijazah, cek, label roko bea cukainya. Intinya yang ada seperti hologramnya. Sekuritasnya sendiri ada beberapa macam, misalnya yang memang dengan bahan kimia, kertasnya akan mengalami perubahan. atau dengan komposisinya sendiri.

Bahan utama pembuat kertas selain serat-serat tanaman, yakni air. air yang digunakan untuk proses pembuatan kertas ini didapat dari kaki gunung yang berjarak sekitar 5 km dari pabrik kertas ini. Debit yang diperlukan pada dahulu kala sekitar 18 liter per detik, sedangkan sekarang bisa sampai 80 liter per detik. Di halaman depan gedung utama, ada semacam tempat penampungan air berbentuk bulat dan berdiameter sekitar 5 meter. dahulu itu merupakan tempat penampungan air dari kaki gunung tersebut. namun sekarang tidak berfungsi seperti fungsi awalnya. sumur itu pun, memiliki panah yang berfungsi sebagai indikator  sumur itu penuh atau tidak. Kerenlah pokoknya! Karena sumber air itu pula, dahulu pabrik kertas ini didirikannya di Padalarang, bukan di daerah lain. Sangat penuh pertimbangan orang jaman dulu yah berarti. Oia, di sebelah rumah dinas administatur sendiri ada pohon yang unik. Bawahnya bukan kelapa, tapi diatasnya pohon kelapa. Bingung kan? Sama. Jadi inget sama pohon karet di sekolah SMA dulu.

Tidak terawat

Saatnya masuk ke dalam pabrik. Setelah menyimpan semua barang bawaan, kita mulai masuk untuk melihat bagaimana kertas itu diproduksi, walaupun saat itu tidak sedang produksi. Bangunan pabrik kayak bukan pabrik. Dibayangan saya, pabrik itu tidak seperti itu. Terawat, dan yaa gitulah. Kayak pabrik-pabrik yang ada di lumayan dekat rumah, Rancaekek, walaupun belum pernah masuk juga sih.hehe. kalau dipakai untuk syuting sinetron yang adegan penculikan, mungkin bagus. Saya hanya menyayangkan pabrik dibiarkan seadanya  seperti itu padahal ini milik pemerintah loh.. Malah cabangnya pabrik kertas ini, yakni PT. Kertas Leces pun sudah tidak beroperasi selama kurang lebih 6 bulan belakangan. Sungguh sangat disayangkan…

Import

Setelah selidik menyelidik dengan banyak bertanya, akhirnya saya tau kalau semua bahan produksi nya itu i-m-p-o-r-t. Bahan produksi di import dari kawasan eropa. Saya orang awam yang hanya tau kalau Indonesia itu punya hutan yang luas pun Cuma bisa prihatin dan bingung. Katanya karena kita belum bisa memproduksi kayu ke bahan setengah jadi, atau pulp.  Dan kayu pun memiliki harga jual yang lebih tinggi jika untuk bahan dasar mebel. Maka, dipilih untuk import, walaupun harganya tidak jauh berbeda, tapi kualitas pasti terjamin. Begitulah alasannya setelah saya banyak bertanya.

Lalu, mengapa tidak bisa bersaing dengan perusahaan penghasil kertas lainnya?

Perusahaan kertas lainnya itu memproduksi kertas dari awal sampai akhir sendiri. Dalam arti, mereka mengolah dari bahan mentah, sampai kertas itu sendiri. Mereka mempunyai hutan sendiri, dan lain sebagainya.

Yang masih saya tidak mengerti, kemana hasil hutan produksi Indonesia itu ya?!

***

Begitulah cerita ngaleut ketiga saya. Sungguh membuka wawasan baru, temen baru, pengalaman baru, kesan baru. Tidak lupa dapet makan gratis.haha. terimakasih banyak aleut!. Semoga bisa ikut ngaleut ngaleut selanjutnya.

Sumber : Perjalanan aleut PT. Kertas Padalarang, 6 Maret 2011

Kisah Sedih Penghasil Kertas Pertama di Indonesia…

Oleh : Akbar Nuzul Putra

Hai Aleutians!….

Setelah hampir 1 tahun ikut ngAleut!, akhirnya muncul juga tulisan untuk pertama kalinya.
Hehe…

Seperti isi SMS dari Indra, pagi itu para pegiat Aleut! udah pada ngumpul di depan Stasiun Bandung. Dari Stasiun Bandung para pegiat menggunakan kereta menuju Padalarang. Siapa sangka kalau objek yang akan kita tuju kali ini merupakan PERUSAHAAN KERTAS PERTAMA di Hindia-Belanda, yaitu PT. KERTAS PADALARANG (Persero).

PT KERTAS PADALARANG (Photo by: Ayu 'Kuke' Wulandari)PT. KERTAS PADALARANG (Photo by: Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Kali ini saya akan menceritakan sedikit Sejarah dari PT. KERTAS PADALARANG (Persero). Pada awalnya pabrik ini bernama Naamloze Vennootschaap (NV) Papierfabrieken Padalarang dengan Direktur pertamanya yaitu Ir. C.W.J. Hoyer. Perusahaan ini sendiri merupakan cabang dari NV. Papierfabrieken Nijmegen yang ada di negri Belanda sana.

Ir. C.W.J. Hoyer (Direktur Pertama NV. Papierfabrieken Padalarang)

Kenapa Belanda memilih daerah Padalarang??
Pada dasarnya selain menggunakan serat sebagai bahan baku, air juga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembuatan kertas. Setelah Belanda melakukan penelitian, maka ditemukanlah sebuah sumber air disebuah bukit yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Sumber air ini dapat mengeluarkan air sebanyak 18 liter/detik. Kemudian air ini dialirkan melalui pipa-pipa besar sejauh 5 kilometer menuju bak penampungan yang berada disekitar pabrik.

Penampungan Air yang sudah tidak terpakai (Photo by: Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Perkembangan NV. Papierfabrieken Padalarang
Semenjak awal berdiri, perusahaan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dibuktikan pada tahun 1935 dengan dibukanya sebuah cabang di Leces, Probolinggo – Jawa Timur. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1958 seluruh perusahaan-perusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia diambil alih oleh pemerintaha. NV. Papierfabrieken Padalarang salah satunya. Pada tahun 1960 perusahaan ini resmi berubah nama menjadi Perusahaan Negara (PN) Kertas Padalarang. Sedangkan untuk cabang yang ada di Leces dilepas menjadi badan usaha yang mandiri dengan nama PN Kertas Leces. Dan kemudian berubah lagi menjadi Perseroan Terbatas (PT) Kertas Padalarang dan PT Kertas Leces.

Walaupun berada dibawah pengawasan Kementrian BUMN, kondisi kedua perusahaan ini kondisinya sangat memprihatinkan. Semenjak 8 bulan yang lalu (sekitar Juni 2010) PT. KERTAS LECES yang memiliki pekerja sebanyak 2000 orang ini tidak lagi beroperasi karena pasokan gas nya diputus akibat tunggakan sebesar 41 milyar rupiah. Padahan gas alam merupakan Bahan Bakar Utama bagi PT. KERTAS LECES. Beruntung PT. KERTAS PADALARANG masih sanggup bertahan sampai saat ini dengan jumlah pekerja sekitar 350 orang saja.

PT. KERTAS LECES

Kondisi PT. KERTAS PADALARANG (Persero) saat ini….
PT KERTAS PADALARANG ini hanya memproduksi kertas security, seperti kertas ijazah, kertas cukai rokok, kertas sertifikat, kertas cek, dll yang hanya diorder oleh Pemerintah saja dan tidak melayani permintaan swasta, karena keterbatasan tenaga kerja dan kodisi mesin yang sudah sangat tua.

Rumah Residen yang saat ini digunakan sebagai Poliklinik PT KERTAS PADALARANG (Photo by: Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Suasana bangunan kantor dan pabrik saat ini tidak banyak mengalami perubahan semenjak perusahaan ini berdiri. Namun yang sangat disayangkan, banyak gedung-gedung yang kondisinya sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan tidak adanya biaya untuk melakukan renovasi bangunan tersebut.

Setelah menyusuri gedung-gedung perkantoran milik PT. KERTAS PADALARANG, kini saatnya para pegiat Aleut! diajak masuk ke dalam kawasan pabrik. Tetapi karena peraturan dari pihak perusahaan yang melarang membawa masuk kamera, sehingga tidak ada gambar/foto yang dapat diabadikan… :(

Pintu Gerbang Masuk PT. KERTAS PADALARANG (Photo by Yandhi Dephol)

Mulai dari Gudang Penyimpanan Bahan Baku. Di sini terdapat tumpukan pulp yang merupakan bahan mentah setengah jadi sebelum menjadi kertas yang berasal dari kayu. Kemudian pulp tadi di masukkan kedalam mesin penghancur dan di campur dengan air. Sehingga berbentuk mirip seperti bubur. Setelah itu bubur kertas tadi masuk ke dalam mesin besar berikutnya sehingga menjadi kertas dalam ukuran gulungan besar. Gulungan kertas yang besar tadi selanjutnya di potong sesuai dengan permintaan dan kebutuhan.  Dan siap dikemas untuk didistribusikan.

Sampai bertemu lagi pada kegiatan  Komunitas Aleut! berikutnya……
^_^

dipost juga di : http://tigoampeklimo.wordpress.com/2011/03/09/kisah-sedih-penghasil-kertas-pertama-di-indonesia/

PT. Kertas Padalarang, Kebanggaan yang Terlupakan

Oleh : Mondriadi

Minggu ini (6 Maret 2011), saya berkesempatan kembali bergabung dengan teman-teman dari Komunitas Aleut menjelajah sejarah di Bandung dan sekitarnya. Kali ini di sepakati point de rendevouz di Stasiun KA Bandung yang menghadap ke Jl. Kebon Kawung. Setelah melahap sarapan pagi lontong padang di Simpang Dago saya segera menemui teman yang sudah dari dulu pengen ikutan aleut tapi baru kesampaian sekarang ,Rony Saputra. Ada dua pilihan kalo mau ke stasiun dari Simpang Dago, naik angkot Stasiun – Dago turun di pintu masuk yang kecil atau Caringin – Sadang Serang turun di pintu masuk besar. Berhubung kami berdua perantau yang tidak hapal yang mana Stasiun kebon Kawung itu, jadilah kami nanya sama tukang parkir. Dengan lugas dan tegas beliau bilang,’ naek Caringin aja dek’. Oke deh pak, hatur tengkyu dan kami meluncur dengan angkot biru tersebut. Saya sedikit cemas sebenarnya karena wajtu udah jam setengah 8 lebih sedangkan janjiannya jam setengah 8 teng. Segera sms Indra Pratama, koordinatornya aleut, setelah dapet lampu hijau dari Indra buat ‘santei aja bro’ hati sedikit tenang. Setelah 10 menit di angkot, kami sampai di depan gerbang tujuan dan waktu menunjukkan 7.45. Sambil celingak-celinguk, 2 pemuda kasep ini mencari para pegiat aleut dan ternyata kenyataan emang pahit….belum pada ngumpul anak-anak. Selidik punya selidik ternyata kereta ke Padalarang berangkat jam 9.15, tau gitu gak usah buru-buru. Emang kalo udah kebiasaan tepat waktu gini susah ngilanginnya. Eh lupa, mau ngapain ke Padalarang ya??? Alah…ikut aja dulu ya….

Jam 8an para pegiat mulai banyak berdatangan dan segera dikoordinir membeli tiket kereta. Cukup dengan 5ribu rupiah Anda bisa sampai Padalarang dalam 20 menit. Berhubung masih jam 8an dimulailah acara perkenalan di ruang tunggu stasiun. Sebagaimana khasnya Komunitas Aleut, perkenalan selalu di penuhi tawa segar, pegiat baru dan paparazzi (Mbak Ayu ‘Kuke’ Wulandari, Kang Yandhi Dephol, Kang Nara Wisesa, Teh Yanstri, Bedu dll). Jadi seneng nih di poto hehehhee…..

Ruang Tunggu Stasiun BandungRuang Tunggu Stasiun Bandung (Courtesy of Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Waktu untuk boarding akhirnya tiba. Kesan pertama saya memasuki kereta ‘Wah gak kalah ama subway di Eropa nih’. Tapi saya terpaksa menarik kata-kata saya kembali setelah pedagang asongan lewat (doh). Harus saya akui kalo saya sangat excited karena udah lama gak naek kereta. Duduk di dekat jendela saya masih bisa lihat sawah dan rumah-rumah yang hanya berjarak 1 meter dari kereta (syerem…). Kembali perjalanan diisi oleh badut-badut Aleut which is everyone hahahahahaha (just kidding guys) membuat 20 menit berlalu dengan cepat. Mendarat di Stasiun Padalarang kita bisa tau kalo stasiunnya jadul juga dan relatif kecil mengingatkan saya dengan Stasiun Jatinegara yang juga kecil. Panitia penyambutan ternyata telah siap dengan Kang Oi sebagai kepala rombongan. Melangkah keluar stasiun kami berhenti sejenak untuk mendengarkan cerita dan ilustrasi dari Pak Guru Erik mengenai Stasiun, PT. Kertas Padalarang dan Pasar Padalarang. Diceritakan bahwa Pasar Padalarang yang terletak tepat di depan stasiun juga merupakan pasar lama terlihat dari gambar ilustrasi yang disediakan. Setelah puas dengan penerangan dari Indra dan panas terik kami berjalan kaki menuju lokasi berikutnya yaitu Kantor PT. Kertas Padalarang.

Berjalan selama 10 menit di bawah terik matahari pagi menjelang siang cukup menguras keringat saya. Untung saja kami telah sampai tujuan yaitu Kantor PT. Kertas Padalarang. Keringat saya sedikit kering melihat senyum dari para penyambut kami yaitu pejabat PT. Kertas Padalarang: Pak Joko, Pak Eman dan Kang Andri. Dengan semangat bapak-bapak ini bercerita bahwa alasan didirikannya pabrik kertas di sini karena daerah ini memiliki sumber air dengan debit yang konstan baik di musim hujan maupun kemarau. Ternyata para kompeni membangun penuh perjitungan juga, karena air adalah komoditi penting dalam pembuatan kertas. Dahulu debit airnya 18 liter/detik namun sekarang kebutuhannya 80 liter per detik oleh karena itu PT. Kertas Padalarang mengambil sumber air yang baru berjarak 5 km dari kantor di Mata Air Cimeta. Kita juga dapat melihat tempat penampungan air zaman dahulu di salah satu sudut kantor namun sudah tidak dipergunakan lagi karena sering bocor.

Pak Eman, Pak Joko dan pegiat Aleut di halaman kantor PT. Kertas Padalarang (Courtesy of Nara Wisesa)
Penampungan air yang sudah tidak terpakai, indikator penuhnya air bila panah menunjuk ke bawah (Courtesy of Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Sebelum lanjut, saya ingin bercerita sedikit mengenai sejarah PT. Kertas Padalarang ini. Berdiri tahun 1922 dengan Direktur Ir. CWJ Hoyer, NV. Papier Fabrik Padalarang merupakan pabrik kertas pertama di nusantara. Perusahaan ini merupakan cabang dari NV. Papier Fabrik Nijmegen dari Belanda. Perusahaan ini cukup berkembang sehingga pada tahun 1935 didirikan cabangnya di Leces, Probolinggo Jawa Timur. Perubahan terjadi ketika Indonesia merdeka, tahun 1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan peninggalan Belanda termasuk PT. Kertas Padalarang. Tahun 1960 nama perusahaan resmi menjadi Perusahaan Negara (PN) Kertas Padalarang dan cabang Leces dilepas jadi badan usaha mandiri dengan nama PN Kertas Leces.

Oya, kalo teman-teman ke Padalarang dan bertanya ke penduduk setempat, “Punten a’, PT. Kertas Padalarang dimana ya??” mungkin mereka sedikit bingung karena masyarakat setempat lebih mengenal sebutan PN untuk PT. Kertas Padalarang. Jadi nanyanya gini, ” Punten a, jalan ke PN mana ya??” itu mah pasti langsung di anter hihihihih….Walaupun dahulunya sama tapi sekarang PT. Kertas Padalarang dan PT. Kertas Leces beda nasib. Dengan kurang lebih 2000 karyawan, PT. Kertas Leces sudah 6 bulan berhenti beroperasi berbeda dengan PT. Kertas Padalarang yang masih mampu bertahan dan mempekerjakan 350 karyawan. Mungkin kita hanya bisa berkata, “Kasian ya….” PT. Kertas Padalarang sekarang hanya melayani produksi kertas sekuriti macam sertifikat, ijazah, cukai rokok dari Pemerintah tanpa melayani klien swasta dan juga melayani produksi kertas untuk pabrik UKM dan usaha rumahan. Sekarang PT. Kertas Padalarang berada di bawah Kementerian BUMN namun jarang di perhatikan oleh pemerintah.

Setelah menghabiskan waktu dan mendengar cerita dari bapak-bapak PT. Kertas Padalarang, rombongan berangkat menuju pusat kegiatan sebenarnya yaitu pabrik. Berjalan di pinggir jalan raya tanpa trotoar kami rasakan memang tidak nyaman tapi untunglah hanya sementara karena segera saja kami memasuki pekarangan suatu rumah tua. Dari penjelasan ternyata ini adalah residennya direktur NV. Papier Fabrik Padalarang yang sekarang sudah kosong dan tidak terawat. Suasana yang teduh membuat rombongan betah melepas lelah sementara di sini sambil mendengarkan cerita, poto-poto pre-wed atau mengamati pohon beringin beranak kelapa. Ya, percaya atau tidak dari dalam pohon beringin tumbuh pohon kelapa. Subhanallah….

Rumah Direksi dengan pohon unik di sebelahnya (Courtesy of Yandhi Dephol)

Saya sudah puas duduk di antara pohon karena jujur pegel banget saat tak lama rombongan bergerak menuju lokasi pabrik yang ternyata tepat di belakang residen direktur. Ternyata kantor, residen dan pabrik masih dalam satu komplek alias berdekatan. Melintasi sungai (atau selokan yah) kami sampai di pintu masuk. Menurut Pak Joko, dulu bahan baku di bawa dari stasiun ke pabrik menggunakan lori. Sekarang bekas rel lori tidak terlihat karena telah di timbun jalan raya dan tanah. Setelah rombongan tertib kami bersiap memasuki lokasi pabrik dengan syarat semua barang harus dititipkan termasuk kamera dan tidak boleh mengambil gambar alias motret. Mendengar briefing dari bapak sekuriti ini saya tau ada pegiat yang dengkulnya langsung lemes hahahahahaha. Segera kami memasuki lokasi pabrik dengan ringan karena tidak bawa tentengan.

Gerbang masuk pabrik (Courtesy of Yandhi Dephol)
Foto Keluarga (Courtesy of Yandhi Dephol)

Mirip hanggar pesawat, begitulah kesan pertama saya karena memang cukup besar. Di lokasi pertama kami bisa melihat pulp padat, conveyor belt yang terhubung dengan suatu bak besar yang tembus ke lantai bawah tanah dan besar sekali. Ternyata di sini pulp di jadikan bubur. Saya sentuh pulp padat yang berupa lembaran besar, keras dengan tekstur kasar. Kalo kata saya sih mirip kertas karton. Oya, mesinnya buatan Jepang seingat saya Yamatake dan sudah ada dari tahun 1975 dan belum pernah diremajakan. Pindah ke ruang berikutnya dan naik satu lantai saya melihat pipa, air dan mesin penggulung kertas mungkin ya. Proses apa yang terjadi di sini saudara-saudara?? Saya tidak tau karena terlalu excited jadi tidak mendengarkan penjelasannya. Maap kan……

Turun satu lantai, kami sampai di ruang yang luas saya tidak tau fungsinya apa cuma yang jelas di sini ada timbangan yang besar sekali dan injakannya menyatu dengan lantai. Saya tidak berani mencoba karena timbangan ini sangat akurat :) )

Nah, begitulah sedikit tur singkat kami di pabrik tapi perjalanan belum berakhir. Setelah mengambil tentengan kami pamit kepada bapak sekuriti. Di pintu pabrik kami “foto keluarga” dan melanjutkan perjalanan yang saya tidak tau tujuannya. Ikut we lah!!! Melintasi lapangan bola yang jauh sekali kualitasnya dibandingkan lapangan Eropa, pegiat aleut yang dahaga mencegat mang-mang jualan es keliling dan warung terdekat. Segerrrrrr….yuk ah jalan lagi!!!!!Memasuki gang sempit pemukiman penduduk rombongan keluar di area persawahan. Akhirnya lihat sawah juga setelah sekian lama. Tetap tidak tau tujuan saya ikuti saja kemana para pegiat melangkah, menyusuri pematang, poto di pematang sawah hingga saya terjerembab dengan sukses di pematang untung saja tidak ada yang tau dan pematangnya tidak becek. Sakitnya tidak seberapa tapi malunya itu lho…..Memasuki akhir perjalanan kami menembus pintu kecil dan keluar di pekarangan suatu SLB. Ya Anda tidak salah baca…Sekolah Luar Biasa ini dikelola oleh istrinya Pak Eman, Bu Eman. dahulunya merupakan SLB pertama di Bandung Barat. Di pekarangan ini ternyata Pak Eman dan keluarga telah mempersiapkan jamuan untuk kami. Saya tidak menyangka dan terharu. Untuk menghargai jamuan ini tanpa malu-malu saya segera menyerbu rujak dan ubi goreng yang dihidangkan. SO DELICIOUS….

Berfoto di sawah (Courtesy of Nara Wisesa)
Jamuan yahud (Courtesy of Nara Wisesa)

Sambil ngemil semua pegiat bergiliran berbagi pengalaman selama ngaleut kali ini. Di sini kita bisa melihat sudut pandang yang berbeda dari setiap orang terhadap satu objek, mencerahkan dan menambah pengetahuan. Setelah menghabiskan semangkuk besar rujak dan berpotong-potong singkong goreng, rombongan dikejutkan oleh jamuan. Nasi dan saudara-saudaranya menunggu untuk dicicipi. Mimpi apa saya semalam hahahaha…SIKAAAAAAAAAAAAAATTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!

Hadueh perut kenyang banget….nasi ikan goreng tahu tempe lalapan plus sambel memang tiada duanya sore itu. Makan dengan lahap dan poto keluarga mengakhiri acara ramah tamah ini. Setelah pamit kepada tuan rumah kami berangkat pulang diiringi awan hitam. Dan benar saja, tak berapa langkah dari SLB hujan turun dengan deras memaksa kami berteduh. Basah..basah..basah seluruh tubuh….Hujan berhenti rombongan kembali bergerak dan lagi-lagi saya tak tau tujuannya, ikut we lah!!!!Setelah jalan cukup jauh dan capek 15 menit mungkin kami sampai di depan Kota Baru Parahyangan. Tau-tau angkot udah nyamperin dan memang kami booking angkot buat ke Bandung. 35 orang dimasukin 2 angkot jadi deh ada yang terpaksa duduk di lantai. Kali ini angkot kita memasuki tol dan sial bagi angkot yang tidak saya tumpangi karena bensinnya seep…Kedua angkot pun berhenti di jalan tol dan para penumpang yang jarang-jarang berhenti di tol langsung jadi narsis termasuk saya. Cukup dengan 1/3 botol Aqua bensin, angkot tersebut kembali ngebut ke Bandung. Ternyata di sinilah perpisahan kami semua, saya memilih turun di Cicendo meninggalkan teman-teman yang lain sambil membawa banyak cerita di benak dan rasa letih….

Foto keluarga sebelum pulang (Courtesy of Ayu ‘Kuke’ Wulandari)

Sampai bertemu di ngaleut berikutnya kawan-kawan…

Belum ke Bandung kalo belum ngaleut……

Sumber :

– Perjalanan Aleut 6 Maret 2011

– http://pt-kertas-padalarang.com

– http://www.kertasleces.co.id

– Paparazzi Aleut

Diposting juga di :

http://momonchubby.wordpress.com/2011/03/08/pt-kertas-padalarang-kebanggaan-yang-terlupakan-part-1/

http://momonchubby.wordpress.com/2011/03/08/pt-kertas-padalarang-kebanggaan-yang-terlupakan-part-2/

Pertama… dan Selanjutnya Apa???

Oleh : Ujanx Lukman

PERTAMAX….

Sebuah kata yg sering ditulis pada setiap posting pertama di sebuah portal online, lalu seperti apakah  perjalanan “pertama” ke sebuah pabrik yang menjadi saksi sejarah “tirani” di Indonesia dan Bandung khususnya yang kemudian menyimpan banyak kontroversi. Pemirsa… ehh salah pembaca inilah notes investigasi…. (pake gaya In*r*t di <>tv)

Gedung dinas administratur PT. Kertas Padalarang

Penelusuran sebuah sejarah pasti membutuhkan bukti otentik, dari mulai fisik hingga fiktif. Dari mulai tertulis hingga tersimpan di dalam ingatan, sangat beruntung penelusuran kali ini semua aspek tersebut terpenuhi. Mari kita mundur beberapa puluh tahun ke belakang di saat Belanda masih menjajah Indonesia dimana pada saat itu hampir seluruh penduduk pribumi harus patuh kepada mereka.

Kekuasaan di atas segalanya

Untuk pertama kalinya Belanda membuat sebuah pabrik kertas di Indonesia yang merupakan cabang dari NV. Papier Fabriek Nijmegan sekitar tahun 1922 dan memilih Padalarang sebagai lokasi pabriknya. Alasannya karena daerah ini mempunyai mata air yang sanggup memenuhi kebutuhan operasional pabrik yaitu 80 liter/detik, dan untuk mesin-mesinnya langsung di import dari sana.

Gambar pabrik pada tahun 1923

Salah satu produksi unggulannya ialah kertas security, yaitu kertas yg hanya bisa dilihat dgn cara tertentu, contohnya kertas cukai pd rokok. Sst.. hanya kita aja yg boleh tahu, bahwa 39 persen dari pendapatan negara berasal dari cukai rokok dan penyumbang terbesarnya ialah Gud*** G***m. Jadi sangat wajarlah apabila pemilik perusahaan ini menjadi orang2 terkaya di Indonesia, teringat salah satu obrolan imajiner antara teman yg sudah saling akrab.

Teman 1 : Mengapa kamu suka merokok ??

Teman 2 : merokok itu menimbulkan suatu kebanggan dihadapan teman2

Teman 1 : emang klo merokok untung nya buat kamu apa ??

Teman 2 : klo uwis mangan ora udut enek, menyumbang ke negara, ikut nyumbang event yg disponsori oleh produsen rokok, klo tidak ada perokok ga akan ada siaran sepakbola di tv. Betapa berjasanya para perokok terhadap negara ini

Teman 1 : Emang kamu ga tau bahayanya merokok bagi diri sendiri dan sekitarmu ?? kan udah ada peringatannya di kemasan

Teman 2 : peringatan itu dibuat buat yg bisa baca. Sedangkan saya sekolah pun tidak, mana bisa baca

Peringatan pada kemasan rokok di Malaysia

Perjalanan ngAleut kali ini merupakan jalur terenak yg pernah dilalui karena cuma satu lokasi dan langsung finish serta ramah tamah. Didampingi oleh saksi sejarah dari perkembangan pabrik kertas pertama di Indonesia yaitu Bp. Suparman yang juga merupakan ayah dari pegiat Aleut kang Oi menjadikan kami serasa terbawa ke masa-masa Belanda. Pada masa jayanya dahulu, pabrik ini merupakan market leader di bidang kertas dimana semua kertas di Indonesia berasal dari sini. Namun sayang kunjungan Aleut kali ini, tidak dapat mendokumentasikan keadaan didalam pabrik karena kebijakan manajemen. Berdasarkan penuturan Bp. Suparman kebijakan tersebut diambil karena dahulu banyak kunjungan perorangan/organisasi yg ternyata berniat membajak resep dan cara pembuatan kertas di pabrik tersebut bukan kunjungan biasa, sehingga untuk menghindarkan kerugian yg lebih besar maka dibuatlah larangan tersebut. Ohh… ternyata bajak membajak emang dari dulu sudah ada.

Bp. Suparman yg sangat “perkasa”

Namun kini perusahaan yang telah berganti nama menjadi PT. Kertas Padalarang tidak seperti dulu, karena banyaknya saingan dan kurangnya modal menjadikannya terbatas memproduksi kertas dan hanya memenuhi beberapa pesanan dari BUMN dan perusahaan. Teringat pesan Bp. Suparman “kudu motekar” (harus kreatif) yg bisa menjadikan kita berhasil, karena kebanyakan tipe orang Indonesia adalah bosenan dan tidak focus menjadikannya sagala di embat tapi teu bisa-bisa .. ooh mudah-mudahan sanes abdi. Saat masih aktif bekerja, beliau setiap dua bulan sekali berkunjung ke luar negeri untuk menambah pengetahuannya tentang pembuatan kertas, yang menjadikannya bisa menduduki posisi penting di perusahaan tersebut.

Prjalanan yang diakhiri dengan ramah tamah di salah satu SLB pertama di wilayah Bandung Barat, yang juga merupakan inisiatif dari istri Bp. Suparman menjadikan ngAluet kali ini penuh dengan pengetahuan dan makanan..

Parasmanan di SLB pertama di Bandung Barat

Sungguh suatu kilas balik yg penuh makna dan pelajaran bagi kita sebagai generasi muda. Terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga besar Bp. Suparman atas jamuan dan berbagi pengetahuanya. Akhir kata tong kapok lamun kasumpingan pribados sareng rerencangan ti Komunitas Aleut, Hatur nuhun pisan …

Sumber : kunjungan ngAleut ke PT. Pabrik Kertas Padalarang pada 6-03-2011

Yang punya foto : Ayu “kuke”, Yandi Dephol, Ihsan “bedu”, Nara, googling

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑