Month: February 2011 (Page 2 of 2)

Kaos Aleut!

Ini kaosnya Komunitas Aleut! yang akan segera dibikin.

Bagi yang berminat bisa hubungi/sms Ridwan di 0899 718 3758, bagi yang mau pesan sertakan keterangan ukuran S, M, atau L, dan tangan pendek atau panjang. Untuk tangan panjang ada tambahan biaya sekitar Rp. 3.000,-

Harga Rp. 60.000,- bisa dibayar secepatnya saja.

Mohon bersabar karena pembuatannya tergantung jumlah pemesan atau kalau mau cepat ya secepatnya juga mengurus pembayarannya. Yang mau atau bisanya transfer via rekening bank, sms aja nomor di atas untuk mendapatkan nomor rekeningnya (BCA). Nuhun.

Terima kasih

 

 

Inggit Garnasih dan Runtuhnya Sebuah Stereotip

Oleh : Eka An Aqimuddin

Titik-titik air mulai merambat turun saat kami, aku dan dua orang teman, menghabiskan sisa hari selepas perkuliahan di sebuah kedai kopi. Suasana senja memang cocok untuk dilewati dengan berbagi tutur serta ditemani secangkir kopi hangat. Obrolan pun mengalir deras. Pada sebuah fragmen perbincangan itu, seorang temanku mengajukan sebuah usulan. “Kalian kalau cari istri atau pacar jangan pilih perempuan sunda!”. Mendengar itu aku hanya tersenyum. Kawanku yang lain bertanya balik. “Emang kenapa bu?” Rupa-rupanya ia gusar mendengar petuah itu. “Perempuan sunda itu matere alias pengeretan. Bisa-bisa bangkrut kalian dibuatnya.” Suara tawa pun kami pecah.

Tentu saja temanku itu tidak serius ketika mengajukan usulnya. Sebagai perantau di Bandung yang baru menghabiskan waktu dua tahun, asumsi yang dibangunya sudah tentu jauh dari valid. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana ia bisa mengatakan itu? Bisa jadi ia punya pengalaman buruk dengan perempuan Sunda, kemungkinan lainnya adalah ia hanya meneruskan omongan orang lain. Premis yang kedua lebih masuk akal bagiku, sebab aku juga pernah mendengar cerita “buruk” tentang perempuan Sunda yang seperti itu.

Yang pasti adalah bahwa temanku sudah jatuh pada salah satu kesalahan nalar (logical fallacies) sewaktu mengucapkan pendapatnya yaitu: stereotip. Ia terlampau mengeneralisir bahwa semua perempuan Sunda memiliki perangai yang sama. Padahal bisa jadi faktanya jauh berbeda. Untuk menunjukkan kesalahan temanku itu sebenarnya cukup mudah. Dengan menggunakan metode falsifikasi dari Karl Popper, maka mengajukan nama Inggit Garnasih menjadi suatu yang sahih untuk meruntuhkan asumsi tersebut.

Siapakah Inggit Garnasih itu? sependek pengetahuanku beliau adalah salah satu mantan istri Bung Karno. Berhubung aku tidak begitu tertarik dengan Si Bung Besar itu, –dan lebih tertarik kepada Bung Kaca Mata dan Bung Kecil—maka pengetahuan tentang Inggit Garnasih pun sangat minim.

Beruntung ada Aleut! di Bandung. Berdasarkan cerita-cerita dari perjalanan Ngaleut minggu lalu ke tempat kediaman Inggit Garnasih, maka sedikit banyak terkuak latar kehidupan perempuan kelahiran Banjaran, Kab. Bandung, seratusduapuluhdua tahun yang lalu itu.

Relasi Inggit Garnasih dengan Soekarno dimulai ketika Soekarno berkuliah di Bandung dan dititipkan ke rumah H. Sanoesi oleh mertuanya, yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Kondisinya pada saat itu adalah Soekarno dan Inggit Garnasih sama-sama telah memiliki pasangan. Soekarno beristrikan Oetari, putri dari H.O.S Tjokroaminoto sedangkan Inggit Garnasih bersuamikan H. Sanoesi, aktivis Sarekat Islam. Berdasarkan fakta itulah, aku tidak habis pikir, faktor apakah yang bisa membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menikah dan menceraikan pasangannya masing-masing? jika alasan mereka bercerai hanya untuk melapangkan jalan agar mereka bisa menikah, bagiku itu cukup mengecewakan. Faktanya mereka menikah dan yang dapat diketahui bahwa alasanya adalah cinta. Rasanya memang percuma untuk menasehati orang yang sedang di mabuk cinta, bukan? cinta itu buta kata-kata orang dahulu tapi Efek Rumah Kaca punya jawaban atas proposisi itu. Kalu cinta itu buta maka para penempuhnya akan tersesat.

Saat Soekarno dan Inggit Garnasih menikah, usia mereka terpaut jauh. Soekarno berusia 22 tahun dan Inggit Garnasih 33 tahun. Suatu peristiwa yang mungkin tidak lazim pada waktu itu tapi toh mereka tetap melakoninya.

Inggit Garnasih mengambil banyak resiko ketika memutuskan untuk menikah dengan Soekarno. Lazimnya, perempuan seumur Inggit Garnasih, lebih memilih kemapanan dan ketenangan hidup yang bisa jadi telah ia dapatkan dalam pernikahanya dengan H. Sanoesi. Akan tetapi, ia mempertaruhkan nasibnya. Dengan menikahi Soekarno, seorang aktivis kemerdekaan, Inggit tahu bahwa jalan hidup mereka tak akan mulus. Benar saja, untuk membiayai hidup mereka saja, Inggit lah yang bekerja keras untuk mencari uang dengan membuat bedak dan jamu, sedangkan Soekarno berkonsentrasi untuk berjuang demi republik. Apa yang dilakukan oleh Inggit Garnasih itu dapat bercerita kepada kita bahwa beliau adalah perempuan mandiri yang tidak banyak menuntut kepada suami, khususnya urusan materi.

Tapi, apakah Inggit Garnasih paham bahwa apa yang mereka lakukan di awal sebelum pernikahan mereka (baca:bercerai) mungkin saja dapat terulang? bisa jadi ia telah memperhitungkan itu, buktinya adalah beliau bekerja keras mencari nafkah membiayai rumah tangga mereka sehingga tidak terlalu tergantung kepada Soekarno.

Oleh karena itu, saat Soekarno kembali “menyandungkan dirinya” dalam urusan cinta saat dibuang ke Bengkulu, Inggit Garnasih dengan tegas menolak untuk menggadai cintanya. Ia lebih memilih untuk bercerai dengan Soekarno. Bagiku, pilihan Inggit adalah contoh sebuah pilihan yang lahir dari kepercayaan diri yang tinggi. Ia paham bahwa cinta adalah urusan yang bersifat pribadi dan tidak mungkin dibagi. Dan baginya, mungkin saja pernikahan tidak sesakral yang didengung-dengungkan banyak orang. Jika landasan pernikahan (baca:cinta) mulai menguap apalagi digadai, maka pilihanya hanya satu. Cerai!!

Kisah Inggit Garnasih, menurutku, dapat dijadikan contoh yang baik untuk meruntuhkan stereotip perempuan Sunda yang diasumsikan materialistis dan menyerahkan hidup seluruhnya kepada suami. Iya! Inggit Garnasih adalah teladan yang bisa dimajukan bahwa perempuan Sunda juga mampu mandiri, kerja keras dan memiliki prinsip. Jika demikian, maka stereotip yang mungkin telah bersliweran di banyak tempat dapat digugurkan sebab stereotip itu tidak hanya salah akan tetapi sesat pikir.

@eka_aa

INGGIT dan KOESNO not ANOTHER ROMEO and JULIET story

Oleh : Erik Pratama

Siapa tak kenal ROMEO dan JULIET kisah cinta sepanjang masa karya penulis Shakespeare. Kisah mereka dibuat dengan berbagai macam versi. diperankan actor dan aktris Holiwud ternama. Kisah cinta dua insan  manusia dari keluarga yang selalu bermusuhan.

Lalu apa hebatnya cinta mereka?cinta mereka tak menghentikan pertikaian dua keluarga, bahkan cinta mereka tak menyatukan mereka. Tapi bukankan mereka bersatu di alam sana, bahagia berdua untuk selamanya? Ah, entahlah..lagipula kisah mereka hanya kisah fantasi. Ada kisah yang lebih indah, kisah nyata dua insan manusia, kisah cinta yang melahirkan sebuah bangsa, Indonesia.

Inggit, lengkapnya Inggit Garnasih, bukanlah  Juliet yang berasal dari keluarga bangsawan ternama, ia hanya seorang wanita biasa lulusan sekolah agama setara SD ( sekarang yang kita kenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI)). Lalu apa istimewanya sosok Inggit?

Ia adalah wanita yang luar biasa, yang mampu memberikan apa yang ia miliki untuk Koesno (Panggilan saying untuk Sukarno, Presiden Pertama Indonesia), suami yang sangat ia cintai. Di usia yang terpaut sekitar 12 tahun, ia tak hanya berperan sebagai seorang Istri bagi Koesno tetapi  juga sekaligus sebagai teman dan Ibu bagi Koesno.

[…]  the happiness  in new marriage would be  reached  if  the wife had been a combination  of  a mother,  lover  and  friend.  I wanted  to  be  cremated  by my soulmate.  When  I  got  cold,  I  wanted  to  be  massaged  by  her.  When  I  was hungry,  I wanted  to eat  the meals she cooked by herself. When my cloth was torn, I wanted my wife repaired it (Adams, 1965:76-77 dalam Andi Suwirta 2009).

Inggit lah yang mendorong Sukarno menyelesaikan studi nya di THS (sekarang ITB) baik secara moral dan juga materi. Inggit membantu perekonomian keluarga dengan menjual bedak dan rokok. Inggit pula yang secara tidak langsung membentuk karakter dalam diri Sukarno hingga ia manjadi politisi dan orator yang handal.

Inggit bagi Sukarno tah hanya tongkat yang menyangga jiwanya. Tetapi lebihdari itu, perempuan Sunda nan cantik itu adalah kekuatan yang tak bisa dicari bandingannya.(Reni Nuryanti : 2007,6)

“Aduh, Nggit, aduh bagaimana jadinya kalau Nggit tak dapat lebih bersabar dari Koes? Koes memang lemah Nggit, Koes butuh itu”, nada suara Papi (panggilan Ratna Juami pada Sukarno) melemah. Dan aku yang jadi  pendengar jadi terpesona. Saat itu aku betul-betul merasa bahwa kekuatan yang ada pada Papi saat ini bersumber dari Ai (panggilan Ratna Juami untuk Inggit) (Lily Martin : 1992 dalam Reni Nuryanti : 2007)

Saat Sukarno aktif dalam pergerakan nasional , Inggut setia menemaninya, bahkan saat Sukarno dipejara Inggit lah yang menjadi penghubung Sukarno dengan dunia Luar.

Saat Sukarno dibuang ke Ende, Inggit tetap setia menemani di tempat pangasingan itu.

Inggit  never moaned  and  complained.  It was  her  fate  in  this  life  to  give me thinking composure and give me help lovely, not complicate my problems. But I also felt that she was suffering. […] it was very irritating for a wife to see her husband  taken  away  from  his  living  strength,  from  his  wishes  and  his happiness (Adams, 1965:171 dalam Andi Suwirta : 2009).

HIngga Sukarno dipindah ke Bengkulu dalam pengasingannya Inggit tetap setia mendampingi Sukarno. Di kota ini pula Inggit memutuskan untuk berhenti mendampingi Sukarno, lagi lagi karena ia sangat mencintai Sukarno. Ia memutuskan untuk mendampingi hingga di gerbang kemerdekaan merelakan posisi  Ibu Negara dengan segala kerelaannya.

“Tak ada manusia yang terlahir sempurna”  Begitu pula ibu Inggit. Di luar segala kelebihannya Inggit tak dapat menjadi istri yang sempurna bagi Sukarno. Dalam 20 tahun pernikahanyya Inggit tak dapat memberikan keturunan bagi Sukarno. Ini lah yang menjadi alas an Sukarno meminta izin untuk menikahi wanita lain, wanita yang tercatat sebagi Ibu Negara yang menjahit Sang Saka Merah Putih, Fatmawati.

[…]  in  his  40  years,  Soekarno  arrived  in  independence  gate.  Inggit  Garnasih took him safely there. she was not predestined to come to Istana Merdeka with Soekarno.  Soekarno  should  start  his  new  life  at  that  age  (Poeradisastra, 1988:ix dalam Andi Suwirta :2009).

Saya tidak dapat menjelaskan secara lengkap kisah Inggit Garnasih,namun rasanya tulisan teman-teman di aleut.wordpress.com lebih jelas dari  apa yang saya utarakan di sini.

Tak perlu lagi kita terpukau dengan kisah cinta Romeo dan Juliet, ada kisah yang jauh lebih memukau. Cinta Inggit untuk Koesno, cinta yang Tulus, Cinta yang tidak egois.

Semoga kelak saya juga mendapatkan sosok seperti Inggit (tentunya tak perlu lebih tua dari saya,hehe….)

Sumber bacaan :

Andi Suwirta(2009) Inggit Garnasih, Soekarno and  the Age of Motion in Indonesia. TAWARIKH: International Journal for Historical Studies

Reni Nuryani (2007) Perempuan dalam Hidup Sukarno:Biografi Inggit Garnasih. (Versi eBook yang tidak lengkap…hehe…)

Tulisan para pegiat aleut di aleut.wordpress.com

Cerita Pak Tito Zeni Asmarahadi (ahli waris Inggit Garnasih) pada ngaleut! 30 Januari 2011

Kutipan dalam bahasa inggris di atas idak saya terjemakhkan  karena say tidak tahu apakah kutipan tesrbut dalam bahasa inggris atau diterjemahkan ke bahasa inggris jadi saya biarkan apa adanya.

Foto foto Hasil Print Screen dari eBook Reni Nuryani (2007) Perempuan dalam Hidup Sukarno:Biografi Inggit Garnasih bisa dilihat di sini

http://www.facebook.com/album.php?aid=2071173&id=1300038060

Cek juga tulisan ini di berbagibelajar.blogspot.com

Cinta dan Inggit

Oleh : Nita Apryanti

Ngaleut hari ini tgl 30 januari, ceritanya mah menelusuri jejak2 percintaan antara Soekarno n Inggit Garnasih…

Seperti biasa, ngaleut penuh dengan teman baru, cerita baru, seu2rian, papanasan, moyokan batur, hehehehe resep tapi… o iya, yg paling lucu itu adalah julukan mbok Bariah dari Pa Tito… Siapa itu mbok Bariah, hanya Komunitas Aleut yg tau… wkwkwkwkwk…

Ngumpul di gedung merdeka, lanjut jalan ke dalem kaum. Sebenernya dalem kaum itu adalah nama julukan buat Raden Adipati Wiranatakusumah II setelah dia meninggal, dalem biasanya dikasih buat menak priangan setelah meninggal, trs karena makamnya terletak di daerah kauman, jadi aja disebut dalem kaum.

Lanjut lagi ke jalan Balong Gede, yg ada di belakang pendopo. Konon, di sebelah pendopo itu ada kolam besar yg banyak berisikan ikan ( jigana Wiranatakusumah nguseup wae….). Lanjut lagi ke jalan Sasak Gantung, dan berakhir di jalan inggit garnasih yg dulu disebut Ciateul…. Disinilah banyak cerita sejarah tentang ibu Inggit Garnasih.

 

Banyak orang yang tidak begitu kenal dengan Inggit Garnasih, termasuk saya yg hanya mengenal beliau sebatas istri kedua dari Soekarno. Ternyata, peran beliau begitu besar buat Soekarno. Awalnya Inggit Garnasih adalah istri dari H. Sanusi (dia adalah seorang politisi). H. Sanusi melihat bahwa sosok Soekarno itu sangat membutuhkan figur seorang wanita, dan beliau meminta Soekarno untuk menikahi Inggit Garnasih yg saat itu masih istrinya sendiri ( saya mah ga habis pikir, ko ada ya suami yg merelakan istrinya buat orang lain, fiuh….). Lalu diceraikanlah Inggit, dan Soekarno pun menikahinya. Disaat Inggit menjadi istri Soekarno, beliau begitu setia mendampingi suaminya. Dari pernikahannya itu, mereka tidak dikaruniai anak dan akhirnya mengangkat anak. Singkat cerita, Soekarno bertemu dengan Fatmawati, dan meminta izin kepada Inggit agar Soekarno bisa menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Karena Inggit tidak mau dimadu, akhirnya diceraikanlah Inggit. Lalu Inggit kembali kepada H. Sanusi, dan diterima dengan baik, tapi hanya sebatas hubungan persaudaraan saja.

 

Mungkin saya cuma bisa bilang SUBHANALLAH…. Betapa besar pengorbanan Inggit…. Dia rela mengorbankan hatinya sendiri untuk orang lain. Padahal mungkin di hati yg paling dalam, dia sangat sakit. Tapi hanya Inggit yang tau bagaimana hatinya saat itu.

 

Adakah wanita2 saat ini yang bisa seperti Inggit, mungkin saya hanya bisa meniru kesetiaan beliau, selebihnya?

Catatan Ngaleut! Jejak Cinta Bung Karno part 2 ; Romansa yang Menggetarkan Indonesia

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Ketika ketulusan dan pengabdian merupakan sebuah pilihan yang disadari maka akan menjadi bagian dari cinta yang sejati, namun ketika keduanya hanyalah sebuah tradisi maka hanya akan menjadi ironi.

 

Siang itu cuaca Bandung memang terasa panas, mungkin inilah bagian dari yang orang-orang sebut global warming, tapi mungkin juga bisa disebut sebagai sebuah peringatan dari Tuhan karena kita seringkali lupa untuk memberikan sesuatu ketika kita telah mengambil sesuatu dari bumi ini. Tapi cuaca panas ini tidak menghalangi kami Komunitas Aleut untuk mencoba menggali sedikit tentang kisah dan pemikiran Soekarno dan Inggit Garnasih, rasanya akan sangat malu apabila hanya karena  panas seperti ini saja kita sudah mengurungkan niat sedangkan jaman dahulu Soekarno tak pernah kenal lelah menantang bukan hanya panas atau dinginnya cuaca bahkan menantang maut sekalipun beliau tak gentar. Begitupun dengan Inggit Garnasih dengan kesabarannya menerima segala tantangan bukan sekedar hanya panas dan dinginnya cuaca bahkan kegetiran hidup pun beliau hadapi.

 

Kali ini kami akan menggali cerita dua sejoli ini langsung dari salah seorang ahli waris Inggit Garnasih yaitu Tito Zeni Asmarahadi, beliau merupakan putra dari Ratna Djuami yang merupakan salah seorang anak angkat dari Inggit Garnasih dan Soekarno, memang seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa Soekarno dan Inggit Garnasih tidak memiliki keturunan langsung. Rencana awalnya kami akan berbincang-bincang sekaligus melihat koleksi-koleksi peninggalan dari Inggit Ganarsih di dalam rumah kediaman Inggit Garnasih, namun karena yang memegang kuncinya berhalangan hadir jadi kami pun mengalihkan tempat berbincang ke teras belakang rumah tersebut. Karena kami yakin bukan masalah tempat yang akan membuat perbincangan ini penuh makna tapi isi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya lah yang akan memberikan nilai lebih.

 

Perbincangan dimulai dengan cerita awal mula kedatangan Soekarno ke Bandung yang diceritakan oleh Pak Tito. Soekarno datang ke Bandung dengan tujuan melanjutkan pendidikannya, selepas beliau lulus dari HBS di Surabaya pada tahun 1921 beliau memutuskan untuk kuliah di THS (Technische Hoogeschool) karena pada saat itu THS merupakan satu-satunya universitas yang ada di Hindia Belanda. Teknik sipil adalah jurusan yang dipilih oleh Soekarno, yang di kemudian hari menjadi dasar beliau merancang beberapa bangunan. Sebelum ke Bandung Soekarno telah lebih dahulu menikah dengan Oetari yang merupakan puteri dari HOS Tjokroaminoto yang mempunyai jasa besar kepada Soekarno selama Soekarno tinggal di Surabaya, maka pernikahan Soekarno dengan Oetari disinyalir adalah bentuk rasa hormat dan balas jasa atas kebaikan ayahnya Oetari. Di Bandung, Soekarno dan Oetari dititipkan oleh HOS Tjokroaminoto kepada salah seorang rekannya yang bernama H.Sanoesi, H. Sanoesi adalah seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam. H.Sanoesi pada saat itu telah mempunyai istri yang bernama Inggit Garnasih keduanya tinggal di rumah yang terletak di Jalan Kebon Jati. Ketika tiba di Bandung, Soekarno dan Oetari ditawarkan untuk memilih tempat kos selain dari rumahnya H.Sanoesi namun Soekarno menolak dan lebih memilih rumah H.Sanoesi sebagai tempat tinggalnya selama di Bandung, seolah-olah hal tersebut memang telah menjadi sebuah suratan dari Yang Maha Kuasa yang nantinya bakal mengantar Soekarno ke dalam sebuah romansa yang tak terduga.

 

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kab. Bandung, 17 Februari 1888, dari pasangan Ardjipan dan Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.
Pada usia 12 tahun Inggit sudah menikah dengan Nata Atmaja seorang patih di Kantor Residen Priangan. Perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi.

 

Seiring dengan jalannya waktu hubungan antara Soekarno dan Oetari ternyata tidak berjalan dengan baik, hal tersebut berujung pada keputusan Soekarno untuk menceraikan istri pertamanya tersebut dan mengembalikan Oetari kepada ayahnya. Selepas bercerai dengan Oetari, Soekarno praktis membutuhkan teman untuk berbagi keluh kesah atas semua persoalan yang dihadapinya, dan hal itulah yang membuat kedekatan anatara Soekarno dan Inggit mulai terjalin. H.Sanoesi pun melihat dan menyadari fenomena ini, namun entah apa yang terjadi H.Sanoesi dengan rasa ikhlas dan kebesaran hatinya rela untuk “menyerahkan” Inggit kepada Soekarno, hal yang mungkin mustahil terjadi pada saat ini atau bahkan pada saat itu sekalipun. Yang melandasi tindakan H.Sanoesi pada saat itu konon karena H.Sanoesi telah melihat bibit-bibit pemimpin besar pada diri Soekarno dan seorang pemimpin besar butuh wanita tangguh dibelakangnya, H.Sanoesi menganggap Inggit adalah sosok yang paling tepat untuk menjadi wanita tangguh tersebut.

 

Tak lama kemudian H.Sanoesi menceraikan Inggit, setelah melewati masa idahnya Inggit kemudian menikah dengan Soekarno pada tanggal 24 Maret 1923. Dalam surat nikah dicantumkan usia Soekarno 24 tahun, tapi yang sebenarnya baru 22 tahun (Soekarno lahir 6 Juni 1901), sedangkan usia Inggit tercantum 33 tahun, padahal yang sebenarnya telah 35 tahun (Inggit lahir 17 Februari 1888). Pengurangan jarak umur tersebut saya yakin bukan bertujuan untuk membohongi public melainkan bentuk saling pengertian dari keduanya untuk saling menjaga satu sama lain, karena saya yakin pada saat itu tak jauh berbeda dengan masa sekarang bahwa pasangan suami istri dengan jarak umur istrinya terpaut jauh lebih tua akan menimbulkan pendapat kurang baik dari masyarakat. Satu hal yang unik dan luar biasa dari pernikahan Inggit dengan Soekarno adalah adanya surat perjanjian yang berisi jika dalam waktu 10 bulan Soekarno menyakiti Inggit maka Soekarno wajib mengembalikan Inggit kepada H.Sanoesi, perjanjian yang mungkin kelihatan tidak lazim namun saya rasa hal ini merupakan bentuk kecintaan H.Sanoesi terhadap Inggit, walaupun dia telah merelakan Inggit namun H.Sanoesi tetap ingin menjaga Inggit dan surat perjanjian itulah yang menjadi jalannya.

 

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga suka dan duka dialami oleh pasangan Inggit dan Soekarno, bahkan mungkin lebih banyak dukanya dibandingkan dengan sukanya khususnya yang dialami oleh Inggit, salah satunya adalah kenyataan bahwa pasangan tersebut tidak pernah bisa mempunyai keturunan. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan tekad dari Inggit untuk tetap mendampingi Soekarno. Bahkan Inggit rela untuk bekerja keras mencari uang dengan membuat bedak dan jamu demi membiayai kuliah dan perjuangan Soekarno tanpa pernah mengeluh sedikit pun, mungkin agak terdengar konyol seorang wanita begitu rela membanting tulang berkorban untuk membiayai suaminya, tapi hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, Inggit dengan penuh kesadaran dan keyakinan mengambil peran tersebut karena yakin bahwa Soekarno adalah sosok yang akan membawa Indonesia ke dalam alam kemerdekaan, dan untuk mewujudkan hal tersebut maka Soekarno perlu focus dalam perjuangan melawan penjajah sedangkan Inggit yang mengambil peranan sebagai pemenuh kebutuhan rumah tangga.  Jadi bisa dikatakan bahwa Inggit bukanlah hanya seorang wanita yang diperah habis segala apa yang dimilikinya demi kepentingan Soekarno tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya menajdi hak dia, melainkan Inggit adalah sosok seorang perempuan yang mempunyai visi yang ingin membentuk Soekarno menjadi seorang yang bisa memberikan harapan bagi bangsa Indonesia.

 

Bung Karno merangkul Inggit dan Ratna Djuami,
sementara kartika duduk diantara dua murid Soekarno yang salah satunya menikahi Ratna Djuami

Dalam perjalanannya mendampingi Soekarno, Inggit selalu all out ini bisa dilihat dari kesetiannya mendampingi suaminya itu ketika masa sulit yaitu diantaranya ketika Soekarno di tangkap dan dipenjara, ketika diasingkan ke Ende sampai ketika diasingkan ke Bengkulu. Inggit bisa menjadi sosok Ibu ketika Soekarno membutuhkan kasih sayang Ibu yang memang tidak didapatkan terlalu banyak oleh beliau ketika masih kecil. Inggit bisa menjadi sosok istri yang mengerti kebutuhan suaminya setiap saat. Inggit bisa menjadi sosok kawan ketika Soekarno membutuhkan sokongan dalam perjuangannya, hal ini bisa terlihat salah satunya ketika Soekarno dipenjara di penjara Banceuy dan akan menghadapi persidangan di Lansraad, dalam persiapan penyampaian pledoi yang kemudian hari dikenal dengan judul Indonesia Menggugat, Soekarno membutuhkan bahan dan literature yang hanya bisa didapatkan di luar penjara, maka dengan kecerdikan dan ketulusannya Inggit rela berpuasa tiga hari demi mengecilkan perutnya sehingga bisa disusupi buku dan bahan literature lain yang akan digunakan Soekarno.

 

Namun kisah kebersamaan Soekarno dan Inggit tidak berlangsung selamanya dan sampai akhirnya keduanya harus berpisah. Kejadian tersebut bermula ketika Soekarno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu pada tahun 1938-1942, di Bengkulu Soekarno bertemu dengan gadis setempat dan jatuh hati kepadanya, gadis tersebut bernama Fatma. Dengan alasan Inggit tidak bisa mempunyai keturunan maka Soekarno meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatma untuk dijadikan istri kedua. Namun hal ini ditolak oleh Inggit dan Inggit lebih memilih bercerai dari pada harus dimadu, suatu hal yang menunjukan bahwa dibalik semua kelembutan, ketulusan dan kesetiannya tersimpan sebuah sikap yang memegang kuat prinsip, sebuah prinsip yang menjadi prinsip dari hampir semua wanita yaitu tidak rela kalau cinta dari yang dikasihinya terbagi. Dan dengan ketulusannya Inggit akhirnya merelakan Soekarno menikahi Fatma demi mendapatkan keturunan dan dengan ketulusannya pulalah dia rela bercerai dari Soekarno walaupun dia tahu hal ini berarti pula melepaskan sebuah harapan menjadi Ibu Negara. Sebuah ketulusan yang sangat luar biasa, ketulusan yang tak pernah mengharapkan balasan apapun dan dari siapapun bahkan mungkin dari Tuhan sekalipun. Mereka kemudian bercerai di pada tanggal 29 Feruari 1942 dan Inggit diserahkan kembali oleh Soekarno kepada H.Sanoesi namun bukan dengan tujuan untuk menikah kembali melainkan hanya untuk menjalin persaudaraan. Ada peribahasa Sunda yang Pak Tito sampaikan untuk menggambarkan kisah Inggit ini yaitu “Ka naraka katut turut, ka surgana henteu turut” (bahasa Indonesia ; ke neraka sempat ikut, namun ketika ke surga tidak ikut).

 

Setelah bercerai dengan Inggit dan kemudian menikahi Fatma, Soekarno tak lama berselang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1945 atau hanya berselang 3 tahun dari perceraiannya dengan Inggit. Hal inilah yang memunculkan sebuah istilah bahwa Inggit mengantarkan Soekarno ke pintu gerbang kemerdekaan, ya hanya mengantarkan sampai ke pintu tidak pernah masuk dan menikmati buah hasil dari perjuangan bersamanya tersebut. Setelah bercerai dengan Soekarno Inggit hidup sangat sederhana dan tetap berjualan bedak dan jamu untuk menghidupi keseharian bersama anak-anak angkatnya yaitu Ratna Djuami dan Kartika. Namun Inggit tak pernah sekalipun mengeluh atau menuntut kehidupan yang lebih baik kepada siapapun.

 

Status mungkin boleh saja menjadi mantan istri dan suami namun rasa cinta Inggit kepada Soekarno tak pernah lekang ditelan waktu, itu terbukti ketika Soekarno menjenguk Inggit yang tengah sakit, ketika itu Inggit berpesan kepada Soekarno bahwa baju yang dipakai Soekarno pada saat itu adalah pemberian dari rakyat, maka sudah sepantasnya lah Soekarno cinta kepada rakyat, sebuah pesan yang menunjukan bahwa Inggit sangat ingin Soekarno tetap sebagai sosok yang sempurna dan dicintai oleh banyak orang. Belum lagi ketika Soekarno wafat, Inggit yang ketika itu telah sangat renta hadir di Wisma Yaso untuk melihat lelaki yang dicintainya itu untuk yang terakhir kalinya, disana Inggit mengungkapkan rasa sayang untuk terakhir kalinya dengan kalimat  “Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun”(bahasa Indonesia ; Ngkus, ternyata ngkus mendahului, Nggit mendoakan) –Ngkus merupakan panggilan sayang Inggit untuk Soekarno-. Cinta Inggit kepada Soekarno memang luar biasa, suatu bentuk cinta yang sulit untuk mencari tandingannya.

 

Inggit ketika melayat jenazah Soekarno

 

Mudah-mudahan kisah Inggit dan Soekarno ini dapat menginspirasi dan menjadi bekal kita semua dalam menjalin hubungan dengan siapapun.

 

Jika kita ingin mencari tandingan atas ketulusan matahari yang setia menyinari bumi, kita bisa melihat ketulusan dan kesetiaan Inggit Garnasih sebagai padanannya.

 

Sumber :

Obrolan dengan Bpk. Tito Zeni Asmara Hadi, putra Ratna Djuami & Asmara Hadi, cucu Inggit Garnasih, pada tanggal 30 Januari 2011.

http://rgalung.wordpress.com/2011/02/01/273/

http://jabar.tribunnews.com/read/artikel/4437/inggit-garnasih-dan-batu-pipisan

http://rosodaras.wordpress.com/tag/inggit-garnasih/

Catatan Ngaleut! Jejak Cinta Bung Karno part 1 ; Sesuatu Yang Terlewatkan

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Sesuatu yang tidak tampak bukan berarti tidak berguna, bahkan mungkin sebenarnya kita sangat bergantung kepadanya, seperti udara begitulah kisah para  pejuang kita.

Hari minggu 30 Januari 2011, sebuah pagi yang cerah menjadi awal kegiatan ngaleut di penghujung bulan awal ini, saya memutuskan untuk ikut ngaleut dengan harapan dapat mencerahkan hati yang memang belakangan ini kadang tak secerah sang pagi.

 

Sesuai dengan isi sms yang saya terima sebelumnya, kami berkumpul di sebuah tempat yang terletak di Jalan Asia-Afrika Bandung, sebuah tempat yang menunjukan betapa majunya visi seorang Soekarno, sebuah tempat yang menjadi tonggak sejarah bagi banyak negara di kawasan Asia dan Afrika. Societeit Concordia atau yang sekarang menjadi Museum Konferensi Asia-Afrika pada masa colonial merupakan sebuah symbol dari rasisme kaum elite Belanda terhadap pribumi, tempat ini merupakan tempat berkumpul para elite Belanda untuk bersosialisai dengan sesama elite Belanda lainnya, ya hanya sesame elit. Tak ada seorang pun yang di luar golongan tersebut diperbolehkan menikmati fasilitas disini apalagi bagi pribumi. Dengan visi luar biasa yang Soekarno miliki, beliau menjadikan gedung bekas societeit Concordia sebagai tempat berlangsungnya konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang merupakan symbol perlawanan terhadap rasisme dan kolonialisme di Negara-negara Asia dan Afrika, beliau “menikam rasisme tepat di jantungnya”.

berkumpul di depan Museum KAA

Seperti biasa sebelum memulai perjalanan, kita melakukan sebuah “ritual” yaitu perkenalan dan pengantar perjalanan. Mungkin keduanya terlihat sepele, namun ternyata hal tersebut merupakan bagian penting dari kegiatan ngaleut. Karena dengan perkenalan, para peserta yang berasal dari berbagai macam latar belakang, asal daerah, asal tempat belajar maupun asal tempat bekerja diharapkan dapat mengenal satu sama lain dan menjalin pertemanan yang lebih erat pasca mengikuti kegiatan ngaleut ini, karena mungkin sesungguhnya interaksi social semacam inilah yang mempunyai nilai lebih dibanding bentuk interaksi social di masyarakat kita belakangan ini yang cenderung lebih senang berinteraksi jarak jauh via alat komunikasi ataupun dunia maya. Setelah melakukan perkenalan, disampaikanlah sedikit pengantar tentang sosok Soekarno dan Inggit Garnasih, awal mula kedatangan Soekarno ke Bandung dan sampai akhirnya bertemu dengan Inggit Garnasih.

 

Perjalanan kami dimulai dengan menyusuri jalan di samping Hotel Savoy Homann yang merupakan salah satu hotel yang mempunyai nilai historis bagi kota ini, kami lalu sampai di jalan Dalem Kaum lalu berbelok ke arah barat menuju arah alun-alun. Di kawasan ini banyak tempat untuk massage atau pijat dengan dekorasi yang menurut saya lebih mirip tempat hiburan malam dibanding dengan tempat untuk menjaga kesehatan tubuh. Bentuk dan dekorasi tersebut seolah-olah sedang menggoda lelaki siapa saja yang melintasinya untuk masuk dan memuaskan hasratnya. Entah dari sejak kapan bangunan-bangunan seperti ini muncul karena saya yakin pada awalnya kawasan ini merupakan sebuah kawasan yang sangat diagungkan dan dihormati, karena kawasan ini dahulu merupakan pusat pemerintahan kabupaten Bandung dan terlebih lagi di kawasan ini berdiri sebuah mesjid yang menjadi lambang dari sebuah keagungan dan kesucian, kalau saya memikirkan ulang tentang kawasan ini maka hanya akan menimbulkan kemirisan dan pertanyaan kenapa bisa para pembuat kebijakan tentang tata kota mengijinkan usaha-usaha semacam ini berdiri di sekitar mesjid Agung dan Pendopo Bandung yang dihormati.

 

Kami lalu berhenti di dekat jembatan yang terbentang di atas sungai cikapundung, disini kami membahas tentang sejarah kawasan dimana kami berdiri sekarang, mulai dari nama kawasan Regol yang merupakan perkampungan yang berada tepat di seberang kami. Regol yang kemungkinan namanya berasal dari kata Regal (Bahasa Belanda ; megah) yang dapat diartikan pula sebagai istilah untuk bangsawan, karena kawasan ini merupakan tempat tinggal bagi para abdi dalem atau pelayan bangsawan Bandung yaitu Bupati Bandung dan keluarganya, kawasan seperti ini terdapat pula di beberapa daerah lain, biasanya para abdi dan pelayan dibuatkan rumah mengelilingi rumah atau kantor dari bupati atau bangsawan tersebut. Selain regol kami pun membahas tentang penamaan Jalan Dalem Kaum yang tidak lain diambil dari julukan bagi Bupati Bandung ke VI yang sekaligus founding father nya Kota Bandung yaitu RAA Wiranatakusumah II. Julukan itu sendiri diberikan setelah RAA Wiranatakusumah wafat, beliau dimakamkan di belakang kauman (istilah untuk mesjid) maka dari itu beliau mendapat julukan Dalem Kaum. Dari tempat kami berdiri dapat disaksikan sebuah bangunan lama yang masih berdiri diatas aliran sungai Cikapundung, kami mengenal bangunan tersebut dengan nama Lido yang dahulunya merupakan toko furniture, mungkin bangunan tersebut menjadi satu-satunya bangunan di Kota Bandung yang berdiri di atas aliran sungai dan itulah yang menjadikannya unik.

Suasana Pembahasan Kawasan Regol, Dalem Kaum dan sekitarnya

 

Setelah membahas beberapa hal, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan ke arah barat lalu berbelok ke arah Jalan Balong Gede yang terletak di samping bangunan bekas bioskop Radio City atau bioskop Dian yang merupakan salah satu generasi pertama bioskop di Bandung, memang kawasan tersebut pernah menjadi kawasan bioskop dan tonggak perkembangan film di nusantara. Kami lalu menyusuri jalan balong gede dan berhenti sejenak di bagian belakang pendopo dan rumah dinas walikota bandung untuk sejenak mendengarkan keterangan tentang pendirian tempat tersebut yang sedikit banyak melibatkan sepenggal dari kisahnya Soekarno. Di dalam kompleks pendopo memang terdapat bangunan hasil rancangan dari Soekarno yang khas dengan ornament gada pada atapnya, entah apa yang hendak disampaikan Soekarno dengan memilih gada sebagai ciri khas bangunan-bangunan hasil rancangannya. Mungkin saja beliau ingin menunjukan keteguhan dan kekuatan karakter yang dimilki oleh beliau yang dilambangkan dengan gada tersebut.

Kawasan Belakang Pendopo

 

Di tempat kami berdiri ini  diceritakan pula tentang kisah seorang pejuang perempuan yang kemilaunya tersamarkan oleh kata “paling berjasa”, terus terang saya sendiri kurang menyukai kata “paling berjasa” ini karena setiap pejuang memiliki jasa dengan proporsinya masing-masing dan disadari atau tidak kata “paling berjasa” ini membuat jasa pejuang lain seolah terkubur waktu dan bukan tidak mungkin berujung pada pengkultusan seseorang. Sebagian besar masyarakat kita, mungkin termasuk saya masih memiliki mind set bahwa pejuang perempuan yang paling berjasa dalam hal emansipasi perempuan Indonesia adalah R.A Kartini, Memang Kartini memiliki peranan penting dalam perjuangan membela hak-hak kaum perempuan khususnya dalam bidang pendidikan, namun seharusnya kita juga mengangkat kisah-kisah perjuangan pejuang perempuan lainnya dengan lebih proporsional agar lebih akrab khususnya bagi siswa sekolah.  Pejuang yang kami bahas di tempat ini tak lain adalah Dewi Sartika, mungkin hampir semua dari kita familiar dengan nama Dewi Sartika, bahkan saya sendiri sempat bersekolah taman kanak-kanak yang memakai nama beliau sebagai nama institusinya, namun terus terang saya sendiri sangat sedikit mengenal tokoh ini karena seingat saya belum pernah diajarkan atau diperkenalkan secara detail selama saya di sekolah, atau mungkin memang saya saja yang tidak memperhatikan penjelasan dari guru.  Tapi yang pasti setelah saya mendapatkan keterangan tentang kisah perjuangan Dewi Sartika membuat saya sangat terkesan, ternyata jasa-jasa beliau sangatlah besar dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan terutama dalam bidang pendidikan, bahkan mungkin lebih nyata hasilnya dibandingkan dengan apa yang telah diperjuangkan Kartini. Salah satu kontribusi yang paling nyata adalah pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Saya jadi berpikir kalau memang ada hari yang dikhususkan untuk mengenang RA Kartini dan dinamakan Hari Kartini lalu  kenapa tidak ada satu hari lain untuk mengenang Dewi Sartika.

Dewi Sartika

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

 

Setelah puas bercerita kami lalu melanjutkan perjalanan ke arah pertokoan di kawasan kebon kalapa. Kemudian kami berhenti kembali di salah satu sudut pertokoan dekat persimpangan jalan dewi sartika dan jalan abdul muis atau lebih dikenal dengan jalan pungkur. Disini kami membahas tentang sepenggal kisah kehidupan Soekarno, di kawasan tersebut menyimpan beberapa jejak perjuangan dan kisah cinta Soekarno diantaranya adalah adanya rumah yang sempat menjadi tempat tinggal Soekarno dan Inggit Garnasih, rumah tersebut terletak dalam rangkaian rumah yang dikenal dengan “gedong dalapan” karena rumah-rumah dalam rangkaian tersebut berjumlah delapan rumah, konon Soekrano dan Inggit tinggal di rumah ketiga dari rangkaian gedong dalapan tadi, namun sayang tak ada sedikit pun yang tersisa dari gedong dalapan karena semuanya telah tergantikan oleh bangunan baru. Jalan di samping tempat kami berdiri pun konon adalah jalan yang sering dilewati oleh Soekarno ketika pulang pergi kuliah di THS (Technische Hoogeschool) yang sekarang menjadi ITB.  Konon juga di daerah ini adalah tempat berdirinya biro arsitek dimana Soekarno dan salah seorang sahabatnya Rooseno (seorang yang dikenal sebagai Bapak Beton Indonesia) meniti karier. Namun yang paling membuat saya tertarik adalah penjelasan tentang seorang tokoh yang namanya sekarang dijadikan nama resmi untuk jalan pungkur, yaitu Abdul Muis. Saya sendiri sebelumnya hanya sedikit mengetahui tentang sosok ini, beliau ternyata adalah seorang sastrawan dan wartawan yang cukup dikenal dan berjasa bagi Indonesia.

Abdoel Moeis

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).Beliau adalah salah satu yang aktif mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara.Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB). Beliau juga merupakan sastrawan yang cukup dikenal salah satu karyanya adalah Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972),diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia

Memang kita seringkali kita melewatkan hal-hal kecil yang sebenarnya menyimpan sebuah kebesaran dibaliknya.

 

Tujuan kami selanjutnya adalah rumah Inggit Garnasih yang terletak di Jalan Ciateul yang kemudian mempunyai nama resmi Jalan Inggit Garnasih. Untuk sampai ke jalan ciateul kami menyusuri jalan dewi sartika sebelah utara menembus terminal di samping ITC Kebon kalapa untuk kemudian sampai di salah satu bagian jalan Inggit Garnasih. Kami terus menelusuri Jalan tersebut dan pada akhirnya sampai di Rumah yang dahulu merupakan kediaman Soekarno dan Inggit Garnasih.

rumah Inggit Garnasih di Jalan Ciateul atau Jalan Inggit Garnasih No. 8

 

Namun karena kami tiba di tempat tersebut terlalu awal, maka pintu gerbangnya pun masih terkunci, untuk itu kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu sambil menunggu bapak pemegang kunci dating. Cendol Elizabeth yang terkenal itu pun jadi tujuan kami melepas lelah dan memang tidak menyesal kami memilih tempat ini, disini makanan dan minumannya enak dan yang lebih penting lagi harganya pun tergolong bersahabat. Kami pun menghabiskan waktu disini dengan suasana yang santai dan akrab sembari menyantap pesanan masing-masing yang sangat menggoda.

 

Keakraban yang terjalin ketika melepas lelah

 

Sekitar satu jam kami menghabiskan waktu untuk melepas lelah dan sekitar tengah hari kami pun bergegas menuju rumah Inggit Garnasih yang memang menjadi tujuan utama kami. Sambil berjalan, dalam benak saya sudah terbayang akan banyak sekali cerita-cerita dahsyat yang akan ditemui tentang kisah cintanya Soekarno dan Inggit Garnasih.

-Bersambung-

 

sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

http://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Moeis

Foto diambil dari koleksi pribadi penggiat Komunitas Aleut

Aleut! Inggit Garnasih

Aleut! 30.01.11.

Perjalanan hari ini pendek saja, jaraknya mungkin tidak sampai 2km, mulai dari Gedung MKAA sampai ke rumah Inggit Garnasih di Jl. Inggit Garnasih No. 8. Rumah ini mirip sebuah dapur. Dapur bagi perjuangan politik menuju kemerdekaan RI.

Banyak tokoh perintis kemerdekaan RI yang pernah menumpahkan ide-ide perjuangan mereka di rumah ini, Ki Hajar Dewantoro, Agus Salim, HOS Cokroaminoto, KH Mas Mansur, Hatta, Moh Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr Soetomo, MH Thamrin, Abdul Muis, Sosrokartono, Asmara Hadi, dan lain-lain. Di rumah ini pula diskusi-diskusi dilansungkan dan kemudian melahirkan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI, 1927), Sumpah Pemuda (1928), dan Partindo (1931).

Inilah rumah tinggal milik Inggit Garnasih, istri seorang intelektual muda yang kemudian hari menjadi presiden RI pertama, Soekarno. Inggit dilahirkan di Kamasan, Banjaran tanggal 17 Februari 1888. Pada usia 12 tahun Inggit sudah menikah dengan Nata Atmaja seorang patih di Kantor Residen Priangan. Perkawinan ini tidak bertahan lama dan beberapa tahun kemudian Inggit menikah lagi dengan seorang pedagang kaya yang juga tokoh perjuangan dari Sarekat Islam Jawa Barat, H. Sanoesi. Mereka tinggal di Jl. Kebonjati.

Tahun 1921, datanglah ke rumah mereka seorang intelektual muda dari Surabaya yang akan melanjutkan pendidikan ke THS (sekarang ITB). Saat itu Soekarno muda datang bersama istrinya, Siti Oetari, puteri dari Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Hubungan Soekarno dengan Oetari ternyata tidak pernah selayaknya suami-istri, Soekarno lebih menganggap Oetari sebagai adiknya saja. Di sisi lain, Soekarno menaruh cinta pada Inggit Garnasih.

Soekarno akhirnya menceraikan Oetari. Dan ajaib, H. Sanoesi merelakan Inggit untuk dinikahi oleh Soekarno. Mereka menikah pada 24 Maret 1923. Alasan apa yang membuat H. Sanoesi mau melakukan itu tetap menjadi misteri mereka hingga sekarang. Menurut Bpk. Tito Zeni, cucu Inggit, kemungkinan karena H. Sanoesi melihat ada banyak harapan perjuangan pada diri Soekarno. Untuk itu Soekarno memerlukan seorang pendamping yang tepat. Dan Inggit, bagian dari perjuangan Sarekat Islam, adalah perempuan yang paling tepat. Kemudian hari terbukti, Inggit selalu mendampingi Soekarno dalam setiap kegiatan politiknya.

Soekarno-Inggit sempat beberapa kali pindah rumah, ke Jl. Djaksa, Jl. Pungkur, Jl. Dewi Sartika hingga akhirnya ke Jl. Ciateul. Rumah terakhir ini menjadi pangkalan para intelektual muda dalam menggodok pemikiran-pemikiran kebangsaan Indonesia. Rumah ini juga dijadikan tempat penyelenggaraan kursus-kursus politik yang diberikan oleh Soekarno.

Inggit selalu mengambil peran terbaiknya sebagai pendamping dalam setiap kegiatan politik Soekarno, saat keluar masuk penjara akibat kegiatan politiknya, maupun ketika dibuang ke Ende, Flores (1934-1938), dan juga waktu dipindahkan ke Bengkulu (1938-1942), Inggit selalu di samping Soekarno.

Di Bengkulu, Soekarno menampung seorang pelajar, putri dari Hassan Din bernama Fatma. Soekarno dan Inggit tidak memiliki keturunan. Dengan alasan itu Soekarno meminta izin pada Inggit untuk menikahi Fatma. Inggit menolak untuk dimadu, dia memaklumi keinginan Soekarno, namun juga memilih bercerai. Mereka kemudian bercerai di Bandung pada tanggal 29 Feruari 1942 dengan disaksikan oleh KH Mas Mansur. Soekarno menyerahkan surat cerainya kepada H. Sanoesi yang mewakili Inggit.

19 tahun sudah Inggit mendampingi Soekarno sejak masih berupa bibit intelektual muda dalam perjuangan memerdekakan Indonesia, pergelutannya dengan berbagai pemikiran kebangsaan, sampai pematangannya dalam penjara-penjara dan pembuangannya hingga ke Ende dan Bengkulu. Inggit mendampingi seluruh proses pembelajaran Soekarno hingga menjadi dan setelah itu kembali ke rumahnya yang sekarang menjadi sepi di Jl. Ciateul No. 8.

Inggit Garnasih menjalani pilihannya persis seperti yang digambarkan dalam judul buku roman-biografis Soekarno-Inggit karya Ramadhan KH, “Kuantar ke Gerbang” (1981), Inggit hanya mengantarkan Soekarno mencapai gerbang kemerdekaan RI, ke gerbang istana kepresidenan RI. Walaupun begitu, saya merasa lebih suka bila boleh mengatakan Inggit tidak sekadar mengantarkan, namun juga mempersiapkan Soekarno menuju gerbang itu. Soekarno kemudian memroklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan menjadi presiden pertama untuk periode 1945-1966.

Inggit sempat mengungsi ke Banjaran dan Garut pada masa Agresi Militer I & II (1946-1949) sebelum kembali lagi ke Bandung dan tinggal di rumah keluarga H. Durasid di Gg. Bapa Rapi. Rumah Jl. Ciateul rusak karena peristiwa Agresi Militer dan baru dibangun ulang dengan bangunan permanen pada tahun 1951 atas prakarsa Asmara Hadi dkk. Di sini Inggit Garnasih melanjutkan hari tua hingga akhir hayatnya. Inggit wafat pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun dan dimakamkan di permakaman Caringin (Babakan Ciparay), Bandung.

Soekarno wafat lebih dulu pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Inggit yang renta masih sempat melayat ke rumah duka dan mengatakan, “Ngkus, gening Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…”

Rumah peninggalan Inggit di Jl. Ciateul No. 8 sekarang selalu tampak sepi. Sudah bertahun-tahun sepi. Sempat terbengkalai tak terurus, kemudian dipugar hanya untuk menemui sepi kembali. Beberapa waktu lalu, rumah ini kembali mengalami beberapa perbaikan, temboknya dicat bersih dan di halaman depan dipasang bilah beton bertuliskan “Rumah Bersejarah Inggit Garnasih”. Mungkin sebuah upaya untuk menghargai sejarah yang sayangnya, tetap saja disambut sepi..

Memang begitulah apreasiasi kita terhadap sejarah bangsa sendiri, seringkali masih tampak lemah. Masih banyak di antara kita yang terus saja mengandalkan dan mengharapkan orang lain untuk melakukan sesuatu sementara kita duduk anggun membicarakan berbagai masalah dalam masyarakat tanpa pernah menyadari bahwa kaki kita tidak menjejak bumi, bahwa tangan kita tak berlumpur karena ikut berkubang dalam berbagai persoalan masyarakat.

Akhirulkalam, bagi saya, Inggit adalah seorang pendamping yang luar biasa, dia bukan pendamping yang sekadar melayani, melainkan pendamping yang menjaga, merawat, dan mengarahkan. Seorang pendamping yang berdaulat atas keputusannya sendiri.

Ridwan Hutagalung (http://rgalung.wordpress.com)


Semasa hidupnya Inggit Garnasih mendapatkan dua tanda kehormatan dari pemerintah RI. “Satyalancana Perintis Kemerdekaan” yang diberikan pada tanggal 17 Agustus 1961 dan “Bintang Mahaputera Utama” yang diserahkan di istana negara pada tanggal 10 November 1977 dan diterima oleh ahliwarisnya, Ratna Djuami.

• Nama Sukarno di sini masih ditulis dengan bentuk populernya, dieja dengan ‘oe’ menjadi Soekarno. Namun sebetulnya, sejak diresmikannya Ejaan Republik (sering disebut juga Ejaan Suwandi) pada 19 Maret 1947 menggantikan Ejaan van Ophuijsen, Sukarno menginginkan agar namanya juga dieja berdasarkan ejaan baru tersebut. Sementara mengenai tandatangannya yang masih menuliskan ‘oe’, Sukarno mohon permakluman karena kesulitan mengubah kebiasaan yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun.

Sumber

– Cindy Adams, 1966, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat, Gunung Agung, Jakarta.

– Obrolan dengan Bpk. Tito Zeni Asmara Hadi, putra Ratna Djuami & Asmara Hadi, cucu Inggit Garnasih, pada tanggal 13 dan 30 Januari 2011.

– Ramadhan KH, 1981, Kuantar ke Gerbang, Bandung. (Siapa penerbitnya ya?)

– Wiana Sundari (ed), Dra Eha Solihat, Drs. Eddy Sunarto, Dra., “Rumah Bersejarah – Inggit Garnasih”, Disparbud Pemprov Jabar, Bandung.

Foto :

– Hasil scan dari sumber bac Continue reading

catatan romantisme yang tercecer: Enggit – Kusno – Indonesia

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

30.01.2011 :: Rumah Bersejarah Inggit Garnasih

 

Aleutian di teras belakang rumah Ibu Inggit Garnasih

Rumah itu tertutup, terkunci. Mana bisa memaksa Pak Juru Kunci yang sedang sakit untuk tergopoh-terhuyung datang membukakan 🙂 Maka selazimnya Komunitas Aleut! yang aku kenal: tak ada rotan, akar pun jadi 😉 tak ada pintu yang terbuka, di teras belakang pun tak apa. Sergapan rasa nyaman yang sudah membaurkan diri dengan hasrat tubuhku yang ingin segera duduk sejak melalui gerbang besi di depan seperti sontak mendapatkan anugerah jawaban. Keinginan liarnya sih gugulingan di rumput halaman belakang 😛 untungnya si aku sedang cukup insyaf tidak melakukan “kegilaan” 🙂 jadi ya sudah, aku ikut duduk manis saja di pojokan antara 2 (dua) pintu (pintu belakang rumah dan ruang yang tak tahu berfungsi sebagai apa selain sebagai tempat penyimpan tampah anyaman). Tidak tidur, tidak juga mendengarkan Pak Tito (lengkapnya Tito Zeni Asmarahadi) yang bercerita dan berusaha menjawab pertanyaan kawan-kawan Aleutian. Ada sih sesekali malah ingin berlaku jail pada seseorang yang terkena dampak nikmat dari segelas Es Cendol Elizabeth dan seporsi Baso Tahu, tapi.. aahh.. biarlah 🙂 kapan lagi merasakan tidur siang di rumah bersejarah Ibu Inggit Garnasih kan?! *itu kata si korban kenikmatan itu sendiri loh.. beneurr..*

 

Rumah bersejarah Inggit Garnasih

Aaahh, sekelebatan detik aku mulai bisa merasakan ajakan bercakap-cakap dari Si Tanah 😀 iya, Tanah tempat rumah bersejarah ini berdiri. Masih, aku masih sekilas mendengarkan cerita mengalir dalam satu suara manusia, ditimpali suara-suara manusia lainnya. Hanya saja, Tanah bilang dia bisa membawaku lebih menyelami makna kisah cinta yang ia saksikan sendiri 🙂 apa aku bisa menolak? *kalo udah hapal kebiasaan si aku.. pasti ngerti.. heuheu..* Aku mengiyakan ajakan Tanah, sesekali ditimpali para Rumput muda, Pohon dan Tanaman dewasa. Aku sampai tak tahu harus memakai ekspresi yang mana dari sekian ekspresi yang Tuhan jadikan milikku sementara. Tanah membenarkan cerita Pak Tito, bahkan lebih 🙂 sangat lebih. Ingin menangis tak bisa. Senyum-senyum sendiri mungkin sudah tak sadar aku lakukan. Kalau lah boleh punya kesempatan belajar mencinta dengan segala kemewahan pengalaman seperti itu, sepertinya aku ingin meminta. Sekali, lalu mati bahagia 😀

 

Inggit Garnasih & Soekarno *sumber: google image

Coba lihat gambar potret pasangan di sebelah kiri ini. Apakah tampak jelas keduanya memiliki perbedaan usia 13 (tiga belas) tahun?? *perhitungan: Soekarno lahir 6 Juni 1901, Inggit Garnasih 17 Februari 1888, keduanya menikah 24 Maret 1923 * Karena, ya itulah faktanya. Inggit dan Soekarno bukanlah pasangan sebaya, bukan pula pasangan yang setara tingkat pendidikannya, berbeda latar keluarga , dan tak saling dalam keadaan bebas ketika tak sengaja terjerat cinta (Inggit masih berstatus istri Sanusi, Soekarno masih berstatus suami Oetari). Intens bertemu, bercakap-cakap saling tukar pikiran (yang anehnya tak timpang, saling menyesuaikan dengan seimbang), tampaknya Soekarno muda mulai merasa dan segera terbiasa dengan Inggit dewasa lalu yakin itulah “rumah” yang tepat untuknya. Bercerailah beliau dari Oetari, beberapa waktu kemudian tak ragu meminta Inggit pada Sanusi, sempat terkendala ketika akan melamar Inggit karena ayah Inggit melihat perbedaan yang terlalu timpang.

 

Ada yang tak masuk akal dengan kerelaan Sanusi akan Inggit. Inggit bukanlah seorang perempuan yang punya karakter “bergelantungan-mencekik”. Pasti tak mudah buat Sanusi. Beliau hanya manusia yang berjuang keras menyembunyikan getir dan pedih di balik senyum iklasnya menerima kejujuran dua anak manusia itu. Ketika beliau berhasil menempatkan cinta pada negara yang belum kenal pekik “merdeka” di atas kebutuhan cinta untuk dirinya sendiri, apa itu tidak luar biasa?!

 

Rasa kagum belum berhenti pada titik itu. Keluarbiasaan Sanusi, dijawab pula dengan keluarbiasaan lainnya oleh Inggit. Lihatlah betapa beliau mampu menyeimbangkan dan menempatkan dirinya dengan cerdas selama mendampingi Soekarno. Beliau tak punya waktu untuk minder dari perbedaan latar pendidikannya dengan Kusno kesayangannya itu. Inggit belajar, berusaha menyesuaikan diri. Romantisnya *heuheu.. menurutku ini romantis..* Soekarno muda pun paham bagaimana cara mengajari Enggit kesayangannya itu dan memperlakukannya tanpa merendahkan. Inggit pun seakan tak kenal berhenti menjadi perempuan yang pengasih dan mandiri, karena beliau paham betul Soekarno dan cita-citanya. Romantisnya *maap.. menurutku ini juga romantis..* Soekarno menjawab dengan bentuk kesungguhan berupaya mewujudkan cita-cita besar yang bukan hanya miliknya. Lalu ketika sang kekasih mulai mendapatkan cobaan tahanan dan pengasingan, Inggit tak pergi, beliau tetap ada ditempatnya sebagai istri, setia sekali. Lagi-lagi, romantisnya *biar bosan juga dah..* Soekarno menjawab dengan kesungguhan demi kesungguhan lagi, bisa mengusir keputusasaan yang tidak mungkin tidak pernah singgah dalam deraan keadaan saat itu. Bagaimana bisa untuk tidak mengatakan betapa luar biasanya itu semua?? Cinta yang seperti itu.

 

Aku terharu, tapi tak bisa mengeluarkan ekspresi yang bersesuaian dengan tepat. Cerita Tanah yang penuh visualisasi jauh lebih membekas dari apa yang disampaikan Pak Tito. Baru kali ini aku berhasil terserang rasa iri tingkat pembuka. Aku iri dengan apa yang dilalui Inggit! Perihal cintanya?? Bisa jadi.. iya 🙂 Perihal keiklasannya, mungkin itu yang lebih tepat mendekati.. iya 🙂 Kalaulah hati Inggit tak sepenuh cinta dengan kadar yang mungkin tak cukup muat sebumi ini, apa beliau akan sepenuhnya rela melepaskan Kusno kesayangannya menjadi pengumandang perdana kemerdekaan yang jadi cita-cita bersama justru didampingi perempuan lain? Inggit melakukan keluarbiasaan yang tak beda dengan apa yang sudah diterimanya dari Sanusi. Beliau merelakan tak jadi bagian pesta pora dari kelahiran buah cinta yang paling nyata, buah cinta murni Enggit & Kusno yang bernama Indonesia, buah cinta yang akhirnya menaungi banyak manusia ragam generasi hingga kini.

 

Ketika Tanah menutup ceritanya. Ketika sudah tiba giliran untuk menyampaikan apa yang membekas di hati dan kepala sebagaimana rutin dilakukan Aleutian. Adanya aku tak bisa mencegah untuk tak tergetar berkata,

 

“Aku makin bangga sebagai orang Indonesia. Karena ia lahir dari cinta yang sebesar itu.”

 

*maap.. dah ga kepikiran lagi gimana ini ending catatan ngaleut-nya.. mataku sudah membasah.. terharu..

 

P.S. : dimuat juga di http://kuke.wordpress.com/

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑