Month: February 2011 (Page 1 of 2)

Jadi Pemandu Wisata Kota Sendiri Yuk!

Oleh : Fadhli A.Sadar

Terbayang tidak,kalau suatu saat ada teman kita dari luar daerah, atau luar negri datang berkunjung ke kota kita? dan yang kita ceritakan paling tempat makan,minum, wisata, dan tempat hiburan lainnya. Akan sangat garing rasanya yang kita bicarakan hanya itu itu saja. Namun alangkah menariknya jika kita menceritakan tempat-tempat bersejarah yang ada di kota kita.

Nah dari gagasan tersebut komunitas Aleut ini, melaksanakan semacam pelatihan tour guide. Pelatihan tour Guide ini sebenarnya dilaksanakan untuk Aleutian,para pegiat komunitas Aleut, untuk menjadi pemandu acara-acara Aleut berikutnya nanti. Diharapkan Para Aleutian bisa membantu menjelaskan kepada peserta mengenai bangunan bersejarah sekitar Gedung Merdeka sampai ke Alun Alun kota Bandung, ujar Indra Pratama, koordinator komunitas ini.

Salah satu Aleutian, Pia Zakiyah, sedang melakukan simulasi menjadi seorang pemandu wisata di titik 0 kota Bandung (dok.fadhli)

Untuk jadi tour guide, haruslah memiliki wawasan yang baik mengenai kawasan yang akan kita terangkan nanti. Selain itu sopan santun dan wibawa sangat dibutuhkan dalam pemanduan agar,peserta tetap bisa menjaga sikap. penggunaan bahasa populer akan sangat membantu dalam menerangkan bangunan yang akan dikunjungi. Suara pemandu juga harus lantang supaya tidak ‘tenggelam’ dengan suara kebisingan lalu lintas.

Ketika suasana mulai dirasa membosankan, keluarkan candaan yang dapat mencairkan suasana. Satu lagi, terkadang peserta lebih senang jika ada cerita menarik yang unik dari kawasan yang akan dipandu. Misalnya,dulu pada saat Charlie Chaplin datang mengunjungi hotel Savoy Homann, banyak orang orang yang berkumpul mengerubuni depan hotel tepat di depan balkon ruangan hotelnya. Hal itu membuat sang bintang kesulitan untuk keluar dari hotel, dan akhirnya Charlie Chaplin pun mengakalinya dengan, menyewa aktor teater di sekitar Braga untuk berdandan seperti dirinya dan keluar untuk menyapa penggemar di balkon. Alhasil Charlie Chaplin, berhasil keluar melalui pintu belakang hotel,tanpa harus berhadapan dengan penggemarnya di Bandung.

Indiana Ayu, salah satu pegiat komunitas ini sedang melakukan simulasi pemandu wisata di depan Plakat Dasa Sila Bandung, depan Hotel Savoy Homan

Keuntungan jadi pemandu, selain menambah wawasan tentang sejarah kota Bandung, kita bisa memperluas jaringan kita, siapa tau ssalah satu peserta adalah seorang pemimpin perusahaan yang membutuhkan tenaga kita. Tertarik? kunjungi akun Facebook kita di Komunitas aleut, atau follow twitter kita di @KomunitasAleut

tulisan asli : http://fadhliakhmad.lokal.detik.com/2011/02/28/jadi-pemandu-wisata-kota-sendiri-yuk/

Berjalan, Belajar, Bersuka Ria bersama Komunitas Aleut!

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Bandung pagi ini cerah. Sangat cerah! Sampai-sampai Biru Langit dan Awan-awan saling berlomba ambil tempat di sana-sini. Kebetulan pula hari Minggu ini ada kegiatan “Bandung Lautan Sepeda”. Semestinya menyenangkan. Tapi dampaknya tidak terlalu menyenangkan karena kegiatan entah-berapa pihak lain jadilah terpaksa kehilangan ketepatan waktu pelaksanaan. Salah satunya ya kegiatan ngAleut kali ini o_O Tapi apakah kehilangan keceriaan?? ^_^ tentu tidak! Kami semua tetap bersemangat, berusaha fokus di antara deraan hiruk-pikuk yang melintasi Gedung Merdeka di Asia-Afrika, tempat berkumpul Aleutian kali ini.

Para Peserta Bandung Lautan Sepeda melintasi Asia-Afrika
Para Peserta Bandung Lautan Sepeda melintasi Asia-Afrika

 

Dalam rangka menyambut si hari Minggu yang cerah, Komunitas Aleut! mengadakan Latihan Pemanduan. Sesi kali ini bisa dinyatakan sebagai Sesi Pembuka dari rangkaian pelatihan rutin yang sudah menanti di depan. Obyeknya jelas: Bandung! Jalur yang dilalui adalah “Jalur Kelahiran Kota Bandung“. Subyeknya pun jelas: Sejarah! . Namun karena Sejarah itu adalah sesuatu yang lebih sering dikenal sebagai si-pembuat-kerut-kerut, Aleutian dikenalkan dengan cara penyampaian yang lebih asyik. Bagi yang belum pernah merasakan jalan-jalan bareng Komunitas Aleut atau Plezier Gedong Merdeka tahun lalu pasti belum punya bayangan deh ^_^ Tidak tertarik untuk sekali-sekali mencoba bergabung?!

Apa sih tujuan dari Latihan Pemanduan ini? Kepentingan pribadinya sih ya untuk regenerasi dalam Komunitas Aleut! sendiri. Namun, atas nama “Kontribusi bagi Lingkungan Sekitar” (baca: setidaknya demi Bandung, tapi harapannya sih bisa meluas ke lebih-dari-sekedar-Bandung) Aleutian disiapkan pula untuk bisa berbagi dengan bagian luar komunitas. Bagaimanapun Pengetahuan itu milik Dunia kan?! Wajib hukumnya untuk disampaikan ^_^

berhenti di Jembatan Penyeberangan, berpose sebentar, lalu menyimak kembali kisah tentang Swarha dan misteri angka 4 yang ditulis IIII di Jam Menara Mandiri
berhenti di Jembatan Penyeberangan, berpose sebentar, lalu menyimak kembali kisah tentang Swarha dan misteri angka 4 yang ditulis IIII di Jam Menara Mandiri

 

Oh iya, apa sih itu “Jalur Kelahiran Kota Bandung”?? Spot mana saja yang dikunjungi?? Apa saja ceritanya??

Wah wah wah ^_^ baiklah! Sebagian besar cerita lengkap dari masing-masing spot tersebut dipaparkan dalam blog Komunitas Aleut! Silakan mengunjungi ^_^ Ada pun spot-spot untuk “Jalur Kelahiran Kota Bandung” yaitu:

  • Tugu 0 (nol) Kilometer yang menyimpan kisah tentang tongkat-nya Eyang Daendels;
  • Hotel Preanger yang menyimpan memori Soekarno sebagai Drafter-nya Schoemaker;
  • Hotel Savoy Homann yang jadi pilihan Charlie Chaplin untuk menginap setiap kali ke Bandung;
  • de Vries yang merupakan Mal pertama di Bandung pada zamannya;
  • Kawasan Regol yang konon merupakan tempat tinggal bagi para abdi dalem atau pelayan bangsawan Bandung;
  • Bioskop-bioskop Tua di sekitaran Alun-alun Bandung;
  • Pendopo yang menyimpan hasil karya Soekarno sebagai seorang Arsitek;
  • Makam Dalem Kaum yang merupakan makam dari R.A. Wiranatakusumah II;
  • Toko De Zon dengan ornamen Matahari di bagian depan gedungnya;
  • Bangunan Hotel Swarha yang menurut kisahnya menjadi tempat menginap para tamu dan wartawan Konferensi Asia Afrika;
  • Penjara Banceuy yang sempat mengurung kebebasan gerak seorang Soekarno dan saksi pengorbanan Ibu Inggit;
  • Sumur Bandung *psstt.. ini bukan Jalan Sumur Bandung loh yaaa.. lokasinya ada di Jalan Cikapundung..* yang ternyata masih dijadikan lokasi ritual oleh pribadi/kelompok tertentu; dan
  • Gedung Merdeka atau yang kini lebih dikenal sebagai Museum Asia-Afrika.
Beberapa Rute Latihan PemanduanBeberapa Rute Latihan Pemanduan 

Meski cerah kemudian berganti menjadi relatif-panas-terik dan diakhiri dengan hujan, para Aleutian tetap ceria dan semakin tak sabar menanti sesi Latihan Pemanduan berikutnya. Semangat berbagi dan menularkan belajar-sejarah-yang-menyenangkan itulah yang menjadi bahan bakar ^_^v

Sampai jumpa lagi di ngAleut berikutnya ^_^ Selamat segera bergabung bagi yang mulai-penasaran, sudah-mulai-penasaran, sudah-mulai-penasaran-dari-dulu, siapa sajalah yang penasaran *_* Jangan kuatir tidak ada teman! Kami semua menyambut teman-teman baru di sini!

tulisan asli : http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/28/berjalan-belajar-bersuka-ria-bersama-komunitas-aleut/

Selayang Pandang Cina di Parijs van Java

 

Oleh : Mutiara Intan Permata

Mendengar kata Cina akan terbesit langsung dalam benak banyak orang termasuk penulis tentang karakter fisik orang cina yang tidak lain adalah berkulit kuning, mata sipit, dan berambut hitam lurus. selanjutnya hal itu diikuti dengan kenyataan bahwa bangsa cina unggul dalam bidang perekonomian, anda tentunya pernah mendengar lelucon lokal yang menyatakan “orang cina mah palalinter dagang nu matak beunghar (orang cina itu pintar dagang, sehingga mereka kaya)”, fakta unik tersebut membuat penulis melontarkan pertanyaan sederhana  “AADC (ada apa dengan cina?)

 

Sampai tanggal 19 februari 2011 penulis masih saja tidak memiliki ide yang cukup koheren dan signifikan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Semua praduga dan hipotesis masih terletak di area abu-abu tanpa memiliki kejelasan untuk digali. Sampai keesokan paginya penulis yang kebetulan berdomisili di bandung ini berinisiatif meluangkan waktu untuk ikut serta ngaleut bersama rekan-rekan Komunitas Aleut, mulai dari Gedung Konferensi Asia Afrika hingga titik akhir di Vihara Hiap Thian Kiong. Tentunya banyak sekali kepingan puzzle yang akhirnya terkumpul dari celotehan-celotehan para pegiat Aleut yang datang hari ini (20 februari 2011). Salah satunya adalah informasi mengenai pecinan atau pemukiman cina yang terletak di kota Bandung, pecinan ternyata merupakan perkampungan cina yang sejak jaman walanda telah dikonstruksi sosial dengan tujuan untuk menekan kekuatan masyarakat Cina tersebut sehingga mampu diatur dengan mudah oleh pihak Kolonis Belanda. Dan yang lebih mengejutkan lagi, pihak walanda sendiri dengan briliannya telah menerapkan sistem tersebut bukan hanya terhadap masyarakat cina (Tiong Hoa) namun juga kepada masyarakat timur asing yang diisi oleh warga Arab, India, dan ras berwarna lainnya. Ide yang sangat luar biasa bukan? Mengatur sistem sosial dengan memisahkan masyarakat berdasarkan rasnya masing-masing, keuntungan dari sistem ini selain untuk mempermudah control, namun juga untuk mengisolasi masyarakat tersebut dari etnis lainnya, karena jika terjadi proses pembauran antara masyarakat etnis satu dengan etnis lainnya, dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sepenanggungan yang muncul akibat kesamaan terjajah oleh pihak walanda. Jika sudah begitu, akan sulit sekali bukan mengatasi gelombang pemberontakan terhadap penjajahan walanda?

 

 

Selanjutnya fakta bahwa masyarakat Cina datang ke Parijs van Java melalui perniagaan merupakan hal yang tak terbantahkan, maka dengan cerdik pemerintah walanda memisahkan keberadaan mereka dari pribumi dan masyarakat timur asing, melokalisasi mereka di daerah-daerah konsentrasi (khusus untuk Bandung, ini terbentang di sekitar jalan Banceuy sampai jalan klenteng), padahal jelas-jelas mereka telah membantu pemerintah walanda dalam bidang perekonomian. Sekali lagi fakta sejarah menunjukan bahwa masyarakat Cina telah unggul di bidang ekonomi sejak dahulu kala!

 

 

Hal lainnya yang sangat identik dengan masyarakat Cina adalah kepercayaan mereka terhadap dewa-dewa dan dunia setelah kematian, temasuk proses reinkarnasi. Dimana hal tersebut telah diatur dalam ketetapan yang mereka yakini berputar layaknya roda. Namun kepercayaan masyarakat Cina di Indonesia telah mengalami proses sinkreitisme dengan Budha. Ini bukanlah tanpa sebab, hal ini terjadi tidak lain karena kebijakan Orde baru dengan jelas melarang segala jenis aktivitas berbau ‘Cina’ yang sebagian orang yakini sebagai indikasi ‘cina phobia’.  Inipun menimbulkan polemik berkepanjangan, sebab kebijakan tersebut menimbulkan Gap antara pribumi dan masyarakat keturunan Cina. Dampak lainnya adalah kepercayaan mereka pun (re: konghucu) dilarang. Dalam hal ini, Budha sebagai salah satu dari Agama yang diakui di Indonesia memberikan ‘sanctuary’ atau perlindungan berupa keleluasaan kepada masyarakat Cina untuk beribadah di dalam Vihara (tempat peribadatan orang Budha). Sisa-sisa sinkreitisme masih terlihat jelas sampai saat ini,jika tidak percaya! Coba tengoklah Klenteng atau Vihara di Indonesia, contohnya klenteng Hiap Thian Kiong di Bandung yang terletak di Jalan klenteng. Ketika berkeliling seputaran klenteng tersebut jangan terkejut bila menemukan patung Bodhisatva (nama lain Sidharta Gautama) berada disana, itulah bukti nyata dari proses sinkreitisme antara Konghuchu dan Cina.

 

Sampai saat inipun sisa-sisa peninggalan masyarakat cina terdahulu di Parijs van Java masih terlihat jelas, sepanjang jalan banceuy, jalan klenteng, pun asia afrika, masih dijumpai rumah-rumah tua yang dihuni oleh orang Cina, dapat dipastikan pula bahwa mereka telah menghuni rumah tersebut dalam waktu lama dengan sistem herediter (turun temurun) dari sang leluhur. Sehingga ketika tradisi imlek dirayakan, maka dapat dipastikan daerah-daerah yang telah disebutkan tadi menjadi pusat perhelatan hari raya agung untuk masyarakat Cina tersebut. Mereka hidup rukun saling menghormati, menghargai tanah yang mereka pijak, dan mengaku bahwa mereka pun berkebangsaan Indonesia.

Dari sedikit penjelasan diatas dapat terlihat betapa jelasnya isu akan china phobia yang pernah ada atau bahkan masih ada sampai saat ini. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, ini bisa jadi merupakan opini publik yang terbentuk berdasarkan konstruksi sosial yang dibuat secara politis. Namun tak perlu jauh-jauh menganalisa sampai ranah tersebut, karena yang diperlukan disini adalah kesadaran bahwa setiap masyarakat dari belahan dunia manapun memiliki karateristik yang luar biasa sehingga mampu membangun peradaban yang luar biasa pula, dan salah satunya adalah masyarakat Cina. Dengan etos kerja serta kearifan budaya yang mereka miliki, mereka mampu menjadi pemegang kendali perekonomian dimanapun mereka berada, ini menjawab pertanyaan ‘mengapa orang cina pintar dan pandai berdagang?. Dan di Bandung, fenomena tersebut telah ada sejak jaman kompeni dan antek-anteknya menjajah Indonesia, mungkin hal tersebut pun terjadi pula di belahan Nusantara lainnya.

 

Melihat kenyataan tersebut rasanya tak seorang pun boleh membangun kembali tembok penghalang antara pribumi dengan masyarakat Cina, bukankah kita sudah bebas dari belenggu penjajahan kompeni? Oleh karena bukalah cakrawala pikiran seluas-luasnya dan tanamkanlah sikap toleransi juga menghargai semua perbedaan yang ada.  Dan satu lagi, setelah perjalanan aleut pecinan kali ini, tak ada salahnya jika kita mengadaptasi hal-hal baik yang telah ditunjukkan oleh masyarakat cina. Semoga perjalanan-perjalanan Aleut! berikutnya mampu memberikan pelajaran moral yang lebih baik lagi J

Ngaleut ke ChinaTown-nya Bandung

Oleh : Fadhli A.Sadar

Sebagian warga bandung kini,menghabiskan waktu minggunya dengan pergi berolahraga di car free day Dago, atau  mungkin sebagian lagi beristirahat di rumah. Lain halnya dengan komunitas jalan jalan sejarah yang disebut Komunitas Aleut  yang pada hari Minggu pagi jam 8, tanggal 20 Februari 2010 mengadakan perjalanan menuju kawasan Chinatown atau kawasan Pecinan Kota Bandung,sehari setelah perayaan Cap Go Meh.
Komunitas yang sudah berdiri sejak tahun 2006 ini telah melakukan ngAleut (istilah bahasa sunda yang artinya jalan-jalan bareng) ke berbagai daerah di Bandung. kali ini mengunjungi kawasan pecinan yang orang awam mungkin tidak ngeh,bahwa jalan yang dilintasinya adalah kawasan tempat bermukimnya warga keturunan Cina.

Perjalanan dimulai dari Gedung KAA Asia Afrika menuju jalan Banceuy dan Alketeri (berawal dari Al-Katiri).  Di Alkateri ini kami, berhenti di seberang kedai kopi yang sudah sejak tahun 1900an berdiri,untuk memberikan penjelasan mengenai informasi daerah yang kita kunjungi saat ini. Kedai Kopi Purnama,berdiri karena kebutuhan warga keturunan Cina akan minum kopi di pagi hari,yang  merupakan tradisi bagi mereka . Selain informasi mengenai kedai kopi,kami jadi tahu kawasan Alketeri dulunya adalah kawasan yang dihuni  oleh pendatang pendatang dari timur, seperti Arab, Pakistan,dan India. Nama Alkateri sendiri diambil  dari nama klan Arab yang terkenal yaitu Al-Katiri,yang bermukim di daerah tersebut.

Lalu perjalanan dilanjutkan menuju Jalan Pecinan Lama dimana kita masih bisa melihat beberapa ruko yang nuansa arsitekturnya sangat Cina. Tapi sayangnya ada beberapa gedung yang tak terawat, dan ada yang bagian dalamnya direnovasi total.

Aleutian berhenti untuk mendapatkan penjelasan mengenai kawasan Jl Pecinan Lama

 

Ngaleut dilanjutkan menuju jalan belakang Pasar Baru – salah satu kawasan teramai di Kota Bandung. dan berhenti di tempat makan Cakue Osin yang terkenal akan cakuenya yang hampir sepanjang tangan orang dewasa. Disana Aleutians (sebutan buat penggiat aleut) istirahat sejenak, dan menyantap bubur kacang tanah.

Lalu perjalanan kita mulai kembali ke Jalan Saritem,menuju Vihara Satya Budhi. melewati Jalan Kebonjati kami mendapatkan cerita bahwa dulu di kawasan ini sempat ada hotel dengan arsitektur unik,yakni Hotel Surabaya. Sayang hotel tersebut hanya disisakan bagian depannya. Padahal jikalau hotel tersebut dirawat dengan baik, mungkin akan menjadi daya tarik wisatawan berkunjung kesana.

Perjalanan berakhir di Vihara Satya Budi di Jalan Kelenteng, selain melihat arsitektur dan tradisi klenteng di Indonesia, di vihara itu kami mendapatkan penjelasan penutup, betapa berpengaruhnya budaya Cina dalam kehidupan kita.  betapa tradisi Cina berpengaruh besar dalam pembangunan bangsa ini. Jadi jangan lagi ada gap antara pribumi dan dan warga keturunan Cina. kita bagaimanapun harus berterima kasih . xie xie

Oto Iskandar Dinata

Oleh : Asep Suryana

Beberapa hari tertunda menulis catatan perjalanan ini, karena majalah khusus mengenai organisasi Paguyuban Pasundan (PP) dan Oto Iskandar Dinata yang akan dijadikan rujukan utama tidak kunjung ditemukan.

 

Sebenarnya untuk mencapai Pasir Pahlawan yang berada di Km 15 Jl. Raya Bandung-Lembang dapat ditempuh dengan mudah naik kendaraan umum. Tapi itu bukan kebiasaan Aleut. Hari Minggu tanggal 13 Februari 2011 saya bersama Komunitas Aleut menempuhnya dengan berjalan kaki dari Puncrut (Punclut)-Ciumbuleuit Bandung melalui Jalan Wangunsari, kemudian Peneropongan Bintang, dan Pasir Pahlawan.

Berjalan menuju Pasir Pahlawan

 

Mengapa pasir (bukit kecil) ini disebut Pasir Pahlawan? Di bukit ini terdapat Monumen Pahlawan Nasional Oto Iskandar Dinata. Mungkin generasi sekarang lebih mengenal sutradara Nia Dinata yang merupakan cicit Otto Iskandar Dinata. Menurut data pada prasasti yang ada di monumen beliau dilahirkan tanggal 31 Maret 1887 dan wafat 20 Desember 1945. Tetapi dalam berbagai buku tahun kelahirannya banyak ditulis 1897. Sesungguhnya tidak sulit mengetahui wajah beliau, karena tertera pada uang kertas pecahan Rp 20.000,-

Gerbang Monumen

Prasasti

Monumen

 

Beliau dilahirkan di Bojongsoang Kabupaten Bandung. Pendidikan dasar ditempuh di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) kemudian melanjutkan ke Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru pertama) di Bandung dan Hogere Kweekschool (Sekolagh Guru Atas) di Purworejo. Kegiatannya dalam pergerakan nasional a.l. menjadi Wakil ketua Budi Utomo cabang Bandung (1921-1924), kemudian ketika pindah mengajar di Pekalongan tahun 1924 beliau pun menjadi anggota Dewan Kota mewakili Budi Utomo. Di Dewan Kota beliau beberapa kali  membela rakyat tertindas bahkan pernah bertengkar dengan Residen Pekalongan. Tahun 1928 beliau dipindahkan ke Jakarta.

 

Semula Oto Iskandar Dinata enggan masuk Paguyuban Pasundan (PP), karena beliau mempunyai visi sebagai seorang nasionalis. Tetapi akhirnya masuk juga ke organisasi tersebut malah menjadi Ketuanya dari 1929-1942. Meskipun ruang lingkup kegiatan Paguyuban Pasundan dalam pendidikan, sosial , dan budayanya di Jawa Barat, tetapi dalam politik bersama organisasi pergerakan lainnya memperjuangkan Indonesia merdeka. Ini terbukti dengan masuknya PP ke dalam Permufakatan Perhimpunan Partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) tahun 1927.

 

Oto Iskandar Dinata menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat semacam parlemen mewakili Paguyuban Pasundan dalam tiga periode dari 1931-1942. Di dalam dewan inilah beliau terkenal sangat keras dan vokal membela rakyat tertindas dan memperjuangkan ke arah Indonesia merdeka. Keberadaannya di dalam dewan menguntungkan saat banyak organisasi pergerakan di luar banyak diberangus oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga perjuangan ke arah kemerdekaan tetap berjalan. Atas keberaniannya dan juga sebagai orator ulung di Volksraad , beliau dijuluki Si Jalak Harupat, suaranya nyaring dan tajam seperti burung jalak.

 

Dalam masa penjajahan Jepang semua surat kabar dan organisasi politik dibekukan tak terkecuali PP. Untuk menyelamatkan PP, maka Oto Iskandar Dinata mendirikan Badan Usaha Pasundan. Beliau juga mendukung gagasan Gatot Mangkoepradja yang mengusulkan dibentuknya barisan pemuda bersifat militer kepada penguasa Jepang. Kemudian terbentuklah PETA (Pembela Tanah Air). Usaha ini ditujukan agar kelak Indonesia sudah merdeka mempunyai tenaga terdidik dalam kemiliteran. Beliau tidak hanya menganjurkan orang lain masuk PETA, tetapi anaknya sendiri diminta masuk PETA yaitu anak sulung yang bernama Sentot. Padahal Sentot berniat melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik (sekarang ITB). Namuh ayahnya mengatakan bahwa kepentingan bangsa harus didahulukan baru keluarga.  Banyak tokoh pergerakan meyakini apabila sudah terjadi Perang Asia Timur Raya, maka kemerdekaan Indonesia sudah dekat. Setelah Indonesia merdeka terbukti banyak mantan anggota PETA yang menjadi inti dari organisasi militer seperti BKR, TKR, TRI, dan akhirnya TNI. Pada kurun waktu 1942-1945 Oto Iskandar Dinata memimpin surat kabar Tjahaja dalam pengawasan Jepang. Sifat kooperatifnya dengan Jepang adalah untuk memengaruhi penguasa Jepang demi keuntungan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukan juga oleh insan pergerakan lainnya dalam mendirikan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin empat serangkai Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro,dan K.H. Mas Mansyur. Pada Tahun 1945 Oto Iskandar Dinata juga menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Makam Mayjen (Purn) R. Sentot Iskandar Dinata terletak di depan monumen bersama beberapa makam pejuang Bandung Utara

 

Pada waktu Indonesia merdeka beliau menjadi salah satu Menteri Negara Pertahanan dalam kabinet pertama. Beliau berperan dalam pembentukan BKR. Masih beberapa bulan umur kemerdekaan Indonesia, beliau mengalami fitnah dan diduga diculik oleh sebuah laskar rakyat yang disebut Laskar Hitam kemudian dibunuh di Pantai Mauk – Tangerang pada tanggal 20 Desember 1945. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Masyarakat Jawa Barat tidak puas atas lambannya hasil penyelidikan pemerintah mengenai kasusu ini serta kurangnya perhatian dari pada tokoh-tokoh nasional saat itu. Pada tahun 1952 diambilah segenggam tanah dan sedikit air dari Pantai Mauk dan ditanam di atas bukit yang kini menjadi monumen. Menurut saksi mata iring-iringan yang mengantar pemakaman simbolik ini mengular beberapa kilometer di Jalan Raya Bandung-Lembang. Pada tahun masa Orde Baru tahun 1973 Oto Iskandar Dinata barulah diberi gelar Pahlawan Nasional, tidak pada masa Orde Lama.

 

Pada kesempatan ini kami berdiskusi apa yang kami ketahui mengenai kepahlawanan Oto Iskandar Dinata. Ternyata pengetahuan kami tidaklah memadai. Mudah-mudahan dengan mengunjungi langsung obyek sejarah perjuangan seperti ini lebih manarik minat untuk menggali lebih dalam nilai-nilai kejuangan yang telah dilakukan para pahlawan dan sedikitnya berpengaruh kepada kami dalam menapaki hidup berbangsa dan bernegara.

Berdiskusi

 

Sudah seringkali saya melewati Pasir Pahlawan ini, bahkan ketika masih kuliah untuk kerja praktek di Observatorium Bosscha, tak sekalipun menyempatkan untuk melihat dari dekat monumen ini. Meskipun sadar sejarah sudah agak terlambat beruntung saya menemukan Komunitas Aleut, wadah untuk belajar sejarah bukan hanya dengan membaca. Begitu pula dalam wadah ini ada apresiasi wisata dan perhatian pada lingkungan.

 

Rujukan:

“Oto Iskandar Dinata” http://id.wikipedia.org/wiki/Oto_Iskandar_di_Nata

“Misteri Si Jalak Harupat” http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/08/13/LU/mbm.20070813.LU124723.id.html

“Putera”, http://id.wikipedia.org/wiki/Putera

Pringgodigdo, A.K., “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”, Dian Rakyat, Cetakan ketiga belas, 1994

“Bade Kamana Bu??”. “Bade Balanja ka Otista..”

Oleh : Ujanx Lukman

Sebuah pernyataan yang sering kita dengar dari para ibu-ibu shopaholic tentang tempat belanja yang berada disepanjang jalan tersebut.  Jalan ini mempunyai sebuah pasar yang katanya teramai se-Asia Tenggara, yaitu Pasar Baru dan jejeran toko-toko yang menjajakan segala kebutuhan. Lalu sesederhana itukah seorang Otista atau nama lengkapnya Oto Iskandar Dinata didalam perjuangan kemerdekaan Indonesia??

 

Oto Iskandar Dinata

 

Tokoh yang lahir di Bojongsoang pada tanggal 31 Maret 1887,  merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional. Dengan julukan “Si Jalak Harupat” yaitu ayam jago yang keras dan tajam kalau menghantam lawan, kencang dalam berkokok dan selalu menang kalu diadu. Oto Iskandar Dinata mengawali pendidikannya dari sekolah rendah (SD), HIS (Hollandsch Inlandsche School), HIK/(Hollandsch Inlandsche Kweekscholl (sekolah pendidikan calon guru) dan HKS/Hogere Kweekschool (sekolah guru tingkat atas) lalu menjadi guru dan aktif pada kegiatan sosial dan politik bahkan menjadi ketua berbagai organisasi seperti Paguyuban Pasundan, Badan Pembantu Prajurit Peta dan Heiho, wakil ketua Boedi Oetomo cabang Bandung, anggota BPUPKI, PPKI dan menjadi Mentri negara pada kabinet RI pertama, dll. Beliau juga pernah menjadi anggota Volksraad (DPR zaman Hindia Belanda) yang aktif menyuarakan keadilan dan mengkritisi pemerintah kolonial.

 

Untuk menyebarluaskan ide dan cita-cita perjuangan mencapai kemerdekaan, Oto memindahkan surat kabar Sipatahoenan dari Tasikmalaya ke Bandung (1931) agar lebih luas jangkauannya. Pada jaman pendudukan Jepang beliau juga mendirikan Badan Usaha Pasundan dan memimpin surat kabar Tjahaja.

 

Oto Iskandar Dinata memiliki sifat sederhana, jujur, cerdas berdaya inisiatif dan bijak ini tercermin dalam beberapa kegiatan seperti pada saat waktu senggang beliau sering beristirahat di saung ranggon dan memeriksa keadaan padi yang akan dipanen dengan turun langsung (bobolokot leutak) disawah miliknya  di Bojongsoang (Sjarif Amin atau Mohammad Koerdie; saumur jagong, 1983).

 

Olahraga kesukaan beliau adalah sepakbola, bahkan pernah menjadi ketua Persib bersama Suprodjo sebagai sekretaris. Walau sudah menjadi tokoh pergerakan hobi tersebut masih dijalaninya. Pada 16 Mei 1932 Otista berpartisipasi dalam pertandingan antar-veteranen. Elftal (kesebelasan) Otista berhadapan dengan elftal Husni Thamrin. Menurut Koerdie (orang kepercayaan Otista) beliau sosok yang rendah hati dimana ia tidak segan untuk menginap bersama dalam satu kamar penginapan yang sederhana dan penuh dengan nyamuk, serta mau mengunjungi ‘seniornya’ tanpa melihat latar belakang pilihan politik.

 

Sebagai seorang tokoh Nasional, beliau pasti mempunyai kharisma dan orator yang unggul. Pelukis BArli yang pernah menjadi kontributor Sipatahoenan mengabadikan Otista sedang berpidato penuh semangat dalam ongres Paguyuban Pasundan XXV, tahun 1940

 

Persatuan yang kami kehendaki boleh dibandingkan dengan jari tangan, kalau dipersatukan yang teguh, menjadi ‘Ketupat Bengkulu’!

 

Hadirin lalu bertepuk tangan riuh, suaranya bergemuruh tanda setuju pada ucapannya. Otista juga yang mempelopori pekik “Merdeka” dengan tangan kanan dikepal sebagai salam nasional.

 

Namun sangat disayangkan akhir hayat beliau sangat tragis, Otista diculik oleh Lasykar Hitam atas tuduhan sebagai mata-mata NICA pada 10 desember 1945. Sepuluh hari berselang Otista dibunuh di Pantai Mauk Tangerang, lalu tanggal 20 Desember disepakati sebagai hari wafat beliau. Latar belakang penculikan tersebut simpang siur karena pada saat itu aparat hukum yang menyelidiki ditolak oleh pengadilan. Namun berdasarkan kesaksian para terdakwa yang mengaku tidak tahu siapa Otista, mereka hanya dibekali informasi bahwa Otista adalah “mata-mata musuh yang menjual kota Bandung satu miliun” namun tidak jelas dalam bentuk rupiah atau gulden.Menurut penuturan yang harus diverifikasi, Otista merupakan salah seorang yang menerima dana titipan Jepang ketika sekutu tiba di Indonesia, mungkin inilah yang menjadi sumber tuduhan tersebut.

 

Monumen makam Otista

 

Karena keberadaan jasad beliau yang misterius, maka sebagai penghormatan terhadap beliau tahun 1952 Pemprov Jabar dan sejumlah tokoh perjuangan mengambil segumpal pasir Pantai Mauk untuk kemudian “dimakamkan” di Pasir Pahlawan Lembang.

 

Seorang tokoh nasional, asli Bandung yang jarang diekspos dan ditelusuri keberadaannya. Membuat kita sadar, kepada siapa idola kita saat ini ?? Justin Bieber, SM*SH, Agnes Monica, atau Ariel yang terekspos karena sensasi dan aksi.

 

Masih banyak tokoh nasional asli Bandung yang berjuang demi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, tetapi apakah kita mengenal atau mengetahuinya ?? itu yang harus dijawab dengan coba menelusuri kisah-kisah tersebut dari teman, orang tua atau tetangga kita, semoga dari kisah tersebut dapat mengambil pelajaran untuk kita terapkan dan teladani ..  Amin

 

 

Sumber : Teropong, Pikiran Rakyat tgl 24 Desember 2007

Aku, Desaku dan Masa Kecilku

Oleh : Yanstri Meridianti

Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja

Indahnya saat itu buatku melambung

Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu

Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Andaikan detik itu kan bergulir kembali

Ku rindukan suasana basuh jiwaku

Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu

Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati

Mengenang masa kecil seperti mencoba memasuki lorong waktu penuh dengan suka cita. Hari-hari indah sarat pengalaman. Ada yang mendebarkan, mengasyikkan bahkan terkadang menakutkan. Tapi semua itu tertutup kecerian.

Waktu TK hingga kelas 4 SD saya sempat menikmati tinggal di sebuah desa di Yogyakarta. Di depan rumah nenek terdapat pasar, sehingga apabila hari PON (hari pasaran dalam kalender jawa) suasananya sangat ramai. Biasanya pada hari PON terdapat banyak pandai besi yang mengundang rasa penasaran. Sehingga sering saya berlama-lama memandangi dari depan rumah nenek.

SD saya memiliki halaman yang luas. Di halaman depan terdapat sebuah kolam yang di dalamnya terdapat miniatur pulau-pulau besar di Indonesia yang terbuat dari semen. Di samping kiri terdapat sungai kecil yang pinggirannya banyak ditumbuhi tanaman kumis kucing dan bunga sepatu. Sedangkan di samping kanan terdapat hamparan sawah berlatar belakang gunung.Saya paling suka apabila hari sabtu tiba. Karena hari sabtu ada kegiatan pramuka. Kami sering berjalan-jalan keluar masuk desa atau mendaki gunung di sekitar sekolah.

Pulang sekolah biasanya saya berjalan beriringan melewati jalanan antar desa atau terkadang berjalan melewati pematang sawah menuju rumah teman. Tak jarang kami menghabiskan waktu dengan bermain air di mata air yang berada tidak jauh dari sekolah. Puas bermain air kami akan membakar ubi dengan kayu bakar. Rasanya nikmat karena bercampur bau asap yang khas.

Tak jarang kami melakukan kenakalan khas anak-anak seperti mencuri tebu atau ceplukan (dalam bahasa sunda katanya disebut cecenet). Di musim layangan saya asyik mengadu layangan di pinggiran sungai. Layangan yang diterbangkan bukan layangan biasa yang berbentuk persegi empat. Tapi layangan berbentuk menyerupai burung yang dibeli dari teman satu kelas. Ketika berhasil memutuskan tali layangan orang rasanya puas sekali.

Tanaman Cecenet

Masa kecil saya juga diisi dengan aneka permainan tradisonal. Di halaman depan sekolah yang tertutup tanah kami sering bermain engklek yaitu permainan dengan cara melompat-lompat dengan satu kaki di atas gambar kotak-kotak. Untuk dapat bermain setiap anak harus mempunyai kreweng (pecahan genting atau lantai). Sebelum memulai permainan ini kita harus menggambar kotak-kotak di tanah berbentuk 5 segi empat dempet vertikal kemudian di sebelah kanan dan kiri diberi lagi sebuah segi empat (berbentuk menyerupai gambar pesawat terbang). Kemudian kreweng dilempar ke salah satu petak yang tergambar di tanah. Petak yang ada krewengnya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap pemain. Jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak-petak yang ada.Saat melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya. Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan gacuk dengan cara membelakangi engkleknya, jika pas pada petak yang dikehendaki maka petak itu akan menjadi “sawah”nya, artinya dipetak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak tersebut dengan dua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki “sawah” paling banyak adalah pemenangnya.

Masih banyak permainan tradisional lain yang sering kami mainkan. Misalnya congklak, gobak sodor, petak umpet, dll. Sayangnya saai ini satu persatu permainan tersebut mulai menghilang. Bahkan tak jarang agar anak-anak bisa memainkan permainan tersebut harus membayar mahal dan hanya diketemukan di tempat-tempat tertentu atau saat-saat tertentu. Misalnya saat outbond.

Kami juga sering membuat aneka permainan dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar. Mobil-mobilan dari kulit jeruk bali, ketapel dari ranting pohon dan aneka permainan menarik lainnya.

Hal menarik lainnya, pada malam takbiran kami akan berkeliling desa dengan berjalan kaki sambil membawa oncor/obor. Obornya tidak selalu berbentuk bambu yang lurus. Terkadang obor tersebut dibentuk menyerupai trisula. Kami akan berlomba dengan mesjid-mesjid lain dari beberapa desa terdekat. Tradisi ini sampai sekarang masih bertahan. Bahkans emakin semarak. Obor yang digunakan semakin bervariasai. Dari mulai berbentuk bintang hingga spongebob. Aneka kendang dan miniatur mesjid turut menyemarakkan acara pawai obor tersebut.

Mengenang semua itu sungguh saya merasa sangat beruntung. Untuk menikmati aneka permainan yang menyenangkan tersebut saya tidak perlu pergi jauh-jauh atau mengeluarkan banyak uang. Tidak seperti saat ini, untuk merasakan bercocok tanam atau menaiki kuda saja harus membayar mahal dan pergi ke tempat wisata tertentu. Sedangkan saya bisa merasakan nikmatnya naik kerbau, andong, kuda ataupun memanen padi cukup pergi ke sawah yang terletak tidak jauh dari rumah nenek.

Hmmm, jadi kangen dengan desaku. Desaku yang tercinta. Pujaan hatiku. Selalu kurindukan. Desaku yang permai.

Sumber :

http://bayumuhammad.blogspot.com/2010/03/mengenal-permainan-engklek.html

“They Paved Paradise, and Put Up A Parking Lot”

Oleh : Nara Wisesa

Don’t it always seem to go… That you don’t know what you got till it’s gone…

Lirik lagu Big Yellow Taxi karya Joni Mitchell (yang dinyanyikan ulang oleh Counting Crows) ini berulang-ulang muncul dan terdengar di kepala saya ketika Aleut! berdiskusi tentang pengalaman masa kecil di saungnya Icha (di daerah Derwati) pada hari minggu tanggal 6 Februari kemarin.

Kita (ya paling nggak, saya) sering tidak menyadari apa yang kita miliki dan/atau ada di sekitar kita, sampai hal tersebut menghilang… Dan sekarang, ketika mengingat masa kecil dulu, yang ada hanya penyesalan kenapa tidak menikmati hal-hal itu sepuas mungkin…

Tanah lapang penuh ilalang… Hutan jalur hijau rindang di depan rumah… Langit malam minim polusi cahaya… Suara kelelawar pada malam yang tenang…

Dipikir-pikir, berapa banyak masa kecil saya yang terbuang percuma di depan tv (dan belakangan di depan layar komputer)… *dasar anak rumahan*

Sekarang sudah semakin sulit mencari tanah lapang… hutan kota yang rindang dan nyaman… langit malam cerah tanpa gangguan lampu… suara hewan-hewan malam… Padahal baru selisih hitungan belasan tahun…

Sangat susah bagi saya membayangkan Bandung di tahun 70an seperti yang diceritakan orang tua saya… Ketika daerah Bandung Selatan masih sejuk… Ketika kabut masih sering menyelimuti pagi hari… Ketika jalanan masih lengang…

Dan susah juga, bahkan agak khawatir, untuk membayangkan Bandung 30-40 tahun ke depan…

Apakah ini yang dinamakan kemajuan? Di mana kita seakan semakin terpisah dari alam lingkungan sekitar kita…

Dari asal usul kita…

I dream an ecotopian dream… am I just another idealistic fool ?

Akan seperti apa kah wajah bumi kita ini di masa cucu-cicit kita nanti?

Akan seperti apa kah pergaulan mereka nanti? Kehidupan mereka nanti?

Apakah yang kita lakukan sekarang akan membentuk lingkungan mereka di masa depan?

Seperti apakah lingkungan masa depan yang kita inginkan bagi mereka?

Akankah mereka masih mengenal hijaunya pepohonan, birunya langit, jernihnya air, putih-kelabunya awan, sejuknya semilir angin, segarnya hujan, wanginya tanah…?

I said don’t it always seem to go… That you don’t know what you’ve got till it’s gone… They paved paradise, and put up a parking lot…

Aleut! Berbagi Cerita, 06.02.11

Oleh : Ridwan Hutagalung

Hari ini 16 orang Aleutians ditambah dengan tuan rumah (atau tuan saung?) berbagi cerita tentang masa kecilnya, terutama yang berhubungan dengan lingkungan tinggalnya. Masing-masing satu cerita dengan latar belakang Purworejo, Yogyakarta, Batu Raja-Palembang, dan pabrik kertas Padalarang, dua cerita dengan latar budaya Tionghoa, dua cerita dengan latar wilayah Sukamiskin, dan dua cerita dengan latar kawasan Derwati, tempat Aleut! berkumpul hari itu. Keluarga tuan rumah, Bpk. Rifki Rosyad, sudah turun temurun meninggali kawasan Derwati. Lainnya adalah cerita dari berbagai lokasi di Bandung.

Ada banyak cerita menarik yang disampaikan oleh Bpk. Rifki, mulai dari masa kecil dengan lingkungan persawahan, rawa-rawa, dan sungai, hingga sensasi-sensasi dalam mengikuti perubahan zaman, seperti masuknya listrik, televisi hitam-putih, televisi berwarna, hingga sensasi kehadiran jalan aspal di Derwati. Oya, cerita ini masih ditambah juga dengan cerita perubahan-perubahan dalam sikap keagamaan.

Tradisi permainan saat bulan purnama dan beragam permainan masa anak-anak yang memanfaatkan bahan-bahan dari tetumbuhan juga menjadi daya tarik dari cerita Bpk. Rifki. Hampir semua pengalaman dan permainan itu dilakukan secara berkelompok, melibatkan banyak teman lain dalam rentang usia yang lebih-kurang sama. Ya, pengalaman lingkungan seperti ini tampaknya sudah semakin kecil kemungkinannya untuk dapat dialami juga oleh generasi masa kini. Pengalaman anak-anak masa kini jarang yang dilakukan secara berkelompok, permainan lebih banyak yang bersifat perorangan atau kelompok kecil dan lebih banyak berhubungan dengan perangkat elektronik. Lingkungan alam sudah sangat banyak berubah.

Dalam “Aleut! Berbagi Cerita” hari ini juga ada beberapa informasi menarik, di antaranya spekulasi makna nama beberapa tempat. Dikatakan bahwa kata derwati dapat dipakai sebagai istilah untuk mengatakan kondisi seperti dalam peribahasa ‘hangat-hangat tai ayam’, namun disarankan juga untuk melacak kemungkinan lainnya dalam dunia perwayangan.

Muncul juga pembicaraan tentang nama wilayah Kordon. Paling tidak ada dua nama tempat Kordon yang cukup populer di Bandung, satu di atas kawasan Dago dan satu lagi di sebelah timur Buahbatu. Dalam kamus Inggris, cordon berarti garis atau lingkaran penjaga. Mungkin kata ini bentukan dari cord yang berarti kawat, kabel atau pita. Kata cordon juga dapat dipakai untuk kata kerja seperti dalam cordoned off yang artinya menutup dengan penjagaan ketat. Sedangkan kamus Belanda menerangkan kordon sebagai garis pelindung atau garis pertahanan.

Masih ingin berspekulasi lebih lanjut, berbatasan dengan wilayah Kordon di Buahbatu terdapat nama daerah Tegal Luar yang dulu berbatasan dengan Ciparay. Kedua tempat dengan nama Kordon ini memiliki dam dengan pintu air dan terletak agak jauh dari pusat kota (perbatasan?). Dekat dengan Kordon di Buahbatu terdapat rumah peninggalan Hindia-Belanda yang masih berdiri sampai sekarang. Pada tahun 1970-an rumah itu didatangi orang Belanda yang mengaku kakeknya dulu pernah tinggal di situ. Di lokasi lainnya, ada sebuah mesjid yang melibatkan sebuah perusahaan Hindia-Belanda dalam perancangannya. Nah, lalu apa artinya kordon sebagai nama tempat? Kita simpan saja dulu pertanyaan dan berbagai petunjuknya ini sampai menemukan data-data pendukung lainnya hehe.

Kembali ke “Berbagi Cerita” yang dihiasi makan siang yang mantap dan rujak aceh, kami dapatkan bahwa umumnya pengalaman langsung dengan lingkungan alami semakin hari sudah semakin berkurang. Banyak nama pohon atau tanaman atau jenis-jenis ikan dan binatang yang sudah semakin terlupakan karena lingkungan yang ada sekarang sudah tidak menyediakan lagi ruang hidup bagi semua itu.

Bagian lebih rinci dari kegiatan Komunitas Aleut! ini akan saya tuliskan terpisah saja…

Ridwan Hutagalung

7 Februari 2011

Terima kasih untuk Icha, dan Bpk. Rifki Rosyad beserta seluruh keluarga yang sudah memberikan ruang buat kegiatan Komunitas Aleut! dan maaf sudah banyak merepotkan. Untuk Nara pemberi kunci menuju Kordon, Pia Zakiyah yang ngecek kamus online, dan pastinya semua teman lain yang tak bosannya mengikuti kegiatan Aleut! Semoga bermanfaat.

Catatan ini dipublish juga di http://rgalung.wordpress.com/2011/02/07/aleut-berbagi-cerita-06-02-11/

Foto-foto dapat dilihat di sini :

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150101116654090&set=a.10150101114194090.289560.519229089#!/album.php?fbid=10150101114194090&id=519229089&aid=289560

Once Upon a Time in Sumur Bandung…

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Senang sekali kemaren sebenernya berkesempatan untuk gabung sama acara Aleut! “Cerita Nostalgia Masa Kecil” di saung indahnya sang Ibu Negara Aleut, Icha Kusumawardhani (Maaf kalo namanya salah… He..). Tapi sayang sekali di H-1, tiba2 ada panggilan mendadak dari Bos buat nyiapin rapat, jadinya terpaksa kehilangan kesempatan untuk gabung di acara Aleut yang sudah saya tunggu2 sejak kecil itu…

Tapi rasa kehilangan ini terbalaskan dengan tulisan2 yang dibikin para peserta ngariung tersebut, mulai dari kisah masa kecilnya Ajay (ternyata Ajay punya masa kecil juga…) sampe kisah Lika dan Pia yang mandi bersama (walaupun sebenarnya sama sekali tidak menarik…) Hahaha… Tapi itulah yang namanya masa kecil, saat dimana kita menyerap segala informasi sekitar lingkungan kita, mencoba-coba hal baru, yang seringkali berbuah kekonyolan…

Untuk sedikit berbagi aja karena kemaren gak ikutan cerita (semoga ini juga ada yang mau baca…), sebenarnya saya udah mulai kehilangan memori seputar pengalaman masa kecil, tapi saya paksa biar inget aja deh, terutama hal-hal seputar lingkungan Sumur Bandung karena saya tinggal di sana.

Mbah Putra dan Mbah Putri.. hehe

Rumah di Sumur Bandung 4 merupakan rumah peninggalan Kakek-Nenek (pasangan Windoedipoero) yang sayangnya saya hanya sempat bertemu sang Nenek.  Sejak dulu rumah ini digunakan sebagai Rumah Kost, sehingga berbagai mahasiswa yang pernah ngekost saking lamanya sudah kami anggap keluarga (dulu anak ITB kuliahnya lamaaa…). Salah satunya adalah mahasiswa Jepang yang namanya Okabe. Dulu dia ngekost di kamar saya ini. Mukanya lupa, tapi yang pasti putih dan sipit… Tinggal dekat ITB memang menjadi berkah tersendiri, tapi menurut penuturan si Mamah, saat peristiwa Malari, rumah ini pernah menjadi Base Campnya ABRI yang mengepung ITB saat itu. Alhasil beberapa butir peluru dan perlengkapan ABRI banyak yang tertinggal di rumah paska kejadian itu.. hehe

Nah, di lingkungan Sumur Bandung ini, saya sangat sedikit memiliki teman sepergaulan, pastinya sama Kakak atau sama sepupu perempuan yang kebetulan tinggal satu rumah. Paling banter juga main sama Mas Doel, seorang Indo yang rumahnya di Konsulat Belanda di Dayang Sumbi, atau anak Pastor Bule yang rumahnya di sebelah SSC sekarang.

Saat itu memang masih ada beberapa orang Bule yang tinggal di daerah Dago. Pengalaman main sama Mas Doel ini yang paling saya inget, dialah yang pertama kali mengajarkan kata-kata kasar dalam bahasa Sunda ke saya, sehingga di rumah saya didamprat sama si Mbah Putri… Dasar Bule sesat ! Mas Doel ini biarpun agamanya Kristen tapi hafal surat Alfatihah, kadang2 juga menyumpah “Alhamdulilah” atau “Astaghfirullah”, entah siapa yang ngajarin, mungkin pembantunya. Nah Di Rumah Mas Doel ini ada sebuah tengkorak, yang tidak lain adalah tengkorak neneknya. Ternyata orang Belanda itu selain sering mengkremasi jenazah, juga sering menyimpan kenang-kenangan dari bagian tubuh keluarganya. Tapi buat nyimpen tengkorak di tengah ruang keluarga, saya pikir agak weird juga…

Sekarang mas Doel entah kemana, tapi terakhir kali saya berkunjung ke rumahnya dua tahun lalu (“ke luar negeri”, karena ini kawasan konsulat Belanda), sang penunggu rumah bilang kalo Mas Doel dan keluarganya sekarang tinggal di Jakarta walau kadang mampir juga ke rumahnya… Selain Mas Doel ini juga ada anak Pastor Bule yang tinggal di sebelah SSC tadi, cewek, rambutnya pirang dan usianya lebih muda beberapa tahun dari saya, cengeng, ngomongny bahasa Belanda campur, jadi saya agak males main sama itu anak… Tahun 90’an mereka sekeluarga pindah ke negeri Belanda, setelah itu tidak ada kabar lagi…

Rumahnya Mas Doel (2008)

Bareng Kakak dan Mas Doel, saya juga sering main Layangan. Saat itu musuh kita adalah anak-anak dari daerah Cisitu atau Simpang Dago. Indah sekali langit Dago yang penuh dengan layangan saat itu. Tapi kami paling males buat ngejar layangan, soalnya kami cuma bertiga sedangkan anak2 dari daerah Cisitu atau Simpang bisa sepuluh orang lebih,,, Untungnya hampir beberapa hari sekali pasati ada aja layangan yang jatoh di rumah. Kalo udah kayak gitu, anak2 Cisitu dan Simpang itu cuma bisa ngedumel di depan pager rumah, sambil berharap saya mau ngasih layangan itu ke mereka, tapi Hell No !! Hahaha…

Dulu kawasan Sumur Bandung ini masih sepi, beberapa orang malah menganggapnya angker. Mungkin gak keitung berapa kali anak Kost atau Bapak saya nemuin mahkluk halus. Jalan Sumur Bandung yang dua arah waktu itu masih sesekali dilewati kendaraan. Suasananya “keeung”, Maklum dulu di tengah rumah juga masih ada pohon rambutan, terus di depan rumah ada pohon Jambu Air yang jadi langganan maling anak kampung, ada juga pohon lengkeng. Suatu kali Monyet dari Kebon Binatang lepas dan kabur ke pohon rambutan yang ada di tengah rumah saya itu, Kakak saya termasuk salah satu korban yang terkena cakaran sang Monyet, hingga terpaksa kami langsung membawanya ke Rumah Sakit untuk dijahit dan disuntik tetanus. Sang Monyet akhirnya berhasil ditangkap orang-orang Kebon Binatang…

Kawasan Sabuga dulunya merupakan pesawahan. Saya sempat mengalami pemburuan belut di sana, tapi sejak seringkali membawa oleh-oleh Lintah di kaki, saya jadi males main ke sana. Saat Sabuga berdiri, saya baru sadar bahwa saya kehilangan tempat bermain alami satu-satunya di kawasan Dago.

Damn!, masa kecil ternyata sangat Indah, sayangnya saya dulu tidak menganggap cukup penting untuk bernostalgia tentang keadaan masa tersebut. Baru sejak Aleut menggagas kegiatan kemarin, saya jadi kepikiran lagi tentang pengalaman masa lalu…. Ternyata perubahan selama ini jomplang sekali. Tidak ada lagi pohon buah2an di rumah (kecuali mangga yang tidak pernah berbuah), tidak ada layangan menghiasi langit Dago, tidak ada lagi penampakan mahkluk halus, tidak ada lagi orang Bule di sekitar rumah, tidak ada lagi Sawah di Lebak Gede, tidak ada lagi suara2 burung atau tonggeret, tidak ada lagi gerombolan anak2 nakal pencuri buah, gak ada lagi Kabut, Jalan depan rumah juga berisiknya 24 Jam, tidak ada lagi laporan khusus kegiatan presiden Soeharto, lomba klopencapir dll… Tapi saya bersyukur pernah mengalami semua itu…

Nb : Kalo ada anggota keluarga yang baca dan mau merevisi untuk menambahkan, sy menyambut baik sekali.. hoho..

Suasana Permainan Gamelan di Rumah..
Foto keluarga besar, tapi sy boro2 lahir, niat aja belon…

Kenangan Masa Kecil (Catatan Buat Aleut)

Oleh : ‘Ambu’ Trisa Virgalanti

Karena saya tidak sempat ikut Ngaleut kemarin, maka menulis ini saja sebagai sebuah keikutsertaan secara semangatnya…

Heemh paling seru jaman SD, dulu saya bersekolah di Sindanglaya daerah antara Sukamiskin dan UjungBerung, Sekolahnya masih ada,di pinggir jalan raya Sindanglaya.

Dulu ketika sekolah adalah bagian dari senang-senang, dan sedikit serius ketika memasuki Ulangan Umum, maka banyak hal-hal di luar sekolah,pada waktu itu,yang mengganggu kegiatan ajar mengajar dan belajar,misalnya jika di belakang sekolah, diadakan Adu Domba dan Adu Bagong,maka Bapak-bapak Guru dengan suka rela mengijinkan kami murid-muridnya pada waktu itu untuk menonton dahulu, tentu Bapak-bapak Gurunya pun ikut menonton, jadi cukup adil kan…

Juga ketika ada pertandingan tinju Muhammad Ali dengan siapapun jika pertandingannya siang hari, maka sudah dapat dipastikan kami boleh nonton di rumah terdekat, beserta Bapak-bapak Guru pula…;-))

Bisa dibayangkan berapa persen pelajaran yang tercerap pada jaman SD di sekolah itu,tapi kami bahagia,tak terbebani UN atau pun UASBN (tidak seperti anak saya sekarang ini)

Ada hobi saya yang lain,suka manjat pohon di depan rumah dan di belakang rumah, sangat jago ketika naik,dan sangat kesusahan ketika turun,karena takut ketinggian…heemh rada aneh ya…

Ada hobi kejam, suka melilinkan / menuangkan lilin cair ke tubuh binatang-binatang yang menjijikan, jadi kalau ada ulat montok di pohon, atau cecurut nyasar yang jalannya tertatih-tatih…ya saya dengan sedang hati beraksi menjadi Madame Tussaud dulu.

Yang lain, coro dan kupu-kupu, saya bedah dan dengan memakai kaca pembesar,saya menggambar isi perutnya.

Pulang sekolah, langsung mencari ikan-ikan kecil di sawah belakang rumah, sebagian untuk dipelihara,sebagian buat makanan ayam-ayam Bangkok kesayangan saya, ya buat olahraga, ayam-ayam nya suka saya adu untuk beberapa jenak,tidak sampai luka-luka,cuma untuk gerak badan saja ;-))

Ada hal yang paling menyebalkan, saya sering dipanggil encep,atau kasep oleh orang-orang tua misalnya oleh dokter atau kerabat jauh…hehehe

Masuk SMP, tempatnya dekat dengan LP Sukamiskin, seringnya saya menyusuri benteng terluar LP Sukamiskin, dulu LP masih memelihara sapi perah beberapa ekor dan besar-besar, kemudian ada pohon Sirsak di pekarangan LP, berkait dengan cerita sirsak, saya dan seorang sahabat perempuan memetik buah sirsak yang terbesar kemudian diberikan kepada Ibu Guru Wali Kelas, dan ibu Guru sangat berterima kasih, dan mengira saya murid yang penuh perhatian.

Saya lihat, kegiatan bermain anak saya sekarang tidak sevariatif anak-anak dulu, biarlah nanti abahnya memperkenalkan kegiatan naik gunung kepadanya hehehe masih alot, anak kami lebih suka ke mall.

Masuk SMA, masih di UjungBerung, spesialis kabur untuk mata pelajaran yang tidak menarik,menurut saya, seperti Pendidikan Moral Panca Sila dan Bahasa Indonesia. Fase ini jangan diulas banyak,sebab saya dengan abah, sekelas dari kelas 1 sampai kelas 3 hahaha…

Sudah…sudah..sekian dulu.

Salam

Namanya Juga Anak Kecil…

Oleh : Nita Apryanti

Hari minggu di tanggal 6 Februari 2011… Ngaleut tidak seperti biasanya yg mesti jalan kaki jauh… Hanya berkumpul di rumah bang Ridwan, terus naek angkot yg lumayan jauh rutenya ke rumahnya Ica… Tempat yg baru pertama kali pisan saya datangi… Mungkin kalo bukan gara2 aleut, ga akan tau tempat ini, Derwati. Sampai di rumahnya Ica, disambut hangat sekali oleh si empunya rumah, disuguhin gehu hangat yg enak. Kebeneran banget blum sarapan… hehehehe lumayan…

 

Acara diawali dengan cerita dari Pak Rifki, ayahnya Ica. Seru ceritanya soal Derwati… Terus smuanya kebagian cerita, tp sebelum cerita, qta makan2 lagi… Aduh hemat banget hari ini, plus kuenyaaaaaaang buanget…

 

Saatnya bercerita…. Semua aleutians cerita soal masa kecil yg berbeda-beda, tp banyak yg samanya dari segi permainan. Ya, saya juga pernah mengalami permainan tradisional itu, cuma di tiap tempat berbeda panggilan, seperti sapintrong, babancakan, galah asin, dll.

 

Masa kecil saya dihabiskan hanya bersama 2 kaka lelaki saya n bapa yg terhebat, karena ibu saya meninggal ketika saya berumur 5thn. Alhasil, saya jadi tomboy banget. Dulu saya jadi bulan-bulanan kaka, sering ditembakin, disuruh2, ya pokonya nyebelin deh.. Tp disaat qta besar, dan sudah berumah tangga, saya malah jadi tempat curhat para abang-abang terbaikku. Waktu kecil, saya banyak bermain dengan teman2 sd, karena tetangga di rumah tidak ada yg sebaya. Tiap pulang sekolah, selalu mampir ke rumah temen… Lumayan nakal waktu itu, qta suka main petasan, tp caranya tidak lazim, dengan berbekal paku, palu, dan yg utama adalah si petasan. Tembok2 tetangga kita bolongi, lalu ditaro tuh petasannya di lubang itu, trs duuaaaar… Trs qta lari2 menjauhi si tembok itu krn takut dimarahi tetangga. Dirumah saya suka sekali main sepeda, muter2 kemana2, merambah tempat2 yg ga tau sebenernya dmn, untungnya bisa pulang. Suatu waktu jatuh dari sepeda, langsung pulang, trs dikasih obat merah sama bapa. Entah apa yg ada di pikiran saya waktu itu, tp saya merasa pake obat merah itu hebat, jagoan. Sembunyi2 saya ambil obat merah itu, lalu ditotoli ke kaki, alhasil kaki penuh sama obat merah. Trs maen sepedah lagi, tp begitu pulang langsung dimarahin sama bapa,gara2 kaki yg penuh dengan obat merah…. Yang paling memalukan adalah, waktu sd, saya dan teman2 dikejar2 oleh salah satu teman lelaki yg membuka celananya dan memperlihatkan penisnya. Otomatis qta lari2 sambil berteriak, sampe2 saya terpojok karena dia mengikuti saya terus. Untungnya guru datang karena mendengar teriakan qta…Haduuuuh!!!!

 

Kalo diingat lagi, malah jadi lucu. Tapi dari semua cerita2 soal masa kecilnya yg penuh dengan kenakalan, apakah mereka si anak2 tadi dikatakan nakal. Sebagian orang mengatakan, ya mereka nakal, tp sebagian lagi hanya mengatakan ngarana ge budak leutik… ya namanya juga anak kecil, yg penuh kepolosan, yg belum bisa membedakan mana yg benar mana yg ga, mana yg bagus mana yg ga…

Kaulinan Urang

Oleh: Ihsan Nurul Fauzi (Bedu)

Setelah absen beberapa kali buat main bareng Komunitas Aleut  karena kesibukan di kampus (ngerjakeun Tugass Akhir). Akhirnya tanggal 6 februari kemaren bisa ngAleut! lagi.. #hore. NgAleut! kali ini berbeda dari yang pernah urang ikuti sebelum-sebelumnya, kali ini lebih ke sharing-sharing. Acara ini bertempat di Saung Icha  di kampung Derwati.

Waktu kecil dulu, banyak banget permainan yang dimainin bareng temen-temen sekomplek, dari main kartu gambar sampai maen bola. Tapi yang paling seru, ada permainan namanya Jibeh (beunang hiJI beunang kaBEH, kena satu kena semuanya -b.sunda,red-) dan Bancakan.

JIBEH

Jibeh adalah sejenis permainan seperti petak umpet yang dimainkan oleh 2 kelompok yang terdari dari 5-10 orang, namun jika semakin banyak akan semakin seru!.

Dimulai dengan Hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi “ucing” (berperan sebagai pencari teman-temannya yang bersembunyi). Si “ucing” ini nantinya akan  berbalik sambil berhitung, biasanya dia menghadap tembok, pohon atau apa saja supaya dia tidak melihat teman-temannya bergerak untuk bersembunyi. Setelah hitungan selesai (hitungan yang telah disepakati bersama) dan setelah teman-temannya berlari dan bersembunyi, mulailah si “ucing” beraksi untuk mencari teman-temannya tersebut.

Berbeda dengan petak umpet, jibeh tidak memerlukan tempat jaga seperti yang terdapat pada petak umpet (tempat jaga pada petak umpet ini memiliki sebutan yang berbeda di setiap daerah, contohnya di beberapa daerah di Jakarta ada yang menyebutnya INGLO, di Riau dengan sebutan Tonggak dingin, di daerah lain menyebutnya BON dan ada juga yang menamai tempat itu HONG).

Kelompok yang dicari bisa saja bersembunyi di suatu tempat atau bergerak agar tidak ketahuan oleh si “ucing”. Jika si “ucing” menemukan temannya, ia akan berteriak JIBEH! sebagai tanda sudah ketahuan. Dan si “ucing”pun mendapatkan giliran untuk bersembunyi.

Permainan ini biasanya dilakukan pada malam hari pada bulan puasa (kanyahoan teu taraweh).

BANCAKAN

Bancakan adalah salah satu permainan anak tradisional Jawa Barat sejenis petak umpet dengan memakai sebuah batu sebagai tempat jaga dan genteng sebanyak jumlah pemain yang disusun bertumpuk, dan keduanya ditempatkan dalam dua buah lingkaran berdampingan.

Sebelum permainan dimulai, peserta melakukan pengundian dengan cara hompimpa atau suit. Yang kalah harus menjadi petugas penjaga atau kucing (ucing).

Ucing bertugas menyusun genteng secara bertumpuk sebagai benteng selagi para pemain bersembunyi, kemudian setelah susunan genteng telah berdiri secara sempurna, Ucing mulai menjaga susunan genteng agar tidak dirobohkan sembari mencari para pemain.

Apabila pemain terlihat atau ditemukan, Ucing harus menyebutkan nama pemain kemudian menginjak batu sembari berteriak BANCAKAN! sebagai tanda bahwa persembunyian pemain telah terbongkar dan pemain diharuskan keluar dari tempat persembunyiannya, sampai semua pemain ditemukan.

Pemain selain harus bersembunyi dari si “Ucing”, pemain juga diharuskan menyerang tumpukan genteng untuk ditoker sampai ngalayah sebagai tanda bahwa benteng telah dirobohkan dan Ucing wajib mempertanggungjawabkan kekalahannya dengan menjadi ucing lagi dalam ronde berikutnya sampai Nu Jadi Ucing sukses dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga.

sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Petak_umpet

http://id.wikipedia.org/wiki/Bancakan

A Voyager of Music

Oleh : Matias Arif Eka

Tidak seperti kegiatan biasanya, dimana Aleut biasa berjalan menyusuri situs-situs budaya dan sejarah. Kegiatan Aleut kali ini diisi dengan sebuah sharing berbagi mengenai pengalaman masa kecil.

Kali ini, Aleut berkumpul di saung Icha, di Derwati. Bangunan saung ini terbuat dari bilik kayu dan banyak jendela serta pintu masuk yang besar. Saung tersebut di kelilingi oleh kolam-kolam. Sehingga saat kami duduk di situ bisa kita rasakan hawa kesejukan dan angin yang bertiup. Di tambah lagi dengan keramahan keluarga Icha dan kelezatan makanan yang disajikan, terutama rujak Aceh yang sangat disegani beberapa pegiat, membuat kegiatan Aleut kali ini menjadi sangat menyenangkan.

Sharing kali ini dibuka oleh Bang Ridwan dengan memutar beberapa lagu lama Indonesia yang dinyanyikan oleh penyanyi asing, maupun lagu-lagu luar yang di aransemen ulang oleh tokoh Indonesia. Ada lagu “Soleram” yang dinyanyikan dalam beberapa versi dan yang mengagetkan beberapa versi tersebut dinyanyikan oleh orang asing. Kemudian ada lagu “Negaraku” dari Malaysia yang ternyata setelah ditelusuri berasal dari lagu Perancis. Ada pula lagu “Internationale” dari Rusia yang dibuat liriknya oleh Ki Hajar Dewantara dan dinyanyikan sebagai lagu mars di Indonesia. Kemudian lagu ‘Genjer-genjer” yang pernah dilarang pada jaman pasca G-30-S PKI karena dianggap menganalogikan lirik dalam lagu tersebut dengan pembantaian oleh orang-orang PKI. Lirik lagu tersebut padahal bercerita tentang seorang Ibu yang mengumpulkan daun genjer dan menatanya di atas tanah kemudian memotonginya.

Dari pengalaman ini saya bisa melihat ada banyak lagu lama yang memilki cerita dan informasi sejarah dan banyak juga terdapat versi yang tidak pernah didengar. Lagu daerah mungkin terdengar membosankan bahkan kita tidak pernah menghargainya. Tapi dari lagu yang sederhana tersebut bisa diaransemen dengan musik yang berbeda dan memberikan nuansa yang lain. Dan beberapa lagu tersebut justru diaransemen oleh orang asing, betapa hanya dari lagu yang sederhana mampu menginspirasi untuk menciptakan lagu yang baru. Dan meski terdengar simpel, namun dengan melihat sejarah dan cerita yang membayanginya, membuat lirik lagu tersebut menjadi begitu bermakna.

Bagi saya sendiri pun, saya baru sekitar 2 tahun belakangan ini mulai menelusuri berbagai musik lama dari berbagai aliran. Dan mencoba untuk bisa menikmati semua jenis aliran musik. Saat mengikuti Aleut kali ini, saya bisa melihat bahwa dunia musik ini masih terlalu luas untuk dijelajahi, bahwa tidak cukup hanya mengenal aliran musik dan para tokoh legendaris. Kita harus mempelajari pula esensi, makna, dan ungkapan yang ada pada lirik lagu tersebut. Bahkan memahami apa yang ada dalam perasaan komposer saat menciptakan lagu tersebut. Setiap lagu seolah-olah memiliki memori seperti manusia, memiliki pengalaman hidup yang membuatnya unik dari mulai dia diciptakan sampai populer.

Dari pengalaman Aleut kali ini, saya bisa belajar untuk lebih kritis dalam mempelajari sebuah musik. Musik itu bisa dilihat dari berbagai sisi. Bukan hanya dari komposisi nada-nada saja.

Memori Masa Kecil

Oleh : Claudine Patricia

Ngaleut! hari ini beda dengan biasanya. Hari ini kita berbagi cerita dengan teman-teman tentang masa kecil kita. Permainan atau aktivitas apa yang dilakukan saat kita kecil.

Duh, dengar cerita dari semuanya membuat saya menyadari betapa KAYA kita semua. KAYA pengalaman, KAYA kemampuan berwiraswasta dari kecil, KAYA kedekatan dengan alam dan KAYA dengan tradisi. Walaupun kita semua berbeda latar belakang tapi permainan kita bisa sama ya?

 

Kerasa banget bedanya dengan anak-anak sekarang. Terutama anak-anak yang aku fasilitasi di sekolah. Sedikit sekali yang tahu permainan kita di masa kecil. Yang mereka tahu adalah permainan satu arah yang gak perlu bergerak ke mana-mana. Dasar beda jaman, gurunya juga gak nyambung kalau ngobrolin game PS (curcol deh). Saya tahunya main bekel, mereka cerita GTA.

 

Sedih sih melihat mereka yg terbiasa dapat sesuatu dengan instan + serba canggih. Mereka gak dapat tantangan untuk melatih kemampuan wirausaha atau strategi supaya menang main boy boyan. Makanya ayo Aleut kalo mau demo permainan masa kecil terutama yang ada lagunya, bisa dicoba ke anak-anak nih. Hehehe

 

Sekian dan terima kasih. Punten kalau yang baca pusing ya. Terima kasih buat Aleut yang ngumpulin kita satu hari ini.^0^

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑