Month: January 2011 (Page 2 of 3)

Nama Daerah = Nama Tanaman

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Mungkin kita sudah sangat sering mendengar daerah-daerah seperti kosambi, cihampelas, cilimus, dll. tapi mungkin juga sedikit yang menyadari bahwa nama-nama daerah tersebut berasal dari nama tanaman.

kali ini saya akan sedikit sharing tentang pengetahuan mengenai beberapa tanaman yang namanya dijadikan nama daerah.

Kosambi

Kesambi atau kosambi (Schleichera oleosa) adalah nama sejenis pohon daerah kering, kerabat rambutan dari suku Sapindaceae. Beberapa nama daerahnya, di antaranya kasambi (Sd.); kesambi, kusambi, sambi (Jw., Bal.); kasambhi (Md.); kusambi, usapi (Tim.); kasembi, kahembi (Sumba); kehabe (Sawu); kabahi (Solor); kalabai (Alor); kule, ule (Rote); bado (Mak.); ading (Bug.).

Nama-nama itu mirip dengan sebutannya di India, tanah asal tumbuhan ini, misalnya: kosam, kosumb, kusum, kussam, rusam, puvam. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai gum-lac tree, Indian lac tree, Malay lac tree, Macassar oil tree, Ceylon oak, dan lain-lain. Nama-nama itu merujuk pada hasil-hasil yang diperoleh dari pohon ini, seperti lak dan minyak Makassar.

Kayu kesambi, terutama kayu terasnya, padat, berat, dan sangat keras; berwarna merah muda hingga kelabu. Kayu ini ulet, kenyal, dan tahan terhadap perubahan kering dan basah berganti-ganti, sehingga di masa silam kerap dimanfaatkan sebagai jangkar perahu. Tidak mudah menyerpih, kayu kesambi sering dipakai membuat alu, silinder-silinder dalam penggilingan, dan perkakas rumah tangga umumnya. Mempunyai nilai energi yang tinggi hingga 20.800 kJ/kg, kayu ini disenangi sebagai kayu bakar dan bahan pembuatan arang.

Pepagan kesambi dimanfaatkan untuk menyamak kulit, mewarnai batik, mengelatkan nira agar tidak masam ketika difermentasi, serta untuk campuran lulur. Pepagan yang digerus halus dan dicampur minyak, digunakan sebagai obat kudis. Daunnya yang muda, mentah atau direbus, dimakan sebagai lalap. Buah kesambi yang telah masak dimakan segar, atau, mentahnya dijadikan asinan.

Bijinya, langsung atau setelah lebih dulu dipanggang sebentar, dikempa untuk mendapatkan minyaknya. Minyak kesambi ini (Jw., kecacil) mengandung sedikit asam sianida, dan digunakan untuk mengobati kudis dan luka-luka. Di Sulawesi Selatan, minyak kesambi ini dimasak dengan pelbagai rempah-rempah dan harum-haruman, dijadikan aneka minyak berkhasiat obat; termasuk di antaranya “minyak makassar” (Macassar oil) yang terkenal untuk merawat rambut. Bagian yang kental dari minyak dijadikan salep obat atau untuk menambal celah (memakal) perahu. Dahulu, minyak kesambi ini juga dijadikan minyak lampu, minyak makan dan bahan pembuat sabun.

Daun-daun, pucuk rerantingan, dan limbah biji (bungkil) sisa pengempaan dijadikan pakan ternak. Sementara itu dalam industri kehutanan, pohon kesambi merupakan salah satu pohon inang terpenting bagi kutu lak (Laccifer lacca). Lak dan syelak (shellac), resin lengket yang digunakan sebagai bahan pewarna, pengilat makanan, dan pernis, terutama dihasilkan oleh India. Di Indonesia, lak diproduksi oleh Perhutani di Probolinggo.

Hampelas

Hampelas (bahasa Sunda dan bahasa Melayu) atau rampelas (bahasa Jawa) adalah tumbuhan dari keluarga Moraceae yang tingginya sampai 20 meter dengan gemang 50 cm, tumbuh di seluruh Indonesia, tersebar pada ketinggian kurang dari 1.300 m dpl.

Batang dari pohon hampelas berdiri tegak, bulat, dan mempunyai percabangan simpodial. Daunnnya tunggal, berseling, lonjong, tepi bergerigi. Daun hampelas teksturnya kasar dan jika kering bisa dijadikan sebagai ampelas untuk menghaluskan permukaan kayu. Bunganya mempunyai panjang 5-7 mm, berwarna hijau kecoklatan, dan kelopaknya berbentuk corong. Sedangkan bijinya berbentuk bulat dan berwarna putih.

Hampelas ada yang dibudidayakan karena kegunaan daunnya, ada juga yang tumbuh dengan sendirinya.

Cairan dari tumbuhan ini dapat diminum, berguna untuk pengobatan orang yang mengalami kesulitan mengeluarkan air kencing dan sebagai obat murus/mencret. Hampelas mengandung air, berwarna cokelat kekuningan dan rasanya pedas. Cairan ini dapat diperoleh dengan cara memotong akarnya. Daun, akar dan batang pohon hampelas mengandung saponin, flavonoida dan polifenol.

Limus

Limus (sunda) atau Bacang adalah nama sejenis pohon buah yang masih sekerabat dengan mangga. Orang sering menyebut buahnya sebagai bacang, ambacang (Min.), embacang atau mangga bacang. Juga dikenal dengan aneka nama daerah seperti limus (Sd.), asam hambawang (Banjar), macang atau machang (Malaysia), maa chang, ma chae atau ma mut (Thailand), la mot (Myanmar) dll. Dalam bahasa Inggris disebut bachang atau horse mango, sementara nama ilmiahnya adalah Mangifera foetida Lour.

Bacang terutama ditanam untuk buahnya, yang biasa dimakan dalam keadaan segar jika masak. Wanginya yang khas menjadikan buah ini digemari sebagai campuran minuman atau es, meski masih kalah kualitas jika dibandingkan dengan kuweni (Mangifera odorata).

Getah bacang yang gatal juga terdapat pada buahnya; akan tetapi jika masak, getah ini terbatas berada hanya pada kulitnya. Dengan demikian buah bacang perlu dikupas agak tebal, supaya getah itu tidak melukai mulut dan bibir dan menyebabkan bengkak-bengkak. Buah bacang yang muda biasanya direndam dalam air garam, sesudah dikupas dan dipotong-potong, agar dapat dijadikan rujak atau asinan. Di Kalimantan Timur, bacang juga kerap digunakan sebagai asam dalam membuat sambal.

Kayu bacang tidak begitu baik kualitasnya, namun kadang-kadang dimanfaatkan dalam konstruksi ringan di dalam rumah. Daunnya dapat digunakan sebagai penurun demam, dan bijinya untuk mengobati penyakit jamur, kudis dan eksim. Getahnya untuk memperdalam gambar tato tradisional.

Bintaro

Buah bintaro yang belum masak

Bintaro (Cerbera manghas) atau ada pula yang menyebutkan Cerbera odollam Gaertn adalah tumbuhan pantai atau paya berupa pohon dengan ketinggian dapat mencapai 12m. Dikenal di Pasifik dengan nama leva (Samoa), toto (Tonga), serta vasa. Pohon Bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree.

Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Getahnya sejak dulu dipakai sebagai racun panah/tulup untuk berburu. Racunnya dilaporkan dipakai untuk bunuh diri atau membunuh orang. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan. Walaupun beracun, bijinya mengandung minyak yang cukup banyak (54,33%) dan berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel dengan melalui proses hidrolisis, ekstrasi dan destilasi.

Lame

Lame atau Pulai adalah nama pohon dengan nama botani Alstonia scholaris. pohon ini dari jenis tanaman keras yang hidup di pulau Jawa dan Sumatra. Dikenal juga dengan nama lokal pule, kayu gabus, lame, lamo dan jelutung.

kualitas kayunya tidak terlalu keras dan kurang disukai untuk bahan bangunan karena kayunya mudah melengkung jika lembab, tapi banyak digunakan untuk membuat perkakas rumah tangga dari kayu dan ukiran serta patung. Pohon ini banyak digunakan untuk penghijauan karena daunnya hijau mengkilat, rimbun dan melebar ke samping sehingga memberikan kesejukan. Kulitnya digunakan untuk bahan baku obat. berkhasiat untuk mengobati penyakit radang tenggorokan dan lain-lain. Di Jawa Barat kayu lame sering digunakan untuk pembuatan wayang golek.

Menteng atau Kapundung

buah kapundung

Menteng, kepundung, atau (ke)mundung (terutama Baccaurea racemosa (Reinw.) Muell. Arg.; juga B. javanica dan B. dulcis) adalah pohon penghasil buah dengan nama sama yang dapat dimakan. Sekilas buah menteng mirip dengan buah duku namun tajuk pohonnya berbeda. Rasa buahnya biasanya masam (kecut) meskipun ada pula yang manis.

Jenis ini dipelihara, terutama untuk hasil buahnya. Buah yang segar mungkin dapat lebih populer jika kultivar yang rasanya asam diganti dengan yang manis, dan jika dagingnya tidak menempel kepada bijinya (karenanya biji sering ditelan). Buahnya juga dimanfaatkan untuk setup; mungkin dijadikan asinan, atau difermentasi menjadi anggur. Sebagian besar jenis Baccaurea menghasilkan kayu yang baik sekali, merupakan produk utama berbagai jenis minor, walaupun untuk beberapa jenis buahnya dapat dimakan juga. Kayunya digunakan untuk bangunan rumah, perahu, dan mebel. Selain itu, sama halnya dengan pohon-pohon kauliflora lainnya, Baccaurea dianggap sebagai pohon perambat yang baik untuk rotan. Jenis-jenis yang dibudidayakan membentuk tajuk yang bagus dan dapat dimanfaatkan juga sebagai tanaman hias dan pohon pelindung. Kulit kayu beberapa jenisnya, dengan dicampur berbagai ramuan, digunakan untuk mewarnai sutra menjadi kuning, merah, atau lembayung muda, melalui proses pewarnaan yang dalam bahasa Melayu disebut ‘pekan’. Kulit kayu ini digunakan juga untuk mengobati mata bengkak.

Kemang

buah kemang

Kemang adalah pohon buah sejenis mangga dengan bau yang harum menusuk dan rasa yang masam manis. Pohon ini berkerabat dekat dan seringkali dianggap sama dengan binjai. Akan tetapi beberapa pakar menyarankan untuk memisahkannya dalam jenis tersendiri, Mangifera kemanga. Kemang juga dikenal dengan nama lain seperti palong (bahasa Kutai, Kaltim).

Sebagaimana binjai, kemang terutama ditanam untuk buahnya, yang biasa dimakan segar setelah buah itu masak atau dijadikan campuran es. Buah kemang juga biasa dijadikan sari buah. Buah kemang yang muda disukai untuk bahan rujak. Demikian pula bijinya, yang dalam keadaan segar diiris-iris dan dimakan setelah dibumbui serta ditambah kecap. Daun kemang yang masih muda (kuncup) digunakan untuk lalap dan kerap dihidangkan di rumah-makan Sunda. Sedangkan batangnya dapat dijadikan kayu untuk konstruksi ringan.

Dadap

polong dadap

Dadap atau cangkring adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae (=Leguminosae). Tanaman yang kerap digunakan sebagai pagar hidup dan peneduh ini memiliki banyak sebutan yang lain. Di antaranya dadap ayam, dadap laut (Jw.; dadap blendung (Sd.); theutheuk (Md.); dalungdung (Bal.); deris (Timor); galala itam (Maluku) dan lain-lain.

Juga dapdap, andorogat (Fil.); th’ong banz (Laos (Sino-Tibetan)); thong baan, thong laang laai, thong phueak (Thai); penglay-kathit (Burma); Indian coral tree, variegated coral tree, tiger’s claw (Ingg.); arbre au corail, arbre immortel (Fr.) dan lain-lain.

Dadap kerap dipakai sebagai pohon peneduh di kebun-kebun kopi dan kakao, atau pohon rambatan bagi tanaman lada, sirih, panili, atau umbi gadung. Juga baik digunakan sebagai tiang-tiang pagar hidup.[4] Di wilayah Pasifik, dadap dimanfaatkan sebagai penahan angin. Tanaman ini menghasilkan kayu ringan (BJ 0,2-0,3), lunak dan berwarna putih, yang baik untuk membuat pelampung, peti-peti pengemas, pigura, dan mainan anak. Kayunya juga merupakan bahan pulp, namun kurang baik digunakan sebagai kayu api karena banyak berasap.

Daun-daun dadap yang muda dapat digunakan sebagai sayuran. Daun-daun ini berkhasiat membanyakkan susu ibu, membuat tidur lebih nyenyak, dan bersama dengan bunganya untuk melancarkan haid. Cairan sari daun yang dicampur madu diminum untuk mengobati cacingan; sari daun dadap yang dicampur minyak jarak (kasteroli) digunakan untuk menyembuhkan disentri. Daun dadap yang dipanaskan digunakan sebagai tapal untuk meringankan rematik. Pepagan (kulit batang) dadap memiliki khasiat sebagai pencahar, peluruh kencing dan pengencer dahak. Memiliki kandungan protein (dan nitrogen) yang tinggi, daun-daun dadap juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau untuk pupuk hijau. Sebatang pohon dadap yang berukuran sedang, yang dipangkas 3-4 kali setahun, dapat menghasilkan 15-50 kg hijauan pakan ternak dalam setahunnya. Sejauh ini, daun-daun dadap diketahui tidak bersifat racun (toksik) bagi ternak ruminansia.Perakaran dadap bersimbiosis dengan bakteri Bradyrhizobium mengikat nitrogen dari udara, dan meningkatkan kesuburan tanah.

Gadung

Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae) tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Produk gadung yang paling dikenal adalah dalam bentuk keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Umbinya dapat pula dijadikan arak (difermentasi) sehingga di Malaysia dikenal pula sebagai ubi arak, selain taring pelandok.

Umbi gadung dikenal sangat beracun. Umbi ini digunakan sebagai racun ikan atau mata panah. Sepotong umbi sebesar apel cukup untuk membunuh seorang pria dalam waktu 6 jam. Efek pertama berupa rasa tidak nyaman di tenggorokan, yang berangsur menjadi rasa terbakar, diikuti oleh pusing, muntah darah, rasa tercekik, mengantuk dan kelelahan.[2]

Meski demikian di Indonesia dan Cina, parutan umbi gadung ini digunakan untuk mengobati penyakit kusta tahap awal, kutil, kapalan dan mata ikan. Bersama dengan gadung cina (Smilax china L.), umbi gadung dipakai untuk mengobati luka-luka akibat sifilis. Di Thailand, irisan dari umbi gadung dioleskan untuk mengurangi kejang perut dan kolik, dan untuk menghilangkan nanah dari luka-luka. Di Filipina dan Cina, umbi ini digunakan untuk meringankan arthritis dan rematik, dan untuk membersihkan luka binatang yang dipenuhi belatung.

Mungkin hanya baru ini saja yang dapat saya share untuk kali ini, tapi dari pengetahuan tadi kita dapat mengambil pelajaran bahwa nenek moyang kita dulu banyak menamai daerah di Indonesia ini dengan nama tanaman mungkin memiliki pesan kepada kita sebagai generasi sesudahnya agar senantiasa dapat menjaga dan melestarikan tanaman-tanaman tersebut dan dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Namun sayang banyak dari kita sekarang yang tidak peduli akan hal tersebut, sehingga kita hanya bisa menjadi penonton sementara bangsa lain memanfaatkan kekayaan flora kita.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memotivasi kita semua untuk lebih mengenal diri kita dan memaksimalkan potensi yang ada padanya.

sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Kesambi

http://id.wikipedia.org/wiki/Bacang

http://id.wikipedia.org/wiki/Hampelas

http://sektorazalea.wordpress.com/2008/11/04/berkenalan-dengan-pohon-bintaro/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bintaro

http://id.wikipedia.org/wiki/Pulai

http://oq-151086.blogspot.com/2009/01/jenis-tanaman-langka-yang-ditanam-di.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Menteng

http://id.wikipedia.org/wiki/Kemang

http://id.wikipedia.org/wiki/Dadap

http://id.wikipedia.org/wiki/Gadung

Tulisan ini dimuat juga di http://oenank.tumblr.com/post/2823020104/nama-daerah-nama-tanaman

Perjalanan Sang Walikota

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Di Suatu sore yang cerah, sang Walikota Bandung tengah dihadapkan pada draft rancangan Perda kawasan Cagar. Sambil nyuruput kopi item manis, Pak Walikota lalu ngomen dalam hati,”Wah banyak banget  ini daftar cagar budayanya, bener gak nih ?!”

“Kalo gini keadaanya saya kudu terjun langsung ke lapangan nih, liat langsung kondisi Bandung tempo dulu, biar nanti bikin Perdanya gak salah…”

Setelah beberapa menit termenung, sang walikota langsung manggil ajudannya. “Ajudaaaann.. tolong pesen tiket Garuda ke Amerika secepatnya, atur kunjungan ke Houston USA, saya mau studi banding tentang kawasan tua kota Bandung !”

“Lha, emangnya Bandung dulunya di Houston ya Pak ?” Tanya ajudan

“ Nah ini dia ajudan katrok, makanya kalo maen internet jangan buka twitter atau fb-an doang, tau gak kalo ilmuwan AS sono udah nemuin terowongan waktu, saya mau ke sana!”

Nah, singkat kata, Pak Walikota udah nyampe di Houston.  Di sana sang walikota tidak sulit mendapatkan Lokasi Proyek Terowongan Waktu berkat bantuan pejabat setempat. Semuanya bisa lancar karena sang walikota tidak lupa mengirim sajen kepada pejabat setempat, berupa  rokok mahal di Amerika, yaitu 1 slof Rokok Dji Sam Soe !

Di sana Sang Walkot menghadap sang operator mesin. Setelah liatin surat sakti, sang walikota langsung ditanya tujuan masa waktu mana yang mau dikunjungi. Langsung dijawab oleh Pak Walkot “Bandung tahun 1929  !”

“Oh kalo itu tidak perlu terowongan waktu pak, cukup ke Bandung Heritage atau Komunitas Aleut aja. Masa waktu terlalu deket. Saya kira mau ke masa waktu manusia Pawon !”

“Gua udah jauh2 gini masa mau balik lagi. Tar aja pulang dari sini saya maen dulu ke sekre Aleut deh buat ngobrol2, sekarang jalanin aja mesinnya !”

Daripada dengerin pak Walkot mencak-mencak, sang operator langsung nyalain itu mesin terowongan waktu. Whussss… Tiba-tiba sang Walikota sudah berada di depan Bale Nyungcung yang sekarang mesjid agung Bandung. Di tengah alun-alun  itu masih ada dua pohon beringin “Juliana” dan “Wilhelmina” Boom. Para pejalan kaki laki-laki dan perempuan dengan pakaian putih-putih bersliweran di jalanan. Mojang-mojang dengan gaya rambut Gelung Chiyoda tampak sangat menawan. Tambah sexy dengan bawahan sarong yang ketat dan kolom geulis sehingga menghasilkan Lenggang Bandung yang khas. Mata sang Walikota sudah mulai jelalatan. Tapi orang2 malah balik merhatiin setelan sang Walikota. Beliau memakai kaos Polo, celana  Jeans, dan sepatu Adidas.

“Ini orang jatohan mana? Jahitan celana keliatan dari luar, bajunya kasar gitu? Komedi jalanan ya? Perasaan perayaan ulang tahun sang Ratu tanggal 30 April  masih lama? ujar seorang warga yang kebingungan.

“Saya bukan mau komedi jalanan, saya ini walikota Bandung ! Ini baju polo, dan ini namanya celana jeans, dapet beli di Cihampelas !”

“Punteng kang, setau saya di Cihampelas mah teu aya jin, ayana oge Zwembad pemandiannya orang-orang Walanda?”

Gak mau debat, Pak walkot kemudian menyusuri jalan Groote postweg ke arah timur. Di jalanan ini pak Walkot  sempat memperhatikan mobil-mobil yang lalu-lalang, model terakhir dengan lampu yang menonjol dari spatbord, suaranya berisik dan mengeluarkan asap secara terus menerus, jalannya gak lebih dari 40 KM/Jam, membuat debu-debu beterbangan. Mobil-mobil ini tampaknya dibeli di toko Fuch en Rens di Bragaweg. Sambil jalan menyusuri Grootepostweg, Pak Walkot menikmati pemandangan kota yang sangat apik. Bangunan2 anggun : Perusahaan Escompto, NILMIJ, Jajaran Bioskop-bioskop Elita, Pistren Varia dan Oriental, Perusahaan Listrik Gebeo, dan yang paling menarik perhatian adalah Societeit Concordia.  Tempat orang-orang Belanda totok dansa dansi, minum-minum, nonton tonil hingga main bilyar tiga bola. Sedang memperhatikan bangunan itu, ia kaget ditegur :

“He kowe orang apa? Berani dekat-dekat sini !”

“Saya walikota, Pak, Oom!”

“Apa kowe bilang? Aku bukan kau punya bapa! Aku politie, ndoro politie !”

“Saya walikota bandung, ndoro politie”

Sebelum ndoro Politie itu bertindak lain, pak Walkot langsung ngacir ke arah jalan Bragaweg. Sang walkot baru paham kalo waktu itu tidak sembarang orang bisa deket2 rumah bola Concordia itu, Cuma kalangan elit saja yang bisa masuk atau keliaran di daerah sana. Di pintunya bahkan bertuliskan “verboden voor honden en inlanderpribumi dan anjing dilarang masuk. Sang walkot agak kesel juga sambil berpikir untuk memasang tulisan yang sama di kantornya dengan mengganti kata Inlander menjadi Hollander !

Sadar bahwa celana dan bajunya bakal mempersulit perjalanan sang Walkot, maka ia bermaksud untuk mendapatkan pakaian sehari-hari masyarakat. Sang walkot berjalan cepat-cepat ke  arah Bragaweg mengetahui bahwa di daerah itu banyak baju-baju bagus dijual. Baru beberapa langkah beliau dihadapkan pada dua toko baju ternama “Au Bon Marche” dan “Onderling Belang”. Kedua toko ini sangat mahsyur di Bandung. Au Bon Marche merupakan toko fashion (FO) yang berkiblat pada mode di Prancis, sedangkan Onderling Belang saingannya berkiblat ke Belanda. Beliau memilih masuk ke toko Onderling Belang, karena melihat beberapa pribumi masuk ke toko ini. “Kalo ada orang Indonesianya pasti ini toko harga barangnya murah-murah nih” pikir Pak Walkot. Setelah milih-milih baju dan jas serta pantalon putih. Pak Walkot pun bermaksud membayar ke kasir seorang pribumi. Beliau pun menyodorkan  uang untuk membayar, tapi yang ada si kasir malah kaget.

“Ini uang dari mana pak, kok ada gambarnya Soekarno segala ?

“Ini uang resmi pemerintah, nilainya Rp. 100.000,- dan itu gambar presiden pertama Indonesia yang ngusir Belanda !”

“Bapak gila ya? Uang segitu banyak bisa untuk beli ini toko ! Lagipula berani amat  ngomongin Sukarno, beliau sama temen-temennya kan lagi diincer pemerintah. Hati-hati Pak, Di sini pager, tembok, ubin, genteng semuanya punya kuping, bisa-bisa nasib bapak berakhir di Sukamiskin  !”

Pak Walkot langsung buru-buru keluar, tidak jadi beli baju. Beliau jalan lagi dikit ke arah Naripanweg lewat Denisbank yang megah, di sana ketemu sekelompok orang, pribumi dan indo yang lagi rame-rame di depan suatu bangunan. Ternyata itu adalah gedung Ons Genoegen, tempat mangkalnya orang-orang pribumi kaya dan indo yang tidak cukup layak  untuk memasuki Societeit Concordia. Disinilah tempat Soekarno dkk. hang out bersama teman-temannya.

Lagi asik menikmati pemandangan tersebut, Seseorang pemuda berpakaian putih-putih rapih  mengangetkan pak Walkot dengan kata-kata :

“Raden cari siapa di sini?”

“Saya bukan Pak Raden, saya walikota Bandung ! Emangnya saya mirip tokoh film Unyil ?!”

“ Oh baiklah pak meneer Walikota Unyil,  lagi apa bapak di sini?”

Pak walikota langsung dongkol disebut Unyil, tapi gak ada gunanya memperpanjang masalah nama. Beliau langsung menjawab,”Saya lagi studi banding keadaan kota Bandung di tahun 1929 ini, saya liat kota ini cukup rapih, siapa sih yang sekarang lagi mengelola kota ini?”

Kalo ngomongin siapa yang ngelola kota ini, walikota Bandung sekarang adalah Ir. J.E.A. van Wolzogen Kühr, beliau itu guru besar dari Technische Hoogeschool, baru beberapa bulan menjabat setelah menggantikan tuan B. Coops. Keadaan kota ini bisa seperti sekarang berkat jasa tuan Coops yang sangat memperhatikan keadaan kotanya. Bahkan tiap pagi beliau “sarapan” koran supaya tau kritik-kritik dari masyarakat. Pernah suatu kali seorang pelajar MULO mengalami kecelakaan karena menabrak suatu monumen pahlawan, secepat kilat beliau langsung memerintahkan pemindahan monumen itu supaya kecelakaan tidak terulang.” Ujar si Pemuda. Sang walkot yang mendengar pernyataan itu tidak habis pikir bagaimana seorang pribumi bisa bangga atas karya walikotanya yang seorang Belanda. Tapi gak mau kalah beliau langsung menanggapi.

“Ah maklum saja beliau tanggap menata kota ini, wong nanti di tahun 2011 pasti beliau juga angkat tangan menghadapi keadaan kota Bandung saat itu yang jauh lebih luas dari sekarang dengan jumlah penduduk yang lebih banyak”

Sambil tersenyum sang pemuda pun menjawab, ”Saya sih tidak akan khawatir, bukankah pak Walikota nanti memiliki banyak pegawai terampil yang akan membantu bahkan hingga tingkat terendah? Lagipula walikota di tahun 2011 nanti pasti lebih pintar soalnya kan sudah belajar dari walikota-walikota yang terdahulu”

Sang Walikota langsung terdiam malu. Walau ingin ngobrol banyak, Waktu studi banding  Pak Walkot ternyata sudah habis. Operator Time tunnel di Houston ternyata tidak mempan disogok Djie Sam Soe untuk memperpanjang waktu kunjungan. Sang walikota pun kembali ke tahun 2011. Tanpa basa-basi beliau langsung memanggil sang Ajudan “Daaann !!! Tolong anter saya ke sekre Aleut, saya pengen ketemu sama koordinatornya si Indra Pratama atau dengan Pak Ridwan Hutagalung, sepertinya saya perlu belajar lagi tentang kota Bandung ini”

“Ke sekre aleut pak ? Itumah rumah saya atuh…” Ujar sang ajudan dalam hati…

Nb : Tulisan ini terinspirasi dan diadaptasi dari karya Pak Umar Noor yang berjudul “Yogya Tahun 1927”

Komunitas Aleut : every little thing is precious

Oleh : Naluri Bella Wati

Beberapa waktu lalu, saya mendaftar di sebuah konferensi lingkungan di Jakarta. Ketika mengisi formulir pendaftaran, saya kebingungan menuliskan komunitas lingkungan apa yang saya ikuti. Komunitas Aleut-komunitas yang selama ini saya ikuti- adalah komunitas berbasis sejarah. Tidak ada unsur lingkungannya sama sekali. Saya pun mencantumkan nama Aleut di dalam formulir tersebut. Ah, biar deh! Daripada nggak diisi sama sekali, pikir saya.

 

Kemudian datanglah berita itu. Di suatu Minggu, pegiat Aleut datang ke sebuah tempat bernama arboretum di kawasan Jatinangor. Saya sangat senang sekaligus terharu. Ini Bukan kali pertama Aleut menyusuri kawasan alam. Namun ngaleut kali ini sungguh berbeda karena ada misi di dalamnya. Para pegiat bukan hanya jalan-jalan, melainkan mendapat pengetahuan soal tanaman. Tak hanya itu, kami juga diberi berbagai petuah soal pentingnya menjaga lingkungan oleh dosen Biologi Unpad, Pak Prihadi dan Pak Joko, yang menjadi narasumber ahli perjalanan tersebut.

 

Setelah melakukan perjalanan yang penuh inspirasi itu, pegiat Aleut kembali melakukan ngaleut “save our environment” di minggu ini. Kami menyusuri beberapa taman yang ada di Bandung. Menyusuri taman bukan rute baru bagi kami. Namun segalanya menjadi lebih menarik karena kali ini kami tak hanya berbagi soal sejarah berdirinya taman. Lebih jauh dari itu, kami mencoba untuk mengenali ekosistem yang ada di dalam taman tersebut. Bersama Nara sebagai narasumber, kami diajak masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan. Kami jadi tahu bahwa lumut kerak yang menempel di pepohonan dapat menjadi indikator tingkat polusi sebuah kota. Kami jadi tahu bahwa Pohon Kersen satu familie dengan Mawar dan Sakura. Dan siapa sangka bahwa Taman Ganeca dan Liceum adalah arena sosialisasi sekaligus representasi kebudayaan pop di zamannya.

 

Pesan singkat yang ditulis koordinator untuk membawa tang dan trash bag ketika ngaleut juga semakin menunjukkan keseriusan Aleut untuk menyelamatkan lingkungan. Saya senang sekaligus bangga. Menurut saya, Aleut semakin berkembang. Bukan berarti komunitas ini melenceng dari visi misi awalnya. Wajar bila dalam komunitas ada pembaharuan. Fleksibilitas. Perkembangan. Menurut saya, visi “save our environment” yang mulai digalakkan Aleut adalah sebuah pencapaian besar. Lagipula, seperti kata seorang pegiat, isu lingkungan bukan sekedar milik LSM atau departemen pemerintah yang terkait. Isu ini harus diselesaikan bersama-sama, meskipun penyelesaiannya dilakukan berbeda sesuai porsi dan kapasitas masing-masing.

 

Belakangan, saya mulai aktif di dunia lingkungan. Orang bisa bilang saya sok idealis atau ikut-ikutan karena isu ini sedang mutakhir. Kalaupun ikut-ikutan, memang kenapa? Toh dari ikut-ikutan ini kita bisa belajar. Kita jadi tau seperti apa fenomena yang sesungguhnya. Dari sana, barulah kita memutuskan sikap seperti apa yang akan dilakukan. Tak ada salahnya ikut-ikutan dalam konteks yang positif. Saya sendiri menganggap konsep “save our environment” sebagai bentuk tanggung jawab pribadi. Kewajiban sebagai manusia yang ‘nebeng’ di bumi. Bumi dan segala isinya telah menopang hidup saya. Saya bebas menghirup oksigen yang dihasilkan pepohonan. Masa tega memperlakukan mahluk yang telah ‘menghidupi’ kita seenaknya? Seperti kata Pak Prihadi, tidak ada yang gratis di muka bumi ini. Maka kita pun harus membayar apa yang telah lingkungan berikan. Caranya tak usah muluk-muluk. Kita tidak perlu membangun TPA yang super canggih atau memikirkan bagaimana mengurangi emisi karbon global dan menggantinya dengan energi solar. Saya sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. Saya hanya melakukan hal yang sesuai porsi diri. Mencabut paku yang tertancap di pohon, mengurangi penggunaan plastik,atau membuang sampah pada tempatnya sudah merupakan aksi hebat bagi saya. Every little thing that we do to save this earth is worth it. Please do believe that every little thing is precious. Percayalah, setiap hal kecil yang dilakukan secara terus-menerus akan menjadi hal besar di kemudian hari.

 

Sambil mengudap waffle dan yoghurt di Makan-makan ( sebuah cafe yang bertempat di sebuah rumah tua milik Bapak Arsitektur Bandung, Wolf Schoemaker ) kami mengakhiri perjalanan ini dengan diskusi ringan. Lebih dari setahun saya bergabung di Komunitas Aleut. Dan saya baru sadar kalau saya masuk di komunitas yang tepat. Saya mendapat banyak inspirasi dari komunitas ini. Bahkan lelucon dan kelakuan pegiatnya yang kadang sinting pun memberi semacam kekuatan. Kekuatan yang membuat komunitas ini terus hidup dan penuh kehangatan.

Thanks for always giving me lotta inspirations.

 

 

Ps :

Ternyata saya nggak salah masukkin Komunitas Aleut ke formulir pendaftaran konferensi lingkungan itu :p

Ohya, saya juga berencana memasukkan komunitas ini ke dalam bakal calon novel saya. Doakan !

Sekitar Taman Ganesa-Taman Flexi Bandung

Oleh: Mondriadi

Berawal dari Taman Ganesa gerbang depan ITB saya dan beberapa teman berencana jalan-jalan menghabiskan hari. Dari cerita sana sini saya jadi tahu bahwa Taman Ganesa ini di bangun tahun 1917 oleh seseorang bernama Ijzermann (maap kalo penulisannya salah), seorang pegawai perkeretaapian, dan taman ini was named after him. Jadi, Taman Ganesa=Ijzermann Park. Kemudian seorang narasumber, inisial BR, bercerita bahwa pada tahun 70an taman ini terkenal sebagai tempat konser dengan style menyerupai woodstock. Para penonton duduk lesehan di rumput sambil mendengarkan musik jazz yg lagi ngehits (Jack Lesmana cs) dengan dandanan hippies. Selain itu, BR juga bercerita tentang Majalah Aktuil yg jadi referensi musik Bandung waktu itu dan someone named Denni Sabri. Begitulah cerita di Taman Ganesa….

Taman Ganesha

 

salah satu cover Majalah Aktuil

 

Beranjak dari Taman Ganesa kami melewati PDAM Bandung yang tentu saja ada ceritanya. Ceritanya, ini dulu (sampai Jl. Gelap Nyawang) adalah tanah lapang tempat Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara (GASIBU) melakukan aktivitasnya. Saat PDAM ini mau di bangun mereka dipindahkan ke Lapangan Gasibu yang kita kenal sekarang. Oya, hampir kelupaan. Kali ini kami berkesempatan memasuki “halaman belakang” SMAK Dago (selalu ditutupi seng), luas sekali ternyata dan kalau hari minggu di jadikan parkiran. Di sini narasumber bercerita bahwa di sekolah elit jaman dahulu ini sering di adakan pertunjukan musik, mostly jazz, dan menjadi tempat masyarakat bersosialisasi. Pertunjukannya sendiri diadakan di aula sekolah (lupa namanya).

Panas mulai sangat mengganggu saat kami duduk beristirahat di Taman Cikapayang sambil bercanda dan mengamati orang-orang yang ngadem di taman serta pengunjung gereja yang sedikit menimbulkan macet. Taman yang sempat menjadi SPBU ini sejak jaman dahulunya memang dikenal sebagai tempat kongkow. Tanpa buang waktu perjalanan berlanjut di bawah jembatan layang dan berhenti di depan rektorat ITB. Menyambung cerita saya di awal tulisan tentang Ijzermann Park, di gedung rektorat ITB ini tersimpan patung dada Ijzermann yang awalnya berada di Ijzermann Park tepatnya di Monumen Kubus sekarang.

 

Taman Cikapayang

 

Monumen Kubus Taman Ganesha

 

Saya mengikuti rombongan sambil kipas-kipas menyusuri jalur angkot Caringin-Sadang Serang di temani hujan gerimis. Untung saja kami tiba di “halte” berikutnya Rumah CPW Schoemaker yang sekarang menjadi kafe, Bank dan perpustakaan (3 in 1). Rombongan memutuskan untuk duduk dan dengan hebohnya melihat-lihat menu makanan yang disediakan. Kehebohan terjadi beberapa saat. Saat keadaan mulai kondusif, cerita mulai di buka. Dimulai dari, siapakah CPW Schoemaker? Dengan semangat saya mendengarkan penjelasan karena cerita-cerita biografi adalah favorit saya.

Charles Prosper Wolff Schoemaker orang Belanda kelahiran Banyu Biru ini merupakan arsitek yang terkenal di Bandung. Berikut beberapa karyanya :  Gedung Landmark di Jalan Braga, Hotel Preanger,  Villa Isola, Gereja Bethel, Gereja St. Peters, Villa Merah, Mesjid Cipaganti, Gedung Merdeka/Soceiteit Concordia,  Majestic di Jalan Braga dan masih beberapa lagi. Diceritakan bahwa beliau orang yang judes dan suka memelihara binatang buas di rumah. Beliau juga menjadi profesor di ITB dan galak :) ). Bapak CPW pernah menikah 4 kali; 2 bule, 1 cina dan 1 pribumi. Suatu info yang masih diperdebatkan menyatakan bahwa CPWS adalah muslim dan pernah naik haji mungkin inilah alasan beliau membangun mesjid Cipaganti (who knows!!!!). Di balik kegemilangannya di masa lalu, di akhir hidupnya terdapat ironi. Seorang seniman ini makamnya tak terawat di Pemakaman Pandu terlupakan oleh jaman seperti kebanyakan orang2 penting/berjasa di negara ini seperti atlet dan veteran perang.  Begitulah….. Beralih dari CPWS, cerita bergulir kemana saja mulai perbedaan dari cafe, pub, resto, bistro dll yang oleh pengusaha kuliner di Indonesia di abaikan begitu saja hingga pembahasan tentang teori komunis….Betah sampai sore :)

Terlalu banyak info rasanya untuk ditulis dari pengalaman satu hari… NEXT TIME YA…

A to the ZING…AMAZING sumber :

Original Post : http://momonchubby.wordpress.com/2011/01/17/sekitar-taman-ganesa-taman-flexi-bandung/

Tjarda the Last Governor

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Campakkanlah semua kekecilan jiwa! Jaga agar anda tidak berada di bawah ukuran waktu.Semoga rahmat Tuhan menguatkan anda dan saya.” Pidato terakhir Tjarda, gubernur jenderal terakhir Hindia Belanda.

A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (7 Maret 1888 – 16 Agustus 1978), Gubernur Jenderal ke-66 yang juga terakhir bagi Hindia Belanda. Dikenal dengan gigi kelincinya yang khas dan sikapnya yang kaku, sehingga beliau pernah mendapat julukan “si Pepsodent” dari masyarakat Hindia Belanda saat itu.

Kepemimpinan beliau diwarnai dengan aksi militer Jepang ke Hindia Belanda. Saat pejabat-pejabat Belanda melarikan diri ke Eropa atau Australia, beliau memutuskan untuk berada di tengah 70 juta rakyatnya di Hindia Belanda. Tepat di hari ulang tahunnya tanggal 7 Maret 1942, beliau bersama rombongannya mengungsikan diri ke Bandung dari Batavia. Rombongan itu segera menuju Villa Mei Ling di jalan Grooteweg yang saat ini berada di kawasan jalan Siliwangi. Villa ini adalah milik seorang tionghoa pengusaha beras bernama Han. Pentingnya keberadaan kota Bandung digambarkan dalam kebijakan militer Hindia Belanda saat itu “Bagaimanapun jalannya operasi perang, di Bandung tidak boleh ada pertempuran !”.

Tanggal 8 Maret 1942, Tjarda dan Ter Porten berangkat ke Kalijati Subang untuk menandatangi peyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang. Esoknya, Tjarda resmi menjadi tahanan rumah di Villa Mei Ling hingga 6 April 1942. Setelah itu ia sempat mendekam di penjara Soekamiskin selama 17 hari sebelum dipindahkan ke pusat internir di Batavia.

Catatan NgAleut! Arboretum ; tidak ada yang gratis di dunia ini.

Oleh : Unang Lukmanulhakim

“Selalu ada yang baru setiap kali NgAleut!”

Itulah yang saya alami setiap kali mengikuti kegiatan Komunitas Aleut!, begitu pula dengan ngaleut kedua Komunitas Aleut dan Ngaleut Pertama buat saya di tahun 2011 ini tepatnya pada hari minggu, 9 Januari 2011. Kali ini Komunitas Aleut! mendatangi kawasan Jatinangor untuk berkunjung ke Arboretum yang terletak di kampus UNPAD Jatinangor. Tidak seperti sebelumnya ketika berkunjung ke Jatinagor, kali ini  kami menempuhnya dengan menggunakan kereta dan ini merupakan pengalaman saya naik KRD.

Stasiun Bandung menjadi tempat berkumpul kami, karena dari sinilah kami akan naik KRD baraya Geulis ke Jatinangor.

Stasiun Bandung atau Stasiun Hall (kode: BD), adalah stasiun utama kereta api di Kota Bandung. Stasiun berketinggian +709 m dpl menjadi batas antara Kelurahan Pasirkaliki dan Kebonjeruk. Stasiun Hall sebelumnya hanya memiliki satu buah stasiun, setelah ada renovasi oleh pemerintah Kota Bandung maka Stasiun Hall sekarang terbagi menjadi dua bagian walaupun tetap bersatu.

Stasiun Hall Bandung (1930)

Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) karangan Haryoto Kunto, ide awal pembangunan Stasiun Bandung berkaitan dengan pembukaan perkebunan di Bandung sekitar tauh 1870. Stasiun ini diresmikan pada 17 Mei 1884, ketika masa pemerintahan Bupati Koesoemadilaga dan pada waktu yang sama juga dibuka jalur kereta Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur. Di masa itu, para tuan tanah perkebunan (Preangerplanters) menggunakan jalur kereta api untuk mengirimkan hasil perkebunannya ke Batavia dengan lebih cepat. Untuk menampung dan menyimpan hasil perkebunan yang akan diangkut dengan kereta, dibangunlah gudang-gudang penimbunan barang di beberapa lokasi dekat Stasiun Bandung, yaitu Jalan Cibangkong, Jalan Cikuda-Pateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir. Sesaat setelah peresmian jalur Bandung-Surabaya (1 November 1894), para pemiliki pabrik dan perkebunan gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Suikerplanters) menyewa gerbong kereta menuju Bandung untuk mengikuti Kongres Pengusaha Perkebunan Gula yang pertama. Kongres tersebut merupakan hasil pertemuan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) di Surabaya tahun 1896.

Pada tahun 1909, arsitek FJA Cousin memperluas bangunan lama Stasiun Bandung, salah satunya ditandai dengan hiasan kaca patri pada peron bagian selatan yang bergaya Art Deco. Tahun 1918, stasiun ini menghubungkan Bandung-Rancaekek-Jatinangor-Tanjungsari-Citali, kemudian setahun kemudian dibangun lintas Bandung-Citeureup-Majalaya dan pada jalur yang sama dibangun jalur Citeureup-Banjaran-Pengalengan (1921). Untuk jalur ke perkebunan teh, pada tahun 1918, dibangun jalur Bandung ke Kopo dan kemudian ke Ciwidey (Maret 1921).

Pada saat peresmian Stasiun Bandung, surat kabar Belanda saat itu, Javabode, menuliskan bahwa masyarakat sekitar merayakannya selama 2 hari berturut-turut. Dulunya, kereta api merupakan sarana transportasi hasil produksi perkebunan Bandung, seperti kina, teh, kopi, dan karet, sehingga pertumbuhan ekonomi di kota tersebut berkembang pesat. Hal ini menyebabkan stasiun ini mendapat penghargaan dari pemerintah kota berupa monumen yang berada tepat di depan stasiun, yaitu di peron selatan (Jalan Stasiun Selatan). Saat itu, tugu tersebut diterangi oleh 1.000 lentera rancangan Ir EH De Roo. Monumen tersebut telah digantikan oleh monumen replika lokomotif uap seri TC 1008. Pada tahun 1990, dibangun peron utara yang akhirnya dijadikan bagian depan stasiun di Jalan Kebon Kawung.

Setelah menunggu beberapa lama untuk menunggu teman-teman Aleut yang terlambat datang maka sekitar pukul 08.00 kami memutuskan untuk segera membeli tiket kereta karena Jadwal keberangkatan kereta selanjutnya adalah pukul 08.30. Harga tiket KRD Bumi Geulis (Kelas PATAS) adalah Rp.5000 dengan jurusan Stasiun Bandung – Cicalengka, tapi kami hanya akan menempuh perjalanan sampai dengan stasiun Rancaekek karena stasiun itulah yang paling dekat dengan tujuan kami Jatinangor. Sekitar pukul 08.30 kereta pun memulai perjalanan dengan teman-teman Aleut yang ceria menumpang didalamnya.

Tiket Tanpa tempat Duduk menuju Rancaekek
kereta Baraya Geulis
suasana di dalam kereta

Sekitar pukul 09.00 kita tiba di Stasiun Rancaekek, perjalan tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, jauh lebih cepat dibandingkan kita menggunakan DAMRI. Dari Rancaekek kita melanjutkan perjalanan menuju Cikeruh dengan menggunakan angkot.

suasana di dalam angkot

Setelah menmpuh perjalanan yang tidak terlalu lama dengan angkot akhirnya kita tiba di kawasan sungai cikeruh yang berada di kawasan sekitar Jatinangor. Di kawasan sungai ini kita menelusuri saluran irigasi yang telah lama di gunakan para petani untuk mengairi sawahnya, sangat senang rasanya menikmati keindahan hamparan sawah dan aliran sungai yang walaupun keruh sesuai dengan namanya Cikeruh.

perjalanan menelusuri sungai cikeruh

Jatinangor sendiri adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Nama Jatinangor sebagai nama kecamatan baru dipakai sejak tahun 2000-an. Sebelumnya, kecamatan ini bernama Cikeruh. Nama Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi di sana.

Dari Topografische Kaart Blaad L.XXV tahun 1908 dan Blaad H.XXV tahun 1909 yang diterbitkan oleh Topografische Dienst van Nederlands Oost Indie, telah dijumpai nama Jatinangor di tempat yang sekarang juga bernama Jatinangor. Ketika itu, daerah Jatinangor termasuk ke dalam Afdeeling Soemedang, District Tandjoengsari. Nama Cikeruh sendiri diambil dari sungai (Ci Keruh) yang melintasi kecamatan tersebut.

Pada Peta Rupabumi Digital Indonesia No. 1209-301 Edisi I tahun 2001 Lembar Cicalengka yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL masih dijumpai nama Kecamatan Cikeruh untuk daerah yang saat ini dikenal sebagai Kecamatan Jatinangor. Pada beberapa dokumen resmi dan setengah resmi saat ini, masih digunakan nama Kecamatan Cikeruh. Kecamatan ini terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o 53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Kode Pos untuk kecamatan ini adalah 45363.

Setelah menelusuri kawasan sungai cikeruh kami melanjutkan perjalanan menuju kampus UNPAD melalui jalan pesawahan yang pada akhirnya tembus ke jalan raya Jatinangor, kami melalui jalan cikuda yang kemudian menuju jembatan cincin atau jembatan cikuda yang terletak di samping kampus UNPAD.

Jembatan cikuda atau jembatan cincin

Jembatan di Cikuda – yang sering disebut sebagai Jembatan Cincin oleh masyarakat sekitar – pada mulanya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan; dan pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat.

Setelah dari jembatan cikuda kami bergegas menuju kampus UNPAD dimana Arboretum berada yang merupakan tujuan utma ngaleut kita kali ini. Menurut informasi yang saya dapat, di lokasi kampus UNPAD Jatinangor dulunya merupakan sebuah perkampungan yang bernama kampung Kiciat. Kami menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki untuk sampai di Arboretum karena Arboretum terletak di sisi barat kampus UNPAD sedangkan kami masuk dari sisi timurnya, alhasil hampir semua kawasan kampus kami telusuri. Ketika berjalan di jalan sekitar fakultas pertanian-fakultas peternakan kami melihat dari kejauhan sebuah bangunan yang membuat penasaran pegiat aleut. Ternyata bangunan tersebut adalah menara loji jatinangor.

menara loji dari kejauhan

Menara jam – yang sering disebut Menara Loji oleh masyarakat sekitar – itu dibangun sekira tahun 1800-an. Menara tersebut pada mulanya berfungsi sebagai sirene yang berbunyi pada waktu-waktu tertentu sebagai penanda kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet milik Baron Baud. Bangunan bergaya neo-gothic ini dulunya berbunyi tiga kali dalam sehari. Pertama, pukul 05.00 sebagai penanda untuk mulai menyadap karet; pukul 10.00 sebagai penanda untuk mengumpulkan mangkok-mangkok getah karet; dan terakhir pukul 14.00 sebagai penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.

Baron Baud adalah seorang pria berkebangsaan Jerman yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. Perkebunan karet ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung Manglayang.

Sekira tahun 1980-an lonceng Menara Loji dicuri dan hingga kini kasusnya masih belum jelas; baik mengenai pencurinya, apa motifnya, dan bagaimana tindak lanjut dari pihak berwenang. Bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang – selaku pihak yang seharusnya mengawasi pemeliharaan cagar budaya – pun tidak tahu-menahu mengenai kelanjutan kisah pencurian itu. Menara Loji yang sempat nampak tidak terurus sekarang telah terlihat cantik kembali berkat bantuan PMI yang berkantor didekatnya.

Tak jauh dari tempat melihat menara loji, kami akhirnya tiba di bagian belakang Arboretum, kemudian melalui jalan semak-semak kami masuk ke dalam hutan yang ternyata hutan koleksi pohon-pohon langka. setelah berjalan beberapa saat, tibalah kami di sebuah gubuk dengan kolam ikan didepannya yang tampak bersahaja namun sangat menawan, ternyata ini adalah kawasan arboretum yang bertema pedesaan dimana disana terdapat rumah, kolam ikan, hewan ternak dan tumbuhan-tubuhan tertentu, dan disinilah kami semua melepas lelah sambil membuka perbekalan kami.

Jalan menuju arboretum
sebagian kawasan pertanian arboretum
bunga-bunga liar di kawasan arboretum
kolam ikan dengan sepasang angsa di dalamnya

Lalu apa sih arboretum itu?

Dalam bahasa latin, Arboretum berasal dari kata arbor yang berarti pohon, dan retum yang berarti tempat. Sedangkan Arboretum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan.

Istilah Arboretum sendiri pertama kali digunakan oleh John Claudius Loudon pada tahun 1833dalam The Gardener’s Magazine, walaupun sebenarnya sudah ada konsepnya terlebih dahulu.

Sejarah Arboretum

Firaun Mesir menanam pohon eksotis dan merawatnya, mereka membawa kayu ebony dari Sudan, pohon pinus dan cedar dari Suriah. Setelah Ekspedisi Hatshepsut (salah satu Firaun)  ke daerah Punt mereka membawa tiga puluh satu  pohon frankincense hidup, akarnya disimpan dalam keranjang dengan hati-hati selama dalam perjalanan, hal tersebut adalah upaya pertama yang tercatat untuk transplantasi pohon asing.  Pohon-pohon tersebut kemudian ditanam di sekitar lapangan Deir el Bahri yang merupakan kompleks kuil dan pemakaman.

The three temples at Deir el Bahari from the top of the cliff behind them, part of Hatshepsut’s temple on left, Tuthmosis III’s temple in center, and Mentuhotep II’s temple on right
Arboretum Trsteno – Kroasia

Arboretum pertama adalah Trsteno Arboretum , di Dubrovnik, Kroasia . tanggal pendiriannya tidak diketahui tapi telah ada sejak tahun 1492,  ketika saluran air sepanjang 15 m (50 kaki) untuk mengairi Arboretum dibangun, saluran air ini masih digunakan. Taman ini diciptakan keluarga Gučetić/Gozze. Taman ini mengalami dua bencana besar pada 1990-an tetapi dua buah Platanus orientalis atau Oriental plane yang unik dan kuno masih tetap berdiri.

Setelah makan siang, kami melanjutkan kegiatan yaitu dengan menyimak penjelasan dari Pak Prihadi dan Pak Joko yang merupakan dosen MIPA UNPAD dan pengurus Arboretum. Beliau menjelaskan banyak hal yang sebelumnya tidak kita ketahui padahal sering kita dengar sehari-hari seperti nama-nama tumbuhan yang kemudian dijadikan nama daerah seperti kosambi, bintaro, gandaria, lame, dan masih banyak lagi. selain itu kami pun dapat melihat tanaman-tanaman yang menjadi ciri daerah-daerah di jawa barat seperti bunga patrakomala yang menjadi bunga khas kota Bandung.

Arboretum ini seluas 12,5 ha, terbagi ke dalam beberapa zona, diantaranya zona tanaman obat, tanaman langka, tanaman jati diri, tanaman bahan bangunan dan zona budidaya.

Manfaat arboretum :

  1. Digunakan sebagai tempat diskusi, praktikum dan penelitian
  2. Tempat pembelajaran mengenai lingkungan dan keanekaan hayati untuk berbagai jenjang pendidikan dan umum.
  3. laboratorium lapangan, arboretum merupakan sumber daya plasma nutfah (bank genetik) yang menyimpan berbagai koleksi jenis tanaman langka khususnya dari daerah jawa barat, tanaman obat-obatan, tanaman pohon produksi dan kolam percobaan, berbagai jenis hewan liar.
  4. Melindungi mata air yang ada di kawasan arboretum
  5. Melestarikan model ekologi pedesaan seperti pekarangan tradisional, rumah baduy, kolam, sawah, kebun dan lain-lain.
  6. Tempat wisata pendidikan dan rekreasi.
bunga patrakomala
katanya buah sosis, tapi awas beracun loh
mahkota dewa
haur kuning
tanaman papyrus

Selain bisa melihat langsung dan mempelajari tumbuhan yang ada di arboretum ini, ternyata disini juga kami mendapatkan banyak pencerahan dari Pak Pri dan Pak Joko tentang betapa besarnya potensi yang dimiliki Indonesia yang sayangnya sebagian masyarakatnya belum tahu atau tidak mau tahu dalam pengelolaanya. Beliau juga mengatakan pada kami bahwa kenapa buah-buah yang unggul selalu berembel-embel “bangkok”, hal ini dikarenakan perilaku masyarakat Thailand yang sangat menghargai semua pemberian alam. Menurut Pak Pri bahwa kearifan lokal masyarakat Thailand itu menganggap di dunia ini tidak ada yang gratis, setelah kita mengambil sesuatu dari alam maka kita harus memberikan sesuatu pula pada alam, misalkan ketika mengambil buah dari pohon maka kita harus memberikan pohon tersebut pupuk sebagai balasannya. dengan demikian maka kelangsungan ekosistem alam akan terjaga dan memberikan kontribusi yang maksimal bagi manusia.

Setelah lelah berjalan menelusuri kawasan arboretum, kami terpaksa mengakhiri kegiatan kami dikarenakan hari yang sudah mulai sore, dan seperti biasa pada akhir kegiatan ngaleut ditutup dengan sharing dari seluruh peserta ngaleut sambil menikmati singkong bakar dan jagung rebus hasil tanam dari arboretum.

Dengan berakhirnya session sharing maka berakhir pula Ngaleut Arboretum pada hari tersebut dan kami pun beranjak pulang karena hari sudah semakin sore.

Ngaleut kali ini benar-benar memberikan banya inspirasi bagi saya khususnya tentang bagaimana kita memperlakukan lingkungan agar mereka tetap bersahabat dengan kita.

mudah-mudahan catatan ini juga dapat menginspirasi kita semua agar lebih bisa menghargai lingkungan.

Belum ke Bandung kalo belum NgAleut!

sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/Arboretum

http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/03/arboretum-itu-bukan-sekedar-arboretum/

http://www.biologi.unpad.ac.id/?p=68

http://id.wikipedia.org/wiki/Jatinangor,_Sumedang

http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Hall

http://secretdalmatia.wordpress.com/2010/04/21/arboretum-trsteno-near-dubrovnik-www-tours-in-croatia-com/

Foto dari album koleksi para pegiat Komunitas Aleut!

Tulisan ini dimuat juga di http://oenank.tumblr.com/post/2696983699/catatan-ngaleut-arboretum-tidak-ada-yang-gratis-di

“Tak ada yang Gratis!” Kearifan Lokal di Arboretum UNPAD

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

“Semangat itu membimbing pena di tangan saya yang lemah untuk menggambar suatu pemandangan alam tropis , seperti yang ditunjukan di pulau Jawa, sejauh  yang dapat diukur , sebagai suatu bagian dari suatu konsep utuh. Ini hanya sketsa , sebuah bukti awal yang lemah yang dapat saya berikan kepada para pembaca…” Junghuhn, Jawa 1853

 

Franz Willem Junghuhn  (1809-1864) adalah seorang Peneliti asal Jerman yang jatuh cinta terhadap keberagaman hayati di Nusantara, khususnya pulau Jawa. Ia menulis buku Java. Siene Gestalt, Pflanzendecke unm innere Bauart tahun 1845 yang berisikan monograti geografis alam Jawa terpenting di masa itu. Buku itu memuat sketsa-sketsa dan lukisan keindahan alam pulau Jawa, yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata sehingga perlu ditunjukan dengan  suatu citra, Yang tentu saja pada masa itu belum ada fotografi sehingga lukisan/sketsa menjadi media utama dalam pendokumentasian keindahan ini. Beruntunglah kita yang tinggal di tanah Jawa Barat ini karena bisa menyaksikan keindahan alam secara langsung tidak lewat foto/lukisan. Tapi beberapa waktu lagi untuk menikmati beragam jenis vegetasi khas Jabar, mungkin kita harus beralih lagi pada pada gambar-gambar dua dimensi  tanpa bisa menyaksikan tumbuhan aslinya.

 

Lalu apa hubungannya dengan Ngaleut terakhir (9/01/11) ? Tentu saja ada, saya yang selama ini mengadakan perjalanan bersama Aleut kerapkali menemukan suatu daerah yang dinamakan berdasarkan nama suatu vegetasi, diantaranya seperti : Kosambi, Andir, Baros, Binong, Dadap, Gadung, dll. Tanpa mengetahui bentuk fisik dari tumbuhan-tumbuhan yang dimaksud tersebut. Padahal vegetasi tersebut merupakan tanaman lokal yang menurut saya sengaja dijadikan nama suatu daerah oleh orang-orang tua kita jaman dahulu sebagai media untuk mengingatkan kita akan pentingnya pengetahuan  tumbuhan-tumbuhan tersebut.

 

Beberapa Buah Khas Nusantara

Sayangnya, seperti yang saya rasakan selama ini, kita tampaknya acuh-tak acuh saja dalam mengenai jenis-jenis vegetasi. Ini menyadarkan saya akan istilah yang selalu saya gunakan “tak kenal maka tak sayang”, untuk menyelamatkan lingkungan pertama tama kita harus mengenal penghuni lingkungan itu.  Omong kosong aktivis-aktivis yang berkoar meneriakkan penyelamatan lingkungan sementara ia tidak mengenal vegetasi yang ada di sekitarnya (punten rada galak yeuh.. hehe). Terimakasih pada Aleut! yang membawa saya ke Arboretum UNPAD yang ternyata menyimpan banyak koleksi tanaman lokal tersebut. Walau tidak hapal seluruhnya, minimal saya jadi tahu bentuk dan kegunaan dari beberapa vegetasi khas Jawa Barat. Mungkin dengan beberapa kuliah selanjutnya dari Pak Joko dan Pak Prihadi selaku narasumber, saya bisa menghapal seluruh vegetasi khas Jawa Barat (amienn)…

 

Tampaknya kearifan lokal terhadap  lingkungan lebih disadari oleh nenek moyang kita dahulu yang masih menganut animisme. Contohnya mereka beranggapan bahwa roh-roh nenek moyang berdiam di puncak-puncak gunung sehingga mereka tidak berani mengusik daerah tersebut yang notabene adalah daerah resapan air. Mahkluk-mahkluk halus juga dipercaya mendiami pohon-pohon besar sehingga tidak ada yang berani mendekati atau bahkan mengganggunya. Apabila mereka akan menebang atau mengambil suatu hasil alam, mereka juga memberikan semacam pengorbanan sebagai suatu tanda terima kasih kepada alam. Tanpa bermaksud menjadi musyrik, tindaka-tindakan nenek moyang ini harus dibaca sebagai suatu upaya konservasi yang sukses walau tanpa diiming-imingi ancaman pemanasan global atau undang-undang.

 

Keanekaragaman hayati di Jawa Barat ini tidak hanya didokumentasikan dalam nama-nama daerah, melainkan juga dalam karya sastra Jawa Klasik. Ketika saya berada di Arboretum, saya langsung terbayang suatu fragmen dalam Serat Centhini yang menggambarkan keadaan kekayaan alam Jawa Barat. Kitab Centhini merupakan suatu kitab “Ensiklopedi Jawa” berbentuk tembang-tembang dengan petuah-petuah dan kisah-kisah menarik dan yang sangat indah, karya ini ditulis pada abad ke-18.

Berikut ini saya kutip kisah Jayengresmi “tokoh utama cerita” yang sedang mengunjungi  Bogor.

 

Alkisah Jayengresmi bertemu dengan kepala Desa Bogor bernama Ki Wargapati. Sang Kepala Desa kemudian membawa sang Jayengresmi ke bekas keraton Padjajaran yang saat itu hanya berupa kolam bertepikan batu hitam dengan ukiran yang indah. Jayengresmi kemudian melanjutkan perjalanan ke pertapaan Gunung Salak dan menikmati keindahan di sana. Tak lupa ia menyebutkan tanaman-tanaman yang ada di sana, antara lain :

 

Bunga-bunga

-andong, mawar warna-warni, dalia, andul, anggrek buan, noja, nagasari, cepiring, dan cempaka wangi

– claket, cengger, ragaina, rukem dan rejasa

– krandang, kalak wangi, kanigara, dan kalurak

– kalilika, kemuning dan kenikir

– Kesturi dan kenanga

– Dlima, druju, dilem, tluki, tunjung, tlutur, tongkeng, sungsang, soka, srigading, sulastri, sruni, sumarsana, widuri dan warsiki ungu

– wura-wari merah dan landep

– Larawudu, liander, dan landep

– Patragala, pundak, pulu, purbanegara (bunga matahari) dan prabu set, pancasuda

– Pacar banyu

– Petet, pacarcina, pacarkuku yang harum baunya

– Menur bersusun dan tunggal

– Melati banak sekali, mandakaki, gandapura, gambir merah, dawung dan gambir putih

– Buntut kucing merah dan kuning

– Bakung, bangah, dan bebeg.

 

Tanam-tanaman

– Anggi-anggi, ulet-ulet dan inggu

– Adas, cengkeh, ceguk, cabe rasukangin, rasamala, ketumbar, kemukus, kayu abang, kapulaga, klembak, klabet, kedawung dan kayu legi.

– Tenggari dan trawas

– Kayu tai, sintok, sidawayah, suprantu, sukmadiluwih, widara putih, waron, pala, pulasari, pucuk, pacar, jongrahap, merica, masoyi manis, kemenyan

– Ganthi, gelam, gaharu, botor dan bunga tempayang.

 

Pohon buah-buahan

– Asem, elo dan epreh

– Nam-nam, nangka muda, crème, rukem, randu, kuweni, kokosan, ketos, kleca, kelayu, kapundung, kecapi, kawis, kemlaka, kopi, kluwih, delima, durian, tanjung, tangkil, sawo, semak, dan srikaya.

– Sentul, sokat, sukun dan sulastri.

– Wuni, Beringin, langsep, pijetan, mangga, plenisan, dan pakel.

– Pucung, duwet, duku, jeruk, jirak dan Jambu

– Nyamplung, manggis, mulwa, melinjo, maja, mundu, gowok, kedondong dan gayam.

– balong, Belimbing, blimbing wuluh, besaran merah dan bogem banyak sekali…

 

PEmandangan Gunung Salak

 

Nah, itulah sebagian vegetasi yang didokumentasikan dalam Serat Centhini, sebagian besar nama tumbuh-tumbuhan itu masih asing bagi saya. Nah di akhir kisah, disebutkan sebagai berikut :

Hasil tanam-tanaman tersebut diberikan sebagai amal sedekah kepada siapa saja yang memerlukannya. Boleh memetik sesuka hatinya. Maka tiap hari tak ada hentinya, orang selalu berdatangan menerima dana yang tak dibatasi itu. Yang diambil tak habis-habisnya, bahkan selalu bertambah. Peristiwa itu sampai terdengar di lain-lain daerah”.

 

Nah inilah watak orang-orang bagsa kita yang secara jujur diungkapkan serat Centhini dan ditekankan lagi oleh Pak Prihadi serta pak Joko dari Arboretum UNPAD, bahwa seringkali kita hanya menikmati hasil alam tanpa ingat untuk berterima kasih kepadanya, sehingga alam tidak akan memberikan hasil terbaiknya lagi  kepada kita, kita telah melupakan kearifan lokal kita padahal  “Tidak ada yang Gratis” !

 

 

Selasih

 

Sumber :

Twentienth Century Indonesia. Wilfred T Neill. Columbia Univ. press. 1973

Serat Centhini Jilid I-B. Tardjan Hadidjaya. UP Indonesia. 1979

Sejarah Ringkas Indonesia. L. Mariatmo. Kanisius Jogjakarta. 1953

 

Gambar

Ilmu Tumbuh-tumbuhan. T. Uit De Bos. JB Wolters. 1950

De Tropiche Natuur. Dr. A.H. Blaau. Koloniaal Instituut. 1917

Pepohonan Bambu

R.A.A. Martanegara

R.A.A. Martanegara bupati Bandung tahun 1893-1918 lahir tanggal 9 februari 1845. Tidak seperti halnya dengan bupati Bandung lain yang berasal dari keturunan Menak Bandung, beliau berasal dari keturunan bangsawan Sumedang, dari pihak ayah, ia adalah cicit dari Bupati Sumedang Pangeran kornel (1792-1828).

Pengangkatan beliau sbg bupati Bandung tidak berjalan mulus. Di awal pelantikannya sbg bupati, beliau harus menghadapi upaya perlawanan dari kaum bangsawan Bandung yang tidak setuju terhadap pengangkatan dirinya, contohnya adalah peledakkan jembatan Cikapundung saat syukuran pelantikan dirinya dan upaya pembunuhan yang akan dilakukan terhadap dirinya yang akan dilakukan dengan cara meledakkan dinamit yang disimpan dalam kereta yang ditumpanginya. Upaya teror ini gagal dilaksanakan, dan setelah dilakukan razzia serta penyelidikan oleh pasukan Kebupatian maka ditemukan 10 orang yang terlibat dalam rencana pembunuhan itu, 4 diantarany bangsawan Bandung yang salah satunya adl R.R. Somanegara, ayah dari R. Dewi Sartika. Gubernur Jenderal menghukum mereka dengan hukuman pengasingan, kurungan 20 tahun dan kerja rodi.

Walau bukan berasal dari trah Bandung, ternyata beliau berhasil memberi andil cukup besar dalam membangun Bandung menjadi kota Modern. Beliau yang masa kecilnya pernah diasuh oleh Pelukis Raden Saleh dan mengecap pendidikan Ambachtschool (Teknik) memang memiliki pemikiran2 yang modern. Beberapa tindakan beliau dalam pembangunan Bandung diantaranya adalah pengerasan jalan-jalan di Bandung dengan bebatuan, pembangunan fisik, pembenahan jalan Braga menjadi kawasan komersial, dan Groote Postweg sebagai kawasan perkantoran perusahaan-perusahaan Belanda.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

NGEREBONG, tradisi unik hanya ada di Kesiman!

oleh : Asri ‘Cici’ Mustikaati

Akhirnyaaa .. Setelah tiga minggu berada di Bali, minggu ke-tiga ini tidak (lagi) saya lewatkan hanya dengan berdiam diri celingak-celinguk pelangak-pelongok krik-krik-krik bengong di tempat kos! Seorang teman dari Bali, bernama Adit, kebetulan mengajak saya melihat prosesi upacara adat di daerah tempat tinggalnya! Waw, pasti akan menarik! Tanpa  banyak pikir, saya langsung menerima tawaran itu! Berangkatlah kami di hari Minggu (26/12/10) ke upacara adat Ngerebong di Kesiman.

 

Kesiman adalah nama suatu daerah di Denpasar, tepatnya di wilayah Denpasar Timur. Dua minggu sebelumnya, masyarakat Bali merayakan hari raya Galungan dilanjutkan dengan Kuningan. Khusus di daerah Kesiman, terdapat satu lagi rangkaian upacara yang diselenggarakan tiap enam bulan sekali dalam hitungan tahun Saka, tepatnya delapan hari setelah hari raya Kuningan, yang disebut dengan upacara Ngerebong.

 

Menurut Adit, Ngerebong asal kata dari ngerebeng yang artinya berkumpul. Masyarakat percaya bahwa di hari itu adalah hari berkumpulnya para dewa. Tradisi Ngerebong ini berlangsung di Pura Petilan, pura terbesar di Kesiman.

Berkunjung ke pura pada saat upacara ternyata tidak boleh asal/sembarangan. Ada aturan-aturan yang harus  dijalankan salah satunya adalah tidak dalam masa datang bulan bagi wanita dan dianjurkan memakai pakaian adat/kebaya khas Bali. Beruntunglah ada Mbak Iis yang dengan senang hati mau meminjamkan saya salah satu kebayanya … Makasiiih Mba Is ! ^^

 

Wanita-wanita Bali dengan kebayanya, para pria dengan ikat kepalanya, persembahan-persembahan berupa bunga-bungaan dalam tempayan cantik, penjor-penjor, alunan musik tradisional Bali, menjadi pemandangan dan suasana yang menarik bagi saya. Ratusan bahkan ribuan pemedek/bakta (jemaah) datang ke pura Petilan ini untuk bersembahyang. Mereka datang dari pura-pura kecil yang ada di sekitar Kesiman, sebagian wilayah Badung dan Denpasar. Dengan silih berganti, para pemedek datang berombongan membawa bendera/umbul-umbul juga mengusung barong dan rangda diiringi tabuh-tabuhan baleganjur dari tiap banjarnya.

 

 

Suasana di gerbang masuk Pura Petilan.
Foto : Aditya Winata

 

Pukul 3 sore, saya dan Adit sampai di Pura Petilan. Sesampainya di sana, saya menemukan suasana yang cukup meriah. Beberapa ruas jalan ditutup bagi para pengguna kendaraan bermotor. Pedagang-pedagang kaki lima padat memenuhi tepiannya. Penjor-penjor masih berdiri tegak di samping-samping jalan. Dari kejauhan, saya mendengar suara riuh sorak-sorai kaum lelaki. Dengan penasaran, saya segera mendatangi asal keriuhan tersebut. Ternyata di dalam wilayah pura, di satu bangunannya yang menyerupai balé-balé (biasa disebut dengan wantilan) sedang berlangsung adu ayam! Riuh sekali ! Ingin rasanya melihat langsung dari dekat dan ikut merasakan atmosfir pertarungan. Tetapi sangat tidak mungkin karena tidak ada celah sedikit pun untuk saya nyelip-nyelip di antara tubuh para supporter yang kebanyakan lelaki. Yah apa boleh buat, saya hanya bisa menyaksikan dari luar kerumunan sambil menikmati suasana keseluruhan pura Petilan.

 

Semakin sore, acara semakin ramai dan mencekam. Puncak acara dari Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi adat). Jalan selebar 3 meter disisakan dari kepadatan penonton dan fotografer yang semenjak siang sudah bertahan demi menyaksikan upacara ini. Waktunya pemedek keluar pura untuk melanjutkan ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat berlangsungnya adu ayam tadi, sebanyak tiga kali putaran. Saat-saat yang mencekam ketika tiba-tiba saja banyak  dari pemedek yang mengalami trance/kerasukan. Ada yang berteriak-teriak, menggeram, menangis sambil menari. Mereka kemudian didampingi oleh keluarga atau teman dekat untuk tetap mengikuti ritual mengelilingi wantilan. Kekuatan magis semakin terasa ketika keris dihujam-hujamkan pada dada, leher, bahkan ubun-ubun. Tradisi ini dikenal dengan istilah ngurek.  Namun anehnya, ujung keris yang tajam itu tidak membuat luka sedikit pun. Tanda eksistensi roh lain, menurut Adit. Barong dan rangda yang diusung pun tidak luput dari kerasukan. Jepretan kamera para fotografer terlihat  dari segala penjuru.

 

 

 

Ngurek.
Foto : Aditya Winata
Ngurek.
Foto : Aditya Winata
Ngurek.
Foto : Aditya Winata
Barong yang juga mengalami kerasukan.
Foto : Aditya Winata

 

Hari semakin gelap, upacara akan segera berakhir. Saatnya roh-roh dipulangkan ke alamnya. Prosesnya adalah dengan kembali memasuki pura dan menemui sang Pemangku yang  sudah menunggu di satu tempat. Pemangku ini mempunyai kekuasaan atas ‘izin tinggal’ roh tersebut. Apakah harus kembali atau dibolehkan untuk masih tinggal. Seketika itu juga mereka yang kerasukan kembali seperti semula. Ritual yang panjang dan penuh makna ditutup dengan satu persembahan terakhir yaitu tarian dewa.

 

Upacara Ngerebong ini bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alamnya. (I Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm)

 

Pengalaman unik dan menambah pengetahuan baru bagi saya, menyaksikan ritual yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di daerah mana pun. Hanya ada di Kesiman.

 

Minggu selanjutnya ke mana yaaa .. ??

 

 

 

 

Sumber :

Aditya Winata (FB : http://www.facebook.com/profile.php?id=100001420361237)

I Ketut Wiana, http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/5/17/bd1.htm

Dokumentasi Timnas Indonesia di Piala Dunia 1938

Oleh : Nanang Cahyana

Teringat ngaleut Sepakbola di Bandung minggu kemaren. walaupun sudah menjadi arsip, Yance mo berbagi postingan yance di Kaskus, tanggal 13 maret 2010 tentang “Dokumentasi Timnas Indonesia pada Piala Dunia 1938 di Prancis”.

yu ah aleutian, cekibrot…

 

 

Berikut Dokumentasi Timnas Ducth east Indies (Indonesia) pada Piala Dunia tahun 1938 di Prancis:

 

logo piala dunia 1938

Dari data resmi FIFA, Indonesia pernah berlaga di Piala Dunia, tepatnya 1938 di Prancis. Pada masa itu Indonesia masih d ibawah wilayah pendudukan Belanda, atau yang lebih di kenal Ducth East Indies, dan merupakan tim pertama dari kawasan benua Asia yang berlaga di worldcup. Meskipun akhirnya timnas di masa itu dikalahkan oleh Hungaria yang kemudian menjadi finalis dengan skor 0-6, kiprah tersebut tercatat di dalam tinta emas sejarah PSSI dan AFC. keikutsertaan Dutch East Indies bukan semata undangan, namun melului pra kualifikasi, menghadapi Jepang, namun karena situasi sosial dan keamanan pada masa itu, jepang menungundurkan diri

 

 

 

Skuad Timnas Indonesia 1938

De izquierda a derecha (frente):

R.Telwe, Frans Hukon, Tjaak Pattiwael, Suvarte Soedermadji, See Han Tan and Hong Djien Tan.

Atrás:

Anwar Sutan, Dorst, Bing Mo Heng, G.Van der Burg, G.Faulhaber

Coach:

Johannes VAN MASTENBROEK (Ned)

 

apabila kita melihat skuad di atas dapat disimpulkan bahwa timnas merupakan representasi banyak suku dan golongan di indonesia termasuk thionghoa, dan Belanda sendiri.

 

 

 

Kapten Timnas Indonesia 1938

Original Caption (dalam bahasa belanda):

Kapten Puck van Heel dan Kapten Hindia Belanda memasuki lapangan pertandingan, diikuti oleh pemain lain. Ini artinya yang sebelah kiri adalah Achmad Nawir, karena ia adalah kapten Timnas HB pada saat itu.

 

 

 

pertandingan melawan Belanda

Original Caption (dalam bahasa belanda):

A defender of the Dutch East Indies comes too late to prevent a Dutch hit. Netherlands – Dutch East Indies (9-2), played on June 26, 1938 in the Olympic Stadium in Amsterdam. All Photos of the National Archives.

 

 

 

sesi jabat tangan dengan official

Original Caption (dalam bahasa belanda):

The players of the Dutch team and Dutch East Indies team are presented to Prince Bernhard by official Karel Lotsy and captain Puck van Heel.

 

 

 

sisi lain skuad timnas

nenek moyang Timnas kita lagi berbaris di Reims, Prancis tahun 1938 untuk menghadapi Hungaria.

“lucu ya gan”

 

 

 

surat kabar

Prestasi Dutch east Indies sebelum 1938 menurut berbagai catatan cukup di segani. Bahkan china dan australia pernah mengadakan ujicoba dengan timnas pada masa itu. Bahkan salah satu koran australia mengabarkan bahwa di wilayah Jawa khususnya sepakbola merupakan Olahraga terpopuler di masa itu. Adalah tidak berlebihan apabila PSSI didirikan 1930 atas jasa dari Ir Soeratin, jauh sebelum Indonesia merdeka, dan bahkan merupakan salah satu organisasi yang pertama menggunakan nama Indonesia, sebagai wadah persatuan klub-klub yang pada masa tersebut banyak tersebar di seluruh tanah air , dan sekaligus sebagai sarana perjuangan dan pergerakan bangsa dalam menghadapi penjajahan Belanda sehingga hendaknya kita tidak boleh merasa Inferior, sepakbola mempunyai sejarah panjang bagi bangsa indonesia,dan kita pernah disegani setidaknya di tahun 1930an hingga 1970-an, dan kita mungkin rindu akan hal itu………

 

overal player

  1. http://archive.kaskus.us/thread/3632100
  2. http://www.kaskus.us/showthread.php?p=182814431#post182814431
  3. http://www.taringa.net/posts/deportes/3749141/Indonesia-en-la-Copa-Mundial-de-Futbol.html
  4. http://www.worldcup-history.com/index.php?siden=lag&laget=Dut
  5. http://roadtoindonesia2022.blogspot.com/2009/03/kiprah-timnas-indonesia-1938.html
  6. http://www.fifa.com/associations/association=idn/ranking/gender=m/index.html

EKSOTIKA CIKAPUNDUNG


Oleh : Hikmah Nur Insani

Sekitar 2 minggu yang lalu bersama KOMUNITAS ALEUT saya menyusuri Sungai Cikapundung. Sungai ini mempunyai tempat tersendiri bagi warga bandung dan sekitarnya. Kesan yang dirasakan mungkin ada yang sedih maupun menyenangkan. Bagi saya, ini pertama kalinya melihat Cikapundung lebih dekat. Biasanya saya hanya melihat ketika melewati Jalan Siliwangi dan Tamansari. Ketika pertama kali tinggal di bandung saya mendengar dan melihat sendiri bahwa Sungai Cikapundung merupakan salah satu tempat pembuangan samaph terbesar secara tidak langsung di Bandung. Begitu banyak sampah yang mengalir di sungai ini. Rasanya pantas jika bandung pernah dinobatkan sebagai kota terkotor dengan embel-embel sampah yang menumpuk.

Statement diatas berbanding terbalik ketika saya menyusuri Sungai Cikapundung lebih dekat. Saya dan komunitas aleut mulai dari kawasan Asia Afrika. Di sana ada bekas tempat makan mewah yang di kunjungi orang-orang elit pada jaman nya dan di sana ada bekas dermaga perahu yang bisa menyusuri Sungai Cikapundung dulu. Dermaga itu masih bagus dan kalau pemkot bandung merenovasinya, bisa jadi tujuan wisata baru. Tapi rencana itu tidak dapat terlaksana dengan baik kalo situasi Sungai Cikapundung masih dipenuhi dengan sampah. Terkait hal itu, ketika sampai di daerah kelurahan Tamansari, rencana itu 70% bisa terjadi kalau warga sepanjang Cikapundung dari Curug Dago – ujung Cikapundung seperti warga di kelurahan taman sari ini. Saya sangat terkesima dengan kekompakan warga Tamansari. Ketika sampai di sana, saya melihat dari kejauhan banyak anak-anak berenang, memancing, main ban, dan lainnya di sana.

Saya menikmati suasana itu, jarang sekali di kota besar seperti Bandung masih ada yang menikmati sungai seperti itu. Ada salah satu pemuda yang menghampiri saya dan bercerita bahwa setiap hari sabtu pasti diadakan kegiatan seperti ini. Biasanya bergiliran antara anak-anak, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Saya sangat kaget ketika tau ibu-ibu juga berenang di cikapundung. Semua warga antusias untuk berkumpul di sisi sungai. Dan salah satu fakta unik lagi saya temukan, tujuan anak-anak disuruh berenang juga untuk mengambil sampah dan hasilnya nyata, di Cikapundung jarang sekali ada sampah sekarang.

Selain terkesima dengan kecintaan warga Tamansari, saya juga berpikir bahwa Cikapundung bisa dijadikan seperti kota Venice, Italy. saya sadar akan hal ini ketika melihat jepretan bang Ridwan , rumah-rumah dan suasana di snaa tampak klasik. Rumah-rumah yang dulu membelakangi sungai sekarang diubah menghadap sungai agar Cikapundung seperti dulu lagi. Mungkin pemerintah kota BANDUNG bisa serius untuk mengubah Cikapundung. Ada rencana ultah Bandung di 2011 akan menyusuri cikapundung dengan perahu, semoga saja itu benar dan Cikapundung bersih sebersih-bersihnya. Impian saya pribadi mengenai cikapundung adalah menjadikan cikapundung layaknya VENICE yang eksotis dan klasik. Tulisan diatas adalah hasil pikiran saya yang semoga saja terwujud, mari kita sama-sama jaga Cikapundung karena sungai adalah sumber kehidupan manusia. Dan pada akhirnya EKSOTIKA CIKAPUNDUNG pun terwujud.

original post : http://hikmahinzaghi.tumblr.com/post/2605396380/eksotika-cikapundung?ref=nf

Kolam Renang Centrum Riwayatmu Kini

Oleh : Taufik Hidayat

 

Bandung,2 Januari 2011

 

Setelah lama tak ngAleut akhirnya saya pun berkesempatan tuk ikut dalam kegiatan rutin Komunitas Aleut.Sebenarnya tema ngAleut kali itu adalah sejarah persepakbolaan di Bandung yang dimulai dari Stadion Persib (Sidolig) di jalan Ahmad yani hingga destinasi terakhir di eks Lapangan sepak bola UNI di jalan karapitan.Tapi di tengah perjalanan ngAleut ada sebuah tempat bersejarah yang tak berhubungan dengan sepak bola yang cukup merenyuh hati saya.Sesudah dari Stadion Siliwangi di jalan Lombok para pegiat Aleut menyempatkan berkunjung ke sebuah kolam renang/pemandian Tirtamerta yang bila saat beberapa waktu lalu selalu tertutup rapat tapi di hari itu pintu masuknya terbuka lebar dan ternyata sedang terjadi perombakan bangunan (cukup disayangkan).Saya jadi teringat pada salah satu kolam renang tertua di Bandung yang sangat bersejarah dan legendaris yaitu kolam renang Cihampelas yang dibangun sekitar tahun 1902 dan lenyap rata dengan tanah sekitar tahun 2010 yang lalu (lagi lagi sangat disayangkan,bangunan bersejarah hilang begitu saja).

 

saat ngAleut ke pemandian Cihampelas tgl 16 mei 2010



 

Pemandian Titrtamerta kini

 

Mungkin nasib pemandian Tirtamerta sedikit lebih beruntung dari saudara tuanya pemandian Cihampelas.Pemandian Tirtamerta sebelumnya bernama Centrum yang dibangun pada tahun 1920 diarsiteki oleh arsitek ternama Bandung C.P Wolff Schoemaker yang banyak membangun bangunan bangunan kolonial yang khas di Bandung,Centrum dibangun dengan gaya arsitektur modern tropis Indonesia di jalan Bilittonstraat yang sekarang menjadi jalan Belitung.Sebelumtahun 1925-an,Centrum hanya diperuntukkan untuk kaum Eropa/orang kulit putih saja sedangkan para pribumi/Inlander dilarang masuk.Seperti di beberapa tempat tempat yang eksklusif kaum Eropa yang mendiskriminsikan orang pribumi dengan memasang sebuah peringatan yang sangat kasar dan menyakitkan “Anjing dan Pribumi dilarang masuk” ,Centrum pun demikian melarang pribumi tuk masuk.

 

kolam yang ditambahkan sebuah lingkaran

 

kolam yang hancur

 

Walaupun tak dihancurkan total hanya beberapa yang dirombak seperti kolam dan ruang ganti tapi mungkin akan mengurangi nilai historis tempat tersebut,ya semoga saja apa yang masih tersisa (bagian yang masih asli) tak semua di rombak.Kalau ga salah sekitar 5 tahun-an yang lalu (mohon dikioreksi kalau salah),Centrum masih dipergunakan sebagai tempat berenang tapi beberapa tahun sesudahnya sepertinya kegiatan berenang di Centrum sudah tak ada lagi,gerbang yang selalu tertutup dan tak terawat menjadi pemandangan Centrum beberapa tahun terakhir.Mungkin karena tak terpakai lagi itulah sang pemilik ingin memanfaatkannya lagi (mungkin sebagai tempat usaha,entahlah).

 

semoga bangunan aslinya tak ikut dirombak

 

lambang kota Bandung jadul yang masih tertempel di atas dinding pemandian Tirtamerta

 

Sebagai warga kota Bandung kita mungkin hanya bisa berharap yang terbaik saja (sepertinya memang hanya bisa berharap) pada pemerintah kota terhadap bangunan bangunan bersejarah di kota Bandung yang dari waktu ke waktu mulai lenyap dan rusak.Kita pasti tak ingin kota tercinta yang kita pijak ini kehilangan sebuah identitasnya dan tanpa jejak sejarah masa lalu yang kian tergerus oleh sebuah “kepentingan kepentingan”.

 

Terima kasih

 

Sumber bacaan : Buku “Bandung,Kilas Peristiwa Di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah”.Sudarsono Katam

Catataan Sepakbola di Bandung

Oleh : Ujanx Lukman

Bicara sepakbola bagai melihat wanita cantik, dilihat dari berbagai sisi terasa begitu menggoda dan tidak pernah kehabisan kata untuk membicarakannya. Sepakbola di Bandung pasti tidak lepas dengan satu nama yaitu Persib Bandung, lalu seperti apakah sejarah persepakbolaan di kota tercinta kita ini.

 

Masuknya olahraga sepakbola ke Indonesia masih simpangsiur kapan masuknya, tetapi sudah diceritakan oleh Raffles dalam bukunya History of Java tentang kesenangan warga pribumi terhadap olahraga ini. Tetapi dengan aturan seperti sekarang, pertama kali di tampilkan pada pertandingan dua kesebelasan Inggris di lapangan Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka Barat) di Batavia tahun 1895.

 

Lalu kapan masuk ke Bandung ?? untuk menjawabnya kita tanya paman google menurut beliau di kota ini telah ada kompetisi sejak tahun 1914, kompetisi yang hanya diselenggarakan di 4 kota yaitu Bandung, surabaya, semarang dan Batavia. Untuk klab sepakbola di Bandung ialah

 

1.Sparta  (militer)         4  3  0  1   8- 4   6  1.50

2.Sidolig                       6  3  2  1   6- 4   8  1.33

3.U.N.I.                         5  2  2  1   7- 5   6  1.20

4.Velocitas (militer)     3  1  0  2   5- 5   2  0.67

5.L.U.N.O.                     4  0  0  4   1- 9   0  0.00

 

 

Sidolig  = Sport in de open lucht is gezond

U.N.I.   = Uitspanning Na Inspanning

Velocitas from Tjimahi (now Cimahi)

 

Perhitungan poin pada saat itu kemenangan diberi nilai 2, seri = 1, kalah = 0. Yang jadi pertanyaan klub L.U.N.O itu apa?? ada yang ingin menambahkan…

 

Mulai tahun 1931 kompetisi beubah menjadi Liga perserikatan. Lalu pada tahun 1994 Perserikatan bergabung dengan kompetisi Galatama menjadi Liga Indonesia (dengan  kompetisi “merk rokok”) dan baru tahun 2008 menjadi ISL (Indonesia Super League) nama yang tidak nasionalis, dan masih setia dengan merk rokok.

 

Untuk lapangan sendiri pertama kali menggunakan Alun-alun lalu pindah ke lapangan Gementte (lap. parkir Balai Kota) lalu pindah ke lapangan Javastraat (lapangan kosong diantara Jl. Jawa, rel kereta api dan jl. Sumatra dan jl. Jawa). Dilapangan inilah beberapa klub berlatih seperti BVC (Bandoengsche Voetbal Club, 1900) ,UNI (uitspaning Na Inspaning-bersenang-senang setelah bekerja keras, 28 Februari 1903), Sidolig (Sport in de Openluncth is Gezond – olahraga di udara terbuka adalah sehat, 1905), Velocity, Sparta dan Luno.

 

Alun -alun Bandung

 

Tahun 1914 Residen Priangan melarang penggunaan lapangan tersebut lalu tiap klub menyewa lapangan-lapangan tersendiri. UNI membangun lapangan sepakbola sendiri di Jl. Karapitan, lalu Sidolig membuatnya di Jl. A. Yani yang sekarang menjadi stadion PERSIB.

 

Bandoengsche Voetbal Bond

 

Organisasi sepakbola para orang Belanda saat itu ialah BVB (Bandoengsche Voetbal Bond) yang merupakan anggota Nederlands Indische Voetbal Bond (NIVB -persatuan sepakbola Hindia Belanda). Sedangkan organisasi untuk pribumi ialah BIVB (Bandoeng Indische Voetbal Bond) dan National Voetbal Bond (NVB), BIVB dan NVB lalu digabung menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (cikal bakal Persib) karena hanya boleh ada satu klub dari satu kota yang boleh menjadi anggota PSSI. Begitulah sejarahnya….

 

Untuk klub-klub seperti UNI dan SIDOLIG masih eksis sampai sekarang, contoh dari alumni UNI ialah Eka Ramdani, atau para legenda seperti Adjat Sudrajat, Yusuf Bachtiar dan lain-lain. Tambahan ada klub sepakbola penghasil pemain bagus asal Lembang yaitu Capella yang berhasil mengorbitkan duo Robby yaitu Robby Darwis dan adiknya Roy Darwis (yang lainnya lupa lagi.. he..he).

 

Robby Darwis

 

Bicara klub selain Persib tentu anda masih ingat dengan prestasi Bandung Raya yang ketika itu diasuh oleh Henk Wullems yang berhasil menjuarai Liga Indonesia 1996, dengan pemain : Hermansyah, Surya Lesmana, Budiman, Hendriawan, Olinga Atangana,Nuralim (Y), M. Ramdan,Alexander Saununu/Herry Kiswanto (78′), Ajat Sudrajat (C), Hari Rafni Kotari/Makmun Adnan (67′),Peri Sandria/Rehmalem (85′). Mengalahkan PSM 0-2 lewat gol  Peri Sandria (3′), Rafni Kotari (11′)

 

Bandung Raya Juara LI 1996



 

Untuk pelatih yang berbakat ialah Drs. H. Indra Mohammad Tohir atau Indra Tohir, pelatih kelahiran 7 Juli 1941, yang berhasil membawa tim Persib Bandung menjadi juara Liga Indonesia I (Liga Dunhill – 1995). Selain itu, beliau juga menghantarkan Persib ke perempat-final Liga Champions Asia yang merupakan prestasi tertinggi yang pernah dicapai klub di Indonesia.

 

Skuad Persib Juara Liga Indonesia 1995 adalah Persib : Anwar Sanusi, Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Mulyana (Y)(62′), Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Kekey Zakaria, Yudi Guntara/Asep Sumantri (51′), Sutiono, Yusuf Bachtiar, Asep Kustiana (Y)(29′). Mengalahkan Petrokimia 1-0 lewat gol Sutiono menit 76

 

 

Ahh jadi rindu kejayaan sepakbola Indonesia terutama Persib pada masa lalu, hayu atuh harudang tonk terpuruk di papan bawah.. bobotoh setia mendukung mu sepenuh hati

 

Untuk nostalgia kejayaan PERSIB

 

Persib saat melawan AC Milan
Persib Juara LI 1995

 

Sumber : http://www.rsssf.com/, wikipedai.org, “Bandung kilas peristiwa di mata filatelis” oleh Pa Katam, kitlv.nl dan tentu saja paman saya, Google.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑