Month: January 2011 (Page 1 of 3)

Dipati Ukur, an Honourable Hero or a Legendary Loser

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Dipati Ukur, an Honourable Hero or a Legendary Loser

 

Kalimat tersebut termaktub dalam bagian terakhir karya Rabin Hardjadibrata yang berjudul “Dipati Ukur, Was it the Week that Ushered 350 Years of Dutch Rule”. Tokoh Dipati Ukur memang merupakan seseorang yang misterius dan telah menjadi diskusi selama ratusan tahun. Ada yang menganggapnya pahlawan, ada yang menganggapnya pemberontak yang gagal, ada pula yang melihatnya sebagai sekadar tokoh figuran dalam sejarah. Tapi yang pasti, di luar segala penilaian tersebut, dengan mengenali sejarah tokoh Dipati Ukur, ada banyak hal yang bisa dipelajari.

Di abad-16, seluruh daerah Pasundan berada di bawah kekuasaan Mataram. Berdasarkan babad Limbangan, pangeran Sumedang Arya Suriadiwangsa (Kusumadinata) sengaja mendatangi Sultan Mataram (susuhunan) untuk mengabdikan diri kepada Mataram (serah bongkokan) tahun 1620 M. Susununan kemudian menjadikannya sebagai Bupati-Wedana seluruh tanah Pasundan.  Sejak saat itu, tanah pasundan dinamakan “Praiangan” (pemberian) sehingga dikenal di kemudian hari sebagai Priangan. Pangeran Arya Suriadiwangsa pun mendapat gelar baru dari susuhunan, tidak lain adalah “Rangga Gempol”.

West java

Mengenai Dipati Ukur sendiri, identitasnya tidak jelas. Tapi pastinya ia adalah Dipati / Bupati dari daerah Tatar Ukur, sekarang kabupaten Bandung dan beribukota di daerah Pabuntelan. RD. Asikin menyebutkan bahwa Sosok Dipati Ukur bukanlah berasal dari tanah Pasundan melainkan seorang bernama Dipati Wangsanata yang berasal dari Jambu karang, Purbalingga (Banyumas).

Tahun 1625, Rangga Gempol dan Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Mataram untuk menyerang Pamekasan/Sampang. Serangan ini gagal dilaksanakan sehingga kedua pimpinan itu kembali ke Mataram dan terancam hukuman dari Susuhunan Mataram. Sultan yang murka menghukum mati sang Pangeran Sumedang dengan memancung kepalanya. Konon buktinya saat ini makam sang Pangeran Sumedang bisa kita temukan di dua tempat, yaitu di daerah Lempuyangan Jogjakarta dan Jalan Karasak (kotabaru). Satu makam menyimpan kepalanya, dan satu makam lainnya menyimpan tubuhnya.

Sumber lain memuat cerita berbeda, menurut penuturan R.D. Asikin, Pangeran Rangga Gempol dan Dipati Ukur ternyata berhasil menaklukkan Sampang walau dengan jalan perdamaian. Dan untuk mengungkapkan kegembiraan atas kemenangan tersebut, terdengarlah oleh Dipati Ukur bahwa Pangeran Rangga Gempol sempat mengucapkan kalimat sebagai berikut ,

Entong boro Sampang, najan Mataram oge Raji sanggup nalukkeun jero sabedug” (Jangankan Sampang, Mataram pun bisa kutaklukkan).

Walau diucapkan sebagai bentuk lelucon, Dipati Ukur melaporkan ucapan ini ke Sultan Mataram sehingga keluarlah murkanya. Ia menghukum pancung sang Pangeran Rangga Gempol.

Entah mana versi yang benar,  namun berdasarkan versi cerita pertama, Dipati Ukur menolak hukuman mati dan meminta kesempatan memimpin pasukan untuk menyerang Batavia, dengan kepalanya sebagai taruhannya.

Nyuhunkeun hampura jeng Gusti. Abdi anggur maju perang, ngarempug tanah Betawi, manawa aya idin, Jaketra arek digempur” Ujar Dipati Ukur

 

 

“Sukur maneh sanggup jurit, pibatureun bopati sabeulah girang” Jawab Sultan Agung.

Sang Sultan menyambut tawaran tersebut dan kemudian mengangkat Dipati Ukur sebagai penguasa sekalian kawasan Priangan (Umbul 44) dan memerintahkannya bersama pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Bahureksa (Dari Kendal) untuk menyerang Batavia.

The Siege of Batavia

Dalam rencana penyerangan Batavia, Dipati Ukur memimpin 10.000 pasukan dari tanah Pasundan dan transit di Karawang untuk bergabung dengan pasukan Mataram pimpinan Bahureksa.  Namun setelah selama kurang lebih seminggu menunggu, pasukan Mataram tidak juga tiba. Dipati Ukur kemudian memutuskan untuk menyerang Batavia dengan kekuatan seadanya. Penyerangan Batavia yang dilakukan oleh Dipati Ukur berbuah kegagalan. Pasukan Bahureksa yang  tiba di Karawang dan menemukan bahwa pasukan Dipati Ukur telah berangkat tanpa sepengetahuannya kemudian memutuskan pula untuk menyerang Batavia. Usaha penyerangan kedua ini juga gagal karena VOC telah keburu mempersiapkan diri.

Bahureksa yang kecewa kemudian melaporkan kepada Susuhunan Mataram bahwa penyebab dari segala kegagalan ini adalah karena Dipati Ukur yang menyerang Batavia tanpa menunggu tambahan pasukan pimpinan dirinya. Sultan Agung (Susuhunan Mataram) kemudian memerintahkan hukuman mati pada Dipati Ukur akibat kegagalan penyerangan Batavia itu.

Dipati Ukur sebenarnya sudah mengetahui konsekwensi akibat kegagalan serangannya tersebut. Daripada menghadap Mataram dan mati di tangan Sultan, Dipati Ukur memutuskan untuk menghimpun kekuatan guna memisahkan diri dari kekuasaan sang  Susuhunan.

Mun aing ngasih kawula, tangtu aing meunang nyeri, kadangkala dipaehan. Anggur urang mapag baris. Sabalad-baladna kami, urang pindah ka gunung, nyarieun benteng di dinya…”

 

Dipati Ukur mengajak pimpinan-pimpinan Sunda (Umbul) untuk ikut bersama dengannya membangun pertahanan di Gunung Lumbung. Namun ajakan ini ditolak oleh beberapa pimpinan lokal : Ngabehi Wirawangsa (Sukakerta), Ngabehi Samahita (Sindangkasih), Ngabehi Astramanggala (Sindangkasih) dan Uyang Sarana (Indihiang). Keempat umbul ini kemudian melaporkan tindakan Dipati Ukur kepada Sultan Agung. Sebagai ungkapan terima kasih atas laporan tersebut, Sultan Agung mengampuni mereka.

Sultan Mataram kemudian mengirim pasukan dipimpin Narapaksa untuk menghancurkan pasukan Dipati Ukur. Berdasarkan catatan Belanda. Sekitar 100.000 pasukan dikerahkan untuk meratakan tanah Ukur dan Sumedang. Banyak dari penduduk Ukur ini yang mengungsi ke Banten dan Batavia. Pasukan Dipati Ukur yang bertahan di Gunung Lumbung berhasil menahan serangan pertama dari pasukan Mataram. Sultan Agung kemudian mendapatkan informasi bahwa Dipati Ukur hanya dapat dikalahkan oelh pasukan yang berasal dari tanah Pasundan, oleh karena itu dalam serangan kedua, beliau menyertakan pasukan Bagus Sutapura dari Galuh dan serangan ini mampu mematahkan pertahanan Dipati Ukur.

Dipati Ukur berhasil ditawan dan dihukum mati di Mataram. Daerah kekuasaan Dipati Ukur kemudian dibagi kepada tida umbul yang tidak ikut berontak : Ngabehi Astamanggala menjadi Tumenggung Wiraangun-angun, Ngabehi Samanhita menjadi Tumenggung Tanubaya. Ngabehi Wirawangsa menjadi Tumenggung Wiradadaha. Masing-masing mereka menjadi Bupati daerah Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa daerah Bandung (kabupaten) merupakan hadiah atas usaha mengalahkan Dipati Ukur.

Sultan Agung

Berdasarkan riwayat, hukuman yang diterima Dipati Ukur dan pengikutnya cukup keji dalam ukuran modern, yaitu Dipenggal leher, dimutilasi, dibakar, direbus dalam air, dipicis, dan ditumbuk. Para tawanan wanita ditenggelamkan sampai mati. Entah di mana Dipati Ukur dimakamkan, namun hingga sekarang kita dapat menemukan beberapa lokasi makam Dipati Ukur : Astana Luhur (Pameungpeuk), Puncak Gunung Geulis (Ciparay), Tepi Citarum (Desa Manggahang), Gunung Sadu (Soreang), kampung Cikatul/Pabuntelan (Pacet), Astana Handap (Banjaran), Gunung Tikukur (desa Manggahang) dan Pasir Luhur (Ujungberung utara).

Sebenarnya ada beberapa versi mengenai kisah Dipati Ukur yang lengkapnya dapat dibaca dalam karya Dr. Edi S. Ekadjati “Ceritera Dipati Ukur”. Hampir mustahil untuk memastikan versi mana yang paling benar karena setiap versi disusun berdasarkan Babad yang nilai subjektifitasnya tinggi. Dalam akhir bukunya tersebut, sang Doktor menyebutkan :

Terjadinya saling menuduh di antara keluarga bangsawan Priangan (Galuh, Sukapura, Bandung, Sumedang, Cianjur, Dll.) yang bertalian dengan penilaian terhadap tokoh Dipaati Ukur, kiranya merupakan perselisihan yang sesungguhnya memperebutkan “Picisan Kosong”. Hal itu disebabkan anggapan yang tidak pada tempatnya tentang CDU (Cerita Dipati Ukur). Penempatan CDU pada kedudukan yang semestinya, akan menghindari salah faham yang bukan-bukan.”

Melalui tulisan ini, Saya tidak akan menilai baik-buruknya tokoh Dipati Ukur, melainkan hanya mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya berdasarkan Kisah Dipati Ukurtersebut, adalah tidak mudah untuk bisa mempersatukan tokoh-tokoh pemimpin (politik) dari Jawa Barat. Padahal kalau mereka bersatu, mungkin mereka bisa mengalahkan suatu Emporium seperti Mataram atau bahkan VOC sekalipun. Yang pasti kelemahan inilah yang digunakan pihak-pihak tertentu untuk terus melemahkan Jawa Barat. Saatnya tokoh-tokoh Sunda bersatu, dan menunjukan bahwa kita punya kekuatan.

Sumber :

Dr. Edi S. Ekadjati. Ceritera Dipati Ukur. Pustaka Jaya 1982

Rabin Hardjadibrata, Dipati Ukur : Was it the Week that Ushered 350 Years of Dutch Rule?.  Pusat Studi Sunda, 2009

R.D. Asikin Widjajakoesoema. Sadjarah Sumedang. Firma Dana Guru, 1960

Balada sang Batu

Oleh : Nara Wisesa

Minggu 23/01/2011… Pada hari itu ku turut ayah ke kota, naik delman …… Eh, kayaknya ada yang salah…. ulang lagi…

 

Pada hari itu, saya bergabung dengan pasukan Aleutians dalam perjalanan ngAleut! yang bermula di terminal Dago dan berakhir di Gunung Batu, Lembang. Kisah-kisah dari perjalanan tersebut mungkin bisa dibaca dalam posting dari rekan-rekan Aleutians yang lain dan dari foto-foto yang sebelumnya sudah saya upload…

 

Lah, kalau begitu, ngapain dong ya saya nulis note ini??

 

Dan jawabannya… Adalah!!

 

Saya ingin berbagi kisah aja… Perwujudan dari inspirasi yang saya dapatkan dari perjalanan ngAleut! pada hari minggu yang lalu itu… (tsah… ‘inspirasi’… bahasanya gak nahan euy :p)

 

Jadi begini… Ketika kami sampai di tujuan utama, yaitu di Gunung Batu (Lembang, bukan Cimahi), seperti biasa Aleutians pun sharing mengenai pengalaman yang didapat dari perjalanan yang baru saja ditempuh, dan juga berbagi berbagai informasi yang lain.

Topik diskusi di atas gunung sangatlah menarik, dari sejarah geologis patahan lembang dan cekungan bandung, sejarah-sejarah sehubungan dengan makam-makam keramat di atas puncak-puncak gunung, kebudayaan-kebudayaan dan kepercayaan-kepercayaan masyarakat sunda, bertukar opini mengenai isu-isu yang sering dianggap tabu oleh masyarakat umum seperti incest dan seksologi, peran-peran gender dan isu-isu feminisme, sampai-sampai sharing mengenai peran komunitas bagi masyarakat dan generasi muda bandung, dan juga sedikit mengenai sejarah perkembangan Aleut! itu sendiri.

 

Jujur saja pada awal saat sharing dan diskusi itu saya agak memisahkan diri, dengan maksud mendokumentasikan prosesi dan mengambil foto-foto, tapi karena kondisi cahaya yang kurang bagus dan kamera yang entah kenapa sedang agak susah diajak kompromi, saya pun lebih banyak mendengarkan isi diskusi teman-teman yang lain sembari menerawang (baca: melamun :p) dan menikmati pemandangan…

 

Pada saat itulah saya melihat salah satu batu besar yang sebelumnya dipanjat oleh teman-teman Aleut dan berfoto-foto…

 

batu besar yang penuh dengan coretan pernyataan cinta dari entah berapa pasangan dimabuk asmara (cieh) yang mengunjungi tempat itu di kala berkencan…

 

batu besar yang penuh catatan tanda persahabatan kelompok-kelompok yang menorehkan nama-nama untuk menunjukkan bahwa mereka pernah berada di sana, bahwa mereka pernah ada…

 

batu besar yang dikerubungi berbagai serangga, dan menjadi tempat perburuan sejumlah burung layang-layang yang terbang di sekelilingnya…

 

batu besar yang menaungi setumpuk sampah plastik yang entah ditinggalkan dan dilupakan oleh siapa…

 

Entah kenapa, pandangan saya pun terpaku pada batu itu… Penerawangan (baca: lamunan) saya pun terfokus pada batu itu… Ingin tahu rasanya… sudah berapa lama batu itu ada di sana… mencuat seperti itu ke arah cekungan Bandung…

 

Si batu besar yang memikat perhatian saya

 

Peristiwa apa saja sih kira-kira yang telah ‘disaksikan’ oleh batu itu…

 

Kalau dilihat dari struktur batuannya yang kemungkinan besar merupakan batuan beku (entah granit atau batuan beku lainnya), maka rasanya tidak mungkin bahwa ia sempat menyaksikan ketika dataran Bandung masih berupa laut dangkal di masa Mesozoik… masa ketika pegunungan kapur di utara bandung masih berupa terumbu karang yang penuh dengan hewan-hewan karang… masa ketika kandungan karbon dioksida yang tinggi di atmosfer memungkinkan pengendapan zat kapur setinggi gunung di bawah laut, yang kemudian seiring dengan bergeraknya lempengan sunda terangkat ke atas permukaan laut hingga akhirnya bisa ditambang dengan semena-mena… yah, pada masa itu sepertinya batu ini masih berada dalam perut bumi dalam wujud cair…

 

Maka kemungkinan batu ini entah mendarat atau terbentuk di sini pada saat letusan gunung api di Bandung… entah ketika letusan Gunung Jayagiri… entah ketika letusan yang membentuk Gunung Sunda… atau entah ketika letusan yang membentuk Gunung Tangkuban Perahu… Sayangnya tidak mungkin melakukan Carbon Dating dengan mata :p Maka hanya si batu yang tahu cerita asal muasalnya, apakah ia jatuh di puncak Gunung Batu akibat letusan, atau ikut terangkat mencapai ketinggian itu seiring dengan terbentuknya Patahan Lembang,..

 

Maka bukan tidak mungkin bahwa batu ini adalah saksi bisu dari keberadaan Danau Bandung Purba… Ah andai bisa meminjam “ingatan” si batu… Saya selalu penasaran bagaimana kira-kira wajah cekungan bandung ketika masih jadi danau… Ketika “katanya” masih ada megafauna seperti Gajah, Badak dan Harimau yang hidup di tanah Sunda, mengancam, mempesona, dan mungkin menjadi buruan Austropithecus yang tinggal di pesisir danau bandung… Ketika hutan hujan tropis di sekitarnya kemungkinan masih belum terjamah oleh manusia… Ketika si batu masih bersih dari coretan-coretan vandal…

 

Saya yakin batu ini kemudian menjadi saksi ketika akhirnya Danau Bandung surut…

 

Kemudian ketika Kerajaan Pajajaran memperluas wilayah kekuasaannya dan menjadikan daerah Bandung sebagai …

 

Ketika (mungkin) “Mbah Jambrong” dimakamkan hanya berjarak beberapa meter di sebelahnya (atau ketika orang-orang yang tinggal di dekatnya mulai menceritakan legenda Mbah Jambrong)…

 

Ketika VOC mulai membuka lahan-lahan perkebunan karet dan kina

 

Ketika Daendels menancapkan tongkatnya dan mengucapkan kata-kata terkenalnya…

 

Ketika bangunan-bangunan permanen pertama didirikan di daerah yang sekarang kita kenal dengan sebutan Sumur Bandung (bukan Jl. Sumur Bandung loh ya)… dan kemudian Bandung terus berkembang…

 

Ketika Jepang akhirnya merebut Bandung dari tangan Belanda.. dan kemudian direbut lagi olehTentara Indonesia…

 

Ketika terjadinya peristiwa-peristiwa pasca proklamasi kemerdekaan… bayangkan bubungan asap dan lidah-lidah api yang terlihat oleh batu ini pada saat peristiwa Bandung Lautan Api… juga ledakan di Dayeuh Kolot yang disulut oleh aksi heroik Moh. Toha.

 

Ketika pasukan APRA yang “Adil” itu, di bawah komando Westerling, merangsak dan membantai prajurit-prajurit TNI…

 

Ketika menyaksikan benih-benih terbentuknya gerakan Non-Blok seiring diadakannya KAA… Peristiwa besar yang meletakkan nama Bandung di peta dunia… Peristiwa yang menjadikan Bandung dikenal oleh orang-orang Afrika, yang negaranya kemudian menyatakan kemerdekaan…

 

Ketika hutan-hutan di utara Bandung yang selama ini menghijaukan pemandangan si batu, akhirnya mulai dibuka oleh penduduk dan dijadikan ladang, seiring dengan semakin luasnya daerah pemukiman dan semakin banyaknya orang yang tinggal di sana…

 

Ketika letusan Gn. Galunggung kembali menutupi cahaya matahari dengan abunya…

 

Ketika semakin banyak pemuda-pemuda yang mencapai gunung tempat batu ini berdiam, hanya untuk bersenang-senang, memanjat tebing dan membuat api unggun…

 

Dan akhirnya ketika pasukan Aleutians (untuk entah keberapa kalinya, walaupun ini pertama kalinya ada seorang tambun berkacamata dan bersenjatakan kamera fujifilm S1500 ikut di antara pasukannya) duduk dan berbagi tidak jauh dari si batu…

 

Dan dengan itu, lamunan saya pun berakhir, seiring dimulainya sesi sharing resmi yang menandai akhir perjalanan Aleutians hari minggu itu…

 

Entah apa yang bisa diambil dari lamunan saya tadi…

Mungkin salah satunya adalah, betapa tidak ada apa-apanya usia manusia dibandingkan dengan usia geologis bumi kita… atau bahkan dengan usia geologis kota kita ini…

Tetapi kita selalu berpikir bahwa bumi berputar di sekeliling kita… Bahwa kita bisa menggunakan semua yang ada di sekitar kita dengan sepuasnya… Bahwa kita lah yang terpenting…

 

Tapi coba ambil satu kerikil dan bayangkan bahwa mungkin usia kerikil itu ribuan tahun lebih tua dari usia kita… Bayangkan kejadian apa saja yang telah disaksikan oleh kerikil itu…

 

Apa sih yang kita tahu?

 

Rekayasa photoshop, kira-kira seperti apa pemandangan dari atas si batu besar ketika masih tertutup hutan

 

Pemandangan dari atas si batu besar pada saat ini

 

(n.b. maaf bila ada kesalahan penulisan fakta dan urutan kejadian… timeline yang saya tulis di atas diadaptasi dari http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Bandung dan http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1519549191977&set=t.1170529031)

(Ikutan) Ngaleut! ke Gunung Batu

Oleh : Zahra Fatimatuz

Hari Minggu lalu tanggal  23 saya ikut ngaleut (juga akhirnya).

Dari dulu, jaman pertama kali denger waktu training Mahanagari udah penasaran, soalnya katanya komunitas apresiasi sejarah yang kegiatannya jalan-jalan. Sejarah dan jalan-jalan. Dua kata kunci yang bikin saya tertarik. Tapi selalu malu buat dateng sendirian, dan kemaren dipaksa oleh survey TA. HORE!

Jadwalnya adalah ke Gunung Batu. Diingetin sama koordinatornya, ini mau ke gunung loh…tapi saya dengan sok jago-nya bilang gak papa. SAYA PIKIIRR karna ngumpulnya di Terminal Dago nanti akan carter angkot untuk setengah jalan kesana, atau gimana lah. Eh pas lagi nunggu ada angkot kosong (ngarepnya) tiba-tiba disuruh jalan. Oh didepan mungkin ya. Eh lewat juga terminal. Oh, Gunung Batu itu macem ke ujungnya Tahura kali ya…deket…

Sambil jalan saya menikmati sekali ngobrol sama teman-teman baru. Saya ingat saya ngobrol soal penyakit saraf sama Sara, sambil denger lawakannya cowok-cowok di belakang. Lagi asik jalan, tiba-tiba pada berenti di plang Dago blok M-L. Pertama-tama pada becanda depan si plang (ehem), ujung-ujungnya jadi “Ini bisa ga sih?” ; “Iya kayanya bisa lewat sini” tapi saya ga gitu yakin sama pendengaran saya soalnya pake bahasa sunda (bukan masalah pendengaran berarti ya?) daaaaaannn beloklah ke jalan itu.

Awalnya saya pikir “wah keren plan jalannya ga biasa gini. Tapi makin jalan, makin dikit ketemu makhluk hidup, tau-tau udah grusak-grusuk di ladang orang aja. Dan mulai ada yang dikirim duluan buat ngecek jalan. dan akhirnya saya sadar, ternyata ini jalurnya NGASAL! Modal mata sama mulut buat nanya aja! Saya ngakak-ngakak dalam hati, keren bangettt…bener-bener main ini sih! Dan tetep, saya pikir Gunung Batu itu deket.

Berhubung saya norak, jarang main ke gunung…jadi semua baguusss. Semua pengen difotoin, pengen gugulingan di rumput, pengen lari-lari norak, pengen teriak-teriak centil, cuma takut dipulangin jadi jaim dulu lah ya. Bukan apa-apa, udah ditengah ladang gitu kayanya mah gabisa pulang sendiri. Intinya cuci mata banget, segaaarrr!!

Kebiasaan saya, yang menurut saya makin terlatih di plano adalah: bertanya. Sepanjang jalan saya bertanya-tanya.Ada yang saya utarakan, ada yang tidak. Ladang ladang ini, bagaimana kepemilikannya? Petani-petani ini, dapet berapa dari bertani? Cukupkah? Anak-anak ini sekolah tidak? Bisa tidak sih ada mekanisme angkutan yang lebih memudahkan dari sekedar kaki? Dari mana mereka belajar tentang pertanian? Apakah ilmunya berkembang? Bagaimana cara mereka menjual ke pasar? Bagaimana perlindungan pemerintah terhadap produksi dalam negri? Ini ada ternak sapi ditengah-tengah ladang naik turun begini gimana datenginnya? Kalo sapinya perlu diangkut gimana ngangkutnya?

Sambil mikir-mikir sendiri, ngobrol, dan gigit jari liat orang foto-foto saya dapet hal-hal baru. Kaya misalnya:

Singkong itu ada yang pohonnya kaya pohon biasa. Tinggi dan melebar. Kaya pohon biasa beneran. Pertama kali denger saya nanyanya berkali-kali “Yang mana yang singkong? Ini? Ini singkong? Beneran? Yang ini? Singkong? Kok gak kaya pohon singkong? ini beneran singkong?”. Sekarang kalo diinget-inget, astagaaaa annoying bener deh. Untung Unang sabar ya jawabnya…hehe 😀 Namanya singkong karet. Dimakannya harus diolah dulu, harus dikeluarin dulu airnya, diparut, baru diolah baru bisa dimakan. Kalo nggak malah beracun.

Saya juga dikasih liat tumbuhan yang akarnya biasa dibuat balsem. Saya belajar kosakata sunda baru yang saya gabisa ulang disini, tapi kalo saya denger lagi saya udah bisa ngerti itu maksudnya apa. Saya liat burung warna biru neon terbang bebas. Saya denger kecapi dimainin ditengah ladang. Saya liat kota Bandung dari ketinggian, saya liat apartemen dago jauuhh disana yang berarti kira-kira udah sejauh itu saya jalan kaki. KAKI. Hebat juga…

pikir saya sambil ngos-ngosan antara capek jalan dan capek ketawa, semua sibuk ngelawak!

Ingat kan saya pikir Gunung Batu itu dekat? Udah sampe area berpohon pinus, ga terlihat juga wujudnya si Gunung Batu. Kata Kang Ayan, satu bukit lagi. Sedangkan kata ibu-ibu di ladang “Oh, teubiih! Teubiih!” sambil nunjuk kedepan. Tadinya saya pikir itu artinya udah deket lagi. Eh terus tiba-tiba dijelasin, kalo orang desa bilang deket aja di kita jauuhh…apalagi kalo orang desa bilang teubih. Berarti jauh yang jauuuhhhh. ASTAGA. Saya mulai panik. Tau gini ikut naik ojek sama Pipit. Tapi udah di tengah hutan begini, ya harus jalan…ya nggak bisa kemana-mana juga. Minta istirahat juga ga bikin tiba-tiba sampe. jadi lanjuutttt jalan, cuma saya jadi lebih diem…ngatur nafas dan dengerin lawakan orang-orang aja. Untung ada Kang Asep yang sakit lutut juga, hihi.

Dan akhirnya sampai juga deh di kaki Gunung Batu. Depan dikit dari Gunung Putri. Kalau jalan ya jauh juga sih tapi. Ternyata Gunung Batu banyak dipake anak2 muda nongkrong, dari yang nongkrong sambil nyampahin cemilannya, sampe nongkrong panjat tebing. Kami semua berhenti di puncak, duduk menikmati pemandangan. Nah disini, ada tradisi Aluet yang dijalankan. Bukan, bukan bakar menyan…tradisinya sharing.

Bang Ridwan dulu yang sharing, cerita tentang Gunung Batu yang ada di jalur patahan Lembang. Di puncaknya ada makam Mbah Jambrong, yang katanya orang terhormat jaman entah kapan. Bahkan betul atau tidak ada makam atau bukan ga tau, tapi lebih pada bentuk kearifan lokal untuk melindungi hutan dari tangan-tangan jahil. Tapi ternyata di sunda, dan Jawa katanya memang di tiap puncak gunung ada makam. Dengan pantangan-pantangannya masing-masing, dengan tokoh-tokohnya masing-masing.

Di sharing ini saya belajar lebih banyak lagi. Saya jadi tau kalau di daerah selatan Bandung, daerah Bojong Soang sana ada area rawa-rawa SUPER besar…sebesar satu kecamatan. Pemandangan unik, setelah penuh bangunan ada area basah. Katanya itu sawah.

Saya juga baru tau kalau Dipati Ukur itu dihukum mutilasi oleh Raja Mataram karna gagal merebut Batavia dari VOC. Kenapa dimutilasi? Katanya karena Dipati Ukur ini sakti, takut beliau bisa bangkit dari kubur. WOW menarik sekali…padahal hampir tiap hari saya lewat jalan Dipati Ukur, baru sekarang saya tau.

Di sharing ini saya juga belajar sedikit-sedikit tentang teman-teman Aleut, dari apa yang mereka dapat dari jalan-jalan ini, dari pemikiran mereka yang dibagi, dari pengalaman-pengalaman yang diceritakan. Rasanya banyak sekali yang bisa diambil dari setengah hari perjalanan.

Selesai sharing, tinggal pulangnya aja deh. Jalan ke lembang, makan baso rame-rame, dan carter angkot pulang. Alhamdulillah ga jalan kaki juga pulangnya. Tapi walaupun capek dan otot kaki ketarik, saya senang sekali. Pada dasarnya saya suka nongkrong ngobrol ngalor ngidul (tapi bukan gosip). Di Aleut saya juga bisa ngobrol ngalor ngidul plus firsthand experience. Firsthand experience ini yang spesial. Karena ga hanya memikirkan, tapi melihat dan menjalankan langsung bagaimana kehidupan masyarakat, walaupun cuma secuil. Apalagi buat saya, yang katanya planner. Yang akan menata kota.

Ga sabar pengen ikut jalan-jalan sama Aleut lagi 😀

Sepenggal Kisah di hari Minggu

Oleh : Jana Silniodi

Apa yang biasa kamu lakukan di Minggu pagi? Warga Bandung di minggu pagi biasanya ramai berbelanja di Pasar kaget Gasibu, dan  sekarang  Bandung  punya satu kemeriahan lain yaitu  program car free day yang diresmikan pada 09 Mei 2010.  Sepanjang Jalan dago  dari perempatan simpang dago hingga cikapayang sengaja ditutup  untuk kendaraan bermotor dari pukul 06.00 WIB –  10.00 WIB.

 

Jalanan dago yang dipenuhi factory outlet dan  biasanya ramai  oleh kendaraan, selama empat jam itu dipenuhi berbagai aktivitas warga  seperti senam, bersepeda, sepatu roda, atau sekedar jalan santai.  Semoga dengan waktu singkat tersebut setiap minggu  mengingatkan kita akan pentingnya olah raga dan mengurangi ketergantungan kita kepada kendaraan bermotor sebagai penunjang aktivitas.

 

Jika kamu belum punya aktivitas di hari Minggu, ikut  bergabung saja  dengan komunitas Aleut!. Komunitas ini  menjadikan kaki kita menjadi alat yang sangat berguna dan memanfaatkan mereka secara maksimal walaupun terkadang overlimit saking bersemangatnya.   Ya, berjalan kaki   menjadi aktivitas yang jarang kita lakukan terutama bagi mereka yang memiliki dan  terbiasa memakai motor. Didukung dengan mudahnya mendapatkan kredit dan banyaknya pilihan varian terbaru,   maka sim salabim jalanan Bandung penuh oleh kendaraan bermotor jenis ini.

 

Menjadi pejalan kaki di Bandung membutuhkan nyali besar, karena para pejalan kaki di kota ini terkadang harus rela ‘dipaksa’ turun ke jalan raya karena banyak  lahan trotoar yang berubah menjadi lapak Pedagang Kaki Lima. Selain itu beberapa waktu lalu di jalan dago, pejalan kaki dibuat “bermusuhan” dengan pengayuh sepeda karena pembuatan jalur khusus sepeda memakai area trotoar yang pada hak-nya adalah milik pejalan kaki. Cukup tentang pejalan kaki dan masalahnya, saya akan bercerita mengenai para pejalan kaki dan kenikmatannya.

 

Minggu 23 januari 2011, seperti yang rutin dilakukan oleh Aleut!, kali ini kami akan ngaleut dengan jalur Dago – Gunung Batu. Titik awal perjalanan kami yaitu terminal dago, di tempat ini biasanya juga dijadikan titik awal istirahat bagi beberapa kelompok pengayuh sepeda  yang mengambil finish di Warung Bandrek  atau Taman Hutan Raya Juanda.

Dari terminal dago, jalur yang  kami tempuh selanjutnya menuju jalan Dago Giri, jalan raya di daerah ini tidak memiliki trotoar dan terpaksa para pejalan seperti kami harus mengambil jalur aspal dan rebutan jalur dengan para pengayuh sepeda serta pengendara kendaraan bermotor. Dari terminal  Dago – Dago Giri, kondisi medan datar dan menurun

 

Jalanan mulai menanjak setelah melewati jembatan yang menjadi batas administratif Kota Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, rute selanjutnya adalah jalan komplek  di perumahan dosen ITB blok M-L. Jika sebelumnya kami menempuh jalur aspal yang lebar serta pemukiman, dari ujung komplek ini jalur perjalanan mulai berubah menjadi rentetan anak tangga,  jalan setapak  dan area kebun warga seperti ketela pohon, jeruk, dan tomat.

 

Kami beristirahat sembari membeli perbekalan di daerah Desa Pager Sari, di sini terasa sekali nuansa keramahan warga pedesaaan saat  teman saya Asep meminta air untuk mengisi ulang air minum.  Si ibu tersebut  bahkan menawarkan untuk memasakkan air lagi karena satu teko  telah kami habiskan, wah kalo di kota tak ada yang gratis, padahal tempat ini hanya berjarak beberapa kilometer saja dari kota bandung.

 

Dari desa Pager Sari kami mengambil jalur ke kiri mengikuti jalan setapak ke arah perkebunan warga. Medan yang dilalui menjadi sangat variatif mulai dari ladang, punggungan, lembah, dan  hutan pinus,   Setelah melewati beberapa punggungan ahirnya kami menemui jalan raya, karena dari desa Pager Sari kami tidak mengikuti jalur setapak “normal” tetapi potong kompas dengan tetap berada di punggungan dengan patokan arah yaitu Gunung Payung.

 

Akhirnya setelah perjalanan yang cukup menguras keringat kami tiba di Gunung Batu, dari tempat ini dapat kita lihat kota bandung berada di sebelah selatan dengan latar belakang Gunung Malabar, jika kita alihkan pandangan ke arah Barat laut dan Utara terlihat jelas bederet Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Parahu, Bukit Jayagiri, dan Gunung Putri.  Di sebelah Timur dan Timur Laut terlihat Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari, Gunung Kasur dan Gunung Manglayang.Tradisi aleut! ialah di akhir perjalanan kita akan berbagi cerita tentang perjalanan yang dilakukan, dari sesi ini para pegiat senantiasa  berbagi  pelajaran,  pengalaman  dan  kisah dengan sisi pandang yang lain .

 

Primitif VS Modern

Menurut sudrajat Moko ada tiga tahapan manusia dalam hubungan dengan alam yaitu manusia primitive, manusia pramodern, dan manusia modern. Manusia primitif dikuasai oleh alam, hidupnya diatur menurut dan menyesuaikan diri dengan tingkah laku alam. Manusia pramodern menunjukan keserasian dan harmoni dengan alam, baik dalam kehidupan material maupun spiritual. Selanjutnya manusia menjadi modern ketika dia telah memisahkan diri secara sadar dari alam, sehingga dia dapat menundukkan alam lalu menguasai alam dan memanfaatkannya secara bebas.

 

Orang yang hidup di perkotaan lebih sulit untuk menjaga lingkungan mereka agar terjaga kelestariannya, karena untuk mengimbangi perubahan sosial – ekonomi. Perubahan tersebut tentunya berpengaruh  secara langsung juga terhadap lingkungan. Misalnya di Kota Bandung, lahan-lahan  yang berfungsi sebagai sabuk hijau terkadang harus rela tergantikan oleh perkembangan kebutuhan pelebaran jalan  atau tergeser karena adanya pembangunan pusat berbelanjaan, sarana umum ataupun permukiman.

 

Mari kita renungkan kembali, apakah nilai ekonomi yang didapatkan sebanding dengan perubahan lingkungan tersebut. Permasalahan polusi udara, kemacetan,dan ketersediaaan air bersih tentunya akan menimbulkan permasalahan baru yang penyelesainnya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pohon-pohon yang berfungsi sebagai peneduh dan penangkap polusi udara yang kita gantikan oleh pilar-pilar tembok lebih bernilai tinggi mana?

 

Dapat dibayangkan di kehidupan untuk generasi selanjutnya, kita hanya menyisakan cerita tentang tentang keberadaan pohon dan hutan dengan kalimat “nak di sini dulu pernah ada pohon xxx” yang wujudnya sudah jarang ditemukan lagi karena langka atau bahkan musnah. Program-program penanaman pohon dengan angka yang fastastis, sekian milyar, juta, ratus ribu, dan puluhan tidak akan ada artinya jika tanpa program berkelanjutan seperti perawatan. Karena secara alamiah  pertumbuhan itu  membutuhkan proses, tak ada yang namanya pohon instan  dan walaupun ada hasilnya tentu tidak akan maksimal secara kualitas.

 

Kita terkadang kembali mengingat lingkungan dalam upacara-upacara yang terkesan hanya seremonial seperti Hari Bumi, Lingkungan Hidup, Hari Air, dsb. Tentunya lebih baik jika kegiatan itu kita lakukan setiap hari, tak usahlah menunggu waktu tepat yang besar, mari kita mulai dari kegiatan sederhana dan rutin. Kesempatan itu kita yang buat dan tak ada kata terlambat,  kita mulai dari kita sendiri dari hal kecil yang dampaknya jika dilakukan oleh setiap orang akan menjadi sangat berarti, membuang sampah pada tempatnya, tentunya kita tahu bahwa sungai atau saluran air bukanlah tong sampah. Merawat pohon dengan tidak melukainya seperti memaku dan menjadikannya tempat media iklan. Menghemat pemakain listrik dapat dilakukan dengan mencabut charger handphone yang tidak terpakai. Mengurangi pemakaian kantong plastik.

 

Kita sering menyebut istilah “bencana alam” apakah benar alam memberi bencana kepada kita, karena Alam memiliki pola hidupnya, dia bersifat netral. Manusia sebagai mahluk yang berpikir tentu harus dapat mengatur pola hidupnya yang dengan perkembangan teknologi modern pun tentunya  kita masih dapat menyelaraskan hidup dengan alam.

 

* Jana Silniodi, penyuka kegiatan alam bebas

Sumber :

Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin dan Ani Kartikasari, 2004. Berkaca di Cermin Retak, Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional,  FOReST Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI – NGO Movement

Sebuah Harap Buat Aleutians Muda

Oleh : ‘Ambu’ Trisa Virgalanti

Sekali lagi perenungan saya tentang persahabatan dengan Komunitas Aleut,

jaman saya muda,barangkali sangat terbatas Komunitas seperti ini,

memasuki Wanadri adalah hal yang musykil bagi saya pada waktu itu,selain tak mudah bagi mereka untuk menerima anggota,apalagi yang kapiran dan abal-abal seperti saya,juga ijin orang tua,tak mungkin saya dapatkan untuk memasuki Komunitas seperti itu

 

Kembali ke soal persahabatan saya dengan anak-anak muda harapan bangsa, harapan kota Bandung, harapan gedung-gedung cagar budaya…

Melihat mereka dari dekat pun dari jauh…ada kebahagiaan dan kebanggaan sebagai seorang tua

Mereka bersemangat…mereka penuh harap dan cita mulia…mereka pandai,dan selalu mencari data…saya bangga

 

Seperti yang sering diutarakan masyarakat,bahwa Usia Muda adalah masa segala warna hinggap di hidup mereka, tapi di Indonesia ini,agak lain…

Fakta membuktikan dari seribu bunga bangsa yang tumbuh kembang dengan gagah berani dan mulia,kemudian tumbuh menjadi pengikut kemapanan yang ada…pada akhirnya

Apakah karena mereka lemah dan lelah secara jiwa ,

terbentur dengan segala kesia-sia an memupuk kebaikan di negeri ini??

Entahlah…

 

Tapi, bukankah menyemai harap itu juga sebuah ibadah…

saya yakin dari Komunitas Aleut,bisa terjaga keindahan jiwa mereka-anak anak muda ini-sampai mereka dewasa kelak

selelah apapun mereka,serapuh apapun tangan mereka,

setidaknya akan banyak yang bisa saya harapkan secara pribadi atas ke-Istiqomah-an mereka

berjuang buat Lingkungan

berjuang buat diri selalu dalam kebaikan

Bertahanlah anak-anak ku…sepedih apapun itu

sehebat apapun gempuran yang menghadang di muka

bukankah hidup hanya sebagai “stop over” buat hidup lain yang lebih abadi

Beranikanlah anak-anak ku untuk tampil mandiri dan beda,sebab dengan begitu,ananda akan mencuri perhatian dunia

Bravo Aleutians Muda

Truedee : Jajal Geotrek 6

Oleh : Ridwan Hutagalung (http://rgalung.wordpress.com)

Berikut ini beberapa catatan perihal objek-objek yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda yang menjadi tujuan belajar bersama dalam kegiatan Jajal Geotrek 6 yang dilaksanakan oleh Penerbit Truedee.

Pada masa kolonial Kota Bandung dikenal sebagai kota yang asri karena memiliki sangat banyak taman sebagai penghias kotanya. Tak aneh bila saat itu Bandung populer sebagai kota taman. Di tengah kesibukan pembangunan berbagai sarana perkotaan, taman juga menjadi perhatian penting bagi pemerintah saat itu sehingga di sudut- sudut kota dibangun berbagai taman yang dirancang dengan indah. Kondisi seperti ini melahirkan banyak sebutan yang memuji keadaan Kota Bandung waktu itu, de bloem van bergsteden (bunganya kota pegunungan), Europa in de tropen (Eropa di wilayah tropis), sampai the garden of Allah.

Taman-taman yang asri seperti ini sangat menyejukkan dan menyegarkan bagi warga kota sehingga menjadi tujuan rekreasi yang mudah dan sangat murah bagi siapapun. Setiap saat warga kota dapat melakukan rekreasi ke taman-taman ini, sejak pagi hingga malam hari. Sangat menyenangkan…

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Sebagai taman hutan raya, maka Hutan Lindung Gunung Pulosari ini merupakan taman hutan raya yang pertama didirikan di Hindia-Belanda. Pada tahun 1965 taman hutan raya ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu, Brigjen. H. Mashudi, sebagai Kebun Raya atau Hutan Rekreasi. Baru pada tanggal 14 Januari 1985 taman hutan diresmikan oleh Presiden Soeharto sebagai Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tanggal peresmian ini memang bertepatan dengan hari kelahiran Pahlawan Kemerdekaan, Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, seorang tokoh nasional yang pernah memangku 18 jabatan menteri dalam rentang waktu antara 1946-1963.

Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi Jawa Barat (sebelumnya berada di bawah naungan Perum Perhutani)

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dapat dikunjungi setiap hari. Waktu bukanya antara jam 08.00-18.00. Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp. 8.000,- (tahun 2010). Kawasan ini biasanya cukup ramai pada akhir pekan, terutama hari Minggu pagi saat banyak orang datang berekreasi sekadar menikmati suasana atau berolah-raga lintas alam dengan rute Tahura-Maribaya sepanjang 6 kilometer. Jarak ini biasa dapat ditempuh berjalan kaki sekitar 2-3 jam (tergantung kondisi). Yang pasti berjalan kaki melintasi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda ini sangat menyenangkan karena selain keasrian lingkungannya, juga memberikan kesegaran karena udara yang relatif bersih.

Sebagian jalan setapak dalam hutan ini sudah dilapisi paving block sehingga memudahkan perjalanan. Di beberapa tempat terdapat warung-warung yang menyediakan penganan ringan dan minuman. Bagi pengunjung tersedia juga berbagai fasilitas seperti pusat informasi, musholla, shelter, taman bermain, dan toilet. Bila berminat untuk menjelajah, dapat mengunjungi berbagai objek seperti Monumen Ir. H. Djuanda, Gua Jepang dan Gua Belanda, Kolam Pakar, serta 3 buah air terjun, Curug Omas, Curug Lalay, dan Curug Dago. Letak Curug Dago agak terpisah sekitar 1 km sebelah selatan, sedangkan Curug Omas (dan beberapa curug lain) dapat ditemui di akhir perjalanan lintas alam Tahura-Maribaya. Jangan lewatkan juga untuk mengunjungi Museum Ir. H. Djuanda yang menyimpan berbagai dokumentasi piagam dan medali penghargaan yang pernah diterima oleh Ir. H. Djuanda. Koleksi lain dalam museum ini adalah artefak kebudayaan purba yang pernah ditemukan di kawasan Dago Pakar.

Gua Jepang & Gua Belanda

Gua Belanda mulai dibangun pada tahun 1912 dengan membobol bukit di sisi aliran sungai Ci Kapundung. Fungsi awalnya adalah sebagai saluran penyadapan aliran sungai untuk keperluan pembangkit tenaga listrik. Tahun 1918 tampaknya ada perubahan atau penambahan fungsi gua karena di dalam gua ditambahkan ruang-ruang dan cabang lorong hingga panjang keseluruhan gua mencapai 547 meter. Tinggi mulut gua 3,2 meter dan jumlah cabang lorong 15 buah. Beberapa ruang tampak seperti ruang tahanan. Setelah terjadinya perubahan fungsi, maka dibuatlah jalur air yang baru menggunakan pipa-pipa besar yang ditanam di bawah tanah kawasan Tahura. Kemungkinan Belanda juga menjadikan gua ini sebagai tempat penyimpanan mesiu. Saat masuknya tentara Jepang, Belanda sempat menggunakan gua ini sebagai Pusat Telekomunikasi Militer Hindia-Belanda bagi tentaranya.

Pada masa penjajahan Jepang, fungsi gua sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu dilanjutkan sambil menambahkan gua-gua baru lainnya di dekatnya (1943-1944) yang belakangan disebut sebagai Gua Jepang. Untuk membangun gua ini, Jepang menerapkan kerja paksa (romusha) pada penduduk saat itu. Gua-gua ini kemudian juga menjadi tempat pertahanan terakhir Jepang di Bandung. Setelah kemerdekaan RI gua-gua ini tidak terperhatikan dan baru ditemukan kembali pada tahun 1965 dengan kondisi tertutup alang-alang dan tetanaman yang lebat. Saat itu di dalam gua banyak didapati amunisi bekas tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Sejak ditemukannya, Gua Jepang masih berada dalam kondisi aslinya sementara Gua Belanda sudah mengalami 3 kali perbaikan.

P.L.T.A Pakar

PLTA pertama yang dibangun di aliran Sungai Ci Kapundung adalah Waterkracht werk Pakar aan de Tjikapoendoeng nabij Dago (PLTA Pakar, belum jelas di mana lokasinya). Produknya adalah tenaga listrik yang didistribusikan ke rumah-rumah di Bandung dan sekitarnya oleh Bandoengsche Electriciteit Maatscappij. PLTA yang masih ada saat ini adalah PLTA Bengkok yang sudah beroperasi sejak tahun 1922. Gedung yang masih berdiri sekarang dibangun tahun 1923 dan di dalamnya masih dapat ditemukan mesin-mesin buatan tahun 1922, di antaranya mesin pendingin Ceber-Stroco Henegelo dan generator Smit Slikkerveer.

Untuk menggerakkan turbin di PLTA ini, air Sungai Ci Kapundung dialirkan melalui saluran khusus yang kemudian ditampung di kolam pengendapan lumpur dan kolam penenang di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda (dibangun tahun 1918). Kolam ini sering disebut dengan Kolam Pakar. Melalui pintu pembuang, air memasuki suatu saluran dan menuju pipa pesat sepanjang ± 500 m (tinggi jatuh air sekitar 104 meter) dan kemudian dijadikan pembangkit generator. Listrik yang dihasilkan lalu disalurkan untuk rumah-rumah orang Belanda yang berada di daerah Bandung Utara.

Sejak tahun 1920, pengelolaan distribusi listrik ditangani oleh Gemeenschappelijk Electrisch Bedrift Bandoeng en Omstreken atau G.E.B.E.O. (kemudian menjadi PLN). Menurut salah seorang mantan pekerja di Radio Malabar di Gunung Puntang, pembangunan pembangkit listrik di utara Bandung ini juga difungsikan untuk menambah pasokan kebutuhan listrik dalam mengoperasikan stasiun pemancar Radio Malabar.

Selain PLTA Bengkok, di tempat terpisah di kawasan ini juga terdapat PLTA Dago yang selain berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik juga untuk memenuhi kebutuhan PDAM.

Curug Dago

Air Terjun atau Curug Dago atau terletak sekitar 1 kilometer di sebelah selatan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Tinggi air terjun ini hanya 15 meter, namun aliran deras sungai Ci Kapundung serta bentuk curugnya menimbulkan suara yang cukup membahana di sekitarnya. Sebagian kalangan menganggap curug ini memiliki kesan magis dan menganggapnya keramat.

Salah seorang yang tertarik dengan keindahan dan suasana mistik Curug Dago adalah seorang raja dari Thailand yang sedang berkunjung ke Bandung, yaitu Chulalongkorn bergelar Rama V beserta anaknya Pangeran Pravitra Vandhanodom. Mereka mengunjungi Curug Dago pada tahun 1902. Dari hotel Homann tempat menginap, mereka mengunjungi Curug Dago dengan mengendarai kuda. Dalam kunjungannya itu Raja Thailand meninggalkan sebuah prasasti bertuliskan nama sang raja, beserta umur serta tahun kunjungan yang ditulis dalam penanggalan dan bahasa Thailand. Prasasti ini masih dapat dilihat sekarang berdampingan dengan sebuah prasasti lain tinggalan cucu sang raja, yaitu Pangeran Prajatiphok Paramintara (Rama VII) yang menapaktilasi kunjungan kakeknya pada tahun 1929. Kedua prasasti ini lama tak diketahui keberadaannya sampai ditemukan kembali pada tahun 1989.

Menurut Bhiksu Prawithamtur dari Vihara Menteng Jakarta yang juga pernah mengunjungi Curug Dago tahun 1989, “Apabila seorang raja Thailand bersemedi dan menuliskan namanya di suatu tempat, maka selain untuk kenangan, biasanya panorama alam pada lokasi itu indah, juga dianggap suci dan keramat.”

Kawasan Pakar

Kawasan Pakar di Bandung utara sudah sejak lama dikenali sebagai kawasan permukiman manusia purba di sekitar Bandung. Ada dugaan bahwa kata pakar bersesuaian dengan kata pakarang dalam bahasa Sunda yang artinya adalah alat bela diri atau senjata. Memang sejak masa Hindia-Belanda sangat banyak ditemukan berbagai benda kuno di wilayah ini. Benda-benda tersebut umumnya terbuat dari bahan batu obsidian dalam bentuk mata tombak, mata panah, kapak, alat asah dan banyak lagi lainnya. Dr. G.H.R. von Koenigswald melakukan penelitian intensif atas berbagai temuan dari dataran tinggi Bandung ini pada tahun 1935. Menurutnya temuan benda purba di sekitar Bandung mewakili beberapa zaman dan dapat dengan mudahnya ditemukan berserakan di permukaan tanah (1956).

Dr. W. Rothpletz, seorang sarjana geologi, juga banyak melakukan penelitian di daerah Pakar pada masa setelah kemerdekaan. Melihat potensi kawasan ini sebagai objek penelitian, maka Rothpletz pernah berupaya menjaga kelestarian Pakar dengan mendirikan sebuah prasasti ‘historical site’ di daerah Kordon. Namun di kompleks ini sekarang malah sudah berdiri sebuah Sekolah Dasar.

Sebelumnya di wilayah yang sama sudah banyak pula ditemukan berbagai arca dan benda kuno seperti yang telah dikumpulkan oleh R.D.M. Verbeek dan kemudian dicatat secara lengkap oleh Dr. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst pada tahun 1914. Semua benda ini sekarang telah menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Tampaknya karena itulah pada tahun 1917, sebuah kelompok bernama Bandoengsche Committee tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) yang dipimpin oleh Dr. W. Docters van Leeuwen merencanakan mendirikan sebuah museum alam terbuka dengan nama Soenda Openlucht Museum di daerah Dago Pakar. Sayangnya cita-cita museum alam ini tidak pernah terwujud.

Mungkinkah pemerintah dan masyarakat sekarang mau memulai kembali mewujudkan berbagai perhatian dan rencana yang sudah dirintis sejak awal abad ini?

Ridwan Hutagalung (dan bukan Saragih atau pun Siregar, hehe)

Sumber :

–           , 2007, Taman Huta Raya Ir. H. Djuanda, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan, 2007

Komunitas Aleut!, 2010, Bandung; Where to Go, Intisari, Jakarta

Kunto, Haryoto, 1986, Semerbak Bunga di Bandung Raya, P.T. Granesia, Bandung

Kunto, Haryoto, 1989, Savoy Homann Bidakara Hotel; Persinggahan Orang-Orang Penting, Panghegar Group, Bandung

Sakri, Adjat (ed), 1979, Dari TH ke ITB, Penerbit ITB, Bandung

Suharto, Imtip Pattajoti, 2001, Journeys to Java by a Siamese King, The Ministry of Foreign Affair, Thailand

Wawancara dengan Bpk. Fathul Qodim, Staf Pemanfaatan THR Ir. H. Djuanda, 3 September 2009

Catatan Kecil Ngaleut Arboretum Unpad

Oleh : Ridwan Hutagalung

Minggu, 9 Januari 2011 adalah kesempatan yang sudah lama saya tunggu-tunggu, karena hari ini bersama Komunitas Aleut! saya akan mengunjungi Arboretum Unpad di Jantinangor. Perjalanan rutin Komunitas Aleut! setiap hari Minggu segera mulai pada jam 8 pagi dari Stasiun KA Bandung di Jl. Kebonkawung.

Agak berbeda dengan kebiasaan menggunakan bis DAMRI bila berkunjung ke daerah Jatinangor, kali ini kami menggunakan kereta api rakyat. Murah meriah dan lebih cepat pula sampainya. Selang beberapa belas menit kami sudah tiba di Rancaekek. Dari sini kami lanjutkan dengan naik angkot ke Cikeruh melalui daerah Sayang.

Singkat cerita, dari Cikeruh perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sungai Ci Keruh, kanal pengairan, dan pematang-pematang sawah hingga mencapai kawasan kampus Unpad. Di sini kami sempat mampir ke Jembatan Cincin atau Jembatan Cikuda, sebuah jembatan lintasan rel kereta api yang dibangun tahun 1918 namun sudah tidak berfungsi lagi. Usai berbagi informasi ringan mengenai sejarah perkereta-apian di Bandung, rombongan melintasi beberapa kompleks fakultas di kawasan kampus Unpad untuk menuju Arboretum.

Dari lokasi yang lebih tinggi, Arboretum tampak seperti sebuah hutan kecil di kompleks kampus Unpad. Luasnya sekitar 12,5 hektar dan terbagi dalam beberapa ekosistem, kolam, hutan, kebun, ladang, dan sawah. Kami tiba di sisi kolam yang saat itu sedang menjadi ajang permainan beberapa ekor angsa dan bebek. Di dekat kolam ini terdapat beberapa bangunan yang umumnya berbahan bambu atau kayu. Ada juga sebuah replika rumah tradisional Baduy dan musholla. Kami langsung menyebar mengambil posisi yang nyaman untuk beristirahat karena sebentar lagi waktunya makan siang bersama dengan membuka bekal masing-masing.

Arboretum ini sungguh tempat yang nyaman. Ada banyak keteduhan dan kesejukan di sini. Sekeliling kita adalah pohon, pohon, dan pohon. Arboretum berasal dari kata Latin, arbor yang berarti pohon dan retum yang berarti tempat. Tempat menanam pohon. Penanaman pohon di Arboretum bertujuan untuk dijadikan sarana penelitian dan pendidikan. Perintisannya dimulai sejak tahun 1994 menggunakan lahan sekitar 2 hektar bekas Kampung Kiciat, tahap berikutnya area diperluas ke arah Kampung Jawa. Penduduk kedua kampung ini dipindahkan ke Tanjungsari.

Arboretum Unpad sekarang ini sungguh merupakan tempat yang tepat untuk belajar kenal berbagai hal tentang lingkungan hidup. Mulai dari soal konservasi udara, konservasi tanah dan air, konservasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam arboretum juga diternakkan sejumlah hewan ternak dan unggas sebagai model ekologi pedesaan. Selain melindungi mata air yang sudah ada di kawasan kampus Unpad, beberapa mata air baru juga muncul di sini.

Usai makan siang, dua orang penanggung-jawab Arboretum datang menghampiri, masing-masing Bpk. Trihadi S dan Bpk. Joko Kusmoro. Merekalah yang akan banyak berbagi cerita untuk Aleut! hari ini. Usai saling memperkenalkan diri, mengalirlah banyak sekali informasi seputar Arboretum. Mulai dari sejarah perintisannya, tahap perluasan, hingga berbagai kesulitan dalam mendapatkan bibit-bibit pohon yang sudah langka. Diceritakan bahwa penanaman pepohonan dalam Arboretum ini terbagi dalam beberapa pengelompokan atau zona. Ada zona tanaman langka, zona tanaman jati-diri, zona tanaman obat, zona tanaman bahan bangunan, dan zona budidaya. Kami diajak berkeliling untuk diperkenalkan lebih jauh pada koleksi pepohonan yang ada.

Inilah bagian paling menarik dalam perjalanan hari ini, Tour Arboretum! Secara tak terduga kami mendapatkan banyak sekali informasi tentang nama-nama tumbuhan yang dijadikan nama tempat. Banyak di antaranya adalah nama yang sudah sangat akrab di telinga namun tidak pernah kami ketahui artinya. Seperti jamuju, jeunjing, kosambi, lame, renghas, bayur, bintaro, ketapang, limus, waru, dadap, gambir, menteng, kapundung, sentul, dan banyak lagi lainnya yang sekarang ini lebih dikenali sebagai nama tempat.

Yang lebih menarik lagi tentunya karena semua hal yang diceritakan dalam kunjungan ini sekaligus juga dapat kami saksikan pohonnya masing-masing. Dalam catatan saya, hari ini kami menyaksikan dan mendengarkan cerita tentang 53 jenis pohon!

Sumber informasi :

Bpk. Prihadi S dan Bpk. Joko Kusmoro sebagai narasumber di Arboretum Unpad

http://www.biologi.unpad.ac.id/?p=68

http://en.wikipedia.org/wiki/Arboretum

 

FYI  sekarang Bang Ridwan juga punya wordpress sendiri lho, banyak juga tulisan menarik beliau.. bisa diklik disini : http://rgalung.wordpress.com

Selalu Ada “Jeda” Tuk Mengakumulasikan Semua Makna

Oleh : Ajeng Permata Putri

 

“…dalam pembacaan puisi selalu ada jeda dari kalimat ke kalimatnya, tuk menghayati dan memahami arti tersirat didalamnya., Dan itu yang diperlukan dalam kehidupan.

Jangan hanya terus menerus mencari tanpa berfikir apa makna sesungguhnya dari yang kita cari,,

Cari jeda untuk merenungi apa saja  yang terlihat olehmu dan yang terjadi padamu hari ini!

karena selalu ada makna dibelakang sebuah peristiwa bahkan sebuah kata.”

 

Mungkin itu kalimat yang paling saya suka saat ngaleut kedua saya menyusuri taman-taman di Bandung..

Memang sih gak persis sama dengan yang dikatakan oleh narasumber, tapi intinya itu.

Sesuatu yang terus dicari tanpa dikaji itu akan menjadi sia-sia. Dan hanya akan menjadi sebuah memori pendek yang pernah terlintas di otak, dan tak lama, hilang.!!Yang imbasnya hanya akan berujung pada rasa kecanduan untuk terus mencari dan mencari.

Jangan sampai teman-teman aleut yang sangat “serius” ini (termasuk juga saya, hehe), menjadi orang yang terus haus ilmu tanpa mengamalkan ilmu itu. Memang, itu merupakan langkah awal yang baik.Dengan  mempunyai rasa ingin tahu yang besar maka akan mendorong kita untuk terus mencari jawaban dari rasa penasaran keingintahuan itu.

Tapi perlu diingat bahwa perubahan hanya terjadi dengan action, bukan hanya sekedar dari “tau” saja, tapi dari setelah tahu itu apa yang bisa dilakukan dan diberikan pada lingkungan sekitar minimalnya untuk diri sendiri.

Dan diharapkan setelah melakukan action tadi, lakukan perenungan untuk mengambil nilai-nilai kehidupan yang dapat diaplikasikan dalam keseharian.

Misal, dengan kita melihat tulisan-tulisan seperti “jangan injak kami (rumput)” di sekitar taman atau dimanapun, coba perhatikan makna di dalamnya, disana ada pesan moral yang tersirat, bukan kata ‘jangan diinjaknya’ yang harus digaris bawahi, tapi maknanya bahwa kita dituntut untuk menjaga dan merawat sumber-sumber pemberi kehidupan bagi manusia. Harus ada timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia dan lingkungan.

Bahasa gaulnya mah harus ada “take and give”nya.

 

Hal kecil lainnya, misalnya melalui  gerakan aleut kemarin yang mencoba membersihkan jalan-jalan dari sampah-sampah atau mencabut pamflet dan benda-benda (seperti paku) yang tidak seharusnya menempel di pepohonan. Itu merupakan salah satu kesadaran dari hasil perenungan pengalaman aleut minggu lalu (mungkin^_^), dimana kami belajar betapa pentingnya fungsi pepohonan/tanaman bagi kehidupan.(hebat yaah aleeut!!hehe)

Semoga dari hal-hal kecil ini  bisa menjadikan kita terus tertantang  melakukan hal -hal yang lebih besar yang berdampak positif khususnya dalam melakukan aksi-aksi peduli terhadap lingkungan. Karena kita hidup berdampingan dengan lingkungan. Tidak harus dengan cara yang sulit, karena selalu ada cara mudah untuk menyelesaikan setiap masalah. Seperti yang Aa Gym bilang mulailah dari diri kita sendiri, mulailah dari hal yang kecil dan mulailah saat ini.

Berharap, dengan mengakumulasikan pengalamana-pengalaman yang telah teman-teman aleut alami, ada banyak perubahan diri dan makna tersendiri tuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

 

semoga jadi inspirasi :)he

Ngaleut Dago-Gunung Batu (Lembang) : Ngaleut Yang Sama, Rutenya Jauh Berbeda

Oleh : Asep Nendi R.

Perencanaan perjalanan, itu mungkin yang sering kita perbincangkan setiap waktu. Bagaimana merencanakan sebuah perjalanan yang tidak hanya menyenangkan, namun mampu memberikan sesuatu hal yang baru. Terutama pengetahuan.

 

Beberapa perjalanan ngaleut terakhir dilakukan tanpa survei, mencoba mengulang jalur-jalur lama. Hal ini berkaitan dengan banyaknya pegiat baru di Aleut.

 

Namun jangan pernah khawatir, meskipun tanpa survei, Aleut tetap memiliki sebuah pemetaan lapangan/jalur dalam setiap perjalanannya. Safety procedure tetap menjadi hal yang sifatnya mutlak di Aleut. Kenyamanan dan keamanan secara kolektif selalu menjadi tanggung jawab komunitas. Jadi jangan pernah bertanya jalur yang akan dilalui telah disurvei atau belum….!

 

Pengulangan jalur dilakukan bukan karena Aleut kehabisan ide perjalanan. Namun lebih dimaksudkan untuk pemerataan pengetahuan bagi pegiatnya. Untuk pegiat baru ini akan menambah pengetahuan mengenai setiap sudut kotanya. Sementara, bagi pegiat lama dimaksudkan sebagai sarana pemantapan.

Pengulangan jalur/tema pun dikemas dengan alur perjalanan yang selalu berbeda setiap kalinya. Yang sama dalam perjalanan adalah Titik Start dan Titik Finish, jalurnya hampir 99% baru. Intinya tidak ada pengulangan jalur, yang ada hanya pengulangan Titik Start dan Titik Finish saja.. he..

Dua hal inilah yang menarik dalam setiap perjalanan bersama Aleut. Kreatif sesuai dengan idealisme anak muda dan santai (karena titik finish bukanlah tujuan utama, jadi santai weh). Keduanya diramu dalam setiap perjalanan menyenangkan, sehingga penyampaian materi-materi yang berbau sejarah dan pengetahuan umum lebih mudah ditangkap.

 

Akan banyak cerita yang muncul ketika saya membicarakan Aleut. He…

Dicut weh…

 

 

Seperti perjalanan di hari minggu kemarin, 23 Januari 2011, Aleut melakukan perjalanan dari Terminal Dago menuju Gunung Batu (Lembang).

 

Perencanaan perjalanan dilakukan secara terperinci di Buah Batu Dalam (kediaman Pak BR). Pemetaan lapangan, lengkap dengan kondisi medan, sudah dijadikan patokan perjalanan. Namun prakteknya (Hari H), Tuhan berkehendak lain. Selalu saja muncul bisikan malaikat untuk membelokkan jalur perjalanan, menuju ke tempat baru. Tempat baru berarti pengetahuan baru. Prinsip ini yang Aleut pegang sampai hari ini (pribadi inimah).

 

Awal Cerita…..

Tepat pukul 8.30 sebanyak 22 pegiat telah berkumpul di titik start awal untuk briefing dan perkenalan. Waktu untuk beramah tamah pun diberikan selama 30 menitan. Sebagai sebuah komunitas, perkenalan sangat penting dalam setiap perjalanannya. Perkenalan yang tulus, bukan sekedar basa-basi.

 

Terminal Dago-Dago Giri

Dari terminal Dago kami melakukan perjalanan menyusuri jalanan utama menuju Dago Giri. Jalanan aspal ditemani terik mentari pagi akan sangat menyehatkan dalam 5 menit pertama, karena setiap menit berikutnya membuat anda kepanasan dan kelelahan…

Tepat di atas jembatan Cikapundung, memasuki Desa Mekar Wangi, tanjakan dengan kemiringan 600 membuat anda berhenti tersenyum.

Tanjakan selanjutnya lebih ramah, pemandangan pinus dan cemara menemani anda sampai pada sebuah plang bertuliskan M-L…???

 

Dago Bengkok

Sering sekali kita mendengar daerah ini, pertanyaan yang muncul adalah “Apanya yang Bengkok?”

Kata Bengkok kemungkinan besar berasal dari istilah “Tanah Bengkok”. Sebuah istilah yang diterapkan dalam sistem pertanahan. Tanah Bengkok berarti lahan garapan milik Desa, dimana pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada warga desa dengan persetujuan Desa.

 

Dago Giri Blok M-L

Karena penasaran akan plang M-L di kiri jalan, kami memutuskan untuk berbelok ke kiri. Menyusuri perumahan elite yang sepi, entah berpenghuni atau tidak. Hingga pada akhirnya kami menemui “ujung aspal”.

Di kanan jalan terdapat sebuah pabrik tahu, yang mempekerjakan sekitar 15an pegawai. Beberapa pegiat mendokumentasikan kegiatan produksi tahu.

Ya sebuah pabrik tahu, yang membuang limbah produksinya secara langsung ke aliran sungai.

Di sampingnya terdapat sebuah rumah, yang dibangun tepat dibawah lembahan, seperti sebuah tebing vertikal bermaterial tanah dan pasir. Nampaknya tebing pasir tersebut dipapas agar tersedia lahan untuk membangun rumah.

Dari ujung aspal ini, terdapat 2 jalur menuju arah yang berbeda. Satu jalur menuju Ciumbuleuit satu lagi menuju Lembang. Kedua jalur tersebut menanjak, lumayan untuk menyiksa lutut dan betis anda.

Kami pun mengambil jalur ke kanan, ke arah menuju Lembang. Menyusuri perkebunan jeruk dan holtikultura. Wortel, mentimun, brokoli, kembang kol, dan cabe keriting membuat kami terkagum-kagum akan suburnya negeri ini.

 

Kampung Pajagan Desa Mekar Sari

Setelah melalui perkebunan sampailah kami di sebuah kampung. Kampung Pajagan, termasuk kedalam kawasan Desa Mekar Sari Kabupaten Bandung. Dari sini, pemandangan Cekungan Bandung samar-samar mulai nampak. Di sebelah timur memanjang jalan aspal Dago-Lembang, yang seharusnya kita lalui.

Setelah beristirahat sejenak, perjalanan kami lanjutkan.

Dari kejauhan Gunung Batu belum juga nampak. Sehingga pikiran nakal pun muncul. Gunung/BUkit Payung, dengan dominasi pohon pinus, menjadi patokan perjalanan kami. Kini perjalanan kami tempuh, menyusuri ladang, naik turun lembahan dan bebukitan. Istilah dalam Ilmu Navigasi adalah “Teknik Potong Kompas”. Teknik yang menuntun kita ke arah sasaran, dengan perjalanan lurus, tanpa melalui jalur setapak atau jalur umum.

Tanah berdebu dengan dominasi kebun singkong, membuat rasa haus terus menerus meneror. Namun perjalanan harus dilanjutkan. Hingga sampailah kami di Punclut.

Beberapa pegiat sempat tersenyum ketika mengetahui mereka berada di Punclut, namun kami tidak menuju Punclut.

Kami pun memilih menuju lembahan, dimana mengalir aliran sungai yang jernih.

 

Aliran Lava Cikapundung?

Sejenak kami beristirahat di sungai kecil, membasuh tangan dan muka. Ada pula pegiat yang merendam kaki di aliran sungainya. Kanan kiri sungai dipenuhi tanaman air, seperti jarum-jarum. Kupu-kupu (jarum) pun masih nampak beterbangan di sekitarnya.

Aliran sungai tersebut sepertinya berasal dari hulu yang sama, ini dikarenakan letak aliran sungai yang satu dengan yang lainnya berdekatan.

Memperhatikan dinding tebing yang bermaterialkan cadas (sedikit bagiannya), aliran sungai yang dipenuhi bebatuan yang besar. Seperti menjelaskan pada kami, bahwa jalur ini mungkin bagian dari Patahan Lembang. Yang muncul akibat letusan Gunung Api Sunda beberapa  ribu tahun yang lalu. Kemungkinan sungai-sungai kecil ini adalah bagian dari Aliran Lava Cikapundung.

Telah kita ketahui sebelumnya bahwa Letusan Gunung Api Sunda membentuk aliran lava ke beberapa arah. Ke arah Barat terdapat aliran lava Cibeureum dan Aliran lava Cimahi, sementara ke arah selatan membentuk aliran lava Cikapundung.

Gunung Api Sunda yang dimaksud adalah Gunung Api pra-Tangkuban Parahu, Gunung Sunda sekarang yang berdekatan dengan Gunung Wayang dan Burangrang kemungkinan adalah bagian dari Gunung Api Sunda.

 

Kampung Pagersari? (Desa Pagersari)

Untuk menghindari kesalahan pemetaan a.k.a nyasar, kami memilih untuk mencari punggungan. Perjalanan di punggungan berfungsi untuk memberikan banyak gambaran akan perjalanan ke depan, dengan medan yang tidak kita kuasai. Walaupun berjalan di lembahan lebih nyaman, terlindung dari terik mentari, perjalanan di punggungan jauh lebih aman.

Sampailah kami di Kampung Pager Sari, Desa Pagersari. Disini kami kembali beristirahat sejenak, mengganjal perut dengan jajanan khas kampung.

Sebagian besar penduduk kampung berprofesi sebagai peladang dan peternak sapi. Tidak jarang kami melewati kandang sapi yang letaknya sulit dijangkau, kalau tidak di lembahan ya di atas bukit dengan tanjakan yang curam.

 

Kampung Cilanguk Desa Pager Sari

Perjalanan dari Pager Sari menuju Cilanguk kami tempuh dengan menerabas ladang penduduk. Namun tetap berjalan di pinggir ladangnya.

Tepat di atas Kampung ini adalah Gunung Payung.

Di Cilanguk kami hanya menemukan beberapa rumah tinggal saja. Seperti sebuah tempat persembunyian yang jauh dari mana-mana. Berada di lembahan, dimana aliran sungai mengalir dengan jernihnya. Disekelilingnya terdapat bukit-bukit yang telah diladang.

 

Gunung Payung

Perjalanan menuju Gunung Payung kami lalui dengan susah payah, beberapa kali pegiat berhenti untuk mengumpulkan tenaganya.

Namun perjalanan terbayar ketika diatas terdapat 2 buah kolam penampungan air. Air tersebut berasal dari dalam tanah, tepat di bawah sekumpulan pohon bambu.

Kesempatan langka ini tidak boleh dilewatkan, air yang mengalir digunakan untuk mendinginkan muka, tangan dan kaki.

Tepat di atas, pegiat membuka bekal masing-masing. Makanan ala kadarnya disantap beramai-ramai. Satu porsi dihidangkan untuk 15 orang, hehehe…

Namun tetap saja mengenyangkan.

Menurut keterangan, daerah ini dinamakan Gunung Payung karena puncaknya melingkar seperti payung.

Ada sebuah bangunan yang membuat kami bertanya-tanya akan fungsinya. Unik, bangunan berbentuk telur namun tidak sempurna. Di sekelilingnya terdapat kaca, terbuat dari kayu, dan diletakkan diatas bebatuan agar posisinya lebih tinggi dari tanah.

 

Desa Pager Wangi

Dari Gunung Payung kami menuju Desa Pager Wangi, menyusuri jalanan aspal, stamina pegiat mulai terkuras.

Aspal lagi-lagi membuat pegiat berhenti tersenyum

Perjalanan menuju Gunung Batu pun menyita banyak waktu.

 

Gunung Batu

Gunung Batu merupakan bagian dari Patahan Lembang. Berupa batuan keras (cadas) yang membentuk bukit. Dinding-dindingnya berupa tebing batu, yang dijadikan tempat berlatih para pemanjat tebing. Di puncak G. Batu terpasang seismograf yang berfungsi sebagai pencatat getaran-getaran gempa bumi.

Dari Puncaknya kita dapat mengamati Patahan Lembang, dan membayangkan bagaimana dahsyatnya letusan Gunung Api Sunda.

Ke arah selatan terlihat Cekungan Bandung, dikelilingi pegunungan di selatan. Patuha, Malabar, dll. Ke arah utara, Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu. Gunung Putri, yang berada di sisi barat G. Tangkuban Parahu, yang dijadikan tempat pengintaian musuh dan pengawas wilayah Bandung dan Subang. Di G. Putri terdapat Benteng Kolotok dan Benteng Gunung Putri. Menggeser ke timur dari Tangkuban Parahu, ada G. Bukit Tunggul, G. Palasari, G. Kasur, G.Pangparang, dan G. Manglayang.

Gunung Batu merupakan areal yang nampak, sebagai bagian dari Patahan Lembang.

Patahan Lembang terjadi karena letusan Gunung Api Sunda yang menyebabkan kekosongan pada kantung-kantung magma di sekitar Lembang. Beban berat tak lagi bisa ditahan sehingga terjadilah ambrukan lapisan batuan sepanjang 22 km. Bila diperhatikan, Patahan Lembang sepanjang 22 km memanjang ke Timur dari Cisarua (Lembang) sampai G. Manglayang.

 

Makam Embah Jambrong

Diatas Gunung Batu, terdapat makam keramat yang salah satu nisannya bertuliskan Embah Jambrong. Konon menurut masyarakat setempat, beliau adalah karuhun Bandung. Beberapa cerita menjelaskan bahwa beliau adalah seniman terkenal di Bandung yang dimakamkan di puncak Gunung Batu.

Apapun ceritanya, menurut saya, keberadaan makam yang dikeramatkan di atas Gunung Batu membantu kelestarian Gunung Batu. Meskipun masih saja ada yang membuang sampah dengan sembarangan.

Bukanagara-Pasar Lembang

Setelah turun dari Gunung Batu, perjalanan dilanjutkan melalui jalanana Bukanagara menuju Pasar Lembang. Titik akhir perjalanan.

Sekilas Tentang PLTA Bengkok

Oleh : Asep Nendi

PLTA BENGKOK

 

Begitulah nama PLTA yang terletak di selatan Taman Hutan Raya Ir. Djuanda (Tahura). PLTA ini menggunakan aliran air sub sungai Cikapundung, yang dialirkan melalui parit-parit seperti sungai buatan. Salah satu jalur melalui Goa Belanda, goa yang pada awalnya (1918) difungsikan sebagai terowongan air.

 

Sejak pertama kali dibangun oleh Perusahaan Tenaga Air Negara Dataran Tinggi Bandung (Landiswaterkrachtbedijf Bandung en) pada tahun 1923, PLTA Bengkok merupakan salah satu sumber penyuplai listrik untuk Bandung dan sekitarnya. Pada tahun yang sama pula PLTA Dago dibangun pada aliran sungai Cikapundung.

 

Dari Tahura kita harus menuruni rangkaian anak tangga yang berjumlah seribu (coba hitung sendiri).  Atau coba berjalan di atas pipa-pipa raksasa yang terbuat dari baja (kalo berani !) untuk sampai di lokasi PLTA Bengkok.

 

 

Pipa-pipa raksasa itu sudah pensiun menjalankan tugasnya sebagai penyalur air, karena ketebalannya sudah banyak berkurang.

 

Dari sini air yang dialirkan melalui pipa-pipa raksasa itu digunakan untuk memutar turbin dan menggerakkan generator. Produksi listrik pun berlangsung. sementara air sisa kegiatan produksi digunakan oleh PDAM.

 

Kini PLTA Bengkok berada dalam pengelolaan PT. Indonesia Power, anak perusahaan negara (BUMN) PLN. PLTA ini berfungsi sebagai penghasil listrik, namun kita tidak akan mengetahui kemana listriknya dialirkan. Ini sesuai dengan penjelasan dari Pa Luthfi (Indonesia Power), “sistem pengaliran listrik yang digunakan adalah interkoneksi, dimana aliran listrik yang dihasilkan dari beberapa PLT dikumpulkan terlebih dahulu sebelum kemudian didistribusikan”.

 

 

Tanah Bengkok atau Bangkok?

 

Lama saya memiliki anggapan kalau nama  Bengkok yang dipakai berasal dari nama Bangkok (Thailand atau Muangthay). Ini merujuk pada kedatangan Raja Rama V di Bandung. Kemudian membuat prasasti di Curug Dago.

Namun setelah melalui beberapa obrolan bersama teman-teman di Komunitas Aleut! Didapatlah satu pencerahan mengenai asal kata Bengkok.

 

Bengkok yang dipakai merujuk pada kata Tanah Bengkok, diartikan sebagai lahan garapan milik desa. Dalam sistem agraria di Pulau Jawa Tanah Bengkok tidak boleh diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh mereka yang memiliki hak mengelola (Wikipedia).

Menurut penggunaannya Tanah Bengkok dibagi menjadi 3 kelompok :

  1. Tanah Lungguh, hak pamong desa untuk menggarapnya sebagai kompensasi gaji yang tidak dibayarkan.
  2. Tanah Kas Desa, dikelola oleh pamong desa. Digunakan untuk mendanai keperluan desa.
  3. Tanah Pengarem-arem, hak pamong desa yang sudah pensiun sebagai pengganti jaminan hari tua. Pengelolaannya sampai meninggal, untuk kemudian dikembalikkan ke desa.

Douwes Dekker

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

 

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1952) atau lebih dikenal dengan nama Dr. Danu Dirjo Setya Budhi, lahir di Pasuruan dan meninggal di Bandung tanggal 28 Agustus 1952.
Douwes Dekker adalah cucu dari adik Eduard Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Multatuli, pengarang buku Max Havelaar. Sifat kakak kakeknya yang membela kemanusiaan ternyata menurun kepadanya.
Douwes Dekker dijuluki “International Scoudrel” atau penjahat internasional karena secara terang-terangan menunjukan kebenciannya terhadap agresi-agresi yang dilakukan bangsa Barat terhadap Asia. Dalam Perang Dunia ke-II, beliau memihak Jepang alih-alih Belanda dan sekutunya.

Walaupun dilahirkan dan dibesarkan sebagai seorang Kristen, tetapi pada akhir hayatnya beliau memeluk agama Islam dan menikah untuk ketiga kalinya secara Islam pula. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam sesuai benar dengan kehidupan manusia secara nyata.

Selama tinggal di Bandung, Tahun 1912 DD mendirikan “Indische Partij” bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. DD juga sempat mendirikan sekolah Kesatriaan Institute yang sekarang menjadi SMP 1 Bandung. Menurut buku telefon tahun 1936, beliau beralamat di Lembangweg Paal 4½.

Di tahun-tahun terakhir kehidupannya beliau menjabat sebagai menteri negara dalam Kabinet Syahrir, dan pegawai tinggi di Departemen Penerangan dan anggota DPA. Beliau juga menyusun buku “Tanah Air Kita” yang sangat indah. DD dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandun

Treasure from the Past : Ngaleut Tahura – Bosscha

Oleh : Yanstri Meridianti

 

Minggu, 31 Januari 2010 Klab Aleut kembali melakukan penjelajahan. Pukul 8:15 kami memulai perjalanan dari depan Terminal Dago. 19 Aleutian berjejalan di dalam angkot yang akan membawa kami ke titik awal perjalanan. Ya, perjalanan kali ini dimulai dari Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (THR Ir. H. Djuanda/Tahura) yang terletak di kawasan Dago Pakar. Setelah membayar retribusi sebesar Rp 5.000,- mulailah kami menyusuri jalan setapak yang rindang karena dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Tahura berfungsi sebagai museum hidup (arboreteum) yang memiliki koleksi tanaman mencapai lebih dari 2.500 jenis sehingga sering menjadi objek studi bagi pelajar, mahasiswa dan para ahli dalam bidang pengenalan pohon.

 

Dalam sejarah geologi Dataran Tinggi Bandung, kawasan tersebut dipercaya sebagai salah satu tempat hunian dan pembuatan senjata manusia purba yang menempati daerah pinggiran Situ Hyang tatkala Bandung masih merupakan danau. Selain itu, pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang kawasan ini pernah dijadikan benteng pertahanan. Sisa-sisa peninggalannya masih bisa dijumpai berupa goa, masing-masing disebut goa Belanda dan goa Jepang.

 

Goa Belanda yang dibangun pada tahun 1812 merupakan lorong menembus kaki bukit. Lorong tersebut awalnya disiapkan untuk mengalirkan air Cikapundung lalu ditampung di kolam pakar untuk pembangkit pusat tenaga air (PLTA) Bengkok. Namun setelah sudah tidak efektif lagi lorong berbentuk terowongan itu kemudian dijadikan pusat radio komunikasi Belanda. Kami sempat melewati goa yang memiliki 15 cabang lorong tersebut yang juga berfungsi sebagai jalan pintas menuju wanawisata Maribaya yang jaraknya sekitar lima kilometer. Bagi mereka yang ingin menyaksikan bagian dalam goa tersebut, tersedia penunjuk jalan (guide). Atau bisa saja dengan menyewa lampu baterai dari mereka. Tetapi, dalam perjalanan kali ini saya hanya “numpang” lewat, sehingga tidak sempat mencoba memasuki satu per satu lorong-lorong yang ada di dalam goa tersebut.

 

Pada zaman pendudukan Jepang, goa tersebut berfungsi sebagai gudang mesiu. Selain goa tersebut, pada tahun 1942 Jepang juga membangun goa lainnya yang letaknya sekitar 500 meter dari goa Belanda. Ada empat buah goa berukuran besar yang berjejer di sini, serta beberapa goa berukuran kecil. Sayangnya, karena keterbatasan waktu saya belum sempat melihat keadaan di dalam goa tersebut.

 

Perjalanan berlanjut melewati kolam penampungan air (DAM) yang sekaligus berfungsi sebagai kolam pengendapan lumpur dari air Sungai Cikapundung yang akan digunakan sebagai penggerak turbin di PLTA Bengkok yang terletak di daerah Dago Bengkok. Saat ini PLTA tersebut dikelola oleh PT. Indonesia Power UBP Saguling. Dari stiker yang tertempel di dekat pintu air saya mendapat informasi tambahan bahwa DAM yang saya lalui tersebut adalah DAM Bantarawi.

 

Bukan Aleut namanya kalau memilih berjalan melalui jalan yang biasa. Meskipun di atas DAM tersebut berdiri sebuah jembatan, kami memutuskan untuk menyeberang jalan melalui tengah-tengah DAM yang sedang kering. Untuk itu, kami harus turun melalui tangga besi yang menempel di pinggiran DAM. Cukup mendebarkan buat orang yang takut ketinggian seperti saya. Tetapi, ternyata setelah dilalui, rasanya biasa-biasa saja. Lebih mendebarkan naik Kora-Kora di Dufan. Untuk naik dari atas DAM kami harus sedikit berakobrat melompati tembok yang lumayan tinggi. Bahkan beberapa Aleutian harus ditarik karena cukup sulit melompati tembok tersebut.

 

Perjalanan dilanjutkan melalui semak-semak yang mengharuskan kami berpegangan ke batang-batang pohon untuk dapat melewati jalanan yang terus menanjak. Di beberapa tempat jalanan tertutup tanah basah yang cukup tebal. Belum lagi pohon tumbang yang beberapa kali menghadang langkah kami.Cukup ampuh untuk membakar kalori. Akhirnya tibalah kami di Desa Mekarwangi, Kampung Sukamulya dengan disambut hujan yang semakin lebat dan memaksa kami untuk sejenak menghentikan perjalanan. Sebuah warung dipilih sebagai tempat berteduh sekalian mengisi perut yang mulai keroncongan.

 

Hujan masih saja tidak tentu, terkadang berhenti, terkadang semakin deras. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah kami untuk terus melangkah. Kami sempat melewati semacam tembok dengan goa kecil dibawahnya. Di tembok tersebut terdapat tulisan sekolah yang saya lupa nama persisnya, yang jelas semacam sekolah tentara. Tapi sayangnya saya tidak sempat memeriksa apa yang ada di balik tembok tersebut.

 

Lagi-lagi langkah kami harus terhenti akibat dihadang hujan lebat. Sambil berteduh saya sempat mengamati lingkungan sekitar. Rasa-rasanya saya familiar dengan jalan ini? Ternyata saya pernah berkunjung ke sini empat tahun yang lalu. Banyak yang sudah berubah di lingkungan tersebut. Daerah yang sekarang sedang diratakan untuk dijadikan jalan, dahulu merupakan kebun penduduk yang dikelilingi oleh semak-semak nan hijau. Selain itu, di persimpangan jalan menuju Maribaya dahulu merupakan kebun stroberi. Sekarang tempat tersebut menjadi kebun sawi dan sayur-mayur lainnya. Entah karena musim penghujan tidak baik untuk menanam stroberi atau karena tanaman stroberi sudah tidak terlalu menjual seperti dahulu sehingga diganti dengan komoditas lainnya.

 

Kami sempat mengalami kekecewaan karena tukang bakso yang kami tuju ternyata sedang tidak berjualan. Sehingga cacing-cacing kelaparan dalam perut kami harus puas dengan semangkuk indomie yang kami santap. Perjalanan diteruskan menuju Gn. Batu. Akhirnya saya bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri yang namanya Gn. Batu. Dahulu saya sempat mengira bahwa Gn. Batu terletak di daerah dekat pintu tol Pasteur. Ternyata itu hanya nama daerah saja.

 

Gn. Batu relatif mudah untuk didaki karena ketinggian gunung ini tidak seberapa dan di sana sudah tersedia jalur setapak pendakian dengan sebaran batu alam yang dapat dipakai sebagai pijakan atau pegangan saat mendaki. Di atas Gn. Batu terdapat dua buah makam. Salah satu makam tersebut sudah berlapis porselain berwarna biru dengan tulisan “Keramat Mbah Jambrong Gunung Batu”. Sedangkan makam satunya lagi tampak tidak terawat. Saya sempat bertanya-tanya siapakah Mbah Jambrong tersebut? Tetapi setelah saya bertanya sana-sini termasuk kepada mbah gugel hingga saat ini saya belum menemukan keterangan yang cukup jelas. Tidak jauh dari makam Mbah Jambrong terdapat stasiun pemantauan gempa bumi milik puslitbang geologi. Dari puncak Gn. Batu kita bisa melihat dengan jelas bentuk mangkuk raksasa (plateu) Bandung dan gunung-gunung besar yang mengelilinginya di antaranya Gn. Tangkubanparahu seperti dilukiskan lewat lagu “Bandung” ciptaan Bimbo yang liriknya sebagai berikut:

 

Bandung

Bandung dilingkung gunung

Tempatku berlindung

Terpaku di utara Bandung

Tangkubanparahu

 

Selain Gn. Tangkubanparahu, di sebelah utara kita dapat melihat Gn. Burangrang, Perbukitan Bukanegara, Gunung Bukit Tunggul, Gn. Palasari dan Gn. Manglayang. Di sebelah timur terdapat Gn. Bukit Jarian, Gn. Geulis, Gn. Dusung dan Gn. Kendan. Di Selatan terlihat Gn. Mandalawangi, Gn. Rakutak, Gn. Malabar, Gn. Patuha dan Gn. Kendeng. Sementara itu, di sebelah barat terhampar perbukitan sisa-sisa gunung api tua kala Pleosen, seperti Gn. Selacau (Soreang), Gn. Lagadar dan Gn. Bohong (Cimahi).

 

Puas menikmati keindahan alam kota Bandung dari ketinggian, kami melanjutkan perjalanan ke arah Observatorium Bosscha. Melewati tanah lapang di sebelah kantor desa  dengan beberapa menara yang kemungkinan adalah menara BTS berdiri di sana. Terlihat dua orang nekat memperbaiki menara tersebut dalam kondisi hujan. Dalam hati saya bertanya-tanya, “apa ga takut kesetrum ya?”. Dikejauhan saya melihat bangunan yang menyerupai kastil. Semula saya menyangka bangunan tersebut adalah mesjid, tetapi setelah saya amati dengan seksama sepertinya itu villa. Tetapi saya tidak sempat melihatnya dari jarak dekat sehingga belum bisa memastikan bangunan apakah itu sebenarnya.

 

Kami mulai bergerak memasuki Desa Pencut. Setelah melewati jalanan yang menurun dan menanjak dengan tajam serta melewati pinggiran sungai kami disambut dengan anak tangga yang berjumlah tak kurang dari 50 anak tangga. Akhirnya, kami tiba juga di Observatorium Bosscha dengan disambut oleh rumah teleskop Bamberg yang di depannya berdiri sebuah tugu bertuliskan K.A.R. Bosscha 1923. Kami sempat beristirahat sambil membuat foto keluarga di depan Kubah Teleskop refraktor Ganda Zeiss.

 

Observatorium Bosscha (dahulu dikenal sebagai Bosscha Sterrewacht) didirikan antara tahun 1923-1928. Terletak di Lembang, sekitar 15 km ke arah utara Bandung. Nama Observatorium Bosscha itu sendiri diambil dari nama sponsor utamanya, Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928), seorang tuan tanah yang memiliki perkebunan teh di daerah Malabar.

 

Observatorium ini dilengkapi dengan teleskop berbagai ukuran dan jenis. Masing-masing teleskop memiliki sasaran objek pengamatan yang berbeda-beda. Ada 5 teleskop yang aktif untuk penelitian astronomi. Kelima teleskop tersebut adalah: teleskop refraktor Ganda Zeiss, teleskop Schmidt Bima Sakti, teleskop Refraktor Bamberg, teleskop Cassegrain GOTO, dan teleskop refraktor Unitron.

 

Perjalanan kali ini ditutup dengan segelas susu hangat dan segudang pengalaman yang tak terlupakan.

 

Suganda, Her. Jendela Bandung. Pengalaman Bersama KOMPAS. Penerbit Buku Kompas, 2008.

Surono, Yds. Agus, Tim Klab Aleut. Intisari: Where To Go (Guide Book) edisi Bandung. PT Intisari Mediatama, 2009.

Bandung Dalam Balutan Lirik Lagu Lawas, Djoko Subinarto

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=87148

http://www.itb.ac.id/news/1184.xhtml

NGALEUT DEMI LINGKUNGAN KOTA YANG LEBIH BAIK

Oleh : Ridwan Hutagalung

Semestinya pada hari Minggu, 16 Januari 2011 ini saya dan Komunitas Aleut! akan melakukan kegiatan rutin ngaleut (Sunda: berjalan beriringingan) dengan tema “Merawat Pohon”, namun beberapa hal teknis membuat kegiatan ini dibatalkan. Narasumber yang akan berbagi informasi dan pengetahuan seputar pepohonan dan lingkungan tak dapat hadir sementara kami, para peserta, adalah orang-orang yang sangat awam mengenai hal ini. Tapi kami tidak ingin menyerah. Seorang peserta yang cukup memiliki wawasan tentang lingkungan bersedia untuk berbagi sedikit cerita dan pengetahuannya tentang pohon dan lingkungan. Sebagai rute perjalanan kami pilih saja rute “Ngaleut Taman I”. Komunitas Aleut! memang memiliki puluhan rute-rute standar untuk kegiatan ngaleutnya di Kota Bandung dan sekitarnya. Khusus untuk tema taman, Komunitas Aleut! membaginya menjadi dua rute berbeda.

 

Setelah terkumpul beberapa belas peserta di Taman Ganesha depan kampus ITB. Perjalanan pun dimulai dengan penceritaan mengenai fungsi taman bagi sebuah kota. Sebuah taman mengumpulkan banyak tetumbuhan dan pepohonan di dalamnya. Kumpulan pepohonan ini memroduksi oksigen yang banyak bagi kebutuhan hidup manusia. Apalagi di sebuah kota dengan tingkat polusi yang cukup tinggi seperti Bandung, keberadaan taman-taman sudah merupakan sebuah keharusan. Pepohonan memberikan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia dan menyerap racun yang berkeliaran di udara yang kita hirup sehari-hari. Sebuah taman dalam kota dapat membantu memelihara udara, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan .

Di Taman Ganesha ini juga diceritakan tentang latar belakang pembuatannya sebagai penghargaan terhadap perintis pendirian Technische Hooge School (THS yang kemudian menjadi ITB), Dr. Ir. J.W. Ijzerman, sehingga pada masa Hindia-Belanda taman ini dinamakan Ijzermanpark. Sejak awal pendiriannya, Ijzermanpark yang dulu indah ini sudah menjadi tujuan rekreasi warga Kota Bandung. Warga dapat datang untuk sekadar duduk santai atau membaca sambil menghirup udara yang segar atau berjalan-jalan mengelilingi taman sambil menikmati gemercik air mancur di kolam di tengah taman. Hijau rerumputan, berbagai pepohonan dan warna-warni bebungaan memang sangat menyegarkan mata siapa pun yang memandangnya.

 

 

Sayang sekali kondisi Taman Ganesha sekarang tidak sebaik dulu karena di berbagai tempat tampak tanah yang becek dan biasa tergenang pada saat hujan, air kolam yang kusam pekat dan tidak ada air yang mancur. Walaupun begitu, sejumlah pepohonan memang masih ada di sini memberikan sedikit keteduhan. Setiap hari Minggu masih tampak warga yang datang piknik ke taman ini sambil menunggui anak-cucunya bermain tunggang kuda di sekitar kawasan ini. Agak aneh juga melihat kondisi ini karena di ujung Jl. Gelap Nyawang kami temui sebuah tiang besi dengan plakat bertuliskan “Kawasan Bersejarah – Revitalisasi Kawasan Taman Ganeca/Ijzerman Park 1919.” Mungkin program revitalisasi memang pernah dilaksanakan di sini, namun yang tampaknya tidak dilakukan  adalah perawatan dan pemeliharaannya.

 

 

Dari Taman Ganesha, rombongan ngaleut berjalan ke Jl. Ciung Wanara. Ruas jalan ini cukup bersih. Di kanan-kiri jalan pepohonan masih menjulang tinggi. Sayangnya tidak ada keterangan nama pohon, sehingga hanya beberapa pohon saja yang berhasil dikenali. Di antaranya adalah pohon kersen. Pohon yang rindang dengan daun-daun kecil ini masih satu keluarga dengan pohon sakura. Daun dan bunganya yang berwarna putih, berukuran kecil-kecil namun cantik. Saat masih anak-anak di Kampung Pasirmalang, saya senang naik ke atas pohon kersen dan duduk-duduk hingga tertidur di dahannya. Teduhnya pohon dan sejuknya angin semilir masih suka terbayang bila melihat pohon kersen. Pengalaman itu tak pernah terulang lagi hingga kini.

 

Ruas Jl. Ciung Wanara tampaknya terpelihara cukup baik. Beberapa papan pengumuman berisi pesan agar tidak melukai dan merusak pohon terpasang di beberapa tempat. Mungkin itu sebabnya pepohonan di sini bersih dari kotoran tempelan-tempelan pengumuman atau iklan-iklan yang biasa dipasang pada pohon. Untuk sampah pun warga menyediakan tong-tong khusus dengan keterangan yang jelas fungsinya. Ini pembelajaran yang sangat baik untuk masyarakat awam.

 

 

Saya teringat kegiatan Komunitas Aleut! pada 19 Desember 2010, yang untuk kesekian kalinya mengadakan perjalanan menyusuri sungai Ci Kapundung. Di sekitar Kelurahan Taman Sari kami saksikan sendiri bagaimana warga kampung padat itu membuat papan-papan pesan kebersihan lingkungan sepanjang aliran sungai secara swadaya. Saat itu saya berpikir bahwa cara paling baik dalam menyebarkan rasa kepedulian masyarakat terhadap lingkungan adalah dengan cara pelibatan langsung anggota masyarakat dan bukan melalui penyuluhan-penyuluhan formal yang seringkali terasa membosankan dan akhirnya tidak didengarkan. Di Taman Sari kami saksikan sendiri warga yang bangga terhadap Ci Kapundung walaupun mereka tau persis seperti apa kotornya air yang mengalir melalui kampungnya. Dengan bangga dan gembiranya mereka berenang dan bermain di Ci Kapundung. Dengan bangga pula mereka menjaga sendiri kebersihan Ci Kapundung di wilayahnya.

 

http://www.facebook.com/album.php?aid=272090&id=519229089

 

 

Pada tubuh pepohonan di ruas Jl. Ciung Wanara rombongan Aleut! dapat memerhatikan beberapa karakter pohon, seperti lumut kerak yang menempel pada batangnya. Lumut kerak ini dapat dijadikan petunjuk mengenai tingkat polusi lingkungan di sekitarnya. Kualitas udara memengaruhi keberadaan lumut kerak, semakin sedikit lumutnya adalah tanda semakin rusaknya lingkungan sekitar. Tak heran, Jalan Dago memang ruas jalan yang selalu ramai oleh kendaraan sejak dulu, apalagi belakangan ini kepadatan lalu-lintas di Dago dan sekitarnya semakin meningkat saja, hampir setiap akhir pekan selalu saja macet oleh kepadatan kendaraan. Semua kendaraan ini memroduksi racun yang dikeluarkan melalui knalpotnya dan kita hirup sepanjang waktu.

 

Perjalanan dilanjutkan ke arah bekas Taman Cikapayang yang berada di depan Gereja GII. Yang disebut sebagai Taman Cikapayang saat ini adalah bekas lokasi pom bensin di depan gereja dan sekarang sering dijadikan tempat berkumpulnya anak-anak muda Bandung untuk melakukan berbagai kegiatan. Di bagian depan taman terdapat tulisan warna-warni berukuran besar, D-A-G-O. Walaupun tampak asri oleh bebungaan namun taman ini tidak tampak rindang seperti keadaannya dulu. Sampai akhir tahun 1990-an Taman Cikapayang (paralel dengan Jl. Cikapayang) masih dapat disaksikan bersambung dengan Taman Surapati (paralel dengan Jl. Prabudimuntur) di seberangnya. Namun kedua taman ini ternyata harus berkorban karena dilenyapkan untuk pembangunan jalan layang Pasupati pada awal tahun 2000-an.

 

 

Dari Taman Cikapayang rombongan menuju ke Rektorat ITB di simpang Jl. Sulanjana-Jl. Taman Sari. Mulai dari sini banyak sekali kami saksikan penyiksaan pepohonan di sepanjang jalan yang kami lalui. Sejumlah iklan dipaku di batang pohon. Untuk menempelkan selembar kertas berlapis plastik (!) pemasangnya menggunakan paku berukuran sekitar 5cm! Empat paku untuk setiap iklan yang ditanam dalam-dalam pada batang pohon. Iklan yang gambarnya ada di bawah ini tampaknya disebarkan di banyak tempat karena saat pulang nanti saya masih akan melihat iklan-iklan serupa di pasang juga pada batang pepohonan di sekitar Jl. Lengkong Besar. Berapa banyak pohon yang teraniaya untuk sebuah iklan yang jelek seperti ini? Masih ada puluhan atau mungkin ratusan paku lainnya dapat ditemui di pohon-pohon, sebagian besar sudah berkarat karena sudah lama dibiarkan menancap di sana.

 

 

Saya ingin tahu juga adakah aturan yang melindungi keberlangsungan kehidupan pepohonan di perkotaan? Adakah aturan yang dapat melarang perusakan pohon seperti ini? Bila tidak ada dan ini dianggap perlu, kenapa tidak dibuatkan segera aturannya? Bila memang aturan tersebut ada, kenapa pihak yang berwenang tidak langsung saja menghubungi nomor-nomor kontak yang tertera pada iklan atau siapa pun yang harus bertanggung-jawab atas pemasangannya agar mempertanggung-jawabkan perbuatannya? Atau dapatkah kita yang peduli lingkungan, komunitas-komunitas, para pegiat lingkungan dan alam, atau LSM-LSM melakukan penyadaran dalam masyarakat yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya memperlakukan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar kita? Penyadaran tentang pentingnya memelihara kesehatan dan kehidupan pepohonan di sekitar kita…

 

Di persimpangan Jl. Sulanjana-Jl. Taman Sari ini kami saksikan juga hal lain. Sebuah spanduk yang sudah sangat kusam, berlubang-lubang dan terpilin, masih saja berkibar dengan gagahnya entah untuk tujuan apa. Spanduk kumuh ini bergabung dengan seliweran kabel-kabel, tempelan berbagai poster iklan di tiang listrik, plang ini-itu yang semuanya menyatu merusak pemandangan kota, merusak penglihatan warga kota. Ribuan tempelan poster di tembok-tembok dan tiang-tiang di Kota Bandung tidak pernah dibersihkan setelahnya. Tak adakah aturan untuk hal semacam ini?

 

 

Menjaga keasrian suasana kota adalah tanggung jawab kita semua, tetapi tanpa ada aturan yang jelas sering membuat kesadaran sebagian warga malah berujung dengan perasaan frustrasi. Bapak Sariban bisa memiliki kesadaran untuk mencabuti paku-paku dari pepohonan sementara pada saat yang sama ratusan paku lainnya sedang ditancapkan di seantero Bandung. Kadang-kadang Komunitas Aleut! juga mengumpulkan sampah-sampah di lokasi tertentu (seperti pernah dilakukan di Pawon, Manglayang, Jl. Braga, Gn. Patuha, dll) namun betapa frustrasinya saat mengetahui bahwa pada saat yang sama dan di lokasi yang sama sampah-sampah terus ditaburkan oleh warga lainnya. Apa hasil dari kesadaran yang baik? Ke mana semua ini akan berujung?

 

Baiklah, jawabannya mungkin akan klise, seperti yang sering didengungkan di rumah-rumah ibadah tentang berbuat baik, seperti yang dicontohkan oleh Bapak Sariban, bahwa apapun yang terjadi maka nyala kesadaran yang betapa pun kecilnya tak boleh padam. Sekecil apa pun yang dapat kita lakukan dalam menjaga lingkungan ini akan selalu ada gunanya. Nyala yang kecil tetap lebih baik ketimbang mati sama sekali. Nyala yang kecil adalah harapan. Hari ini Komunitas Aleut! berikrar bahwa dengan caranya sendiri akan selalu menyertakan agenda kesadaran lingkungan dalam setiap kegiatannya.

 

Sekarang satu orang disadarkan, besok satu orang lagi, lusa satu orang lagi, minggu depan satu orang lagi, bulan depan satu orang lagi, dan begitu seterusnya, sampai entah kapan akan dapat kita lihat bersama bahwa ternyata masih lebih banyak orang yang memiliki dan melaksanakan kesadarannya daripada yang tidak. Hingga suatu saat nanti pemandangan seperti ini dapat kita saksikan di setiap penjuru kota, di setiap rumah dan gedung, dan di setiap waktu tanpa harus jauh-jauh pergi ke pinggiran kota seperti sekarang ini….

 

 

 

 

Ridwan Hutagalung – Komunitas Aleut!

rgalung.wordpress.com

 

Catatan :

–           Komunitas Aleut! adalah sebuah komunitas independen di Kota Bandung, sebagian besar anggotanya terdiri dari mahasiswa yang berasal dari berbagai sekolah tinggi di Bandung. Awalnya perhatian komunitas ini ditujukan hanya untuk pengembangan wawasan sejarah masyarakat umum, namun belakangan berkembang menjadi komunitas belajar dengan minat yang luas, apresiasi sejarah, apresiasi wisata, apresiasi film dan musik, apreasiasi lingkungan, dst. Saat ini anggota resmi yang tercatat sekitar 300 orang (registrasi 2009/2010). Sejak terbentuk pada tahun 2006, hampir setiap minggu mengadakan perjalanan (berjalan kaki) dengan tema dan rute tertentu di Kota Bandung dan sekitarnya. Setiap hasil perjalanan dituliskan dalam catatan di facebook atau blog pribadi yang kemudian dikumpulkan dalam aleut.wordpress.com

–           Kata “ngaleut” atau “aleut” dalam catatan ini sengaja tidak dimiringkan karena sudah kami anggap sebagai kosa kata sehari-hari kami. Kata “aleut” berasal dari bahasa Sunda yang artinya “berjalan beriringan”.

–           Link tentang Bapak Sariban http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165229

 

Foto-foto : Ridwan Hutagalung dan Komunitas Aleut!

 

–          Tim Penulis PR, 2010, 200 Ikon Bandung; Ieu Bandung, Lur!, Pikiran Rakyat, Bandung.

–          Informasi Nara Wisesa dalam “Ngaleut Taman I”, 16 Januari 2011

–          Diskusi FB Bpk. Sobirin http://www.facebook.com/photo.php?fbid=145831052138916&set=at.104755639579791.17673.100001360672886.100001360672886&ref=nf

–          Informasi dari Bpk. Joko Kusmoro dan Bpk. Prihadi S dari Arboretum Unpad saat “Ngaleut Arboretum”, tanggal 9 Januari 2011.

Bagaimana Caranya Pohon-Pohon Tidak di Paku

Oleh : Fajar Asaduddin “Ajay Tea”

 

“Mungkin hanya segelintir orang-orang yang peduli terhadap taman-taman khususnya di Bandung. Pohon-pohon yang ada di taman seharusnya memberikan  oksigen yang dibutuhkan bukan hanya untuk manusia saja, tetapi dibutuhkan juga oleh hewan-hewan. Akan tetapi di Taman Ganesa kita lihat masih banyak pohon-pohon yang berdiri kokoh dan masih banyak pula di kunjungi oleh orang-orang untuk piknik, bermain dengan keluarganya, berolahraga, bersantai-santai menghirup udara segar”.

 

Itulah sedikit pertanyaan dari seorang teman yang disela-sela istirahat sembari sharing – mengobrol di tempatnya bekas rumah Wolff Schoemaker yang sekarang jadi tempat makan dan taman bacaan. Ngaleut yang ke 3 di tahun 2011, yaitu pada tanggal 16-1-2011 ini tadinya Komunitas Aleut mengajak belajar tentang pohon-pohon yang ada di Bandung sambil merawat, membersihkan, dan mencabut paku-paku ambil sampah-sampah dengan tema “Save The Trees”.

 

Walaupun ternyata harus sedikit berbelok haluan yang dikarenakan narasumbernya yang diharapkan berhalangan, ternyata masih ada narasumber lainnya yaitu Nara Wisesa. Nara menjelaskan sedikit tentang pohon-pohon di Taman Ganesha, Pohon Kersen atau Talok yang buahnya kecil dan manis. Dan munculnya trend musik pada tahun 1970-an kata bang Ridwan yaitu Aktuil. Setelah dari Taman Ganesa yang kalau di lihat dari atas berbentuk huruf “Y”, melewati Jalan cikapayang dan berhenti di dekat Taman Badaksinga atau jalan Gelap Nyawang yaitu tempat tongkrongan anak-anak muda dekat PDAM ternyata dulunya Lapangan Gasibu di Jalan Badaksinga. Dikarenakan adanya Projek air bersih dengan nama HBM yang sekarang menjadi PDAM lapangan Gasibu di pindahkan ke depan Gedung Sate yang dulunya hanya lapangan kosong yang penuh dengan semak berlukar. Gasibu itu adalah singkatan yang namanya “Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara” dan Gasibu bukan Gazeboo, Gasibu buka Gazibu, Gasibu tetaplah Gasibu.

 

Setelah berjalan-jalan terus sehingga sampailah di depan rumah milik Wolff Schoemaker yang dulu saya ingat waktu ngaleut Taman juga entah ngaleut taman yang ke berapa saya lihat masih dalam perbaikan dan sekarang sudah menjadi tempat makan atau tempat taman bacaan. Di karenakan hujan turun maka untuk ngaleut tgl 16-1-2011 terpaksa di hentikan di tempat Wolff Schoemaker dan semua memesan minuman. Sebari memesan bang Ridwan bercerita tentang Wolff Schoemaker yang ternyata Wolff Schoemaker membuat bangunan – bangunan yang di antaranya yang saya ingat : Rumah milik Wolff Schoemaker, Bosscha yang ada di lembang, Hotel Savoy Homman, Bioskop Majestic, Dll.

 

NB : Maap di rahasiakan namanya.

 

“Semoga banyak yang Peduli terhadap Lingkungan sekitar kita termasuk taman-taman di Kota Bandung”.

Jadi Nama Asteroid

Oleh : Asep Suryana

Hari kemarin dapat berita dari Direktur Observatorium Bosscha, Dr. Hakim L. Malasan bahwa nama-nama mantan Direktur Observatorium Bosscha diabadikan menjadi nama Asteroid dan sudah disetujui IAU (International Astronomical Union). Masing-masing asteroid tersebut adalah:

 

12176  Hidayat  (Prof. Dr. Bambang Hidayat, Dir. Observatorium 1968 – 1999)

12177  Raharto (Dr. Moedji Raharto, 1999 – 2004)

12178  Dhani     (Dr. Dhani Herdiwijaya, 2004 – 2006)

12179  Taufiq     (Dr. Taufiq Hidayat, 2006 – 2010)

 

Ini adalah pengakuan IAU atas kontribusi Observatorium Bosscha dan Astronomi Indonesia. Keempat nama tersebut bukanlah penemu asteroid bersangkutan. Menurut Dr. Budi Dermawan keempatnya ditemukan pada satu malam pengamatan (16 Oktober 1977) oleh C. J. van Houten, I. van Houten-Groeneveld, dan T. Gehrels. Penemu tidak otomatis menjadi nama asteroid yang ditemukannya. Seorang pengamat bahkan bisa saja menemukan lebih dari satu asteroid. Perlu diketahui bahwa jumlah asteroid yang sudah ditemukan berjumlah ratusan ribu. Yang sudah diketahui orbitnya dengan baik diberi nomor dan nama permanen. Asteroid disebut juga planet minor ukurannya lebih kecil dari planet dan lebih besar dari meteor, sebagian besar berada di sabuk utama antara planet Mars dan Jupiter. Ceres yang ditemukan tahun 1801 oleh Giuseppe Piazzi mempunyai diameter 941 km dan merupaka asteroid terbesar hingga saat ini.

 

Nama-nama asteroid yang berkaitan dengan Indonesia sudah masuk dalam katalog sekitar tahun 1950-an seperti:

731   Sorga

732   Tjilaki

754   Malabar

770   Bali

772   Tanete (nama tempat di Sulawesi Selatan)

2019 van Albada (1949 – 1958: Prof. Dr. Gale Bruno van Albada, Dir. Obs. Bosscha 1949 – 1958:)

 

2307 Garuda

2378 Pannekoek (Antonie Pannekoek, astronom Belanda yang datang ke Jawa tahun 1926 untuk penelitian Astronomi)

 

5408 The (Prof. Dr. The Pik Sin, Dir. Obs. Bosscha 1959 – 1968)

7172 Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker, pengarang Max Havelaar)

10966 van der Hucht (Karel A. van der Hucht astronom Belanda sering melakukan kerjasama riset dengan Obs. Bosscha terutama melalui Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds)

 

Stichting Het Leids Kerkhoven-Bosscha Fonds (LKBF) mengandung dua nama orang Rudolf A. Kerkhoven dan K.A.R Bosscha, Rudolf yang lahir pada tanggal 27 Agustus 1879 di perkebunan teh Arja Sari, Gambung, Bandung Selatan adalah putera Rudolf Edouard Kerkhoven pendiri perkebunan teh Malabar sedangkan Bosscha adalah pamannya.  Keduanya merupakan penyantun Perhimpunan Astronomi Hindia Belanda atau Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) yang didirikan tahun 1920. Bosscha meninggal di perkebunan teh Malabar 25 November 1928 sedangkan Rudolf A. Kerkhoven meninggal di Belanda 5 Februari 1940 dan sebagian hartanya digunakan untuk penelitian astronomi, khususnya kerjasama penelitian dengan Observatorium Bosscha Indonesia melalui LKBF yang didirikan tahun 1954.

 

Nama asteroid Malabar dan Tjilaki pastilah berhubungan dengan Kerkhoven-Bosscha yang pernah menjadi administratur Perkebunan Teh Malabar dan berjasa pada kemajuan ilmu astronomi. Tjilaki atau ejaan sekarang adalah Ci Laki nama sungai yang terdapat di area tersebut.

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑