Month: November 2010 (Page 2 of 2)

Dr. C. Snouck Hurgronje

Dr. C. Snouck Hurgronje (1857 – 1936). Sarjana Belanda keturunan Yahudi, ahli bahasa arab dan agama Islam, penasihat jendral Van Heutsz dan pemerintah Hindia Belanda dalam usaha menguasai Aceh.

Di Bandung, Tahun 1898 beliau menikah dengan Siti Sadiyah yang saat itu baru berusia 13 tahun. Sang Istri muda adalah putri dari Raden Haji Muhammad Soe’eb, seorang “Plaatsvervanger-penghulu/penghulu pengganti” di Bandung. Saat menikah, Snouck menggunakan nama “Abdul Ghaffar”. Siti Sadiyah meniggal pada tahun 1974.

Perkawinannya dikaruniai seorang anak bernama Jusuf, yang lahir pada tahun 1905. Sang anak tidak sempat bertemu dengan ayahnya karena Snouck pulang ke Belanda di tahun 1906. Walaupun begitu, Jusuf mendapatkan tunjangan sebesar 5000 gulden dan biaya pendidikan hingga umur 21 tahun.

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Mayjen Prof. Dr Moestopo (1913-1986)

Tidak sedikit Pahlawan Nasional yang pernah tinggal di Bandung. Salah satunya adalah Mayjen Prof. Dr Moestopo (1913-1986) yang rumahnya ada di Jalan Dago-Dayang sumbi sampai sekarang.

Mengawali karir di bidang kedokteran, beliau kemudian sempat menjadi Kepala BKR Surabaya, Menteri Pertahanan, Penasihat Agung Militer Pemerintah, Komandan Bandung Utara, Komandan Resimen Kratibo Subang, merangkap Wakil devisi Siliwangi Utara dan Panglima Teritorial Jawa Timur dan Komandan Markas Besar Pertempuran Jawa Timur dan banyak lagi… Berbagai tanda jasa berhasil beliau sanding…

Selain dalam bidang militer, beliau juga aktif di bidang kedokteran dan pendidikan.

Beliau diangkat sebagai pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2007…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Sosrokartono

Raden Mas Panji Sosrokartono, posisi paling kanan (Jepara, 10 April 1877-Bandung, 8 Februari 1951), adalah Kakak dari R.A. Kartini. Seorang jenius lulusan Univ. Leiden, beliau menguasai 26 bahasa asing; 19 bahasa asing timur dan 7 bahasa asing barat.

Selama tinggal di Bandung, yaitu di jalan Pungkur No. 19 (sebelumnya no. 7) beliau membuka perpustakaan dan praktik pengobatan melalui air putih dan mampu menebak pikiran orang. Di rumahnya yang dinamakan ‘Darusalam’ itu juga, kerap dikunjungi oleh Soekarno. Sekarang rumahnya sudah tidak berbekas…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Pastor H. C. Verbraak

Kalo ke Taman Maluku, di sana ada patung Pastor. Itulah Pastor H. C. Verbraak, seorang perawat rohani Katolik Pasukan Belanda. Bertugas di Aceh dari tahun 1874 sampai 1907. Meninggal tanggal 1 Juni 1918 di Magelang. Entah kenapa patungnya disimpan di Bandung.. Ada yg bisa menjawab ?… Lalu mengapa patung ini bisa bertahan ? kata Pak Goerjama, waktu jepang datang, patung ini sempat dikubur oleh orang Belanda, dan diangkat kembali setelah Jepang check out dari Indonesia…

Belum ke Bandung kalau belum ngaleut, and belum ke Braga kalau belum mampir di Braga Permai !!!

Iklan Restoran Braga Permai tahun 60’an, dulunya dikenal sebagai restoran paling elit di Bandung, namanya Maison Bogerijen. 

Restoran ini pernah mendapat lisensi langsung dari Kerajaan Belanda untuk menyajikan hidanga-hidangan istimewa Kerajaan seperti Koningin Emma Taart dan Wilhelmina Taart. Harganya pasti selangit…

Belum ke Bandung kalau belum ngaleut, and belum ke Braga kalau belum mampir di Braga Permai !!!

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

[tolong perhatikan] Tata Letak Makam

Oleh : Ayu Wulandari

*catatan kecil pasca ngAleut Makam Pandu*

mengunjungi mereka yang akan segera terusik

Ada sebagian orang yang berpendapat, untuk apa repot-repot memikirkan Tata Letak Makam, pasalnya Tata Kota dan Tata Negara di negeri ini saja semrawut-nya sudah setengah hidup. Tapi saya berani bertaruh, orang yang berpendapat seperti itu pun nantinya akan sibuk ribut-ribut juga. Ya, ia dan/atau mereka akan ikut sibuk ribut juga ketika makam yang sering ditasbihkan sebagai rumah-masa-depan dan peristirahatan terakhir milik mereka (dengan mereka atau orang-orang yang penting bagi mereka didalamnya) digusur karena tak sanggup membayar sewa atau ditumpangtindih dengan mayat-mayat baru lainnya yang juga punya hak menikmati kalang-selimut-Bumi sementara ruh mereka pergi ke (mungkin) nirwana. Padahal, untuk makam itu, seluruh daya-upaya dan biaya sudah dikerahkan demi kemegahan dan ketetapannya berada di sana.

Sebenarnya Anda tak perlu repot-repot berpikir, kadang tak perlu sampai jauh-jauh mengaitkan segala sesuatunya dengan bentuk penghargaan sampai tersesat di perkara mistis. Sederhana saja. Pemakaman adalah bagian dari suatu kota, jadi kebutuhan masyarakatnya karena itulah definisi yang sama disepakati (meski bisa jadi tak tertulis). Itu satu poin. Lalu, jangan rumitkan dulu pikiran Anda, tetaplah sederhana. Sesuatu yang rapi itu enak dilihat bukan? Sesuatu yang rapi itu menghemat waktu pencarian bukan? Bahkan dengan segala kerapian itu nantinya akan memudahkan dalam perawatan juga pemindahan. Saya melihat tak ada bedanya pengaturan letak makam dengan pengaturan rak dan server dalam sebuah Data Center. Bahkan saya pun yakin pengaturan lorong panas dan lorong dingin diberlakukan juga dalam pengaturan letak makam selain pengaturan kedalaman penempatan mayat dsb (khususnya jika pemakaman tsb berada dekat lokasi pemukiman penduduk). Kenapa harus? Terlepas dari perkara mistis, keberadaan makam dengan pengaturan acak-acakan potensial berpengaruh pada kesehatan warga sekitar, meski yaaa.. lama-lama mereka bisa kebal dengan sendirinya.

Aleutian berlatar kesemrawutan TPU Pandu

Anggaplah saya mengada-ada. Mungkin Anda berpikir si saya ini kesambet sejak kunjungan ke TPU Pandu di hari Minggu kemarin bersama kawan-kawan Aleutian. Tapi demi melihat kesemrawutan di sana, kekisruhan yang dirasakan para orang biasa bahkan beliau-beliau yang konon punya sejarah luar biasa bagi Bandung, sungguh rasanya tak beda dengan ketika saya melihat kesemrawutan Tata Kota dan Tata Negara di negeri ini lengkap sepaket dengan kekisruhan yang semakin meruah didalamnya. Bagaimana bisa mengelola sesuatu tanpa bersedia mengenal dan memahami, terlalu sibuk menaruh impian dan “melihat” terlalu tinggi, lalu melupakan apa yang sebenarnya lebih utama untuk dilihat?? Hem..

Schoemaker pun terjebak dalam kesemrawutan

Ngomong-ngomong, Anda termasuk orang yang ingin dimakamkan atau tidak? Dalam peti kayu mewah atau tidak? Dihadiahi nisan emas 24 karat atau marmer termahal sedunia? Siap sewaktu-waktu ditindih dan digusur atau belum?

Jika tak ingin diributkan dan diganggu secara mata, hati, dan telinga dengan perihal Tata Letak Makam, mungkin lebih baik jika Anda mulai menerbitkan cita-cita seperti saya. Saya yang inginnya kelak jika tiada diperabukan dan dilarung di Laut kemudian. Diperabukan bersama tumpukan kayu, mengecilkan diri, lalu dibebaskan bersama Angin. Hingga nanti tak perlu ada yang ribut-ribut cari pinjaman sana-sini untuk membayar sewa makam saya. Hingga nanti tak perlu ada yang kelimpungan karena makam saya akan digusur berhubung TPU mulai kekurangan tempat untuk memakamkan. Hingga nanti tak perlu repot-repot datang ke makam saya bila rindu, sudah simpan saja biaya perjalanan dan gunakan waktu itu untuk hal yang lebih berguna. Saya ada di mana saja, mengambang serupa tarian bakteri tak kasat mata di udara.

Bertualang di antara yang Tak Bernyawa

Oleh : Pia Zakiyah

Selama hampir satu tahun setengah saya tinggal di daerah Pasteur-Bandung, saya baru tahu hari ini kalau Taman Pemakaman yang selalu terlewati kalau mau ke TOL pasteur itu ternyata bernama Taman Pemakaman Umum Kristen Pandu. Dulu saya hanya tahu komplek pemakaman itu unik dan lumayan besar. Sempat terpikir ingin “ber-iseng ria” main ke kuburan itu tapi takut di judge freak. “Masa maen ke kuburan,” begitu komentar teman-teman. Tapi ya sudahlah, toh saya dapet kesempatan kali ini bareng Komunitas Aleut 😀

Cuaca terik diantara jam 9 dan jam 10 Hari Minggu ini tidak mampu bikin saya berhenti mengayunkan langkah menyusul rombongan aleut yang sudah bergerak di TPU Pandu sedari pagi. Untungnya, sehabis Car Free Day di Dago saya masih kuat dong berjalan di bawah sapaan matahari yang menyengat ;). Setelah masuk lewat gerbang Jalan Djunjunan, akhirnya saya bertemu juga sama rombongan Aleut, yang kali ini tidak terlalu banyak, datang dari arah gerbang Jalan Pandu–Jalan Pajajaran. Meskipun sempat kebingungan dan hampir kewalahan (lebay) cari rombongan saking luasnya TPU Pandu ini (oke lebay fix, padahal ada handphone, tinggal telpon).

Ternyata, banyak pejuang Indonesia yang dimakamkan di sana. Tapi yang uniknya adalah, makam-makan para pejuang itu diberi tanda semacam bendera Indonesia di tiang yang diletakkan di atas kuburan mereka. Ada yang diketahui namanya dan ada yang tidak. Yang tidak diketahui namanya hanya mendapat ukiran angka di atas nisannya. Mulai dari angka 1, 2, 3 dan seterusnya.

Cuaca lama-lama tampak tidak mendukung, panas sekali. Lain kali jangan lupa bawa payung ataupun kaca mata hitam kalo ke sini (mau kemana? :p) tapi serius deh, kalau bawa kipas dan air putih dingin bakalan sangat membantu perjalanan menyusuri blok pemakaman. Mungkin gara-gara makamnya dibuat dari batu ya, dan hanya ada sedikit celah yang tampak permukaan tanahnya. Atau pengaruh lain juga mungkin datang dari posisi makam yang tidak rapi.

Ternyata, Arsitek ternama Prof. Ir. C.P. Wolff Schoemaker yang merupakan guru dari Ir. Soekarno waktu dulu sekolah di ITB, dimakamkan di TPU Kristen Pandu ini juga. Sebelumnya saya cuma baca di blog atau dikasih tahu orang-orang tentang info Schoemaker ini, dan ternyata benar tertulis di nisannya. Dia lahir di Banyu Biru dekat Ambarawa pada tahun 1882 dan meninggal tahun 1949 di Bandung–kota yang sangat ia cintai. Bapak yang satu ini merupakan pengguna gaya arsitektur Art-Deco, dan karyanya yang fenomenal dan masih nampak sampai sekarang yaitu Villa Isola yang sekarang menjadi gedung Rektorat UPI (depan fakultas eike 😀 #abaikan). Contoh karya Schoemaker lainnya yang sudah terkenal seperti Jaarbeurs, Gedung Merdeka (Concordia), Landmark, Gereja St.Petrus, Gereja Bethel, Majestic–AACC–New Majestic, Mesjid Cipaganti, Observatorium Bosscha dan lainnya. Oh iya, dia juga jadi arsitektur Penjara Sukamiskin. Setelah lama nian saya pernah tinggal di daerah sana, saya baru tahu Schoemaker pernah di isolasi di Lapas Sukamiskin waktu pemerintahan Jepang menguasai Indonesia, padahal dia adalah arsitek bangunan itu. Cukup lucu. Namun, saya tidak tahu apakah ruangan tempat dia ditahan dulu “diabadikan” seperti ruangan bekas Ir. Soekarno.

Monohok, kata yang tepat ketika sudah mengetahui bangunan-bangunan yang dirancangnya– lalu melihat kondisi “rumah bawah tanah” Schoemaker sekarang. Tidak terurus sama sekali. Bahkan katanya, makamnya pernah hampir dibongkar gara-gara belum bayar pajak yang harganya sekitar Rp 30.000-an. Ada yang bilang akhirnya pajak tersebut dibayar oleh salah satu keluarganya yang datang dari Belanda mencari kuburannya, tetapi info terakhir yang paling update yang saya dapat dari komen-komen foto di facebook, yaitu dari Bang Ridwan Hutagalung, Guruh Soekarno Putra lah yang membayar pajak makam itu selama 20 tahun ke depan. Ya, setidaknya jasad bapak Art-Deco ini boleh tenang sedikit. CMIIW.

Saya berhasil masuk ke Negeri Belanda, eh, tangan saya maksudnya. Sebelumnya saya tidak pernah tahu kalau Belanda memiliki tanah di TPU Pandu ini, yak, di Bandung. Pemakaman khusus prajurit Belanda yang dirawat oleh orang Indonesia. Om Indra Pratama bilang, ada 7 teritorial Belanda yang seperti ini di Indonesia. Di Bandung, satu lagi terdapat di Leuwi Gajah. Sisanya terdapat di kota lain. Kalau sudah lewat pagar, bukan wilayah kekuasaan Indonesia lagi. Pantas saja izin masuknya sangat ketat dan sulit sekali. Meskipun sudah melobi berkali-kali tapi tetap saja tidak diperkenankan masuk kalau belum mengantongi izin dari organisasi yang mengurusnya di Jakarta. Kecuali kalau saya berdarah Belanda dan memiliki hubungan dengan yang dimakamkan di situ. Saya beserta teman-teman mau tidak mau harus puas dengan memandangnya dari luar. Ngintip-ngintip dikit boleh lah ya…

Ereveld Pandu, begitu yang tertulis di gerbang pemakaman Belanda itu. Selain penjaga yang lebih disiplin, Kuburannya pun (kata sang penjaga) lebih rapi dan memiliki jarak, sehingga tidak saling berdekatan dan tidak menimbulkan kesan menyesakkan.

Melaksanakan ritual perjalanan, Foto keluarga 🙂

Kembali berkeliling dan sampailah Aleut di makam social scientist dari Yale University, Raymond Kennedy. Lahir pada tahun 1906, 11 Desember di Holyoke, Massachusets dan dibunuh tahun 1950. Dia bersama Robert Doyle, a Time correspondent, sedang mengendarai jeep dari Bandung sekitar tanggal 27-28 April dalam tugasnya untuk proyek penelitian dalam kontak budaya dan akulturasi di Indonesia. Warga negara Amerika ini pernah juga mengajar di Brent School, Filipina. Semenjak di Amerika, ia sudah mempelajari tentang Indonesia di perpustakaan Yale University. Konon katanya ia beserta rekannya ditangkap karena penelitian yang ia lakukan terhadap Belanda saat itu. Lagi-lagi, kuburannya nampak sangat terabaikan, dikelilingi dan tertutupi belukar. Bahkan namanya pun sudah sangat memudar. (sumber ://www.jstor.org/pss/2049095)

Ternyata melewati orang-orang yang sudah tak bernyawa itu aneh rasanya. Sepertinya energi ini melemah karena terhisap sesuatu. Lumayan untuk mengingatkan kalau dunia ini fana, dan takkan selamanya kita hidup. lalu apa yang harus kita persiapkan untuk kita mati? Salah satunya yang jangan dilupakan  yaitu kavling masa depan dengan pajak yang sudah terjamin.

Sayang sekali saya datangnya telat, padahal kalau lebih pagi sedikit saya bisa ikut melihat tengkorak-terkorak yang tidak berada di dalam tanah dan melihat patung semacam di Tamam Prasasti di makamnya Ursone, pengusaha susu murni pertama di lembang. Sang Direktur BMC menulis “Vergeet U niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost-Indie slechst een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale !” (“Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu Pusat Pengolahan Susu, dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale!”). 30 ekor sapi mengawali usaha keluarga ini dengan hasil 100 botol perhari, namun berkembang menjadi 250 ekor sapi pada tahun 1940 dengan produksi ribuan liter perhari. Kita bisa menikmati produksi dari pengolahan BMC ini di Jalan Aceh No. 30 Bandung dekat Mesjid Al-Ukhuwah di seberang Barat Balai Kota Bandung.

Photos : Hasil menculik dari albumnya Mba Ayu ‘Kuke’ Wulandari dan Bang Nara Wisesa

blogspot version : http://piazakiyah.blogspot.com/2010/11/bertualang-di-antara-yang-tak-bernyawa.html

Pandu – an untuk masa …..

Oleh : Ujank Lukman

“Adi, klo udah besar cita-citanya apa?”

“Pengen jadi dokter, biar bisa sembuhin orang yang sakit”

“Kalau kamu Anto, mau jadi apa ?”

“Polisi, biar bisa menangkap penjahat”

“Nahh, Alex kamu apa ?””Emm…. pengen kaya papa, tiap hari nongkrong depan tivi sambil ngopi”

“????? ”

Sepenggal dialog imajiner yang mungkin bisa terjadi dimana saja, tentang suatu cita-cita dan keinginan. Begitu bersemangat dan polos tekad mereka, lalu apa cita-cita anda ketika masih kecil ?

Hari minggu yang cukup teduh untuk memulai perjalan bersama Komunitas Aleut menuju tempat peristirahat terakhir orang-orang yang berjasa terhadap Kota Bandung dan saksi sejarah perkembangan kota ini. Dipimpin Indra sang koordinator sepertinya perjalanan kali ini akan berlangsung khidmat dan penuh misteri.

Makam Laci

Diawali dengan cerita trauma sepulang dari ngAleut Pandu yang berakhir di rumah sakit,  membuat perjalanan semakin mencekam. Dan tempat pertama yang didatangi ialah “makam laci” yang berjejer dengan rapi, tampak nisan dengan nama-nama orang Belanda yang meninggal sekitar tahun 1930-an namun sayang sebagian nisan yang terbuat dari marmer tersebut hilang, kemanakah nisan itu pergi ?…… Berdasarkan penelusuran dan penuturan yang dihimpun Aleut marmer yang hilang itu dijual kepada ….. ??? penjual martabak sebagai alas untuk membuat adonan. Hahh, pantes aja kalau makan martabak kalo belum habis pasti penasaran… selalu gentayangan dalam pikiran.. masih berminat untuk membelinya?. Itu belum seberapa dibanding dengan pembongkaran peti dan kuburan (nampak juga tulang belulang berserakan) yang konon biasanya orang yang dikubur di sana pasti membawa perhiasan atau harta yang dicintainya sehingga mengundang “keusilan” untuk membongkarnya, dalam pikiran mereka mungkin lumayan buat beli martabak. Sangat disayangkan, padahal mungkin orang-orang yang dikuburkan tersebut berjasa terhadap kota ini atau ada sanak saudaranya  yang kehilangan jejak leluhur mereka karena tindakan tersebut.

“Orate Pro Nobis (Berdoa untuk kita)” By Ursone

Beralih menuju “Istana Ursone” keluarga peternak susu dan seniman jaman dulu, dengan kalimat “Orate Pro Nobis” yang berati berdo’a untuk kita (google translate) sebuah keluarga yang telah menyelamatkan muka kota Bandung ketika ada perhelatan Kongres Pengusaha Gula (1896), keluarga tersebut menjadi pengisi acara dengan bermain musik menggunakan biola dan piano (saat itu tak ada yang bisa melakukannya selain Ursone bersaudara) . Dibalik kemegahan dan keanggunan makamnya tersimpan misteri untuk memecah kode-kode di sekitar dindingnya dan mengingatkan generasi sekarang agar lebih kreatif (Kode ini menginspirasi film “Da Vinci Code” dan yang pasti ngaco..).

Makam Prof. Ir. C.P. Wolff Schoemaker.. Pia aja sampai terharu mendengar penjelasan Ayan

Coba acungkan tangan yang tidak tahu Masjid Cipaganti, Gereja Katedral, Vila Isola (UPI), New Majestic … pasti anda semua tahu dan pernah mengunjungi atau melihatnya dan pasti tahu juga siapa perancangnya dong. Ya betul, perancangnya adalah Prof. Ir. C.P. Wolff Schoemaker seorang arsitek yang juga dosen Bung Karno ketika kuliah di Technische Hoogeschool (ITB sekarang), beruntung sekali bisa mengunjungi makam beliau yang merupakan salah satu perancang bangunan-bangunan bersejarah di kota Bandung. Terasa aura memancar dari batu nisan tersebut seakan berkata “biarpun aku telah mati, tetapi karyaku akan selalu hidup”

Terima kasih untuk para Fotografer yg selalu setia membidik setiap objek..

Teringat ketika masih kecil begitu banyaknya cita-cita yang ingin kita raih, namun beranjak dewasa satu-satu keinginan itu pudar tertiup oleh kenyataan dan kemalasan. Melihat batu nisan dan makam di kompleks Pandu seakan mengingatkan kembali target atau pencapaian apa yang telah kita lakukan selama ini, apakah semakin mendekat atau jauh dari harapan.

So, sudah sedekat apakah cita-cita masa kecil anda sekarang ? 

Ledeng!

Ledeng… Sebagai nama kawasan Ledeng sudah sangat akrab dengan warga Bandung, tapi bagaimana kisahnya sehingga kawasan ini dinamai Ledeng?

Tampaknya sampai tahun 1920-an daerah ini dikenal dengan sebutan Cibadak, sesuai dengan ditemukannya sebuah mata air cukup besar di sana. Badak ( Ci-Badak) sebagai nama daerah mungkin perubahan dari “badag” dalam bahasa Sunda yang artinya besar, sehingga Cibadak (=Cibadag) di sini lazim diartikan sebagai air yang melimpah keluar dari mata airnya.

Air yang melimpah ini kemudian disadap dan dialirkan melalui pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan (kampung) tersebut. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk.

Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung B. Coops, tahun 1921.

(Sumber foto KITLV)

oleh : Ridwan Hutagalung

Pakuan, Bubat, Paregreg, Terasi!

Kira2 tahun 1333 seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja mendirikan ibu kota Padjajaran yg disebut Pakuan. Raja inilah yang pada tahun 1357 bersama para ksatrianya pergi ke Majapahit untuk mempersuamikan putrinya, dan berujung pada terjadinya perang Bubat.

Setelah perang Bubat, Padjajaran tidak lenyap, namun untuk sementara mengirim upeti ke Majapahit. Setelah masa Paregreg, barulah masa penaklukan berakhir dan Padjajaran berdiri sendiri. Daerah kekuasaanya mengalami perluasan, bahkan kala itu Kerajaan Cirebon berkewajiban mengirimkan upeti kpd Padjajaran, yaitu berupa Terasi !

 

oleh : Muhammad Ryzki Wiryawan

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑