Month: November 2010 (Page 1 of 2)

Bangunan St.Aloysius : Sebuah Saksi Bisu


Hari minggu kemarin (28/11/10) Aleut! menapaki jalur2 pendidikan di Bandung, salah satunya bangunan Aloysius yang pernah digunakan Dinas Rahasia Jepang (Kenpeitai) di masa penjajahan Jepang. 

Di bangunan ini pernah terjadi peristiwa bersejarah pada tanggal 10 Oktober 1945, yaitu saat sepasukan pemuda yang sebenarnya “di luar koordinasi” melakukan penyerbuan terhadap pasukan Jepang dari kesatuan Okano Butai di tempat tersebut.

Pan Schomper seorang Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut, menyebutkan peristiwa tersebut dalam bukunya sebagai berikut :
“…Pada suatu ketika mereka berbaris berbondong2 dari air terjun Dago melalui jalan Dago ke Kempetai di jalan Heetjan untuk menyerbu gedung itu… Dari gedung kempetai kendaraan-kendaraan tank bersenjata lengkap menyambut para pemuda, senapan mesin diarahkan pada orang2 fanatik yang bersenjatakan bambu runcing. Senapan2 mesin memuntahkan pelurunya tanpa henti sampai pejuang kemerdekaan terakhir tewas. Maut dan kehancuran tela disebarkan…”

Kegagalan koordinasi dan strategi yang menimbulkan banyak korban dalam peristiwa “Heetjansweg” inilah yang kemudian memunculkan kelakar “Peyeum Bol” bagi perjuangan pemuda Bandung oleh kawan2 di Surabaya…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Pendidikan Sebagai Judul

Oleh : Pia Zakiyah

Terima kasihku… Ku ucapkan

Pada guruku yang tulus

Ilmu yang berguna… selalu dilimpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hariku… dibimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kan kuingat selalu… nasihat guruku

Terima kasih, Ku ucapkan…….

Satu lagu yang berirama merdu terlampir, ketika salah satu moment yang pas untuk lagu ini, tanggal 25 November, dimana satu hari bukan hari libur nasional tetapi ditujukan sebagai salah satu penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 dan diperingati setiap tahun: Hari Guru Nasional.

Bermula pada tahun 1912 dengan adanya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), semangat para guru yang tidak ingin terus menerus ada dibawah nama Belanda terus berkembang. Di tahun 1932 organisasi yang terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah ini berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia. Sampai pada akhirnya, dalam Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan. Melalui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Tepat 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan.

Terinspirasi dari salah satu hari penting itulah, saya dan Komunitas Aleut menyusuri jalur “pendidikan” lama di Bandung. Ternyata fungsi dari gedung-gedung yang dipakai zaman dahulu masih berlaku sampai sekarang.



Seperti pada titik pertama kami sampai, yaitu di Santa Alloysius, setelah berjalan dari tempat pertama berkumpul di Jalan Sultan Agung (Depan Patung PDAM alias Beasty Boys #halah #abaikan). Gedung yang dibangun tahun 1930 sampai 1932 ini dahulunya didirikan sebagai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu Pendidikan Dasar Lebih Luas, atau setara SMP.Namun pada masa pendudukan jepang tahun 1942-1945 Ken Petai menggunakan gedung tersebut untuk menawan musuhnya, orang-orang Belanda.

Jalan Merdeka mulai kehilangan payungnya, sehingga pori-pori kulit Aleutians mulai terisi partikel cahaya pancaran dari Sang Raja siang yang mulai menguap. Namun tak lama kemudian kami sampai di Santa Angela, yang didirikan Ordo Ursulinen. Dahulunya sekolah ini sebagai HBS (Hogere Burger School) atau Sekolah Menengah Atas Tertinggi (Lanjutan Sekolah Tingkat Menengah) yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang elit yang pintar. Pribumi boleh menuntut ilmu di sini asal mencakup dua alasan wajib tersebut. Terdapat sistem DO dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Belanda untuk semua materi yang diajarkan. Jika dahulu ada seorang yang ingin melanjutkan pendidikan dari MULO ke AWS (Algeme(e)ne Middlebare School), ia tidak perlu melakukannya jika telah mendaftar ke HBS, karena masa belajar di sini 5 tahun (Setara dari SMP + SMA).

Komplek pendidikan Hindia Belanda ternyata masih di daerah Jalan Merdeka mengelilingi yang sekarang ini kita kenal dengan nama Balai Kota. Namun pada akhirnya, setelah masa politik etis yang digunakan Belanda, pemerintah pun mulai berfikir untuk membuat sekolah untuk para pribumi seperti Kweek School (dibangun 1864-1866), dengan mencetak guru-guru sendiri. Anak pribumi pun dididik untuk menjadi pendidik (Sekarang menjadi SD Banjarsari dan Kantor Polisi).

Sistem pendidikan pada saat itu sudah memiliki penjurusan pada tingkat SMA (kalau zaman sekarang seperti SMK). Mulai dari penjurusan Bahasa dan Budaya serta Ilmu Alam. Sehingga konsentrasi ilmu yang digunakan pun jelas. Dan tidak sembarang sekolah yang bisa menjadikan seseorang menjadi guru, karena harus mengikuti prosedur pengajar yang dicetak dari sekolah khusus pengajar. Setelah kemerdekaan, sistem penjurusan pun masih dipakai pemerintah dan muncullah sistem Universitas di Indonesia.

Setelah mengetahui informasi dari komplek pendidikan di seputaran Balai Kota (Sekolah Ekonomi, Sekolah Jasmani (Guru Olahraga) serta sekolah cikal bakal UNPAR), Aleutians yang tak menggunakan sun block pun kembali bergerak dibawah sinar sang surya dengan semangat yang belum pudar. Menembus Jalan Sumatra lewat Jalan Tera yang ada sehabis portal kereta di Jalan Braga. Dan kami pun sempat menemukan fenomena Kereta jurusan Cicalengka-Padalarang yang “ngetem” di salah satu jalur.  Alhasil sesi foto gratis dan langka pun digelar seketika.

Perjalanan menuju target berikutnya pun berakhir, kami telah sampai di Wisma Van Deventer yang tetap menjadi sekolah khusus putri, dengan nama lembaga pendidikan Wanita International Putri University alias Universitas Wanita Internasional. Sedikit diskusi ngalor ngidul dan kaki para Aleutians pun harus kembali menjejak jalanan beraspal untuk menuju MULO yang didirikan pemerintah Kota Bandung pada tahun 1917, yang sekarang menjadi SMP Negeri 5 Bandung.

“Nongkrong” di pinggir got di bawah pohon Kersen pun tak masalah, karena rindangnya cukup mengobati dahaga yang mulai menjalar di tenggorokan kami setelah dari Jalan Van Deventer – Jalan Jawa – dan kembali ke Jalan Sumatra. SMPN 5 Bandung ini pun pernah dirampas oleh Jepang dan dijadikan markas oleh Ken Petai sebagai tempat untuk menawan dan menyiksa.

Kesabaran telah mengetuk-ngetuk takut meluap, maka dengan segera kami melanjutkan kembali perjalanan ke titik terakhir perjalanan “Ngaleut Jalur Pendidikan” ini, yaitu SMAN 3 dan 5 Bandung. Bangunan yang dirancang oleh Schoemaker ini dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda tahun 1916 sebagai Hoogere Burger School (HBS) yang setaraf dengan SMA, sekolah untuk anak-anak Belanda golongan menengah. Ken Petai pun menggunakan gedung ini di tahun 1941-1945 untuk keperluan mereka menawan dan menyiksa lawan.

Foto keluarga Komunitas Aleut di SMAN 3 dan 5. Sedikitnya Aleutians yang ikut tidak mengurangi rasa semangat untuk berfoto tentunya 🙂

Aku turun ke sini, membasahi, menemani

Merebak aroma sendu yang berujar syahdu

Menenangkan hati namun mencegat sedikit niat untuk pergi

Sabarkan hati, tak lama lagi aku kan pergi…

(Kutipan dari perkataan Sang Hujan, tadi dia berbisik ditelingaku)

Sayangnya, ketika kami akan pulang ternyata hujan yang cukup deras pun datang. Aleutians menunggu reda dengan mengisi perut dan sedikit berkelakar di tengah hari sampai akhirnya kami pun beranjak untuk pulang.

Pertanyaan: Sebutkan beberapa tempat yang pernah dijadikan markas oleh Ken Petai!

Silakan ambil hadiah di Jalan Buah Batu Dalam V untuk jawaban yang benar 😀

referensi : dari sini

foto: dari mba kuke, dan mungkin akan menyusul (menunggu update lagi dari Mba Kuke, Teh Yanstri, Teh Karis, Bey dan tentunya BR!)

blogspot version : HERE

NgAleut! Kuburan Cina dan Kuburan Kuno Panyandaan : Romantisme Yoko dan Bibi Lung

Oleh : Unang Lukmanulhakim

Hayo temen2 siapa yang masih inget serial “return of the condor heroes”? pasti sebagian masih inget serial itu (bagi yang agkatannya agak lawas itu juga) hehe. kalo yang agak-agak lebih junior sih kayaknya kurang ngeh sama serial itu. terus apa hubungannya sama ngaleut kita minggu ini ya? sebenernya ada beberapa hubungan anatar serial tersebut sama ngaleut minggu ini, yang paling jelas yaitu kedua-dua nya sa

ma-sama berhubungan dengan negeri tirai bambu (semua juga tau kali). Tapi ada satu lagi kesamaan yang saya temukan dari kedua hal tadi setidaknya dari sudut pandang saya, yaitu keduanya memiliki nilai2 romantisme kebudayaan tiongkok. lantas dimanakah letak romantisme tersebut? kita langsung aja ke TKP (OVJ fever nih hehe)

“return of the condor heroes”

Pagi ini seperti pagi-pagi yang lainnya mataku terasa sangat berat untuk membuka apalagi hari ini hari minggu, it’s time to relax bray jadi sangat sah banget kalo bangunnya pun agak2 siang (tapi sebenernya ga juga sih kalo aja ketauan ibuku pasti diomelin hehe), tapi walau berat nih mata buat buka nya, mau ga mau aku harus bangun pagi soalnya hari ini ada agenda yang udah lumayan lama aku lewatkan, yaitu NgAleut! dan kebetulan juga ngaleut hari ini bakal bertandang ke kuburan china, hal itu semakin membuatku semangat karena seperti hadits nabi : menuntut ilmu lah walau sampai ke negeri china, ya walaupun belum sampe ke negeri nya, minimal ke kuburannya dulu dah dan aku yakin pasti disana pun akan banyak pelajran yang akan kutemukan, bukan hanya pelajaran tentang kehidupan saja tapi mungkin juga pelajaran tentang kematian (beuh lebay). Ngaleut kuburan mungkin bukan favorit banyak orang karena terbukti dari ngaleut kuburan yang sudah-sudah peserta nya pasti sedikit. Tapi hal itu tak menyurutkan niatku untuk ikutan ngaleut kuburan kali ini, apalagi setelah melihat foto-foto ngaleut kuburan pandu yang terlebih dahulu diadakan yang dengan sangat menyesal aku lewatkan.

Pukul 7 aku udah stndby menunggu jemputan partner duet mautku ; pak guru, tapi jam 07.15 tiba2 ada sms ternyata dari pak guru dan isinya “sori boz urg blk deui.. helm tnggaleun..” wah2 bagaimana sih pak guru kan ekeu mau nebeng masa ga bawa helm 2 untung aja zmzx gug pke bhasha 4l4y. Akhirnya aku kembali menunggu beberapa saat, sampai tibalah pak guru dengan tunggangan andalannya menjemputku, berangkatlah kami dari tempatku di sarijadi kira-kira jam 7.30 menuju ke cikadut, pasti telat nih pikirku nyampe sananya dan benar saja pas kami nyampe in**maret cikadut sudah tak ada satupun anak aleut disana, mereka telah lebih dulu pergi menuju kuburan cina cikadut. FYI cikadut itu  terletak di :

 

peta cikadut

Berhubung kita berdua ga ada yang tahu di sebelah mana kuburan cina cikadut itu, maka mau ga mau kita harus menghubungi salah seorang anak aleut yang berada di lokasi, akhirnya dengan sedikit terpaksa kita menelpon cici karena nama nya udah berbau2 cina tuh hehe.. setelah berkoordinasi sebentar maka kita langsung pergi menyusul mereka yang telah mendahului kita (asa serem kata2na). akhirnya setelah mencari beberapa saaat terlihatlah sesosok orang yang sudah kita berdua kenal yaitu kang asep suryana dengan senyumnya yang khas menyambut kita. Lalu tanpa basa basi kang asep mengajak kita untuk mengunjungi objek pertama kami yaitu sebuah bangunan yang membuat penasaran kang asep selama ini, ada apakah dengan bangunan tersebut mari kita saksikan bersama-sama :

Hal pertama yang aku temukan adalah kuburan dari Tan Joen Liong :

 

 

kuburan tan joen liong

siapakah Tan Joen Liong?

 

(picture courtesy of Ms. Alexandra Wuisan and Mr. Gilbert F. Tanudirdja)
In 1888, Tan Joen Liong, also known as Chen Yunlong, who was the son of Tan Hai Liong was appointed as Chinese lieutenant. Tan Joen Liong was promoted to captain’s rank in the mid 1890. It is unknown if Tan Joen Liong were ever promoted to major-ship which was the highest rank of Chinese officers. (THE CHINESE SETTLEMENT OF BANDUNG AT THE TURN OF THE 20TH CENTURY a thesis of DEVISANTHI TUNAS For the Degree of Master of Arts, Department of History, NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE)

 

saya sangat excited ketika melihat kuburan tersebut karena nama yang tertulis di bong pai (maaf kalo salah tulis) atau nisannya kuburan cina adalah seorang yang pernah menjabat kapiten di bandung, dan pasti sangatlah menarik untuk menelusuri sejarahnya, sayangnya sumber yang kami miliki saat itu sangat terbatas tapi mungkin nanti pas ngaleut pecinan bisa mendapat penjelasan lebih lanjut.setelah puas di kuburannya sang kapiten kami bergegas menelusuri objek-objek lain yang kami anggap menarik di area tersebut. sambil berjalan menuju jalan aspal kami berbincang-bincang membahas beberapa hal yang kami temui seperti hal ini :

 

benda apakah ini?

kami hanya bisa menduga-duga tentang benda ini, ada yang menduga bahwa ini adalah tempat untuk membakar dupa, ada juga yang menduga bahwa ini adalah tempat untuk menymbahyangi dewa bumi, manakah yang benar?? jawabanya ada di chapter atlantic park.sembari meninggalkan benda yang masih membuat kami penasaran, kami pun bergegas menuju bagian yang lebih tinggi dari area kuburan cikadut dan kami pun menemukan objek ini :

 

sebuah kuburan muslim di tengah-tengah kuburan cina, mungkin hal ini menjadi sesuatu yang aneh bagi sebagian orang, tapi mungkin juga hal ini adalah hal yang biasa karena di kompleks kuburan pandu pun ditemukan kuburan muslim di tengah-tengah kompleks kuburan belanda.

setelah beberapa saat di kuburan ibu guru kepala, kami menuju sebuah objek yang cukup mencolok apabila kita melintasi area kuburan cina ini yaitu :

 

tempat ini bukan tempat ditemukannya atlantis yang hilang, apalagi gelanggang rekreasi tempat orang-orang berenang lho.

 

atlantic park adalah komplek kuburan keluarga yang dibangun oleh keluarga papa wong (saya lupa nama lengkapnya). dan selain kuburan untuk keluarga dibangun pula menara abu yang dibangun sebgai tempat penyimpanan abu kremasi bagi orang-orang yang tak mampu yang merupakan ide dari istrinya papa wong.

Hari minggu itu kebetulan di kompleks atlantic park ada penjaga yang sedang membersihkan kuburan disana, dan diajaklah kami semua untuk mengunjungi bagian belakang dari atlantic park yang merupakan menara abu dan tempat tinggal penjaga kuburan tersebut yang menasbihkan dirinya sebagai kuncen cikadut. Pak abang, itulah nama dari penjaga tersebut menjelaskan cukup banyak hal kepada kami tentang kuburan-kuburan di atlantic park ataupun kuburan-kuburan yang ada di cikadut pada umumnya. satu hal yang membuat kita miris dan mungkin hal tersebut menjadi lumrah di negeri kita ini, bahwa orang-orang kita itu selain hobby mencuri harta-harta dari orang yang masih hidup, orang-orang kita juga hobby untuk menjarah harta-harta orang yang sudah meninggal. hal ini memang disebabkan pula kebudayaan cina yang rela mengubur harta benda yang disukai orang yang meninggal bersama orang tersebut dan tak jarang benda-benda itu adalah harta yang bernilai tinggi, maka tak heran banyak kuburan cina yang dijarah dan terlantar begitu saja.

 

Dari pak abang pulalah kita mendapat penjelasan tentang beberapa istilah-istilah cina yang lazim ada di kuburan, tapi sayang saya lupa istilah-istilahnya. kami pula mendapat penjelasan tentang benda yang membuat kami penasaran di awal tadi, dan benar saja benda itu adalah tempat untuk sembahyang yang ditujukan bagi tuan tanah/dewa bumi sebelum bersembahyang ke kuburan yang dituju. wah sungguh membantu sekali nih pak abang, terima kasih pak.

 

Nah setelah dari tempat nya pak abang kami menuju lokasi selanjutnya, namun ditengah perjalanan kami menemukan beberapa hal yang menarik, apa sajakah hal tersebut ?? kita lihat sama-sama :

 

sebuah nisan yang berbahasa belanda dan bertuliskan tulisan asing yang kurang dikenal. kata pak abang ini adalah kuburan orang Belanda.

 

objek menarik selanjutnya :

sebuah nisan yang bertuliskan 2 nama orang, yang satu sudah meninggal dan satunya masih hidup. ternyata mereka adalah sepasang suami istri, walaupun sang suami belum meninggal tapi namanya telah ditulis di nisan tersebut, dan apabila dia meninggal maka akan dikubur disamping kuburan sang istri. inilah romantisme tiongkok yang saya maksud, yang diibaratkan romantisme yoko dan bibi lung

 

objek selanjutnya :

kuburan yang cukup tua usianya sekitar 99 tahun, namun belum ada penjelasan lebih lanjtu tentang orang yang bersemayam disana

 

objek yang akan kami telusuri selanjutnya adalah kuburan dari salah seorang raja tekstil di bandung, Yo Giok Sie, beliau adalah pemilik dari bdan Tekstile Indonesia yang pada masa lalu adalah salah satu perusahaan tekstile terbesar di Bandung

 

area pemakaman sang juragan tekstile ini sangatlah indah dan terawat dengan baik, dan ini adalah salah satu kuburan yang paling indah di area pekuburan cina cikadut, orang-orang menyebut kuburan ini “bong koneng” karena mungkin warna atap bagunannya berwarna kuning.karena kompleks ini indah maka kami berinisiatif untuk berfoto keluarga :

 

 

setelah puas dengan objek yang satu ini, kami lalu menuju objek selanjutnya yaitu

 

objek yang satu ini cukup menyeramkan dan bahkan kang asep suryana kalo dulu lari pagi melewati tempat ini tak mau menoleh ke arah krematorium saking horornya kali yah, tapi walaupun horor kami tetap saja membuka perbekalan kami disana da lapar atuh da.

dan ini sejarahnya krematorium

 

 

setelah dari krematorium kami melanjutkan perjalanaan menanjaki tanjakan-tanjakan yang membuat baeud rombongan, maka dari itu pulalah tanjakannya diberi nama tanjakan baeud. tapi walaupun baeud kami semua tetap mnajalaninya dengan tabah karena kami tahu bahwa di atas sana masih ada objek-objek menarik yang akan dijumpai.benar saja di kawasan atas pekuburan cikadut ini banyak kuburan yang sangat mewah dan masa pembangunannya pun masih baru. walalupun objek tersebut cukup menarik tapi tak semenarik objek-objek yang kami temui di bawah tadi, mungkin karena kurang memiliki cerita historis kali yah.

setelah sekian lama berjalan dibawah teriknya matahari dan melewati tanjakan yang membikin baeud, kahirnya kami sampai di area ujung pekuburan, kami pun isirahat sebentar sambil membuka perbekalan dan juga tak lupa sambil ngobrol-ngobrol.

Dari obrolan-obroalan kecil kami ada beberapa pengetahuan yang tergali diantaranya tentang penemuan kuburan kuno yang diduga dari masa pre-islam historic yang terletak mulai dari kawasan sekitar vila isola sampai dengan kawasan sekitar gunung manglayang, salah satu dari kuburan kuno itu terletak di panyandaan.

Ternyata panyandaan terletak tak jauh dari tempat kami beristirahat (walaupun jauh oge ternyata setelah disusuri, nanjak deui), maka kami pun memutuskan untuk melihatnya. perjalanan menuju makam kuno panyandaan ternyata tidak sesuai dengan harapan, karena trek yang dilalui sangatlah terjal dan nanjak terus, sehingga kamipun kepayahan dan beberapa kali harus berhenti untuk beristirahat. namun stelah berjuang sampai titik keringat penghabisan kamipun sampai di bukit dimana kuburan kuno tersebut berada. dari bukit ini kami bisa melihat wjah bandung dari ketinggian, tapi sayang sebagian bandung wajahnya berasap polusi, sungguh tidak cantik. tapi walalupun wajah bandung agak mengecewakan, tapi bukit itu tidak membuat kami kecewa karen disana terdapat dua buah kuburan kuno yang hanya tersusun oleh batuan-batuan, mirip kuburan-kuburan mannusia purba :

 

 

lagi-lagi kami kekurangan info tentang kuburan ini, mudah-mudahan ada teman-teman yang mengetahui info tentang kuburan ini bersedia untuk membagi infonya

kami hanyalah sebentar di lokasi kuburan kuno mengingat langit yang sudah mulai tampak gelap tak bersahabat, maka kamipun bergegas untuk pulang walalupun kami tahu bahwa perjalanan pulang yang akan kami tempuh tak akan mudah, dan benar saja perjalanan pulang tersebut cukup memakan tenaga terutama memakan kekuatan lutut saya (asa rek coplok euy).walaupun perjalanan kali ini cape dan jumlah pesertanya tak sebanyak ngaleut yang lain, tapi tetap saja selalu ada nilai yang bisa diambil dari ngAeut!. mulai dari romasntisme yang dibawa sampai mati samapai pada pengingat buat kita bahwa hidup tak akan selamanya.

14 November 2010

 

Belum ke bandung kalo belum ngAleut!

Catatan Perjalanan Ngaleut ke “Stairway to Heaven” Kuburan Cina Cikadut

Oleh : Asep Nendi

Stairway To Heaven…

Catatan Perjalanan Ngaleut ke “Kuburan Cina Cikadut”

Komplek pemakaman itu bertuliskan “TPU Hindu dan Budha Cikadut”.  Nama itu menggantikan nama lamanya, “Kuburan Cina Cikadut”, karena sesuatu hal dan untuk menghindari berkembangnya isu etnis di masa Orba. Lewat satu dasawarsa sudah kita menjalani masa reformasi komplek pemakaman yang sempat ditutup ini belum dikembalikan ke nama asalnya. Padahal agama yang dianut” penghuni” makam agak jarang yang beragama Hindu/Budha.

Masyarakat telah lama mengenal Makam Cina Cikadut, sebuah makam yang terletak di bukit-bukit dari Cikadut-Cimenyan. Memiliki luas lebih dari 125 Ha, dan akan terus bertambah kalau tanah-tanah yang didiami warga terus-menerus dibeli untuk dijadikan kuburan baru. Bahkan menurut salah satu kuncen makam (Pa Abang, 50 tahunan) luasnya kini sudah hampir 2x lipatnya. Kemungkinan Komplek Makam Cina Cikadut ini adalah komplek makam yang terluas di seluruh Indonesia atau di Asia Tenggara sekalipun.

Sebelumnya pemakaman Cina/Sentiong berada di Banceuy (Pasar Besi) sejak tahun 1856. Merupakan komplek pemakaman tertua di Kota Bandung, yang didalamnya terdapat pemakaman Belanda dan Cina. Namun setelah dikeluarkannya Undang Undang Pembangunan Kota Bandung tentang pemakaman jenazah, Komplek Makam Sentiong dibongkar dan dipindahkan. Makam Belanda dipindahkan ke Kebon Jahe (Gor Pajajaran Belakang/ Hulu Cai Ciguriang) dan makam Cina dipindahkan ke Gg. Babakan Ciamis. Makam Belanda di Kebon Jahe kemudian dipindah lagi ke Pandu, kemungkinan makam Cina dipindah ke Cikadut.

Melihat peranan Cina yang sangat penting dalam pembangunan Kota Bandung, adalah sesuatu yang mustahil pemerintah tidak menyediakan sebuah komplek pemakaman khusus bagi Orang Cina.

Orang Cina di Bandung

Jauh sebelum Gubernur Jenderal G.A Baron van der Capellen menetapkan bahwa Karasidenan Priangan tertutup bagi semua orang Cina, kecuali yang telah memiliki ijin dari Residen Priangan pada 9 Januari 1821. Di Priangan sudah terdapat orang-orang Cina, kebanyakan mereka bekerja sebagai tukang dan pedagang. Di Bandung sendiri sudah ada beberapa orang Cina, namun sedikit banyak bertambah sejak peraturan pelarangan Orang Cina di Priangan dicabut (tahun 1856).

Ekspansi etnis Cina ke Kota Bandung diperkirakan terjadi pada awal abad 19, sebagai dampak dari dibukanya jalur kereta api Batavia-Bogor-Bandung tahun 1884. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai tukang-tukang yang dipekerjakan dalam proyek pembangunan jalur kereta api. Setelah menetap mereka menggeluti bidang usaha lain, yaitu sebagai tukang dan pedagang.

Untuk mengantisipasi berbagai hal Pemerintah Kolonial mengkonsentrasikan penduduk Cina di kawasan dekat Sungai Cikapundung sampai ke daerah Pasar Baru, yang kemudian dikenal dengan Kawasan Pecinan atau Chineesche Voorstraat. Konon penentuan lokasi ini dipengaruhi oleh orang Cina yang percaya bahwa lokasi tersebut memiliki aliran Chi yang baik yang sesuai dengan Feng Shui.

Pendatang dari Tionghoa terus bertambah dari masa ke masa, dan kawasan Pecinan pun terus meluas. Orang Cina yang memiliki karakter pekerja keras mampu bersaing dalam berbagai bidang usaha, bahkan para pedagangnya mampu mendominasi perekonomian di Bandung, melebihi peranan pedagang Pribumi dan Arab yang telah lebih dulu tinggal di Bandung.

SumberBacaan :

(http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/tanti_restiasih_skober.pdf)

Kuburan Cina Cikadut

Memasuki Komplek Makam Cina Cikadut, kita dihadapkan dengan sebuah Gerbang/Los untuk masuknya kereta jenazah, sementara per iring-iringan masuk melalui samping gerbang. Kereta Jenazah berhenti tepat di Los, hingga administrasi penguburan selesai. (Pa Asep Suryana).

Ada banyak tokoh penting yang dikuburkan di Makam Cikadut, diantaranya adalah : Tan Joeng Liong, yang meninggal pada 23 Agustus 1917. Di nisannya (Bongpai) bertuliskan Kapiten Titulair Der Chineezeen. Kapten Titulair berarti kapten kehormatan, ini kemungkinan diberikan atas jasa dan pengabdian beliau dalam menjabat sebagai opsir Bandung dengan pangkat Letnan selama 25 tahun (1888-1917). Nama lain yang tidak kalah terkenal adalah Raja Tekstil Yo Giok Sie, yang meninggal pada 23 Agustus 1963. Beliau adalah pendiri pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung yaitu PT. Badan Tekstil Nasional di Cicaheum. Yang kini didalamnya terbagi-bagi menjadi beberapa pabrik. Rupa-rupanya industri tekstil di Bandung memiliki peranan besar bagi perekonomian kala itu dan diprediksikan akan lebih jauh lagi perkembangannya. Maka untuk mengantisipasi perkembangan tekstil, Pemerintah Kolonial mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus tekstil di Bandung, lokasi tepatnya STT Tekstil sekarang (1920-1923an).

Los tersebut seolah-olah sebagai pintu masuk menuju kehidupan lain di masa lain, kehidupan setelah kematian. Kepercayaan Orang Cina/Tionghoa tentang kematian merupakan hal yang serius yang harus dipersiapkan sedemikian rupa, ini dapat dilihat dari Makam atau Bong yang dibuat. Jauh-jauh hari, selagi orang itu hidup, lahan untuk makam sudah dipersiapkan dengan konsep yang tidak sembarangan. Biasanya anak lelaki paling tua akan memegang peranan penting dalam mengurusi kematian orang tuanya. Inilah yang menjadikan begitu pentingnya anak lelaki dalam tradisi Tionghoa. Anak lelaki tertualah yang kelak menyimpan abu orang tuanya.

Dalam menentukan arah kuburan, Cina memiliki kepercayaan yang unik yang membedakannya dengan kuburan lainnya. Mereka dengan fengshuinya, mempercayai kalau arah kuburan harus searah dengan aliran air, kemungkinan aliran air memiliki chi yang baik. Hal ini tercermin juga dari kehidupan orang Cina yang seperti air, bisa hidup di mana saja dan memiliki daya adaptasi yang luar biasa.

Kuburan Cina yang saya temui di Makam Cikadut memiliki karakteristik bangunan yang unik, biasanya akan bergantung pada tingkat ekonomi dan pencapaian hidup seseorang. Tidak jarang kuburan yang dibangun memiliki gaya arsitektur yang mewah, seperti makam Yo Giok Sie yang terkenal dengan nama Bong Koneng karena atapnya yang berwarna kuning. Lalu makam yang disebut Bong Koneng dan makam Tan Joen Liong (sayang sudah tidak terawat).  Namun tetap ada komponen yang harus ada dalam setiap kuburan, yaitu tempat untuk persembahan Dewa Langit dan Dewa Bumi, yang menurut orang awam seperti saya seperti tungku. Biasanya ziarah kubur yang dilakukan akan berdoa dulu kepada Dewa Langit dan Bumi, kemudian kepada “penghuni kuburan”.

Biasanya dalam menguburkan jenazah mereka melakukan ritual-ritual seperti upacara pemakaman lainnya, akan tetapi yang menarik adalah disertakannya barang-barang yang paling disayangi atau yang paling merepresentasikan siapa dirinya. Biasanya jenazah didandani dengan pakaian serba mewah lengkap dengan perhiasannya. Hal inilah yang memberikan peluang kerja baru bagi masyarakat, yaitu penggalian makam untuk mengambil perhiasan yang dibawa mati. Hingga kini usaha negatif seperti ini masih berlangsung, makam-makam yang tidak mempunyai penjaga pribadi merupakan sasaran empuk bagi kejahatan ini. Luas makam yang ada merupakan masalah klasik yang merepotkan petugas keamanan.

Saya sendiri tidak mengetahui secara pasti bagaimana tata cara atau ritual upacara kematian. Apakah itu dibakar/kremasi kemudian abunya disimpan di guci, apakah dikubur lengkap dengan pakaiannya, kemudian tulang belulangnya diambil dan disimpan. Karena menurut keterangan kuncen makam, kebiasaan atau trend kremasi baru muncul kemudian, dan banyak dilakukan sekitar tahun 1990an..

Ada 2  krematorium di Makam Cikadut, yaitu yang menggunakan oven (1967) dan yang dibakar manual…

Makam ini secara tidak langsung memberikan dampak yang positif bagi perekonomian setempat, tidak sedikit masyarakat sekitar Cikadut yang pekerjaannya berkaitan dengan makam. Sampai tahun 1990-an di jalan Cikadut, Cidurian Cimuncang bertebaran para pengrajin Bongpai (nisan), kebanyakan keterampilan yang didapat adalah turun temurun dari orangtuanya. Untuk menjaga kuburan, dipekerjakanlah warga setempat, yang digaji perminggu atau perbulannya.

Romantisme Kuburan Cina

Orang Cina memandang kematian sebagai awal dari kehidupan baru. Seperti telah disinggung diatas, makam Cina ditata sedemikian rupa seolah-olah makam tersebut sebagai tempat tinggal setelah mati. Dengan berbekal barang yang mereka sayangi, orang Cina juga menginginkan orang-orang yang disayangi (istri/suami) ada disamping mereka. Bahkan tidak jarang sebuah makam terdiri dari beberapa makam, anak dan cucu diikutsertakan. Mereka percaya kelak mereka dapat hidup bersama-sama lagi.

Ini dapat dilihat pada salah satu makam yang cukup megah, meskipun sudah tidak terawat dengan baik. Yaitu makam dari Wong Pak Kian, bahkan makam ini diberi nama Atlantic Park. Dalam makam tersebut dapat ditemui makam cucunya, yang lebih menarik lagi adalah berdirinya Menara Abu (tempat penyimpanan abu) milik keluarga Wong yang khusus dibuat sebagai tempat penyimpanan abu bagi keluarga miskin.

Biasanya suami istri Orang Cina yang meninggal akan membuat dua liang kubur bersebelahan. Ketika salah satu dari mereka meninggal maka akan dibuatkan dua buah nisan atau Bongpai. Yang telah meninggal bercatkan merah dan yang belum meninggal bercatkan kuning.

Ada dua istilah Bongpay bagi orang Cina (suai-istri) yang dikuburkan bersebelahan yaitu Siangkong dan Siangyan. Siangkong yaitu satu Bongpay dengan dua nama dalam dua kuburan yang bersebelahan, Siangyan yaitu dua Bongpay dengan masing-masing nama dalam dua kuburan yang bersebelahan.

Untuk menunjukkan leluhur mereka kepada keturunannya, tidak jarang ditampilkan foto “penghuni kubur” di nisannya dan riwayat hidupnya.

Biasanya Orang Cina akan melakukan ziarah kubur secara besar-besaran dua kali dalam setahun, sekali saat memperingati hari kematian dan sekali saat perayaan ziarah kubur Cina “Ceng Beng” (penanggalan Masehi 5 April).

Catatan :

Mungkin ada banyak pertanyaan mengenai perjalanan Komunitas Aleut! Ke pemakaman baik itu pemakaman yang tertuliskan riwayatnya atau ke tumpukan batu yang konon disebutkan sebagai makam. Saya sendiri beranggapan bahwa dengan mengunjungi makam atau kuburan, kita dapat menggali keterangan mengenai siapa orang yang dimakamkan di kuburan itu. Lebih jauh lagi kita belajar sejarah dari orang yang sudah meninggal.

Kunjungan Aleut ke Makam Cikadut memberikan beberapa nama baru yang sebenarnya memilki peranan penting dalam sejarah Bandung, yang mungkin kita akan malas untuk mengorek informasi dalam buku sejarah sekalipun.

Beruntunglah perjalanan Ngaleut kemarin kita dipandu oleh Pa Asep Suryana yang sepanjang jalan memberikan interpretasi dan pengetahuan….

Kapitan Cina & Situs Panyandaan

Oleh : Bpk.Asep Suryana

Saya tidak sengaja menunjukkan satu bong yang bentuknya antik, mirip dengan profil bangunan bangunan di daerah Pecinan belakang Pasar Baru Bandung. Ternyata itu adalah makam Letnan Cina yang bernama Tan Joen Liong (1859-1917) beberapa literatur menulilskan Tan Djoen Liong. Artinya pada waktu masih hidup beliau pernah memimpin orang Cina di Bandung.

Meskipun pada masa lalu saya sering ke komplek Kuburan Cina Cikadut Bandung, tetapi tidak mengetahui adanya makam seorang Letnan Cina. Letak makamnya tidak jauh dari Los atau gerbang masuk komplek pemakaman.

Dari Pak Steve Haryono yang banyak mengetahui mengenai budaya Tionghua, saya mendapatkan daftar opsir di Bandung berdasarkan Regerings Almanak ada tiga Letnan:

1. Oei Boen Hoen (1881-1882)

2. Tan Hay liong (1882-1888)

3. Tan Djoen Liong (1888-1917, putra Tan Hay Liong)

 

Tan Joen Liong, Kapiten Titulair Der Chineezen, Geb. 1859, OverL. 23-08-1917

 

Pemilihan acara ngAleut hari Minggu tanggal 14-11-2010 setelah melalui rembugan kilat dengan rekan Cici dan Asep Nendi sehari sebelumnya. Saya pikir juga Komunitas Aleut belum pernah ngAleut ke sini, jadi ada baiknya ngAleut ke tempat yang belum pernah disambangi. Keberadaan Kuburan Cina Cikadut hampir tidak disinggung dalam buku-buku mengenai Bandung. Setelah Sentiong-Banceuy tidak lagi menjadi tempat pemakaman bagi orang Cina dan juga Belanda pada masa awal abad ke-20, maka daerah Cikadut menjadi pekuburan Cina yang terus menerus semakin luas. Seorang penunggu salah satu makam mengatakan luas komplek ini 270 hektar.

 

 

Ketika mengamati sebuah makam keluarga yang diberi nama Atlantic Park, kami ditunjukkan oleh penunggu makam, salah satu kuburan orang Belanda. Saya kira satu-satunya kuburan Belanda di komplek Kuburan Cina Cikadut. Tahun meninggalnya 1921.

 

Kuburan Belanda, Asep Nendi peneliti madya dari Aleut sedang meneliti tulisan yang bukan huruf latin

 

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke krematorium, serius ini adalah tempat untuk kremasi mayat, bukan untuk ‘keramas’. Bangunan ini didirikan tahun 1967 dan mempunyai tiga oven untuk kremasi.

 

Bong Koneng, makam Jo Giok Sie, pendiri salah satu pabrik tekstil di Bandung Timur sebelum kemerdekaan

 

Setelah mengunjungi dua makam raja tekstil di Bandung perjalanan diteruskan ke Situs neolitik Panyandaan yang letaknya sebelah utara dari Kuburan Cina Cikadut. Situs Panyandaan sudah disinggung dalam penelitian geolog Swiss Dr. W. Rothpletz (1951) sebagai kuburan masa pra Islam. Kami mencapai puncak Pasir Panyandaan dengan susah payah (kecapaian) dan di sekeliling situs kini berdiri komplek pesantren. Kini tugas kami selain mendokumentasikan perjalanan ini adalah mengumpulkan informasi yang berkaitan dan melakukan studi.

 

Ruang krematorium

Salah satu makam di Situs Panyandaan

5-1-6-4-3-1-2… 5-1-6-7-1′-2′-1’…

Oleh : Nara Wisesa

 

5-1-6-4-3-1-2… 5-1-6-7-1′-2′-1’…

Ada yang ngeh dengan rangkaian angka di atas?

hmmm, mungkin lebih mudah kalau ditulis seperti ini…

Sol-Do-La-Fa-Mi-Do-Re… Sol-Do-La-Si-Do-Re-Do…

Bagaimana? Mungkin teman-teman yang pernah menonton film The Sound of Music dan senang mendengarkan lagu-lagu karya Rodgers & Hammerstein yang dilantunkan oleh Julie Andrews di film tersebut, akan mengenali rangkaian not-not berskala diatonik ini… yang merupakan bagian dari lagu Do-Re-Mi… Yang kemudian disambung dengan lirik (yang dinyanyikan dengan nada sama) “When you know the notes to sing… You can sing most anything…” 🙂

Suster Maria menghibur anak-anak Von Trapp (Sound of Music) – gambar dari blogcritics.org)

Yup, seperti yang mungkin sudah bisa ditebak, posting kali ini akan bertemakan musik… Sebuah posting yang tergugah setelah mengikuti diskusi apresiasi musik bersama teman-teman Komunitas Aleut di rumah Bang Ridwan hari Minggu kemarin.

Sebenarnya tema diskusi kemarin adalah perkembangan musik folk dari masa ke masa, yang rupanya berasal dari musik rakyat tanah Irlandia (yang pernah denger lagunya The Corrs, seperti Toss The Feathers dan Lough Erin Shore, dua lagu rakyat Irlandia yang mereka aransemen ulang, ya lagu-lagu seperti inilah yang rupanya menjadi akar dari musik folk), dimana kemudian dibawa bermigrasi ke Amerika dimana akhirnya berkembang menjadi contemporary folk yang kita kenal sekarang.. seperti yang bisa didengarkan dalam karya-karya Bob Dylan dan Simon & Garfunkel

 

Peralatan musik khas Irlandia (gambar dari iisresource.org)
The Corrs – Unplugged, album yang pertama kali mengekspos saya terhadap musik Irlandia (gambar dari wikimedia.org)
Bob Dylan (gambar dari wikimedia.org)
Simon & Garfunkel (gambar dari wikimedia.org)

Tetapi yang lebih berkesan bagi saya pribadi bukan mengenai perkembangan musik folk ini, tapi mengenai musik itu sendiri, seperti opini yang dikemukakan Bang Ridwan, bahwa dari semua musik yang ada sekarang ini, tidak ada yang namanya musik bagus… Dimana definisi musik bagus itu sendiri sangat tidak jelas bagi saya pribadi…

Yang saya sangat setuju, cara menilai musik lebih kembali ke selera orang masing-masing, apakah musik itu enak atau tidak enak untuk kuping seseorang.

Karena tentunya musik yang enak bagi satu orang belum tentu enak untuk orang lain, dan selera seperti ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan… Kecuali mungkin bila selera seseorang berubah setelah terekspos terhadap satu jenis musik secara terus menerus, misalnya saya yang dulunya tidak begitu suka hip-hop dan electronica, mulai bisa menikmati setelah sering mendengar lagu-lagu alternative hip-hop seperti karya-karya Gorillaz atau Gnarls Barkley, dan Jazz rap/hip-hop/electronica seperti karya-karyanya Nujabes (may he rest in peace).

Nujabes a.k.a. Jun Seba (RIP 1974-2010) (gambar dari wikimedia.org)

Opini mengenai musik “bagus” ini mengingatkan saya pada satu status FB yang pernah saya tulis beberapa bulan lalu,

IMHO… soal perbedaan selera seni… gak ada yang lebih bagus… gak ada yang lebih buruk… gak ada yang lebih tinggi… gak ada yang lebih rendah… hanya aja semua orang punya selera yang berbeda…”

dan memicu diskusi dengan beberapa orang, termasuk bung Indra Pratama, yang bisa diintip disini – http://www.facebook.com/nara.wisesa?v=wall&story_fbid=128789197167286

Kesimpulannya diambil dari salah satu komennya Indra,

“selera sama kualitas adalah hal yg beda.. jadi gak bisa juga bilang ini bagus ini jelek berdasarkan selera.. harusnya bilang nya : “ini enak” atau “ih nggak enak.”.. ehhe”

Dan sejak itu, saya pun berusaha untuk berhenti mengkategorikan musik dan lagu yang saya dengarkan sebagai “bagus” atau “jelek”, dan mengganti kategorinya dengan “enak/suka/favorit saya” atau “ga enak/ga suka/bukan selera saya” 🙂

Tapi, ada satu bentuk “musik” yang tetap saya anggap sebagai musik yang bagus… dan bukan karena sebatas selera saya…

Bukan… ini bukan musik karya Vivaldi, Mozart atau pun Beethoven…

Vivaldi, Mozart, Beethoven (gambar dari wikimedia.org)

Bukan juga alunan biola Vanessa Mae atau petikan Shamisen Yoshida Kyoudai yang dulu sempat setia menemani saya dan memberi semangat selama ber-tesis-ria…

Vanessa mae & Yoshida Brothers (gambar dari wikimedia.org)

Bukan suara merdu Tomiko Van yang diiringi genjrengan asik Ryo Owatari dan Dai Nagao dari Do As Infinity yang selalu saya elu-elukan sebagai band favorit saya…

Do As Infinity (gambar dari wikimedia.org)

Bukan lagu-lagu dengan pekikan khas Kikan yang sekarang sudah meninggalkan Cokelat, atau Cranberries dengan Dolores-nya juga

Cokelat formasi lama bersama Kikan (gambar dari wikimedia.org)
The Cranberries (gambar dari wikimedia.org)

Bahkan bukan lagu-lagu folk etnis ‘agak’ ke-Indonesia-Indonesia-an yang dilantunkan oleh Cozy Street Corner dan menjadi request favorit ketika Indra siaran di radioe.webs.com

Cozy Street Corner (gambar dari cozystreetcorner.org)

Kalau begitu musik apa ya?

Musik alam 🙂

Suara burung-burung yang sedang menandai teritori mereka untuk mengusir pesaing dan pemangsa tetapi entah kenapa terkesan ceria di telinga saya..

Burung cucakrawa/cangkurawah (Pycnonotus zeylanicus) (gambar dari wikimedia.org)

Suara ombak bergulung-gulung di tepi pantai yang mendamaikan hati saya..

Ombak (gambar dari wikimedia.org)

Suara gemuruh awan badai dengan petirnya yang bisa membuat saya was-was tetapi pada saat yang sama mengingatkan akan kekuatan alam tempat tinggal kita..

Badai petir (gambar dari wikimedia.org)

Suara jangkrik di malam hari yang memikat pasangannya, sekaligus mengantar tidur saya..

Jangkrik (gambar dari wikimedia.org)

Suara hujan yang menyegarkan dan mengisi ulang energi saya..

Hujan (gambar dari wikimedia.org)

(Rekaman) suara paus bungkuk yang memanggil pasangannya atau suara lolongan serigala yang terkesan kesepian…

Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae) (gambar dari wikimedia.org)
Serigala (Canis lupus) melolong (gambar dari wikimedia.org)

Suara-suara inilah yang kalau menurut saya adalah musik yang benar-benar bagus… musik alam yang menggunakan not-not dan nada-nada yang mungkin berada di luar komprehensi manusia… lengkap dengan komposisi yang melibatkan gelombang-gelombang infrasonik dan ultrasonik yang walau tidak bisa kita dengar tapi mungkin bisa kita rasakan…

Yep… untuk saya… inilah yang murni bisa disebut “musik bagus”

Tapi lagi-lagi… mungkin ini juga masalah selera 😉

(gambar dari http://www.aggiemoms.org/pages/Boutique%20Files%20and%20Forms/Music_image001.jpg)

Mojang Bandung

Bandung tahun 30’an dikenal sebagai “Parijs of Java”, salah satunya karena keindahan fashion yang banyak dikenakan oleh mojang2nya. Contohnya saat itu dikenal gaya rambut Gelung Chiyoda, yaitu menggulung rambut dengan dua simpul. Ada juga Gedjed Milo, yaitu mengenakan sarung ketat yang menunjukan lekuk tubuh. Selain itu ada pula gaya baju kabaya tangan-kereut-tarompet atau potongan manila.Semuanya tidak lengkap apabila belum menggunakan kelom geulis…

Karena pemakaian sarung yang ketat, maka muncullah gaya berjalan “Lenggang Bandung”.

Sampai saat ini, Bandung tetap menjadi acuan mode Indonesia…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Minggu di Pandu – 31/10/2010

Oleh : Nara Wisesa

Untuk travel note NgAleut TPU Pandu hari Minggu kemarin, saya ingin bereksperimen dengan gambar-gambar dan pola 5-7-5 yang biasa digunakan untuk “Haiku”, semoga berkenan… Mohon masukannya 🙂

 

~ Langkahkan kaki // menuntun dua roda // teriring misa ~
~ Perbatasankah? // rumah masa depankah? // daun bergerak ~
~ Bahasa tua // menyambut langkah kita // bisikan sunyi ~
~ Pilar berpagar // rumputlah saksi bisu // tempat tidurnya ~
~ Disini tidur // tuan Karel Frederik // terhalang semak ~
~ From Batavia // He ended in Bandoeng // en Nederland? ~
~ Menyerap gizi // bunga putih tersisip // daun berdiri ~
~ Waktu berlalu // nyamuk berpesta pora // kisah terngiang ~
~ Dimana Kayu // menyumbang nutrisinya // untuk si merah ~
~ Rumah Beruang // dijaga satu pasang // Valkyrie marmer ~ (Ursone Mausoleum)
~ Lihatlah kawan // sepasang sayap putih // angin berhembus ~
~ Kepakkan sayap // taburkan benih badai // hidup berlanjut ~
~ Pilot berbaring // baling-balingnya patah // Co-Pilot tunduk ~
~ Burungkah itu? // atau seekor lebah? // renung kang Ujanx ~
~ Dianggap hama // pahlawan tak terdengar // jadi mak comblang ~ [sepasang Musca sp. (?) menjadi vektor penyerbukan]
~ Tanah Oranye // pasukan istirahat // Singa menjaga ~
~ Buat Sepatu // penghasil rumah sepi // hampir terlupa ~ [makam Wolff Schoemaker – http://en.wikipedia.org/wiki/Wolff_Schoemaker
~ Menatap jauh // karya Kang Sangkuriang // tertidur ringan ~
~ Jemari hijau // meliuk dengan cantik // merah berseri ~
~ Baris berbaris // si hitam dan si cokelat // waktunya pergi ~ [(c) Ajay]
~ Waktu berbagi // kesan dan pesan kawan // bertukar kata ~ [(c) Ajay]
~ Itulah kisah // Pasukan Aleutians // Minggu di Pandu ~

*note: kombinasi “Haiku” dengan gambar, dikenal juga dengan nama “Haiga”*

Bioskop di Bandung

Tanggal 17/10/2010 tadi, Komunitas Aleut mengadakan perjalanan menyusuri jalur kejayaan Bioskop di Bandung Tempo Dulu. 

Dari perjalanan ini kita dapatkan bahwa bioskop tidak dapat dipisahkan dari warga Bandung walaupun dunia perfilman nasional tengah mengalami keterpurukan.

Di pulau Jawa termasuk Bandung pada tahun 1937, pasaran film Bioskop dikuasai oleh Film2 Amerika (65%), Cina (12%), Perancis (4,8%), Jerman (4,4%), Inggris (3,4%), Belanda (3,1%) dan Jepang (0.2%). Di Jaman Jepang, Bioskop2 ini digunakan sebagai media utama propaganda Jepang, smua film di luar produksi Jepang dilarang dimainkan (kokusagu eiga)

Terlihat di foto adalah suasana kawasan bioskop di alun2 Bandung tahun 50an. Berjajar dari kiri ke kanan, bioskop Elita, Varia, Oriental dan Radio City. Kini masa kejayaan bioskop2 itu telah sirna, digantikan penerusnya yang lebih muda,,,

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Peta Jalur Kereta Api tahun 1938

Jalur kereta api membawa perkembangan signifikan bagi daerah yang dilaluinya, salah satunya adalah bagi kota Bandung. 

Dimulai dari tgl. 17 maret 1864, dimulailah perkembangan kereta api di Jabar. Yaitu dengan dibukanya trayek Bogor-Jakarta. Selanjutnya perkembangan kereta api dibangun trayek demi trayek…

Khusus utk Bandung trayek yg pertama kali dibuka antara lain, jalur Bandung – Cianjur (17 Mei 1884), Bandung – Cicalengka (10 September 1884), Bandung – Soreang (13 Februari 1921), Dll…

*Gambar tahun 1938

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Mall Pertama di Bandung!

Apabila kita memandang ke seberang gedung merdeka sekarang, terdapat sebuah bangunan yang lagi ‘bersolek’ alias direnovasi, itulah bangunan yang dikenal sbg “Toko De Vries” – atau versi resminya “Maatschappy tot Voortzetting der Zaken Vorheen”…

Memulai bisnis dari bangunan yang lebih sederhana (1/4 bangunan sekarang) di akhir abad-19, De Vries segera menjelma menjadi suatu emporium bisnis, dan menghabiskan 20.000 gulden untk mendirikan bangunan yang masih bisa kita saksikan sekarang ini.

Setelah sekian lama bangunan ini ‘mati’, kini tampaknya akan hidup kembali, menjadi bukti perkembangan Bandung di masa lalu…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Walikota Bandung yang Pertama

Bandung kelak akan berusia 200 tahun… Lalu siapakah walikota Bandung yang pertama ? Beliau adalah B. Coops, menjadi walikota Bandung dalam periode 1913-1928.. 

Pertanyaannya, Kalau memang kota Bandung sudah berdiri sejak 200 tahun yang lalu, lantas mengapa baru memiliki Walikota di tahun 1913 ? Kalo gak bisa jawab, jangan ngaku jadi org Bandung.. hahaha lebay…

oleh : M.Ryzki Wiryawan

Sekilas Tentang DAMRI

Entah apa jadinya nasib mahasiswa Unpad tdk mampu spt sy yang harus PP bandung-nangor tiap hari tanpa jasa DAMRI yg penuh kenangan …

Dulunya, sarana transportasi di Jawa ini dikuasai oleh Jepang, namanya Kounso Eigyosho dan Tyubu Rikuyu Shokyoku Djidosha Eigyosho (Panjang amat).. Nah stelah merdeka, kduanya ganti nama jadi Djawatan Pengankutan (D.P.) dan Djawatan Kendaraan Bermotor (D.K.B.). Keduanya bergabung pada tanggal 20 November 1948 menjadi DAMRI.

Nah, lalu apa singkatan DAMRI ? Kalo kata pak Katam “Djawatan Angkut Muat Republik Indonesia” tapi menurut buku versi pemerintah “Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia”.. Mana yang benar y?

oleh : M.Ryzki Wiryawan
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑