Oleh : Asep Nendi
Stairway To Heaven…
Catatan Perjalanan Ngaleut ke “Kuburan Cina Cikadut”
Komplek pemakaman itu bertuliskan “TPU Hindu dan Budha Cikadut”. Nama itu menggantikan nama lamanya, “Kuburan Cina Cikadut”, karena sesuatu hal dan untuk menghindari berkembangnya isu etnis di masa Orba. Lewat satu dasawarsa sudah kita menjalani masa reformasi komplek pemakaman yang sempat ditutup ini belum dikembalikan ke nama asalnya. Padahal agama yang dianut” penghuni” makam agak jarang yang beragama Hindu/Budha.
Masyarakat telah lama mengenal Makam Cina Cikadut, sebuah makam yang terletak di bukit-bukit dari Cikadut-Cimenyan. Memiliki luas lebih dari 125 Ha, dan akan terus bertambah kalau tanah-tanah yang didiami warga terus-menerus dibeli untuk dijadikan kuburan baru. Bahkan menurut salah satu kuncen makam (Pa Abang, 50 tahunan) luasnya kini sudah hampir 2x lipatnya. Kemungkinan Komplek Makam Cina Cikadut ini adalah komplek makam yang terluas di seluruh Indonesia atau di Asia Tenggara sekalipun.
Sebelumnya pemakaman Cina/Sentiong berada di Banceuy (Pasar Besi) sejak tahun 1856. Merupakan komplek pemakaman tertua di Kota Bandung, yang didalamnya terdapat pemakaman Belanda dan Cina. Namun setelah dikeluarkannya Undang Undang Pembangunan Kota Bandung tentang pemakaman jenazah, Komplek Makam Sentiong dibongkar dan dipindahkan. Makam Belanda dipindahkan ke Kebon Jahe (Gor Pajajaran Belakang/ Hulu Cai Ciguriang) dan makam Cina dipindahkan ke Gg. Babakan Ciamis. Makam Belanda di Kebon Jahe kemudian dipindah lagi ke Pandu, kemungkinan makam Cina dipindah ke Cikadut.
Melihat peranan Cina yang sangat penting dalam pembangunan Kota Bandung, adalah sesuatu yang mustahil pemerintah tidak menyediakan sebuah komplek pemakaman khusus bagi Orang Cina.
Orang Cina di Bandung
Jauh sebelum Gubernur Jenderal G.A Baron van der Capellen menetapkan bahwa Karasidenan Priangan tertutup bagi semua orang Cina, kecuali yang telah memiliki ijin dari Residen Priangan pada 9 Januari 1821. Di Priangan sudah terdapat orang-orang Cina, kebanyakan mereka bekerja sebagai tukang dan pedagang. Di Bandung sendiri sudah ada beberapa orang Cina, namun sedikit banyak bertambah sejak peraturan pelarangan Orang Cina di Priangan dicabut (tahun 1856).
Ekspansi etnis Cina ke Kota Bandung diperkirakan terjadi pada awal abad 19, sebagai dampak dari dibukanya jalur kereta api Batavia-Bogor-Bandung tahun 1884. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai tukang-tukang yang dipekerjakan dalam proyek pembangunan jalur kereta api. Setelah menetap mereka menggeluti bidang usaha lain, yaitu sebagai tukang dan pedagang.
Untuk mengantisipasi berbagai hal Pemerintah Kolonial mengkonsentrasikan penduduk Cina di kawasan dekat Sungai Cikapundung sampai ke daerah Pasar Baru, yang kemudian dikenal dengan Kawasan Pecinan atau Chineesche Voorstraat. Konon penentuan lokasi ini dipengaruhi oleh orang Cina yang percaya bahwa lokasi tersebut memiliki aliran Chi yang baik yang sesuai dengan Feng Shui.
Pendatang dari Tionghoa terus bertambah dari masa ke masa, dan kawasan Pecinan pun terus meluas. Orang Cina yang memiliki karakter pekerja keras mampu bersaing dalam berbagai bidang usaha, bahkan para pedagangnya mampu mendominasi perekonomian di Bandung, melebihi peranan pedagang Pribumi dan Arab yang telah lebih dulu tinggal di Bandung.
SumberBacaan :
(http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/tanti_restiasih_skober.pdf)
Kuburan Cina Cikadut
Memasuki Komplek Makam Cina Cikadut, kita dihadapkan dengan sebuah Gerbang/Los untuk masuknya kereta jenazah, sementara per iring-iringan masuk melalui samping gerbang. Kereta Jenazah berhenti tepat di Los, hingga administrasi penguburan selesai. (Pa Asep Suryana).
Ada banyak tokoh penting yang dikuburkan di Makam Cikadut, diantaranya adalah : Tan Joeng Liong, yang meninggal pada 23 Agustus 1917. Di nisannya (Bongpai) bertuliskan Kapiten Titulair Der Chineezeen. Kapten Titulair berarti kapten kehormatan, ini kemungkinan diberikan atas jasa dan pengabdian beliau dalam menjabat sebagai opsir Bandung dengan pangkat Letnan selama 25 tahun (1888-1917). Nama lain yang tidak kalah terkenal adalah Raja Tekstil Yo Giok Sie, yang meninggal pada 23 Agustus 1963. Beliau adalah pendiri pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung yaitu PT. Badan Tekstil Nasional di Cicaheum. Yang kini didalamnya terbagi-bagi menjadi beberapa pabrik. Rupa-rupanya industri tekstil di Bandung memiliki peranan besar bagi perekonomian kala itu dan diprediksikan akan lebih jauh lagi perkembangannya. Maka untuk mengantisipasi perkembangan tekstil, Pemerintah Kolonial mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus tekstil di Bandung, lokasi tepatnya STT Tekstil sekarang (1920-1923an).
Los tersebut seolah-olah sebagai pintu masuk menuju kehidupan lain di masa lain, kehidupan setelah kematian. Kepercayaan Orang Cina/Tionghoa tentang kematian merupakan hal yang serius yang harus dipersiapkan sedemikian rupa, ini dapat dilihat dari Makam atau Bong yang dibuat. Jauh-jauh hari, selagi orang itu hidup, lahan untuk makam sudah dipersiapkan dengan konsep yang tidak sembarangan. Biasanya anak lelaki paling tua akan memegang peranan penting dalam mengurusi kematian orang tuanya. Inilah yang menjadikan begitu pentingnya anak lelaki dalam tradisi Tionghoa. Anak lelaki tertualah yang kelak menyimpan abu orang tuanya.
Dalam menentukan arah kuburan, Cina memiliki kepercayaan yang unik yang membedakannya dengan kuburan lainnya. Mereka dengan fengshuinya, mempercayai kalau arah kuburan harus searah dengan aliran air, kemungkinan aliran air memiliki chi yang baik. Hal ini tercermin juga dari kehidupan orang Cina yang seperti air, bisa hidup di mana saja dan memiliki daya adaptasi yang luar biasa.
Kuburan Cina yang saya temui di Makam Cikadut memiliki karakteristik bangunan yang unik, biasanya akan bergantung pada tingkat ekonomi dan pencapaian hidup seseorang. Tidak jarang kuburan yang dibangun memiliki gaya arsitektur yang mewah, seperti makam Yo Giok Sie yang terkenal dengan nama Bong Koneng karena atapnya yang berwarna kuning. Lalu makam yang disebut Bong Koneng dan makam Tan Joen Liong (sayang sudah tidak terawat). Namun tetap ada komponen yang harus ada dalam setiap kuburan, yaitu tempat untuk persembahan Dewa Langit dan Dewa Bumi, yang menurut orang awam seperti saya seperti tungku. Biasanya ziarah kubur yang dilakukan akan berdoa dulu kepada Dewa Langit dan Bumi, kemudian kepada “penghuni kuburan”.
Biasanya dalam menguburkan jenazah mereka melakukan ritual-ritual seperti upacara pemakaman lainnya, akan tetapi yang menarik adalah disertakannya barang-barang yang paling disayangi atau yang paling merepresentasikan siapa dirinya. Biasanya jenazah didandani dengan pakaian serba mewah lengkap dengan perhiasannya. Hal inilah yang memberikan peluang kerja baru bagi masyarakat, yaitu penggalian makam untuk mengambil perhiasan yang dibawa mati. Hingga kini usaha negatif seperti ini masih berlangsung, makam-makam yang tidak mempunyai penjaga pribadi merupakan sasaran empuk bagi kejahatan ini. Luas makam yang ada merupakan masalah klasik yang merepotkan petugas keamanan.
Saya sendiri tidak mengetahui secara pasti bagaimana tata cara atau ritual upacara kematian. Apakah itu dibakar/kremasi kemudian abunya disimpan di guci, apakah dikubur lengkap dengan pakaiannya, kemudian tulang belulangnya diambil dan disimpan. Karena menurut keterangan kuncen makam, kebiasaan atau trend kremasi baru muncul kemudian, dan banyak dilakukan sekitar tahun 1990an..
Ada 2 krematorium di Makam Cikadut, yaitu yang menggunakan oven (1967) dan yang dibakar manual…
Makam ini secara tidak langsung memberikan dampak yang positif bagi perekonomian setempat, tidak sedikit masyarakat sekitar Cikadut yang pekerjaannya berkaitan dengan makam. Sampai tahun 1990-an di jalan Cikadut, Cidurian Cimuncang bertebaran para pengrajin Bongpai (nisan), kebanyakan keterampilan yang didapat adalah turun temurun dari orangtuanya. Untuk menjaga kuburan, dipekerjakanlah warga setempat, yang digaji perminggu atau perbulannya.
Romantisme Kuburan Cina
Orang Cina memandang kematian sebagai awal dari kehidupan baru. Seperti telah disinggung diatas, makam Cina ditata sedemikian rupa seolah-olah makam tersebut sebagai tempat tinggal setelah mati. Dengan berbekal barang yang mereka sayangi, orang Cina juga menginginkan orang-orang yang disayangi (istri/suami) ada disamping mereka. Bahkan tidak jarang sebuah makam terdiri dari beberapa makam, anak dan cucu diikutsertakan. Mereka percaya kelak mereka dapat hidup bersama-sama lagi.
Ini dapat dilihat pada salah satu makam yang cukup megah, meskipun sudah tidak terawat dengan baik. Yaitu makam dari Wong Pak Kian, bahkan makam ini diberi nama Atlantic Park. Dalam makam tersebut dapat ditemui makam cucunya, yang lebih menarik lagi adalah berdirinya Menara Abu (tempat penyimpanan abu) milik keluarga Wong yang khusus dibuat sebagai tempat penyimpanan abu bagi keluarga miskin.
Biasanya suami istri Orang Cina yang meninggal akan membuat dua liang kubur bersebelahan. Ketika salah satu dari mereka meninggal maka akan dibuatkan dua buah nisan atau Bongpai. Yang telah meninggal bercatkan merah dan yang belum meninggal bercatkan kuning.
Ada dua istilah Bongpay bagi orang Cina (suai-istri) yang dikuburkan bersebelahan yaitu Siangkong dan Siangyan. Siangkong yaitu satu Bongpay dengan dua nama dalam dua kuburan yang bersebelahan, Siangyan yaitu dua Bongpay dengan masing-masing nama dalam dua kuburan yang bersebelahan.
Untuk menunjukkan leluhur mereka kepada keturunannya, tidak jarang ditampilkan foto “penghuni kubur” di nisannya dan riwayat hidupnya.
Biasanya Orang Cina akan melakukan ziarah kubur secara besar-besaran dua kali dalam setahun, sekali saat memperingati hari kematian dan sekali saat perayaan ziarah kubur Cina “Ceng Beng” (penanggalan Masehi 5 April).
Catatan :
Mungkin ada banyak pertanyaan mengenai perjalanan Komunitas Aleut! Ke pemakaman baik itu pemakaman yang tertuliskan riwayatnya atau ke tumpukan batu yang konon disebutkan sebagai makam. Saya sendiri beranggapan bahwa dengan mengunjungi makam atau kuburan, kita dapat menggali keterangan mengenai siapa orang yang dimakamkan di kuburan itu. Lebih jauh lagi kita belajar sejarah dari orang yang sudah meninggal.
Kunjungan Aleut ke Makam Cikadut memberikan beberapa nama baru yang sebenarnya memilki peranan penting dalam sejarah Bandung, yang mungkin kita akan malas untuk mengorek informasi dalam buku sejarah sekalipun.
Beruntunglah perjalanan Ngaleut kemarin kita dipandu oleh Pa Asep Suryana yang sepanjang jalan memberikan interpretasi dan pengetahuan….