Month: October 2010

Kampung Mahmud, Segenggam Tanah dari Mekah di Kelokan Ci Tarum

Catatan Perjalanan Bersama Komunitas Aleut!

Oleh Budi Brahmantyo

Sambil menunggu beberapa Aleutian kumpul seluruhnya di halaman Museum Sribaduga di Tegalega Bandung, saya serius mempelajari peta terbitan Periplus 2005 yang memuat target acara ngAleut di Minggu pagi 19 September 2010 yang gerimis itu. Komunitas Aleut! (aslinya memang dengan “tanda seru”) adalah komunitas yang kebanyakan terdiri dari anak-anak muda Bandung yang aktif menjelajah Bandung dan sekitarnya. Beberapa anggotanya memahami sejarah Kota Bandung secara luar biasa.

Penulis yg kata Kuke (pemotret foto ini) serius membaca peta, padahal sebenarnya susah melihat tulisan kecil2 oleh mata yg sudah bolor positip ini 🙂

Aleut secara geografis sebenarnya adalah suatu jajaran kepulauan di Amerika bagian utara dekat Alaska yang berada pada perbatasan utara Benua Asia – Amerika. Tapi bukan dari pulau-pulau entah berantah itu dasar penamaan komunitas ini. Justru namanya diambil dari istilah yang sangat dekat, dari Bahasa Sunda “ngaleut” yang berarti berjalan beriring-iringan atau bergerombol. Mereka menyebut anggotanya dengan sebutan keren: Aleutian.

Kebiasaan lain positif mereka, anggotanya harus membuat catatan perjalanan. Saat Minggu pagi itu acara Aleut! adalah ngAleut ke Kampung Mahmud, dua hari kemudian catatan perjalanannya oleh Ujanx Lukman sudah muncul di FB notes: http://www.facebook.com/notes/ujanx-lukman/kampung-mahmud-yang-tak-pernah-tenggelam/151491471552074.

Kembali ke halaman Museum Sribaduga. Sambil mempelajari peta Periplus 2005 itu, pertama-tama saya terpana dengan lokasi Kampung Mahmud. Tepat berada di tengah-tengah “pulau” kelokan Ci Tarum. Lalu ketika mempelajari elevasi topografis, mata saya terbentur pada pertigaan Jalan Mahmud – Cicukang dengan elevasi tepat 666 m. Angka yang untuk beberapa orang mungkin bermakna luar biasa. Kampung Mahmud sendiri diperkirakan berelevasi 662 – 664 m, lebih tinggi dari daerah lebih hulu di Dayeuhkolot – Baleendah – Cieunteung yang berelevasi 660 – 661 m. Jadi jika di Dayeuhkolot selalu kebanjiran, Kampung Mahmud yang sebenarnya lebih hilir, tidak pernah dalam sejarahnya kebanjiran.

citra google-erath: dua kelokan Ci Tarum dg pola aneh, tempat Kp. Mahmud berada, dan titik 666.

Ci Tarum yang berhulu di Gunung Wayang mulai bermeander setelah tiba di Majalaya. Dataran luas Cekungan Bandung bekas dasar danau purba yang surut 16.000 tahun yang lalu itu membuat Ci Tarum mengalir pelan. Ada laporan yang menyatakan gradien alirannya hanya sebesar lebih kurang 0,02% (bisa dibaca: setiap jarak 100 m hanya turun sekitar 0,02 m atau hanya 2 cm).  Wajar saja dalam kondisi morfologi datar, sungai besar akan cenderung berkelok-kelok dalam lengkungan besar. Istilahnya: sungai meander (diambil dari sebuah sungai di Turki Meandoros yang alirannya berkelok-kelok).

Ciri sungai di dataran adalah lebarnya dataran banjir (flood plain). Dataran ini adalah dataran di kiri kanan sungai yang menjadi wilayah sungai ketika kapasitas salurannya terlampaui sehingga melimpas ke samping kanan-kiri salurannya. Pada musim kemarau, dataran banjir mengering. Sayangnya orang-orang seolah-olah berdatangan dan bermukim saat musim kemarau, tidak menyadari bahwa tempat itu adalah hak sungai untuk memindahkan airnya saat musim hujan.

Dua ciri morfologi penting lagi dari sungai meander adalah tanggul alam (natural levee) suatu tinggian dari saluran sungai yang umumnya terdiri dari endapan pasir sungai dan tersebar mengikuti sejajar saluran sungai. Di belakangnya, morfologi merendah lagi yang jika terbanjiri akan membentuk rawa belakang (back swamp). Kedua hal ini penting dalam konteks cerita Kampung Mahmud.

morfologi sungai meander: flood plain, back swamp (John Wiley & Sons, 1999)

Seorang warga yang sedang ngecrik (menjaring ikan) di bekas aliran Ci Tarum, bercerita bahwa ketika banjir melanda wilayah Pameuntasan seberang Kampung Mahmud, di seberangnya tempat keberadaan makam salah satu eyang Kampung Mahmud, yaitu Eyang Dalem Gedug, tidak pernah kebanjiran padahal elevasinya (perasaan) sama. Di sinilah peran tanggul alam yang membatasi wilayah Pameuntasan yang kebanjiran karena merupakan rawa belakang dengan tepi sungai Makam Eyang Dalem Gedug. Bukan berarti elevasi banjir jadi miring (menyalahi hukum alam alias sunatullah dong). Tetapi begitulah kepercayaan terhadap mitos bagi warga setempat.

Mitos lain yang disampaikan kasepuhan Kampung Mahmud Bapak Haji Syafei adalah bahwa sebelum Ci Tarum berkelok dalam dua kelokan berpola aneh (yang jauh dari kesan meander pada umumnya), Ci Tarum dulunya memang mengalir seperti sodetan yang dilakukan pemerintah sekarang. Hanya kemudian oleh pendiri Kampung Mahmud Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf, aliran sungai diubah dibelokkan dalam dua lengkungan aneh tersebut. Sodetan pemerintah tahun 1980 – 1990an yang dimaksud untuk mempercepat aliran agar Dayeuhkolot terbebas banjir dengan proyek miliaran rupiah (dan ternyata tidak berhasil), oleh Haji Syafei dianggap menggali kembali apa yang tadinya telah ditutup oleh Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf.

Kasepuhan Kp. Mahmud Bpk. H. Syafei bercerita ttg kampungnya

Kelokan aneh itu bukan meander tetapi lebih kepada kontrol struktur batuan dasar. Ci Tarum di wilayah ini telah berinteraksi dengan endapan-endapan gunungapi purba 3 – 4 juta tahun yang lalu sehingga alirannya dikontrol oleh struktur batuan dasarnya. Setelah kelokan itu, alirannya kemudian lurus mengarah ke utara sebelum kemudian berbelok ke arah barat di Curug Jompong. Air terjun berketinggian total 12 m ini adalah terobosan Ci Tarum pada batuan dasit yang keras, bagian dari batuan volkanik Pliosen 3 – 4 juta tahun itu.

Peta Rupa Bumi Bakosurtanal 2001, kelokan tanpa sodetan (tks pak Supardiyono Sobirin atas peta ini)

Mitos lain adalah tentang penguasa Ci Tarum, yaitu Raden Kalung Bimanagara, yang kepalanya berupa seorang ksatria berada di Gunung Wayang, badannya berupa tubuh ular naga meliuk-liuk sepanjang aliran Ci Tarum, hingga ekornya di Gua Sangiangtikoro, Saguling. Total panjang tubuh tokoh anak indo-jin putera Eyang Dalem Dayeuhkolot ini adalah hampir 100 km! Jika masyarakat sepanjang Ci Tarum percaya adanya penguasa alam gaib ini, sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengurus Ci Tarum secara lebih baik berdasarkan kearifan lokal tersebut. Jangan hantam kromo menyikat Curug Jompong yang dianggap menghambat aliran Ci Tarum sebagai penyebab banjir!

Curug Jompong (foto: Ayu Kuke)
ngAleut! ke Jompong, selaput dara bumi Bdg menurut T. Bachtiar, 2004 (Foto: Ayu Kuke)

Itulah Kampung Mahmud, kampung tradisional yang tetap memelihara adat-istiadatnya dan penghormatan kepada para leluhurnya, juga kepada para penunggu alam gaibnya. Minggu itu kampung begitu hiruk-pikuk oleh para peziarah yang berzikir dan bermunajat di makam utama Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf, pendiri kampung ini. Tradisi tahunan yang selalu dilakukan sampai dua minggu di awal bulan Syawal.

Syawalan di Makom Mahmud

Eyang Dalem yang masih keturunan Sunan Gunung Jati dan bersaudara dengan Eyang Pamijahan Tasikmalaya mendapat amanat untuk mendirikan Kampung Mahmud ketika berhaji di Mekah. Dengan membawa segenggam tanah Kampung Mahmud di Mekah, Eyang Dalem memilih “pulau” di tengah kelokan Ci Tarum ini sebagai kampung yang diberi nama sama dengan asal tanah yang diambilnya dari Mekah, Mahmud “yang dipujikan.”

Tetapi jika ada pendapat bahwa Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf memilih tempat ini sebagai tempat terpencil, saya kurang setuju. Justeru pada zamannya, ketika sarana transportasi melalui sungai atau mengikuti jalan paralel dengan sungai besar, Kampung Mahmud berada pada lalu lintas penting antara Dayeuh Kolot (kota lama ibu kota Tatar Ukur) dengan wilayah di sebelah baratnya, Cianjur. Inilah sebenarnya jalur tradisional yang diantaranya akan menyeberang Ci Tarum di Saguling di atas Cukang Rahong, berupa jembatan bambu yang terbentang di atas ngarai sempit Ci Tarum di Rahong. Rahong dalam bahasa Sunda, menurut T. Bachtiar, adalah wilayah sungai yang sempit dan terjal.

Demikian catatan perjalanan ngAleut yang beberapa hari kemudian di foto-foto yang dipublikasi di facebook mengungkap sosok misterius yang ikut berfoto bersama :”)

Dalam perjalanan pulang duluan di atas angkot trayek Tegallega – Mahmud, dataran pesawahan menghijau yang masih luas menjadi pemandangan Kampung Mahmud. Di latar belakang kerucut G. Lalakon (+ 972 m) berjajar bersama rangkaian gunungapi purba tampak membiru. Angkot Minggu relatif sepi. Hanya seorang gadis manis berkerudung yang ikut menumpang dari Cicukang.

Selalu ada keindahan dimana pun kita berada, tergantung bagaimana cara memandangnya ***

Ketika Seribu Cerita Dirangkai Menjadi Satu

Oleh : Ujanx Lukman

 

Malem minggu aye pergi ke bioskop

Bergandengan ame pacar nonton koboi

Beli karcis tau tau keabisan

Jage gengsi kepakse beli catutan

 

Lagu yang dinyanyikan oleh almarhum Benyamin S menggambarkan kisah ngAleut kali ini, bagai dibawa kembali pada masa-masa dimana Bandung pernah menjadi “Kota Bioskop”, karena hampir disetiap sudut kota dipenuhi oleh gedung pemutaran Film dari kelas executive, menengah sampai rendah. Dari yang  bergedung sampai beratap langit dari yang bertiket masuk ribuan rupiah (jaman dulu ya jangan disamakan dengan sekarang) sampai hanya sebatang rokok, semua tempat mempunyai kisah dan kenangan…

 

Dari tempat yang biasa kita lalui dan lihat yaitu Panti Karya sebuah gedung bioskop yang sering memutar film-film keluarga pada jamannya, kisah ngAleut ini pun dimulai dengan background Gedung tua tersebut seluruh Aluetians mencoba memasuki dimensi lain yang penuh cerita.

 

film pertama “Loeteong Kasaroeng”
Sumber Googling

 

Film “Loetoeng Kasaroeng” merupakan film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda dan ditayangkan perdana pad atanggal 31 Desember 1926 di bioskop Elita yang dinyatakan sebagai persembahan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda. Judul film ini berdasarkan masukan dari R.A.A Wiranatakoesoema V (Dalem Haji) yang sedang giat mengembangkan budaya sunda. Tidak hanya sampai disitu,  beliau juga mengijinkan para keponakannya yang cantik-cantik untuk bermain di film tersebut, padahal pada masa itu anak-anak menak sangat dijaga kehormatannya sehingga sulit untuk menyaksikan  mereka secara langsung… Jadi inget wacana yang digulirkan oleh wagub Dede Yusuf tentang mem-film-kan cerita ‘”Perang Bubat” sudah sampai mana ya??

 

Keangkuhan melawan Kebanggaan..
Foto Pia by Yandhi

 

Kita tinggalkan dulu wacana tersebut nampaknya banyak pihak yang menyangsikan terwujudnya film “Perang Bubat”, kita turun dulu dari langit imajinasi dan melihat fenomena film “Eat Pray Love” salah satu film yang membuat bangga bagi kita karena ada satu scene menggambarkan keindahan panorama alam Bali.. Ada yang aneh dengan budaya masyarakat kita terutama kaum muda mereka lebih bangga dengan barang atau sesuatu yang berbau luar negeri, entah apa yang menyebabkan hal itu padahal barang-barang tersebut berasal dari Cibaduyut atau Garut namun diimpor terlebih dahulu lalu oleh mereka diberi label dan dijual lagi menjadi nama yang “aneh”. Mungkin kalau nanti es goyobot diganti nama menjadi Ice Goyobodts mungkin akan lebih laku, atau Croquettes de Mais (ayo tebak naon artina… ) untuk menggantikan nama perkedel jagung..

dan juga seharusnya film Julia Roberts tersebut diganti menjadi “cuci tangan dan berdoa sebelum makan”

 

Termakan …??

 

Ehh tak terasa imajinasi membawa seluruh rombongan ke jalan Braga, sebuah jalan yang pernah menjadi jantung nya Parijs Van Java, bangunan-bangunan kokoh yang  menggoda setiap mata untuk membawa terbang angan ke tempat tak bertuan (ahhh… rada melow sakedik). Sepanjang jalan ini dulu berdiri Bioskop yang bernama President, Pop,  dan Majestic. Namun hanya Majestic yang masih eksis dan dipugar kembali sehingga namanya berubah menjadi “New Majestic”, untuk tempat lainnya ‘sorry.. sorry .. deh’ terhapus dari ingatan karena kebijakan dan korban peraturan….

 

Bioskop Dian sekarang

 

“Kenangan itu masih ada” ketika melihat suasana Bioskop Dian (Radio City), salah satu bioskop yang beralih fungsi menjadi lapangan futsal. Tak banyak yang bisa dilihat hanya sebuah ruang besar yang membisu menyimpan aneka cerita dan kenangan. Mungkin perjalan ngAleut ini pantas disebut sebagai “Nostalgia terindah se-Nusantara” karena semua diajak berimajinasi menembus ruang dan waktu kembali pada masa yang tak teralami yang hanya bisa didapat dari cerita generasi terdahulu…..

 

Ku ingin melangkah, melompat berlari dan terbang bersama kenangan

Melewati awan imaji menuju kisah tak tergambar

Semua bercerita indah dan bahagia

Bagai ditraktir makan sampai diantar pulang…

 

Semoga membuat kita sadar bahwa mendokumentasikan sesuatu baik tulisan maupun gambar akan berguna bagi generasi mendatang…….

 

 

Sumber tambahan : Bandung kilas peristiwa dimata filatelis sebuah wisata sejarah, Pa Katam

Sejarah Film Nasional

Oleh : Nanang Cahyana Al-Majalayi alias Jantje ti Majalaya

Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah & Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu film pertama ini, benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.

 

usmar ismail

 

 

Gambar Idoep tiba di Betawi

 

dokumentasi bioskop orion

 

Tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.

 

Bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi & tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi lokal. Kelas pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat berisik seperti kambing.

 

 

Film Cerita Lokal Pertama

 

Foster Film “Loetoeng Kasaroeng”

 

Film cerita lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika. Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927.

 

 

Film Bicara

 

Foster Film “The Rainbow Man”

 

Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop yang sanggup memasang proyektor film bicara.

 

 

“Terang Boelan”, Film cerita lokal yang “Meledak”

 

Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film “Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena sehari-harinya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.

 

Film Pareh

 

Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan” (1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah. Dan nama Albert Balink tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, dengan judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan.

 

adegan film “Terang Boelan”

 

Film tersebut dibintangi oleh Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film “TB” adalah hasil adaptasi. Kesuksesan TB di pasar menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”

 

R.d Mochtar

 

Miss. Roekiah

 

 

*****

NB: Nah… berhubung 17 Oktober 2010, tema ngAleut: Bioskop2 Bandoeng Tempo Doeloe, Jantje buat Note ini, yg diambil dari http://archive.kaskus.us/thread/3725055 yg telah menjadi arsip Kaskus. Thread tersebut dibuat satu hari sebelum hari Film Nasional ke-60, 30 Maret 2010 dari berbagai sumber internet. Dan Alhamdulillah jadi Hot Thread teratas di Kaskus pada tanggal 30 Maret 2010. Karena mengambil dari berbagai sumber, dari segi keilmiahan suatu data, jadi ditunggu saran & kritikan.

Semoga Catatan ini menambah wawasan kita tentang perfileman Indonesia.

 

~ Jantje ti Majalaya tea ~

Foto : Palagan Bandung

 

Hari ini (12 Oktober) 65 tahun yang lalu dimulailah Palagan Bandung, yaitu ditandai dengan kedatangan Brigade Mac Donald dari Divisi ke-23 Inggris/India di stasiun Bandung.

Kedatangan mereka dikatakan dengan maksud pelaksanaan keamanan dan ketertiban, perlucutan senjata Jepang dan pembebasan internir Belanda, namun pada dasarnya tujuan utamanya adalah mengkondisikan Indonesia agar bisa dikuasai kembali Belanda.

Oleh karena itu untuk selanjutnya, keberadaan tentara Inggris selalu mengalami perlawanan dari penduduk Bandung yang tak kenal takut. Merdeka!

 

oleh : M.Ryzki Wiryawan

The Garden of….. ???

Oleh : Ujanx Lukman

Masih ingat kisah film Titanic, film tersukses dan tertragis pada jamannya? film yang diawali cerita sang nenek tentang kenangannya bersama kapal Titanic sebagai kapal terbesar dan termewah pada saat itu, begitu detail dan lengkap penjelasan si nenek hampir setiap inchi dari sudut kapal ia hafal.

Taman Ijzermanpark yang kini berganti nama menjadi Taman Kubus. Sumber : KITVL

Sok nini carita ah … Tepat pukul 7.30 semua Aleutian berkumpul di taman kubus jl. Ganesha, taman yang dahulu bernama Ijzermanpark untuk menghormati  jasa dari Dr. Ir. J. W. Ijzerman dalam pendirian THS (Technische Hoogeschool) nama ITB dahulu.  Perjalanan kali ini tidak semuanya melewati taman tapi juga melewati perumahan ideal jaman dahulu seperti Frisiastraat (jl. Sultan Tirtayasa) dimana saat itu kawasan ini banyak tumbuh pohon Cassia Multiyuga yang terlewat rimbun, untuk menjadikannya indah dan menyatu dengan komplek perumahan maka pihak Gemeente  memodernisasi dengan membuat betonan rendah sebagai batas pekarangan rumah, sebuah ‘gazon’ (lahan rerumputan) terhampar di kiri kanan jalan sedangkan pekarangan rumah ditanamai pohon cemara  dengan jarak tertentu. Karena tertata rapi dan indah sehingga pada jaman dulu warga kota Bandung sering berjalan-jalan ke Frisastraat hanya untuk menikmati keindahan lingkungannya. Berlanjut keperumahan Gempol, kami disambut dengan kupat tahu Gempol yang terkenal itu. Hanya terlihat beberapa sisa-sisa rumah jaman dahulu yang masih berdiri terhimpit modernisasi.

Lalu apa hubungannya dengan perjalanan ngAleut taman kali ini dengan kisah Titanic? berawal dari sebuah pertanyaan mengapa kita harus mengenal sejarah? apalagi sejarah yang ada di kota Bandung kebanyakan peninggalan Belanda. Pertanyaan yang membuat ‘gatal’ untuk dijawab pada saat sharing, namun ditahan karena untuk bahan tulisan notes ini.

‘I fly…’ (sambil diirigi lagu “my heart will go on”)

Mari kita awali dengan film Titanic,  dimana kita bisa tahu akan sejarah kapal terbesar dan termewah yang pernah dibuat, lalu dari situ kita tahu akan keadaan dan suasana kapal. Apabila tidak dicari tahu akan sejarahnya mungkin tak pernah akan tahu ada kapal semewah itu, kisah romantis yang dibintangi Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet yang tragis, batu permata yang sangat indah dan mahal serta lukisan Kate Winslet yang …??

So, apa yang bisa dipetik dari peninggalan Belanda yang ada di kota Bandung? banyak pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat yang bisa diambil. Kita lihat dari berbagai sudut pandang yang akan membuka pikiran dan hati bahwa dalam membuat sesuatu Belanda selalu memperhitungkan dampak bagi mereka sendiri dan lingkungan, mulai dari ‘brandgang’ (kata Indy sih lorong kecemasan) suatu lorong atau jalan dengan lebar sekitar 3-4 meter yang berguna untuk jalur evakuasi apabila terjadi kebakaran atau bencana alam. Itu peninggalan Belanda kalau sekarang masyarakat kita bagaimana?? coba lihat di bawah jalan layang Pasoepati, saking padatnya kawasan tersebut jalan hanya tersedia paling 1-2 meter saja, cukup untuk lewat 1 orang atau untuk satu motor, tak terbayangkan apabila terjadi kebakaran atau bencana alam kawasan tersebut akan menjadi kuburan massal.. ihh ngerii… Apakah kita tidak bisa belajar dari peninggalan Belanda??

Kepadatan rumah di Balubur .. inzet : Brandgang

Selanjutnya tentang suasana kota yang dirancang sedemikain rupa sehingga membuat nyaman penghuninya, jalan-jalan dirancang dengan presisi dan sesuai fungsinya. Dahulu pemerintah Hindia Belanda menerapkan denda kepada setiap warganya yang membuang sampah sembarangan dan setiap pagi jalan-jalan dibersihkan serta ada kendaraan yang menyiramnya supaya tidak “kebul”. Lalu bagaimana sekarang? sebenarnya teu tega nulisna, tapi lihat saja pada gambar, siapa yang mencoret papan petunjuk jalan yang sangat berguna bagi wisatawan yang datang dari luar kota? pasti bukan orang Belanda yang melakukan tapi teman kita yang mengaku ‘Bandung aink kumaha aink’

Suasana kota

Nini ari tatangkalan kedah nu kumaha nu kudu dipelak??  Pohon yang ditanam di pinggir jalan, harusnya mempunyai akar menancap ke dalam tanah sehingga apabila ada perbaikan jalan atau trotoar tidak mengganggu pohon tersebut. Tetapi sekarang banyak ditemui pohon yang ditanam mempunyai akar yang menyembul ke permukaan jadinya….

Pohon dengan akar menancap ke tanah.

Penjelasan diatas hanya sebagaian pelajaran yang bisa diambil dari sejarah dan peninggalan di kota Bandung, semoga kisah dan peninggalan tersebut tidak stragis dalam film Titanic yang hilang tenggelam ditelan lautan. Jadi ketika ada orang yang bertanya siapa Daendels tidak kita jawab dengan merk sepatu Cibaduyut. Atau ketika anda ikut kuis dan diberikan pertanyaan nama sungai terpanjang anda bisa menjawab sungai Cikapundung karena melintasi Asia dan Afrika.. dengan mimik muka serius tentunya.

Semoga semua peninggalan yang tersisa di kota ini dapat dilestarikan dan digali terus informasinya, sebagai pengetahuan untuk generasi mendatang sehingga mereka tahu arti penting sejarah dengan bukti nyata. Jadi ketika diceritakan tidak diawali dengan kata “dulu…”      ..tah kitu ceuk nini teh.

Pembangunan bukan hanya wujud kemegahan, tapi sebagai representasi dari pembangunnya. Tak hanya indah dan menguntungkan tetapi sesuai dengan fungsinya sebagai sebuah kota, tempat tinggal yang nyaman bagi warga maupun tamu yang berkunjung .. semoga membuat kita sadar “Teu ku urang rek ku saha deui

Beramai-ramai di Ulang Tahun Bandung

Oleh : Ifa Paramitha

Minggu pagi itu terasa sangat segar. Dukungan cuaca yang cerah juga turut menyemarakan akhir pekan di penghujung September 2010. Dalam rangka memperingati HUT ke 200 Kota Bandung yang jatuh sehari sebelumnya, kami menyusuri jejak Bandung tempo dulu dengan jalan-jalan di sekitaran wilayah kota tuanya di tahun 1920-1940an. Bandung memang terkenal sebagai kota paling Eropa se-Asia, maka ga heran kalau banyak nuansa Eropa di bangunan-bangunan tua di ibukota Jawa Barat ini.

Perjalanan dimulai dari jalan Asia Afrika yang termasuk rangkaian jalan raya pos, jalan yang dibuat pada zaman Daendles untuk menghubungkan ujung timur dan barat Pulau Jawa.  Pusat kota terletak di jalan ini setelah sebelumnya sempat bertempat di Dayeuhkolot dan Cipaganti.

Patokannya adalah titik 0,0 yang ada di depan Gedung Bina Marga. Disana ada batu putih berukuran sekitar satu meter bertuliskan Bdg 0,0 dengan CIN 18 di sisi kiri dan PDL 18 di sisi kanan. Ini menandakan jarak Cileunyi dan Padalarang masing-masing 18 km ke arah utara dan selatan dari titik itu berada.

Kami berkumpul di Gedung Merdeka. Gedung ini merupakan tempat mewah di zamannya dan terkenal dengan sebutan Sociated of Concordia karena menjadi tempat berkumpulnya para menir Eropa saat itu. Selain sekedar kumpul untuk ajang sosialisasi, biasanya mereka menonton teater. Ruangan yang dipakai adalah sebuah aula besar yang pada tahun 1955 sempat digunakan saat Konferensi Asia Afrika (KAA). Pot bunga, meja, dan kursi yang digunakan saat itu masih ada lho sampai sekarang.

Tepat di seberang Gedung Merdeka, ada gedung yang sedang direnovasi bernama De Vries. Dulu, tempat ini bisa dibilang adalah sebuah toko berkonsep mal. Zaman itu, memang belum lazim ada toko yang udah punya toilet di dalamnya. Dan seperti gedung tua lainnya, De Vries juga punya ruang bawah tanah dan ruang kecil berjendela di atap yang menyembul dari deretan genting. Kini rencananya, gedung yang beberapa waktu lalu sempat tidak terurus itu akan menjadi bank.

Lanjut ke arah selatan, ada dua hotel yang menjadi saksi sejarah KAA, yaitu Savoy Homann dan Grand Preanger. Preanger telah mengalami proses pemugaran dengan ciri khas art deco Eropa oleh arsitek Schoemacker dengan Presiden Soekarno sebagai asisten juru gambarnya.

Di Preanger juga ada lampu gas yang hingga kini masih ada tergantung di sisi ujung hotel bagian atas.

Bandung berada di peringkat 9 kota art deco sedunia. Bahkan Paris saja berada di peringkat 10. Maka ga heran kalau aktor sekelas Charlie Chaplin pernah berlibur di Bandung dan mengina di Hotel Savoy Homann. Kini, kamar Chaplin masih ada dan ga disewakan. Kedua hotel ini memang terkenal sebagai hotel yang sangat berkelas, sehingga para pribumi pun kadang sering bertanya-tanya kapan bisa menginap di sini.

Homann dan Preanger merupakan tempat para delegasi KAA menginap. Sebutan  historical walk pun lahir karena mereka berjalan kaki dari hotel menuju Gedung Merdeka tempat konferensi dilaksanakan.

Kaki-kaki kami kemudian beranjak ke jalan Braga. Di hadapan kami terbentang gedung berbentuk kaleng biskuit bernama New Majestic. Dengan masih mempertahankan ornamen lokalnya, yaitu ukiran Batara Kala di atasnya, tempat ini kini berfungsi sebagai gedung kesenian. Batara Kala sendiri merupakan tradisi Hindu untuk menangkal aura negatif. Di Bandung, ukiran ini ada di dua bangunan: New Majestic dan Landmark. Namun untuk yang di Landmark, Batara Kala diukir tanpa rahang bawah.

Sebelum kemerdekaan, gedung yang sempat bernama Asia Africa Cultural Center (AACC) ini merupakan lambang ras Belanda. Saking prestisiusnya, pernah ada tulisan “terlarang bagi anjing dan pribumi” di dindingnya. Wow!

Setelah merdeka, AACC jadi bioskop. Zaman Susanna terkenal dengan peran hantu sundel bolong tahun 1980-an, AACC jadi bioskop khusus dewasa yang nayangin film-film syur.

Tepat di sebelah New Majestic, ada gedung tua yang sangat tidak terurus. Padahal dulunya tempat ini, Oubon Marche, adalah toko pakaian elit yang stok barangnya dikirm langsung dari Perancis. Bangunan bercat putih pucat ini punya dua lantai. Bagian dalamnya sangat berantakan dengan barang bekas dan kayu-kayu tua. Semakin ke dalam, semakin gelap dan hanya ada sedikit cahaya matahari mengintip dari celah bekas jendela. Tangga menuju ruang atas juga terlihat rapuh. Saking tua dan tidak terurusnya, di dinding depan ada akar pohon yang menjalar. Cocok sebagai tempat uji nyali.

Di seberang, ada bangunan bernama Sarinah yang ditutup beberapa seng  yang berjajar di depannya. Dulu, Sarinah adalah toko serba ada.

Sistem blok di Braga menggunakan sistem kepemilikan sewa atau beli. Satu blok bisa menampung dua toko. Hal ini bisa dilihat dari atap-atapnya yang simetris.Braga memang surganya toko pada zaman itu maka ga heran kalau kawasan ini menjadi pusat denyut ekonomi kelas atas yang superkaya. Untuk beli es krim saja, para noni berpakaian gaun dan yang cowok pakai tuksedo. Kebayang kan betapa elitnya Braga tempo dulu. Bahkan kawasan ini juga menyediakan ladang prostitusi para wanita indo di jalan Kejaksaan.

Di persimpangan Braga-Naripan, ada bangunan yang kini menjadi Bank Jabar. Dulu tempat ini berfungsi sebagai bank juga, namanya Denisch Bank.  Sama seperti Hotel Yamato di Surabaya, bank ini menjadi saksi bisu dirobeknya bendera Belanda.

Kota kembang ini punya sepuluh instalasi perjuangan heroik rakyat Bandung. Salah satunya berada tepat di depan bank ini. Harusnya bunga Patrakomala, namun akibat ulah tangan-tangan iseng, bunga itu kini hilang dan hanya tersisa rantingnya.

Kini, kami berada di jalan Braga yang dilapisi batu andesit. Entah karena pemeliharaan dari pemkot yang kurang terjamin atau memang para pengguna jalan yang jorok, batu-batu itu banyak yang rusak. Sedikit retak dan ada yang pecah.  Padahal harganya kan ga murah ya. Sangat disayangkan.

Oke, kembali ke bangunan tua. Kini kami berhenti di depan kantor administrasi perusahaan gas negara. Penerangan saat itu memang menggunakan gas, bukan listrik. Gas disalurkan ke setiap rumah. Lampu gas yang ada di Hotel Preanger itu juga sumbernya dari sini.

Berjalan sedikit ke depan, ada minimarket Alfamart. Kebetulan sebagian dari kami merasa haus dan memutuskan belanja minum sebentar di sini. Beranda yang unik, foyer mungil, dan ubin yang masih mempertahankan keaslian bangunan asalnya  membuat tempat ini nyaman dan tidak tampak seperti minimarket kebanyakan.

Selesai dengan urusan minum, kami melangkah menyebrangi Jalan Lembong. Dulu jalan ini bernama Jalan Rumah Sakit Lama karena memang ada rumah sakit di dekat Hotel Panghegar. Rumah sakit ini kemudian pindah ke Rancabadak yang kelak menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin. Lembong sendiri merupakan nama seorang kolonel yang gugur dalam pertempuran melawan Westerling.

Di sebelah kiri, terdapat bangunan bernama Landmark yang juga punya ukiran Batara Kala seperti New Majestic. Di depannya, trotoar ga langsung beratapkan langit, tapi ada semacam atap yang menjorok ke atas. Arcade ini dibuat seperti konsep jalanan di Eropa.

Bank Mandiri di sebelahnya dulu sempat menjadi pom bensin. Dipisahkan oleh rel kereta api, di sebelah kanan bank ada bangunan dengan desain sangat Eropa yang anti matahari. Jendelanya dipasangi besi kecil warna-warni. Dulu pernah menjadi pabrik minyak. Kini tempat itu sedang dalam tahap penjualan. Sempat menjadi kantor residen, polda, sekolah, dan event organizer.

Bersisian dengan bangunan itu, ada gedung tinggi yang sempat menjadi gedung pemerintahan Jawa Barat hingga tahun 1970an sebelum pindah ke Gedung Sate. Bangunan itu kini digunakan sebagai Gedung Kerta Mukti

Tepat di seberangnya, berdiri Bank Indonesia (BI). Tahun 1909, lahan BI ini merupakan lapangan kosong tempat anak muda berkumpul. Selain sebagai pusat lifestyle, tempat ini juga kerap dijadikan ajang pamer mobil. Kalau sekarang, sekelas lah ya dengan gelaran Djarum Black Car yang suka diadain di Gasibu.

Lanjut lagi ke Taman balaikota. Dulu taman ini disebut taman raja soalnya suka dipake ngaso anak-anak yang sekolah di seberang taman ini (sekarang SD Banjarsari). Selain itu, di sini juga sering banget dipake kegiatan marching band, balapan sepatu rida, atau modern dance. Ada juga gazebo babacong, sebuah tempat mirip kerangkeng yang dipake buat orkes militer. Di dekat gerbang sana juga teronggok patung badak putih. Konon badak itu dulunya suka mandi lumpur disitu.

Beres duduk-duduk dan foto di taman balkot, kami nyebrang jalan merdeka. Melewati mapolwltabes yang saat itu lagi banyak motorl diparkir di halamannnya. Kirain jadi showroom motor. Oh ternyata itu motor sitaan hasi menjaring geng motor di malam sebelumnya. Yah..kepada yang tertangkap, saya ucapkan selamat! Selamat merana!

Setelah menyusuri Jalan Jawa, kami belok ke jalan Sumatera di seberang SMP 5 dan SMP 2. Di ujung jalan ini ada gedung Balai Keselamatan yang merupakan jaringan organisasi sosial internasional. Sistem keanggotaan yang dipakai berdasarkan pangkat. Unik deh ya. Sekarang gedung  yang dibikin sama orang Inggris ini jadi panti asuhan berbasis agama.

Di jalan ini juga ada Taman Lalu Lintas yang jadi taman bermain wajib bagi anak-anak masa kini. Masa itu, taman ini dijadikan tempat latihan para tentara. Kayak baris berbaris, dll. Kemudian taman ini dijadikan sebagai taman pendidikan lalu lintas bagi anak-anak. Nama Ade Irma Suryani Nasution diabadikan jadi nama taman ini setelah dia gugur saat peristiwa G30S/PKI. Taman ini cocok untuk belajar lalu lintas sebelum menjalani tes bikin SIM.

Daerah ini juga jadi kawasan militer karena saat itu memang ada wacana untuk pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung. Alasannya, Bandung punya pertahanan alami karena dikelilingi gunung. Oleh karena itu, mulailah pembangunan pertahanan militer dilaksanakan. Di Cimahi ada garnisun penjara, di Kiaracondong dibangun pabrik senjata Pindad, di Gatsu ada perumahan militer, di Jalan Aceh ini dibangun istana komandan militer yang kini jadi markas Kodam III/Siliwangi. Tapi…karena ada krisis pasca Perang Dunia 1, pemindahahan ibukota itu dibatalkan.

Di belokan sana, ada taman Maluku yang terkenal dengan patung pasturnya. Menurut cerita yang beredar, dia adalah seorang rohaniawan militer Belanda yang posisinya suka berubah. Entah lah..

Di sekitaran ini juga ada lapangan tenis Maluku yang melahirkan juara Wimbledon junir, Angelique Wijaya.

Sedikit berjalan ke depan, ada bangunan dengan tiga patung Atlas yang sekarang dipakai jadi Kodiklat. Namanya Jaarbeurs. Hingga tahun 1941, Jaarbeurs ini semacam bursa tahunan seperti pekan Raya Jakarta.  Masjid yang ada di komplek ini dulu berfungsi sebagai gudang. Pos penjagaan di gerbang depan itu dulunya loket pembelian tiket Jaarbeurs. Sayangnya, Jaarbeurs dihentikan dan mati saat masa penjajahan Jepang.

Di seberangnya, ada lapangan Saparua yang sempat fenomenal di era 90-an. Tempat ini jadi saksi sejarah pergerakan scene musik undergorund Bandung. Jadi ga heran kalo Saparua dulu jadi tempat paling representatif untuk para anak muda Bandung. Berbelok ke kiri Jalan Banda, terdapat bangunan tua lagi berupa gereja katholik bebas yang udah ada sejak Natal tahun 1916. Dulu pernah jadi pusat teosofi.  Gereja S. Albanus ini sekarang buka kursus bahasa belanda.

Perjalanan pun telah sampai di penghujung cerita. Kami istirahat di Taman Lansia sebelah gedung Pos Indonesia di Gedung Sate. Kebetulan saat itu kegiatan pasar kaget gasibu masih berlangsung ditambah suara latihan marching band , membuat suasan jadi makin ramai. Taman ini adem sekali dengan pohon gede yang tumbuh menjulang. Kenapa pohon ini bisa tumbuh sedemikian rindang di tengah kota? Ga lain dan ga bukan karena adanya kanal buatan yang sengaja dibuat untuk mengairi pohon-pohon ini. Sebuah sistem sederhana. Ga kaya sekarang yang riber mesti ada mobil khusus penyiram tanaman yang mondar-mandir di jalanan.

Akhirnya, usai sudah  kisah menyusuri sejarah Bandung versi kota tua hari itu. Sungguh seru berjalan kaki di tanah priangan ini. Bertahun-tahun melewati jalan yang sama, tapi baru ini saya nyadar betapa indahnya si Bandung kalau diamati dan ditelisik lebih dekat.

Selamat ulang tahun, Bandung! Semoga dirimu yang sudah berusia tepat dua abad ini dapat menjadi kota bijak yang selalu menyenangkan dan tidak mengada-ada. I love you more!

-ifa. 2010-

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑