Month: September 2010

Tantangan di @Komunitas Aleut

Oleh : Su Hendi

Menyambut 200 tahun kota bandung 25 September 2010, kesan yang coba saya tulis disini mengikuti kegiatan pertama kali di @komunitas aleut pada treking Braga – Gd. Sate adalah ;

Satu dari sekian tempat untuk kumpul dan bersosialisasi peradaban (sejarah dan etika) serta penuh keakraban itu yang bisa saya tangkap pertama ikutan ngAleut (jalan-jalan bersama). Ada perbedaan, tapi itu bukan masalah di tempat ini, karena beda itu menjadi solusi dan penambah wawasan dalam berpikir, sekaligus media sharing pengetahuan karena tiap orang mempunyai cara berbeda untuk belajar dan memahami sesuatu (sejarah kota Bandung atau banyak hal entah itu suatu tempat, fotografi, budaya, film, tokoh dsb). Di ngAleut kita bisa dapatkan semua itu, jadi buat Aleutian yang punya wacana dan ilmu pengetahuan jangan pelit yach untuk membaginya semoga selalu ditambahkan ilmu dan manfaatnya!!!. Amieenn…

Sesuatu yang paling menarik dari banyak (artinya sungguh-sungguh menarik di @komunitas aleut) mencoba memberi kesan dan pesan setelah kita mengikuti kegiatan tersebut, dari aleutian yang banyak tersebut kita akan banyak pula mencoba untuk belajar menyimak (mendengarkan apa yang aleutian ungkapin) baik itu tentang bandung, tentang @komunitas aleut atau apapun terserah mereka berdasarkan cara masing-masing memandang sesuatu saat ngAleut. Ini sebuah “tantangan” karena menyimak orang lain sedang berbicara dan tidak berbicara sendiri itu bukan sesuatu yang mudah, apalagi bila merasa ada yang “beda”. “Tantangan” lainnya adalah bagaimana membuat diri kita mengikuti prosedur atau aturan atau rambu-rambu yang ada, adakah anda punya nyali dan keberanian untuk itu??? (berjalan dan menyeberang di tempat yang telah di tentukan salah satu contohnya,….hehehe,…. r u ready?) dan “tantangan” lainnya siap dihadapi. 

jalur ngAleut

NgAleut 200 thn Bandung

Oleh : Nara Wisesa

Bandung oh Bandung… Untuk yang belom tau, weekend ini Bandung ceunah mah berulang tahun yang ke 200 loh! Jadi hometown ku tercinta ini, yang selalu dikangenin dan dirindukan kalau saya lagi menghilang merantau, ternyata eh ternyata udah berumur 2 abad!! Lebih tua dari kura-kura Galapagos yang tertua loh!! (Kura-kura Galapagos tertua yang diketahui berusia 170 tahun… loh, kenapa Bandung jadi dibandingin sama kura-kura?)…

Wilujeng Tepang Taun Bandung!!!

Jadi udah dua abad berlalu sejak Daendels menancapkan tongkat di lokasi yang sekarang menjadi Kilometer 0 Bandung di Jl. Asia Afrika, memberikan komando yang kemudian menjadi awal terbentuknya kota Bandung… Dan di lokasi tersebut pula perjalanan hari Minggu ini dimulai… Eh, sebenernya beberapa ratus meter dari situ sih, tepatnya di depan Gedung Merdeka…

Kilometer 0 Bandung

Tapi kita rewind dikit dulu, pagi-pagi setelah meninggalkan cigadung dengan diselimuti hawa dingin lembab sisa hujan semalam, saya pun menuju dago berbekal sepasang kaki, sebuah kamera dan duit secukupnya, untuk (akhirnya) melihat, seperti apa sih bandung car free day iyang katanya diadakan tiap minggu jam 6-10 pagi dari simpang dago sampai jembatan pasupati… Padahal udah lama banget pengen liat tapi kesiangan mulu, heuheu… ;p

Dari simpang dago memang sudah terasa perbedaan, terlihat beberapa sepeda berseliweran, tapi sempet bingung, koq masih ada mobil yak?? Oh rupanya yang ditutup mulai dari belokan dayang sumbi, dari situ Dago pun berubah menjadi cycling & pedestrian area… Cukup kagum juga sih liat Dago yang biasanya notabene penuh mobil, berubah jadi penuh orang jalan/lari dan sepeda…  ME LIKEY!!!!

Dago pada saat Car Free Day… coba tiap hari kayak gini
di depan SMAK Dago… yang biasanya penuh sesak sama mobil…

Coba ini setiap hari, gak cuma minggu pagi doang…. *ngarep*… Setelah jajan bapau ayam buat sarapan, saya pun melanjutkan perjalanan ke Jalan Merdeka, dengan si Kalapa-Dago yang jaman SMA dulu merupakan salah satu tunggangan setia saya… udah lama gak naik, sempet kelewatan sampe Lengkong Besar, haha…

Sekitar jam 7.45an (kayaknya sih… gak liat jam soalnya), akhirnya saya mulai mengikuti ngaleut saya yang pertama! yay!! Walau sebenernya rute yang ini udah beberapa kali dilewatin bareng sama Indra, tapi baru sekarang rame-rame gini… mental seksi dokumentasi (baca: tukang foto) pun langsung kambuh, jepret sana-jepret sini, jadi aja gak dengerin penjelasan para pemandu yang beraksi *maap ya teman-teman pemandu aleut yang terhotmat…* >.<

NgAleut heula ah!

Yang pasti rute ngaleut pagi itu dimulai dari depan pintu masuk museum KAA (asli, ngerubun di depan pintu masuk, untung belom buka, heuheu) sambil berkenal2an (sembari gak kedengeran karena dapet soundtrack dari traffic jalan asia-afrika yang udah mulai heboh), trus seneng liat ada juga yang dateng pake sepedah, maklum, mantan pesepeda yang lagi kangen ngegowes… ;p

Sambutan dari saudara Indra Pratama

Pasukan kemudian berangkat ke tugu Kilometer-0 (one of the coolest spot in bdg, IMO), Hotel Preanger, backtrack lewatin Homann menuju Braga, berenti depan Majestic, masuk ke gedung di sebelah Majestic yang katanya dulu bekas fashion designer gitu (biar rada-rada serem tapi keren abis lah liat dalem situ, apalagi liat akar-akar pohon yang nembus/ngerambat di tembok deket pintu masuk).

Nah, inilah tugu kilometer 0!
di depan Preanger
Kuke asyik motret dari depan Homann – lebih heboh pose fotografernya daripada yang dipotonya ;p
di seberang Majestic
di dalemnya bekas toko fashion itu… kinda spooky but was quite cool!

Lanjut ke lokasi perobekan bendera (tapi gara-gara di sebelah tugu peringatannya ada mobil yang dipajang, orang yg lewat kayaknya ngira ini lagi pada narik undian)…

Lokasi perobekan bendera

Dari situ pun kita berlanjut menyusuri gedung Braga sembari membahas gedung-gedung dan sejarahnya (kayaknya sih… lagi2 sibuk jadi mat kodak jadi gak meratiin bener :p tapi dapet beberapa foto yang lumayan lah, hehe..), memberanikan diri menyebrang perempatan lengkong, melewati gedung Landmark, melintasi rel kereta api (sambil popotoan – kids, DON’T DO THIS!), penjelasan sebentar di depan gedung BI (yang baheula merupakan lapangan tempat anak-anak mobil jaman belanda pamer mobilnya, “Gaol Bangetss” ceuk Indra mah) lalu kita pun menuju Taman Balai Kota, sebuah taman kota yang cukup okeh dan nyaman di Bandung, untuk beristirahat dibawah teduhnya pohon-pohon beringin (meureun… sotoy abis..) di depan kerangkeng yang ceunah dulunya tempat brass band tentara belanda bermain musik menghibur pengunjung taman…

menyusuri Braga
di depan gedung Perusahaan Gas negara
mempertaruhkan nyawa menyebrang jalan Lembong
JANGAN DITIRU!!! Kids, DON’T DO THIS!

Setelah beristirahat sebentar (dan diancam untuk ikut kuis dadakan dengan pertanyaan, siapa nama bapaknya Indra?), pasukan Aleut (kalo kata Kuke mah “Aleutians”) bergerak menuju jembatan yang menyebrangi jalan merdeka, untuk melanjutkan perjalanan ke arah jalan Jawa, kemudian belok ke arah Taman Lalu Lintas (lagi-lagi seperti biasa keteteran jauh di belakang pasukan utama gara-gara asik jepret sana jepret sini) sampai kemudian berhenti di perempatan depan KODAM Siliwangi (bener kan ya?) dan membahas berbagai aspek sejarah daerah tersebut (termasuk tentang sang panglima belanda yang dulu dibangunkan oleh marching band tiap pagi untuk sekedar dadah-dadah dan tidur lagi)…

Beristirahat di BalKot
Foto keluarga di BalKot
Di seberang SMP 5

Perjalanan dilanjutkan menyusuri Taman Maluku (ayo ngaku siapa yang dulu pernah beroperasi disitu sebelom dikerangkeng! ;p) menuju Jaarbeurs yang dulunya merupakan tempat pekan raya jaman belanda, dimana diatasnya ada patung Atlas buligir yang membuat bu Wiwit kesengsem… setelah break sebentar (ada yang duduk, ada yang sepedahan, ada yang popotoan, ada yang beli kacang rebus), perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan Banda (sempat menyabung nyawa menyeberang jalan Riau) dan menuju Gedung Sate…

Di Seberang Jaarbeurs
Jaarbeurs bersama trio Atlas

Saat melintas gedung sate, melihat “sate” nya pun terpikir (baca: ide-ide aneh muncul di otak), kenapa disebutnya sate ya? padahal kan tajemnya keliatan sementara “daging”nya dibawah… dimana-mana sate kan tajemnya ketutupan sama dagingnya… eh tapi masuk akal juga sih, itu kan gedungnya udah lama, jadi pasti lama-lama dagingnya melorot ke dasar tusuk sate… (maksudlo naaar??? – geus lah, tong diwaro, keur error, udah lama gak jalan jauh suplai oksigen ke kaki semua jadi otak mulai hipoksia kayaknya mah…)

gedung sate, dagingnya melorot ke dasar tusukan… ;p

Akhirnya, perjalanan pun berakhir di taman kota yang di samping gedung sate (taman cilaki ya kalo gak salah? depannya yoghurt cisangkuy lah yang pasti), dimana Aleutians meluruskan kaki di tanah berlumpur, Bang Ridwan pun bergabung dengan kita disitu dan memberi keterangan-keterangan tambahan… Satu poin yang paling saya anggap menarik adalah mengenai sungai/kanal yang melalui taman tersebut, yang ternyata didesain oleh town planner jaman belanda dulu untuk melalui taman-taman kota di bandung… WOW… Tapi ya gak aneh juga sih, orang2 belanda itu kan emang jawaranya lah soal desain-mendesain kanal…

meluruskan kaki… tapi kakinya pada ditekuk semua..
Salah satu kanal di taman kota dekat gedung sate

Dan disanalah perjalanan minggu ini berakhir, dimana kami pun berbagi mengenai pesan dan kesan tentang perjalanan hari ini, dan harapan untuk bandung ke depannya (sambil diiringi lagu-lagu nasionalis dari marching band yang lagi latihan di gedung sate, jadi, punten we nya,tadi ga kedengeran pada ngomong apa…) Sharing berakhir, pasukan pun foto keluarga – untuk KETIGA KALINYA hari ini, haha 😀

Foto keluarga pamungkas di taman Cilaki 🙂

Ngaleut untuk memperingati ulang tahun bandung ini pun berakhir sudah, untuk ngaleut pertamakalinya buat saya, menikmati banget lah, asik banget menjelajahi kota sendiri bersama-sama! Dan yang pasti, yang saya rasakan, sebenernya Bandung itu enak banget, atau lebih tepatnya, BISA enak banget untuk wisata berjalan kaki, kalau kebudayaan berjalan kaki dibangkitkan dan infrastrukturnya diperbaiki… soalnya percuma juga kalau infrastruktur udah bagus, trotoar dibagusin, lampu merah untuk pejalan kaki diaktifkan lagi, tapi gak dimanfaatkan dengan baik, akhirnya paling rusak percuma lagi… jadi, ayo kita lebih sering jalan kaki!! 😀

Kampung Mahmud, yang tak pernah tenggelam

Oleh : Ujanx Lukman

Apa yang terjadi bila hujan mengguyur kota Bandung?? Pasti akan terjadi banjir, baik itu “cileuncang” maupun lebih besar lagi “banjir bandang” di Dayeuh Kolot dkk. Namun ada satu Kampung walaupun hujan deras dan sungai Citarum “caah” Kampung ini tetap selamat dan tidak terkena banjir, baik itu “cileuncang” maupun “banjir bandang”.. Tanya kenapa??

Kampung Mahmud, nama yang cukup terkenal sebagai suatu kampung adat, kata Mahmud sendiri berasal dari kata bahasa Arab Mahmuudah yang artinya pinuji atau puji. Kata puji sendiri tidak sama artinya dengan terpuji, tetapi berarti reueues atau deudeuh atau kasih sayang yang ikhlas. Pendiri kampung Mahmud adalah Sembah Eyang Dalem Haji Abdul Manaf. Beliau berasal dari keturunan ke-8 wali Cirebon yaitu Syarif Hidayatulloh. Kampung Mahmud didirikan sekitar abad 15 Masehi. Beliau meninggalkan kampung halamannya menuju Mekah dan tinggal di sana. Sampai suatu saat, beliau memutuskan kembali ke tanah air. Sebelum pulang beliau mendapat firasat bahwa tanah airnya akan di jajah bangsa asing (Belanda). Oleh karena itu sebelum pulang beliau berdo’a di suatu tempat yang disebut Gubah Mahmud, berdekatan dengan Masjidil Haram.

Suasana Kampung Mahmud

Dalam do’anya, beliau memohon petunjuk agar dapat kembali ke tempat yang tidak akan tersentuh oleh penjajah. Kemudian petunjuk yang diyakininya sebagai ilham mengisyaratkan bahwa beliau akan tinggal di tempat yang berawa. Kemudian beliau pulang dengan membawa segenggam tanah karomah atau tanah haram dari Mekah. Sesuai petunjuk yang didapat dari Gubah Mahmud, beliau mencari rawa. Pencarian berakhir setelah ditemukannya lahan rawa yang terdapat di pinggiran sungai Citarum yaitu daerah Bojong. Rawa tersebut ditimbun bersamaan dengan tanah karomah dari Mekah, kemudian rawa tersebut berubah menjadi lahan yang layak untuk sebuah perkampungan. Udah dulu cerita asal usulnya ahh.. karena banyak cerita “kearifan” yang terkandung di Kampung ini.

Sebelum dilanjutkan mari kita berkenalan dengan Bapak H. Syafei yang akan banyak bercerita tentang Kampung Mahmud, dengan gaya khas orang sunda yang “resep banyol” beliau menceritakan tentang larangan dan kearifan kampung ini. Karena berbahasa sunda di-translate aja biar enakeun.

Bapak H. Syafei Sesepuh Kampung Mahmud

Dikampung ini banyak larangan diantaranya dilarang membuat sumur, gedung (bangunan tembok), kaca, memelihara domba dan itik (meri), membuat bedug dan yang terpenting jangan “sompral” (berbicara menantang). Lalu apa yang terjadi apabila ada larangan yang dilanggar ??. Pernah ada seorang warga pendatang yang menikah dengan warga asli Kampung Mahmud lalu membuat rumah dari tembok, ia menjadi sakit dan kakinya tidak bisa ditekuk. Ketika berobat kepada ahli hikmah dan ulama (bukan dukun kata pa H. Syafei) sakit ini (syareatnya) dikarenakan melanggar larangan yang ada di kampung Mahmud, karena bingung dan tidak mau membongkar bangunan rumahnya ia sakit selama 1 tahun dan akhirnya meninggal (..hanya Tuhan yang tahu soal ini).  Cerita selanjutnya dulu sungai Citarum masih bersih dan bening sehingga masyarakat dilarang membuat sumur, pernah ada satu keluarga nekat membuat sumur yang akibatnya mereka terserang kolera, untuk menyembuhkannya sesepuh disana menganjurkan untuk mengaji khatam (tamat) Al-Qur’an di makam Eyang Dalem Haji Abdul Manaf tak lama kemudian langsung sembuh. Tapi larangan membuat sumur tidak berlaku saat ini karena sungai Citarum sudah tercemar, maka diperbolehkan dan tidak mengakibatkan mamala (malapetaka) bagi warga nya. Dan pertanyaan utamanya ialah kenapa Kampung Mahmud selalu terlindung dari bencana banjir? menurut penuturan Pa H. Syafei kampung ini dilindungi oleh Raden Kalung Bima Nagara yang merupakan putra dari Eyang Dalem Dayeuh Kolot yang merupakan perwujudan jin dan manusia berupa ular  (hee.heee rada merinding nulisnya.. soalnya ada fenomena “penampakkan” dari kunjungan kemarin), dimana kepalanya berada di Gunung Wayang dan ekornya ada di Citarum (Sanghyang Tikoro). Beliau ngaraksa, tanggel waler (melindungi, bertanggung jawab) terhadap keturunan dan masyarakat Kampung Mahmud dari bahaya banjir dan tenggelam, oleh karena itu tidak pernah diceritakan ada warganya yang mati tenggelam di Citarum…. Udah dulu ya soalnya banyak cerita mistis yang makin merinding nulisnya nggak sanggup nerusin. Pokoknya inti dari penuturan diatas bahwa selama warga di Kampung Mahmud menjaga larangan mereka bisa terbebas dari bencana banjir Citarum dan mamala (malapetaka) dari karuhun. Pasti ingin diterusin ceritanya yaa.. makin disembunyikan makin penasaran hee.heee…

Setelah puas berkeliling dan makan, Bang Ridwan mengajak kami mengunjungi Curug Jompong salah satu “peninggalan” yang dibentuk oleh batuan dasit sejak 4 juta tahun yang lalu, sekitar tahun 1930-1950an tempat ini masih menjadi tujuan wisata orang-orang Belanda (karena saat itu air sungai Citarum masih jernih dan bersih). Klo sekarang ???

Curug Jompong sekarang

Curug Jompong pernah akan dihancurkan oleh Pemerintah Jabar untuk mengatasi banjir di Dayeuh Kolot dkk, karena dianggap sebagai salah satu faktor penyebab banjir. Ah biasa eta mah, selalu mencari “Black Sheep” ketika suatu masalah datang bukan mencari solusi, padahal aliran Citarum yang bergerak pelan berkelok-kelok telah ada berribu-ribu tahun yang lalu. Tanyakan dan siapa yang harus sadar?? Karena dari hulu sekitar wilayah Dayeuh Kolot dkk tersebar banyak pabrik dan pemukiman warga yang mencemari sungai Citarum dengan sampah dan limbah jadi apakah itu yang disebut “siapa yang berbuat ia yang bertanggung jawab”, semoga kita dapt mengambil hikmah dari perjalanan ngAleut kali ini.. Asa rada “wise” notes kali ini, mungkin karena “???” dari foto eta kitu..

Terima kasih buat Pa H. Syafei dan seluruh kwan-kawan

Sumber tambahan :  http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/

Apa Buah Kecintaanku?

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Penegasan, bukan pencerahan ^_^ itu yang terlahir setelah mendengar jawaban Tante Lottie (Charlotte Clayton Maramis) atas pertanyaan BR tentang sebentuk rasa cinta yang tumbuh justru teruntuk tanah yang bukanlah tanah kelahirannya sendiri. Kok bisa? Karena apa? Macam apa? Indonesia??

Dua generasi Jurnalis ^_^

Tante Lottie mencintai tanah air kita ini (baca:  Indonesia) melalui pusaran proses berkesinambungan yang tak mudah dan sama sekali tak pernah diniatkan untuk dihadapi, bukan hanya karena cintanya pada Om Anton semata. Berawal dari tumbuhnya empati Sang Ayah yang seorang Nakhoda, terus memenuhi tumbuh kembang pikir dari waktu ke waktu, dan tak berakhir begitu saja meski kisah romantis bersama Sang Suami (Anton Jann Maramis yang asli Manado) harus dilipat dalam kenang karena Om Anton telah lebih dulu berpulang pada 7 April 1999.

Charlotte & Anton Maramis, 18 Januari 1947 *sumber: http://ozip-magazine.com

Sebagai wujud cintanya, bersama Om Anton, Tante Lottie pun menyiapkan warisan berharga untuk generasi muda berkeadaan khusus (baca: keterbatasan penglihatan) berupa sekolah khusus di Manado, Manado School for the Blind. Bukan hanya sekedar menyediakan uang (ketika merayakan ulang tahun perkawinan dengan Om Anton di Manado, beliau berdua memilih tidak menerima kado, melainkan uang sebagai bentuk donasi) dan gedung, tapi juga menyediakan tenaga pendidik dan menyiapkan beberapa generasi muda berkeadaan khusus pilihan dengan mengirimkan mereka ke sekolah khusus pula di Australia. Sekolah tersebut sudah menghasilkan ^_^ maka berkeadaan khusus tak lagi menjadi batasan, berkontribusi bagi hidup dan bangsa ini pun tak lagi hanya bagiannya orang-orang normal.

Dan wujud kecintaan pula namanya jika hingga 2007 Tante Lottie masih terus meninggalkan jejak berupa buku-buku yang tak menanggalkan nama Indonesia.

Echoes Book One: Australia and Indonesia (The story of Anton Maramis and those Australians who assisted in Indonesia’s struggle for independence 1942 – 1949) *sumber: www.myspace.com/charlotte.maramis
Echoes Book Two: My Years in Indonesia 1949-1962 *sumber: www.myspace.com/charlotte.maramis
Life’s Way (yang memuat sosok Fred Wong) *sumber: www.myspace.com/charlotte.maramis

Kalau dipikir-pikir, beruntung sekali Indonesia dicintai sedalam itu oleh Tante Lottie, bisa menginspirasi beliau melahirkan ragam kontribusi yang semata-mata bukan untuk kepentingannya sendiri. Jika mau menelusuri lagi, aku yakin hanya akan ditemukan lebih dari satu Tante Lottie – Tante Lottie lain; mereka yang termasuk dalam kategori ‘orang-orang yang bisa mengintepretasikan kecintaannya dalam bentuk manfaat’.

Lalu, bagaimana dengan aku? Apa buah kecintaanku? Meski aku berani bilang betapa aku mencintai tanah ini, fasih menyanyikan lagu nasional yang kalah populer dengan tembang pop minim kunci nada, apa yang sudah aku berikan padanya? Ya, bukan pada tanahnya itu sendiri, melainkan pada mereka yang tumbuh-&-akan-tumbuh di tanah ini? Apa cukup dengan perjalanan-perjalananku dan geliat berbagi hasil tangkapan dari kamera di media praktis? Apa cukup dengan tulisan-tulisan yang mutunya masih jauh dari awang-awang? Apa cukup dengan menjejali materi Kalkulus, lalu memusingkan dengan seluk-beluk lika-liku pengembangan Software, dan mengakhirinya dengan deretan dongeng Biner? Apa itu yang dibutuhkan?

Lalu bagaimana dengan kamu? Apa buah kecintaanmu pada tanah ini? Sekedar kalimat, “Aku cinta Indonesia” dengan ragam tingkat kehebohan di mulut lalu terpatri di kaus dan status? Sekedar protes kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah mengatasnamakan geliat resah rakyat demi meruahnya segala macam ulah para petinggi?

Aku sendiri belum tahu apa buah kecintaanku yang nyata menguatkan tanah yang terancam dirapuhkan anak-anaknya sendiri dari dalam ^_^ bisa jadi butuh lain orang untuk mengetahuinya. Tapi seperti kataku di awal, keberadaan Tante Lottie bukan lagi sekedar memberikan pencerahan melainkan penegasan jauh di dasar hati. Penegasan untuk tak menanggalkan kecintaan akan tanah ini, pun bukan sekedar menyimpan cinta tanpa wajah ~_~ meski mungkin.. caraku sederhana..

***

bacaan menarik tentang Tante Lottie ada di sini http://ozip-magazine.com/?p=922 dan di sini juga loh  http://www.smh.com.au/opinion/politics/love-in-the-face-of-prejudice-20100423-tj1e.html?skin=text-only ^_^ myspace-nya juga ada http://www.myspace.com/charlotte.maramis

Cinta cinta cinta… Indonesia…

Oleh : Nara Wisesa

“Cinta Cinta Cinta… Indonesia… Negeri Bagaikan Permata… Persada Bermandi Cahaya Gemilang…

Oh Tanah Air Beta… Nan Elok Rupawan… Inilah Senandung Pujaan…” (G.S.P.)

Setelah kemaren ikutan acaranya Komunitas Aleut (nonton bareng dokumenter ‘jadul’ pendek berjudul “Indonesia Calling” dan sharing sama Tante Charlotte “Lottie” Maramis), terus baca tulisannya Indra sama Kuke… Jari jemari yang  padahal ngakunya masih hoream (males) ngetik gara2 disuruh kerja rodi pas periode tesis kemaren, jadi tiba-tiba gatel pengen bergaul lagi dengan keyboard laptop…

Tante Lottie sharing bersama teman-teman Aleut
Dokumenter “Indonesia Calling”

sekilas lebih banyak tentang acaranya bisa diliat disini 🙂 http://www.facebook.com/album.php?aid=2041323&id=1069614412#!/photo.php?pid=31009100&id=1069614412&ref=fbx_album

Di akhir acara kemaren, topik hangat yang terangkat dari pertanyaan/komentar Bang Ridwan ke Tante Lottie adalah mengenai Cinta Indonesia… Mengapa beliau yang notabene seorang “Aussie” bisa memiliki kecintaan sebegitu dalamnya terhadap Indonesia… Asiknya dari pertanyaan ini, dan jawaban dari tante Lottie (yang saya jujur aja gak bisa nulis ulang disini gara-gara kemaren keasikan jepret sana jepret sini), mungkin adalah efeknya ke teman-teman yang berada disana… Sebagai orang-orang yang ceunah mah “pribumi”, asli Indonesia, lahir dan besar di Indonesia, secinta apakah kita terhadap Indonesia?

Terus saya jadi mikir (jadi ajah otak ngebul, udah lama gak dipake mikir soalnya)… sebenernya yang perlu kita cintai dari Indonesia tu yang mananya aja yah…

Apakah yang bagus-bagusnya aja; kekayaan alam, semangat juang 45, ke”bhinneka-tunggal-ika”an dan toleransi kita terhadap sesama (walau mungkin akhir2 ini bisa diperdebatkan), kehebatan rekan-rekan kita yang mengharumkan nama Indonesia, lagu-lagu nasionalis sebangsa yang diatas…

Atau apakah kita patut juga mencintai seluruh elemen Indonesia tanpa kecuali… termasuk koruptor2, provokator2, orang2 bejat, pemales dan gak beresnya (mungkin termasuk saya juga ;p), polusinya, kerusakan alamnya, sinetron-sinetron dan lagu-lagu gak jelasnya… Hal-hal yang seringkali membuat kita jadi ‘ilfil’ atau kecewa sama Indonesia…

Kan ada yang disebut “unconditional love”… mencintai sesuatu apa adanya… sisi baiknya maupun buruknya… dalam senang maupun dalam susah… apakah kita juga perlu mencintai Indonesia apa adanya? Bisakah kita dari kecintaan yang apa adanya seperti itu kemudian memperbaiki keburukan yang ada sesuai dengan kemampuan kita?

Apakah “keburukan” itu “mau” berubah?

Jujur aja waktu ditanya sama temen-temen waktu kuliah kemaren tentang Indonesia, saya juga menceritakan tentang kesemrawutannya… ketidak-teraturannya… kesannya jadi kaya saya curhat tentang sisi buruknya Indonesia… (tenang, saya juga cerita yang bagus-bagus koq… ;p)

Anehnya, ada temen yang malah komentar, koq dari cara saya bercerita, saya terkesan bangga atas sisi-sisi buruk itu…

Jadi mikir… apa bener saya suka/bangga dengan keadaan itu… Atau karena saya sudah terlanjur mengidentikkan keadaan itu dengan Indonesia… sebagai bagian yang saat ini integral dengan Indonesia… sebagai sesuatu yang “uniquely Indonesian”…

Herannya juga, sekembalinya ke Indonesia, seakan terseret kembali ke keadaan semula… Mau nyetir baek-baek sesuai peraturan, koq ya mobil-mobil lain pada bikin nasteung (panas beuteung – utk yg gak ngerti silakan tanya orang sunda terdekat ;p)… Mau banyakin jalan kaki atau mau naek sepeda kemana-mana kaya waktu diluar koq ya kaya menyabung nyawa… Udah ngantri sopan-sopan koq ya orang-orang pada nyerobot minta digeplak…

as Leo Tolstoy said, “Everyone wants to change the world, but no one wants to change themselves”

semua orang ingin membuat perubahan di dunia (dalam skala besar)… tapi jarang atau gak ada yang mau mengubah dirinya sendiri…

… but then again… don’t forget Gandhi…

“Be the change you want to see in this world”

jadilah perubahan yang ingin kau lihat terjadi di dunia ini

Jadi gimana ya… mungkin bisa dibilang kalau saya sih menyukai ‘potensi’ yang dimiliki Indonesia… Bagaimana potensi ini bisa terwujud? tentunya kembali lagi ke kita masing-masing… apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan potensi ini… Dan mungkin juga gimana kita bisa bersama-sama memfasilitasi perwujudan potensi ini…

*note: Saya menggunakan kata ‘suka’ karena belum bisa menuliskan kata “cinta” karena saya belom tau juga sampai tingkat pengorbanan seperti apakah yang akan saya rela berikan bagi Indonesia kedepannya…*

Hmmmm… Dari kontribusi saya bagi bangsa kita sejauh ini (halah… kaya yang udah pernah ngasih kontribusi signifikan ajah…)

Saya gak tau juga, apakah saya sudah cukup layak untuk ‘mencintai’ Indonesia…

Jadi gimana? Apakah kita sudah cukup layak untuk ‘mencintai’ Indonesia?

‎”Tanah airku tidak kulupakan… Kan terkenang selama hidupku…

Biarpun saya pergi jauh… Tidak kan hilang dari kalbu…

Tanah ku yang kucintai… Engkau kuhargai…”

“Walaupun banyak negri kujalani… Yang masyhur permai dikata orang…

Tetapi kampung dan rumahku… Di sanalah kurasa senang…

Tanahku tak kulupakan… Engkau kubanggakan…

p.s. mohon maap kalo note nya gak jelas dan isinya loncat-loncat… udah lama gak nulis & udah ampir jam satu malem… *alesan*

Lovely Lottie

Oleh : Naluri Bella Wati

Rambutnya telah memutih dan kulitnya sudah keriput. Usianya memang tak muda lagi.  Tapi sisa-sisa kecantikan masih tergaris di wajahnya. Mengenakan setelan batik berwarna biru, ia tampak sehat dan segar sore itu. Dengan ramah dia menyapa saya dalam bahasa Inggris, “what do you do for study?”. Saya menjawab, “journalism ”. Lalu dia berkata, “great. I was a journalist too”.  Ternyata, Ia telah menjadi jurnalis  sejak tahun 1954. Dari data yang saya dapat, ia merupakan jurnalis di sebuah  koran bernama Indonesian Observer. Koran berbahasa Inggris ini diterbitkan oleh Herawati Diah, istri pemilik perusahaan penerbitan Merdeka Press Muhammad B.M Diah. Ia juga pernah meliput Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955.

Percakapan terpaksa harus berakhir karena kami berdua dipanggil ke ruang tengah. Sore itu, Rabu 15 September 2010, saya dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut mengadakan pemutaran film dokumenter berjudul “Indonesia Calling”. Selain pemutaran film, kami juga kedatangan tamu dari negeri Wood, Charlotte Maramis. Ya, ia adalah perempuan yang sempat berbincang dengan saya tadi. Tante Lottie-panggilan akrab Charlotte Maramis-tidak datang sendiri. Ia ditemani Mas Votti dan Mbak Ratih Luhur, keduanya adalah orang Indonesia yang tergabung dalam AIA (Australia Indonesia Asociation)-sebuah asosiasi yang misi utamanya adalah menjalin persahabatan antara Australia dan Indonesia.    Selain ke Bandung, mereka juga akan mengadakan acara serupa di beberapa kota, yakni Jakarta, Bali, dan Menado.

Tak lama kemudian, film pun diputar. Indonesia Calling merupakan film dokumenter besutan sutradara asal Australia, Joris Ivens. Film yang diproduksi  tahun 1946 ini bercerita tentang pergerakan warga Indonesia di Australia untuk mencapai kemerdekaan. Warga Indonesia-yang mayoritas bekerja sebagai buruh pelayaran- meminta pihak Australia memboykot kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Australia karena membawa persenjataan untuk melawan Indonesia. Tanpa disangka, Australia menyetujui permintaan tersebut. Selain itu, dukungan juga datang dari para buruh asal India, Malaysia, dan China.  Mereka menolak menjadi ABK kapal-kapal milik Belanda. Film berdurasi 22 menit  ini menyuguhkan berbagai adegan pergerakan yang dilakukan para buruh Indonesia di Australia.

Setelah selesai menonton, kami  mengadakan sharing. Tante Lottie memberikan kesempatan pada kami untuk bertanya seputar film atau kehidupannya bersama sang suami, Anton Maramis. Mungkin tidak banyak yang tahu jika Tante Lottie merupakan istri dari Anton Maramis, salah satu pejuang Indonesia yang juga seorang anggota KNIPpada masa  pemerintahan Presiden Soekarno. Anton Maramis adalah warga Indonesia asli Menado yang bekerja sebagai buruh di perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Pada tahun 1942, ia pergi ke Australia bersama kapal Belanda. Di Negara inilah, tepatnya di Sydney,  aktivitas politiknya dimulai. Ia tergabung dalam Indonesian Club-sebuah perkumpulan serikat pekerja Indonesia di Australia. Indonesian Club lambat laun menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi para pejuang kemerdekaan di Australia. Anton Maramis beserta rekan-rekannya mencari dukungan dari warga Australia untuk membantu perjuangan mereka. Di sanalah Anton bertemu dengan Charlotte. Namun aktivitas politiknya di Indonesian Club membuat Anton Maramis  dideportasi dari Australia. pasangan ini pun terpaksa harus berpisah.  Setahun setelah dideportasi, Anton Maramis kembali ke Australia dan menikahi Charlotte.

Karena anggota Aleut yang lain malu-malu kucing, saya pun memberanikan diri untuk  mengajukan pendapat soal film Indonesia Calling. setelah menonton film documenter tersebut, saya baru tahu kalau ternyata warga Indonesia di Australia juga melakukan pergerakan. Selama ini, saya hanya mendengar pergerakan para pribumi yang sekolah di negeri Kincir Angin. Pengetahuan saya tentang masa pergerakan mungkin memang minim, tapi ini kali pertama saya mengetahui kenyataan tersebut. saya kemudian bertanya-tanya: kok jarang sekali ya saya membaca buku sejarah tentang pergerakan warga Indonesia di Australia?  kemana saja saya selama ini?        Atau memang tak ada yang peduli tentang peristiwa tersebut? Ah, entahlah. Setidaknya saya tahu sekarang. Never too old to know, right?

Sharing dilanjutkan kembali. Meskipun Tante Lottie berbicara dengan bahasa Inggris, untungnya ia mengerti bahasa Indonesia. Jadi kami tak perlu repot-repot membuka kamus untuk menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan kami. Sang kordinator, Indra Pratama, lalu  mengajukan pertanyaan pada Tante Lottie. Indra menanyakan pengalaman Tante Lottie sewaktu berpapasan muka di depan toilet dengan Chou En- Lai ketika meliput Konferensi Asia Afrika. Dengan semangat Tante Lottie menceritakan pengalamannya. Meskipun  usianya sudah menginjak kepala delapan, Tante Lottie tetap ingat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mata hijaunya berbinar ketika Tante Lottie menceritakan masa indahnya bersama sang suami.

Bang Ridwan kemudian bertanya mengapa Tante Lottie begitu cinta terhadap Indonesia, mengalahkan kecintaan generasi muda Indonesia pada negaranya sendiri. Tante Lottie lalu menceritakan bahwa kecintaannya pada sesama berasal dari nasihat ayahnya. Bahwa kita ini sama, apapun bentuknya, seperti apapun warna kulitnya. Mendengar penjelasannya, kami langsung terharu sekaligus mendapat pencerahan.

Kecintaan Charlotte Maramis pada Indonesia tak terhenti meskipun suaminya telah berpulang  ke haribaan. Sampai detik ini, ia masih memiliki kepedulian terhadap Negara kita. Salah satu wujud kepedulian Tante Lottie adalah dengan membangun sekolah bagi orang buta di Menado.  Ia juga menulis buku tentang pergerakan yang dilakukan oleh suaminya serta pengalamannya selama hidup di Jakarta. Banyak  sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat saya ambil dari Tante Lottie. Sedikit banyak pasti bermanfaat bagi saya. khususnya mengenai rasa kecintaan dan bentuk kepedulian terhadap sesama.  Thanks for sharing with us, Tante Lottie. Such an honour and how lovely you are =)

Thanks to Mbak Ratih and Mas Votti from AIA.

referensi

www.teman-teman.com

www.ozip-magazine.com

workers.labor.net.au/106/c_historicalfeature_indonesia.html

berbincang dengan Tante Lottie. terima kasih Bang Nara untuk fotonya 🙂
edisi foto keluarga bersama Tante Lottie, Mbak Ratih, dan Mas Votti. terima kasih Mba Kuke untuk fotonya 🙂
sharing bersama Tante Lottie. terima kasih sudah mengabadikan ya Mbak Kuke:)

Sos, Si Jenius penghuni Jalan Pungkur..

Oleh : Indra Pratama

Malam itu Indonesia Mencari Bakat mencapai babak penyisihan untuk tiga besar. Dua dance performer, Funky Papua dan Brandon berada di posisi dua terbawah. Mamah saya yang beberapa bulan terakhir ini mendadak menjadi penggemar bocah kecil imut yang demen ugat-uget breakdance, gak berenti2 ngomel, “Brandon itu jenius, prodigy!, masa harus kalah duluan? jangan laah..”. Berulang kali beliau mengatakan kata-kata jenius dan prodigy sambil merujuk ke si Brandon. Brandon itu memang nampak berbeda untuk ukuran anak seusianya, ia mampu menirukan gerakan-gerakan dance yang dirancang koreografernya yang disusun dengan standar penguasaan olah tubuh dan pemahaman tempo yang levelnya high. Mungkin itulah yang membuat ibu saya berpendapat bahwa anak itu kemungkinan merupakan seorang jenius.

Kata-kata jenius seringkali ditujukan pada orang-orang yang memiliki kemampuan luarbiasa dalam menyerap dan melakukan sesuatu yang dianggap sulit untuk ditiru orang kebanyakan. Seperti Albert Enstein di bidang sains, Salvador Dali di bidang seni surrealis, Derek Trucks kecil di Blues Rock, serta Zinedine Zidane di sepakbola. Orang-orang tersebut dianugerahi kemampuan luarbiasa dalam menyerap dan menganalisis bidangnya, sehingga hasil karya dan skill nya berada di kualitas yang sulit disamai.

Indonesia pun mempunyai jenius-jeniusnya sendiri, seperti BJ Habibie di bidang aerodinamika, Indra Lesmana di Jazz, Soekarno dengan orasi-orasinya serta Indra Pratama dengan kemampuan tidur dn kentutnya. Namun sejarah populer negeri ini jarang yang mengenal jenius yang satu ini. Seorang pria tampan yang merupakan orang nusantara pertama yang berkuliah di luar negeri, menguasai 20-an bahasa asing, hingga nusantara pertama yang menjadi penerjemah tunggal Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations).

Gokil ye.. untuk yang penasaran aja, orang ini bernama Raden Mas Panji Sosrokartono, putra bupati Jepara R.M. Adipati Ario Sosroningrat. Jepara ? apa hubungannya sama Kartini ?. Nah si ganteng Sosrokartono ini merupakan kakak kandung dari ibu kita Raden Ajeng Kartini. Gile ya adek kakak jenius semua, dikasih makan apa ea..

Sosrokartono Muda

Sosrokartono yang di Jepara akrab dipanggil Kartono ini, sejak kecil sudah memiliki kemampuan belajar dan analisis yang istimewa, dan konon bisa meramal masa depan. Nah, berlawanan dengan Kartini yang kecerdasannya harus terkungkung isu gender, kecerdasan Kartono difasilitasi penuh oleh keluarganya tanpa dipingit-pingit. Poor Kartini..

Setelah lulus Eropesche Lagere School di Jepara, ia melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Nah dari sinilah CV akademiknya melambung jauh ketika ia melanjutkan sekolah ke Leiden, Belanda tahun 1898. Mula-mula ia diterima di sekolah Teknik Tinggi, tetapi merasa gak cocok, terus pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau tercatat sebagai mahasiswa pribumi pertama, yang membuka jalan bagi bumiputera2 lain yang ingin melanjutkan sekolah tinggi di luar Hindia-Belanda.

Pembimbing utama Kartono di Leiden adalah Profesor Dr Johan Hendrik Kern, seorang Orientalis. Ia segera menjadi murid kesayang-an Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899.

Kartono membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda). Seruan patriotik agar Belanda mengajarkan bahasanya lebih luas bagi rakyat Jawa itu dimuat di majalah bulanan Neerlandia sebulan kemudian. Mantap!

Kisah gemilang mas Kartono ini berlanjut setelah ia lulus dan memperoleh gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden. Ia pun berkeliling Eropa untuk mencari pekerjaan. Kemampuan luar biasanya dalam mempelajari bahasa  sangat membantunya. Pada tahun 1917, koran Amerika The New York Herald Tribune,yang menerbitkan edisi internasionalnya International Herald Tribune di kota Wina, Ibukota Austria, membuka lowongan kerja sebagai wartawan perang untuk meliput Perang Dunia I. Salah satu tes adalah menyingkat-padatkan sebuah berita dalam bahasa Perancis yang panjangnya satu kolom menjadi berita yang terdiri atas kurang lebih 30 kata, dan harus ditulis dalam 4 bahasa yaitu Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis sendiri. Kartono, tentunya satu-satunya putra nusantara yang ikut melamar, berhasil memeras berita itu menjadi 27 kata, sedangkan para pelamar lainnya lebih dari 30 kata, sehingga akhirnya ia terpilih sebagai wartawan perang surat kabar bergengsi tersebut. Konon beliau semasa hidupnya menguasai 24 bahasa asing (termasuk bahasa Basque) serta 10 bahasa nusantara. Gokil sob!!. Bahkan ada yang bilang bahasa asing yang dikuasainya bukanlah 24 tetapi 27 bahasa!.

Sosrokartono

Salah satu prestasi gemilang beliau di Herald Tribune adalah ketika berhasil memberitakan perundingan rahasia Jerman dan Perancis di akhir PD I, sebelum perjanjian Versailles direncanakan. Konon beliau bisa dapat berita super rahasia ini karena beliau-lah penerjemah perundingan maha penting itu. Ciri khas tulisan beliau adalah selalu anonim, hanya mencantumkan tiga buah bintang di akhir tulisannya. Dari prestasinya tersebut, beliau pun ditarik oleh Winston Churchill cs, menjadi penerjemah tunggal League of Nations alias Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu dari PBB. Sebuah prestasi yang bukan main-main. Bahkan Muhammad Hatta dalam Memoir menulis bahwa pendapatan Sosrokartono pada masa itu mencapai US$ 1.250 per bulan dan beliau biasa bergaul dengan para cendikiawan dan bangsawan Eropa. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai miliuner di Wina,” tulis Hatta (meskipun ada beberapa kontroversi ttg kekayaan beliau, ada yang menyebutkan bahwa itu berasal dari hasil berhutang.). Beliau pun akhirnya mendapat berbagai julukan, antara lain De Mooie Sos atau Sos yang ganteng, dan De Javanese Prins atau Pangeran dari tanah Jawa.

Namun selain kejeniusan dan kesuksesan akademik beliau, kepintaran kebatinan beliau pun tersohor. Seorang dokter di Jenewa, Swiss, pernah dibuat ternganga ketika hanya dengan segelas air putih yang dibacakan doa, Kartono bisa menyembuhkan seorang gadi perempuan yang sudah sakaratul maut. Bakat inilah yang nantinya membuat beliau terkenal di kota Bandung sebagai orang pintar alias paranormal.

Ia disebut ikut mendirikan Indische Vereeniging di Belanda pada awal abad ke-20 itu. Solichin Salam mengutip dokumen pendirian Indische pada 1908 berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan Perhimpunan Indonesia (1925) yang membubuhkan nama Sosrokartono bersama Hussein Djajadiningrat, Noto Soeroto, Notodiningrat, dan Soemitro Kolopaking di antaranya. Meskipun dalam Memoir fakta ini dibantah oleh Hatta.

Sosrokartono

Petualangannya di Eropa berakhir pada tahun 1925, ia pun kembali ke tanah air. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana dicita-citakan Kartini. Ia juga ingin mendirikan perpustakaan. Untuk menghimpun modal, setelah gagal melamar menjadi koresponden The New York Herald untuk Hindia Belanda akibat koran itu sudah berganti pemilik dan merger dengan koran lain, Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Keluarga Bapak pendidikan itu lalu mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah. Dengan demikian beliau pun menjadi salah satu pelopor pendidikan pribumi di tanah air.

Di sisi lain, kemampuan pengobatan alternatifnya seakan menemui tempatnya di Bandung. Kepercayaan lokal yang meyakini adanya media pengobatan diluar rasio-medis membuat Kartono laku keras sebagai seorang “dokter” alternatif. Di sebuah rumah panggung berbentuk L di Jalan Pungkur no.7, Bandung (sekarang tepat di seberang terminat Kebon Kalapa.), ia mendirikan rumah pengobatan Darussalam. Sekarang pondok pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika. Pondok itu juga merangkap perpustakaan milik pribadi beliau. Di perpustakaan pondok ini ini pula Ir.Soekarno sering datang dan berdiskusi dengan Kartono baik dalam masalah bangsa maupun masalah kebatinan.

Beliau menekuni bidang kebatinan dan pendidikan ini hingga akhir hayatnya tahun 1951. Meninggal di Bandung, jenazah beliau dibawa ke Jepara dan dimakamkan di pemakaman keluarga. Makam beliau seringkali diziarahi oleh orang-orang yang tertarik pada ilmu kebatinan Jawa.

Makam Sosrokartono

Bagi saya sendiri, tokoh ini merupakan tokoh yang cukup istimewa dan menarik untuk dibahas. Meskipun perannya dalam pergerakan nasional tidaklah terlalu besar, namun bagi saya, seorang putra Jepara, Hindia Belanda, daerah koloni, yang menjadi jenius yang diakui dunia luas tentunya wajib diteladani. Terlepas dari keistimewaan beliau, keinginan beliau untuk belajar bisa menjadi teladan. Dengan belajar dan berusaha, sapa tahu, saya yang dari Margahayu Raya ini bisa jadi Sekjen PBB gitu.. aaamiiinn..

Nah itu deh, kisah Sosrokartono si ganteng maut ini, semoga bisa menghibur, menginspirasi, dan diteladani oleh kita semua. Oiya thx buat Ayan yang sudah ngabalakan ngebahas Sosrokartono, tulisan ini sebenernya tulisan dari bulan Juni kemarin, cuma baru diupload sekarang dengan beberapa update. Maapin sumbernya gak ada yg dari buku, karena saya gak punya buku2 beliau maupun buku2 Kartini.. hampura.. koreksi ya..

Sumber :

Xendro. 2007. R.M Panji Sosrokartono. <http://xendro.wordpress.com/2007/10/24/rm-panji-sosrokartono>. 07/05/2010.

Kurie Suditomo. 2006. Wartawan Mooie dari Hindia Belanda. <http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/2006/04/24/IQR/mbm.20060424.IQR118909.id.html>. 10/05/2010.

Agung Prasetyo. 2010. Biografi RMP Sosrokartono. <http://www.ripiu.com/article/read/rmp-sosrokartono-1>. 07/05/2010.

Foto :

Stevie. Posted in http://stevyhanny.blogspot.com/2010/03/raden-mas-panji-sosrokartono.html

Apriadi. http://ujiarso.multiply.com/. (Foto Makam)

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑