Month: August 2010

Le Grand Voyage bersama Aleut!

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Apa rasanya jika foto yang dihasilkan dinilai kurang berhasil dengan baik secara teknis??

T_T sedih beneurrr..

Se-hing-ga.. jadilah aku memutuskan untuk menebusnya dengan sebentuk reportase kegiatan Komunitas Aleut! di hari kemarin sembari menyisipkan apa yang berhasil secara teknis ^_^

Si Tuan Kodok bersaksi, berlatar Bang Ridwan, Ayan, dan segenap Aleutian *mohon maap.. mohon maap.. nite-mode memang sukar kalo si tangan relatif kurang stabil karena udah kepengenan makan Batagor.. heuheu..*

Jadi begini..

Ba’da sholat Ashar, aku yang yakin dengan Mario-Bros-merah-melekat-di-badan-plus-jaket-merah-melapisi-kemudian berjalan dengan kecepatan di bawah rata-rata standar aku-yang-pejalan-kaki ^_^

Tujuannya ke Sumur Bandung 4 yang yaaahh bisalah dicapai dalam kisaran 15 menit.

Selain ada janji dengan buku bagus yang direkomendasikan Ayan, sore ini ada acara NoBar A.K.A Nonton-Bareng Aleutian plus buka puasa bebarengan juga.

Nonton film apa sih, Kuk?? Sejarah Kemerdekaan Indonesia kah?? Itu loh, yang skenarionya disusun Indra itu bukan??

Wew ~_~ jelas bukan dunk..

Di acara NoBar pertamanya aku dengan Aleut! ini.. film yang akan menjadi “korban” mata, hati, dan telinga adalah Le Grand Voyage yang skenario-nya ditulis serta disutradarai langsung oleh Ismaël Ferroukhi.

sumber: www.imdb.com

Heuh?? Film apa itu?? Bagus gitu??

Haitss.. jangan salah ^_^ Le Grand Voyage ini punya beberapa prestasi yang tidak main-main dalam catatan perfilman Internasional loh *kata IMDB nih.. kata IMDB..*, antara lain:

  • pemenang Luigi De Laurentiis Award (sutradara: Ismaël Ferroukhi | produser: Humbert Balsan) di Venice Film Festival 2004
  • nominasi Golden Star di Marrakech International Film Festival 2004
  • nominasi International Jury Award di São Paulo International Film Festival 2005
  • pemenang Jury Award kategori: Best Actor (untuk pemeran Reda: Nicolas Cazalé) di Newport International Film Festival 2005
  • pemenang kategori: Best Director (Ismaël Ferroukhi) dan Best Actor (untuk pemeran Ayah Reda: Mohamed Majd) di Mar del Plata Film Festival 2005
  • nominasi BAFTA Film Award kategori: Best Film not in the English Language di BAFTA Awards 2006

Bagi para penggemar film-film dengan genre action, science-fiction, kolosal, Le Grand Voyage jauh dari semua itu. Terlalu abstrak pun sebenarnya tidak. Justru sederhana ^_^ sederhana yang sebenarnya sih (IMHO) tidak membutuhkan pemikiran terlalu rumit untuk mencerna apa yang menjadi makna didalamnya.

Jika ingin mendapatkan cerminan hubungan ayah dan anak yang kurang harmonis, Le Grand Voyage memberikan dengan relatif baik *jadi  lucu deh.. jadi kayak yang bales-balesan gitu deh itu ayah dan anak.. heuheu.. ketika yang satu berbuat salah yang satu merasa benar jadilah bilang begini.. ketika yang tadinya merasa benar menjadi salah jadilah tampak begitu.. emm.. bukan sesuatu yang asing dan baru sebenarnya di kehidupan sehari-hari.. makanya yaaa.. aku cenderung bisa menikmati sih..*

Jika ingin mendapatkan kenyataan bahwa banyak hal yang tidak sekedar dapat diketahui, dikuasai dan dinikmati hanya karena seseorang bisa baca dan tulis, Le Grand Voyage memberikan gambaran yang yahh cukuplah meski tidak terlalu menohok tetapi.. daleuuumm.. *pendidikan tinggi ga menjamin kalo kamu lebih hebat dari orang yang ga mengenyam pendidikan tinggi tapi udah punya pengalaman, teman.. ga boleh sombong apalagi sama orang tua tuh..*

Jika ingin mendapatkan “ilmu” mendidik anak tanpa pemaksaan kehendak *meski berbenturan kiri-kanan-depan-belakang-atas-bawah dengan apa yang diyakini sebagai seorang ayah yang.. hemmh.. jelas-jelas punya hak untuk berkata, “Siapa duluan sih yang ngerasain hidup di dunia ini?? Emangnya kamu itu udah tau mana yang benar mana yang salah??”* Le Grand Voyage punya selipan pengetahuan tak tertulis itu ~_~ *like this bangetlah si aku mah..*

Jika ingin melihat cara lain berhaji selain cara yang populer dilangsungkan oleh pemerintah Indonesia, Le Grand Voyage memberikan gambaran yang tepat dan  ^_^ pfiuhhh.. sukses nih si mister Ferroukhi.. aku benar-benar teramat sangat ingin sekali menempuh perjalanan ibadah tersebut dengan cara seperti yang ditempuh Ayah Reda *kebayang ajah.. kalo rencananya matang, mulai dari perkiraan waktu perjalanan plus anggaran plus perkiraan hal-tak-terduga.. ga kelupaan bekal niat yang sebenar-benarnya niat.. bisa ketemu banyak keindahan di luar dugaan dan kesemuanya bisa  direkam.. sampai pada akhirnya akan mengantarkan aku ke satu keindahan terrrrr-Maha.. TUHAN * ^_^v

dan..

Jika ingin melihat persaudaraan yang sukses menggerus perbedaan warna kulit, ras, suku, kebangsaan ^_^ Le Grand Voyage menunjukkannya dengan manis di beberapa scene menjelang akhir perjalanan Reda dan Ayahnya, keindahan beragama yang semestinya (IMHO)

Happy-ending atau sad-ending atau tragis-manis-romantis-lapis-legit atau.. atau??

T_T dengan teramat sangat menyesal.. film ini menyediakan dua sisi ending yang berlawanan:

  1. sad-ending untuk Reda yang kehilangan ayahnya dalam masa ibadah Haji,
  2. happy-ending untuk Ayah Reda karena beliau meninggal ketika sedang beribadah, pergi dalam keyakinannya.

Di antara sekian banyak scene dan dialog dalam film ini *termasuk si Nenek misterius itu tuh..* ada dialog menarik yang terjadi antara Reda dan ayahnya. Kalau aku tidak salah ingat, dialog ini berlangsung ketika si Ayah tidak menemukan setetes air pun di jerigen air yang mereka bawa dan taruh di bagasi mobil; berlangsung ketika Reda mendapati Ayahnya menggunakan pasir untuk tayamum.

Reda: Why didn’t you fly to Mecca? It’s a lot simpler.

The Father: When the waters of the ocean rise to the heavens, they lose their bitterness to become pure again…

Reda: What?

The Father: The ocean waters evaporate as they rise to the clouds. And as they evaporate they become fresh. That’s why it’s better to go on your pilgrimage on foot than on horseback, better on horseback than by car, better by car than by boat, better by boat than by plane.

>,< duuuhh.. bagaimana mungkin si aku tidak semakin ingin menjalani ibadah Haji dengan cara yang tak-selazimnya dilalui para calon Haji dari Tanah Air *pikir.. pikir.. pikiiirrr.. aku maunya yang kayak di film ini nihhh.. beneuuurrrr..*

Hemmm..

Ckckckck..

Ahhh.. sudahlah..

Maka ucapan terima kasih berikutnya dihaturkan pada:

  1. tidak-sekedar-segelas-Teh-Hangat melainkan juga pada 3 (tiga) potong Batagor ala Mang-yang-di-Simpang-tea..
  2. Aleutian yang berbagi salam kenal dan macam-macam pemikiran seusai menonton Le Grand Voyage *keren-keren gitu.. heuheu.. beda ama yang nyeleneh dari dunia lain hihi..*
  3. payung unik-nya Indi yang jadi bulan-bulanan si CunCun *pelopornya ini.. pelopor.. padahal awalnya siiihh tampak berusaha memperbaiki apa yang terlihat sedikit-bergeser-dari-baik..* lalu kemudian menular ke para pegiat Aleut! dikarenakan multi-fungsinya si payung tersebut dalam perannya sebagai: ulekan, tongkat security, pin bowling, tongkat baseball, alat tulis, pemukul golf, microphone, pembelah duren, rokok, emmm.. emmm.. -__-a apa lagi ya?? *lupa eunngg..* para Aleutian lainnya harap bersiap karena permainan unik ini dimungkinkan akan segera dirilis di acara Aleut! berikutnya loh ~_~ heuheu..

-__-a ehh.. eh.. tapi kok ya si aku sebenarnya relatif bingung.. lah ucapan “Terima Kasih” pertamanya sudah diucapkan untuk siapa sih?? *mendadak lapeerr..*

<hening>

<krik>

<krik>

<kriuk>

Akhirul kalam.. menjelang waktunya sahur hari ini dan terkantuknya si aku *untuuuunnggg itu kelas pagi jam 9 yaaa.. alhamdulillah..* maka note ini dicukupkan sekian saja *kekacauan berikutnya di luar tanggung jawab penulis yang.. udah atulah nyak.. positip ngantuk..*

Sampai ketemu 27.08.2010 di acara Buka Bareng Aleut! yaaaa..

* * *

Detik-detik Proklamasi Series : Putra Kami Semua, 17 Agustus 1945

Oleh : Indra Pratama

Tadi siang saya bersama pacar memacu motor keliling-keliling kota untuk mencari-cari bahan bacaan, dengan posisi duduk yang kagok-kagok gimana karena puasa, kami berdua mencari-cari seberkas buku untuk dibaca di periode yang membosankan ini.

Setelah menjelajah Palasari dan Togamas serta Rumah Buku, serta berakhir dengan rasa kecewa, kami pun berniat beranjak pulang. Namun sebelum meninggalkan parkiran, saya pun keingetan sesuatu, kenapa gak pergi ke rumah tukang bakmi Jogja yang cunihin itu!.

Argh, untung aja bawa pacar. Saya pun menelpon beliau.. tiit-tiit, pada tiit yang ketiga, terdengarlah suara lembut si bapak. “Hallooo.. ada apa niih..”. Ajegile sungguh mengerikan sekals-ki. Tapi demi keberlangsungan notes ini saya, saya pun berkata kalau saya berencana kerumah beliau untuk bersilaturahim (gila aja, baru juga tadi malem ketemu). Yah, ternyata hari ini beliau sedang istirahat berjualan, warung ditangani oleh anak buah-anak buah beliau. Dan beliau menyambut baik rencana kedatangan kami.

Dalam gerimis mengundang, kami pun bermotor menuju rumah beliau. Di rumah bergaya kolonial tersebut, kami pun turun dan mengetuk pintu.. “salam likum!”. Beliau pun keluar dan mempersilahkan kami masuk ke kamarnya. Kamarnya? ya, kamarnya sodara-sodara. Tampak sedikit gurat-gurat kekecewaan di wajah beliau,tapi saya pun cuek aja kayak bebek. Suasana hening sampai pak Ryzki memecah suasana. “Hari ini kayanya saya gak bisa cerita tentang 17 Agustus ndra..”. Jeng-jeng-jeng-jeng! “Aaapha?!”, “bagaimana bisa!?”, lalu saya dan pacar pun saling berpandangan dengan mulut ternganga plus sedikit kaca2 di mata seperti Fitri dan Farrel saat pak Utama meninggal.

“Ojo toh ojo..” beliau menghentikan adegan ala ending sinetron tadi. “Tapi saya berencana mengirim kalian langsung sebagai saksi sejarah..”. “Haaahh?? how caan??” seru kami berdua. Lalu beliau berjalan menuju ranjang tingkat di kamar beliau, dan membuka pintu lemari seraya menghidupkan komputer. “Masuklah kalian disini, saya akan kirim kalian ke 17 Agustus 1945, saat rapat perumusan teks proklamasi”. Yang boneng aje, beneran ada mesin waktu? di lemari bau apek ini?. Penasaran, kami pun masuk ke dalam pintu lemari. Dan..GUSRAK! saya nabrak tumpukan kolor. Sialan gue ditipu…

Lalu beliau terkekeh, dan sambil membuka2 file komputer, yang rupanya berisi banyak foto-foto jaman dulu, beliau pun akhirnya mulai berkisah tentang sebuah hari yang mahabesar, yang mungkin akan terus dikenang ribuan tahun kedepan, tentang kelahiran sebuah negara besar yang aman, damai, kaya dan mengerti betul arti persatuan dalam kebhinekka-an.

kemarin sampai mana ya?

Sampai ketika Laksmana Tadashi Maeda naik meninggalkan para perumus proklamasi rapat..

Ketika itu, di rumah Maeda sudah berkumpul seluruh anggota PPKI, para pemimpin golongan muda, serta para wakil dari gerakan-gerakan yang ada di Jakarta waktu itu. Total sekitar 40-50 orang. Para anggota PPKI dan para pemuka gerakan berkumpul didalam, sedangkan para pemuda dan anggota gerakan tanpa dikomando berjaga di depan rumah dan beranda. Saya sendiri mengibaratkan rumah Maeda pada saat itu merupakan istana negara kita yang pertama.

Sebetulnya teks proklamasi Indonesia telah dirumuskan pada 22 Juni sebelumnya, yang sekarang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun, mengingat kondisi yang serba kepepet pada saat itu, tak ada satupun dari peserta pertemuan yang  membawa teks tersebut. Waduh, gimana atuh ya. Namun Soekarno berinisiatif menyusun sebuah teks ringkas proklamasi yang pasti lebih cocok untuk situasi seperti itu. Ia berkata, ” Aku persilahkan Bung Hatta menyusun teks ini, sebab tutur bahasanya kuanggap yang terbaik.”. ” Dan setelah kita rasa cocok, maka kita bawa ke hadirin di ruang tengah.” (Soekarno-Hatta beserta Soekarni, Soebardjo dan Sayuti Melik pindah ke ruangan kecil yang terpisah saat menyusun teks proklamasi).

Lalu gimana tuh, jadi teks itu 100% karya Bung Hatta?

Enggak gitu anak muda, Soekarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Hatta menyumbangkan pikiran secara lisan dibantu oleh Soebardjo. Kalimat pertama dari naskah proklamasi merupakan saran dari Soebardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran dari Hatta. Hal itu disebabkan menurut beliau perlu adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty).

Lalu dari penggabungan ide mereka lahirlah teks seperti berikut :

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, 17 – 8 –’05

Wakil-2 bangsa Indonesia

Trus, rapat besar dimulai lagi dong..

Betul, lalu dibawalah teks itu kepada pada hadirin yang sudah menunggu di ruang tengah. Soekarno memulai membuka pertemuan denganmembacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Soekarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul tersebut disambut riuh setuju para hadirin. Namun saat itu tergurat kekecewaan di wajah Hatta, karena ia mengharapkan mereka ikut serta menandatangani dokumen bersejarah itu, yang mengandung nama dan kebanggaan yang tak akan pudar sampai kapanpun Indonesia hilang dari peta.

Iya sih, ih kalo saya mah udah ikut nandatangan da, yang gede sekalian, biar keciri di buku sejarah anak SMA.. ehhe

Ya entahlah, mungkin saat itu ada pertimbangan lain dari para hadirin. Yang pasti, usulan Sukarni itu disetujui forum. Nah setelah itu, Bung Karno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangannya tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sayuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05”. Sehingga akhirnya melahirkan teks “akta lahir” bangsa kita ini.

Abis itu, beres lah rapatnya ya?

Enggak semudah itu, masih banyak hal lagi yang kudu dipertimbangin. Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Namun Bung Karno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, pukul 10 pagi, dan disetujui oleh para hadirin. Dan rapat bersejarah itu akhirnya berakhir pukul 03.00 dinihari. Saat itu konon juga terlihat Maeda turun dari kamarnya dan menyalami para konseptor, nampak raut bangga di wajahnya, bahwa “saudara muda” ini akan lahir dan menghirup indahnya udara kemerdekaan.

Nggak pada sahur gitu,pan bulan puasa?

Entah peserta lainnya, tapi Hatta sempat terlihat ikut makan sahur di rumah Maeda, beliau sahur pake roti telor dan ikan sarden, karena Maeda nggak punya nasi. Kasian ya.

Tapi sambil sahur, beliau sempat berpesan kepada BM DIah agar teks proklamasi itu disebar luaskan seluas-luasnya, baik dikirim ke radio-radio, dikawatkan ke seluruh dunia, disundul+ratel di kaskus, di like di FB, serta di RT di twitter.

Haha Bung Hatta BB nya lg error kali ya, sampe harus nyuruh2 BM Diah segala.. ehhe

Hahaha, mungkin aja, karena Bung Hatta pun kesulitan menghubungi supirnya sehingga nebeng Bung Karno sampe rumahnya.

Lanjut pak, trus kan pagi2 udah berangkat lagi, gak capek ya mereka itu..

Iya, seperti saya juga, malemnya beres jualan, jam 9 saya udah nongkrong di Pegangsaan. Pukul 9.30 sudah ramai berkumpul orang di rumah Bung Karno. Sepanjang Pegangsaan Timur hadir  banyak orang dari berbagai golongan, para punggawa PETA terlihat berjaga-jaga, orang-orang radio dari Bandung mempersiapkan alat perekam, Mr.Wilopo menyiapkan microphone, sedangkan Suhud terlihat kebingungan mencari bakal tiang bendera. Semua terlihat agak tegang, namun pancaran excitement gak bisa disembunyikan dari wajah mereka.

Wah iya pak, cerita situasi saat itu dong..

Get ready, anak muda. Saya sempat ngintip kedalam rumah saat ngobrol sama pembantunya Bung Karno, labaan saya waktu itu ehhe. Saya melihat Ibu Fat sedang mengelus sepotong kain, kain yang baru saja ia rapikan jahitannya dengan gunting berwarna hitam legam. Entah kenapa kain itu beliau elus terus, seakan ia sedang membelai Guntur, bagaikan membelai putra sendiri. Apa itu kain ajimat beliau?, yang kalo dipake bisa ngilang gitu?. Segala kepenasaranan saya hilang ketika ia pun membentangkan kain itu. Subhanallah!, kain tak simetris itu, kain jahitan sederhana itu, itu bendera kita kelak! sang saka merah-putih!.

Uhh.. (disebelah pacar saya nyeka air mata, enak dia lagi gak puasa..)

Namun pukul 9.45 suasana sedikit tegang kembali terjadi, golongan muda, yang benar-benar gak sabaran, sedang mendesak Bung Karno untuk segera membacakan proklamasi tanpa menunggu lagi kedatangan Hatta. Saya mendengar Bung Karno sedikit berteriak, “Hatta orang yang tidak pernah ingkar janji, tepat jam 10.00 ia pasti datang!, tunggulah sebentar!”. Segala kharisma Bung Karno dan kepercayaannnya pada sahabat seperjuangannya, lagi-lagi membuat para pemuda hanya bisa terdiam dan mengomel dalam hati.

Dan bener Hatta datang tepat waktu?

09.55 jam di Pegangsaan Timur 56, datanglah mobil Hatta. Sosok jenius sejati itu turun dari mobil, disambut senyum lega para hadirin dan peluk hangat dari Soebardjo. Hatta terkenal sebagai orang yang tepat waktu dan berdisiplin tinggi, sifat yang langka dimiliki orang bangsa ini..hehe..

Dimulailah upacara bersejarah itu..

Hadirin yang hadir semua seakan tercekat nafasnya. Tak ada yang kuasa tersenyum, apalagi ngobrol sambil cekikikan. Tak ada, semua tegang, semua hening. Keheningan itu pecah saat Latief Hendradiningrat, seorang anggota PETA, tanpa dikomando berseru “semua bersiap! semua diharap berdiri!”. Suara yang lantang itu seakan himbauan seorang Jenderal Besar, membangkitkan semua orang disitu, untuk kemudian berdiri tegap dengan sikap sempurna.Saya pun yang tak pernah kenal baris-berbaris segera mengikuti para hadirin, berdiri tegap, memandang tegang kearah serambi rumah.

Glek..

Kedua bapak itu dipersilahkan oleh Latief untuk maju menuju microphone. Mereka benar-benar terlihat agung pada saat itu, seakan imajinasi saya tentang raja-raja Jawa kuno benar-benar terwujud dalam raga dan kharisma mereka berdua. Dari mulai penangkapan saat pidato, pemberedelan harta pribadi, hingga pembuangan di Digul benar-benar tulus dijalani mereka demi lahirnya bangsa ini, dan kini putra mereka akan segera lahir, putra kami semua.

Bung Karno memulai prosesi dengan sebuah pidato kecil, yang mengingatkan kita sudah berapa ratus tahun angan-angan ini ada di mimpi kita setiap malam, dalam lamunan saat terik siang. Namun, sekarang saatnya kita bangun dari lamunan, kita jalani lamunan itu, yeah!.

Iya sih, kebayang sakralnya suasana waktu itu.

Betul, apalagi saat pada akhirnya, teks maha mantap itu diperdengankan via suara lantang sang putra fajar.

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjaraseksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05

Atas nama bangsa Indonesia,

Soekarno/Hatta

Ya Allah..

Wah saya gak kuat lagi nahan rasa terharu, gila aja gitu, negara yang cuma ada di angan-angan saya, yang selalu saya ragukan ketika Bung Karno berkoar di warung saya. Sekarang beneran ada! lahir! merdeka!. Ya Tuhan.. alangkah nikmat ramadhanMu ini.. tanpa sadar mulut saya membisikkan takbir lirih.. Allahuakbar..Allahuakbar..

Inilah putra Bung Karno, putra Bung Hatta, putra Soebardjo, Soekarni, Chairul Saleh. Putra dari si Gadis Jepara, putra dari Tirto Adhi Suryo, putra dari Sam Ratulangi, putra dari Tan Malaka, putra dari Tjokroaminoto, putra dari mereka yang dibantai di Kalimantan, putra dari mereka yang tewas dalam takbir di Indramayu dan Singaparna, putra dari tangisan anak para petani tanam paksa, putra dari belulang para pekerja Jalan Raya Pos, putra dari darah, keringat, dan airmata kami semua..

*)Setelah itu entah apa yang pak Ryzki bicarakan, namun lamunan saya sudah jauh dari kamar itu, sudah jauh dari Sumur Bandung.. Masuk ke dalam hati, menusuk dengan sangat kencang.. “dan putra kebanggaan itu akan saya bunuh?”

Detik-detik Proklamasi Series : 16 Agustus 1945

Oleh : Indra Pratama

Intro lagu dari band 90-an, Flowers (sekarang the Flowers) meraung cukup keras dari handphone saya. Intro yang berupa riff gitar blues tersebut nampaknya cukup ampuh buat membangunkan saya..arrghh.. udah jam 11 malam..

setelah berganti pakaian, saya pun pamitan pergi sama Mamah dan Papah..

Malam ini, saya ada janji di kedai Bakmie Jogja bapak Ryzki.. yup! bapak Ryzki yang chatting sama saya kemarin ngobrolin kisah di 15 Agustus tahun 1945..

Beliau malam ini sedang gak bisa OL, entah abis kuota atau belum bayar.. Maka tadi siang beliau sms saya : “Yang, aku tunggu di warung Bakmie aku aja ya, tengah malem lah abis tutup warung..”.. menggelikan sekali, mahal sekali rupanya harga sebuah kisah 16 Agustus. Tapi demi kawan2 semua, saya pun rela menggadaikan tubuh saya.. ahahahhaha boong deng..

Mobil pun parkir di depan Sumurbandung no.4 dan sosok tua itu menyambut saya dengan tangan terbuka ingin memeluk, namun diurungkan karena tetangga2 sudah melongo tak percaya..

Malem pak!!

Yo, selamat malam, selamat malam..

Sehat? warung tadi rame nih kayaya..

Alhamdulillah sehat, cuma lagi sakit aja nih, hari pertama.. iya dek, capek juga ngelayanin anak2 SMP buka bareng, rarecet dan riweuh lah..

Langsung ah pak.. tanggal 16 nih..

Tar dulu, kemaren sampe mana tuh?

Kampanye jangan lupakan 16 Agustus

Sampe pas Wikana dan Darwis keluar pundung dari kediaman Bung Karno..ah pikun sampeyan iki..

Ah iya, iya.. (sambil sesekali ngelirik Punk’d di tivi).. kalo nggak salah gini :

lewat tengah malam Darwis dan Wikana yang pulang dengan perasaan kesal memacu mobil kencang menuju jalan Cikini 71. Sampai sana mereka melaporkan tanggapan golongan tua terhadap rencana golongan muda. Lalu Chairul Saleh dkk kembali menggelar rapat dini hari itu juga. elain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr.Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.

err.. wah menegangkan nih pak.. silahkan lanjutkan..

Sekita pukul 3.30 pagi harinya, para pemuda telah menyiapkan dua buah mobil. Satu mobil untuk ‘menjemput’ Bung Karno, satu mobil lagi untuk menjemput Moh.Hatta. Kira-kira sehabis sahur tim penjemput Bung Karno telah mencapai Pegangsaan Timur 56. Setelah sedikit perdebatan, akhirnya Bung Karno bersedia mengikuti para pemuda. Beliau pun bertanya kepada istrinya, Fatmawati, “Fatma, kau mau ikut denganku atau tidak ?”. Disinilah jawaban mengesankan keluar dari Fatmawati yang entah punya berapa madu, ” Kemana Bapak pergi, Fat ikut..”, jawab wanita luarbiasa itu sambil menatap ke putranya yang masih berusia kurang dari setahun, Guntur.

melting.. keren ya ibu Fatma itu..

Yup.. akhirnya mereka bertiga masuk ke mobil yang dibawa para pemuda. Lalu bertemu dengan mobil satunya yang berisi Hatta, yang sendirian dan terus termenung. Kedua sedan itu pun melaju meninggalkan Pegangsaan Timur. Di Jatinegara, kendaraan pembawa diganti dengan dua kendaraan PETA, mungkin maksudnya biar mudah lolos dari pemeriksaan militer Jepang, lalu lanjut lagi kearah Krawang. Sepanjang jalan, Bung Karno selalu mencoba mengorek keterangan dari sang supir PETA yang bernama M.Iding, namun Iding menjawab tidak tahu karena ia hanya disuruh menjalankan mobil mengikuti mobil pertama di depan yang membawa Hatta. Akhirnya suasana mobil itu pun kembali sunyi dan tegang.

Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya pukul 06.30 kaca mobil Bung Karno diketuk dan didapatkanlah hormat dari seorang petinggi PETA setempat. Pintu dibuka dan beliau sekeluarga, serta Hatta, dibawa menuju sebuah ruangan di markas PETA, dimana di plang besar tertulis : CHUDAN RENGSDENGKLOK. Di ruangan tersebut telah duduk Sukarni, Singgih dan kawan-kawan. Oleh para pemuda ini beliau dioper lagi ke rumah penduduk. Rumah tersebut milik Djiau Kie Siong, seorang petani Tionghoa yang sejak muda tinggal disitu.

Rumah bersejarah itu

Wah, pemimpin negara ditempatkan di rumah petani..

Bukan hanya jelek, ternyata di halaman rumah itu penuh dengan kotoran babi! para tamu agung itu harus berjingkat kala memasuki rumah itu. Mereka ternyata dianggurkan di rumah itu sampai siang, mungkin untuk dibiarkan beristirahat. Jam satu siang, pintu diketuk. Tanpa menunggu jawaban, masuklah seorang perwira PETA sambil mengucapkan salam. Beliau membawa sup panas untuk para tamu. Karena sedang berpuasa, maka hanya Fatmawati dan Guntur lah yang makan sup panas itu. Sup itu begitu tajam rasa mericanya, sehingga Guntur kepedasan dan menangis terus menerus.

Untuk menenangkan putranya, wanita anggun itu pun menggendong anaknya keluar. Tanpa memperdulikan aroma kotoran babi, ia bersenandung merdu. Tetapi, mendadak senandung itu berhenti. Matanya tercegat di halaman Pendopo Kewedanan Rengasdengklok. Mulutnya menganga, matanya nampak berkaca-kaca. Ia pun segera berteriak, “Jeng Raka!, kemari, kemari!”. Bung Karno yang sedang duduk di tengah rumah terkaget, tergopoh ia mendatangi istrinya. Namun langkahnya pun terhenti ketika melihat apa yang dilihat istrinya. SANG MERAH PUTIH TELAH BERKIBAR DISINI!

Hah? gimana bisa?!

Nggak lain nggak bukan, ya kerjaannya para pemuda. Para pemuda, meyakinkan dan mengobarkan semangat patriotisme camat setempat, Soejono Hadipranoto. Camat yang sudah dibakar api merah-putih itu kemudian setuju untuk menurunkan Honimaru dan menaikkan sang merah-putih, lalu mengumpulkan rakyat setempat. Camat muda yang terkenal dengan nama Siegfried di kalangan para pemuda itu lantas berkoar mengumumkan pada rakyat yang berhasil ia kumpulkan, “Bahwa sejak saat ini, bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka, yang berkuasa penuh dalam negaranya sendiri yang berbentuk republik, Republik Indonesia!”. Siegfried pun berteriak lantang, “MERDEKA!”. Seakan pidato singkat barusan adalah kata-katanya sendiri, bukan hasil Soekani, Dr.Soetjipto, dan Singgih. Heheh udah kebakar semangat banget tuh si camat.

Mungkin keilhamin film Braveheart kali ya pak.. hehe

Nya can aya atuh si Mel Gibson na oge..

Trus abis bengong gitu, apa yang terjadi sama Bung Karno?

Tak lama setelah itu, mereka kedatangan beberapa tokoh, antara lain Mr.Soebardjo. Setelah kedatangan Soebardjo, para pemuda pun mohon ijin masuk rumah untuk berunding, lagi-lagi tentang waktu proklamasi kemerdekaan. Pada perdebatan kali ini, argumen para pemuda ‘didukung kuat’ oleh Jepang. Lho kok oleh Jepang? haaa pasti mau nanya itu khaan..huhahaha

Eh, siapa yang mau nanya gitu.. ge-er yey..

euhh..(malu tuuh..)..

Jadi, argumen para pemuda bahwa proklamasi harus dilakukan secepatnya, didukung oleh fakta bahwa tanggal 15 malam Jepang sudah mengeluarkan keputusan untuk melucuti senjata PETA. Dan jika PETA keburu dilucuti, maka tak ada jaminan perlindungan atas para proklamasi dan proklamator itu sendiri ketika nanti seandainya terjadi gonjang-ganjing pasca proklamasi.

Naga-naganya disetujuin atuh para pemuda teh..

saya sendiri nggak tahu persis debat siang itu gimana2nya, soalnya Bung Karno gak cerita detail mengenai waktu itu. Namun, Siegfried, yang memberanikan diri curi2 dengar, sempat mendengar pertanyaan Bung Karno pada Soebardjo, “Jadi besok pagi pukul 10.00 saya umumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ?”. Soebardjo menjawab yakin, “iya bung!”.

Seketika melonjaklah Siegfried dari tempatnya berdiri, ia pun melakukan para-para dance saking girangnya. Sudah nggak sadar bahwa Bung Karno mengamatinya sambil tersenyum. “Dasar tukang nguping.. hehe” mungkin itu gumam Bung Karno saat itu.

Terus, kan udah deal nih, kok Bung Karno dan Bung Hatta nggak dipulangin ke Jakarta ?

Nah, ternyata, saat Bung Karno dicuri denger oleh Siegfried itulah, beliau sedang bersiap-siap pulang ke Jakarta. Waktu itu sekitar waktu ashar, dan ketika mobil dinyalakan, Siegfried pun terlonjak dan spontan memberi hormat. Para tamu agung itu telah bertolak kembali ke Jakarta.

Aseek, udah deket nih ke proklamasinya.. trus2..

Akhirnya tepat pukul 18.00, rombongan dari Rengasdengklok tersebut tiba di Pegangsaan Timur. Bung Karno segera mengontak anggota PPKI. Namun tak diduga tak dinyana, muncullah kabar bahwa Jepang mengkhianati janjinya, dan akan menyerahkan Indonesia kepada sekutu. Anjrot, makin genting aja nih, pikir para pemuda. Mereka pun mulai meragukan lagi niat Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan, melihat Bung Karno begitu pendiam sejak menerima kabar itu. Namun, Soebardjo meyakinkan mereka, ” jika besok proklamasi tidak dibacakan, saudara boleh tembak dada saya!.”. Mendengar jaminan begitu, para pemuda pun terdiam dengan berbagai perasaan.

Dalam diamnya Bung Karno berpikir keras, bagaimana caranya supaya rapat PPKI ttg proklamasi besok tetap bisa dilaksanakan tanpa bisa dicegah oleh Jepang. Ia pun tahu, jika terjadi rapat di rumahnya, maka besar kemungkinan Jepang akan mengrebek rapat itu dan itu akan memusnahkan impian proklamasi yang sudah nyaris banget. Lalu teringatlah Bung Karno pada seorang kawan, seorang laksamana militer Jepan bernama Tadashi Maeda. Maeda ini sebenarnya seorang anti imperialisme, ia hanya terjebak pada karir yang membuatnya harus ikut dalam apa yang dibencinya tersebut.

Tadashi Maeda

Terus, Jepang gimana ? apakah bertindak?

Dasar golongan tua, mereka ternyata berniat mengkonfirmasikan kekalahan Jepang kepada pemimpin militer Jepang di Jakarta. Pukul 22.00 mereka berangkat ke tempat Letjen Yamamoto Moichiro untuk mengkonfirmasikan kekalahan Jepang serta melaporkan akan adanya proklamasi besok.

Aneh.. gimana sih malah bilang-bilang Jepang..

Iya, Jepang ternyata benar mengkhianati janji dengan berniat menyerahkan Indonesia kepada sekutu. Moichiro memerintahkan agar rencana kemerdekaan ditunda, entar-entar ajalah, gitu katanya. Jelas Bung Karno dan Bung Hatta kecewa serta walk out dari ruangan. Uniknya Tadashi Maeda pun mempertaruhkan karirnya setelah ia pun ikut walk out dari ruangan itu.

Maeda akhirnya meyakinkan Bung Karno untuk menyelenggarakan rapat di ruang bawah rumahnya. Ia berjanji akan menyediakan jaminan keamanan untuk rapat itu. Dengan senyum di wajahnya, Tadashi Maeda menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya, membiarkan para katalis kemerdekaan menjalani proses persalinan bangsanya, bangsa yang akan menjadi bangsa besar…

Mantap! gimana tuh rapatnya?

Naaah.. soal rapat itu kita ceritain besok ajalah..kan itu sudah masuk tanggal 17 Agustus.. hehe..

Arrghh antiklimaks! nangung banget…

Konsisten dong, katanya mau bikin per hari..

Iya,iya ah cerewet, yaudah deh pak, ane pulang dulu, gila malem2 gini komplek pasti udah diportalin.. btw besok gimana nih.. via YM lagi ato gimana..

Gampang deh, nanti saya kasihtau lagi, besok siang saya sms deh..

Iya sip dah, makasih banyak pak, sukses mie Jogjanya..

Pasti sukses dong, yang jualnya aja ganteng gini

*saya pura2 gak denger dan langsung memacu mobil. Menderukan knalpot ke muka si bapak dan mulai membayangkan meyupiri Bung Karno, Bung Karno suka gak ya kalo saya tune in di Ardan? atau beliau lebih suka OZ?

16 Agustus 2010

sumber : Her Suganda. 2009. Rengasdengklok : Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945. Kompas.

Detik-detik Proklamasi Series : 15 Agustus 1945

Oleh : Indra Pratama

Hooaamm..kok ngantuk yaa.. jam brapa sih sekarang?

*longok2

ah, ternyata jam menunjukkan pukul 00.21,udah lewat tengah malam rupanya, udah masup hari minggu..

dan tanpa sengaja terlihat kalender digital desktop saya menunjukkan tanggal 15 Agustus 2010. Wah ternyata tinggal dua hari lagi menuju hari kemerdekaan negeri kita tercinta ini..

Saya jadi berandai-andai, 15 Agustus 65 tahun silam, sedang ngapain ya negeri ini dan para pembesarnya? apakah sedang rariweuh membahas berita kekalahan Jepang dari sekutu sehari sebelumnya? ato sedang ngapain?

nah,karena tahu teman-teman bakal penasaran, saya pun berandai-andai chat salah seorang kawan, saksi sejarah yang alhamdulillah masih bisa mengingat kejadian 65 tahun silam, yaitu bapak Ryzki (rY2ki_c@em@yahoo.com) yang saya pun masih penasaran sebagai apa dia waktu itu..gosipnya sih tukang mie godog langganan Bung Karno..

Dibawah ini adalah kopian chat saya dengan Bpk.Ryzki. Yang dicetak tebal adalah dialog2 saya..

Signing in as

Indra_pratama….

BUZZ!!!

Eh copot!

Selamat malam pak! masih OL aja nih..

ah kamu ngagetin aja. Malam dek, belum tidur jam segini? hayo pasti mau lihat web yang engga2 ya..

enak aja, saya teh lagi berandai-andai pak, gimana ya kondisi hari ini di 65 tahun silam.. pasti lagi riweuh2 nya ya pak h min 2 proklamasi..

ya. riweuh banget.. banyak intrik-intrik dan peristiwa, baik besar maupun kecil, yang berperan besar dalam berdirinya negara kita ini..

Cerita dong pak, gimana kondisi tgl 15 Agustus 45 ituuu

ah kamu mah ngegawein aja orang tua malem2 gini… bapak lagi donlot lagu nih..

Atulah bapaa… besok saya beliin cilok deh.. yah? yah?

slurp! *tak bisa menolak

Yaudah-yaudah, bapak ceritain ya..

hehe 😀 , mangga atuh pak cerita..

ih rempong deh.. oke2..(mengernyitkan dahi)

Waktu itu bulan bersinar terang, angin bertiup sepoi..bulan Ramadhan yang indah (sama ky tahun ini,15 Agustus tahun 45 bertepatan dgn bulan Ramadhan)…

gonjang-ganjing Agustus 1945 itu mulai terasa semenjak beredar desas-desus dibom atomnya kota Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki dua hari setelahnya. Wah katanya mah ancur deh Jepang teh. Basis-basis pertahanan dalam negerinya teh udah ketembus semua sama pasukan sekutu dari mulai Iwo Jima takluk, lalu merembet ke daratan. Nah,berita morat-maritnya Jepang teh bener2 gaboleh kedengeran ama para aktivis pro-kemerdekaan disini, bener2 dibatasin lah berita teh.

Trus katanya Soekarno dipanggil sama Jenderal Besar Jepang ya pak?

iya betul, sehari setelah bom Nagasaki, yaitu tgl 9 Agusutus, tiga pemimpin pergerakan kita, Soekarno, Moh.Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat dipanggil untuk menemui Jenderal Besar Teauchi, salah satu pembesar militer Jepang., tapi di Dalat, Vietnam Selatan, karena Jepangnya udah amburadul. Nah tanggal 12 nya, Terauchi ini ternyata memberikan surprise besar bagi para tokoh tersebut, bukan strip-cake party cep, tapi sebuah surat keputusan dari kekaisaran Jepang yang memutuskan akan memberi Indonesia kemerdekaan!.Kemerdekaan ini diputuskan akan diatur oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), serta dijanjikan wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah eks Hindia-Belanda.

Wah kan surprise banget buat ketiga tokoh tersebut, yang ternyata belum tahu perihal kekalahan Jepang.Dan tanggal 14 mereka tiba kmbali di Indonesia dengan rasa bahagia dan bangga.

Apa para aktivis sama sekali nggak ada yang tahu tentang kekalahan Jepang? Masa sih? Katanya golongan muda udah tahu pak, trus mendesak Bung Karno cs. Gimana tuh?

Matakna dengekeun heula.. berita soal terdesaknya Jepang ternyata sudah beberapa waktu beredar di kalangan aktivis muda. Cahirul Saleh,Sukarni, dan Wikana cs. sudah mengetahui kabar-kabar tersebut. Sampai akhirnya mereka tersentak ketika mendengar kabar bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat dari pasukan sekutu tanggal 14 Agustus, ketika Soekarno cs masih dalam perjalanan pulang dari Dalat. Soekarno cs baru tahu kabar tersebut ketika Sutan Sjahrir menyampaikan berita itu kepada Moh. Hatta.

Lalu, bagaimana golongan muda dan golongan tua menyikapi kabar itu pak?

Moh.Hatta lalu menkroscek berita tersebut ke berbagai sumber. Setelah yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, Moh. Hatta lalu mengambil keputusan untuk segera mengundang anggota PPKI.

Sedangkan golongan muda mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Rapat dilaksanakan pada tanggal 15 agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa. Rapat yang dipimpin oleh Chairul Saleh itu menghasilkan keputusan ” kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan pada orang dan negara lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan perundingan dengan golongan muda agar mereka diikut sertakan dalam pernyataan proklamasi.”

Chairul Saleh

Wah, kok bikin keputusan sendiri-sendiri?

Nah itu dia, untuk mendesak agar golongan tua itu mengikuti keputusan rapat golongan muda, berangkatlah perwakilan golongan muda kepada Soekarno. Keputusan rapat itu disampaikan oleh Wikana dan Darwis pada pukul 22.30 waktu Jawa kepada Ir. Soekarno di rumahnya, Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kedua utusan tersebut segera menyampaikan keputusan golongan muda agar Ir. Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu hadiah dari Jepang. Tapi dasar anak muda, penyampaian keputusan itu disertai dengan ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika Soekarno tidak menyatakan proklamasi keesokan harinya.

Pasti marah tuh Bung Karno, radikal gitu ya..

Ya eyyalah.. Bung Karno marah besar dan berkata “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya malam ini juga, jangan menunggu sampai besok. Saya tidak bisa melepaskan tanggungjawab saya sebagai ketua PPKI. Karena itu saya tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok”. Hadir pula menyaksikan ketegangan itu golongan tua lainnya seperti : Drs. Moh. Hatta, dr. Buntaran, dr.Samsi, Mr. Ahmad Subardjo dan Iwa Kusumasumantri.

Akhirnya setelah agak panas, Moh. Hatta berkata, “Dan kami pun tak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mesti juga mengumumkan proklamasi itu. Kecuali jika Saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikan. Cobalah! Saya pun ingin melihat kesanggupanSaudara-saudara !”

Wikana

Wikana dan Darwis pun tak kalah gertak, “Kalau begitu pendirian Saudara-saudara berdua, baiklah ! Dan kami pemuda-pemuda tidak dapat menanggung sesuatu, jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan.Kami pemuda-pemuda akan bertindak dan menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu!”.

Wiih, ngeri juga ya.. padahal tujuannya sama, ingin memerdekakan Indonesia, tapi gontok-gontokan gitu..

Yah, namanya juga beda generasi. Orang tua perhitungannya suka lebih matang, karena pengalamannya tentu sudah lebih banyak. Tetapi mungkin bagi orang muda, waktu proses perhitungan orang-orang yang lebih tua itu membahayakan, karena terlalu lama berpikir, bisa masuk musuh baru, yaitu sekutu. Lalu mereka pun berlalu.. namun dalam benak mereka terproses sebuah rencana yang tidak pernah tebayangkan oleh siapapun.. rencana yang akan mengubah negeri ini..

Dek, Orang tua sama anak muda itu seringkali seperti dua sisi rel kereta, selalu berdampingan berjalan, tujuannya sama, jalannya tidak pernah bertemu satu sama lain..hhh..hoaam..

Lanjut pak ceritanya ke tanggal 16! apa rencana pemuda-pemuda itu?

Waduh.. udah jam 2 nih.. saya udah ngantuk.. gimana kalo kronologis tanggal 16 nya besok aja, kan pas tanggal 16..oke2?…Saya off dulu yah.. donlotan saya udah selese juga nih.. mayan dua jam sebelum sahur..

lah pak, tulisan saya ngegantung atuh, kan mau diposting ini buat temen2 Aleut!..

ah.. udah.. kamu buat tulisan bersambung aja.. per hari satu tulisan ttg tanggal tersebut 45 tahun yang lalu.. gituu..kita belajar memaknai hari dan tanggal 😀

yaudah, saya buat bersambung aja.. yang penting besok kita chat lagi ya pak! awas kalo enggak!..

iya bung.. besok kita sambung lagi..yaudah ah dadah bapak tidur dulu..malam bung! salam likum!

kum salam!

rY2ki_c@em has signed out

serial ini sebagai tribut khusus bwt pegiat2 Aleut!

Jejak Ir. Soekarno di Bandung

Oleh : Ujanx Lukman

Sejalan dengan makin dekatnya hari peringatan HUT RI yang ke – 65, apa sajacerita dan karya  yang telah ditinggalkan proklamator Ir. Soekarno selama tinggal di Bandung . Silahkan dibaca untuk menambah pengetahuan dan ngabuburit yang bermanfaat di bulan Ramadhan ini.

Soekarno dilahirkan menjelang fajar di Lwang Seketeng Surabaya tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan suami isteri Raden Soekemi Sosrodohardji dan Idayu Nyoman Rai. Nama yang diberikan pada sang bayi adalah Koesno dan kemudian diganti menjadi Soekarno yang sering dijuluki sebagai Putra Fajar. Tanggal 24 Maret 1923 menikah dengan Inggit Ganarsih di Bandung.

Tahun 1922 beliau bersekolah di Technisce Hooge School (ITB) dan lulus pada tanggal 25 Mei 1926. dan salah satu dosen beliau adalah C.P Wolff Schoemaker yang banyak mengarsiteki bangunan-bangunan bersejarah di Bandung.

Tanggal 26 Juli 1926 mendirikan Biro Insinyur Soekarno dan Anwari di JL. Dewi Sartika.Tanggal 4 Juli 1927 Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesai (PNI). Tahun 1930 ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan ditahan di Penjara Banceuy, tepatnya di sel no. 5 beliau menyusun pidato pembelaan untuk dibacakan di muka sidang pengadilan Hindia Belanda yang berlangsung di gedung Landraad. Pidato pembelaan ini kemudian terkenal dengan judul Indonesia Menggoegat.

Sel no. 5
Gedung Indonesia Menggugat

Tanggal 22 Desember 1930 Ir. Soekarno dijatuhi hukuman penjara empat tahun di Penjara Sukamiskin, tetapi mendapat grasi sehingga dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931.Ir. Soekarno dan rekannya Ir. Rooseno pernah berencana untuk membangun Mesjid Agung yang megah di Bandung (1925) tetapi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Gagasan kembali digulirkan pada tahun 1954 dalam perbaikan Masjid Agung menghadapi Konferensi Asia Afrika (1955), perubahan kubah dari “Bale Nyungcung” ke bentuk “Bawang” mungkin sekali atas usulan Ir. Soekarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia.

Masjid Agung dengan kubah “Bawang”

Tahun 1919 Grand Hotel Preanger dibangun ulang berdasarkan rancangan arsitek C.P Schoemaker yang dibantu oleh Soekarno senagai juru gambar (juga ketika merancang Penjara Soelamiskin), saat itu Soekarno tercatat sebagai siswa Technische Hooge School (ITB sekarang).

Sebagai sarjana teknik Ir. Soekarno banyak karya beliau yang dibangun di Bandung diantaranya Bangunan kembar di Jl. Gatotsubroto (depan hotel Papandayan), Masjid yang didirikan pada tahun 1935 dengan menara bergaya Timur Tengah yang terletak di Jl. Perintis kemerdekaan tepat dibawah Viaduct, namun dihancurkan pada tahun 1977 yang sekarang berdiri Masjid Persis, serta rumah-rumah karya Ir. Soekarno mempunyai ciri khas atap susun berbentuk limas dan sungkup diatasnya, terletak di Jl. Kasim, Jl. Mangga dan Jl. Ahmad Yani.

Bangunan kembar di Jl. Gatoto subroto

Gedung Gabungan Koperasi Republik Indonesia yang dibangun berdasarkan rancangan Ir. soekarno dan ir. Roosseno di Jl. Lengkong bergaya arsitektur Art Deco Streamline.

Gedung Gabungan Koperasi Republik Indonesia

Sumber : Bandung kilas peristiwa di mata filatelis sebuah wisata sejarah karya Sudarsono Katam Kartodiwirio

Maaf kalo tidak terlalu lengkap fotonya

Sekilas Mesjid Agung Bandung

Oleh : Ridwan Hutagalung

Sekarang bila hendak memastikan jadwal berbuka puasa, tak jarang orang menunggui televisi atau radio untuk mendengarkan kumandang suara adzan. Mesjid dengan suara speaker yang cukup keras memang banyak di Bandung, tapi seringkali suaranya kalah oleh kebisingan suasana kota. Namun di Bandung tempo dulu yang sunyi, bunyi bedug, tanpa harus menggunakan peralatan pengeras suara, sudah cukup membahana sampai ke Ancol, Andir, Tegalega, bahkan sampai Kampung Balubur. Menjelang subuh, bebunyian dari kohkol (kentongan) malah bisa terdengar sampai ke Simpang Dago, Torpedo (Wastukancana),dan Cibarengkok (Sukajadi).

Setiap bulan Ramadhan, Mesjid Agung ramai kunjungan masyarakat Bandung, termasuk oleh warga dari wilayah utara. Ya maklum saja, di utara Bandung masih cukup langka keberadaan mesjid selain Mesjid Kaum Cipaganti. Lagi pula mesjid legendaris ini berada di titik pusat keramaian kota. Orang beramai-ramai berbuka puasa di sekitar Pasar Baru dan Alun-alun. Di sana banyak warung, restoran, atau tukang dagang keliling yang bisa didatangi. Setelah shalat Maghrib, orang biasanya bersantai-santai sambil menunggu saatnya shalat Isya dan Taraweh di Mesjid Agung.

Mesjid Agung tahun 1930-an.

Yang paling dikenang orang dari Mesjid Agung Bandung adalah bentuk atapnya yang bersusun tiga dan meruncing di puncaknya seperi tampak dalam foto atas. Karena itulah mesjid ini mendapatkan julukannya yang legendaris, Bale Nyuncung (lancip). Gambar ini adalah hasil perombakan Mesjid Agung yang keempat kalinya sejak didirikan pada tahun 1812 (atau 1810?). Awalnya berupa bangunan bambu sederhana saja dengan atap rumbia. Pada tahun 1825 diperbaiki menjadi bangunan kayu.Tahun 1850 bangunan mesjid sudah menggunakan tembok sebagai fondasinya. Bangunan inilah yang dilihat dan kemudian dibuatkan lithografinya oleh W. Spreat. Gambar karya W. Spreat dipakai sebagai ilustrasi buku catatan perjalanan karya seorangBengal yang pernah menjalani kawasan Malaka dan Pulau Jawa pada tahun 1852. Tahun1930 Mesjid Agung mendapatkan tambahan sebuah serambi depan dengan menara pendek di sisi kanan dan kirinya seperti yang tampak pada gambar di atas.

Gambar Mesjid Agung oleh W. Spreat sebagai ilustrasi buku De Zieke Reiziger.

Pada kondisi hasil perbaruan tahun 1930, tampak sekeliling mesjid diberi benteng tembok berlubang dengan motif sisik ikan. Motif yang sering dianggap gaya khas Bandung (Priangan) ini menurut kuncen Bandung, Haryoto Kunto, merupakan hasil rancangan MacLaine Pont, arsitek terkenal yang juga merancang kompleks utama kampus ITB. Motif sisik ikan juga dapat dilihat pada benteng tembok yang mengelilingi kompleks Pendopo dan rumah dinas Walikota Bandung, serta di kompleks makam bupati Dalem Kaum dan KarangAnyar. Seperti yang dapat dilihat pada bangunan Aula Barat dan Aula Timur ITB, karya-karya MacLaine Pont memang unik, merupakan gabungan teknologi Eropa dengan arsitektur bergaya Nusantara.

Mesjid Agung tahun 1930-an dengan benteng bermotif sisik ikan.

Tahun 1955, menyambut diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika, bentuk bangunan Mesjid Agung berubah drastis. Kedua menara kecil dibongkar untuk memperluas serambi depannya, dan sebagai gantinya dibangun menara tunggal di sisi selatannya. Ruang panjang di sisi kanan-kiri mesjid digabungkan ke bangunan utama. Dan bersama itu hilang pulalah ciri utama yang sudah hadir selama seratus tahun, atap tumpang tiga digantikan oleh kubah model bawang. Ada kemungkinan kubah model bawang dan menara tunggal pada bangunan baru Mesjid Agung merupakan gagasan dari Presiden Soekarno.

Mesjid Agung dengan kubah bawang pada akhir tahun 1970-an.

Konon saat Gubernur Jabar mengadakan rapat Panitia Perbaikan Mesjid Agung (dalam rangka menyambut Konferensi Asia-Afrika) di Gedung Pakuan tahun 1954, Soekarno menunjukkan gambar kasar gagasannya tentang Mesjid Agung. Namun karena desakan waktu, maka hanya kubah bawang dan menara tunggal itulah yang dapat terwujud dari gambar Soekarno tersebut. Sejak sebelum masa kemerdekaan Soekarno memang sudah menyimpan impian untuk membangun sebuah mesjid yang anggun dan megah. Namun keinginan ini harus menunggu sampai tahun 1960-an saat di Jakarta berhasil dibangun sebuah mesjid yang saat itu merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, Mesjid Istiqlal. Tak berapa lama kemudian satu gagasan dan gambar sketsa lain dari Ir. Soekarno terwujud lagi dengan dibangunnya Mesjid Salman di ITB. Inilah mesjid pertama yang bentuknya tidak mengikuti gaya tradisional arsitektur mesjid di Bandung.

Tahun 1970 wajah Mesjid Agung dirombak total menjadi bangunan bertingkat dua. Halaman luar lantai dua dihubungkan secara langsung dengan sisi barat Alun-alun oleh sebuah jembatan beton. Kesan umum tentang rupa bangunan baru ini ternyata tidak memuaskan, apalagi kehadiran jembatan beton malah “merusak” tampilan mesjid. Tahun 1980 pada bagian muka mesjid dibangun tembok tinggi yang hampir menutupi keseluruhan tampilan mesjid.

Foto Mesjid Agung 2007.

Tahun 2000 dimulailah perombakan besar-besaran Mesjid Agung. Kali ini mesjid diperluas dengan mengambil jalan raya di depannya serta sebagian sisi barat Alun-alun. Bangunan utama memiliki dua buah kubah dan di sudut kanan-kirinya didirikan dua menara kembar setinggi 88 meter. Dari atas menara ini pengunjung dapat melihat pemandangan kota Bandung serta kompleks-kompleks pegunungan yang mengelilinginya. Pembangunan ini baru selesai dan diresmikan pada 4 Juni 2003. Nama mesjid pun berganti menjadi Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat.

Tulisan ini saya kompilasikan dari sejumlah sumber terutama “Ramadhan di Priangan” (HaryotoKunto, Granesia, Bandung, 1996). Sumber lainnya adalah :

Rambles in Java & the Straits in 1852, Bengal Civilian (Charles Walter Kinloch),Oxford University Press, Singapore, 1987. Edisi aslinya diterbitkan dengan judul “De Zieke Reiziger” (The Invalid Traveller) pada tahun 1853 oleh Simpkin, Marshall & Co.

Album Bandoeng Tempo Doeloe, Sudarsono Katam & Tulus Abadi, Navpress, Bandung,2005.

Kliping HU Pikiran Rakyat.

Sumberfoto :

Tropen Museum, Bandoeng; Beeld van Een Stad (R.P.G.A. Voskuil), dan mooibandoeng.

Bujangga Manik – Konsep Mandala

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Kakara cu(n)duk ti Gunung,

Kakara datang ti Wetan,

Cu(n)duk ti Gunung Demalung

Datangna di Pamrihan Demalung

Datang ti lurah Pajajaran

Tulisan berikut ini saya sarikan dari artikel Pujangga Manik, Rsi Hindu-Sunda karya KRT. Kusumotanoyo yang dimuat dalam buku Gema Yubileum HIK Yogyakarta tahun 1987 serta beberapa sumber lain. Semoga dapat memberikan sedikit informasi mengenai Pujangga Manik, yang tidak lain merupakan tokoh penginspirasi kegiatan komuntas Aleut! (halah..) Melalui perjalanannya kita dapat menemukan berbagai makna-makna filosofis yang masih berguna hingga saat ini.

Pujangga Manik hidup dalam abad ke XV. Dalam riwayatnya banyak disebut kota Pakuan, yang sekarang merupakan kota Bogor. Dia adalah seorang Resi Hindu-Sunda. Beberapa kali dia mengadakan perjalanan jauh menjelajah pulau Jawa. Segala pengalamannya dia tulis pada Lontar, terkenal sebagai Octo-Syllabic (Berwujud butir-butir pokok sebanyak delapan (oktaf) jilid, atau sepuluh jilid. Anehnya , bahwa berkas itu sejak 1627 tersimpan pada Bodleian Library Oxford. Tahun 1968 diteliti oleh sarjana Belanda : Ricklefs, Voorhoeve dan Noorduyn. Kompilasi oleh Noorduyn disertai perbandingan dengan Negarakertagama, Hyang Kamanikam dan lain-lain.

Topografi

Dari karya Pujangga Manik, kita dapat mengetaui banyak nama-nama daerah Jawa di masa lampau, yang mungkin sekarang sudah tidak disebut lagi. Pujangga Manik sangat tertarik atas arah Barat-Timur, pulang dan pergi. Arah ini memang dipegang teguh. Dasar dari ketertarikan tersebut adalah legenda Agastya in Den Archipel, suatu fragmen dari Baratayuda. Yaitu perjalanan jauh Agastya dari barat ke timur. Arah ke timur sendiri memang memiliki arti gaib, sangat mungkin dipengaruhi oleh arah matahari terbit.

Perjalanan sang Pujangga yang pertama adalah sampai Pemalang dimana dia menghadapi batas berwujud sungai, bernama Pepali kemudian menjadi Pamali. Di seberang sungai itu terbentang Alas rimbaraya, yang disebutnya sebagai : Alas Jawa.

Perjalanan kedua dia sampai Gunung Lawu. Karena sangat cocok dengan adanya “religious schools” / pertapaan, dia untuk sementara waktu menetap di sekitar gunung Demalung yang tidak lain adalah Merbabu. Selain itu terdapat juga Gunung Kerungrungan yang tidak lain adalah Ungaran, Pegunungan Dihiyang adalah Dieng, dan seterusnya Prahu, Sindara, Sumbing dan Merapi.

Nama tempat lain antara lain : Danara atau Padanara yang kemudian menjadi Pandaran*. Asem Arang menjadi Semarang. Kota-kota seperti Surakarta, Yogyakarta, Klaten, Wates, Sleman, Boyolali , Magelang , Muntilan dan lain-lain tidak disebut, jadi belum lahir. Kali Waluyu adalah Bengawan Solo, Kali Cangku adalah Bengawan Madiun, Kali Ronabaya adalah Kali Brantas, Lohku menjadi Luk-ula, Kota Kalangbrit sekarang Trenggalek, Gunung Kampud sekarang gunung Kelud.

Pada Lereng Merapi, Merbabu, dan Ungaran terdapat “Religious Settlements” atau lebih kita kenal sebagai Mandala. Salah satunya disebut Rabut Palah yang sekarang Dusun Pantaran dan yang sampai sekarang masih menarik pada peziarah.

Mandala

Menarik untuk dibahas, bahwa semua religious schools / petapaan yang disebutkan Pujangga Manik berada berada di lereng gunung, puncak gunung, di atas gundukan tanah dan lain-lain. Kelengkapan dari pertapaan tersebut adalah adanya “Beji” atau kolam, telaga, mata air, danau dan lain-lain yang melambangkan Jalatunda. Jala artinya “air” dan Tunda artinya “yang mencuat dari tanah”. **

Konsep ini menurut Poerbatjaraka ditiru oleh kraton-kraton. Mereka membuat tiruan-tiruan “Hemelberg” atau kahyangan berupa gundukan-gundukan tanah (Argo), Hutan, Jalatunda (sumur,balumbang), tempat semedi dan lain-lain. Tanah tempat kraton saja sebenarnya seharusnya bergunduk “ang-geger bulus” sehingga melambangkan (lereng) gunung.

Dalam penentuan letak pertapaan, selain mengambil tempat tinggi. Kedua harus memperhatikan pedoman West-East yang mengacu pada matahari. Contohnya pembangunan Kraton yang harus menghadap ke timur. Ketiga harus ada sumber air yang melambangkan “sumur jalatunda“. Keempat lingkungan yang rimbun serta kelima, adanya perlengkapan dan sanggar2. Konsep ini berhubungan dengan istilah Lingga-Yoni, sehingga apabila dijabarkan lagi, arti simbolik yang ingin dihasilkan adalah :

Lingga : Dilambangkan oleh Gunung, Bukit, Gundukan tanah dll.

Yoni : Dilambangkan oleh pemandian, sungai, dll.

Pawita-sari : Air yang mengalir

Rahim : Dilambangkan oleh Gapura, Candi Bedah, Kori, Kendi, Vas, dll.***

Namun, konsep dataran tinggi ini ternyata sudah dikenal oleh orang-orang megalitik yang tinggal di Nusantara.Sudah merupakan tradisi bagi orang di jaman itu untuk membangun struktur-struktur batu dengan bentuk berundak atau piramid. Contohnya terdapat di situs Lebak Sibedug di Jawa Barat dan di Pegunungan Dieng. Makna dari tingkatan ini adalah Pencapaian Tingkat tertinggi, serangkaian metamorfosa atau kelahiran kembali.

Pujangga Manik menetap di sekitar gunung penanggungan cukup lama, diselingi perjalanan kecil ke Gunung Semeru yang dia namakan Mahameru sebagai pintu gerbang terakhir ke surga. Juga ke pegunungan Hyang dan Ijen serta Bromo sebagai “Pusat Pertapaan”. Di perjalanan ini dia juga menemukan bahwa kerajaan Majapahit telah memiliki Bhawacakra yang isinya mengatur hak dan kewajiban penganut agama Hindu dan Budha.

Pujangga manik seterusnya mengunjungi Bali, tetapi hanya sebentar. Rupanya dia sudah puas dengan Kompleks Merapi-Merbabu. Pada perjalanan kembali diamelewati pantai Selatan Jawa, sempat menambah pengalaman di Mandala Ayah, dekat Jatijajar sekarang. Selain itu sang Pujangga juga banyak menulis tentang daerah Priangan.

Demikian uraian (sangat) singkat mengenai Pujangga Manik, kalau mau versi lengkap silakan baca buku2ny yang sudah banyak beredar,,, hehehe

Keterangan :

*Mungkin sekarang Pangandaran

**Konsep ini mungkin ditiru dalam pembuatan goa Sunyaragi di Cirebondan taman sari Jawa lainnya.

*** Pembangunan kota Bandung juga mungkin mengacu pada konsep ini, dengan Poros utara Gunung Tangkuban Parahu, adanya Sungai Cikapundung dan Sumur di kawasan alun2. Kota Bandung yang berbentuk cekungan sesuai dengan konsep Jalatunda, terutama kalau dihubungkan dengan Gunung yang mengelilinginya.

Mengenal Haji Hasan Mustapa

Oleh : Asep Nendi

Agaknya telinga kita masih asing mendengar nama yang satu ini. Padahal seabad lalu namanya memiliki peranan penting bagi perkembangan Islam di Nusantara, khusunya bagi masyarakat Sunda.

Namanya diabadikan sebagai nama jalan yang memanjang dari Surapati sampai Cicaheum. Orang-orang lebih mengenal Jalan Suci daripada Jl. P.H.H Mustapa. Ya, Beliaulah Penghulu Besar Haji Hasan Mustapa.

Haji Hasan Mustapa (HHM) merupakan seorang pemuka agama sekaligus seorang pujangga. Karya-karyanya bercerita mengenai Islam yang dirangkaiankan dalam bentuk guguritan (bentuk puisi dalam Sastra Sunda),Biasanya disebut ngadangding yaitu membuat puisi dengan bentuk pupuh, karena setiap pupuh memiliki watak, guru wilangan, dan jumlah padalisan yang berbeda-beda.

Beliau dilahirkan di Cikajang, Garut bulan Syaban 1268 H(Juni 1852). Semasa kecilnya, HHM yang merupakan putra dari Haji Usman (Mas Sasramanggala), pernah belajar bersama putra para menak di rumah K.F Holle.Tidak lebih dari 4 bulan belajar, Haji Usman mengajak putranya (9 tahun) naik haji ke Mekkah. Padahal K.F Holle menyarankan agar HHM melanjutkan ke sekolah.

Haji Usman khawatir anaknya menjadi seperti Belanda dan berganti agama, maka dari itu beliau lebih memilih anaknya belajar agama danmengajaknya naik haji ke Mekkah. Haji Usman bekerja pada K.F Holle dan selama15 tahun memiliki pangkat sebagai Camat Perkebunan.

Di Mekkah beliau menetap selama setahun untuk belajar Al-Fatihahdan Attahiyat pada Syeikh Mukri. Sepulang dari Mekkah, HHM melanjutkan belajar agamanya ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Beberapa tahun kemudian beliau pergi ke Mekkah untuk memperdalam agama, HHM pergi ke Mekkah sampai tiga kali. selain belajar agama, beliau juga sempat mengajar agama di berbagai masjid di sana (pada kali ketiga dan keduanya ke Mekkah).

Pada tahun 1882(ketika masih berada di Mekkah) HHM dipanggil pulang ke Garut oleh R.H.Muhammad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu untuk meredakan ketegangan-ketegangandiantara para ulama di Garut.

Pada tahun ini juga HHM diangkat menjadi Godsdienstleeraardi Garut. Godsdienstleeraar yaitu sebutan untuk guru agama. Pemerintah Belanda takut pemberontakan yang terjadi di Sumatera dan Banten berulang. Maka dari itu Pemerintah Belanda membuat beberapa aturan bagi umat Islam, diantaranya aturan-aturan yang membatasi naik haji. (karena adanya anggapan seseorang yangtelah menjadi haji biasanya menjadi kepala pemberontakan). Selain itu Pemerintah Belanda juga membuat aturan yang mewajibkan bagi setiap orang yangingin mengajar agama Islam untuk meminta ijin terlebih dahulu. Namun,Godsdienstleeraar tidak berarti antek atau orang yang tunduk kepada Belanda,karena mereka tidak dberi gaji oleh Belanda. Selama tujuh tahun HHM menjadi guru agama di Garut, di Mesjid Agung Garut.

Berkat usahanya dibantu oleh R.H. Muhammad Musa dan Holle bentrokan paham antara para ulama di Garut dapat diredakan. Ketika itu HHM telah banyak berkenalan dengan para orientalis Belanda, diantaranya Holle,Brandes, Rinkes, dan Snouck Hurgronye (telah dikenalnya selama di Mekkah).Karena pengetahuannya yang luas tentang agama islam, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye meminta HHM untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck adalah penasihat pemerintah Belanda tentang masalah-masalah orang Indonesia dan Arab. Catatan perjalanan Snouck itu dimuat dalam BKI nomor 101 tahun 1942 halaman 311-324 dengan judul “Aantekeningen overIslam en Volklore in West en Midden Java.” Selama tujuh tahun HHM menjadi pembantu Snouck Hurgronye.

Pada tahun 1893 atas usul Snouck, pemerintah Belanda mengangkat ia menjadi Hoofd Penghulu di Aceh. Ketika itu masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang kritis terhadap segala permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan Islam. HHM dianggap tokoh yang tepat untuk mengatasi halini. Hubungan antara HHM dan Pamarentah Belanda di Aceh kurang baik, sehingga jabatan ini hanya dipangkunya selama dua tahun. HHM pun kembali ke tanah kelahirannya Priangan.

HHM menjadi Penghulu Besar di Bandung mulai dari bulanseptember 1895 sampai pensiun di tahun 1918. Saat tinggal di Bandung HHM banyak menulis, karya-karyanya kebanyakan ditulis antara tahun 1900-1902.

Sayang sekali karya-karyanya tidak dicetak, padahal padamasa itu sudah terdapat mesin cetak. HHM menggunakan kebiasaan tradisionalpesantren dalam menyebarkan naskahnya. Karyanya dipersilahkan untuk disalinoleh yang menyukainya, sehingga akhirnya menyebar diantara para pengikutnya.

Pemikiran HHM mengenai Islam tidak jarang bersebrangan dengan para ulama Jawa lainnya. Tidak sedikit protes dan pertanyaan kritis dari para ulama ataupun dari umat Islam yang menyerang dirinya. Yang paling sering adalah pertanyaan mengenai pertemanannya dengan Dr. Snouck Hurgronje. HHM dianggap membantu Snouck yang dianggap akan membongkar akar-akar keIslaman orang pribumi. Snouck dianggap mengemban misi kristenisasi. Namun sayang pertanyaan itu tidak disampaikan secara langsung, malah kebanyakan diajukan melalui surat kaleng. Surat seperti itu bahkan pernah dimuat pada surat kabar Arab di Mesir. Padahal menurut Kern, ketika beliau masih bermukim di Mekah, HHM telah mengajar ulama-ulama yang berdatangan dari seluruh Jawa. Ia mengajar bahasa Arab dan soal-soal keagamaan. Oleh karena itu ia dikenal dan dihormati oleh ulama-ulama di seluruh Jawa, dan menjadi tempat bertanya serta tempat meminta nasihat bagi penghulu-penghulu Priangan.

Hal yang tidak kalah kontroversial pada masanya adalah prosesi penguburan salah satu anaknya yaitu Toha Firdos. Selama hidup Toha Firdos menggemari musik keroncong. Sampai akhir hayatnya Toha memimpin sebuahkelompok musik keroncong “Sangkuriang”. Rombongan kelompok musik inilah yang mengiringi almarhum sampai ke liang kuburnya.

Munurut Ajip Rosidi, kebanyakan karya-karyanya yangsekarang beredar, sebagian besar merupakan hasil rekapan atau salinan dari jurutulisnya yang kedua yaitu R. Wangsaatmadja (WA)(1923-1930). Sebelumnya HHM memiliki juru tulis bernama Wangsadihardja sekitar tahun 1900-1902. sulit sekali untuk melacak naskah-naskah asli karyanya, karena semua naskah asli HHM (yang disimpan WA) yang ditulis dalam aksara Arab Pegon dibakar oleh WA setelah disalin ke aksara latin. WA menganggap tidak perlu menyimpan naskah aslinya,dan HHM telah menyutujuinya. WA menceritakan semua naskah ditulis dalam aksara Arab Pegon karena HHM tidak bisa menulis dalam aksara Latin.Padahal penelitian Ajip Rosidi kemudian membantahnya.

Berikut ini adalah beberapa karya dari HHM ; Bab Adat-AdatUrang Sunda Jeung Priangan Liana ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda,diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa SusuratananaAntara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan(Hadis Mikraj, tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958). Masih banyakkarya-karyanya yang diterbitkan dalam bentuk stensilan, disampingkarya-karyanya yang dipublikasikankepada kalangan terbatas.

Sumber Bacaan ;

  1. Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana. Ajip Rosidi. Penerbit Pustaka. Bandung.1989.
  2. http://rumahbacabukusunda.blogspot.com/2009/01/mengkaji-haji-hasan-mustapa-dulu-dan.html

Catatan Perjalanan Cicendo – Pajajaran Bersama Aleut!

Oleh : Nurul Wachdiyyah (Ulu)

Februari 2009 saya menyusuri trek patahan Lembang. Bersama Aleut (yang waktu itu masih bernama Klab Aleut). 17 bulan kemudian saya kembali ikut ngaleut dengan (komunitas) Aleut! Edun udah lama banget ternyata ya…

Bang Ridwan bilang kumpul 7.30 di sebrang Balaikota, depan masjid Al Ukhuwah. Jadi saya datang tepat waktu! Mungkin lain kali panitia bisa ngasih reward buat yang datang tepat waktu dan sanksi kepada yang telat. Ya denda nraktir aja cukup kayaknya. Hehe.

Masjid Al Ukhuwah a.k.a masjid Balaikota ini dahulunya adalah gedung tempat berkumpul kaum teosofi. Dahulu (dan rasanya sekarang masih ada), ada beberapa gerakan terkenal, salah satunya adalah Freemason/Vritmetselarij. Bang Ridwan cerita bahwa sebelum jadi masjid, di tempat saya berdiri dulunya adalah bangunan Loge Sint Jan. Masyarakat mengenalnya sebagai Gedung Setan (Jadi bikin saya inget Gouvernemen Bedrijven yang ngetop dengan nama Gedong Sate). Ungkapan ‘Setan’ bisa jadi terbentuk akibat upacara-upacara yang dilakukan oleh pengikut gerakan ini. Ada efek-efek serem buat yang liat kali. Bisa juga karena kostum yang dikenakan mereka pada waktu berkumpul. Kata Bang Ridwan mah gitu.

Berikutnya adalah menyusuri jalan Aceh dan tembus hingga jalan Kebon Sirih. Bang Ridwan cerita sebentar tentang susu. Kaitannya dengan BMC, Bandung Milk Centre. Adalah Ursone bersaudara, The Italian man yang super kaya raya dan punya banyak tanah luas di Bandung. Selain jago main musik, mereka juga senang berbisnis. Ursone bikin peternakan sapi sekaligus pusat pengolahan susu (BMC). BMC di masa lampau adalah produsen susu terbesar se-Hindia Belanda. Kejayaannya bertahan hingga tahun 50an. Saking kayanya, salah satu tanahnya dihibahkan pada juragan lainnya bernama Bosscha. Di tanah itu sekarang berdiri peneropongan Bosscha.

Gedung Pakuan adalah poin kami berhenti berikutnya. Berdiri di depan ‘kerajaan’ gubernur Jawa Barat ini rasanya gimana gitu. Bener kata Bang Ridwan, ‘semoga gedung kegubernuran ini segera dibuka untuk umum’. Amin! teriak saya, dalam hati.

Kami kembali berjalan. Bangunan SLB Cicendo dilewat. APA! Pekik saya dalam hati. Besar harapan saya buat masuk ke bangunan ini. Yaaahh… gak masuk deh. Yasudahlah.

Kali ini treknya masuk ke kawasan stasiun. Dari jalan Kebon Kawung, masuk ke jalan-jalan kecil. Beberapa jalan dengan nama orang kami lalui. Yang paling saya ingat jl. H. M. Mesri. Kami mengunjungi mata air (iya! Mata air! ada ternyata) Ci Guriang yang letaknya di belakang jl. H. Mesri. Aleut! ngajak kami melihat kompleks pemakaman. Ukurannya kecil. Pemakaman keluarga tampaknya. Salah satu nisan menunjukkan nama seseorang, H. M. Mesri, nama jalan yang saya lalui tadi dan nanti. Wow… “assalamualaikum”, sapa saya dalam hati pada entah siapa.

Di satu-satunya saung di pemakaman tersebut kami beristirahat. Bang Ridwan bercerita tentang orang-orang yang mendiami kawasan Pasar Baru. Bandung pada awal pertumbuhannya kedatangan banyak kaum urban. Mereka datang dari segala penjuru Hindia Belanda. Ada orang Tionghoa, Arab, India, Jawa, dan Sumatera. Tidak sedikit dari mereka yang jadi pembesar, orang kaya raya dan sukses. Mereka mendiami wilayah nadi perekenomian di Bandung: Stasiun dan Pasar Baru. Masyarakat Bandung menyebut mereka dengan sebutan “Orang Pasar”. Salah satunya adalah H. Mesri ini. Beliau punya tanah yang luas. Namanya diabadikan jadi nama jalan. Sepanjang jalan H. M Mesri, kami masih bisa lihat rumah-rumah jadul dan pemiliknya masih keturunan H. Mesri. Ini bisa keliatan dari papan nama pemilik rumah. Tapi sebentar, Bang Ridwan, H. M. Mesri teh jadinya orang mana ya aslinya? Apa hubungannya dengan Pangeran Diponegoro ya? Saya gak bagus nyimak ceritanya nih 😀

Kami sempat mampir di depan rumah Haryoto Kunto. Jl. H. M. Mesri no 5. Gak masuk, hanya ngeliatin dari luar dan mendesah kecewa karena perpustakannya tutup. Tapi dia (perpusnya) memang tutup untuk umum dan siapapun kan ya? kecuali beberapa pihak tertentu.

Berikutnya kaki ini dibawa jalan lagi masuk ke kawasan jalan-jalan wayang. Menuju Pajajaran bagian barat. Pertama-tama kami masuk ke jalan Ksatriaan. Ada sebuah bangunan pojok jalan yang indah. Ah lagi-lagi gak keurus…

Kami masuk ke bangunan SMPN 1 Bandung. Wah ini baru buat saya. Manalah saya tahu tentang sejarah bangunan ini. Wakwaw… Lalu kami berjalan melangkahi pintu gerbang dan duduk di depan/kaki bangunannya. Bang Ridwan kembali bertutur tentang Ksatriaan Institute. Sebelum berwujud sekolah seperti sekarang, bangunan ini digunakan untuk belajar. Ini dia perjuangan Setiabudi alias Douwes Dekker dan rekan-rekannya para pejuang dalam memerangi para penjajah dengan pendekatan pendidikan. Mereka bikin semacam lembaga pendidikan khusus untuk pribumi. Soekarno pernah ngajar di sekolah ini. Bang Ridwan cerita, ini lembaga pendidikan pertama untuk pribumi dan tingkatannya setara dengan SMP. Wow! Oh Tuhan.. seandainya saja kisah tentang Douwes Dekker ini diangkat jadi film, saya rela kok jadi tukang angkut-angkut properti filmya.

Sebenernya banyak yang saya pengen tanya ke BR tentang Ksatriaan Institute dan khususnya Douwes Dekker. Tapi saya sendiri gak tau pertanyannya apaaa 😀 Jadi kepada Bang Ridwan, nantikan sms-sms pertanyaan dari Ulu, entah kapan. hehe

Setelah cukup istirahat, Ksatriaan Institute kami tinggalkan.

Berikutnya adalah jalan kaki yang mulai bikin saya kelelahan. Masuk gang, keluar gang dan berujung di pemakaman (lagi). Sepertinya pemakaman keluarga juga tapi saya gak terlalu paham juga disitu mau ngapain selain melihat-lihat tahun kelahiran dan wafatnya. Nampaknya keluarga pembesar juga layaknya H. M. Mesri. Ada juga pohon Sawo yang katanya hanya berbuah pada saat lebaran.

Yak perjalanan dilanjut lagi. Jalan kaki terus dan terus dan terus. Muter-muter sih kayaknya. Ujungnya keluar di jalan Pasteur. Kami nyebrang dan istirahat dulu, ngopi-ngopi dulu di suatu warung jalan Dr. Rum kayaknya mah. Istirahat yang lumayan lama karena ada hiburan berupa bala-bala, kopi, kerupuk, dan sejenisnya. Beres ngaso, perjalanan lanjut lagi.

Sepanjang jalan Pajajaran bagian timur khatam. Kami berjalan ke belakangnya pabrik Kina. Kirain bakal masuk tapi enggak. Yaaahh…gak apa-apa deh. Selama jalan kaki disitu, ada beberapa rumah-rumah hunian yang bentuknya masih jadul. Lucu. Unik. Terus si Yanstri poto-poto deh rumahnya soalnya dia suka banget sama yang begituan.

Habis itu kami nyebrang daaaaaaannnn masuuuuuuuuuk SLB Cicendo! Yihaaa!

Setelah bertahun-tahun hanya bisa jadi secret admirer gedung ini, akhirnya bisa masuk juga. Menyentuh tiang-tiang bangunannya dan menjejakkan kaki dalamnya. Menghirup aroma sejarah perjuangan disitu. Sepintas di awal sebelum masuk bangunannya BR bilang waktu Jepang menduduki Bandung, salah satu ruangan didalam digunakan sebagai ‘gudang’ pembantaian. Glek.. Bangunan SLB Cicendo-nya sunyi senyap. Penghuninya berkomunikasi pake bahasa isyarat jadi ya… sepi.

Kalau baca di internet, gedung SLB ini disebut-sebut sebagai bangunan dengan rangka baja pertama di Bandung. Malah di Hindia Belanda. Wow. Tapi seorang teman berpendapat lain. Katanya (berdasarkan buku Gedung Sate, Sudarsono Katam), bangunan rangka baja pertama itu Gedung Sate.

Yak.
Sekian. Dari SLB Cicendo itu masing-masing orang pulang ke peraduannya.
Hari minggu yang menyenangkan (satu paket sama bikin capenya juga).
Satu lagi episode yang bikin saya bisa dekat dengan sejarah. Saya catat dan akan jadi sejarah dengan saya sendiri didalamnya.
Hehe.
Nuhun, Aleut!

-Ulu
Tulisan ini juga dimuat di http://mahanagari.com/

Hikayat menjelang Ramadhan

Oleh : Ujang Lukman

Apa kegiatan favorit anda menjelang Ramadhan? bagaimana reaksi anda apabila ada yang mengajak berkunjung ke makam atau kuburan? takut itu pasti, namun perjalanan Aleut kali ini dimana tempat yang banyak dikunjungi ialah makam pedagang pasar Baru jaman dahulu tidak akan membawa ketakutan akan tetapi menambah wawasan dan mengingatkan kita tentang artinya hidup dan ibadah.

Perjalanan penuh hikmah ini dimulai di Masjid Al Ukhuwwah depan Balaikota, sebelum menjadi masjid dulu berdiri gedung Loji Sint Jan yaitu tempat berkumpulnya para teosof untuk membicaraan masalah teosofi, gedung ini terkesan angker dan misterius karena selalu sepi, pintu dan jendela selalu tertutup sehingga masyarakat sering menyebutnya sebagai “gedung setan”, Sekitar tahun 1960-an gedung ini dibongkar untuk mendirikan gedung Graha Pancasila baru pada tahun 1990-an dibangun lah masjid. Pernah baca atau dengar keterangan yang menyatakan bahwa pada bulan Ramadhan setan-setan dibelenggu dan pintu neraka ditutup, tetapi pintu surga dibuka?

Beranjak tidak jauh dari Masjid Al Ukhuwwah, tepatnya dibelakang ada gedung BMC (Bandoengsche Melk Centrale) yang dibangun tahun 1925, konon sekitar tahun 1900-an Bandung terkenal dengan produk susu sehingga dijuluki “Friesland in Indie”, susu yang dihasilkan dari perahan sapi daerah Pangalengan dan Lembang. Lalu kami pun berjalan menuju pusat pemerintahan Hindia Belanda yaitu gedung Pakuan, Bandung pernah merangkap sebagai ibu kota Kab. Bandung dan ibu kota Keresidenan Priangan. Akibat terjadinya kerusakan hebat yang menimpa kota Cianjur karena meletusnya Gunung Gede maka ibu kota Keresidenan dipindahan ke Bandung pada bulan Agustus 1864. Kantor Residen Priangan pernah juga memakai Gedung bekas Olie Fabrieken Insulide di jl. Braga dan gedung karya A.F. Aalbers yang terletak di Jl. Dago sebelah Hotel Holiday inn. ehh.. hampir lupa kata pakuan atau pakuwon dalam dalam bahasa sunda artinya istana.

Mata air Ciguriang

Dan perjalanan religi diteruskan menuju makam keluarga H. Mesri yang terletak didaerah Kebon Kawung (Stasion Bandung) Menurut penuturan salah seorang pesertaH. Mesri merupakan seorang tuan tanah kaya raya, tepat di bawah makan tersebut ada mata air Ciguriang yang mengalir sampai daerah Kepatihan (sebelum bernama pasar baru sekarang, dulunya pasar ini bernama pasar Ciguriang, namun karena peristiwa penusukan Asisten Residen maka dibakarlah pasar Ciguriang sekitar tahun 1856, barulah pada tahun 1906 dibangun Pasar Baru). Berdasarkan penuturan penjaga makam H. Mesri dulu diatas mata air Ciguriang ada pohon caringin namun semenjak pohon itu tumbang air tidak keluar lagi, sekarang mata air tersebut hanya dipakai untuk kolam tadah hujan saja.

Beranjak menuju jl. Kesatriaan tepatnya SMPN 1 Bandung, dulunya merupakan tempat kegiatan pergerakan pemuda dalam merintis kemerdekaan Indonesia seperti Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Bung Karno pernah juga mengajar ilmu eksakta disekolah ini. Selanjutnya para peserta menuju makam H. Sarif di jl. Samba daerah Pajajaran, beliau merupakan pedagang Pasar baru yang berjualan batik Pekalongan dan Cirebon. Pada perjalanan Aleut sebelumnya saya juga pernah mengunjungi makam serupa di Jl. Cipaganti dekat dengan Hotel Nyland yaitu makam H. Idris. Jadi teringat amalan yang akan terus mengalir pahalanya walau sudah meninggal yaitu harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang dibagikan, serta anak yang sholeh.. ehmm thank’s bang Ridwan yang selalu berbagi pengetahuan.

Akhirnya setelah melewati berbagai kondisi jalan dan gang sempit, perjalanan religi ini berakhir di SLB Cicendo (Mereeniging vor Onderwijsaan Doofstomme Kinderen in Indonesia “Lembaga Bisu Tuli”), gedung ini didirikan wali kota Bandung Ir. J.E.A van Wolzogen Kuhr dengan biaya dari K.A.R Bosscha. Lembaga ini diresmikan 18 Desember 1933, memiliki keistimewaan yaitu gedung pertama yang menggunakan sistem rangka baja murni. Namun berdasarkan penelusuran ahli sejarah justru pada masa kepemimpinan Residen Priangan J.H.B kunaeman, SLB Cicendo didirikan 3 Januari 1930 atas prakarsa Ny. C.M Roelfsema Wesling, istri Dr. H.L. Roelfsema seorang ahli penyakit THT, sedang untuk asrama siswa menempati rumah Roelfsema sendiri di jl. Riau no. 20. Material besi hampirmendominasi bagain pintu dan jendela, untuk desain atap menyerupai rumah tradisional Jawa Barat. Saat akan pulang kami berjumpa langsung dengan para siswa SLB Cicendo pada momen itu hati merasa sangat bersyukur kepada Tuhan, karena telah diberikan nikmat dan karunia dengan lengkap, semoga dengan semua anugrah ini dapat memberi kontribusi terhadap sesama.

Akhir kata mohon maaf atas segala kesalahan baik ucap maupun perbuatan, semoga
diberi kemudahan dan kelancaran dalam menunaikan ibadah Shaum di bulan Ramadhan
nanti.. amin

Dan sebagai oleh-oleh bagi teman-teman yang tidak ikut perjalanan ini, saya bawa “foto sawo kenitu”.. silahkan.. diamati..

Sawo kenitu, atau sawo ramadhan karena berbuah pas bulan Ramadhan, nanti lebaran akan panen berniat untuk mencicipi??

Aleut! Catatan Perjalanan Gn. Manglayang, 010810

Oleh : Ridwan Hutagalung

Pada hari Minggu, 1 Agustus 2010 kemarin, komunitas Aleut! mengadakan perjalanan ke Gunung Manglayang (1817 m.dpl). Perjalanan ini diikuti oleh 24 peserta dan di mulai dari halte DAMRI Dipatiukur menuju Jatinangor yang dilanjutkan dengan menyewa dua buah angkot menuju Kp. Barubeureum (Manyeuhbeureum). Sayang, jalur jalan yang menanjak dengan kondisi rusak tak dapat diselesaikan oleh angkot-angkot ini sehingga harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju pemukiman (pos) terakhir di lereng timur Gunung Manglayang. Di jalur ini Aleut! berjalan di sisi timur Pasir Handap, sebuah bukit dengan ketinggian 1180 m.dpl.

Pemukiman terakhir ini menjadi semacam pos istirahat bagi Aleut! sebelum memasuki tahap pendakian yang sebenarnya. Segera setelah melaksanakan doa bersama dan menyeberangi sungai kecil (Ci Batur?), dimulailah jalur pendakian sepanjang hampir 3 km menuju puncak Gn. Manglayang. Rata-rata kemiringan jalan setapak yang bertangga-tangga di lereng ini sekitar 45 derajat dan harus ditempuh dengan hati-hati dan susah payah oleh sebagaian besar rombongan (termasuk saya tentunya). Hampir di keseluruhan jalur bertangga-tangga ini terdapat akar-akar pepohonan melintang yang cukup membantu pijakan kaki saat mendaki. Namun ketinggian anak-anak tangga tanah yang kadang mencapai +60 cm ini tak jarang menjadi kesulitan tersendiri.

Sebagian rombongan terpaksa harus sering berhenti untuk mengatur nafas dan mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan pendakian. Saling memerhatikan sesama teman sudah menjadi kewajiban utama dalam perjalanan seperti ini, apalagi mengingat sebagian besar peserta sama sekali tidak memiliki pengalaman semacam ini sebelumnya. Dengan perlahan semua peserta berhasil sampai di Puncak 3 atau sering disebut Puncak Prisma Gn. Manglayang dalam waktu sekitar 90 menitan. Mendekati Puncak Prisma ini, Aleut! sempat berjumpa dengan kelompok pemburu dengan anjing-anjingnya.

Tiba di Puncak Prisma dengan dataran yang tidak terlalu luas, sudah terhampar pemandangan bebas yang memesona ke arah timur dan selatan. Barisan pegunungan di sebelah timur dan utara tampak berlapis-lapis hingga samar-samar di titik terjauhnya. Pasir (bukit) Handap (1180 m.dpl) yang tadi kami lalui sekarang tampak jauh sekali di bawah kaki kami. Di sebelah tenggara tampak Gunung Geulis (1281 m.dpl) dan Bukit Jarian (1173 m.dpl) mencuat dari dataran timur Bandung yang luas. Di utara berturut-turut adalah Pasir Patokbeusi (1557 m.dpl), Gn. Pangparang (1957 m.dpl) dan di belakangnya menyembul puncak Gn. Bukit Tunggul (2206 m.dpl). Jauh di sebelah timur adalah Gn. Kareumbi (1685 m.dpl) dan Gn. Kerenceng (1742 m.dpl). Tidak semua gunung ini dapat terlihat bebas dari Puncak Prisma, karena sebagian (utara) hanya dapat terlihat saat di tengah perjalanan saja.

Bagi saya sendiri, pesona pemandangan dari Puncak Prisma ini bercampur-baur dengan rasa ngeri menyadari posisi berada di ketinggian dengan dataran yang sempit. Semua tampak jauh sekali di bawah kaki, sementara seluruh sisi dataran Puncak Prisma yang sempit ini adalah jurang-jurang vertikal yang sangat dalam. Di sini saya selalu menghindarkan diri agar tidak berada terlalu pinggir. Ajaib pula rasanya mengetahui bahwa di selatan Puncak Prisma ini terdapat satu jalur pendakian ekstrim berupa jalan setapak yang sangat curam dengan sisi kiri-kanannya jurang vertikal yang cukup dalam. Saat turun menuju Batukuda nanti akan terilhat jelas betapa menakutkannya jalur pendakian ini.

Di sebuah dataran sempit yang cukup teduh beberapa meter di bawah Puncak Prisma seluruh peserta membuka perbekalan dan berbagi makan siang. Kawasan hutan yang mulai padat menjelang Puncak Prisma tampak menghampar miring di bawah Aleut!. Semua makanan yang seadanya saat itu bertukar-tukar tempat dengan mulusnya. Bagi saya inilah yang disebut harmoni. Kesannya persis seperti saat mendengarkan konser grup band Crosby, Stills, & Nash yang mampu bertukar harmoni vokal secara halus walaupun dilakukan secara spontan. Saling mengisi, saling memberi, saling menerima.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi dengan pendakian menuju Puncak 1 (utama) selama kurang dari satu jam. Di sisi kiri-kanan jalan setapak vegetasi hutan dengan pepohonan besar semakin padat sehingga cukup meneduhkan perjalanan. Kali ini iring-iringan rombongan tidak terlalu jauh terpisah. Tiba di dataran Puncak Manglayang yang cukup luas, wajah-wajah lelah namun lega tampak pada teman-teman yang segera duduk terserak berselonjoran. Sebagian lagi langsung berbaring. Ini adalah waktunya untuk istirahat, berbagi cerita pendakian, dan bercengkrama. Sebagian peserta mengisi formulir Aleut! dan berjalan-jalan di sekitar hutan. Sekeliling dataran Puncak Manglayang tertutup oleh pepohonan besar dan tidak memiliki lokasi pandang bebas termasuk ke arah selatan ataupun timur yang sepanjang pendakian tadi selalu cukup terbuka. Kondisi ini lumayan menenteramkan hati saya karena tidak adanya kesadaran ketinggian.

Di salah satu sisi dataran puncak ini terdapat tumpukan batu bata yang tersusun membentuk bidang persegi. Lokasi ini dipercayai sebagai sebuah makam kuno. Di sisi-sisinya terdapat beberapa pohon hanjuang yang memang biasanya terdapat di kompleks pemakaman serta dua buah cangkang kelapa yang berlubang bagian atasnya. Cangkang kelapa ini juga biasa dipakai orang dalam prosesi berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat. Kisah mengenai makam keramat di Puncak Manglayang pertama kali saya dengar dari Pak Maman, kuncen di Batuloceng dan kemudian dari sesepuh Kampung Pulo, Cangkuang, Garut, yang memang pernah berziarah dan menginap di sini.

Seperti perjalanan pendakian yang kami mulai dengan doa, maka perjalanan turun dari Puncak Manglayang pun dimulai dengan berdoa pula. Semoga tetap selamatlah semua peserta dalam perjalanan Manglayang ini. Tak lama kemudian Aleut! melanjutkan perjalanan turun ke arah Bumi Perkemahan Batukuda.

Sebelum jalur jalan setapak benar-benar turun dengan curamnya, kami masih akan sedikit mengalami jalur tanjakan lagi. Kali ini mencapai Puncak 2 Manglayang. Di titik ini berarti Aleut! telah melintasi ketiga puncak Gn. Manglayang dalam sekali jalan. Setelah ini maka jalur turunan akan terus tajam, sekitar 45 derajat, hingga mencapai Bumi Perkemahan Batukuda lebih dari satu jam kemudian. Di tengah turunan kami juga menemui beberapa situs batu berukuran raksasa dengan nama-nama Batu Tumpeng, Batu Lawang, dan Batu Keraton.

Lebih ke bawah kami melewati kawasan hutan bambu dengan tanah pijakan yang cukup licin karena tertutupi oleh dedaunan kering, kawasan hutan pinus, dan di bagian bawahnya lagi adalah kawasan dengan vegetasi perdu serta semak belukar. Walaupun sudah cukup berhati-hati, namun beberapa teman terpeleset juga di jalur turunan yang curam ini. Mungkin ini tanda kelelahan yang semakin memuncak sehingga sangat memengaruhi tingkat keseimbangan tubuh sebagian peserta.

Sebagian lain peserta ternyata masih memiliki energi yang cukup untuk berlari turun melintasi hutan pinus menuju pos terakhir kami hari ini, warung di dekat pintu masuk Batukuda! Istirahat yang cukup di keteduhan hutan pinus Batukuda, mengisi perut dengan mi instan dan kopi atau susu, kemudian ditutup dengan sedikit refleksi atas perjalanan hari ini. Dari sini kami masih berjalan sedikit lagi keluar dari Batukuda menuju mobil dolak (kol buntung) yang sudah dipesan oleh Asep. 24 peserta Aleut! ditumpuk di bak belakang mobil yang menuju Bunderan Cibiru sebelum berpisah menuju angkot pulang masing-masing.

Ridwan Hutagalung
Senin, 2 Agustus 2010

NB.
Aneh juga di kawasan gunung dan hutan yang cukup lebat serta konon cukup berat untuk ditempuh ini, kami tak hentinya menemukan jejak sampah perkotaan di sepanjang jalur mendaki dan menurun sepanjang hampir 8 km! Bagaimana hal-hal seperti ini bisa dan terus saja terjadi?

Sumber data :
Peta Daerah Bandung dengan skala 1:500.000 terbitan Periplus, Singapore, 2007.

Keterangan lebih lanjut tentang Gn. Manglayang :
“Benteng Hijau Terakhir Bandung”, Budi Brahmantyo, Kompas, Jumat, 31 Juli 2009. http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=55
“Gunung Palasari, Satu Lagi Arsip Budaya KBU”, Oka Sumarlin, HU. Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 (http://www.okasumarlin.co.cc/?p=209)
Curug Cilengkrang, Bandung, Asep Surayana, http://asep-bandung.blogspot.com/2009/05/curug-cilengkrang-bandung.html

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑