Terinsiprasikisah perjuangan yang dipimpin oleh Jendral Soedirman dalam merebut kemerdekaan dengan cara bergerilya menembus hutan dan perbukitan, maka perjalanan aleut kali ini mencoba menyelami dan mendalami kisah perjuangan tersebut untuk mencari sumber air untuk kota Bandung…
Sesuai perintah dan SMS, maka berkumpulah para pejuang dari seluruh penjuru Bandung di Markas Besar Aleut Jl. Sumur Bandung. Diawali dengan do’a maka perjalanan kali ini akan dipimpin langsung oleh Jendral BR (maaf disingkat, biar “sound” nya enak) dan sang “Frontman” Kapten Asep sebagai penunjuk jalan.
Tempat pertama kali yang dikunjungi ialah Vila Mei Ling (tempat para petinggi Belanda berunding dalam proses penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang) di Cisitu, sama seperti jaman dulu kami pun disini merundingkan bagaimana cara termudah untuk menemukan sumber air, saat sedang berbincang sang jendral baru menyadari bahwa salah satu stafnya yaitu Letnan Cici belum hadir. Untuk menyiasatinya Jendral mengobrol dan mendongeng, setelah sekian lama menunggu dan hampir kehabisan kata-kata akhirnya yang ditunggu datang juga, disambut tepuk tangan dan pekik “euhhh…” akhirnya seluruh pasukan komplit untuk memulai perjalanan. Musuh yang harus dilumpuhkan dalam perjuangan ini adalah tanjakan, tangga serta rasa lapar dan haus.
Tiba di pinggir bukit Cisitu, seluruh peserta menerawang jauh membayangkan rute perjalanan dan sumber air yang harus ditemukan, belum lagi musuh yaitu tanjakan dan anak tangga yang harus dilalui. Dengan nada penuh semangat Jendral BR berucap “Yuuu…ah” sebagai perintah untuk memulai perjuangan, sebagai penunjuk jalan Kapten Asep selalu berada di depan pasukannya. Perjalanan kali ini kami menempuh beberapa perkampungan yang terletak di pinggiran sungai Cikapundung dan beberapa hutan / kebun, kadang dalam pikiran terlintas apakah benar kami sedang berada di Bandung atau sedang tersesat. Beberapa kali jalan yang dilalui sempit dan harus melalui reruntuhan tembok atau bekas benteng rumah warga, kalau bukan atas petunjuk Kapten Asep mungkin kami tak menyangka ada jalan seperti itu. Dibeberapa perkampungan nampak berbagai lomba menyambut “Agustusan”, karena Agustus jatuh pada bulan Ramadhan nampaknya kegiatan dimajukan. Namun ada seorang pejuang yang bertanya “Kapan 17 Agustus itu???”..(ada yang bisa jawab??, saya tak tahu dia itu orang mana??)
Setelah melewati perkampungan, akhirnya sampai juga di Ranca Bentang Ciumbuleuit dan mampir ke Bumi Sangkuriang (tempat berkumpulnya para planter Belanda). seluruh pasukan melewati perumahan elite di sekitar Ciumbuleuit dan Hegarmanah dimana disana berdiri kokoh rumah-rumah besar yang indah dan mahal….. ternyata banyak juga orang kaya di Bandung, kapan ya mereka seperti saya….. setelah puas melihat keindahan dan kemegahan perumahan elite, hati kami terasa terenyuh melihat kumuhnya pemukiman penduduk asli warga disana, saking padatnya penduduk gang-gang jalan hanya cukup dilalui untuk satu orang saja. Berbeda sekali dengan kondisi disebrangnya yang megah dan indah.
Tapi dibalik itu semua akhirnya kami bisa menemukan sumber air yang dinamakan “Pancuran tujuh” dimana air keluar berlimpah tanpa henti, ah..lumayan untuk cuci muka dan mendinginkan badan disaat cuaca mulai panas. Puas bermain air mereka pun beranjak pergi untuk melanjutkan perjalanan, dan dimulailah perjuangan yang sebenarnya dimana seluruh pejuang harus melawati ratusan anak tangga dan tanjakan yang cukup melelahkan, serta turunan, jalan setapak dan nyamuk yang berkeliaran menganggu. Setelah melewati ujian tersebut ketemu juga dengan tempat yang dicari yaitu “Mata Air Cikendi”, terpancar jelas kebahagian dari wajah seluruh pejuang terutama sang Jendral BR. Di tempat tersebut tertulis juga angka 1921 yang menandakan tahun dibangunnya, untuk mengenangnya mereka pun berfoto bersama. Dan selanjutnya??.. anak tangga lagi yang harus dilalui.
Disaat matahari merangkak naik, seluruh pejuang telah sampai di daerah Cipaku, teriknya matahari memaksa kami harus istirahat dan mengisi perut yang sudah keroncongan. Disaat sebagian pejuang masih mengisi perutnya Kapten Asep dengan semangat memimpin pasukan untuk melanjutkan perjalanan, beruntung Jendral BR mengingatkannya bahwa masih ada pejuang yang masih makan.. eleh..eleh.. setelah semua pasukan selesai mengisi perut perjalanan pun dilanjutkan. namun baru beberapa langkah mereka berjalan, letnan Cici menemukan tukang cilok, yaa terpaksa kami harus menunggu lagi karena pesan 6000 plus belum dipanasin plus ngobrol bisa dipastikan akan berapa lama lagi kami menunggu, tau gitu mah tadi makan baso dikunyah dulu nggak langsung ditelan…
Melewati kebun pisang dan …. tunggu dulu kami harus melewati tangga n tanjakan lagi…lagi…lagi…dan lagi entah berapa anak tangga yang telah dilalui, yang terasa hanya pegal di betis dan nafas terengah-engah. Seluruh pasukan telah melewati Cipaku-Ledeng-Sawahlega, dalam perjalanan tersebut terhapar jajaran sawah dipinggir bukit mengingatkan suasana di Ubud Bali (jiga nu pernah wae) walau tidak banyak tapi menandakan toponimi daerah tersebut. Dan akhirnya setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan seluruh pasukan akhirnya menemukan mata air yang kedua yaitu Cibadak. Mata air ini agak terawat dibanding yang sebelumnya karena lokasinya dekat dengan pemukiman sehingga terjaga keadaannya. Lalu… tanjakan dan anak tangga lagi….

Setelah seluruh pasukan naik dan tiba di daerah negla, tampak dari wajah para pejuang rasa cape sudah menembus ke tulang sum-sum, mereka putus asa seakan tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Seperti ingin pecah betis ini lalu berteriak “Capeee..sangat..ingin segera istirahat dan dipijat.. apalagi kalo plus-plus pijatannya”. Pada momen seperti inilah kepemimpinan seorang Jendral Besar BR diuji, apakah beliau mampu memotivasi pasukannya untuk terus berjuang. Dengan nada penuh wibawa beliau lalu berkata “Kita hampir sampai pada titik terakhir dari perjuangan, dan disana kita akan beristirahat di… Taman Ice Cream.. Taman Ice Cream”. Bagai anak kecil diberikan mainan, atau bagai api disiram bensin semangat para pejuang berkobar kembali (emang ada pejuang semangat karena Ice cream??) rasa lelah dan putus asa hilang tak berbekas diganti dengan bayangan nikmatnya Ice Cream…ehmmm mak nyusss.. itulah kharisma sang Jendral…
Dan rintangan paling terakhir pun sudah menanti, apalagi kalo bukan tanjakan dan anak tangga di daerah Cidadap. Walau tidak terlalu berat dan panjang namun stamina para pejuang hampir menuju titik nadir, maka untuk menyiasatinya Jendral beserta pasukannya harus berunding dengan .. Tukang Cingcau untuk mengisi tenaga dan menyusun strategi yang tepat.
Karena beratnya perjalanan ini tercatat ada 4 orang yang gugur meninggalkan pasukan karena ada keperluan. Akhirnya perjuangan pun berakhir di Taman Ice Cream, disana seluruh pasukan beristirahat dan berkumpul bersama untuk mendengarkan penjelasan tentang rute yang telah dilewati serta sumber-sumber air yang mensuplai kota Bandung. Sungguh beruntung kita hidup dijaman kemerdekaan ini sehingga kita hanya tahu sejarah perjuangan para pahlawan dan tidak merasakan penderitaan mereka dalam merebut kemerdekaan, oleh karena itu mari kita isi kemerdekaan dengan kegiatan yang berguna dan bermakna…
Trims to Aleut, Bang Ridwan, n Mbak ayu atas foto2 nya..
Sebagai hadiah telah membaca notes ini ada bonus menanti anda, cekidot..
Seekor anjing dengan wajah dan bulu mirip singa, ditemukan di daerah Cipaku, Alex punya sifat pemalu dan pundungan ketika diajak bercengkrama dengan pegiat Aleut.
Dan akhirnya terjawab sudah misteri yang selama ini terpendam,, siapa kekasih Asep N itu, ditemukan plakat ikrar cinta mereka di sekitar Ledeng, mungkin plakat ini dibuat jauh sebelum acara Ngaluet.. Piss ahh