Month: July 2010

Perjuangan Aleut! Menemukan Sumber Air

Oleh : Ujang Lukman

Terinsiprasikisah perjuangan yang dipimpin oleh Jendral Soedirman dalam merebut kemerdekaan dengan cara bergerilya menembus hutan dan perbukitan, maka perjalanan aleut kali ini mencoba menyelami dan mendalami kisah perjuangan tersebut untuk mencari sumber air untuk kota Bandung…

Sesuai perintah dan SMS, maka berkumpulah para pejuang dari seluruh penjuru Bandung di Markas Besar Aleut Jl. Sumur Bandung. Diawali dengan do’a maka perjalanan kali ini akan dipimpin langsung oleh Jendral BR (maaf disingkat, biar “sound” nya enak) dan sang “Frontman” Kapten Asep sebagai penunjuk jalan.

Tempat pertama kali yang dikunjungi ialah Vila Mei Ling (tempat para petinggi Belanda berunding dalam proses penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang) di Cisitu, sama seperti jaman dulu kami pun disini merundingkan bagaimana cara termudah untuk menemukan sumber air, saat sedang berbincang sang jendral baru menyadari bahwa salah satu stafnya yaitu Letnan Cici belum hadir. Untuk menyiasatinya Jendral mengobrol dan mendongeng, setelah sekian lama menunggu dan hampir kehabisan kata-kata akhirnya yang ditunggu datang juga, disambut tepuk tangan dan pekik “euhhh…” akhirnya seluruh pasukan komplit untuk memulai perjalanan. Musuh yang harus dilumpuhkan dalam perjuangan ini adalah tanjakan, tangga serta rasa lapar dan haus.

Tiba di pinggir bukit Cisitu, seluruh peserta menerawang jauh membayangkan rute perjalanan dan sumber air yang harus ditemukan, belum lagi musuh yaitu tanjakan dan anak tangga yang harus dilalui. Dengan nada penuh semangat Jendral BR berucap “Yuuu…ah” sebagai perintah untuk memulai perjuangan, sebagai penunjuk jalan Kapten Asep selalu berada di depan pasukannya. Perjalanan kali ini kami menempuh beberapa perkampungan yang terletak di pinggiran sungai Cikapundung dan beberapa hutan / kebun, kadang dalam pikiran terlintas apakah benar kami sedang berada di Bandung atau sedang tersesat. Beberapa kali jalan yang dilalui sempit dan harus melalui reruntuhan tembok atau bekas benteng rumah warga, kalau bukan atas petunjuk Kapten Asep mungkin kami tak menyangka ada jalan seperti itu. Dibeberapa perkampungan nampak berbagai lomba menyambut “Agustusan”, karena Agustus jatuh pada bulan Ramadhan nampaknya kegiatan dimajukan. Namun ada seorang pejuang yang bertanya “Kapan 17 Agustus itu???”..(ada yang bisa jawab??, saya tak tahu dia itu orang mana??)

Setelah melewati perkampungan, akhirnya sampai juga di Ranca Bentang Ciumbuleuit dan mampir ke Bumi Sangkuriang (tempat berkumpulnya para planter Belanda). seluruh pasukan melewati perumahan elite di sekitar Ciumbuleuit dan Hegarmanah dimana disana berdiri kokoh rumah-rumah besar yang indah dan mahal….. ternyata banyak juga orang kaya di Bandung, kapan ya mereka seperti saya….. setelah puas melihat keindahan dan kemegahan perumahan elite, hati kami terasa terenyuh melihat kumuhnya pemukiman penduduk asli warga disana, saking padatnya penduduk gang-gang jalan hanya cukup dilalui untuk satu orang saja. Berbeda sekali dengan kondisi disebrangnya yang megah dan indah.

Tapi dibalik itu semua akhirnya kami bisa menemukan sumber air yang dinamakan “Pancuran tujuh” dimana air keluar berlimpah tanpa henti, ah..lumayan untuk cuci muka dan mendinginkan badan disaat cuaca mulai panas. Puas bermain air mereka pun beranjak pergi untuk melanjutkan perjalanan, dan dimulailah perjuangan yang sebenarnya dimana seluruh pejuang harus melawati ratusan anak tangga dan tanjakan yang cukup melelahkan, serta turunan, jalan setapak dan nyamuk yang berkeliaran menganggu. Setelah melewati ujian tersebut ketemu juga dengan tempat yang dicari yaitu “Mata Air Cikendi”, terpancar jelas kebahagian dari wajah seluruh pejuang terutama sang Jendral BR. Di tempat tersebut tertulis juga angka 1921 yang menandakan tahun dibangunnya, untuk mengenangnya mereka pun berfoto bersama. Dan selanjutnya??.. anak tangga lagi yang harus dilalui.

Disaat matahari merangkak naik, seluruh pejuang telah sampai di daerah Cipaku, teriknya matahari memaksa kami harus istirahat dan mengisi perut yang sudah keroncongan. Disaat sebagian pejuang masih mengisi perutnya Kapten Asep dengan semangat memimpin pasukan untuk melanjutkan perjalanan, beruntung Jendral BR mengingatkannya bahwa masih ada pejuang yang masih makan.. eleh..eleh.. setelah semua pasukan selesai mengisi perut perjalanan pun dilanjutkan. namun baru beberapa langkah mereka berjalan, letnan Cici menemukan tukang cilok, yaa terpaksa kami harus menunggu lagi karena pesan 6000 plus belum dipanasin plus ngobrol bisa dipastikan akan berapa lama lagi kami menunggu, tau gitu mah tadi makan baso dikunyah dulu nggak langsung ditelan…

Melewati kebun pisang dan …. tunggu dulu kami harus melewati tangga n tanjakan lagi…lagi…lagi…dan lagi entah berapa anak tangga yang telah dilalui, yang terasa hanya pegal di betis dan nafas terengah-engah. Seluruh pasukan telah melewati Cipaku-Ledeng-Sawahlega, dalam perjalanan tersebut terhapar jajaran sawah dipinggir bukit mengingatkan suasana di Ubud Bali (jiga nu pernah wae) walau tidak banyak tapi menandakan toponimi daerah tersebut. Dan akhirnya setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan seluruh pasukan akhirnya menemukan mata air yang kedua yaitu Cibadak. Mata air ini agak terawat dibanding yang sebelumnya karena lokasinya dekat dengan pemukiman sehingga terjaga keadaannya. Lalu… tanjakan dan anak tangga lagi….

Setelah seluruh pasukan naik dan tiba di daerah negla, tampak dari wajah para pejuang rasa cape sudah menembus ke tulang sum-sum, mereka putus asa seakan tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Seperti ingin pecah betis ini lalu berteriak “Capeee..sangat..ingin segera istirahat dan dipijat.. apalagi kalo plus-plus pijatannya”. Pada momen seperti inilah kepemimpinan seorang Jendral Besar BR diuji, apakah beliau mampu memotivasi pasukannya untuk terus berjuang. Dengan nada penuh wibawa beliau lalu berkata “Kita hampir sampai pada titik terakhir dari perjuangan, dan disana kita akan beristirahat di… Taman Ice Cream.. Taman Ice Cream”. Bagai anak kecil diberikan mainan, atau bagai api disiram bensin semangat para pejuang berkobar kembali (emang ada pejuang semangat karena Ice cream??) rasa lelah dan putus asa hilang tak berbekas diganti dengan bayangan nikmatnya Ice Cream…ehmmm mak nyusss.. itulah kharisma sang Jendral…

Dan rintangan paling terakhir pun sudah menanti, apalagi kalo bukan tanjakan dan anak tangga di daerah Cidadap. Walau tidak terlalu berat dan panjang namun stamina para pejuang hampir menuju titik nadir, maka untuk menyiasatinya Jendral beserta pasukannya harus berunding dengan .. Tukang Cingcau untuk mengisi tenaga dan menyusun strategi yang tepat.

Karena beratnya perjalanan ini tercatat ada 4 orang yang gugur meninggalkan pasukan karena ada keperluan. Akhirnya perjuangan pun berakhir di Taman Ice Cream, disana seluruh pasukan beristirahat dan berkumpul bersama untuk mendengarkan penjelasan tentang rute yang telah dilewati serta sumber-sumber air yang mensuplai kota Bandung. Sungguh beruntung kita hidup dijaman kemerdekaan ini sehingga kita hanya tahu sejarah perjuangan para pahlawan dan tidak merasakan penderitaan mereka dalam merebut kemerdekaan, oleh karena itu mari kita isi kemerdekaan dengan kegiatan yang berguna dan bermakna…

Trims to Aleut, Bang Ridwan, n Mbak ayu atas foto2 nya..

Sebagai hadiah telah membaca notes ini ada bonus menanti anda, cekidot..

Seekor anjing dengan wajah dan bulu mirip singa, ditemukan di daerah Cipaku, Alex punya sifat pemalu dan pundungan ketika diajak bercengkrama dengan pegiat Aleut.

Alex, nama yg cukup keren untuk seekor anjing. Tak terbayang nama pemiliknya..emm yg pasti bukan uj….

Dan akhirnya terjawab sudah misteri yang selama ini terpendam,, siapa kekasih Asep N itu, ditemukan plakat ikrar cinta mereka di sekitar Ledeng, mungkin plakat ini dibuat jauh sebelum acara Ngaluet.. Piss ahh

Plakat ikrar cinta

Sekilas Sejarah Pendidikan Kolonial

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Djika soedah dapat goeroe sedjati

Minta soepaja dipeladjari

Tjara bagaimana ilmoe hakiki

Jang bergoena kelak kemoedian hari

 

(Sumber :  anonim)


Masa orientasi siswa telah dimulai, tampak wajah2 ceria anak2 yang memasuki lingkungan sekolah baru, sebaliknya wajah cemas diperlihatkan orang tua mereka yang harus membiayai sekolah sang anak. Mungkin timbul di benak para orang tua itu, mengapa harus ada sistem sekolah yang membedakan antara sekolah dasar, sekolah menengah pertama, atas, hingga perguruan tinggi. Mengapa tidak di”jamak-qashar” saja menjadi satu, sebut saja Sekolah Komplit ? Nah oleh karena itu kita perlu menilik sejarah pendidikan di Nusantara. Tapi karena cukup panjang, maka saya batasi dulu pembahasan hanya untuk sekolah dasar saja.

Sebelum kedatangan Belanda, pendidikan di Nusantara kebanyakan hanya berbentuk pesantren yang lebih mengutamakan ilmu Agama Islam tentunya. Ilmu yang diajarkan disini tentunya sangat terbatas, karena ilmu pengetahuan barat belum masuk sepenuhnya. Sampai kemudian datang Belanda yang menggunakan peluang keterbatasan Ilmu pengetahun penduduk Pribumi untuk dengan mudahnya mengacak-acak masyarakat nusantara melalui taktik-taktik kotor. Namun toh penduduk pribumi tidak sebodoh itu untuk menerima penjajahan. Mereka tetap melawan.

Hambatan terbesar bagi Belanda tentunya adalah Iman yang menjadi motivasi penduduk untuk melakukan perang suci terhadap “Pasukan Salib” Belanda. Titik-titik perlawanan utama; Aceh, Sumatera Utara dan Jawa Tengah merupakan lokasi perang-perang suci yang paling merepotkan Belanda. Oleh karena itu, munculah ide dari Snouck Hurgronje untuk melakukan “associatie van de inheemse elite aan de Nederlandse cultuur” alias asosiasi elit pribumi pada budaya Belanda untuk mengikis perlawanan penduduk pribumi. Mengapa hanya kaum elit ? Karena menurutnya tidak ada cukup dana untuk bisa memberikan pendidikan berbasis Barat ke penduduk pribumi. Selain itu “de kleine man” atau psikologi rakyat jelata juga belum cukup dipahami untuk bisa melihat ekses dari pemberian pendidikan ini di masa depan.

Pendidikan Barat ini intinya punya dua fungsi, selain mengurangi perlawanan penduduk, juga untuk menyuplai tenaga-tenaga terdidik, cakap, disipilin dan loyal pada pemerintahan Hindia Belanda. Ini tentunya akan lebih mudah daripada menggaji orang dari negeri Belanda. Nah, Singkatnya mulailah muncul sekolah-sekolah di Nusantara. Berikut adalah beberapa jenis sekolah tersebut.

Secara garis besar ada dua macam sekolah, yaitu yang berbahasa Belanda dan berbahasa non-Belanda.

Untuk yang Non Bahasa Belanda, yang pertama adalah pendidikan dasar yang biasa disebut Volkschool atau sekolah desa. Di sekolah ini anak-anak sekadar diberi pelajaran membaca, menulis atau berhitung. Lulusan terbaik sekolah ini dapat melanjutkan ke Vervolgschool, dan tamatan vervolgschool dapat melanjutkan lagi ke kursus Guru Bantu selama 2 tahun. Praktek engajar dijalankan di Tweede Inlandse School (sekolah rakyat angka loro) selama 6 bulan. Kalau lulus dapat mengajar di Volkschool.

Ada pula Tweede Inlandse school , lamanya 5 tahun. Tamatan sekolah ini dapat menjadi guru, melalui ujian dan seleksi untuk diterima di Normaalschool voor Indlandse Hulponderwijzer (guru bantu pribumi). Murid Tweede Inlandse School kelas 4 yang pintar dapat diterima di Schakelschool selama 3 tahun. Schakelschool merupakan sekolah yang menjembatani sekolah berbahasa non-Belanda dengan yang berbahasa Belanda.

Sekolah rendah yang mendapat pelajaran Bahasa Belanda antara lain Hollands Inlandse School (HIS), dengan lama studi 7 tahun. Bahasa pengantar di kelas I, II dan III adalah bahasa daerah, sedangkan bahasa Belanda diberikan di kelas I satu kali seminggu, di kelas II dan III kemudian lagi ditambah beberapa jam. Di kelas IV beberapa pelajaran sudah mulai menggunakan bahasa Belanda, sedangkan di kelas V, VI dan VII smua pelajaran sudah diberikan dalam bahasa Belanda. Seperti UAN di masa sekarang, anak-anak kelas VII di masa itu harus mengikuti ujian seleksi akhir dengah hasil :

  • Tamat dan mendapat keterangan dari Kepsek langsung masuk kelas I MULO
  • Tidak tamat dan tidak boleh mengulang
  • Tidak tamat, tapi boleh mengulang 1 tahun
  • Tamat, boleh turut ujian masuk voorklas (kelas persiapan) MULO
  • Tamat, mendapat keterangan dari Kepsek boleh masuk ke voorklas MULO tanpa ujian dan boleh ikut ujian untuk kelas I MULO

Begitulah ternyata sistem kelulusan jaman dahulu lebih rumit namun lebih manusiawi.

Kemudian ada pula Schakelschool. Tamatan sekolah ini mendapat hak yang sama dengan tamatan HIS.

Setingkat dengan HIS, ada pula sekolah-sekolah untuk keturunan China yang disebut Hollands Chinese School (HCS), keturunan Arab Hollands Arabische School (HAS) dan untuk anak-anak serdadu KNIL asal Ambon – Ambonse School.

Tahun 1927, untuk meningkatkan mutu murid tamatan HIS, pemerintah Hindia Belanda membuka sekolah baru bernama Hollands Inlands Kweekschool di Bukittinggi, Bandung, yogyakarta dan Blitar. Lamanya 3 tahun dengan mata pelajaran yang hampir sama dengan MULO (Gouvernements Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di sekolah ini, bahasa Belanda merupakan pelajaran maut, nilai 5 merupakan bel kematian. Murid dipersilakan mencari sekolah lain atau tidak naik kelas. Dan untuk setiap tingkatan, seleksi diperketat. Untuk bahasa Belanda rata-rata sekurangny memiliki nilai 6 untuk sub bagian membaca, pengetahuan dan penguasaan.

Setelah sekolah ini dibuka, pihak swasta juga membuka sekolah serupa antar lain sekolah NIATWU yang didirikan Yayasan Teosofi Albanus di daerah Lembang.

Nah, murid-murid yang dapat memasuki Kweekschool ini antara lain :

  • Murid-murid Kweekschool kelas I yang naik ke kelas II melalui seleksi
  • Murid-murid voorklas MULO yang naik ke kelas I MULO melalui seleksi
  • Murid-murid tamatan HIS yang mendapat keterangan langsung dapat diterima di kelas I MULO, melalui seleksi.

Lulusan HIK merupakan lulusan yang sangat unggul dan diproyeksikan untuk menjadi guru HIS. Guru-guru lulusan HIK berpengetahuan luas dan dapat berbahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Jawa.

Pada masa kedatangan bangsa Jepang. Semua sekolah berbahasa Belanda ditutup. Di kemudian hari, seluruh sekolah dasar hanyalah berbentuk SR atau Sekolah Rakyat yang lama belajarnya 6 tahun. Demikian sedikit uraian singkat mengenai sejarah pendidikan dasar di masa kolonial.

Berikut adalah bagan tingkat sekolah di masa kolonial Belanda

GHS : Geneeskundige Hoge School

HAC : Hoofd Akte Cursus

RHS : Recht Hoge School

THS : Technische Hogeschool

HKS : Hogere Kweek School

HIK : Hollands Inlands Kweekschool

AMS : Algemeene Middlebare School

KS : Kweekschool

Sumber :

P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Gramedia : 2002

Keluarga EX-HIK Yogyakarta, Gema Edisi Yubileum, Forum Komunikasi keluarga Ex-HIK : 1987

July 13, 2010

Catatan Indonesia di Piala Dunia 1938

Oleh : Ujang Lukman

Momen Piala Dunia telah membius hampir seluruh warga dunia, fanatisme dan histeria mengaduk emosi para penontonnya tak terkecuali di Indonesia negara yag berjarak jauh dari Afrika sekalipun. Sepak bola telah menjadi hiburan murah namun meriah yang bisa melupakan penontonnya terhadap masalah yang terjadi dinegeri ini. Lalu seperti apakah sejarah sepakbola Indonesia hingga sampai dapat berpartisipasi pada Piala Dunia 1938 di Prancis.

Sejarah per-sepakbola-an negeri ini dicatat dalam buku History of Java yang ditulis oleh Gubernur Jenderal Raffles, yang menyinggung kegemaran kaum pribumi terhadap sepak bola. Dan dari sejarah lahirnya organisasi persepak bolaan kita yaitu Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang lahir di bulan April 1930, bahwa inilah organisasi olahraga yang pertama menggunakan nama Indonesia dan ini terjadi jauh sebelum Indonesia Merdeka. PSSI menjadi wadah persatuan klub-klub yang pada masa tersebut banyak tersebar di seluruh tanah air. PSSI untuk pertama kalinya diketuai oleh Soeratin Sosrosoegondo, seorang insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa. Seiring semangat kebangsaan yang tercetus di masa-masa 1920-an, PSSI juga menjadi wadah untuk menyatukan kegiatan sepak bola di nusantara karena sepak bola Indonesia di zaman kolonialisasi terkotak-kotak ke dalam berbagai bond sepak bola lokal.

Hingga akhirnya pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Nederlandsh Indische Voetbal Unie (NIVU) pada 1936, sebagai bentuk upaya menandingi kekuatan PSSI. Dan bentuk persaingan ini terasa saat menjelang Piala Dunia di Prancis tahun 1938. Maka dibuatlah perjanjian antara kedua pihak untuk mengirim tim perwakilan.

Dari buku berjudul “Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola” karangan R.N. Bayu Aji ( Ombak, 2010) di dapatkan sebuah kenyataan : “Pihak PSSI bersikukuh bahwa wakil di Piala Dunia adalah PSSI bukan NIVU, akan tetapi FIFA mengakui NIVU sebagai wakil Dutch East Indies.
Ir. Soeratin (Ketua PSSI saat itu) menolak memakai nama NIVU karena ketika NIVU mempunyai hak, maka dalam penentuan komposisi materi pemain yang menentukan adalah orang-orang Belanda. Perjanjian tersebut lantas dibatalkan oleh PSSI.” (hlm 77-78). Soeratin
membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. Namun NIVU tetap mengirimkan tim ke Prancis dengan bendera Dutch East Indies (Hindia Belanda). Tim tersebut adalah perwakilan Asia pertama sepanjang sejarah Piala Dunia.

Ditangani pelatih Johannes Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia Belanda tersebuat adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Tercatat nama Bing Mo Heng (kiper), Herman Zommers, Franz Meeng, Isaac Pattiwael, Frans Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Tjien, Jack Sammuels, Suwarte Soedermandji, Anwar Sutan, dan kiri luar Achmad Nawir yang juga bertindak sebagai kapten.

Keikutsertaan Dutch East Indies atau Hindia Belanda bukan semata undangan, namun melalui pra kualifikasi yaitu menghadapi Jepang, namun karena situasi sosial dan keamanan pada masa itu, Jepang mengundurkan diri. Jepang menolak hadir dan memberikan kesempatan bagi Hindia Belanda untuk tampil mewakili zona Asia di kualifikasi grup 12. Lalu Amerika Serikat yang jadi lawan berikutnya menyerah tanpa bertanding.

Pada babak penyisihan, Hindia Belanda langsung menghadapi tim tangguh, Hungaria. Stadion Velodrome Municipale, Reims, 5 Juni 1938, menjadi saksi bersama 9.000 penonton yang hadir, Hindia Belanda tak mampu berbuat banyak dan terpaksa pulang lebih cepat setelah digilas 6-0 oleh Hungaria. Dan memang oleh kemampuannya yang tinggi, kelak Hungaria meraih posisi runner-up. Dan posisi pertama ditempati oleh Italia dengan mengalahkan Hungaria 4-2. Meski belum menggunakan bendera Merah-Putih, inilah satu-satunya penampilan indonesia di Piala Dunia.

Semoga kita dapat mengambil hikmah dari pengetahuan sejarah ini, doadan harapan dari semua masyarakat untuk bisa melihat penampilan Indonesia pada Piala Dunia selanjutnya…Amin.

DAFTAR KLUB SEPAKBOLA HINDIA BELANDA TAHUN 1894-1942 :
• Ardjoeno – Malang – Indonesisch
• BVC (Bataviasche Voetbal Club) – Batavia – Europees
• The Corinthians – Malang – Europees
• Djocoja – Djokjakarta
• Excelsior – Soerabaja
• Hak Sing – Malang – Chinees
• HBS – Soerabaja
• HCTNH – Soerabaja – Chinees
• Hercules – Batavia – Europees
• MVS (Medansche Voetbal Vereniging) – Medan
• OLVEO (Onze Leus is Voortwaarts En Overwinnen) – Batavia – Europees
• SIDOLIG (Sport In De Open Lucht Is Gezond) – Bandoeng – Europees
• Sparta (Militairen) – Batavia – Europees
• Sparta (Militairen) – Bandoeng – Europees
• Sparta – Malang
• STOVIA (Inlandse Artsen) – Batavia – Indonesisch
• SVBB (Sportvereniging Binnenlands Bestuur) – Batavia – Europees
• SVV – Semarang
• Takja Oetama – Malang – Indonesisch
• THOR (Tot Heil Onzer Ribbenkast) – Soerabaja
• Tiong Hoa – Soerabaja – Chinees
• VIOS (Voorwaarts Is Ons Streven) – Batavia – Indonesisch
• Vitesse – Malang
• UMS (Unity Makes Strength) – Batavia – Chinees
• UNI (Uitspanning na Inspanning) – Bandoeng – Europees
• Velocitas (Militairen) – Bandoeng – Europees
• Voorwaarts – Malang – Europees
• VVJA (Voetbal Vereniging Jong Ambon) – Batavia – Indonesisch
• VVM (Voetbal Vereniging Minahassa) – Batavia – Indonesisch

Sumber : olahraga.kompasia.com, www.indischhistorisch.nl

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑