Month: June 2010

Melayang di Manglayang

Oleh : Hartsa Mitsalia

mendengar suara angin
melihat kota tercinta
menjadi raksasa sambil tersenyum kagum melihat karya-Nya…

Angin dingin Gunung Manglayang menyapa kami para Aleutian di pintu masuk Curug Cilengkrang. Disambut oleh pekikan bocah yang sedang bermain air di sungai dekat pintu masuk. Aku mulai mengamati keadaan sekeliling, membiasakan diri dengan udara yang dingin, angin yang kencang, percikan air sungai dan–untuk menyeimbangkan keadaan yang terlampau sejuk itu–merasakan kehangatan sendagurau diantara kami para Aleutian.

Perjalanan kami pun dimulai dengan menyusuri jalan setapak yang berlumpur, sambil mendengan penjelasan dari Kang Asep Suryana tentang batu-batu besar yang kami lewati. Penjelasan Kang Asep kian menarik saat kami bertemu dengan curug pertama yang bernama Curug Batu Peti. Mengapa dinamakan Curug Batu Peti? karena ada batu yang cukup besar dan bentuknya seperti peti. Kata Kang Asep, curug yang akan kita kunjungi berikutnya juga diberi nama berdasarkan batu besar yang ada didekat curug tersebut.

Batu Peti. Photo by R. Indra Pratama

Setelah mengamati kecebong, engkang-engkang, kutu air, nympha serangga, dan melihat udang transparan, kami melanjutkan perjalanan sambil menginjak-injak badan sungai yang indah untuk sampai ke curug berikutnya yaitu Curug Papak. Papak dalam Bahasa Sunda artinya datar atau rata. Bagian puncak curug ternyata memang batu yang datar sehingga nama itu menjadi pantas baginya.

Curug Papak. Photo by Yanstri Meridianti

Ingin rasanya bermain-main, berlama-lama di Curug Papak. Berharap bisa bermain perosotan dibadannya. Berharap bisa berbaring di atasnya sambil melihat awan yang berkejaran. Tapi kemudian kami diingatkan bahwa di curug berikutnya ada tempat yang lebih mengasikkan untuk menhabiskan waktu dan bermain. Yaah.. apa boleh buat kami percaya saja dan melanjutkan perjalanan.

Jalan setapak yang sangat empuk berkali-kali melumat sepatu warna putih gadingku, merubah warnanya menjadi warna tanah. Namun suara air di Curug Panganten mengalihkan pikiranku dari malangnya nasib sepatu-putih-gading-butut-

ku. Dari nama curug itu yang terbayang adalah curug yang indah, ditumbuhi bunga-bunga layaknya pengantin. Tapi ternyata perkiraanku salah. Ternyata lagi-lagi karena batu. Ada batu besar yang bentuknya seperti kursi pelaminan pengantin sehingga curug itu diberi nama Curug Panganten.

Curug Panganten. Photo by R. Indra Pratama

Oh ya, sebelum sampai di curug panganten ada hal menarik di sisi kiri sungai. Disana ada hutan pinus yang bentuk batangnya sangat unik. Entah bagaimana caranya, batang pinus itu meliuk-liuk.

Pinus bengkok. Photo by. R. Indra Pratama

Tidak terasa tiga curug sudah kita kunjungi. Berarti masih ada tiga curug lagi yang menunggu untuk kita singgahi.

Setelah menyusuri sungai, sampailah kami di Curug Kacapi. Dan Ya, memang ada batu besar seperti kecapi di puncak curug. Selain itu lagi-lagi Kang Asep yang bercerita dan kali ini ceritanya sedikit mistis. Bahwa menurut penduduk asli, setiap malam senin sering terdengar bunyi kecapi di sana. Namun yang kami dengar adalah nyanyian air yang jatuh dari Batu Kacapi yang tinggi. Indah, sama sekali tidak terasa seram.

Sebelum kami sampai ke curug berikutnya, kami harus memanjat tebing terlebih dahulu. Kemiringannya hampir 90 derajat. Asep Nendi dan teman pecinta alamnya membantu kami merayap di dinding tebing. Pengamalan seru seperti yang selama ini aku impikan. Begitu sampai diatas, ulat-bulu-coklat-gendut-besar sudah menunggu kami. Melihatnya saja sudah gatal. Ditempat ulat-bulu-cokat-gendut-besar itu lagi-lagi kami harus memanjat batu. Untung ada Asep Nendi, Imas dan Egi yang membantu kami semua naik sampai ke atas tebing. Terimakasih juga untuk Bey yang dengan gagah berani menyingkirkan makhluk gendut-coklat-berbulu-bikin-gatal itu dari pandangan.

Perjalanan yang cukup panjang dengan medan yang licin mengantarkan kami ke curug berikutnya yaitu Curug Dampit. Curug ini berdiri kokoh, seakan melihat angkuh dari ketinggian. Dua curug yang saling ber-Dampit-an ini sama-sama membuat kagum kami yang melihatnya. Kami menikmati Curug Dampit diatas batang pohon besar yang tumbang. dari situ kami dapat melihat burung parkit warna merah cerah sedang hinggap di dahan pohon. Di sini juga kami melihat kotoran primata, elang yang terbang, awan yang bergerak cepat, tumbuhan palem, dan akhirnya kamipun tahu bahwa tempat kami berdiri saat itu adalah hasil dari longsoran Gunung Manglayang.

Dari pongahnya Curug Dampit, kami tidak sabar mengunjungi Curug Leknan atau tepatnya Legok Leknan. disebut Legok Leknan karena dahulu pernah ada pesawat seorang berpangkat Letnan jatuh di legokan itu. warga setempat akhirnya menyebut daerah tersebut dengan sebutan Legok Leknan.

Dan sampailah pada bagian terbaik dari perjalanan ini. Dari Legok Leknan kami beranjak naik menyusuri jalan setapak yang sangat sempit, licin dengan jurang disisi kanannya. setiap langkah yang di ambil tidak boleh salah, karena berakibat fatal bila kita terpeleset dan masuk jurang. Di salah satu bagian jalan setapak itu, Aku bertemu sengan laba-laba hitam yang besar. Dan perbincangan itu pun terjadi.

Aku
Bandung, kota ku tercinta. Terlihat sangat indah dari sini. Hmmm… Ku hirup dalam-dalam udara bersih di Gunung Manglayang. Menghafalkan dengan sungguh-sungguh aromanya, sejuknya, warnanya, dan perasaan bahagia yang aku rasakan disana. Dan Aku pun iri dengan seekor laba-laba hitam yang membuat rumah tepat di tempat aku berdiri menikmati panorama. Pintar sekali laba-laba itu, pikirku. Begitu pintarnya memilih tempat untuk tinggal. Betapa iri nya aku kare laba-laba itu tak perlu susah-susah untuk menikmati panorama indah, udara bersih, langit yang ramah dan suasana tenang.
aku pun memandang sinis pada laba-laba itu. laba-laba yang beruntung! keluh ku.

Laba-Laba Hitam
Huft…lagi-lagi manusia. Datang bergerombol mengusik ketenanganku. Mereka datang dengan langkah yang kasar dan berisik, memotret aku yang sedang bersantai (hey! laba-laba ini butuh sedikit privacy!), meracau dengan kata-kata ‘waah’, ‘wow’, ‘mantab!’ sungguh mengganggu!
ku beri tahu ya, bukan begitu cara menikmati pemandangan. lihat aku. diam, tenang, tersenyum.
aku kesihan melihat mereka. datang terpogoh-pogoh dengan peluh hanya untuk datang ke ketingian untuk melihat kota mereka yang terlihat lebih ramah dan tenang.
dan gadis itu, apa yang dia fikirkan? melihat sinis ke arahku. Apa salahku? sepertinya dia ingin merebut tempat tinggalku. pandangan itu sungguh mengganggu!

Aku
Sampailah aku di tempat yang membayar lunas rasa takutku di jalan setapak tadi. Suara angin menyapaku. Lanskap Bandung memanjakan mataku. Pekik girang teman-teman melengkungkan senyum lebar di bibirku. Aku pun membelalakkan mata, tersenyum seleber-lebarnya, merasakan angin kencang yang mengajakku melayang di Manglayang.
Dari Gunung Manglayang, aku seperti raksasa yang tersenyum memandang miniatur kota di bawahnya. Bandung terlihat sunyi dan damai dari atas sini.
Dari sini aku berbisik, Terima kasih Tuhan telah menciptakan kota yang begitu indah. Dan maaf Tuhan hanya sedikit yang dapat aku lakukan untuk menjaganya. Tapi sungguh, aku mencintainya. Bandung ku tersayang…

aku menitip salam pada laba-laba hitam dari kejauhan. jaga tempat ini baik-baik. tunggu aku datang kemari lagi. menyapa mu.. lain kali, tersenyum pada mu…

Patahan Lembang, Keindahanmu Menyimpan Bencana

Oleh : Lukman

Apa yang terlintas dibenak anda ketika kata “Lembang ” diucapkan?, pasti pikiran anda langsung menuju ketan dan jagung bakar, ya betul memang kedua makanan tersebut merupakan makanan khas disana. Dengan suasana yang dingin dan sejuk, ditambah pemandangan perbukitan yang hijau serta perkebunan sayuran membuat Lembang terasa mempesona. Namun dibalik pesonanya, hanya sedikit orang yang mengetahui misteri yang tersimpan didalamnya dan bisa mengakibatkan bencana.

Patahan Lembang, nama misteri itu. Patahan/sesar ialah retakan kerak bumi yang telah menggeser blok yang dipisahkannya. Akibat pergerakan itu Lembang sebelah utara ambles, sedang bagian selatan terangkat naik, patahan ini memanjang dari Lembang sampai Padalarang sepanjang 22 km. Patahan ini juga bersinggungan dengan patahan Cimandiri yang berujung di Pelabuhan Ratu, jadi jika terjadi pergerakan tektonik (gempa) di Samudra Hindia bukan tak mungkin akan merambat sampai ke Patahan Lembang.

Lalu bencana apakah yang diakibatkan oleh patahan ini, sehingga kita harus waspada?, menurut data statistik patahan ini bergeser kira-kira 2 mm/ tahun (ohh, pantas mengapa dinding rumah selalu retak walau sudah diperkuat fondasinya) dan hal yang paling tidak diharapkan yaitu apabila patahan sepanjang 22 km ini bergerak sekaligus maka gempa yang dihasilkan diprediksi bisa mencapai 6,7 – 7 skala Richter….(….merenung..

.) tidak terbayangkan potensi kerusakan yang terjadi karena sepanjang patahan telah dipadati penduduk, akan berapa banyak yang menjadi korban (sedih…). Lalu apa yang bisa dilakukan? karena bencana ini merupakan fenomena alam, kita tidak bisa mencegahnya, yang bisa dilakukan hanya membuat mitigasi bencana (menyediakan petunjuk jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana) sehingga korban dapat diminimalkan.

Masih terbayang potensi bencana akibat patahan Lembang ini, jangan dibayangkan (karena saya orang lembang) pasti lebih takuyt… maksud tulisan ini hanya untuk berbagi informasi bukan untuk menakut-nakuti tapi untuk lebih waspada bahwa disekitar kita potensi bencana itu ada. Jadi apapun yang akan terjadi nanti, semoga pada saat itu kita sedang melakukan kebaikan.. Amin.

Sumber : koran PR, tulisan Pa. Bachtiar
Thanks to Bang Ridwan, komunitas Aleut n Friend atas infonya..

“Gerilyawan” Aleut! Menembus Sebagian Patahan Lembang

Oleh : Taufik Hidayat

Bandung ,13 Juni 2010

Saat orang ramai ramai membicarakan tentang video xxx yang salah satunya mirip musisi dari Bandung dan pertandingan sepak bola Piala dunia di Afrika Selatan,disalah satu sudut Dago yang memang benar untuk padago dago terdapatlah sekumpulan orang yang sedang tidak membahas ke 2 hal tersebut tapi sedang merencanakan sebuah strategi,ibarat sebuah perang maka teknik dan strategi yang dipakai adalah perang gerilya,bukan bertugas untuk melawan kompeni karena kita sudah berada dijaman merdeka bukan pula perang melawan korupsi karena itu tugas KPK tapi untuk menembus dan menjelajahi sebuah kawasan yang biasa disebut dengan Patahan Lembang atau sesar lembang.

Para “Gerilyawan” aleut! tersebut tidak dipersenjatai AK 47,bambu runcing ataupun berpakaian militer ala gerilyawan kemerdekaan atau gerilyawan suku Moro dari Filipina.Mereka adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kalangan dan profesi dari mulai pelajar,mahasiswa,pekerja hingga wartawan.
Medan yang akan ditembus dan dijelajahi dimulai dari jalanan beraspal,jalan setapak,jalan berbatu ,hutan hingga menembus bukit bersemak belukar.

Patahan Lembang merupakan salah satu landmark geologis yang paling menarik di Dataran Tinggi Bandung dan ekspresi geomorfologi yang jelas dari aktivitas neotektonik di Cekungan Bandung.Patahan Lembang secara morfologi diekspresikan berupa gawir sesar (fault scrap) dengan dinding gawir menghadap kearah utara. Bagian Sesar Lembang yang dapat dilihat, baik dari peta topografi terutama dari foto udara ataupun citra satelit, mempunyai panjang 22 km. Dari timur ke barat, tingginya gawir sesar yang mencerminkan besarnya pergeseran sesar (loncatan vertical/throw maupun dislokasi) berubah dari sekitar 450-an meter di ujung timur (Maribaya, G. Palasari) dan 40-an meter di sebelah barat (Cisarua) dan kemudian menghilang di ujung barat utara Padalarang.Patahan tersebut sangat rawan terjadinya pergerakan tanah yang bisa menyebabkan gempa bumi didaerah lembang,bandung dan sekitarnya.

Zona pertama yang akan dilalui dimulai dari terminal Dago dengan jalanan beraspal menanjak hingga ke daerah dago atas atau daerah kordon,disana sekarang berjejejalan rumah rumah mewah yang seharusnya adalah daerah resapan air,didaerah tersebut pun dulu banyak ditemukan alat alat dari jaman purba berupa kapak genggam,mata panah batu dan lain lain.

Zona selanjutnya dari kordon menuju Warung bandrek dengan medan yang cukup menguras tenaga namun sebanding dengan keindahan pemandangan disana.Bukit bukit yang terhampar luas dengan tangan “kreatif” manusia disulap menjadi kebun kebun sayur yang mana seharusnya fungsinya sebagai daerah resapan air dan bisa dibayangkan nanti alam pun akan lebih “kreatif” lagi terhadap manusia.
Disana dapat terlihat Bandung yang berupa cekungan dan dikelilingi pegunungan dan coba bayangkan dahulu saat Bandung dahulu masih menjadi danau purba yang sangat luas dan besar.
Sesampainya diwarung bandrek para “gerilyawan” sejenak berisirahat dan mengisi “amunisi” karena perjalanan masih cukup jauh,warung bandrek ternyata sudah lama menjadi “markas” para pasukan “sapedah” yang saat itu memenuhi warung dan badan jalan.

Penjelajahan pun berlanjut,zona didepan cukup menantang dengan jalan setapak ditengah hutan dan rimbunnya semak belukar.Terdengar dari kejauhan suara raungan “Bremm,,Bremmm,Bremmm” suara apakah gerangan itu dan tenyata suara dari sebuah kendaraan roda dua bermesin yang suaranya cukup memecah kesunyian hutan dan dibelakangnya mengeluarkan sebuah asap.

Ouh No…!! Di depan jalan setapak yang akan dilalui terdapat sebuah “ranjau darat” berupa kubangan seperti parit yang berlumpur,beberapa ada yang terjebak dan terjatuh tapi tak menyurutkan semangat para “Gerilyawan” Aleut!.
Memang semua itu tak sebanding dengan perjuangan para gerilyawan/pejuang kemerdekaan dahulu saat berperang merebut kemerdekaan.Bisa dibayangkan keadaan saat jaman merebut kemerdekaan dahulu dan sekarang kita cukup menikmati kemerdekaan tersebut dan mengisi kemerdekaan tersebut dengan bermanfaat.

Dengan memakan waktu sekitar 7 jam perjalanan menyusuri patahan lembang,akhirnya penyisiran pun berakhir didaerah cibodas lembang yang mulai berselimut kabut.Misi menembus dan menyusuri patahan lembang pun dinyatakan berhasil.
Hujan deras pun mengiringi perjalanan pulang didalam armada pengangkutyang sedang melaju menuju markas besar Aleut! dijalan sumur Bandung no.4

Sumber pelengkap :
http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=82

kunjungi juga blog :
http://opakopik.multiply.com/

Profil Pegiat : Bey

Nomor hapenya mungkin ada di phonebook setiap pegiat Aleut!…
Penting atau tidak penting, adri teguh atau bey memiliki peranan sebagai tukang jarkom pada setiap pegiat Aleut yang aktif. So.. jangan marah kalo setiap jumat anda akan menerima sms darinya. Cukup membalas seadanya saja, untuk sekedar konfirmasi kehadiran. Maklum cowok pendekar ini baru saja putus cinta, bisi manjang sms-an…

Bey, anak ke-4 dari 6 bersaudara, sayang sekali cita-citanya menjadi seorang bungsu tidak dikabulkan oleh Tuhan YME… sehingga dia harus tersiksa dengan keberadaan adik kembarnya yang lucu dan imut. Perilakunya yang manja dan ngegemesin mencerminkan kalau dia adalah bungsu gagal… panggil saja Bungsu Badung…

Hampir setaun mahasiswa jurusan Sastra Jepang UPI ini bergelut secara aktif dalam komunitas Aleut.. ditengah-tengah kesibukannya menghindari kegiatan perkuliahan yang membosankan (katanya) dia merasa bersyukur dapat berkenalan dengan komunitas Aleut!… sehingga selalu saja ada alasan untuk membolos kuliah di hari senin dan selasa (ngomongnya sih karena badan letih lesu carangkel akibat Ngaleut). Mohon jangan dicontoh perilaku Bey ini….

Perjuangannya mengenalkan kota Bandung melalui Aleut mungkin bisa kita acungi jempol, tapi cukup satu saja, bisi Geer… Hobi memotretnya sangat berguna bagi komunitas Aleut. Sekali ngaleut saja dia bisa menjepret 900an foto dengan kualitas yang…. (emmh bingung, tapi baguslah…). mengedit dan mengupload foto merupakan kegiatan yang menyenangkan baginya, sampai-sampai lupa sms pacar… uppss…..

Lelaki bertubuh mungil ini memiliki cita-cita memotret Cinta Laura, sungguh mulia sekali cita-cita penyuka Shoegazing ini… Bersama Candra, Bey begitu produktif seperti Asterix dan Obelix, tidak sedikit ide kreatifnya menghiasi setiap kegiatan Aleut.

Sebagai Mahasiswa tingkat IV yang belum PPL, apalagi menyusun skripsi, Adri Teguh sangat total bergiat di Aleut… mungkin di komunitas inilah karirnya sebagai tukang foto dan desain dimulai.

Sisi lain yang menarik dari diri seorang Bey adalah pergerakannya yang lincah, kadang-kadang heroik dalam setiap perjalanan. Tidak jarang dia menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi hanya untuk mengambil gambar yang sempurna. Lari kesana-kemari sekalipun pada kontur yang menanjak terjal, entah umpan apa yang diberikan ibunya… mungkin Vitachick…

Ada banyak hal lain yang belum sempat diekspos dari lelaki berkelahiran Bandung, (teu apal). Lelaki muda penuh energi, berpikiran positif ini akan sangat berguna bagi Aleut sampai beberapa periode kedepan… kita tunggu saja ide kreatif yang sedang dia siapkan bagi kita….

Akhir kata,
Selamat berkenalan dengan pegiat Aleut yang satu ini…..

Kisah Perjalanan Ke Karst Citatah

Oleh : Hani Septia Rahmi

Kali ini saya dan penggiat aleut bertandang ke pegunungan kapur daerah Padalarang yang dikenal dengan sebutan karts citatah. Perjalanan dimulai dari pangkalan Damri di depan situ Ciburuy.
1. Situ Ciburuy.
Pada awalnya, Situ Ciburuy merupakan dua buah sungai kecil yang ujungnya bertemu di Desa Ciburuy. Akhirnya, tahun 1918, lokasi pertemuan kedua sungai itu dibendung menjadi sebuah telaga dan airnya diatur untuk mengairi sawah-sawah desa. Lama kelamaan, bendungan ini airnya makin tinggi dan menggenangi wilayah seluas 14.76 ha. Tanah tertinggi di tengah-tengah danau tidak tergenang, yang membentuk sebuah pulau mungil. Mayarakat setempat lantas memberinya nama Situ Ciburuy yang diambil dari desa tempat pertemuan dua sunagi kecil tersebut.
Awal 1942, seorang Belanda bernama Tuan Bempi mengantongi hak memelihara ikan dari pemerintah Hindia Belanda di danau itu. Ikan-ikannya berkembang pesat. Untunglah Tuan Bempi tidak kikir. Ia bahkan dikenal sebagai dermawan yang sering membantu warga desa. Karena kesibukannya dibidang lain, pengelolaan sehari-harian danau ia percayakan kepada Romli, warga Desa Ciburuy.
Sayang, tahun itu Jepang masuk RI. Semua orang Belanda ditawan dan dibawa ke Jakarta, termasuk Tuan Bempi. Sejak itu, keberadaan Tuan Bempi tidak diketahui lagi.
Sepeninggal beliau, Romli-lah yang mengurus Situ Ciburuy. Karena tak ada pemiliknya lagi, ia lantas mempersilahkan kepada siapa saja untuk mengambil ikan di tempat itu.
Meski tak lagi ada yang memiliki, Romli tetap menjaga danau itu dengan setia. Suasana danau seakan menyatu dengan dirinya. Keadaan itu berlangsung hingga Romli naik haji dan meninggal dunia tahun 1994. Romli pun diberi gelar sebagai kuncen Situ Ciburuy. H Abdul Solihin (70), keponakan H Romli, menceritakan bahwa semasa hidupnya, H Romli sering didatangi Tuan Bempi dalam tidurnya.
Kondisi Situ Ciburuy semakin dangkal meski debit air tergantung curah hujan.
Perjalananpun dilanjutkan setelah membeli perbekalan yang dibutuhkan. Jalan yang disusuri untuk mencapai gunung lawu melewati permukiman warga. Disalah satu rumah warga, dapat disaksikan lele dengan ukuran jumbo.
Setelah melswati pemukiman warga, saya dan para penggiat aleutpun melewati pabrik-pabrik yang bahan batunya berasal dari gamping (batu kapur).


2. Kawasan Karst Citatah

Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah ‘krst / krast’ yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste . Karst merupakan topografi unik yang terbentuk akibat adanya aliran air pada bebatuan karbonat (biasanya berupa kapur, dolomit atau marmer). Proses pembentukan Karst melibatkan apa yang disebut sebagai “karbon dioksida ke bawah”. Hujan turun melalui atmosfer dengan membawa CO2 yang terlarut dalam tetesan. Ketika hujan sampai di tanah, ia terperkolasi melalui tanah dan menggunakan lebih banyak CO2 untuk membentuk larutan lemah dari asam karbonat: CO2 + H2O = H2CO3. Infiltrasi air secara natural membuat retakan dan lubang pada batuan. Dalam periode waktu yang lama, dengan suplai CO2 terus-menerus – yang kaya air, lapisan batuan karbonat mulai melarut.
Kawasan karst Citatah termasuk warisan tertua di Pulau Jawa. Terbentang sepanjang enam kilometer dari Tagog Apu hingga selatan Rajamandala, jajaran gunung batu ini terbentuk pada zaman Miosen, 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006). Kawasan Karst Citatah ini meliputi: Goa Pawon, Pasir Pawon, Pasir Masigit, Pasir bancana, Karangpanganten, Gunung Manik, Pasir Pabeasan dan Gunung Hawu. Didaerah karst Citatah juga ditemukan situs purbakala berupa alat-alat batu, gerabah, bongkah andesit sebagai alat tumbuk dan tulang-tulang binatang (gigi, kuku, rahang) di lingkungan Gua Pawon merupakan temuan arkeologi spektakular di Jawa Barat.

Lokasi yang dikunjungi oleh penggiat aleut di kawasan karst citatah ini adalah:
Brigde stone (Gunung Hawu) harta alam yang terpendam dan terancam. Lengkungan yang secara keseluruhan merupakan lubang di dinding batu gamping tersebut memiliki ukuran lebarebih kurang 30 m, tinggi 70 m, menggantung di atas dinding setinggi 30 m dari jalan tambang di bawahnya.Lengkungan alami Gunung Hawu di Citatah terbentuk dari batu gamping dan prosesnya lebih mirip pembentukan Jembatan Alami Virginia Proses karstifikasi yang merupakan proses pelarutan senyawa karbonat sebagai bahan utama batu gamping adalah penyebab terbentuknya lengkungan alami Gunung Hawu. Sangat jelas sekali bahwa lubang yang terbentuk dikontrol oleh retakan yang memanjang hampir utara-selatan.Sebuah lubang vertikal yang sangat dalam diduga merupakan proses awal terbentuknya lengkugnan ini. Lubang vertikal ini adalah gejala khas di daerah karst batu gamping hasil dari runtuhan atap gua atau collapse sinkhole. Proses berikutnya diduga merupakan proses pelubangan secara karstifikasi ke arah samping searah kemiringan lapisan batu gamping yang sangat curam ke arah selat Jika di Utah lengkungan-lengkungan alaminya dilindungi sebagai monumen nasional, di Citatah fenomena alam yang di Indonesia sekalipun sangat langka ini berada sangat dekat sekali dengan wilayah penggalian batu gamping (kapur). Kira-kira 100 m dari fenomena langka ini, truk-truk tambang hilir mudik mengangkut bongkah-bongkah batu yang dibongkar dari lereng-lerengnya. Bahkan tepat di batas utara lengkungan alami ini terdapat sisa-sisa penggergajian batu gamping untuk pembuatan marmer. Sunguh mengenaskan nasibnya !
– Stone Garden dan Gunung Masigit
Pada Stone Garden terdapat gejala mikro-karst yang membentuk bongkah-bongkah menonjol dari permukaan tanah yang menjadikan puncak bukit. Hal ini juga terjadi diatas Goa Pawon. Proses pelarutan yang berjalan pada retakan-retakan batugamping menyembulkan sisa-sisa pelarutannya berupa bongkah batu gamping yang tersusun dengan tidak teratur dan tinggi yang berbeda-beda dan berelief kasar. Sekarang Stone Garden dimanfaatkan sebagai ladang oleh penduduk setempat. Selain itu di stone garden ini juga terdapat makam.(Untuk ini saya kurang tahu banyak). Dari stone Garden ini juga dapat dilihat gunung masigit yang telah tergerus hingga tinggal setengahnya oleh penambangan batu gamping. Kondisi yang sangat menyedihkan.

– Goa Pawon Tempat tinggalnya Ki Sunda

Pawon memiliki arti dapur menurut legenda orang Sunda (legenda Sangkuriang), gua ini dulunya adalah dapur Dayang Sumbi. Kenyataannya menurut para ahli tempat ini memang difungsikan sebagai dapur oleh manusia prasejarah dengan ditemukannya fosil sisa-sisa makanan dan biji buah-buahan. Gua Pawon sebenarnya merupakan gua yang tidak mempunyai lorong-lorong yang panjang dan gelap, tapi hanya terdiri dari banyak ruang (10 ruang besar) yang merupakan ceruk di dinding bukit.
Di bagian kiri atas gua ini, ada sebuah spot yang dinamakan Sumur Bandung. Sumur Bandung ini sebenarnya bukanlah sebuah sumur, lebih seperti sebuah kolam kecil yang cukup dalam yang tentu aja berisi air. Konon katanya biasanya orang-orang yang datang kesana itu percaya kalo air dari sumur itu sakti, ya bisa bawa tuah katanya. Menurut salah seorang yang ditemui disana, air sumur itu air sumur itu selalu terisi walaupun musim kemarau sekalipun.Sumur Bandung ini tempatnya cukup tinggi dan jalan kesana total harus memanjat dinding batu yang terjal dan licin. Sumur tersebut sebenarnya tidak terlalu besar. Airnya bening dan dingin(menurut prediksi saya karena berda didalam gua). Bagai yang percaya bahwa air di sana membawa tuah, bisa membasih muka, tangan atau kaki dengan air itu (katanya bisa awet muda).
Pada salah satu ruang pada goa pawon, terdapat replika kerangka manusia purba yang pernah menghuni daerah Bandung dan sekitarnya. Masyarakat setempat menyebutnya Ki Sunda tapi saya tak tahu kenapa demikian (?). Namun kondisi replika kerangka cukup menyedihkan karena sudah berlumut. Posisi dari kerangka ini dalam keadaaan menekuk. Dari yang saya ketahui, posisi itu adalah posisi yang sama dengan bayi saat berada didalam rahim ibu. Dan arah hadapnya menunjukkan sesuatu tempat yang dianggap keramat seperti gunung atau laut. (Menurut interpretasi saya, menghadap kearah gunung Sunda pada masa itu). Selain itu, biasanya terdapat bekal kubur (Kalau tidak salah sebagai bekal untuk melanjutkan kehidupan di akhirat ) seperti gerabah, perhiasan yang menyertai kerangka.
Perjalanan berlanjut ke jendela pengintaian. Jendela pengintaian ini pada masa itu berfungsi sebagai tempat mengintai buruan. Di dekat jendela pengintaian terdapat gua. Kata Sri, biasanya digunakan untuk bersemedi bagi penganut kepercayaan. Tapi menurut saya pada zaman itu, mungkin itu sebagai jalan keluar si manusia pawonnya untuk berburu.
Secara keseluruhan keadaan goa pawon sangat menyedihkan, terdapat banyak coretan cat pilox disana sini

kalo ada tambahan atau kesalahan silahkan hubungi hani makasih ^^

sumber : http://ekorisanto.blogspot.com/ (menengok pesona situ ciburuy)
http://portal.sabhawana.com/
http://chezpiere53.wordpress.com/
http://www.bplhdjabar.go.id/
http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/2729-mengenal-museum-kars-7-manusia-pawon-di-kawasan-kars-rajamandala-bandung-bagian-barat.html

situ ciburuy
Para lele jumbo hehehehe
Brigde Stone padalarang… Yang tdiak kalah dengan yang ada di Taman Nasional Yosemite
Sumur Bandung
Ki Sunda (Orang yang pernah mendiami daratan sunda)

Ada Apa Dengan Karst Citatah

Oleh : Lukman

Masih ingatkah anda dengan judul film diatas, film yang sempat booming pada tahun 90-an dan menandai bangkitnya perfilman indonesia. Sebenarnya banyak ide yang ingin dijadikan judul, namun setelah menyaksikan kisah romantis sepanjang perjalanan kemarin nampaknya judul ini yang paling tepat.

Terinspirasi oleh kisah romantis antara Rangga dan Cinta yang diperankan oleh T*** Saputra dan G*** Sastrowardoyo, kisah ini pun dimulai. Dengan setting alun-alun Bandung berkumpullah para pegiat Aluet untuk menuju Karst Citatah di Rajamandala, begitupun Rangga dan Cinta (maaf langsung berduaan, untuk kisah pertemuan dan cara mengajaknya harus dibuat prequelnya). Seperti biasa Rangga dengan “cool” datang dengan pakaian santai plus sandal jepit (pada acara sharing terkuak bahwa itu memang disengaja agar kelihatan stylish), selanjutnya seluruh peserta saling memperkenalkan diri.

Untuk menuju ke Rajamandala, Rangga, Cinta dan rombongan harus menaiki bus jurusan alun-alun Ciburuy. Sepanjang perjalanan tidak ada kisah menarik antara mereka, lebih baik kita alihkan saja pada scene yang lain. Yaitu pengamen yang menghibur para peserta dengan menyanyikan lagu kolam susu, diteruskan dengan lagu yang mengkritik pemerintahan sampai lagu matematika dari 1+1 sampai 8192+8192.. ah kalau saja matematika diajarkan seperti ini mungkin akan menjadi pelajaran favorit di sekolah. Akhirnya rombongan pun tiba di Ciburuy, untuk persiapan mereka membeli perbekalan di toserba dan warung nasi.

Kembali ke cerita, perjalanan dimulai dengan berjalan kaki menuju Gunung Hawu (dalam bahasa Indonesia hawu berarti tungku pembakaran), mungkin melihat dari bentuk gunung tersebut. Lalu kisah penuh konflik antara Rangga dan Cinta pun dimulai, saat melalui rute yang cukup berat dan melelahkan, Cinta dengan nafas terengah-engah berkata “sungguh teganya kau ajak aku ke tempat seperti ini” . Dengan sikap cool-nya Rangga menjawab “aku tidak tahu akan seperti ini, lihat kostum ku” dengan nada penyesalan. Mereka saling berpandangan entah siapa yang harus disalahkan atas situasi ini.

Setibanya di kaki Gunung Hawu mereka beristirahat sejenak, karena masih penasaran dengan pemandangan di sekitar puncaknya seluruh rombongan beranjak pergi. Akhirnya sampai juga diatas, rasa lelah yang tadi hinggap hilang sudah terhapus oleh rasa takjub melihat pemandangan gugusan gunung kapur yang berdiri kokoh seperti gunung masigit, karang panganten, T-125, serta pemandangan disekitarnya. Namun sayang kondisinya sangat menyayat hati, tiap-tiap puncak gunung tersebut terluka oleh tangan manusia baik dengan pengeboman, penggalian dengan alat-alat berat ataupun galian-galian liar yang dilakukan secara manual.

Cerita berlanjut menuju Gunung Hawu yang kedua dimana Rangga, Cinta dan peserta aleut lainnya harus melewati ilalang setinggi hampir 2 meter, seperti dalam video Letto “ruang rindu” mereka menyusuri jalan sambil membelah padang ilalang

Kau datang dan pergi oh begitu saja
Semua kutrima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
oh sungguh malang Citatah sekarang….

Untuk mencapainya mereka harus menuruni tebing dengan kemiringan hampir 180 derajat, dibantu dengan sebuah tali satu persatu peserta turun dengan gaya masing-masing ada yang berlari, jongkok, ngesot sampai tiduran.

Hingga tiba saatnya Cinta untuk turun, sebelum turun ia menatap tajam sambil memegang erat tangan Rangga “apa aku harus turun atau balik lagi?”, dengan senyum penuh cemas Rangga melepaskan tangan Cinta seraya berkata “turunlah”. Setelah turun mereka membuka perbekalan masing-masing untuk mengisi perut dan memulihkan stamina yang sudah terkuras. Tiba-tiba pada saat seluruh peserta asyik makan, Cinta berteriak “Aku bukan pacar Rangga” bagai petir tanpa hujan suasana berubah menjadi hening sesaat… lalu…pecahlah gelak tawa dari seluruh peserta (kalau saja ada infotainment pasti akan dibahas setajam silet). Dalam hati Rangga berteriak “TIDAKKK” mengapa kau ucapkan itu sekarang, tidak nanti saja saat ngaleut selesai.

Setelah mengisi perut dan memulihkan stamina, mereka beranjak turun menuju titik selanjutnya. Dalam perjalanan menuruni tebing Cinta dan beberapa peserta jatuh, mungkin jalanan yang licin atau karena suasana hati yanhg sedang rapuh. Melihat hal itu Rangga yang masih berharap coba menolong “aku harus bertanggung jawab” gumamnya sambil mengulurkan tangan, hati Cinta pun luluh lalu meraih tangan Rangga dan berjalan bersama menuruni bukit.

Dengan menaiki angkot seluruh peserta menuju Taman Batu, sebuah puncak gunung dari gugusan Citatah yang masih alami dimana disana menyembul batu-batu besar yang membentuk berbagai formasi. Batuan tersebut merupakan terumbu karang yang sudah mengeras sejak 25 juta tahun yang lalu. Turun dari Taman Batu, Cinta, Rangga dan rombongan harus menuruni lagi tebing yang cukup curam walau tidak se-ekstrim sebelumnya. Disinilah Rangga dan Cinta menemukan kembali serpihan hati yang tadi hilang, bagai acara televisi “CLBK” mereka menuruni tebing dengan berpegangan tangan dan saling bercanda (padahal takut jatuh dan juga mengakibatkan rombongan dibelakang mereka terhambat). Akhirnya sampai juga di Gua Pawon dan menemukan sebuah warung, seluruh peserta melepas lelah sejenak untuk selanjutnya masuk ke Gua Pawon.

Disambut bau kotoran kelelawar satu persatu pegiat aleut masuk Gua Pawon, dengan merundukkan badan untuk menyusuri celah-celah gua dan melihat langsung fosil dari manusia purba. Puas melihat nenek moyang dan berfoto ria, seluruh peserta berkumpul disebuah bale untuk berbagi pengalaman selama perjalanan ngaleut ini.

Disamping kisah yang mengharukan antara Rangga dan Cinta ada beberapa pesan yang tesirat yaitu pentingnya kesadaran dari seluruh pihak untuk melestarikan Karst Citatah karena selain bernilai ekonomis juga merupakan warisan sejarah yang tak ternilai untuk diwariskan pada generasi selanjutnya, serta perlunya publikasi yang positif kepada umum tentang keadaan Karst Citatah sehingga mereka tertarik untuk datang dan memeliharanya. Karst Citatah hanya ada satu dan tidak bisa dibuat lagi, jadi lindungilah….

Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

Repost dari artikel di majalah Bahasa dan Budaja, tahun III No. 5 Djuni 1955, semoga bermanfaat : )

Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu
Oleh : M. Purbohadiwidjojo

Bagi orang jang pertama kali mengundjungi kota Bandung dan mengarahkan pandangannja keutara, maka penglihatannja segera akan tertambat oleh sebuah gunung jang aneh bentuknja. Dan setelah ia mengetahui, bahwa nama gunung itu adalah Tangkubanperahu (atau menurut edjaan Sunda: Tangkubanparahu), maka dalam hatinja ia tentu akan membenarkan , bahwa bentuknja memanglah menjerupai sebuah perahu, tetapi jang terbalik letaknya (lihat gambar). Dengan mengambil beberapa sumber (lihat djuga daftar literature di belakang) dan beberapa pertimbangan, akan dibahas disini pemberian nama itu.

Ada suatu dongeng di Priangan jang mentjeritakan, bagaimanakah terjadinja gunung itu, jaitu dongeng Dajang Sumbi dan Sang Kuriang (lit. 3,5,6,8). Agar lebih djelas kiranja, mengenai apa jang akan dipersoalkan disini ada baiknjya diketahui meskipun setjara singkat, bagaimanakah dongeng itu. Kami ambil garis besarnja sadja, djuga karena tjara berbagai sumber itu mendongengkan, agak berlain-lainan.

Dajang Sumbi, seorang Puteri bangsawan tanah Priangan dari djaman dahulu, mempunjai seorang putera bernama Sang Kuriang. Pada suatu pertjektjokan, dipukullah Sang Kuriang oleh Ibunja pada dahinja jang mengakibatkan luka. Maka pergilah Sang Kuriang, mengembara tak berketentuan arah tudjuannja. Achirnja, denga tiada disangkabertemulah lagi anak dan ibu, tapi tidak saling mengetahui , siapakah mereka masing2. Maka dapatlah terdjadi, bahwa Sang Kuriang kemudian menaruh tjinta kepada ibunja sendiri, karena ketjantikannja tak mengalami perubahan. Ibunja jang mula2 tidak berkeberatan, setelah melihat bekas luka itu, mengetahui bahwa ia sebetulnja berhadapan dengan puteranja sendiri. Karena takut bertjampur malu, ditjarinjalah akal untuk menghindari perkawinan. Udjarnja : Sang Kuriang boleh mengawininja, apabila ia sanggup membendung sungai Tjitarum. Dalam satu malam pekerdjaan itu sudah harus selesai.

Dengan bantuan machluk2 halus dimulailah pekerdjaan besar itu. Bendungan sudah hampir selesai ; maka mulailah ia membuat sebuah perahu untuk berlajar berdua kelak diatas danau jang sedang mendjadi itu. Melihat itu semua Dajang Sumbi menjadi bingung. Maka diambilah djimatnja, jaitu daun ajaib. Ditaburkanlah daun itu …
Fadjar menjingsing. Sang Kuriang melihat maksudnja tidak tertjapai : Dilemparkanlah perahu djang sedang dikerdjakan itu hingga terbalik (nangkub = menelungkup). Maka terdjadilah G. Tangkubanparahu.

Masih ada beberapa gunung2 dan sungai2 jang namanja dapat dihubungkan dengan dongengan ini, misalnja G. Putri, tempat menghilangnja putri Dajang Sumbi, G. Burangrang (rangrang = daun2 pohon jang kajunja terpakai untuk perahu Sang Kuriang), G. Bukit Tunggul*), G. Tambakan (=Bendung). Selanjutnja G. Tjagak, G. Kukusan, Pasir (gunung) Ajam, Kawah Ratu, Sungai Tjipangasahan dan masih beberapa lagi. Semua itu ada sangkut – pautnja dengan dongeng ini. Pendek kata, dongeng ini memang mentjerminkan kedjadian geologi seperti akan dibitjarakan dibawah. Mungkin maksudnja memang suatu sindiran terhadap kaum Menak (bangsawan) seperti pernah dikemukakan oleh Tn. SALMUN, tetapi tentang hal ini tidak akan dibitjarakan disini.

* Menurut lit. 5 nama itu tadinja Beuti Tunggul (beuti = umbi), tetapi karena kesalahan pemetaan mendjadi Bukit Tunggul

Kenjataan geologi, geomorfologi dan prasedjarah

Marilah kita sekarang melihat kenjataan2 (facts) geologi, geomorfologi (ilmu bentuk bumi) dan prasedjarah. Kenjataan geologi menundjukan, bahwa dataran tinggi Bandung dahulu kala memang pernah terendam oleh suatu danau jang terdjadi karena terbendungnja sungai Tjitarum. Dari morfologinja daerah dapatlah diketahui, bahwa sungai itu dahulu pernah mengalir melalui Padalarang terus kebarat-laut. Oleh VERBEEK (lit.10) dikirakan pembendungan ini disebabkan karena aliran2 lumpur jang datangnja dari G. Burangrang. Tetapi menurut penjelidikan2 jang belakangan lumpur itu datangnja dari G. Tangkubanperahu, jakni setelah ada letusan hebat. Pada suatu letusan gunung-api bahan2 jang dikeluarkan gunung itu tidak selalu sama : mungkin bahan2 lepas jang halus (dinamakan abu gunung api), mungkin bahan itu keras dan merupakan gumpalan2 batu, mungkin djuga timbul aliran “batu tjair” jang masih berpidjar jang dinamakan “lava’. Tetapi suatu kombinasi daripada bahan2 tersebut mungkin pula.

Djadi aliran lumpur jang datangnja dari G. Tangkubanperahu itu terdjadi daripada bahan jang halus jang bertjampur air. (setelah ada letusan biasanja djatuh hudjan). Tidaklah mustahil, bahwa kedjadian ini berlangsung sangat tjepatnja ; mungkin dalam satu malam sadja bahan jang banjaknja djutaan meter kubik itu berkerak kearah sungai Tjitarum lama. Karena pembendungan ini, makalah terdjadi suatu danau jang luas, jaitu Danau Bandung.

Tetapi danau jang sedemikian itu sudah barang tentu tidak dapat terus terisi sadja dengan air. Menurut istilah morfologi, danau adalah sesuatu jang hanja sementara sadja. Demikianlah, maka achirnja air itu mentjari djalan keluar, dan ini terdjadi di Barat Batudjadjar jang kini dinamakan Sanghiang Tikoro. VON KOENIGSWALD (lit.4) djuga berpendapat, bahwa usia danau itu tidak seberapa lama. Dengan diketemukannja swisa2 barang purbakala di Madjalaja, jang sudah ada dibekas dasar danau, ia menarik kesimpulan, bahwa pada achir djaman neolotikum (djaman batu baru) air danau telah surut. MEskipun demikian dibeberapa tempat hingga waktu belakangan masih djuga berpaja, terutama didekatnja sungai Tjitarum. Ini ternjata dari nama2 kampung jang kebanjakan memulai dengan kata “rantja” jang artinja “rawa” , misalnja Rantjaekek, Rantjabeureum, Rantjaoraj, dst.

Oleh VAN BEMMELEN (lit.1) ditundjukan , bahwa sisa2 barang batu (implements) di Utara Bandung hanja terdapat di Timur djalan raja Bandung – Lembang jang membudjur di Timur sungai Tjihideung, jakni didaerah jang olehnja dinamakan “Poeloesarischol”. Ketjuali alat2 batu tersebut, didaerah ini djuga telah diketemukan oleh ROTHPLETZ atjuan2 (gietvormen) dari djaman perunggu (lit.7). Oleh sebab inilah, maka VAN BEMMELEN pada waktu achir2 berpendapat, bahwa Danau Bandung lebih muda lagi daripada djaman NEolitikum (lit.3)

Tentang nama dilihat dari sudut etimologi.

Apabila kita melihat kepada nama Tangkubanperahu dan mengingat bentuk gunung tersebut, maka njatalah , bahwa pemberian nama itu terutama ialah beralaskan kepada persamaan (resemblance). Kebanjakan diantara penulis2 mengira, tanpa mengingat akan djalannja bahasa, bahwa arti nama itu tidak lain ialah sebuah perahu jang terbalik. Tetapi seperti halja bahasa2 lainnja di Indonesia, bahasa Sunda ialah Progresif. Djadi apabila, seperti jang telah dikatakan oleh banjak orang, nama itu berarti berarti perahu terbalik (menelungkup), maka seharusnja nama tadi mendjadi “Perahu nangkub”. Djadi timbullah pertanjaan, apakah jang dimaksud dengan “Tangkubanperahu” itu ?
Tentang ini Prof. C.C.BERG, seorang ahli bahasa jang terkenal, mengemukakan pendapatnja kepada VAN BEMMELEN : …Saja tjenderung , bahwa “tangkuban” dalam hal ini berarti “sesuatu jang tertutup oleh sebuah benda, misalnja ember, oleh gelombang atau oleh kain, oleh bahan dari tanahlongsor. Sebuah gunung jang tertutup oleh lapisan2 lava dapat djuga dinamakan “Tangkuban”. Kelompok pegunungan jang mendapat nama Tangkuban dan bentuknja mengingatkan akan perahu dapat dinamakan “Tangkuban Perahu”, jakni gunung jang tertutup oleh lapisan2 lava jang bentuknja menjerupai perahu”.

Mungkin pula nama ini menundjukan “tanah atau orang2 jang tertutup oleh perahu jang terbalik itu dan mendjadi korban daripadanja”. (lit. 2 hal. 644).
Sekianlah pendapat beliau , VAN BEMMELEN sendiri berpendapat, bahwa sangatlah mungkin oleh karena letusan jang hebat, maka lalu timbul nama “tangkuban” , jakni karena tertutup oleh bahan2 asal letusan itu, dan baru kemudian mendjadi “Tangkuban Perahu”.

Penulis karangan ini berpendapat, bahwa nama G. “Parahu” mungkin sudah dikenal orang sebelum letusan jang hebat itu terdjadi, jakni nama ang diberikan oleh orang2 jang berdiam disebelah selatan gunung tersebut. Baru kemudian setelah ada letusan tadi nama itu ditambah dengan “Tangkuban”, karena daerah jang luasnja beribu=ribu hektar tertimpa bentjana, jakni tertutup oleh bahan2 letusan fari g. Perahu. Kami katakana orang2 sebelah selatan, karena dari djurusan2 lain orang tidak dapat melihat bentuk jang menjerupai perahu itu.

Sekianlah pandangan tentang asal-mulanja nama “Tangkubanperahu”. Jang hendak kami tundjukan disini hanjalah, bahwa kadang2 adalah “interessant” untuk meneropong berbagai nama geografi dari berbagai sudut.

Bahan Batjaan

1. BEMMELEN, R.W., Toetlichting bij blad 36 (Bandoeng), Dienst van den Mijnb, in Ned Indie.
2. s.d.a, The Geology of Indonesia vol IA, Gouv. Printing Office, The Hague, 1949.
3. BEZEMER, T.J., Volksdichtung aus Indonesien, Martinus Nijhoff, Den Haag , 1904
4. KOENIGSWALD, G.H.R. von, Das Neolithicum in der Umgebung von Bandoeng, Tijdschr voor Ind. Taal-Land en Volkenkunde, Deel LXXV, 1935
5. PIJL, L.V.d. , Wandelgids voor den Tangkuban Prahoe, Bandoeng Vooruit serie no. 5
6. REITSMA, S.A. en HOOGLAND, W.H. Gids voor Bandoeng en Midden PRiangan, Bandoeng, 1927
7. ROTHPLETZ, W. , Alte Siedlungsplatze bei Bandoeng (Java)und die Entdeckung bronzezeitlicher Guszformen, Sudeestudien, Basel 1951.
8. SADJADIBRAT R., Dongeng2 sasakala, Balai Pustaka, Djakarta, 1952.
9. TAVERNE, N.J.M. Vuulkanstudien op Java, ‘S Gravenhage, Algemeene Landsdrukkerij, 1926
10. VERBEEK, R.D.M. en FENNEMA, R. , Geologische Beschrijving van Java en Madoera, Amsterdam, 1896

Aleut on news : Unsur Penting dalam Sebuah Taman Sering Diabaikan

OLEH : USEP USMAN NASRULLOH/”PRLM”

BANDUNG, (PRLM).- Taman sekarang lebih ke arah pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH). Kadang-kadang unsur penting dalam sebuah taman diabaikan. Misalnya, saluran pengairan, pemilihan tanaman, pembibitan, kebersihan, aksesibilitas, keindahan, dan penghasil oksigen terabaikan.

Hal itu dikatakan Salah seorang Pegiat Komunitas Aleut, Asep Nendi, ketika ditemui di sela-sela menyusuri taman-taman baheula Kota Bandung, Minggu (30/5). Menurut dia, Agar bisa memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya taman harus bisa memenuhi unsur-unsur tadi. Jadi fungsi rekreasi, estetika, sosial dan ekologina bisa tercapai.

“Kalau dibandingkan sama taman zaman dahulu jauh. Taman zaman dahulu lebih terarah, baik dari segi analisis dampak lingkungan (Amdal) dan perencanaannya. Zaman baheula atau Hindia Belanda memiliki konsep taman yang jelas dengan mengategorikan ke dalam beberapa jenis yakni plein, park, dan plantsoen,” kata Asep.

Asep mengatakan, plein adalah ruang terbuka hijau tapi tidak ada akses buat pejalan kaki di dalamnya. Sedangkan, park adalah taman yang di dalamnya terdapat tempat irigasi atau saluran pengairan, fungsinya juga bisa untuk tempat rekreasi. Dan yang terakhir, plantsoen adalah taman yang di dalamnya terdapat tempat pembibitan tanaman atau pohon.

“Taman sekarang mah tidak lagi mengacu pada konsep taman baheula. Bahkan, beberapa tahun kebelakang ada beberapa tanaman yang beracun atau bahaya yang ditanam di Kota Bandung karena pemilihan tanaman diabaikan. Tapi untungnya sudah dicabut dan diganti dengan tanaman yang lain,” ungkap Asep.

Sementara itu, menurut Koordinator Komunitas Aleut, Indra Pratama, taman harus dibangun sesuai dengan tata kota dan bermanfaat untuk masyarakat banyak. Selain itu, pembangunannya untuk periode yang sangat panjang.

“Memang pemerintah kota menerapkan secara benar ‘Bandung Kota Kembang’. Namun, itu hanya secara harfiah tidak secara fungsional karena telah mengabaikan unsur penting dari sebuah taman. Sekarang taman tidak ada pohon kerasnya sehingga tidak bisa menyerap air.

Selain itu, banyak juga taman zaman baheula yang berubah fungsi menjadi kompleks pertokoan, gedung atau berbagai keperluan kota lainnya,” kata Indra. (CA-05/das)***

*Tulisan ini murni dibuat wartawan PR, bukan oleh Pegiat Aleut! dan dimuat di http://www.pikiran-rakyat.com/node/114744 pada Senin, 31/05/2010 – jam 02:10

Itu kan Tamanku!

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

*pe-er reportase ngAleut taman 30.05.2010 kali ini di-post di sini dulu (sebelum Kompasiana dan WP) karena keterbatasan kuota, tapi dah ini lagi pengen ambil sudut pandang yang lain maka jadilah begini heuheu ^_^ semoga berkenan*

“Ayah, pagi ini kita ga ke taman?? Hayuukk..”

Pipiku masih celemotan susu dan selai coklat. Ibu sedang tak sempat membersihkan wajahku ketika aku langsung lari menyongsong Ayah yang baru bangun dan selesai sikat gigi. Langsung aku raih tangannya, meski aku tahu Ayah tak suka jika kemudian ditarik-tarik padahal sekali ayun kaki toh Ayah juga bisa kok mengikuti langkahku ^_^ Tapi ini kan Minggu pagi, hari bebas di mana Ayah jauh dari marah-marah heuheu. Aku mau ke tamannn..

“Ayo Ayahhh.. ntar keburu sianggg..”

Taman Cempaka

Waktu aku berbalik, aku bisa melihat Ayah tersenyum. Tuh kan, benar kan? Ini hari Minggu, jadi Ayah jauh deh dari marah-marah. Asyiiikkkk -__-a emm.. tapi tadi Ayah sudah sempat sarapan belum ya?? ^_^ ahhh sudahlah. Ayah kan kuat heuheu.

Eh eh kawan, kamu pasti deh belum tahu kalau di dekat rumahku itu ada taman yang cantikkk sekali. Kata Ayah, taman itu namanya Taman Cempaka. Haaahhh.. sudah tidak sabar ingin bermainan ayunan dan panjat-panjatan di sana ^_^ Sudah tidak sabar bertemu dahan-dahan keriting itu loh! Kira-kira hari ini keritingnya bertambah tidak ya??

Tapi tunggu -__-a apa itu? Apa-apaan ini? Kok ada banyak Om dan Tante sih hari ini di sana? Kok berisik sekali? Kenapa juga mereka ikut main di bola panjatan besar dan panjatan satunya yang kesukaanku? Kenapa juga sih harus potret-potret aku segalanya? Aku sedang di ayunan rantai. Aku sedang memanjat. Argghhh.. mana kedamaianku? Aku kan ingin menikmati waktu di sini bersama Ayah saja? Tidak pakai mereka >,< kacau deh.. kacau!! Pe-de sekali sih gaya-gayaan segala biar dipotret. Hemh, orang dewasa memang suka aneh-aneh! Merusak kedamaian anak kecil! Ooooiii.. ini kan tamanku!

Seorang Tante yang memotret sempat tuh ajak aku kenalan. Dia tanya namaku. Huh, aku malas menjawabnya T_T biar Ayah saja. Aku cemberut saja biar dia pergi. Eeehh, tapi itu Tante bertopi macam cowboy itu malah tak pergi-pergi. Suaranya yang mirip suara Donal Bebek itu malah sibuk kasih semangat untuk aku memanjat. Kadang bilang hati-hati juga. Tante ini tante-tante bukan sih ya?? Benar orang baik atau cuma sok baik biar dia bisa potret aku?? Hu-uh, mana Ayah suruh aku tersenyum lagi ke kamera itu. Malas ahhh. Kameranya tidak keren. Kalau kamera si Om yang satunya itu pasti aku mau tersenyum lebar, pasti nanti masuk Koran ^_^

“Ayah, pulang aja yok!”

“Loh, tadi katanya adek mo main di taman?”

“Males ah. Berisik. Pulang aja..”

Dengan berat hati aku meninggalkan taman Cempaka. Padahal aku belum sempat menghitung apakah dahan keriting di pepohonan itu bertambah atau tidak. Belum sempat ngobrol dengan burung-burung kecil yang sering mampir. Aku juga belum puas bermain dan duduk-duduk bersama Ayah di sini T_T Belum jajan juga. Hu-uh, orang dewasa memang senangnya mengganggu saja! Itu kan tamanku!

Tuhan yang baik, semoga saja ya mereka tidak buang sampah sembarangan di sana. Semoga tidak kembali lagi buat ikut-ikutan pacaran seperti itu tuh.. Kakak-kakak yang biasa suka duduk bersembunyi di balik pohon yang paling besar itu. Aku kan sering lihat, Tuhan. Ya, pokoknya semoga mereka tidak kembali lagi dan bikin ramai begini ditamanku!

Hem, sampai ketemu lagi Minggu depan ya Taman, Pohon, Burung-burung, Ayunan, Panjatan, jajanan. Minggu depan aku pasti tarik lagi Ayah ke sini heuheu.

Neptunus yang Sedih

Oleh : Caroline Najoan

Dua minggu yang lalu, tanggal 15 Mei 2010 aku ngaleut kedua. Ah, ini ngaleut dalam kota pertama, kalau sama Mooi Bandung sudah beberapa kali.

Ngaleut kali ini tentunya yang menarik adalah pemandian Tjihampelas. Dulu, berenang adalah kegiatan mewah yang paling ditunggu-tunggu. Yang keren tentunya di hotel Preanger, tahun 70-an. Kan tempat berenang terbatas banget. Kita anak-anak selalu menunggu kapan mama papa punya uang untuk ngajak berenang. Atau paling hebat ya ke Taman Lalu Lintas atau ke Kebun Binatang Bandung.

Aku tumbuh sebagai balita gaul dong, pada zamannya. Ke Kebun Binatang yang letaknya di dekat rumah tentu makanan sehari-hari….setelah dewasa aku jadi berpikir, “OOh, dulu waktu kecil dibawa mainnya ke kebun binatang, tak heran kalau sekarang…..” (isi sesuai imajinasi lah yaaa).
Nah, berenangnya pasti pernah ke pemandian Tjihampelas. Sudah tiga generasi kita gunakan, mulai dari nenekku, ibuku dan aku serta adikku. Cerita dari nenek selalu seru, beliau berenang rutin di sama, kan remaja gaul kaya cucunya. Adik-adik lelakinya main polo air disana. Dulu, dalam salah satu album, ada foto nenekku berpose dengan baju renang ala Janet Gaynor (kalau dia pernah pakai baju renang, karena Marilyn Monroe baru tenar setelah beliau jadi nenek). Wah, kereeen bener rasanya waktu lihat begitu. Sekarang sih pakai baju renang begitu mikir dulu ah, da beurat.

Generasi berikutnya adalah generasi ibuku, ia selalu bercerota berenang bersama sobat-sobatnya di air dingin dari mata air yang mengucur di sama. Mereka berjalan kaki dari rumah turun naik sambil bercanda ria. Hmm, tentu banyak cerita gadis-gadis itu disertai jajan-jajan kecil sepangjang Tjihampelas atau lewat jalan memotongnya.

Generasi berikutnya aku dan adikku. Aku ingat betul menggendong adikku di punggung. Kami berjalan dari Gajah Lumantung, di belakangnya Unpas. Lewat Purnawarman, Sawunggaling, Tamansari lalu potong jalan lewat jembatan yang dekat kebun binatang….menyeberang jembatan gantung. Adikku takut katanya. Berat juga, dia. Usianya mungkin sekitar 3 atau 4 tahun maka aku kalau tidak salah ya umur 11 atau 12 tahun. Kamar gantinya remang-remang terbuat dari papan-papan kayu tebal. Sinar matahari menyeruak dari sela-selanya. Hiii, takut ada yang ngintip, ganti bajunya cepetan ah. Di luat adik dan ibuku sudah siap. Kami lewat pancuran panjang di pintu masuk, di bawahnya berupa kolam kecil. Maksudnya untuk menyiapkan suhu badan kita agar tidak kaget kena air dingin di kolam nanti kayaknya. Hiiii…adik takut lagi, gendong lagi lah.

Di dalam kolamnya gede bener ! Yang satu lagi kolam anak-anak, ada patung Neptunus gagah dengan air mancur tidak henti-hentinya. Tegel putih terlihat dasarnya, airnya tidak berwarna. Aneh deh, seingatku tidak berwarna, bukan biru seperti kolam renang umumnya. Yang di Centrum mah ijo..hiii.
Aku berenang di kolam ukuran olimpiknya. Aduh, asa teu nepi-nepi, paru-paru geus deukeut bucat tepian kok masih jauh yaaa…maklum anak SD suka kelebihan PD-nya. Mau balik lagi sama jaunya…euh…terpaksa deh. Setelah beberapa kali ngos-ngosan tapi anehnya tidak berkeringat setetespun, akiu pindah main air di kolam kecil…airnya lebih dingin lagi. Mungkin karena kucuran langsung dari sumbernya. Enak betul ya, jaman sekarang mah lucu, air dipanasin baru berenang. Udah boros energi, ga enak lagi, asa tenggelem ajah.

Saat ngaleut, ngenes juga liat Neptunus yang dulu gagah sekarang digantungi celana dan pakaian lain. Memang dia masih konsisten ngalirin air dan berjaga dengan trisulanya, tapi kok wibawanya luntur ya. Kaya wibawa kota kita juga ya, kalau dipikir-pikir……

Tapi aku masih bersyukur bisa lihat Neptunus itu untuk terakhir kalinya kalau jadi dia dirubuhkan. Memori akan terus hidup sampai orang yang sudi mengingatnya tidak ada lagi. Maka kutuliskan memoriku ini, siapa tahu dalam bentuk tertulis nanti ada yang bisa menikmatinya.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑