Oleh : Hartsa Mitsalia
mendengar suara angin
melihat kota tercinta
menjadi raksasa sambil tersenyum kagum melihat karya-Nya…
Angin dingin Gunung Manglayang menyapa kami para Aleutian di pintu masuk Curug Cilengkrang. Disambut oleh pekikan bocah yang sedang bermain air di sungai dekat pintu masuk. Aku mulai mengamati keadaan sekeliling, membiasakan diri dengan udara yang dingin, angin yang kencang, percikan air sungai dan–untuk menyeimbangkan keadaan yang terlampau sejuk itu–merasakan kehangatan sendagurau diantara kami para Aleutian.
Perjalanan kami pun dimulai dengan menyusuri jalan setapak yang berlumpur, sambil mendengan penjelasan dari Kang Asep Suryana tentang batu-batu besar yang kami lewati. Penjelasan Kang Asep kian menarik saat kami bertemu dengan curug pertama yang bernama Curug Batu Peti. Mengapa dinamakan Curug Batu Peti? karena ada batu yang cukup besar dan bentuknya seperti peti. Kata Kang Asep, curug yang akan kita kunjungi berikutnya juga diberi nama berdasarkan batu besar yang ada didekat curug tersebut.
Batu Peti. Photo by R. Indra Pratama
Setelah mengamati kecebong, engkang-engkang, kutu air, nympha serangga, dan melihat udang transparan, kami melanjutkan perjalanan sambil menginjak-injak badan sungai yang indah untuk sampai ke curug berikutnya yaitu Curug Papak. Papak dalam Bahasa Sunda artinya datar atau rata. Bagian puncak curug ternyata memang batu yang datar sehingga nama itu menjadi pantas baginya.
Curug Papak. Photo by Yanstri Meridianti
Ingin rasanya bermain-main, berlama-lama di Curug Papak. Berharap bisa bermain perosotan dibadannya. Berharap bisa berbaring di atasnya sambil melihat awan yang berkejaran. Tapi kemudian kami diingatkan bahwa di curug berikutnya ada tempat yang lebih mengasikkan untuk menhabiskan waktu dan bermain. Yaah.. apa boleh buat kami percaya saja dan melanjutkan perjalanan.
Jalan setapak yang sangat empuk berkali-kali melumat sepatu warna putih gadingku, merubah warnanya menjadi warna tanah. Namun suara air di Curug Panganten mengalihkan pikiranku dari malangnya nasib sepatu-putih-gading-butut-
Curug Panganten. Photo by R. Indra Pratama
Oh ya, sebelum sampai di curug panganten ada hal menarik di sisi kiri sungai. Disana ada hutan pinus yang bentuk batangnya sangat unik. Entah bagaimana caranya, batang pinus itu meliuk-liuk.
Pinus bengkok. Photo by. R. Indra Pratama
Tidak terasa tiga curug sudah kita kunjungi. Berarti masih ada tiga curug lagi yang menunggu untuk kita singgahi.
Setelah menyusuri sungai, sampailah kami di Curug Kacapi. Dan Ya, memang ada batu besar seperti kecapi di puncak curug. Selain itu lagi-lagi Kang Asep yang bercerita dan kali ini ceritanya sedikit mistis. Bahwa menurut penduduk asli, setiap malam senin sering terdengar bunyi kecapi di sana. Namun yang kami dengar adalah nyanyian air yang jatuh dari Batu Kacapi yang tinggi. Indah, sama sekali tidak terasa seram.
Sebelum kami sampai ke curug berikutnya, kami harus memanjat tebing terlebih dahulu. Kemiringannya hampir 90 derajat. Asep Nendi dan teman pecinta alamnya membantu kami merayap di dinding tebing. Pengamalan seru seperti yang selama ini aku impikan. Begitu sampai diatas, ulat-bulu-coklat-gendut-besar sudah menunggu kami. Melihatnya saja sudah gatal. Ditempat ulat-bulu-cokat-gendut-besar itu lagi-lagi kami harus memanjat batu. Untung ada Asep Nendi, Imas dan Egi yang membantu kami semua naik sampai ke atas tebing. Terimakasih juga untuk Bey yang dengan gagah berani menyingkirkan makhluk gendut-coklat-berbulu-bikin-gatal itu dari pandangan.
Perjalanan yang cukup panjang dengan medan yang licin mengantarkan kami ke curug berikutnya yaitu Curug Dampit. Curug ini berdiri kokoh, seakan melihat angkuh dari ketinggian. Dua curug yang saling ber-Dampit-an ini sama-sama membuat kagum kami yang melihatnya. Kami menikmati Curug Dampit diatas batang pohon besar yang tumbang. dari situ kami dapat melihat burung parkit warna merah cerah sedang hinggap di dahan pohon. Di sini juga kami melihat kotoran primata, elang yang terbang, awan yang bergerak cepat, tumbuhan palem, dan akhirnya kamipun tahu bahwa tempat kami berdiri saat itu adalah hasil dari longsoran Gunung Manglayang.
Dari pongahnya Curug Dampit, kami tidak sabar mengunjungi Curug Leknan atau tepatnya Legok Leknan. disebut Legok Leknan karena dahulu pernah ada pesawat seorang berpangkat Letnan jatuh di legokan itu. warga setempat akhirnya menyebut daerah tersebut dengan sebutan Legok Leknan.
Dan sampailah pada bagian terbaik dari perjalanan ini. Dari Legok Leknan kami beranjak naik menyusuri jalan setapak yang sangat sempit, licin dengan jurang disisi kanannya. setiap langkah yang di ambil tidak boleh salah, karena berakibat fatal bila kita terpeleset dan masuk jurang. Di salah satu bagian jalan setapak itu, Aku bertemu sengan laba-laba hitam yang besar. Dan perbincangan itu pun terjadi.
Aku
Bandung, kota ku tercinta. Terlihat sangat indah dari sini. Hmmm… Ku hirup dalam-dalam udara bersih di Gunung Manglayang. Menghafalkan dengan sungguh-sungguh aromanya, sejuknya, warnanya, dan perasaan bahagia yang aku rasakan disana. Dan Aku pun iri dengan seekor laba-laba hitam yang membuat rumah tepat di tempat aku berdiri menikmati panorama. Pintar sekali laba-laba itu, pikirku. Begitu pintarnya memilih tempat untuk tinggal. Betapa iri nya aku kare laba-laba itu tak perlu susah-susah untuk menikmati panorama indah, udara bersih, langit yang ramah dan suasana tenang.
aku pun memandang sinis pada laba-laba itu. laba-laba yang beruntung! keluh ku.
Laba-Laba Hitam
Huft…lagi-lagi manusia. Datang bergerombol mengusik ketenanganku. Mereka datang dengan langkah yang kasar dan berisik, memotret aku yang sedang bersantai (hey! laba-laba ini butuh sedikit privacy!), meracau dengan kata-kata ‘waah’, ‘wow’, ‘mantab!’ sungguh mengganggu!
ku beri tahu ya, bukan begitu cara menikmati pemandangan. lihat aku. diam, tenang, tersenyum.
aku kesihan melihat mereka. datang terpogoh-pogoh dengan peluh hanya untuk datang ke ketingian untuk melihat kota mereka yang terlihat lebih ramah dan tenang.
dan gadis itu, apa yang dia fikirkan? melihat sinis ke arahku. Apa salahku? sepertinya dia ingin merebut tempat tinggalku. pandangan itu sungguh mengganggu!
Aku
Sampailah aku di tempat yang membayar lunas rasa takutku di jalan setapak tadi. Suara angin menyapaku. Lanskap Bandung memanjakan mataku. Pekik girang teman-teman melengkungkan senyum lebar di bibirku. Aku pun membelalakkan mata, tersenyum seleber-lebarnya, merasakan angin kencang yang mengajakku melayang di Manglayang.
Dari Gunung Manglayang, aku seperti raksasa yang tersenyum memandang miniatur kota di bawahnya. Bandung terlihat sunyi dan damai dari atas sini.
Dari sini aku berbisik, Terima kasih Tuhan telah menciptakan kota yang begitu indah. Dan maaf Tuhan hanya sedikit yang dapat aku lakukan untuk menjaganya. Tapi sungguh, aku mencintainya. Bandung ku tersayang…
aku menitip salam pada laba-laba hitam dari kejauhan. jaga tempat ini baik-baik. tunggu aku datang kemari lagi. menyapa mu.. lain kali, tersenyum pada mu…