“Oh ini Pecinan Bandung teh?,,,”
Entah mimpi apa, pada hari minggu tanggal 4 april kemaren, saya bersama komunitas aleut! Berkesempatan lagi mengunjungi kawasan pecinan Bandung. Perjalanan kali ini berbeda karena saya ditemani oleh banyak kawan baru dari berbagai lapisan usia yang turut menambah warna dalam Ngaleut! kali ini.
Kedatangan saya ke starting point gedung merdeka ternyata sudah disambut oleh rombongan Aleut! Ternyata selama ini mereka memang menunggu saya dan tidak akan berangkat sebelum saya datang (hahaha).
Di titik pertama ini Bang Ridwan menjelaskan mengenai latar belakang kedatangan bangsa Cina ke Bandung. Ada dua versi menurut Beer, pertama orang2 Cina ini sengaja didatangkan untuk membantu pembangunan jalan raya pos di masa pemerintahan Daendels, orang2 cina ini memang terkenal akan kemampuan pertukangannya. Versi kedua, orang2 Cina ini mungkin juga merupakan pelarian dari “Java Oorlog” atau Perang Jawa (Dipanegara) di masa yang sama. Saya, cenderung memiliki versi lain, bahwa orang2 Cina ini sengaja didatangkan ke Bandung untuk menghidupkan perekonomian kota baru ini, sebagaimana yang dilakukan Belanda saat mendatangkan Imigran Cina ke Batavia di abad ke-17 untuk menghidupkan ekonomi di sana. Menurut Gubernur Jenderal J.P. Coen saat itu, ia lebih menyukai imigran Cina karena bukan cuma rajin, mereka juga tidak suka berperang. Saat itu Warga Cina berperan cukup baik sebagai pedagang eceran dari barang yang diimpor Belanda.
Namun demikian, pada awalnya konsep kawasan pecinan dengan pembatasan yang ketat belum terjadi sebelum tahun 1740, saat dikeluarkannya kebijakan Wijkenstelse . Beginilah ceritanya.
Alkisah, setelah perkembangan kemakmuran Hindia Belanda mencapai momentumnya, bukan hanya si majikan Belanda yang menikmatinya keuntungannya, si budak yang kebanyakan pribumi juga mulai merasakan hidup di atas angin. Di Batavia, budak-budak ini mulai bertindak arogan dengan menyerang pedagang-pedagang Cina. Warga Cina akhirnya merasa tertekan dan melapor kepada otoritas Hindia Belanda, namun respon yang didapat tidak memuaskan sehingga mereka melakukan aksi protes di daerah Gandaria, jumlahnya mencapai ribuan orang. Aksi tersebut dibasmi, ratusan dari mereka diangkut dengan kapal untuk diasingkan, namun berasarkan pengakuan beberapa saksi, para tawanan ini tidak pernah sampai dimanapun karena kebanyakan dari mereka dibuang ke laut.
Kejadian ini menyulut aksi yang lebih luas, warga Cina kemudian menyiapkan perlawanan bersenjata terhadap otoritas Belanda. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seseorang bernama Sipan Jang . Pemberontakan dengan kekuatan 10 ribu orang pun semakin mengancam, Belanda segera menutup gerbang Batavia, dan penyerangan pun kemudian berlangsung. Namun, benteng tak dapat ditembus, selain itu pemberontak pun berhasil dipukul mundur Belanda ke daerah Gending Melati.
Esok harinya, otoritas Belanda memerintahkan penduduk pribumi untuk membantai warga Cina tanpa pandang usia dan jenis kelamin. Sekitar ribu orang Cina menjadi korban peristiwa ini, dan ratusan lainnya di lokasi yang berbeda. Kejadian ini menyulut pemberontakan di daerah-daerah lain di Jawa seperti Semarang, Surakarta, Malang, Grobogan Dll. Kejadian ini segera dibasmi oleh otoritas setempat dibantu oleh Belanda. Kejadian ini mungkin menjadi awal bagi kecurigaan penduduk Jawa terhadap etnis Tionghoa. Terlebih menurut Gubernur Jenderal Adriaan Valkenier, bibit kecurigaan terhadap etnis Cina, adalah karena mereka berbakat pedagang dan telah tumbuh menjadi penduduk kaya raya, sedangkan orang pribumi yang pada dasarnya pemalas tetap berada pada keadaan kemiskinan.
Saya pribadi kurang setuju dengan pandangan tersebut, karena sebenarnya hubungan antara pribumi dengan warga Cina dapat dilacak hingga berabad-abad lamanya tanpa insiden permusuhan. Konflik antara Pribumi dan Cina mungkin hanya merupakan salah satu taktik devide et impera Belanda untuk mencegah kekuatan dua pihak tersebut.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, berbagai bentuk pemberontakan warga Cina tersebut mendorong Belanda untuk menyusun kebijakan wijkenstelsel yang menempatkan orang-orang Cina pada suatu perkampungan khusus dengan batas tertentu, termasuk yang ada di Bandung ini. Kebijakan ini disertai dengan Passenstelsel yang mewajibkan orang Cina untuk membawa surat ijin khusus apabila ingin keluar dari kawasannya. Kebijakan yang terakhir ini hanya berlangsung hingga tahun 1830. Tidak cukup, kemudian Belanda juga mengeluarkan peraturan yang melarang orang Cina untuk berpakaian seperti orang Eropa atau Pribumi. Lucunya, Peraturan ini dikeluarkan untuk mencegah orang Cina menyamar sebagai pribumi saat hendak ditagih pajak oleh Belanda.
Lingkungan pecinan mempunyai pemimpin sendiri yang diangkat atas persetujuan Belanda, mereka diberi pangkat Mayor, kapten, letnan dan sebagainya. Mereka ini biasanya orang yang sangat kaya dan berpengaruh pada masyarakatnya. Selain itu, kekayaan mereka akan meningkat karena mereka mendapat hak monopoli atas penjualan opium, yang semua ini baru dihapuskan di tahun 1900-an.
Kawasan-kawasan pecinan memiliki karakter dan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Contohnya, saat Aleut! Mengunjungi Bogor beberapa waktu lalu, kami menemukan karakter pecinan yang sangat kental dan ramai, hal ini berbeda dengan di Bandung. Nah di Bandung sendiri, karakter pecinan terbagi dua, pertama di Cibadak di mana orang Cina di kawasan ini kebanyakan berprofesi sebagai tukang, sedangkan di pecinan lama kebanyakan profesinya adalah sebagai pedagang dan pemilik toko.
Namun, pada dasarnya letak Pecinan tersebut hampir sama di seluruh daratan Jawa. H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mengatakan bahwa pada masa kolonial, tata ruang kotanya bisa digambarkan sebagai berikut :
“Disekeliling alun-alun itu terdapat bangunan sekolah, rumah sakit dan tempat tinggal orangorang penting pejabat Belanda. Pada jalan utama disekitar alun-alun itu terdapat aktifitas komersial, dimana tedapat “kampung Cina” yang cukup padat dan disekitar pasar yang kebanyakan terdiri dari toko-toko kecil serta pengerajin seperti tukang kunci, tukang lemari, tukang kayu dan sebagainya “
Nah, karakter lain dari pemukiman Cina tentunya adalah arsitektur khasnya. Namun hal ini juga cukup sulit karena pemukiman Cina peranakan sudah tidak lagi menggunakan arsitektur Cina asli, melainkan menyesuaikan dengan perkembangan dan adat istiadat setempat. Kaum Cina peranakan ini, selain sudah berjarak dengan budaya asli bangsanya, juga tidak lagi menggunakan bahasa Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari. Pengarang Kwee Tik Hoay menggambarkannya sebagai berikut :
”Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada dasarnya adalah masyarakat peranakan. Para anggota masayarkat ini telah kehilangan kemampuannya berbahasa Tionghoa, dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pegantar komunikasinya.”
Di Indonesia, hanya ada tiga jenis arsitektur Cina, yaitu : Kuil (Klenteng), aula belajar (sekolah) dan rumah petak. Semua contoh bangunan ini dapat kita temukan sepanjang perjalanan Aleut! kemarin. Ada satu hal lagi yang khas, bahwa kebanyakan perumahan orang Cina harus menyesuaikan dengan keterbatasan lahan di kawasan Pecinan, oleh karena itu jarang sekali ada rumah yang sangat besar walau pemiliknya sangat kaya sekalipun.
Johannes Widodo juga mengemukakan ciri lainnya, yaitu bahwa di zona khusus Pecinan di kota Kolonial adalah tipologi toko yang panjang dan sempit terbangun di blok kota yang padat dengan gang (brandgang) di belakang dan gang buntu di dua sisi blok untuk mencapai kampung yang lebih organik di belakangnya. Satu blok bangunan biasanya terdiri dari dua tingkat, yang di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang dapat digunakan sebagai hunian keluarga, toko maupun disewakan.
Sampai paruh kedua abad sembilan belas, selain warga Cina tidak diperbolehkan menggunakan pakaian model Eropa atau Pribumi, mereka juga dilarang untuk menggunakan gaya dan ornamen Eropa pada bangunannya. Apabila melanggar, mereka harus merombak kembali bangunannya ke bentuk khas budaya Cina. Dari masa ini, kita dapat menemukan antara lain ornamen2 khas seperti sepasang sarang walet di ujung atap rumah atau sepasang kucing merangkak di atas atap rumah toko. Keduanya sama-sama menunjukan simbol kemakmuran yang diharapkan penghuninya.
Gerbang Kawasan Pecinan, saat menyambut Ratu Juliana dan P. Bernhard
Tetapi sesuai dengan perkembangan berikutnya, setelah aturan2 yang membatasi warga Cina dihapuskan, warga Cina yang sudah mapan mulai melirik arsitektur Eropa sebagai simbol kemakmuran dan status sosial di masyarakat. Akhirnya mereka mulai meninggalkan arsitektur khas Cina, selain dari faktor kekurangan tukang kayu dan batu yang mampu membuat arsitektur Cina tradisonal. Akhirnya mereka beralih pada gaya arsitektur mutakhir saat itu, seperti gaya Indische Empire yang banyak ditemukan di sepanjang pecinan, hingga art deco yang banyak digunakan warga Cina di daerah Bandung Utara. Jadi salah apabila ada orang mengatakan bahwa kawasan Bandung Utara hanya digunakan orang Eropa. Orang2 Cina kaya raya diketahui cukup banyak mendirikan bangunan mewah di kawasan ini. Bangunan Drie Driekleur, SMAK Dago, hingga Villa Mei Ling adalah sedikit dari Villa megah yang dimiliki orang Cina saat itu. Semua itu adalah simbol kemajuan dan kemakmuran warga Cina di Bandung.
Namun masa kejayaan warga Cina di Bandung mulai meredup seiring dengan terjadinya peristiwa Bandung lautan api. Pada masa itu, setelah Jepang menyerah, ternyata mereka masih melakukan provokasi khususnya kepada warga Tionghoa dengan mengadakan penculikan, perampokan, dll.. Warga Cina yang sudah tidak tahan lagi, kemudian bergabung dengan polisi dan pasukan keamanan, bukan karena pro-NICA melainkan karena mereka sangat kekurangan senjata untuk mempertahankan diri.
Saat Bandung dibagi dua oleh NICA, warga Cina memilih untuk tinggal di kawasan utara yang lebih aman serta kondusif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun tetap saja kebutuhan itu sulit didapat karena pasukan republik memblokade pengiriman dari Bandung selatan. Pada tahun 1946 NICA mengeluarkan mata uang baru, dan warga Cina memilih untuk menggunakan mata uang tersebut, alhasil mereka semakin dibenci kaum republik dan dipanggil sebagai “Anjing NICA”.
Properti warga Cina di kawasan Pecinan yang ditinggalkan sangat rawan, dan dalam kondisi tersebut bahkan sebuah mobil palang merah Cina sempat diserang pejuang republik. Lim Shui Chuan, yang gagal menyelamatkan mobil tersebut namun nyawanya selamat mengatakan bahwa , ”Apa yang Bung Karno telah lakukan selama ini dalam membangun hubungan orang Indonesia dan Cina telah dihancurkan secara singkat oleh tindakan sekelompok pengacau”
Saat hendak menyerang selatan, Inggris melakukan kesalahan dengan membiarkan kaum republik mengetahui rencana tersebut, alhasil tindakan tersebut sama saja dengan memberi waktu kepada kaum republik untuk merampok dan membakar properti-properti warga Cina di Bandung selatan. Akhirnya hingga saat ini kita tidak dapat menemukan banyak peninggalan bangunan khas Cina di Bandung.
Hoaahmm,,, Demikianlah sedikit catatan pada ngaleut! Pecinan kemaren. Semoga dapat memberikan pencerahan batin bagi kita semua,,, hahaha,,, Amien!
Sumber :
Peter J.M. Nas, Masa Lalu dalam Masa Kini
Onghokham, Chinese Capitalism in Dutch Java
Handinoto, Sekilas tentang arsitektur cina pada akhir abad ke 19 di pasuruan
Augusta de Wit, Fact and Fancies of Java
Pratiwo, Arsitektur Cina di Indonesia masa kini
Johannes Widodo, Morfologi dan Arsitektur Kota Komunitas Diaspora Cina di Indonesia