Month: April 2010

Profil Pegiat : Asep Nendi R.

Asep Nendi

Akang-akang yang satu ini mudah dikenali di setiap acara Aleut! sebagai pria berlogat sunda kental dan kepalanya yang selalu ditumbuhi rambut maksimal 2cm.. Asep ini bodornya nggak terkalahkan di Aleut!, dengan celetukan-celetukan yang luar biasa dan sudah melegenda macam “IH!!! LAIN!!!”..

tapi dibalik itu semua, beliau ini adalah seorang pecinta alam yang tergabung dalam organisasi pecinta alam kampusnya dulu (meskipun sampai sekarang masih aktif meskipun sudah lulus) serta aktivis LISES pula.. nggak heran kalau pengetahuan tentang kata-kata dan istilah sunda kang Asep pun lumayan luas dan berwawasan… enya kitu??.. eh nggak cuma tentang sunda-sunda an aja, wawasan umum Asep ini juga termasuk luas dan cerdas lho..

Lahir tanggal 30 Desember 1985, bung Asep ini dulunya merupakan mahasiswa FISIP Universitas Padjajaran angkatan 2004 sebelum akhirnya terpaksa diberi kelulusan oleh pihak kampus, ahaha.. oiya beliau ini alumni SMA Negeri 1 Bandung dan SMP negeri 2 Bandung, dimana 6 tahun SMP-SMA tersebut dilalui beliau dengan rambut belah tengah.. hehehe

Pria pemalu yang bergabung di Aleut! semenjak ngaleut! Patahan Lembang awal 2009 ini seiring berkembangnya waktu (cieh) menjadi bagian integral yang penting di Komunitas Aleut!..Kalau temen2 kemarin ikut Plezier Gedong Merdeka 2010 nya Mooi Bandoeng dan Aleut!, acara tersebut general manager nya adalah kang Asep ini, hebat ya..

Berbagai nama panggung pernah disematkan kepada Asep, diantaranya : Asep “stroberi”, Asep “Bebas”,Asep “Jengke”, Asep “Qwerty”, hingga Asep “Corby”.. kenapa?, silahkan berkenalan sendiri dengan pegiat yang satu ini, maka temen2 pasti akan ngerti.. 😀

Nah, akhirul kata.. kalau temen2 penasaran sama Asep, ikutan Aleut! aja.. okee… ato add FB nya Asep : http://www.facebook.com/home.php#!/profile.php?id=1575196128

CATETAN PEMANDOE LANTJONG PLEZIER GEDONG MERDEKA

Oleh : Taufik Hidayat (Opik)

Ajo melantjong dalem “Pezier Gedong Merdeka”…
Djangan ketinggalan,adjak serta keloergamoe,dan siapken pajoeng djoega djas hoedjanmoe!!
Ja,djas hoedjan boekan djas toetoep kerna kita soeda berada di djeman moderen,
djeman merdika.Maka dari itoe edjaanpoen mesti sigra dioebah ke edjan mederen…
(salah satu kalimat ajakan yang digunakan dalam promosi Plezier Gedong Merdeka 2010 yang cukup unik)

Minggu pagi itu (18 April 2010) disekitaran Gedung Merdeka sudah nampak keramaian yang amat sangat,keramaian tersebut bukan tanpa sebab,karena hari itu bertepatan dengan rangkaian ulang tahun Konferensi Asia Afrika (18 April-24 April).

Selain komunitas sepeda onthel yang begitu banyak dan memadati sisi timur gedung merdeka,dan beberapa komunitas di bandung yang ikut meramaikan acara tersebut.
Dan ada pula acara yang begitu ditunggu banyak orang,acara yang diselenggarakan oleh kerjasama Museum KAA,mooibandoeng plezier compagnie dan didukung oleh komunitas aleut,acara tersebut adalah “ Plezier Gedong Merdeka 2010 ”.

Dan dihari itu saya berkesempatan menjadi seorang pemandu bersama rekan saya mondriadi a.k.a momon.Semua peserta dibagi menjadi 10 kelompok dan saya menjadi pemandu kelompok 7.

Singkat cerita

Peserta kelompok 7 berjumlah 21orang,setelah semua peserta berkumpul dilanjutkan dengan perkenalan saatnya giliran kelompok 7 pun tiba.
‘Plezier’ pun dimulai.

Tempat pertama sekaligus start awal adalah gedung bekas bioskop majestic.
Gedung yang dibangun tahun 1925 dengan arsiteknya Wolff.Schoemaker itu memang memiliki keunikan,yakni bangunan yang menyerupai kaleng biskuit atau orang jaman dulu khususnya orang belanda menyebutnya “ Blikken Trommel ”.Ditambah pula dengan ornamen nusantara berupa kepala kala yang dipasang dibagian depan gedung tesebut.Kami pun berkesempatan masuk kedalam gedung tersebut,gedung yang beberapa kali berganti nama dari Majestic,AACC (Asia Afrika Culture Centre) dan sekarang menjadi New Majestic.Didalam masih terdapat 2 buah proyektor pemutar film yang masih sangat terawat,didalam pun terdapat sebuah balkon yang dulu berfungsi sebagai tempat vip.

Tapi sayang saat penjajahan dulu gedung tersebut menjadi semacam simbol rasialisme kolonial,karena dulu ditembok depan terdapat sebuah plakat yang berisi peringatan dalam bahasa belanda yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia berbunyi
“ pribumi dan anjing dilarang masuk “.Hmm kejam betul mereka (para penjajah).

Titik selanjutnya yaitu titik nol km Bandung.Para peserta cukup antusias dengan penjelasan dan sedikit sejarah tentang titik nol km,walaupun suara saya dan momon harus bersaing dengan bisingnya suara kendaraan yang melintas dijalan asia afrika.

Berjalan sedikit kearah timur,sampailah kami didepan Hotel Grand Preanger,hotel tersebut merupakan salah satu hotel perintis dikota bandung.Dulu hotel preanger merupakan sebuah toko kecil yaitu toko Thiem.Setelah itu mengalami perombakan dan menjadi hotel berbintang dan megah seperti sekarang ini.Hotel yang bergaya art deco seperti yang sekarang adalah karya arsitek Wolff.Schoemaker dengan juru gambarnya Ir.Soekarno.

Titik selanjutnya adalah Hotel Savoy Homann,hotel yang dibangun sekitar tahun 1871 dengan arsiteknya A.F Aalbers memiliki gaya stream line art deco atau banyak garis dan lengkungan yang khas.Sebelum bernama savoy homann,hotel ini pertama sempat bernama hotel post road.
Saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955,para delegasi Negara asia afrika menginap beberapa hari dihotel savoy homann selain para delegasi,sempat menginap juga pemeran film bisu yang sangat terkenal seantero jagat saat itu yakni Charlie Chaplin.
Didepan hotel homann terdapat sebuah monumen dasasila bandung yang berisi hasil dari konferensi asia afrika yang dirumuskan digedung merdeka.

Sebelah hotel homann terdapat sebuah bangunan antik dengan menara diatapnya,bangunan yang terbengkalai tersebut adalah bekas toko serba ada de vries milik J.R De Vries.
Saat itu de vries bisa dianggap sebagai shopping mall pertama di bandung karena menyewakan sebuah gedung tuk toko/tempat berjualan,dari toko pakaian,daging,mobil,cerut

u,minuman,makanan,buku dan kertas,keperluan pertanian,barang pecah belah,mebel dan masih banyak lagi,serta toko tersebut adalah toko pertama di bandung yang menyediakan wc/toilet tuk para pengunjungnya.
Setelah jaman kemerdekaan bangunan de vries sempat digunakan sebagai studio foto goodland,restoran peiping dan resoran padang.sayang sekarang gedung tersebut terbengkalai dan dibiarkan rusak.

Dari de vries kami berbelok masuk ke jalan homann lalu ke jalan dalem kaum.Dijalan dalem kaum masih bisa terlihat sebuah bangunan yang berdiri diatas aliran sungai ci kapundung .Bangunan tersebut dulunya adalah sebuah toko yang menjual rotan,yaitu LIDO.Saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955,rotan yang dipakai pun dibeli/pesan dari toko tersebut.

Titik henti selanjutnya adalah dijalan dalem kaum depan jalan regol,saya dan momon menjelaskan secara bergiliran dan saling melengkapi tentang dalem kaum dan regol
Yang mengandung banyak sejarah tapi mungkin banyak dari orang bandung sendiri yang tidak tahu sejarah tentang regol dan dalem kaum.

Berjalan sedikit ketitik henti selanjutnya yaitu Dian Kencana Futsal Klub,yang dulunya bangunan tersebut adalah sebuah bioskop yang bernama Radio City milik seorang raja bioskop di Bandung yakni F.A Busse.Bagian plafon dalam bangunan terebut sudah banyak yang terkelupas dan kondisi nya cukup memprihatinkan.

Didaerah alun alun banyak terdapat bioskop (bioskop perintis dikota Bandung) yaitu Elitee Bioscoope,Feesterrein Varia dan Oriental yang sekarang menjadi bangunan Palaguna.Feesterrein Varia selain berfungsi sebagai bioskop dapat pula berfungsi sebagai tempat menampilkan hiburan rakyat ataupun kesenian daerah seperti jaipongan,pencak silat,benjang,wayang dll.
Setelah jaman kemerdekaan nama dari bioskop tersebut dinasionalisasi seperti dari Elitee Bioscoope menjadi Elita,Feesterrein Varia menjadi Aneka dan Oriental menjadi Nusantara dan sekarang komplek bioskop tersebut disatukan menjadi palaguna.

Titik henti selanjutnya adalah Pendopo Kabupaten,kami berkesemptan masuk kedalam area pendopo (Karena jarang warga yang diperbolehkan masuk).

Pendopo Kabupaten didirikan sekitar tahun 1810 dan merupakan bangunan pertama yang dibangun saat pemerintahan kabupaten bandung dipindahkan dari krapyak ke alun alun.Rumah dinas walikota dekat pendopo termasuk salah satu hasil karya Ir.Soekarno yang memiliki bangunan yang khas seperti atap limasan dan ornamen gada dipuncak atap bangunan.

Didepan pendopo terdapat alun alun bandung,ditengah taman alun alun saya dan momon bergiliran menerangkan tentang Bale Bandung (Paseban),Alun alun Bandung dan Mesjid Agung (Bale Nyungcung).

Alun alun diseluruh pulau jawa memiliki pola yang sama seperi adanya pendopo,mesjid,penjara dan pasar.Alun alun bandung pun demikian memiliki unsur tersebut yang mewakili unsur eksekutif,legislatif dan yudikatif.

Tempat selanjutnya adalah makam Dalem Kaum yang berada dibelakang pelataran mesjid agung.Makam tersebut adalah makam dari pendiri kota bandung yakni R.A Wiratanakusumah II beserta istrinya dan kerabat serta para petinggi bandung lainnya di masa itu.

Setelah dari makam dalem kaum,kami harus berjalan menyusuri gang sempit dan deretan pedagang dipasar kota kembang yang cukup sesak.

Walaupun tampak sudah kelelahan para peserta nampaknya masih bersemangat mendengarkan penjelasan tentang Gedung Dezon N.V yang dibangun sekitar tahu 1920 an (akhir).
Dezon sendiri diambil dari bahasa Belanda yang berarti matahari seperti lambang yang ada di depan bagian atas bangunan tersebut.Disebelah de zon terdapat sebuah jalan kecil yang bernama jalan alkateri yang memilik cerita menarik dan cukup mengandung sejarah pula.

Titik selanjutnya adalah bekas hotel SWARHA yang sekarang menjadi toko INDRA,”Mahal Uang Kembali” .Kami pun beruntung bisa berkesenpatan masuk dan naik ke bagian dalam hotel tersebut.
Hotel swarha dibangun menjelang Konferensi Asia Afrika (KAA) di gedung merdeka.
Hotel tersebut saat KAA diperuntukan untuk menginap para pencari berita atau wartawan dari berbagai daerah bahkan dari berbagai Negara yang meliput jalannya KAA di bandung.

Sekarang kondisi gedung tersebut cukup memprihatinkan dan dibiarkan rusak.Dilantai 3 pernah pula dijadikan syuting sebuah film “ love is cinta “ yang dibintangi acha septriasa (sebenarnya ga penting tuk dibahas ,,heheh).

Dari Swarha ,kami menyebrang ke kantor Pos besar bandung dipersimpangan antara jalan asia afrika dan banceuy.Kantor pos pertama dibandung dibangun tahun 1835 yang letaknya berada di dekat yogya kepatihan sekarang.

Dulunya kantor pos besar bandung hanya berupa bangunan kecil yang dibangun 1863 bersebelahan dengan sebuah rumah sakit kecil tempat merawat pasien yang terjangkit penyakit kolera,sifilis dan cacar.

Bangunan yang seperti sekarang adalah hasil dari perombakan yang dilakukan pada tahun 1928 oleh arsitek J Van Gendt,dan perombakan tersebut menyita lahan rumah sakit kecil tersebut,rumah sakit kecil tersebut adalah cikal bakal dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung sekarang.

Panas pun semakin menyengat tapi tak menyurutkan semangat kami,karena para peserta nampak mulai kelelahan ,kami pun beristirahat sejenak di Banceuy (istal kuda/tempat istirahat kuda) yang sekarang menjadi tempat parkir bank mandiri.
Sembari para peserta berisirahat saya dan momon menjelaskan sedikit tentang banceuy,setelah cukup beristirahat perjalanan pun dimulai kembali.

Dengan sedikit berjalan kami pun sampai di bekas komplek penjara banceuy yang sekarang telah berubah menjadi ruko dan kawasan perkantoran.Penjara banceuy di bangun sekitar tahun1870,dahulu Ir.Soekarno pernah disel dipenjara banceuy pada tahun 1930.Bagian yang masih tersisa adalah sel tempat Ir.Soekarno ditahan dan menara pengawas,kondisi kedua tempat tersebut terbenglakai dan kurang terawat.

Titik henti selanjutnya dalah sumur bandung,sumur yang berada dikompleks gedung PLN tepatnya dibasement.Sumur bandung ditemukan oleh bupati bandung R.A Wiranatakusumah II yang sedang mencari lokasi yang cocok tuk dijadikan ibu kota kabupaten.
Saat beristirahat disisi sungai Ci kapundung,R.A Wiranatakusumah II menancapkan tongkatnya ketanah dan keluarlah air yang sangat jernih,kemudian mata air tersebut digali dan dijadikan sumur yang sekarang disebut sebagi sumur bandung.

Ada pula mitos yag beredar bahwa sumur bandung dijaga oleh putri cantik nan jelita yang bernama Nyi Kentring Manik Mayang Sunda dan konon adalah istri dari Prabu Siliwangi.

Dari sumur bandung,akhirnya sampai pula di tempat terakhir yaitu Gedung merdeka.

Gedung yang dulunya bernama Societeit Concordia,digedung tersebut dahulu para preanger planters (orang belanda pemilik perkebunan teh di priangan) biasa berkumpul dan bersenang senang/berpesta.Karena saking kaya nya mereka maka mereka pernah/sering mendatangkan kelompok musik,teater,artis artis terkenal dari eropa hingga ballerina terkenal dari rusia.

Societeit sendiri kurang lebih berarti perkumpulan orang belanda yang kaya raya dengan sistem menarik iuran dari setiap anggotanya tuk kegiatannya (berkumpul/berpesta).
Gedung tersebut sama halnya seperti gedung majestic melarang orang orang pribumi tuk masuk kedalam gedung tersebut..
Saat ini gedung merdeka dibagi menjadi 2 bangunan utama dengan karakter yang berbeda.Gedung yang menghadap ke jalan asia afrika adalah bekas gedung pertunjukan (Shouwburg) hasil rancangan arsitek Wolff.Shcoemaker pada tahun 1920-an sedangkan bangunan disebelah timur yang melengkung kesisi jalan braga hasil rancangan A.F Aalbers pada tahun 1940.

Setelah jaman kemerdekaan dan dijadikan gedung tempat Konferensi Asia Afrika tahun1955,gedung tersebut berubah nama menjadi gedung merdeka hingga sekarang dan dijadikan pula sebagai museum Konferensi Asia Afrika.

Setelah jaman kemerdekaan dan semangat nasionalisme yang dicanangkan oleh Ir.Soekarno maka runtuhlah pula rasialisme kolonialis di Indonesia.Dan salah satu tempat perjuangan ‘meruntuhkan’ kolonialisme bangsa diasia dan afrika adalah gedung merdeka yang menjadi kebanggaan warga bandung dan umunya rakyat Indonesia.

Alhamdulillah acara Plezier Gedong Merdeka sukses dan lancar.Sebelumnya terima kasih pada para peserta dan panitia lainnya.Semoga para peserta berkesan dan maaf bila dari pemandu kelompok 7 ada hal yang kurang berkenan.Semoga pula acara seperti ini dapat membawa dampak positif umunya bagi warga bandung agar lebih menghargai sejarah kotanya sendiri dan menjaga peninggalannya.

Itoelah catetan singkat jang bisa dicritaken oentoek khalajak banjak dari Pemandoe Lantjong Plezier Gedong Merdeka.

Merdika…

Sumber : mooibandoeng plezier compagnie

Ngaleut ke soreang- ciwidey Share

Oleh : Hani Septia Rahmi

ngaleut pertama keluar bandung yaitu soreang-ciwidey
Minggu 7 Maret 2010

Jejak-jejak perkertaapian disekitar soreang-ciwidey memang tak begitu jelas, jika hanya dilihat dengan sekilas pandang dari tepi jalan raya Soreang-Ciwidey. Dari keseluruhan jalur ini masih terbilang jalur yang cukup utuh dan nyaris tak terjamah tangan jahil manusia. Bahkan disalah satu jembatannya yaitu jembatan Ciantik pernah dijadikann lokasi shooting film perang produksi Belanda yang berjudul Oeroeg pada tahun 1997 yang diadaptasi dari novel yang berjudul “Oeroeg” karangan Helena Sefaria Haass.
Berdasarkan catatan jalur kerat api Bandung – Ciwidey mulai beroperasi pada tahun1923. Jalur ini merupakan jalur kereta api pertama di daerah Bandung Selatan. Jalur kereta api ini dimulai dari Satsiun Cikup=dapateuh, Pasar kordon Buahbatu, Pamengpeuk, Banjaran, Soreang dan berakhir di stasiun Cimuncung Ciwidey.
Menurut Kuncen Bandoeng, Bapak Haryoto Kunto dalam bukunya Bandoeng Tempo Doeloe. Ada dua tahap pembangunan jalur ini. Tahap pertama tahun 1918 pembangunan jalur Bandung-Kopo dan tahun 1921 jalur ini di teruskan ke Ciwidey oleh Staats Spoorwegen / SS (Perusahaan Kereta Api Negara). Pembangunan jalur kereta api bandung Ciwidey ini diperuntukkan untuk:
1. Alat angkut hasil produksi perkebunan wilayah Priangan yang kala itu menjadi komoditi ekspor yang laku keras di pasar dunia.
2. Sarana pendukung dalam pemekaran Gemeente Bandung tahun 1919. Sarana pemerkaran yang dimaksud adalah untuk mengankut kayu-kayu dari daerah Ciwidey (yang pada saat itu kebanyakan masih hutan untuk pembangunan Gemeente/ kota).
Pada masa-masa awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an awal, jalur Bandung Ciwidey menjadi akses utama kecamatan Ciwidey langsung menuju pusat aktivitas perekonomian di Bandung. Masyarakat memanfaatkan jasa angkutan ini sebgai sarana pengiriman barang kebutuhan sehari-hari. Selain itu masyarakat Ciwidey memanfaatkan jalur ini sebagai sarana untuk berpergian ke Bandung dan mencari pekerjaan sebagai buruh harian pada musim kemarau. Ada hal yang lebih menarik bagi warga Desa Citeurep, adanya kereta api ini juga menjadi penanda waktu imsak karena belum memiliki pengeras suara. Ini dikarenakan saat stasiun cimuncung masih aktif kereta pertama berangkat menuju Bandung pukul 04.00 dan kereta terakhr pukul 18.00.
Akhir dari perjalanan kereta api Bandung-Ciwidey ini ditandai dengan sebuah kecelakaan rangkain yang ditarik lokomotif seri BB di kampung Cukanghaur kecamatan Pasir Jambu yang mengakibatkan tiga orang tewas pada bulan Juli 1972. Menurut sejumlah mantan karyawan Perusahaan Jawatan Kereta Api yang bertugas dijalur ini, kecelakaaan tersebut diakibatkan kelebihan beban saat mengangkut kayu untuk dikirm ke Jakarta. Selain alasan itu, jalur Bandung-Ciwidey ini dirasa kurang menguntungkan kendaraan bermotor sehingga pada tahun 1975 jalur ini resmi ditutup.
Setelah 35 tahun jalur ini dinonaktifkan, banyak perubahan yang terjadi disekitar jalur ini. Jalur ini menjadi saksi pertumbuhan jumlah penduduk di daerah sekitar Soreang-Ciwidey pada khusunya. Beberapa bagian rel telah berubah fungsi menjadi bagian pagar rumah penduduk, stasion beralih fungsi menjadi warnet dan jembatan serta rel kereta api digunakan sebagai jalur pejalan kaki.

Referensi :
– Bnadung Ciwidey Dalam Kenangan tanggal artikel 22 Januari 2010 [http://bataviase.co.id/detailberita-10550750.html]
– Stasiun Banjaran tanggal artikel 13 Agustus 2008 http://fauzan.persib.net/2008/08/13/stasiun-banjaran/

jembatan kereta api yang ada di soreang setahu saya kalo ingin ke ciwidey biasa pake mobil
jembatan ini kalo ga salah kata bang ridwan muncul di buku tentang konstruksi belanda
di depan gudang.. di stasiun cimuncang.
Tapi sayang bangunannya ga terurus
alat buat mindahin kereta dan sekarang sebagai tempat jemuran
stasiun berubah jadi gudang dan toko

Ngaleut de Bragaweg

Oleh : Catra Pratama

Original Post at http://catra.wordpress.com/2010/04/13/ngaleut-di-bragaweg/

Minggu pagi itu saya bangun. Melirik jam dinding dan berpikir sejenak. Ternyata Minggu pagi ini ada agenda saya bersama Komunitas Aleut buat ngaleut bragaweg. Segera saya ke lokasi tempat start ngaleut yaitu di depan gedung Merdeka jalan Asia Afrika Bandung. Di sana telah berkumpul dua puluhan teman-teman pencinta sejarah dan ngaleut Bandung. Ngaleut dalam bahasa Sunda adalah jalan-jalan bareng. Saya berpikir, ternyata masih ada generasi muda Bandung yang bangun lebih awal untuk melakukan hal-hal yang positif tanpa begadang di malam minggunya. Bangun pagi ngaleut sambil mengapresiasi peninggalan-peninggalan bersejarah yang ada di Bandung.

Minggu itu agendanya adalah menelusuri jalanan Braga hingga finish di taman SMAN 5 Bandung. Lokasi start di gedung merdeka sambil ramah tamah antar anggota komunitas membuat kami lebih akrab satu sama lain. Saya baru bergabung dengan komunitas ini sebulan yang lalu. Anggotanya yang kebanyakan mahasiswa dari berbagai macam universitas yang ada di Bandung yang sama-sama memilik rasa cinta terhadap Sejarah dan Kota Bandung. Sangat terbuka dan terkesan tak ada sekat diantara kita membuat selama perjalanan kita bisa berbagi pengetahuan dan wawasan antar sesama anggota.

Dari gedung merdeka kita berjalan ke hotel preanger, salah satu hotel eksotis peninggalan kolonial di jalan Asia Afrika. Hotel ini pernah ditempati oleh delegasi Konfrensi Asia Afrika pada tahun 1955 dahulu. Lanjut ke titik KM 0+00 Kota Bandung. Di titik itu pernah berdiri seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang sewaktu meninjau pemabngnan jalan raya pos yang terbentang dari anyer ke panarukan. Beliau mengatakan dan berharap di tempat ia berdiri itu dibangun sebuah kota. FYI, Bandung ternyata memang dibangun oleh pemerintah kolonial. Ibukota Bandung yang awalnya berada di daerah dayeuh Kolot 10 Km ke selatan Bandung di pindahkan ke alun-alun sekarang agar terletak di pinggir jalan raya pos yang melewati Bandung, sekarang jalan yang membelah kota Bandung itu menjelma jadi jalan Asia Afrika.

Tak jauh dari tempat itu berdiri kokoh hotel Savoy Homann. Hotel bergaya kolonial dengan ciri khas lengkung di sisi timurnya. Gaya khas Arsitek Terkenal Albers. Di hotel ini juga pernah ditempati oleh Kepala negara negara pesarta KAA 1955. Juga, artis dunia Charlie Chaplin. Perjalanan di lanjutkan ke sepanjang Braga. Jalan Braga cukup unik, karena jalan ini tidak memakai aspal, melainkan memakai batu pualam. Kiri-kanan jalan ini terdapat bangunan-bangunan sisa kolonial sehingga jalanan ini membuat kita seolah berada di eropa.

Pada awal abad 20 an Braga merupakan pusat perbelanjaan bagi warga Eropa yang tinggal di sekitar Bandung. Rata-rata warga Eropa tersebut bekerja di perkebunan di sekitar Bandung dan sangat mapan dibandungkan warga pribumi pada saat itu. Banyak sekali gedung-gedung tempat hiburan bagi kaum planters tersebut, tempat pertunjukan musik, Bioskop, Tempat Pemandian dll. Nah, yang bikin miris yaitu fasilitas itu tak bisa dinikmati oleh kaum pribumi sendiri yang merupakan empunya negeri ini. Bahkan di gedung majestik yang merupakan Bioskop tempat pemutaran film pada zaman itu terpampang tulisan Anjing dan Pribumi dilarang masuk. Masyaallah, ternyata status kita disamakan dengan anjing pada saat itu.

Perjalanan dilanjutkan ke arah Balaikota Bandung, melewati Bangunan kuno Polwiltabes Bandung. SMP 2 Bandung yang merupakan tempat pendidikan menengah yang elite pada saat itu. Melewati tempat kompleks perkantoran militer yang juga warisan kolonial. Kolonial membangun negeri ini dengan apik, tertata dan terencana.

Perjalanan ini sangat menarik karena di sepanjang perjalanan saya merasa kembali ke suatu zaman yang tak terbayangkan oleh saya sebelumnya. Ketika kita bangsa indonesia menjadi babu bangsa asing yang bercokol di negara kita. Ketika kita hanya bisa melihat dari jauh kemewahan kaum kolonial di kampung kita sendiri. Ketika kita hanya bisa menelan air ludah karena tak bisa merasakan nikmatnya fasilitas-fasiltas tersebut. Sekarang, Kita sudah merdeka. Sisa-sisa fasilitasnya diwariskan kepada kita. Namun kita seolah menelantarkannya. Terletak bagaikan bangunan rongsok tua yang keropos di pinggir jalan.

Jalan-Jalan ke Pecinan Bandung

Oleh : Asep Suryana (http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1163787811#!/asep.suryana1)

Tanggal 4 April 2010 saya pergi mengunjungi daerah Pecinan Bandung bersama Komunitas Aleut. A sampai Z perjalanan itu tidak akan dikisahkan di sini, karena sudah diceritakan teman-teman lain yang ikut serta. Saya hanya ingin mengutarakan perasaan yang timbul dari pengalaman ini.

Mungkin tidak banyak yang menyadari kalau nama Jl. Alkateri diambil dari nama keluarga Arab Al Katiri seperti diutarakan nara sumber Ridwan Hutagalung yang dikenal dengan inisial BR. Di jalan ini pula terdapat Gg. Al Jabri yang pada abad ke-19 adalah tempat penjualan madat, sekarang menjadi tempat berjualan barang-barang antik.

Tidak jauh dari Alkateri terdapat Jl. Pecinan Lama dan Kampung Suniaraja yang menjadi tempat permukiman pertama etnis Cina di kota Bandung. Perjalanan selanjutnya adalah ke Pasar Baru. Pada abad ke-19 perekonomian jauh lebih sederhana dari jaman sekarang. Pasar dalam arti fisik tempat bertemunya pedagang dan pembeli merupakan bagian penting denyut suatu kota. Di belakang Pasar Baru saya melihat beberapa toko dan rumah dengan gaya arsitektur yang unik yang dahulunya dimiliki para saudagar dari bermacam etnik. Pasar Baru merupakan pasar pengganti dari pasar di daerah Ciguriang (sebelah barat daya dari Alun-alun Bandung) yang dibakar tahun 1842 akibat kerusuhan yang dikobarkan Munada seorang Cina mualaf asal Kudus. Konon orang Cina yang menjadi muslim hak dan kewajibannya disamakan dengan penduduk pribumi sehingga terhindar dari passenstelsel.

Rumah dan toko milik saudagar tempo dulu di belakan Pasar Baru

Dari sini sudah tergambar sejak berpindahnya ibukota Kabupaten Bandung ke Alun-alun Bandung tahun 1810 dalam beberapa dekade Bandung tumbuh menjadi kota yang multi etnik dan dengan demikian multi kultural. Hanya saja sekat-sekat sosial yang dibuat pemerintah kolonial sering menimbulkan friksi di antara mereka. Keadaan penduduk Bandung akhir abad ke-19 terlukiskan di dalam tulisan Kalipah Rd. H. Muhammad Sueb kepada Hoofd Panghulu H. Hasan Mustafa, Surat Ka Kotaraja (1907): “Beuki loba bangsa bae Arab, Jawa, Melayu, sumawonten Cina mah ….”.

Perjalanan selanjutnya ke arah barat dari Pasar Baru, menelusuri Jl. Belakang Pasar. Pada siang itu jalanan begitu lengang. Padahal di sekitarnya Jl. Oto Iskandar Dinata, Jalan Kebon Jati, Jl. Jendral Sudirman adalah jalan yang ramai dan padat. Di kanan dan kiri banyak toko atau warung yang tutup. Apakah mereka sedang “siesta”? Arsitektur bangunan Cina yang sudah lapuk di makan usia menunjukan situasi pasar yang sudah berubah. Pasar Baru yang moderen pun di jamannya kini sudah bukan pasar moderen dengan kriteria anak gaul sekarang.

Bangunan toko dengan arsitektur khas toko Cina jaman dulu di Jl. Belakang Pasar.

Perjalanan dilanjutkan ke Pasar Barabadan. Seumur hidup saya baru melihat pasar ini. Khas sekali barang-barang yang dijual yaitu barang-barang kelontong tradisional. Kata BR ketika melihat-lihat di Barabadan kadang kita harus menebak apa fungsi suatu barang yang kelihatan unik. Selanjutnya untuk menuju ke tujuan akhir Vihara Satyabudhi di Jl. Kelenteng kami menerobos melalui Jl. Saritem. Pertama kali ini pula saya melewati Saritem yang pada jaman kolonial hingga tahun 2007 merupakan lokalisasi pelacuran. Tentu dulu kalau lewat Jl. Gardujati akan jauh-jauh dari Saritem takut ada yang mengenali lalu digosipkan, wah celaka bisa menjadi pitnah eh fitnah.

Pasar Barabadan

Pasar Barabadan

Menurut BR permukiman Pecinan di Bandung agak berbeda dengan kota-kota besar seperti di Batavia atau Semarang. Di Bandung lebih longgar dalam hal batasan permukiman, sehingga interaksi antara etnis Cina dan pribumi pada jaman kolonial lebih intensif. Saya sebagai orang Bandung yang sejak lahir tinggal di kota ini, ternyata banyak sudut-sudut kota yang belum pernah saya kunjungi. Dengan berjalan menelusuri kota bersama komunitas yang mempunyai perhatian yang sama sangat mengasyikan, bisa berbagi pengalaman dan menambah teman. Ini salah satu interaksi antar penduduk kota yang positif. Tentu saja kalau mau disebut pesertanya dari berbagai etnis berbeda, berbagai umur, pendidikan, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Semua berjalan bersama karena mempunyai perhatian yang sama kepada kota Bandung.

Dengan modal dasar yang serba multi ini diharapkan penduduknya menjadikan Bandung menjadi kota yang bermartabat, kota yang ramah, aman, rukun, damai, bersih, dan sehat. Pokoknya kota yang layak huni. Bandung adalah kuali di pegunungan, tempat bercampurnya segala rasa.

Dupa dan patung Panglima Koan Kong di depan Vihara Satyabudhi dahulu bernama Kelenteng Hiap Thian Kiong didirikan tahun 1865 terletak di Jl. Kelenteng (Chinesen Kerkweg)

Perjalanan Gerombolan Aleut! ke Pecinan Bandung

Oleh : Ceppy “Mphiew” Bekajaya

Lagi-lagi, hari Minggu diisi dengan kegiatan wisata. Hari Minggu di awal April 2010 Aleut! Mengajak teman-teman mengenal daerah Pecinan Bandung. Seperti beberapa kegiatan Aleut! sebelumnya, saya baru bergabung setelah perjalanan dimulai beberapa jam (konsisten dengan keterlambatan). Saya memutuskan untuk mencari gerombolan Aleut! di daerah Jalan ABC karena yang saya tahu daerah ini memang banyak orang Cina tinggal – minimal kita dapat menemukan banyak toko milik orang Cina di kawasan ini. Setelah beberapa menit jalan kaki, saya menemukan gerombolan ini sedang asik mengamati kawasan Pasar Baru dari atas jembatan penyeberangan pejalan kaki, bahkan beberapa sepeda turut melintas di atasnya (kebetulan jembatan itu sepi pengguna, jadi kerumunan yang dibuat tidak terlalu mengganggu para penyeberang – mereka lebih memilih menyeberang di bawahnya). Saya menyapa beberapa teman yang ada (tidak semua karena banyak teman baru lagi yang belum kenal).

Turun dari jembatan, Bang Ridwan (yang pada kesempatan ini banyak menyampaikan keterangan) berhenti di depan sebuah toko yang masih memiliki ciri bangunan jaman dulu. Di kawasan Jalan Pasar Selatan ini memang masih banyak sisa-sisa bangunan toko milik orang Cina yang masih aktif digunakan untuk bertransaksi.

Tak lama berdiri di titik henti ini, gerombolan melanjutkan perjalanannya. Masih di kawasan Jalan Pasar Selatan, saya tertarik untuk mendekati pedagang tua dengan pikulan yang berisi dagangannya. Pedagang ini sudah sekitar 20-an tahun memikul berondong manis (makanan ya..), perlengkapan sol sepatu yang berupa jarum dan benangnya, lem tikus, dan beberapa benda kecil lainnya dengan jumlah yang tidak banyak. Dalam kurun waktu itu, pedagang ini datang dari rumahnya di kawasan Cigondewah dengan berjalan kaki setiap hari (Perkasa..) Tak lama berbincang dengan pedagang ini saya segera bergabung lagi dengan gerombolan yang sedang menikmati cerita yang diberikan Bang Ridwan tentang kawasan belakang Pasar Baru sambil menyeruput Es Goyobod Kuno yang mangkal di sini dari jaman dulu.

Setelah cukup puas dengan Es Goyobod dan ceritanya, gerombolan melanjutkan perjalanannya ke daerah Jalan Belakang Pasar dan berhenti lagi di dekat toko Cakue Osin. Agak lama gerombolan ini melepas lelah yang dihasilkan dari setengah perjalanan yang dimulai dari Gedung Merdeka ini. Candaan dan tawa riang masih menemani perjalanan kali ini. Oiya, ada yang menarik di titik ini, ada bubur kacang-tanah yang dijual di daerah ini. Dan tampaknya suapan pertama saya tidak akan berlanjut. Rasa dari bubur ini manis, bahkan hampir menandingi manisnya muka saya, tapi lidah saya tidak bisa menikmati bubur ini seperti yang lain.

Di dekat titik istirahat ini ada lokasi bekas bangunan bioskop yang terakhir bernana Roxi. Gerombolan Aleut! mengamati dari arah belakang saja, karena bagian depannya menghadap ke arah Jalan Kebon Jati.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengamati bekas bangunan Hotel Surabaya yang kini tinggal tersisa bangunan generasi ke-2 dan ke-3nya saja. Sedangkan bangunan pertamanya sudah berubah menjadi kotak beton tinggi yang belum rampung dibangun. Saya menyimpan memori indah tentang bangunan ini. Selagi Hotel Surabaya masih beroperasi beberapa tahun yang lalu, saya bersama beberapa teman Aleut! yang lain sempat merasakan ketegangan yang muncul ketika bermalam di hotel ini (rada horor..) Apalagi setelah memperhatikan wanita setengah baya yang duduk di kursi tua di ujung tangga dengan pandangan yang misterius. Hiii.. Meski pada waktu itu kami sewa 2 kamar dengan ukuran cukup besar, kami tetap memutuskan untuk menggunakan hanya satu kamar saja. Ada lagi yang unik. Untuk bermalam di Hotel Surabaya, kita mengeluarkan uang bukan untuk berapa buah kamar yang kita sewa, tapi kita bayar untuk jumlah orang yang bermalam. Sangat menyenangkan bermalam di Hotel Surabaya. Di bagian belakang sebelah timur Hotel Surabaya pun masih berdiri bangunan tua dengan bergaya khas campuran Bali dan Cina.

Di perempatan sebelah barat Hotel Surabaya Bang Ridwan memberikan beberapa cerita lagi sekaligus memberikan arahan kepada pegiat untuk bisa lebih menjaga etika selama perjalanan selanjutnya karena gerombolan ini akan melintasi perkampungan padat penduduk di daerah lokalisasi paling beken di Bandung, Saritem. Saya menemukan fenomena yang tidak biasa sewaktu melintasi perkampungan itu. Anak usia Sekolah Dasar dengan pakaian khas anak seusianya terlihat menggoda perempuan yang lewat di depannya (sepertinya perempuan itu memang pencari nafkah di daerah situ). Hihi.. Jadi apa nanti anak ini.. Wallahua’lam bissawab..

Ngaleut! kali ini bermuara di kompleks Kelenteng dengan cukup banyak cerita yang disampaikan Bang Ridwan yang diakhiri dengan duduk-duduk di halaman salah satu bangunan di kompleks itu untuk sekadar berbagi cerita dan kesan-kesan selama perjalanan yang baru dialami. Cape, panas, seru, luar biasa, itu beberapa komentar dari sekitar 30-an teman-teman yang ikut ngaleut! kali ini.

Ngaleut! lagi..!!!!

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjadi acuan di mana pun. Resiko dari efek kecanduan ngaleut! karena membaca tulisan ini ditanggung masing-masing.

NI Hou Ma, Petjinan Bandung?

Oleh : Naluri Bella Wati

Minggu (4/4) lalu, Komunitas Aleut kembali mengadakan tur jalan kaki (ngaleut) untuk menyingkap sisi lain sejarah Kota Bandung. Tema ngaleut kali ini adalah “Menelusuri Kawasan Pecinan”. Tema yang menarik membuat orang penasaran. Maka tak heran jika peserta yang mengikuti kegiatan tersebut cukup banyak. Ada sekitar 30 orang yang menjadi peserta tur, dari mulai mahasiswa, karyawan, guru, wartawan, bahkan sampai murid SMP.

Pukul 07.30 para peserta berkumpul di depan Gedung Merdeka jdi alan Asia Afrika. Sambil menunggu peserta lain datang, mereka pun melakukan sesi perkenalan. Setelah semua peserta berkumpul, Bang Ridwan (selanjutnya disebut BR) memberikan arahan singkat mengenai rute plesiran. Ia juga menjelaskan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Paris van Java.

BR memaparkan bahwa ada dua versi sejarah yang menceritakan kedatangan etnis Tionghoa di Kota Bandung. Pertama, ketika Deandles membuat post weg di Bandung. Deandles mendatangkan etnis Tionghoa dari Cirebon dan memperkerjakan mereka sebagai tukang kayu di sini. Versi kedua menjelaskan bahwa warga Tionghoa yang berada di kota kembang dulunya adalah korban Perang Dipenogoro. Mereka yang merasa terancam keselamatannya sengaja pindah ke Bandung demi mendapatkan hidup yang lebih aman dan nyaman. Saya sendiri tidak tahu versi sejarah mana yang mendekati kebenaran. Namun yang pasti, warga etnis Tionghoa sudah hidup berdampingan dengan warga Bandung asli sejak sekian lama.

BR kemudian menjelaskan bahwa Pecinan yang ada di Kota Bandung memiliki keunikan tersendiri dibandingkan pecinan di kota lain. Pecinan Bandung merupakan satu-satunya perkampungan China di Indonesia yang tidak dibatasi oleh tembok. Biasanya, perkampungan China di Indonesia selalu dibatasi oleh tembok besar sehingga ada batasan yang jelas antara pemukiman pribumi dan pemukiman etnis Tionghoa. Ini merupakan kebijakan yang dibuat pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1826. Kebijakan itu menyatakan bahwa setiap etnik yang ada di satu kota harus disatukan dalam sebuah wilayah. Selain tidak ditembok, warga Tionghoa di Bandung pada zaman itu juga tidak harus memiliki surat izin ketika keluar dari perkampungan.

Setelah diberi uraian singkat mengenai asal mula kedatangan etnis TionghoA di Kota Bandung, para pegiat Aleut kemudian menelusuri jalan Asia Afrika. Mereka sempat berhenti di sebuah tempat di dekat kantor Pos (saya lupa nama jalannya). Di tempat itu terdapat sebuah lapangan dan beberapa garasi tua. BR megatakan bahwa pada saat pembuatan post weg, garasi ini dijadikan pos pergantian transportasi-yang ketika itu menggunakan kuda. Pos garasi ini bukan satu-satunya tempat pergantian transportasi. Pos garasi tersebut menyebar sepanjang rute pos weg. Jarak antara satu pos dengan pos lainnya sekitar 15 KM. Di sekitar pos juga selalu dibangun instal air dan penginapan (pasanggrahan) untuk peristirahatan pemerintah Hindia Belanda.

Setelah mengamati pos garasi tua, para pegiat pun melanjutkan perjalanan ke arah jalan Alkateri. BR kemudian menghentikan langkahnya di depan sebuah toko tua bernama Dezon NV. Dezon (dalam bahasa Belanda berarti Matahari) merupakan toko milik seorang berkebangsaan Jepang. Bila dilihat dari arsitekturnya yang bergaya art deco geometri, toko ini di bangun sekitar tahun 1925. Toko ini sudah berdiri sebelum Jepang menduduki nusantara. Konon kabarnya, toko Dezon NV berisi mata-mata dari Jepang. Entah benar atau tidak.

Para pegiat kemudian memasuki jalan Alkateri. Jalan ini diambil dari nama tuan tanah berkebangsaan Arab yang hidup di awal abad 20-an. Saya sendiri agak heran mengapa di kawasan pecinan terdapat sebuah jalan yang namanya so Arabic. Seingat saya, BR menjelaskan tentang hal ini. Tapi saya tidak sedang memerhatikan jadi ada beberapa bagian sejarah yang terlewat.

Di jalan Alkateri terdapat sebuah gang kecil bernama Gang Al Jabri. Dulu, gang ini merupakan pusat penjualan Opium di Kota Bandung. Sekarang Gang Al Jabri menjadi kios barang antik. Sayang hari itu tidak ada satu kios pun yang buka.

Pegiat terus menelusuri Jalan Alkateri. Mereka langsung terpana ketika melihat sebuah kedai kopi kecil bernama “Purnama”. Sebagian besar dari mereka sepertinya baru tahu bahwa di Alkateri terdapat sebuah warung kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1929 itu. Warga Tionghoa tempo dulu selalu menyempatkan diri datang ke kedai kopi di waktu-waktu tertentu agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan mereka. Inilah yang coba dihadirkan di warung kopi Purnama. Maka tak heran jika di waktu-waktu tertentu, warung ini ramai oleh pengunjung. Sayang para pegiat tidak sempat memasuki warung ini karena hari semakin siang.

Ketika menelusuri Jalan Alkateri, kita akan melihat sebuah gang kecil di samping kiri dan kanan blok (1 blok terdiri dari lima rumah). Gang kecil ini disebut branhang (dari bahasa Belanda yang berarti gang kabakaran). Ketika itu, kebanyakan rumah warga Tionghoa terbuat dari kayu yang rentan terbakar. Oleh karena itu, mereka membuat sebuah gang kecil yang berfungsi sebagai tempat menyelamatkan diri jika terjadi kebakaran. Sayang saat ini branhang tidak lagi berfungsi. Bahkan orang-orang yang tak bertanggung jawab sengaja melebarkan rumahnya sampai batas branghang tersebut.

Selain warung kopi Purnama, ternyata masih banyak objek kuliner yang terdapat di jalan Alkateri, yakni; lotek pincuk Alkateri, Rondo Jahe, serta Cendol Gentong. Sayang para pegiat tidak bisa menikmati panganan itu karena mereka tutup di hari Minggu.

Mereka terus melakukan perjalanan dan akhirnya melewati Pabrik Kopi paling terkenal di Kota Bandung;Kopi Aroma. Lagi-lagi para pegiat hanya bisa gigit jari karena pabrik dan kedai kopinya tutup. Padahal di hari biasa, pemilik Pabrik selalu memberikan kesempatan bagi pengunjung yang ingin melihat proses pembuatan kopi legendaris tersebut.

Pegiat melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan, mereka bisa melihat Pasar Baru yang menjulang tinggi. Mereka melewati bangunan tersebut, menyebrang di jembatan penyebrangan, lalu kemudian berjalan lagi. BR menghentikan perjalanan dan memperlihatkan foto-foto zaman dulu. Ia kemudian memperlihatkan foto Pasar Baru zaman dulu. Saya takjub sekali melihat bangunan Pasar Baroe tempo dulu. Menurut saya, bangunan Pasar Baroe tempo dulu lebih bagus dan elegan dibandingkan bangunan yang sekarang.

Ada fakta menarik soal Pasar Baru yang sayang untuk dilewatkan. Pasar Baroe didirikan sekitar tahun 1916. Pasar ini merupakan pindahan dari pasar Ciguriang yang terbakar. Pasar Baroe juga pernah menjadi pasar paling teratur dan terbersih di Hindia Belanda. Wah, kalau dibandingkan dengan pasar baru yang sekarang , rasanya jauh berbeda ya?

Setelah diberi penjelasan seputar Pasar Baru, mereka pun melanjutkan perjalanan. Mereka melewati kios obat-obatan China “Babah Kuya” dan sempat menikmati Es Goyobod Kuno 49. Setelah beristirahat sejenak, mereka pun malanjutkan perjalanan. Panas yang menyengat membuat para pegiat kelelahan. Mereka akhirnya beristirahat lagi sambil menikmati Cakue Osin (berdiri sejak tahun 1920).

Di dekat Cakue Osin terdapat sebuah bioskop tua. Sebenarnya bioskop ini menghadap ke Kebon Jati sehingga para pegiat hanya bisa melihat bagian belakang bangunan tersebut. Bioskop ini dulu bernama Preanger, lalu berubah nama menjadi Luxor, sebelum akhirnya berganti nama menjadi Roxy. Pada tahun 1926, bioskop tersebut menayangkan film berbicara untuk pertama kalinya. Saat ini, bioskop tersebut telah beralihfungsi menjadi sebuah kantor asuransi.

Hari semakin siang dan udara Kota Bandung semakin panas. Para pegiat Aleut kembali melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian menyusuri jalan Kebon Jati. Di sana, mereka melihat Hotel Surabaya (berdiri sejak tahun 1886) yang tengah dibangun bagian belakangnya. Mereka kemudian berjalan ke arah Gardujati dan memasuki kawasan lokalisasi terkenal di Bnadung;Saritem.

Setelah berjalan menelusuri Saritem, mereka pun sampai di jalan Kelenteng. Mereka takjub ketika melihat sebuah kelenteng dengan ornamen dan warna khas etnis Tionghoa berdiri tegak dan kokoh. Kelenteng ini bernama Kelenteng Satya Budhi. Kelenteng ini sudah berdiri sejak tahun 1865. Semula kelenteng ini bernama Kelenteng Istana Para Dewa (Hiop). Pada tahun 1885, kelenteng ini berganti nama menjadi Than Ki Ong.

Di sebelah Kelenteng Satya Budi, terdapat sebuah Vihara bernama Budha Gaya. Dulu, sebelum Konghucu diakui, warga Tionghoa menggunakan vihara sebagai “kamuflase” peribadatan mereka. Biasanya warga Konghucu beribadat di dalam vihara supaya aman dan tidak diketahui oleh pemerintah. Setelah Konghucu diperbolehkan, maka vihara itu pun membuat bangunan baru.

Sebagian dari pegiat Aleut memasuki kelenteng Satya Budhi. Kebanyakan dari mereka baru pertama kali masuk ke kelenteng. Di sana mereka memerhatikan etnis Tionghoa yang sedang beribadah, sekaligus mengabadikan momen tersebut dalam sebuah gambar.

Kelenteng Satya Budhi merupakan tempat terakhir dari plesir edisi pecinan. Meskipun lelah terlihat dari wajah mereka, tapi hal itu terbayar oleh pengetahuan serta engalaman mengesankan yang mereka dapatkan melalui ngaleut ini. Sampai jumpa lagi di plesir berikutnya! xie-xie…

Once Upon A Time in Pecinan Bandung.

Oleh : M.Ryzki Wiryawan

“Oh ini Pecinan Bandung teh?,,,”

Entah mimpi apa, pada hari minggu tanggal 4 april kemaren, saya bersama komunitas aleut! Berkesempatan lagi mengunjungi kawasan pecinan Bandung. Perjalanan kali ini berbeda karena saya ditemani oleh banyak kawan baru dari berbagai lapisan usia yang turut menambah warna dalam Ngaleut! kali ini.

Kedatangan saya ke starting point gedung merdeka ternyata sudah disambut oleh rombongan Aleut! Ternyata selama ini mereka memang menunggu saya dan tidak akan berangkat sebelum saya datang (hahaha).

Di titik pertama ini Bang Ridwan menjelaskan mengenai latar belakang kedatangan bangsa Cina ke Bandung. Ada dua versi menurut Beer, pertama orang2 Cina ini sengaja didatangkan untuk membantu pembangunan jalan raya pos di masa pemerintahan Daendels, orang2 cina ini memang terkenal akan kemampuan pertukangannya. Versi kedua, orang2 Cina ini mungkin juga merupakan pelarian dari “Java Oorlog” atau Perang Jawa (Dipanegara) di masa yang sama. Saya, cenderung memiliki versi lain, bahwa orang2 Cina ini sengaja didatangkan ke Bandung untuk menghidupkan perekonomian kota baru ini, sebagaimana yang dilakukan Belanda saat mendatangkan Imigran Cina ke Batavia di abad ke-17 untuk menghidupkan ekonomi di sana. Menurut Gubernur Jenderal J.P. Coen saat itu, ia lebih menyukai imigran Cina karena bukan cuma rajin, mereka juga tidak suka berperang. Saat itu Warga Cina berperan cukup baik sebagai pedagang eceran dari barang yang diimpor Belanda.

Kawasan pecinan lama

Namun demikian, pada awalnya konsep kawasan pecinan dengan pembatasan yang ketat belum terjadi sebelum tahun 1740, saat dikeluarkannya kebijakan Wijkenstelse . Beginilah ceritanya.

Alkisah, setelah perkembangan kemakmuran Hindia Belanda mencapai momentumnya, bukan hanya si majikan Belanda yang menikmatinya keuntungannya, si budak yang kebanyakan pribumi juga mulai merasakan hidup di atas angin. Di Batavia, budak-budak ini mulai bertindak arogan dengan menyerang pedagang-pedagang Cina. Warga Cina akhirnya merasa tertekan dan melapor kepada otoritas Hindia Belanda, namun respon yang didapat tidak memuaskan sehingga mereka melakukan aksi protes di daerah Gandaria, jumlahnya mencapai ribuan orang. Aksi tersebut dibasmi, ratusan dari mereka diangkut dengan kapal untuk diasingkan, namun berasarkan pengakuan beberapa saksi, para tawanan ini tidak pernah sampai dimanapun karena kebanyakan dari mereka dibuang ke laut.

Kejadian ini menyulut aksi yang lebih luas, warga Cina kemudian menyiapkan perlawanan bersenjata terhadap otoritas Belanda. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seseorang bernama Sipan Jang . Pemberontakan dengan kekuatan 10 ribu orang pun semakin mengancam, Belanda segera menutup gerbang Batavia, dan penyerangan pun kemudian berlangsung. Namun, benteng tak dapat ditembus, selain itu pemberontak pun berhasil dipukul mundur Belanda ke daerah Gending Melati.

Esok harinya, otoritas Belanda memerintahkan penduduk pribumi untuk membantai warga Cina tanpa pandang usia dan jenis kelamin. Sekitar ribu orang Cina menjadi korban peristiwa ini, dan ratusan lainnya di lokasi yang berbeda. Kejadian ini menyulut pemberontakan di daerah-daerah lain di Jawa seperti Semarang, Surakarta, Malang, Grobogan Dll. Kejadian ini segera dibasmi oleh otoritas setempat dibantu oleh Belanda. Kejadian ini mungkin menjadi awal bagi kecurigaan penduduk Jawa terhadap etnis Tionghoa. Terlebih menurut Gubernur Jenderal Adriaan Valkenier, bibit kecurigaan terhadap etnis Cina, adalah karena mereka berbakat pedagang dan telah tumbuh menjadi penduduk kaya raya, sedangkan orang pribumi yang pada dasarnya pemalas tetap berada pada keadaan kemiskinan.

Saya pribadi kurang setuju dengan pandangan tersebut, karena sebenarnya hubungan antara pribumi dengan warga Cina dapat dilacak hingga berabad-abad lamanya tanpa insiden permusuhan. Konflik antara Pribumi dan Cina mungkin hanya merupakan salah satu taktik devide et impera Belanda untuk mencegah kekuatan dua pihak tersebut.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, berbagai bentuk pemberontakan warga Cina tersebut mendorong Belanda untuk menyusun kebijakan wijkenstelsel yang menempatkan orang-orang Cina pada suatu perkampungan khusus dengan batas tertentu, termasuk yang ada di Bandung ini. Kebijakan ini disertai dengan Passenstelsel yang mewajibkan orang Cina untuk membawa surat ijin khusus apabila ingin keluar dari kawasannya. Kebijakan yang terakhir ini hanya berlangsung hingga tahun 1830. Tidak cukup, kemudian Belanda juga mengeluarkan peraturan yang melarang orang Cina untuk berpakaian seperti orang Eropa atau Pribumi. Lucunya, Peraturan ini dikeluarkan untuk mencegah orang Cina menyamar sebagai pribumi saat hendak ditagih pajak oleh Belanda.

Setelan khas Orang Cina

Lingkungan pecinan mempunyai pemimpin sendiri yang diangkat atas persetujuan Belanda, mereka diberi pangkat Mayor, kapten, letnan dan sebagainya. Mereka ini biasanya orang yang sangat kaya dan berpengaruh pada masyarakatnya. Selain itu, kekayaan mereka akan meningkat karena mereka mendapat hak monopoli atas penjualan opium, yang semua ini baru dihapuskan di tahun 1900-an.

Kawasan-kawasan pecinan memiliki karakter dan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Contohnya, saat Aleut! Mengunjungi Bogor beberapa waktu lalu, kami menemukan karakter pecinan yang sangat kental dan ramai, hal ini berbeda dengan di Bandung. Nah di Bandung sendiri, karakter pecinan terbagi dua, pertama di Cibadak di mana orang Cina di kawasan ini kebanyakan berprofesi sebagai tukang, sedangkan di pecinan lama kebanyakan profesinya adalah sebagai pedagang dan pemilik toko.

Namun, pada dasarnya letak Pecinan tersebut hampir sama di seluruh daratan Jawa. H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mengatakan bahwa pada masa kolonial, tata ruang kotanya bisa digambarkan sebagai berikut :

“Disekeliling alun-alun itu terdapat bangunan sekolah, rumah sakit dan tempat tinggal orangorang penting pejabat Belanda. Pada jalan utama disekitar alun-alun itu terdapat aktifitas komersial, dimana tedapat “kampung Cina” yang cukup padat dan disekitar pasar yang kebanyakan terdiri dari toko-toko kecil serta pengerajin seperti tukang kunci, tukang lemari, tukang kayu dan sebagainya “

Nah, karakter lain dari pemukiman Cina tentunya adalah arsitektur khasnya. Namun hal ini juga cukup sulit karena pemukiman Cina peranakan sudah tidak lagi menggunakan arsitektur Cina asli, melainkan menyesuaikan dengan perkembangan dan adat istiadat setempat. Kaum Cina peranakan ini, selain sudah berjarak dengan budaya asli bangsanya, juga tidak lagi menggunakan bahasa Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari. Pengarang Kwee Tik Hoay menggambarkannya sebagai berikut :

”Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada dasarnya adalah masyarakat peranakan. Para anggota masayarkat ini telah kehilangan kemampuannya berbahasa Tionghoa, dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pegantar komunikasinya.”

Orang CIna penjaga toko

Di Indonesia, hanya ada tiga jenis arsitektur Cina, yaitu : Kuil (Klenteng), aula belajar (sekolah) dan rumah petak. Semua contoh bangunan ini dapat kita temukan sepanjang perjalanan Aleut! kemarin. Ada satu hal lagi yang khas, bahwa kebanyakan perumahan orang Cina harus menyesuaikan dengan keterbatasan lahan di kawasan Pecinan, oleh karena itu jarang sekali ada rumah yang sangat besar walau pemiliknya sangat kaya sekalipun.

Johannes Widodo juga mengemukakan ciri lainnya, yaitu bahwa di zona khusus Pecinan di kota Kolonial adalah tipologi toko yang panjang dan sempit terbangun di blok kota yang padat dengan gang (brandgang) di belakang dan gang buntu di dua sisi blok untuk mencapai kampung yang lebih organik di belakangnya. Satu blok bangunan biasanya terdiri dari dua tingkat, yang di dalamnya terdapat berbagai ruangan yang dapat digunakan sebagai hunian keluarga, toko maupun disewakan.

Sampai paruh kedua abad sembilan belas, selain warga Cina tidak diperbolehkan menggunakan pakaian model Eropa atau Pribumi, mereka juga dilarang untuk menggunakan gaya dan ornamen Eropa pada bangunannya. Apabila melanggar, mereka harus merombak kembali bangunannya ke bentuk khas budaya Cina. Dari masa ini, kita dapat menemukan antara lain ornamen2 khas seperti sepasang sarang walet di ujung atap rumah atau sepasang kucing merangkak di atas atap rumah toko. Keduanya sama-sama menunjukan simbol kemakmuran yang diharapkan penghuninya.

Gerbang Kawasan Pecinan, saat menyambut Ratu Juliana dan P. Bernhard

Tetapi sesuai dengan perkembangan berikutnya, setelah aturan2 yang membatasi warga Cina dihapuskan, warga Cina yang sudah mapan mulai melirik arsitektur Eropa sebagai simbol kemakmuran dan status sosial di masyarakat. Akhirnya mereka mulai meninggalkan arsitektur khas Cina, selain dari faktor kekurangan tukang kayu dan batu yang mampu membuat arsitektur Cina tradisonal. Akhirnya mereka beralih pada gaya arsitektur mutakhir saat itu, seperti gaya Indische Empire yang banyak ditemukan di sepanjang pecinan, hingga art deco yang banyak digunakan warga Cina di daerah Bandung Utara. Jadi salah apabila ada orang mengatakan bahwa kawasan Bandung Utara hanya digunakan orang Eropa. Orang2 Cina kaya raya diketahui cukup banyak mendirikan bangunan mewah di kawasan ini. Bangunan Drie Driekleur, SMAK Dago, hingga Villa Mei Ling adalah sedikit dari Villa megah yang dimiliki orang Cina saat itu. Semua itu adalah simbol kemajuan dan kemakmuran warga Cina di Bandung.

Namun masa kejayaan warga Cina di Bandung mulai meredup seiring dengan terjadinya peristiwa Bandung lautan api. Pada masa itu, setelah Jepang menyerah, ternyata mereka masih melakukan provokasi khususnya kepada warga Tionghoa dengan mengadakan penculikan, perampokan, dll.. Warga Cina yang sudah tidak tahan lagi, kemudian bergabung dengan polisi dan pasukan keamanan, bukan karena pro-NICA melainkan karena mereka sangat kekurangan senjata untuk mempertahankan diri.

Saat Bandung dibagi dua oleh NICA, warga Cina memilih untuk tinggal di kawasan utara yang lebih aman serta kondusif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun tetap saja kebutuhan itu sulit didapat karena pasukan republik memblokade pengiriman dari Bandung selatan. Pada tahun 1946 NICA mengeluarkan mata uang baru, dan warga Cina memilih untuk menggunakan mata uang tersebut, alhasil mereka semakin dibenci kaum republik dan dipanggil sebagai “Anjing NICA”.

Properti warga Cina di kawasan Pecinan yang ditinggalkan sangat rawan, dan dalam kondisi tersebut bahkan sebuah mobil palang merah Cina sempat diserang pejuang republik. Lim Shui Chuan, yang gagal menyelamatkan mobil tersebut namun nyawanya selamat mengatakan bahwa , ”Apa yang Bung Karno telah lakukan selama ini dalam membangun hubungan orang Indonesia dan Cina telah dihancurkan secara singkat oleh tindakan sekelompok pengacau”

Saat hendak menyerang selatan, Inggris melakukan kesalahan dengan membiarkan kaum republik mengetahui rencana tersebut, alhasil tindakan tersebut sama saja dengan memberi waktu kepada kaum republik untuk merampok dan membakar properti-properti warga Cina di Bandung selatan. Akhirnya hingga saat ini kita tidak dapat menemukan banyak peninggalan bangunan khas Cina di Bandung.

Hancur sudah,,,

Hoaahmm,,, Demikianlah sedikit catatan pada ngaleut! Pecinan kemaren. Semoga dapat memberikan pencerahan batin bagi kita semua,,, hahaha,,, Amien!

Sumber :

Peter J.M. Nas, Masa Lalu dalam Masa Kini
Onghokham, Chinese Capitalism in Dutch Java
Handinoto, Sekilas tentang arsitektur cina pada akhir abad ke 19 di pasuruan
Augusta de Wit, Fact and Fancies of Java
Pratiwo, Arsitektur Cina di Indonesia masa kini
Johannes Widodo, Morfologi dan Arsitektur Kota Komunitas Diaspora Cina di Indonesia

Ngaleut Menyusuri Sisa Sisa Jalur Kereta Api Soreang-Ciwidey

Oleh : Taufik Hidayat

Minggu,7 Maret 2010

Setelah sekian lama tak ngaleut akhirnya saya pun berkesempatan tuk ngaleut kembali.Kali ini Komunitas Aleut (Dulu Klab Aleut) akan menyusuri sisa sisa jalur kereta api Soreang-Ciwidey sepanjang kurang lebih 12km.Semua pegiat Aleut yang akan ikut dalam perjalanan ini telah berkumpul di depan museum Sribaduga Bandung.Pegiat yang ikut berjumlah17 orang.Dengan mencarter angkot menuju Soreang,kami ber-17 harus berdesak desakkan didalam angkot dan terpaksa 3 teman kami harus cingogo didepan pintu angkot.

Ngaleut pun Dimulai

Sekitar 1 jam perjalanan ,kami pun sampai distart awal.Jalur pertama yang akan kami lalui adalah Jembatan Sadu yang berada di desa Cibeureum.Jembatan tersebut merupakan bekas perlintasan kereta api yang kondisinya masih kokoh dan kuat walaupun sudah karatan dan termakan usia.Jembatan tersebut kini beralih fungsi menjadi jembatan penghubung antar desa/kampung,bantalan relnya pun di”modifikasi” oleh warga dengan menambah kayu dan anyaman bambu agar bisa dilewati pejalan kaki atau pun motor.Kami pun harus sedikit berhati hati melintasi nya karena dibawahnya mengalir sungai cibeureum yang berarus deras dan batu batu yang besar.

jembatan sadu

Setelah melewati jembatan tersebut,kami harus menyusuri rel yang timbul dan tenggelam diantara rumah warga,sawah,kebun dan jalan raya.Selain jembatan sadu,ada 7 jembatan lagi dengan berbagai kondisi.Diantaranya:

-Jembatan cisondari,jembatan yang berada didesa cisondari tersebut kondisinya sudah terbengkalai dan tak dapat digunakan oleh warga karena letaknya yang berada dipersawahan dan kebun warga.

-Jembatan ranca goong,jembatan yang berada didesa ranca goong tersebut kondisinya masih kokoh dan kuat,jembatan tersebut pun masih digunakan oleh para warga sebagai penghubung antar desa/kampung.Bantalan rel pun sudah dicor/disemen,Dibah jembatan tersebut mengalir pula sebuah sungai yang didekat nya terdapat persawahan.Sungguh indah pemandangan diatas jembatan tersebut

jembatan ranca goong

-Jembatan Andir,jembatan yang berada di desa Andir tersebut berada disemak belukar dan jurang yang curam.Jembatan tersebut menjadi jembatan yang paling besar diantara jembatan yang lainnya.Walaupun kondisinya tak terawat,karatan dan termakan oleh usia tapi jembatan tersebut masih berdiri kokoh dan masih terlihat gagah.

Jembatan andir

Tak terasa matahari semakin tak bersahabat dengan kami,panas yang sangat menyengat mengiringi langkah kami.banyak diantara para pegiat aleut yang membawa payung,dan sialnya saya lupa bawa payung,hehehe.Sesekali kami beristirahat dipinggir jalan atau pun warung sekedar meregangkan otot kaki atau pun mengisi perut.Saat beristirahat disebuah warung,ada sekelompok bule yang sepertinya hendak mengunjungi atau pun memotret jembatan ranca goong.

Wajah yang sudah sedikit hitam tapi manis ini seakan bertambah hitam terbakar teriknya matahari,tapi tak menyurutkan semangat saya dan para pegiat aleut lainnya tuk menyusuri sisa sisa jalur kereta api yang sudah tak terpakai ini .
Kami pun terus menyusuri sisa sisa jalur rel kereta api,masuk dari satu kampung ke kampung lainnya, pemandangan disepanjang perjalanan cukup indah dengan latar belakang pegunungan yang mengelilingi kawasan ciwidey.

Kami pun memasuki pemukiman warga didaerah cimuncang,ciwidey yang sedikit padat dan harus masuk ke gang gang sempit mengikuti rel yang timbul tenggelam diantara rumah warga.Rel yang kami susuri pun mentok dipemukiman warga,dengan logika tersebut berarti stasiunnya pun berada disekitar sana.Setelah bertanya pada warga sekitar,ternyata benar stasiun yang dimaksud sudah dekat.Kami pun menemukan sebuah alat yang berukuran besar yang berfungsi sebagai pemutar lokomotif,walau kondisinya masih baik tapi sayang diatas alat tersebut digunakan sebagai tempat jemuran dan WC.

Pemutar Lokomotif

Setelah mengikuti petunjuk warga akhirnya kami pun menemukan stasiun yang dimaksud,yaitu stasiun Cimuncang dan bangunan gudang didekatnya.Kondisi bangunan bangunan tersebut tak terawat nyencle diantara pemukiman warga dan di gembok/segel oleh PT.Kereta Api (PERSERO).
Dan itu menjadi finish perjalanan menyusuri sisa sisa jalur kereta api soreang-ciwidey.

Stasiun Cimuncang
Gudang

Setelah berisirahat disekitar stasiun,perjalanan pulang pun dimulai.kami berjalan menuju terminal ciwidey,ditengah perjalanan kami disuguhi rujak oleh warga yang sedang syukuran kehamilan 7 bulanan (rejeki mah ga akan kemana,,heheh).Sebelum pulang,kami mengisi perut di sebuah RM dipinggir jalan ciwidey yang cukup ramai.Kami pun sharing dan sedikit bercerita tentang kesan dan pesan mengenai perjalanan tadi.
Hari pun semakin sore dan tak terasa rintik hujan pun mengiringi perjalanan pulang.kami mencarter angkot dari terminal Ciwidey menuju Tegallega Bandung.Walau harus rela berjalan belasan kilometer menyusuri “secuil” sejarah perkereta apian di sekitar Bandung tapi terbayarkan dengan pengalaman sepanjang perjalanan,pemandangan yang indah dan informasi sekitar sejarah jalur kereta yang belum kami ketahui.

Dengan belajar sejarah masa lalu (seperti Komunitas Aleut) kita bisa belajar tuk membangun masa kini,walaupun peninggalan peninggalan tersebut dibangun oleh kolonial Belanda ,tapi setidaknya kita bisa belajar cara membangun sebuah bangunan yang kuat dan kokoh dan bisa bertahan hingga ratusan tahun,bangsa lain bisa..kenapa bangsa kita tidak…??
Bukankah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”

Photo By : Derry Effendi P dan Adri Teguh Bey Haqqi
Sumber reff :
-Catatan Asri ‘Cici’ Mustikaati

Nb : kalo ada kesalahan informasi mohon tuk dikoreksi

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑