Month: February 2010 (Page 2 of 3)

Menyusuri Taman-Taman dan Perumahan Tempo Doeloe di Kota Bandung

By : Asri ‘Cici’ Mustikaati

BANDUNG THE GARDEN CITY. Lagi-lagi julukan yang diberikan buat kota Bandung. Bandung punya taman? Ya! Bandung punya banyak sekali taman yang tersebar baik di jantung maupun penjuru kotanya. Taman apa aja sih yang dipunyai kota Bandung? Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, saya dan teman-teman Klab Aleut pada hari minggu (07/06/09) berwisata taman yang diberi judul ‘Menyusuri Taman-Taman dan Perumahan Tempo Doeloe di Kota Bandung’.

Menurut jadwal, jam 07.07 pagi kami sudah harus berkumpul di sekretariat Klab Aleut , jalan Sumur Bandung no.4. Niatnya sih dateng tepat waktu. Tapi karena saya salah naik angkot, saya jadi telat kumpul deh (padahal emang sering telat dateng. Hehe malu .. ). Jam 08.00 pagi kami mulai perjalanan diawali dengan sedikit cerita dari Bang Ridwan tentang Bandung yang diberi julukan ‘Bandung Kota Bunga di Hindia Belanda’. Wuiiiih ….

Titik henti pertama kami yaitu taman kecil tanpa nama, berbentuk segitiga, agak panas karena pohonnya sedikit, letaknya di dekat kampus ITB sebelah utara. Di taman ini Bang Ridwan bercerita Jubileumpark. Dalam bahasa Belanda, Jubileum berarti lima puluh tahun. Taman ini memang dibangun dalam rangka memperingati 50 tahun ratu Wilhelmina, pada tahun 1923. Wilayah Jubileumpark ini dimulai dari kolam renang Sabuga sampai dengan jalan taman hewan. Tahun 1950-an Jubileumpark menjadi kebun binatang.

Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki area kampus ITB. Dulu namanya Technische Hoogeschool (THS). Cuaca yang cerah ditambah lingkungan yang asri (ehm!) bikin jalan-jalan pagi kali ini terasa nyamaaan banget. Tampak beberapa orang sedang berolahraga pagi : jogging, badminton, bersepeda. Juga beberapa kelompok yang sedang berdiskusi. Hmmm udara bersih, lingkungan sehat. Jadi betah … Berjalan-jalan di kampus ITB yang sedang sepi, tidak kami sia-sikan kesempatan ini. Mengamati arsitektur bangunan ITB yang unik, melihat plakat-plakat yang tersebar di tiap fakultas, melihat laboratorium Bosscha. Sayang kami tidak bisa masuk ruangan ini karena dikunci. Katanya sih ruang kelasnya masih bergaya khas eropa .. (penasaran banget!). Yang pasti dan patut dibanggakan, THS ini adalah perguruan tinggi pertama bukan saja di Bandung tapi di Hindia Belanda!! Wow … !!

Taman kedua yang kami singgahi yaitu Ijzermanpark atau sekarang namanya Taman Ganesha. Ijzerman adalah seorang yang telah berjasa dalam pendirian THS. Taman ini dibangun sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Di bagian depan taman, terdapat patung yang mengalami beberapa kali pergantian. Patung pertama yaitu sebuah patung dada Ijzerman, lalu diganti dengan patung Ganesha dan sekarang patung (kayaknya bukan patung deh) berbentuk tiga buah susunan kubus. Yang paling buat saya takjub, ternyata di tembok setengah lingkaran (bagian depan taman) terdapat plat-plat penunjuk gunung-gunung yang mengelilingi kota Bandung!! Quel unique! Très magnifique! (kemana aja saya selama ini?)
Info kurang penting mengenai taman Ganesha : salah satu tempat favorit saya mengisi waktu, bertukar fikiran, dan berbagi cerita sambil minum susu murni rasa strawberry atau mocca dengan seseorang .. hihi .. ^^

Yup! Lanjut susuri taman! Sampailah kami di taman Badak Singa. Letaknya tepat di belakang SMAK Dago. Sebelum dipindahkan ke Gasibu, warga Bandung (bangsa eropa) bermain sepak bola di taman ini. Kayaknya dulu tamannya gak seperti sekarang ini ya (pastinya lahh).. Tamannya gak begitu besar dan di sekelilingnya dibatasi pagar.

Dari Taman Badak Singa, tadinya kami hendak bertolak ke Taman Cikapayang. Tapi karena tidak memungkinkan untuk bercerita langsung disana, kami memilih tempat yang tidak jauh dari Taman Badak Singa untuk bercerita, di ujung jalan mundinglaya. Lokasi yang sekarang menjadi Taman Cikapayang, sebelumnya ditempati pom bensin, yang memang sebelumnya juga merupakan sebuah taman. Huff beruntung sekali difungsikan menjadi taman kembali. Taman yang dibangun dengan perencanaan yang sangat matang jalur pengairannya oleh Martanagara, bupati Bandung saat itu. Sekarang Taman Cikapayang sering dijadikan tempat bermain skateboard dan tempat berkumpul komunitas-komunitas sepeda.

Dari jalan mundinglaya, kami menyebrang ke gedung rektorat ITB. Dapet pengetahuan baru mengenai Balubur yang merupakan kampung tertua di Bandung, asal muasal adanya nama jalan kebon bibit yang ternyata dulunya adalah kompleks khusus tempat pembibitan tanaman. Bibit-bibitnya mungkin untuk ditanam di seluruh taman di kota Bandung, agar terus terjaga keindahan dan keasriannya. Hebat banget ya pemerintah Hindia Belanda merancang kota kita ini. Sangat terencana.

Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan ke ranggamalela. Melihat rumah Wolff Schoemaker yang sekarang ditempati OCBC NISP. Sempat dibongkar pada bagian belakang, tapi sudah dibangun kembali seperti bentuk aslinya. Huff hampir aja kita kehilangan satu cagar sejarah … Tepat di depan sekolah Pribadi, ada satu taman yang sekarang namanya Taman flexi. Sebelum ada flexi, namanya Taman Rangga Gading. Dulu waktu saya les bahasa inggris di daerah ini, banyak anak muda yang nongkrong-nongkrong. Sekarang masih banyak juga ya? Jarang lewat .. ^^

Mulailah kami menelusuri perumahan tempo doeloe, daerah jalan sultan tirtayasa. Melewati ruas jalan ini rasanya adem bener (n_n). Banyak pepohonan yang tumbuh di kiri-kanan jalannya. Rumah – rumahnya masih bergaya tempo doeloe. Perumahan di jalan sultan tirtayasa ini merupakan kompleks perumahan yang sangat terencana. Mulai dari jalan, penanaman pohon, pengairan, dll. Hal unik yang baru saya ketahui, di persimpangan jalan (daerah tertentu) biasanya terdapat rumah kembar. Termasuk di persimpangan jalan ini (jalan Sultan Tirtayasa, jalan Trunojoyo, jalan Maulana Yusuf). Rumah di persimpangan ini kembar empat lho!!

Tembus ke Gempol, istirahat dulu sejenak sambil makan kupat tahu Gempol. Selain kupat tahu, masakan-masakan yang dijual disini enak-enak lho! Sate maranggi-nya juga boleh dicoba! Tapi berhubung hari minggu, yang masak pada libur. Coba lain waktu aja yaa! Di daerah ini juga ada toko roti. Namanya Toko Roti Gempol. Kurang dikenal memang, tapi kata Bang Ridwan, turis Belanda suka beli roti di toko ini. Pengetahuan yang saya dapat mengenai Gempol, merupakan salah satu kampung verbetering (nulisnya bener gak bang?). Kampung yang mengalami banyak perbaikan lingkungan seperti pengerasan jalan, pemugaran rumah, saluran pembuangan limbah, saluran got, sumur, sampai listrik. Hanya ada satu gerbang sebagai akses jalan keluar-masuk dan dua brandgang sebagai jalan evakuasi jika terjadi kebakaran.

Lewati brandgang, keluarlah kami di jalan Banda. Menelusuri sedikit ruas jalan Riau yang merupakan kompleks perumahan mewah di tahun 1910. Masih dapat kita temukan rumah-rumah tempo doeloe seperti Heritage Factory Outlet, Dakken Coffee, Gudeg Bengawan Solo, Goethe Institue, de Coral Factory Outlet dan masih banyak lagi.

Berjalanlah kami ke jalan Saparua. Cerita sekilas tentang S. Albanus, gereja katholik bebas yang dibangun tahun 1908. Bangunannya masih asli tapi kurang terawat. Sudah tidak dipakai sebagai gereja, namun di dalamnya terdapat perpustakaan dan tempat kursus bahasa belanda yang masih digunakan. Di seberang gereja Albanus adalah GOR Saparua, lapangan tertua di Bandung. Selain digunakan untuk berolahraga, dulu juga dijadikan tempat latihan militer.
Di seberang GOR Saparua ruas jalan aceh adalah Jaarbeurs. Gedung tempat diadakannya bursa dagang tahunan di Bandung. Dibagun tahun 1920-an, terkenal sekali dengan tiga patung Torso-nya. Kenapa ada patung Torso ya? Kata Pa Goer, patung Torso itu simbol perdagangan di Romawi. Hmm bener ga ya?

Taman Maluku dulu namanya Molukkenpark. Dari taman-taman yang telah saya lewati tadi, inilah taman yang menurut saya paling rimbun, indah dan asri (ehm lagi!). Terdapat patung pastor Verbraak yang terbuat dari perunggu. Verbraak adalah seorang yang berpengaruh bagi militer di Bandung. Sepertinya menyenangkan sekali bila dapat menikmati suasana Molukkenpark dari dalam. Pohon-pohonnya yang rimbun, segarnya udara dan kanal-kanal indah yang hanya bisa kita temukan di taman ini. Sayang sekali kami terhalang pagar tinggi yang mengelilinginya dan gerbang taman yang terkunci (nampaknya memang selalu terkunci).

Voilà! Akhirnya sampai juga kami di titik akhir perjalanan yaitu Taman Bali atau Taman PLN sebelah gedung SMAN 5. Seperti biasa, di akhir perjalanan, pegiat Aleut saling berbagi pengalaman apa saja yang didapat sepanjang perjalanan yang sudah ditempuh. Banyak sekali kekecewaan yang dirasakan teman-teman melihat kondisi taman-taman kota di Bandung. Kecewa terhadap kurangnya perhatian dan pemeliharaan oleh pemerintah terhadap taman-taman kota. Sampai burung-burung pun tidak ada yang betah bermain di taman-taman ini (burung juga ikutan sharing. Hehe).

Sebenarnya masih banyak taman-taman yang belum sempat kami telusuri. Ada Taman Pramuka, Taman Balai Kota, Taman Cibeunying, Taman Cilaki (Taman Lansia), Taman Ciujung, Taman Karang Setra, Taman Viaduct, Taman jalan Palasari, Taman Hutan Raya, Taman Irene dan Taman Citarum yang sekarang sudah hilang, juga Insulindepark atau Taman Lalu Lintas (TLL) dimana di taman ini terdapat satu jenis pohon langka. Namanya pohon Samolo. Adanya cuma di taman ini lho! Jumlahnya hanya dua pohon ! Di pojok kanan dan kiri gerbang masuk TLL. Sudah dua tahun tidak berbuah karena kemungkinan pohon ini amat sensitif terhadap polusi. Padahal seharusnya pohon Samolo berbuah setahun sekali di sekitar bulan Juli-Agustus. Yah .. semoga tahun ini berbuah ..

Rupanya julukan Bandung The Garden City hanya berlaku di tahun 1930-an. Karena sekarang taman-taman di Bandung sudah tidak seindah dulu. Taman yang masih bertahan sampai saat ini semoga tidak bernasib malang seperti taman-taman lainnya yang hilang dan berubah fungsi menjadi mall atau pom bensin ( hiks! Sedih!). Ayo bantu saya menjaga dan mempertahankan taman-taman di Bandung ! Dengan tidak merusak dan mencemarinya, agar taman tidak lagi berpagar dan kita dapat dengan bebas menikmati taman-taman indah di kota Bandung !

————————–

——-

Mau ngucapin bon travaille! buat dua sejoli kita, Chandra and the Beybone yang udah bikin jalur ini. Ditunggu jalur-jalur bagus lainnya yaa! Madadayo .. ! ^^

Catatan seorang pelajar ITH tahun 30’an…

By : Muhammad Ryzki Wiryawan
Perkenalkan, nama saya Moehammad Hassan Windoedipoero. Hari ini, tanggal 07-06-09 saya akan mengulangi masa-masa muda semasa masih menjadi pelajar di Indische Technische Hoogeschool melalui perjalanan yang diadakan Klab Aleut…

Perjalanan ini cukup berat bagi orang seusia saya, tetapi gairah yang terpancar dari mata para pemuda-pemudi Klab Aleut untuk mengapresiasi sejarah dapat memulihkan kekuatan masa muda saya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila ada data yang salah, karena ingatan saya yang sudah cukup memudar seiring waktu.

Saya (tengah) bersama Mas Kusumo (Kiri) dan Karman (Kanan)
Saya dan Saidi, membelakangi kampus ITH
Baiklah, pertama-tama Klab Aleut mengajak saya mengunjungi tempat saya kuliah dahulu. Indische Technische Hoogeschool pertama kali dibuka tahun 1921 oleh prakarsa dari para pengusaha-pengusaha Belanda yang sukses serta perkembangan Kota Bandung yang menuntut ahli-ahli tehnik dan arsitektur. Sebelumnya, arsitek-arsitek kolonial hanya dihasilkan dari Sekolah Tinggi Tekhnik di Delft Belanda. Hingga kemudian kritik2 bermunculan bahwa lulusan dari sekolah tinggi tersebut memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang kondisi lingkungan dan budaya tropis di hindia belanda, oleh karena itulah perlu dibangun sekolah khusus teknik dan cabang2 ilmunya di hindia Belanda ini. Bandung patut bangga karena Kota ini dianggap cukup layak untuk ditempati komplek sekolah bergengsi ini.

Kampus ITH 1930’an
Rancangan Komplek ITH oleh Maclaine Pont

Kalau membicarakan ITH, mau tidak mau kita akan membicarakan peran Henry Manclaine Pont (1879-1955) yang merancang bangunan-bangunan di ITH ini. Detail2 yang mencolok dalam proses pembangunan ITH menyangkut peran dua guru Maclaine Pont , yaitu Klopper dan Klinkhamer. Prof.Ir. J. Klopper adalah direktur utama ITH saat itu, saya ingat sekali pernah berpapasan dengannya sesekali kala berangkat kuliah. Kemudian saya baru tahu kalau tuan Klinkhammer adalah keponakan dari K.A.R. Boscha, seorang humanis dan pengusaha perkebunan teh terkenal di Priangan.

Beberapa Anak Aleut memperhatikan sebuah plakat yang berisi nama-nama donatur pembangunan ITH. Ya, benar sekali, sekolah ini dibangun atas dana swasta, karena permintaan masyarakat luas akan insinyur-insinyur handal di hindia belanda. Baru 4 tahun kemudian ITH beralih ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Sampai saat didirikannya Sekolah Tinggi Teknik ini, jarang ada perhatian terhadap perancangan arsitektural. Baru kemudian muncullah diskusi-diskusi dan perdebatan mengenai bentuk arsitektur yang cocok untuk kawasan tropis hindia Belanda.

Suasana perdebatan ini sangat santer terasa apabila anda sempat merasakan masa muda yang saya alami sebagai mahasiswa di sekolah teknik ini. Jurnal-jurnal yang diterbitkan saat itu banyak membahas perseteruan antara dua guru besar kampus ini, yang tidak lain adalah Tuan Schoemaker dan tuan Maclaine Pont. Keduanya sama-sama lahir di nusantara, Schoemaker lahir di Banyu Biru, sedangkan Pont di jatinegara, boleh dibilang keduanya memiliki latar belakang budaya yang hampir sama, tetapi pandangan arsitekturnya cukup berlawanan.

Menurut tuan Schoemaker, langgam arsitektur Indo-eropa harus tetap berhaluan pada arsitektur Eropa modern dan tidak banyak mengadopsi arsitektur lokal. Itulah sebabnya rancangan-rancangan beliau tampak kagok dalam menempatkan unsur-unsur lokal dalam karyanya. Lihatlah toko buku Van Dorp dan Societet Concordia. Unsur lokal hanya dijadikan ornamen tanpa arti. Saya lebih menyukai pandangan Maclaine Pont yang berani mengadopsi gaya arsitektur lokal, tetapi dipadukan dengan teknik arsitektur modern. Contohnya adalah bangunan kampus ITH ini, walau dikenal sebagai bangunan bergaya Indo-eropa pertama di hindia Belanda, muncul banyak kritik bahwa Maclaine Pont tidak tepat dalam menempatkan bangunan bergaya Minangkabau dalam lingkungan sunda. Di luar itu, perhatian besar maclane Pont terhadap arsitektur dan budaa lokal patut diapresiasi. Dalam satu jurnal, Wolff Schoemaker pernah mengomentari gedung2 sekolah tinggi teknik bandung sebagai berikut ,”Sekolah Tinggi Teknik dirancang dengan pemakaian contoh dari beberapa ciri khas bangunan Minangkabau, yang di Jawa berada di tanah asing”.

Rancangan Aula Barat ITB oleh Maclaine Pont

Ada satu hal yang menarik, Tuan Wolff Schoemaker sehari-harinya mau tidak mau harus berada dalam gedung rancangan Maclaine Pont saingannya. Dalam beberapa kuliahnya yang saya alami, beliau menjuluki rancangan Maclaine Pont ini sebagai,“Peniruan bentuk yang dibuat-buat” serta meragukan kegunaan “suatu peniruan bentuk atap Sumatera, yang mengakibatkan kobocoran serius?.

Baiklah, kita lupakan dulu segala perdebatan ini dan beralih kepada taman Indah yang berada di poros selatan Kampus ITH. Dahulu saya kerap bersepeda bersama teman-teman mengelilingi taman ini. Saya ingat sekali, jalan yang sekarang bernama jalan ganesha, dulunya bernama Hoogeschoolweg, sedangkan di sebelah selatan taman ini, yang sekarang bernama jalan Gelapnyawang dulunya bernama MaclainePont Weg. saya dan teman kadang berkelakar bahwa tuan Schoemaker tidak akan pernah bersedia untuk melewati jalan bernama saingannya ini.

Taman indah ini didedikasikan untuk Tuan Yzerman, karyawan pegawai staats spoorwegen-SS (Jawatan Kereta Api Negara) dan merupakan salah seorang penggagas pendirian ITH. Dahulu di ujung taman ini terdapat patung dada beliau. Sayangnya patung ini ditebas di masa kemerdekaan Indonesia. Sungguh disesalkan…

Saya, Kusumo dan Kardi bergaya di depan patung Yzerman

Muda-mudi ITH kerap beristirahat dan bercengkrama di taman yang asri ini (kalau tidak salah ada juga salah satu pegiat aleut yang bernama Asri) Ya, Kalau dilihat dari angkasa, jalur di taman ini akan membentuk huruf “Y”, dari inisial Yzerman. Di taman ini pula terdapat dua kolam berbentuk lingkaran, salah satunya memancarkan air. Ada juga peneduh-peneduh berbalur daun yang diatur dengan sangat apik. Kemudian kalau anda perhatikan di belakang patung ini, terdapat plakat-plakat yang menunjukan lokasi gunung-gunung yang memunggungi Bandung dari arah selatan beserta ketinggiannya. Dahulu saya masih bisa melihat jelas lekuk-lekuk gunung ini dari taman ini, sayangnya sekarang sudah tidak bisa.

Landscape taman Yzerman

Taman ini dibangun agar bisa merekam kondisi taman-taman di Eropa, sebagaimana kawasan Bandung utara memang diatur berdasarkan konsep tuinstaad atau Kota taman. Anda tidak perlu jauh-jauh ke negeri Belanda untuk merasakan nuansa Eropa, dahulu anda cukup untuk mengunjungi taman Yzerman ini. Jangan lupa membawa sebuah buku menarik serta sekeranjang roti dan sebotol susu.

Klab Aleut ini memang keterlaluan, tanpa melihat usia saya yang renta, mereka terus mengajak saya untuk mengunjungi lokasi lainnya,, baiklah akan saya turuti kemauan pemuda-pemudi gagah ini… Semoga pengalaman yang pernah saya alami dapat menjadi pelajaran bagi anak-anak muda ini…
(bersambung)

Brievenkart berlatar taman Yzerman

TAMAN = TAk nyaMAN

By : Candra Asmara

jangan terlebih dahulu mengambil kesimpulan bahwa semua taman itu tak nyaman, saya hanya mengambil beberapa taman di bandung yang sempat saya dan teman-teman lalui beberapa hari lalu…dan yang langsung terlintas adalah sebuah akronim dari kata TAMAN itu sendiri..ya, itu…. seperti judul coretan ini…

bandung kota taman, itu yang dahulu opa-opa belanda canangkan demi pembangunan kota ini, kota yang banyak mendapat pujian, kota yang tak pernah surut menjadi buah bibir orang-orang karena keindahannya, kota yang disamakan dengan paris, kota yang memiliki tata kota yang nyaris sempurna, kota dengan udara yang bersahabat, kota yang…kota yang…kota yang….tentu saja saya berbicara tentang masa lalu dalam paragraf ini, karena yang saya utarakan di atas,,,hmmm,jauh dari rupa bandung saat ini…

taman, menurut “kamus sakarep urang sorangan”, berarti sebuah tempat replika dari imajinasi manusia tentang surga, disana terdapat pohon, kolam, rumput, bidadari(beberapa tahun lalu masih beredar di sekitar molukken park,,”bidadari bertongkat ” namanya…),tempat duduk yang nyaman, anak-anak kecil yang tertawa lepas,sebagian orang menjadikan taman sebagai tempat pelarian untuk melepas penat,sebagian lagi memilih taman untuk hanya sekedar membunuh rasa kesendirian, sebagian lagi untuk membunuh rasa rindu dengan bertemu sang kekasih, sebagian lagi…sebagian lagi…sebagian lagi…tentu saja saya kembali mengutarakan tentang masa lalu di paragraf ini, karena yang saya paparkan di atas adalah saat dimana taman-taman di kota ini “menawarkan kehidupan” bagi orang-orang…bukan “kematian”.

cukup tentang masa lalu, karena yang saya hadapi saat beberapa hari lalu adalah cerminan saat ini, kenyataan yang harus saya lihat dari sahabat-sahabat penduduk kota ini sejak dulu, sahabat-sahabat yang tersingkirkan zaman dan degradasi moral manusia, sahabat-sahabat yang letih, ingin berteriak, namun yang keluar hanya teriakan kering, sama seperti nadi-nadi mereka yang dibiarkan mengering, sampah menyumbat mulut mereka dengan paksa, mereka diisolasi, bahkan ada seorang sahabat yang dipenjara,,mari saya kenalkan dengan sahabat-sahabat kita yang terlupakan itu…

1. sahabatku ijzerman(maaf man, kalo saya salah nulis nama kamu, kita udah lama ga ketemu..sejak tahun 60an)
sahabat yang satu ini, dialah yang mendirikan sebuah sekolah yang dahulu bernama Technische Hogeshool, atau yang sekarang kita kenal dengan nama ITB…nah, maman (panggilan akrab,) inilah salah seorang yang sangat berjasa dalam memajukan kota bandung sebagai kota pendidikan saat itu, oleh karena jasa-jasa dan sumbangsihnya kepada kota ini, dibangunlah sebuah taman yang dinamakan ijzerman park, dan di depan pintu masuk taman, didirikanlah sebuah patung dada(bukan dada rosada) ijzerman yang gagah dan tampan itu. namun patung dada maman tak lagi tampak, sempat berganti menjadi patung ganesha, gajah kecil berbelalai pendek,,lalu sekarang berganti menjadi patung berbentuk kubus yang tak jelas nilai historisnya. sekarang entah dimana patung dada ijzerman berada…kamu dimana, man? dan satu lagi yang menarik tak jauh dari patung dada ijzerman berada (dulu), terdapat beberapa penunjuk arah berbentuk plakat yang menunjukkan arah gunung beserta ketinggiannya yang langsung berhadapan dengan ijzerman park dari arah selatan…mengejutkan, kagum, dan menyadari bahwa saya belum mengenal ijzerman dari hati ke hati…

2. sahabatku molukken
sahabat yang kini terpasung, sendirian di masa tuanya, tampaknya sedang merenungi pengalaman2 hidupnya di kala muda,,saat saya melihat molmol(panggilan akrab) beberapa hari yang lalu, keadaannya cukup bersih, cukup tertata, air mancurnya terlihat meliuk-liuk menari di tengah, kanal2nya pun mengalir, meskipun tetap saja ada sampah disana-sini,,saat saya dan teman-teman yang lain ingin menyapanya, berpelukan, saling bercerita tentang masa lalu, jeruji penjara menghalangi saya, jeruji yang memasung molmol untuk dipaksa tak bersentuhan dengan dunia luar…saya hanya bisa melihat patung pastor versbraak diluar jeruji, patung yang tampak tak terawat, yang berdiri di tempat pastor versbraak menghadap titik akhir usianya. versbraak diantar pesawat yang jatuh di molukken park untuk sampai titik terakhir nafasnya.

begitulah, dua orang sahabat diantara banyak sahabat yang lain yang bisa saya ceritakan. marilah kita kunjungi sahabat2 yang lainnya, sapa, berikan bantuan jika ia perlu bantuan. jika kita mendengarkan keluhan dan mengulurkan bantuan bagi sahabat2 kita itu, niscaya judul coretan saya di atas akan salah. mari bersahabat!

Ngaleut Taman Episode 1

By : Adri teguh Bey Haqqi
Bandung, Minggu 07 Juni 2009.

INFO ALEUT : ayo kita jelajahi taman kota dan rumah kolonial.kumpul di jalan sumur bandung no.4 hari minggu 070609 jam 07.07 pagi.
Seperti itu pesan yang saya terima dari seorang pegiat aleut pada hari sabtu tanggal 060609.*isi singkatnya.

berhubung suka telat jadi aku saya adri teguh bey haqqi berencana akan menginap di rumah pa koordinator jalan sumur bandung no.4 supaya dibesok hari tidak akan telat berkumpul dan bisa mengikuti brieving bersama.
saya mengajak pegiat aleut yang lainnya tetapi yang mau diajak saya cuma ica ama caca.tak apalah daripada ga ada teman.

ica ma caca lg tidur.

ternyata tidur di rumah orang lain juga sama saja, bangun telat. baru bangun pukul 07.00 wib lebih dikit lah. itu juga bangun gara gara denger suara yang parau serak serak basah ciri khas om bang br ridwan.
langsung ajah melakukan ritual trus mandi dulu. eh beres mandi ada bala bala satu keresek penuh ternyata teh widi yang bawa. alhamdulillah rezeki mah dateng darimana wae. terima kasih teh widi.
beres mandi dll tuh jam 07.30 am dan masih banyak pegiat yang belum tiba di sumur bandung no.4 ini.

pukul 08.00 wib semua pegiat yang akan ikut ngaleut telah datang semua. ada bang ridwan,om adhi,a ayan,ibu budi,kang asep,teh cici,teh dila,teh widi,teh uti,teh dinda,teh uni,a ajay,a candra,a indra,teh adinda,a yanto,a elgy.
setelah melakukan briping mengenai jalur yang akan dilewati dan berdoa bersama demi keselamatan semua akhirnya kita pun melangkahkan kaki menuju taman pertama yang akan di lewati.

brivingan..
serius..

tidak jauh dari sumur bandung no.4 kita telah tiba di sebuah taman segitiga di belakang itb simpang tiga gitu.
padahal baru jam 8an tapi si cahaya matahari terik sangat panas sekali menyengat kulit kita.
di simpang tiga ini bang ridwan menerangkan mengenai suasana sekitar siliwangi pada zaman dulu dan kemudian menjelaskan sebuah park yang dulunya itu jubileum park dan sekarang sudah menjadi kebun binatang bandung.
ternyata dulu itu sebagian besar taman sari dari taman sari sampai lebak siliwangi adalah jubileum park. pada tahun 1923 taman ini diresmikan untuk memperingati jubileum ratu wilhelmina dari Belanda.
dulu di bagian selatan jubileum park ada prasasti jubileumpark. sampai tahun 50-an masih bisa dilihat, tetapi setelahnya tidak tahu ada dimana.

di simpang tiga.br menjelaskan jubileum park

kemudian kita melanjutkan kembali perjalanan memasuki kawasan kampus itb.
itb merupakan kampus pertama yang ada di hindia-belanda. dulunya Technische Hoogeschool (THS) yang diresmikan pada tahun 1920.
para pegiat berjalan-jalan di dalam kampus itb yang udaranya sejuk, damai, aman, tenang, tentram, sedikit kendaraan yang melintas, dan sesekali terlihat para mahasiswa yang sedang melakukan joging atau berlatih taekwondo dan karate juga mahasiswa yang sedang berdiskusi.*beda banget lah ama unpad nangor mah komo deui upi jauh!!hehe..
kita dikejutkan oleh sebuah cerita dari BR kalau di THS ada gedung yang kayak gedung kuliah di harvard gitu. kita berharap bisa masuk ke gedung Fisika itu, namun sayang di gembok. kita hanya bisa mengintip dari sebuah lubang kecil.*bari jeung teu kaciri.
di dalam itb saya menemukan beberapa plakat yang masih menempel di dinding-dinding gedung.banyak plakat yang ada nama boscha nya. opa boscha ini adalah salah seorang donatur pendiri ths.
dari yang saya lihat gedung gedung itb bentuknya unik. gedungnya beratap gaya minangkabau tapi pondasi bergaya eropa.keren!!
oh ternyata gedung nya itu karya Ir. Hendri Maclaine Pont.

para sesepuh..

keluar dari THS kita sudah disuguhi oleh sebuah taman lagi.nama tamanya itu ijzerman park.sebagai tanda terima kasih buat bapak Dr.Ir.J.W.Ijzerman yang sangat berjasa besar dalam pendirian THS, maka pada tahun 1919 dibangun sebuah taman yang sangat indah,rapih,artistik sehingga apabila kita lihat dari udara akan terlihat seperti huruf Y.
kata BR tahun 80an si taman ini masih asri (bukan cici) terus ada air mancur kursi taman terowongan dari pohon merambat gitu, terusterus ada di belakang patung kubus ga jelas yang tembok setengah lingkaran ada nama-nama gunung yang mengelilingi Bandung.HEBAT!!
selain itu juga di pintu masuk taman bagian utara didirikan sebuah patung dada Dr.Ir.J.W.Izjerman. tahun 60-an patungnya diganti jadi patung ganesha. patung ganesha diganti dengan patung yang katanya artistik terbuat dari logam anti karat sampai sekarang.
katanya patung dada Dr.Ir.J.W.Izjerman tersimpan di dalam gedung rektor itb di simpang tiga sulanjana taman sari. tapi tidak tahu juga, karena saya sendiri belum melihat.
sekarang tuh nama tamannya berubah jadi taman ganesha.

Referensi :

http://bandungtempodulu.com/taman_dan_lahan_kota/izjermanpark.html

http://bandungtempodulu.com/taman_dan_lahan_kota/jubileumpark.html

http://bandungtempodulu.com/gedung_arsitektur_belanda/gedung_sekolah/technische_hoogeschool.html

City of God; memahami apa itu film dan bagaimana menonton film

By : Kristanti Dwi Putri
…minggu siang yang penuh darah…
dngan sebungkus gurilem dan cheesestick aku disuguhi sebuah film garapan sutradara FERNANDO MEIRELLES yang berjudul City of God, film bersetting kehidupan gangster di sebuah kota di Rio de Janeiro, Brazil. Film ini hanya bisa ditonton oleh orang-orang yang biasa menonton ‘film yang sesungguhnya’, dan bagi yang suka menonton film macam ‘beranak dalam ambulan’, ‘pocong jamu gendong’, menunggu janda kembang’ dan lain-lain kami tidak memaksa….

sebenarnya sih sekarang aku ga mau nyeritain secara lengkap alur ceritanya, cuma sedikit sinopsisnya aja karena hari minggu kmrn aku banyak sekali menyerap pelajaran dari bang ridwan selaku pemilih film untuk kinealeut kali ini ( eh iya kan bang???), di antaranya bagaimana memahami sebuah film dari berbagai aspek…

inti ceritanya, dikisahkan ada sekelompok anak muda yang tinggal di daerah bernama City of God, yang merupakan sebuah kota yang diperuntukkan untuk orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan (kasarnya semacam gelandangan…). mereka semua tumbuh dan berkembang sesuai kondisi lingkungan yang rusak; tembak-menembak, mengedar dan memakai narkotika, dan seks bebas. tapi ada salah seorang yang memiliki tekad untuk menjadi orang yang berguna dan berjalan lurus-lurus saja untuk menggapai impiannya menjadi seorang fotografer. meskipun ia sering jadi bahan olok-olok di antara teman-temannya yang preman itu dan selalu punya keinginan untuk ‘setara’ dengan mereka tetap saja ia selalu dihadapkan dengan jalan yang lain.

..kok bisa sih film sesadis dan sebrutal ini judulnya city of god? di benak kita, kalo denger atau lihat kata ‘god’ pasti rujukannya langsung ke ‘tuhan’ atau ‘dewa’, tapi ternyata god juga punya arti lain yaitu ‘penguasa’ atau ‘pemimpin’. jadi judulnya sebenarnya sangat konstektual dengan filmnya sendiri, karena city of god ini memang kotanya para penguasa atau pemimpin yang tak lain adalah pemimpin-pemimpin gangster…

berbicara soal teknis, film ini termasuk film yang hebaat! alurnya yang buat sebagian orang cukup memusingkan sangat menantang untuk dipahami. di setiap scene selalu ada kilas balik yang menceritakan asal usul kejadian tersebut, juga di sini aku bisa membedakan mana yang flashback mana yang ‘future’ karena scene-scene itu berbeda warna mengikuti waktu kejadian. (ga kayak waktu nonton oeroeg ^^)
dan yang bikin aku kagum ternyata opening film itu adalah endingnya.. (nah lho???!!!)
aku juga salut sama pengmbilan sudut pandang dari berbagai tokoh yang diambil dari scene yang sama..

teruss dari segi soundtrack.
apa sih sebenarnya soundtrack itu? cuma beberapa lagu yang dibuat untuk meramaikan film dan nggak ada kaitannya? justru soundtrack itu harus sesuai dengan setting film, kalau perlu ada hubungannya sama scene yang ada. di film ini cuma ada satu soundtrack yang aku kenal; kung fu fighting! haha… maklum soundtrack-soundtrack yang ada kan dari tahun 60-an semua mengikuti setting cerita…
pokoknyasemua lagu yang ada di film in makin membuat filmnya bener-bener hidup.

dari segi moral, banyak sekali yang aku dapat;
-bahwa tidak selamanya hidup kita akan terjerumus jika tinggal di lingkungan yang buruk, karena semua kembali lagi pada diri kita sendiri (klise memang… tapi manjur…)
-ini buat kita calon produsen generasi bermutu; pendidikan dan bimbingan bagi anak selagi dini sangatlah penting, karena mereka masih sangat mudah untuk ‘dibentuk’ dibanding anak-anak remaja atau orang dewasa…

intinya film ini cocok untuk dikoleksi walaupun butuh sedikit kebijaksanaan dalam menontonnya…
(thanks for b.r & kinealeut!)

Naik-naik ke Puncak Gunung Geulis

By : Asri “Cici” Mustikaati

Spontan. Salah satu sifat yang khas sekali yang dimiliki Klab Aleut. Spontan dalam melakukan perjalanan, spontan menentukan jalan mana yang akan ditempuh, spontan dalam mengubah tujuan perjalanan. Ya ! Itu yang terjadi pada Klab Aleut di hari Minggu (28/06/09).

Pukul 8 pagi para pegiat yang berjumlah 13 orang sudah berkumpul di depan Dunkin Donuts samping ITC Kebon Kalapa. Rencananya kami akan melakukan pejalanan kota dengan judul Melihat Pemukiman Kolonial di Bandung Selatan. Perjalanan kota ini sudah kami rencanakan jauh hari dan Bey, Chandra, Elgy, BR sudah melakukan survey jalur pada hari sebelumnya. Namun apa yang terjadi, kami ubah haluan perjalanan kami dengan tujuan puncak Gunung Geulis. Weks !!

Tanpa persiapan dan perbekalan, kami langsung bertolak ke Jatinangor. Naik satu kali angkot ke arah tol Moh. Toha, dan dilanjutkan dengan menaiki bus Damri jurusan Tanjung Sari.

Setelah kurang lebih setengah jam perjalanan, sampailah kami di Jatinangor. Udara sejuk dan dingin dalam bis Damri ber-AC itu diganti dengan udara Jatinangor yang super panas, penuh debu dan polusi. Mulailah kami berjalan menyusuri kampus Unpad. Melewati pasar minggu pagi Jatinangor, gedung perkuliahan Unpad, melewati jembatan Cincin – jembatan kereta api yang dibangun tahun 1800-an oleh pemerintah Hindia Belanda (jembatannya bagus banget dan masih kokoh – katanya sih sudut yang paling bagus buat liat jembatan ini, liatnya dari gedung Fikom-Unpad), melewati pesawahan, perumahan warga, dan sampailah kami di Cisaladah.

Untuk menuju Gunung Geulis, masih harus melewati satu tahapan lagi. Naik angkutan umum menuju Jatiroke. Sesampainya di Jatiroke, saya harus lebih mempersiapkan mental dan fisik saya untuk mencapai puncak Gunung Geulis. Begitu juga dengan Endey yang harus berjuang dengan sendal tarumpahnya, Shela dengan sepatu yang udah pasti bikin kaki lecet-lecet, dan Budi dengan empat buah skripsinya … (hiks! Turut berduka Bud .. ^^)

Pukul 11 kami mulai menaiki kaki Gunung Geulis. Walaupun panas matahari sangat menyengat, kami tidak patah semangat. Allez !! Bon courage, mes amis !! Perjalanan kami memang penuh perjuangan. Walaupun sudah berada di gunung, pepohonan di Gunung Geulis ini sangat kering. Begitu juga dengan udaranya, kering dan panas. Fisik jadi cepat lelah, cepat dehidrasi padahal persediaan air minum terbatas. Tanah di jalan setapak yang kami lewati sangat berpasir sehingga harus ekstra hati-hati melewatinya. Apalagi sepatu yang saya pakai sepatu yang karetnya sudah tipiiis sekali. Hufff harus ekstra hati-hati kuadrat kali tiga deh jadinya. Perjalanan lumayan terhibur dengan sorak sorai nyanyian ‘ dadang .. dadang .. ‘ oleh Budi, Bey, Chandra ..

Satu setengah jam perjalanan kami lewati dengan penuh suka cita. Sampailah kami di puncak Gunung Cici .. eh salah .. Gunung Geulis !! Senangnyaaaa ….

Di puncak gunung ternyata ada satu bangunan permanen dan dua kuburan tidak dikenal yang sudah ditembok! Wah wah .. mengingat perjalanan kami tadi, jadi terbayang bagaimana mereka membangun bangunan ini. Ke puncak gunung dengan membawa semen, bata, pasir,dan bahan bangunan lainnya. Wuihhh …

Kami beristirahat di tugu Gunung Geulis sekitar satu jam. Tidak ada bekal, tidak ada air. Satu-satunya penyelamat kami adalah nasi kuning gigih dan ayam kecap-nya Achie, juga satu botol sedang air minumnya Fian (temen Achie). One for all … And all for one ..
Dari puncak gunung ini, dapat kami lihat dengan jelas pemandangan daerah Jatinangor, Rancaekek, Cileunyi, dan sekitarnya.

Turun gunung memang lebih sulit. Harus lebih konsentrasi, tidak boleh lengah, siap minta tolong orang yang di belakang untuk menarik badan guna mengurangi kecepatan dan orang yang di depan untuk menahan badan karena sulit menghentikan langkah. Lutut kaki sudah seperti getaran stick playstation saking curamnya turunan.

Pukul lima sore perut kami masih kosong. Tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung dengan perut keroncongan begini. Untunglah ada Babang Mufti. Kami makan malam (sekaligus pagi, siang dan sore) di rumah babang Mufti di Cicalengka. Nasi liwet, ikan mas goreng, tahu, sambel dan lalap sangat cukup untuk mengisi perut yang sejak pagi hingga sore kami siksa karena belum diisi makanan apapun. Merci beaucoup ya mon cher …

Sampai di Bandung pukul 9 malam. Badan sudah terasa pegal-pegal, betis nyut-nyutan. Enak banget kalo dilanjutkan dengan berendam air panas. Dan perjalanan kali ini emang bikin tidur saya lebih nyenyak!
What a great trip !!!

Ngomong-ngomong tentang gunung Geulis, ada yang tau gak kenapa disebut Gunung Geulis ?

—– cici —–

Ngaleut Kareumbi-Citengah (sumedang)

By : Asep Nendi R.
Minggu, 19 Juli 2009

Ngaleut kali ini terasa berbeda karena dipastikan akan menemui beberapa sarana transportasi baru bagi Klab Aleut (sok tau nya, bae ah)…..

Bukan tanpa perencanaan, tapi, ngaleut kali ini memang dilakukan tanpa survei, tapi tidak juga tanpa persiapan yang matang tentunya… butuh waktu 1 bulan untuk merealisasikan perjalanan ini…

akhirnya,,, perjalanan ini…..

06.15
di depan stasiun Bandung sebalah utara, telah berkumpul 3 orang pegiat (ebi, candra, elgi) semuanya nampak berseri-seri menyambut perjalanan ini….

beberapa menit kemudian muncul ayan dan yanto,, kemudian adi, opik, BR,,,
setelah berkumpul 9 orang kami mulai menghubungi beberapa pegiat yang semalam konfirm untuk ikut tapi belum juga datang,,, teu baleg!!!!
di stasiun beberapa bule mulai berangkat ke Jakarta untuk kemudian pulang ke negaranya masing2, yah kejadian bom membuat negara2 asal pengunjung mulai menarik pulang warganya…

setelah membeli tiket, kami pun berangkat menuju cicalengka menggunakan kereta KRD ekonomi,,, padat bung,,, tapi inilah kesenangannya, belajar bersosialisasi cenah…
kereta yang kami tumpangi akan berangkat pukul 07.51, tapi setelah menunggu 10 menit barulah kereta berangkat… maklum Indonesia, eh Kareta Api ketang…
tarif Rp. 1000 per orang murah bukan…?

08.10
kereta berangkat, walau padat berdesakan, perjalanan tetap menyenangkan…
sampai 3 kali perhentian, hanya Bang BR saja yang kebagian duduk… yang lainnya berdiri, maklum mengalah pada yang tua… sampai pemberhentian gede bage semuanya duduk kecuali saya…

jangan tanyakan kondisi di dalam kereta, karena semua yang kita bayangkan benar2 terjadi… dari mulai penyanyi dangdut, penjual dvd, jeruk, pengamen, semuanya berlomba mengais rejeki di atas gerbong kereta…

09.30
kami tiba di stasiun cicalengka, dan mulai mencari2 angkot untuk dicarter, tapi….
dengan pertimbangan biaya dan tantangan, kami menaiki coolback (kol buntung) menuju kareumbi dengan tarif Rp. 5000 per orang..
jalur yang berbelok2, dengan jumlah penumpang yang membludak (lebay) membuat perjalanan jauh dari kesan nyaman…. sebenarnya angkutan tersebut khusus untuk mengangkut penumpang menuju Curug CInulang…

akhirnya kami tiba di ujung aspal, dan berjalan kaki memasuki jalanan koral menuju starting point perjalanan (wisata buru masigit kareumbi)..

10.20
dulunya kawasan kareumbi merupakan kawasan Wisata Buru Masigit Kareumbi (aneh karena letak Gn. Masigit yang jauh dari kareumbi).. kawasan ini konon, dikuasai Panglima Ibrahim Adjie…(diabadikan sbg jalan Kircon) memasuki tahun 1990an hewan disini mulai berkurang..
puncaknya pada tahun 2000an terjadi illegal logging, yang membuat kawasan ini tidak lagi tertutup..
beberapa fasilitas pun nampak hancur sampai pada tahun 2007an,, padahal kawasan ini dibawah BKSDA (balai besar konservasi sumber daya alam) Jabar.
dalam kawasan ini terdapat 2 desa yaitu, Cigumentong dan Cimulu… di sekitar karembi teradapat beberapa tempat yang layak dikunjungi, selain dua desa tersebut…
1. Batara Guru, kawasan hutan yang masih tertutup rapat (berkanopi) didalamnya bermacam2 hewan buas masih hidup…
2. Jalur Cimulu-Limbangan

untungnya pada akhir 2008, dan awal tahun 2009 wanadri mulai mengelola tempat ini dan mulai merekonstruksi beberapa bangunan dan beberapa kelengkapannya… mudah2an ini upaya baik untuk mengkonservasi kawasan kareumbi dan sekitarnya…

10.30
di kawasan kareumbi,
kami makan pagi untuk sekedar mengisi kekosongan perut, karena perjalanan ke depan tidak akan ditemui warung ataupun perkampungan…. mie rebus dan roti merupakan menu ideal bagi petualang aleut (pegiat)….

11.00
perjalanan dimulai,

dipersimpangan jalan menuu cigumentong kami menyempatkan membeli buah tomat dari petani yang sedang menimbang tomat…
Rp 5000 sakeresek, loba pisan jaba amis, sumpah….!

tujuan pertama adalah makam tuan blok (jansen) di desa Cigumentong… konon, beliau adalah pemilik kawasan ini pada jaman kolonial,,, makamnya sendiri baru ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 2006an, padahal keluarganya sempat melakukan pencarian pada tahun sebelumnya, tapi tidak berhasil..
beliau dikubur bersama hartanya, yang sekarang entah dimana keberadaannya…
Desa Cigumentong sendiri terdapat 14 keluarga, yang ajaib desa ini sudah menggunakan panel surya untuk keperluan pemenuhan energi listriknya…

tidak lama dari Cigumentong, kami langsung melanjutkan perjalanan…
kesan pertama takut dan ragu, karena kita memasuki hutan yang masih tertutup rapat….
kami mulai menyusuri jalanan setapak yang ada, setelah sempat mengisi air di mata air yang mengalir jernih…
tawa dan canda merupakan hiburan tersendiri di tengah sunyinya hutan….
setelah lama berjalan kami beristirahat untuk berfoto dan mengganjal perut… perjalanan pun dilanjutkan, diiringi musik alam yang merdu, perpaduan teriakan binatang rimba dan riuhnya pepohonan…

13.38
kami istirahat kembali, untuk makan siang…
tapi hanya opik dan yanto yang membawa bekal, sementara yang lainnya hanya merokok dan ngemil tomat yang kami beli di jalan menuju CIgumentong… amiissss…
saat beristirahat kami dikelilingi burung elang yang berteriak histeris seolah memberi tanda pada kawanan yang lainnya, serem juga…

13.55
perjalanan dilanjutkan kembali, rute yang ditempuh didominasi turunan…. sehingga kami tidak kesulitan atau keletihan… letak citengah yang dibawah hutan kareumbi…
tidak terasa salah satu lembahan yang kita susuri adalah Gunung Gelung, dan pesawahan pun telah nampak dari kejauhan… tanpa ragu kami mulai menambah kecepatan menuju daerah pesawahan…

disana terdapat salah satu rumah, yang menurut informasi menjual lahang, tapi sayang penjualnya sedang tidak ada… untuk mengobati rasa dahaga kami menuju Curug Kancana mengikuti jalan yang telah ditunjukkan oleh warga yang sedang melintas…

setelah puas berfoto di curug kami melanjutkan perjalanan menuju CItengah……

16.04
kami tiba di Kampung Cijolang Desa Citengah, mulai tampak peradaban… lega….

16.35
menaiki angdes Citengah-Sumedang tarif Rp. 3000

setelah berkelilingdi sekitar alun2 sumedang, kami mulai berjalan (lagi) menuju pusat perbelanjaan tahu…

17.46
kami sampai di pusat pertahuan, namun tahunya sudah habis dari sore….parah…
beberapa tempat jualan tahu yang punya nama tutup, akhirnya kami ngemil tahu di pinggiran jalan, tapi tetep enak da,,,

kami menaiki angkot dengan tarif Rp. 2000 menuju polres… tempat nantinya kami akan memberhentikan bis (jiga supermen nya)

18.37
kami pulang ke Bandung (cicaheum) menggunakan bis Bandung-Cikijing dengan tarif Rp. 8000
dalam bis nampak kondisi pegiat yang mulai keletihan… sampai di terminal cicaheum, kami berpencar..
salut buat ebi (satu2nya pegiat perempuan yang ikut)

dengan tetap senyum, gambar keindahan hutan yang takkan bisa dilupakan…
sebuah memori petualangan yang penuh dengan kesan dan pesan….
pesan akan pentingnya bersinergi dengan alam, dan menjaga alam…

“Sebuah negara tidak pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung dan lautan”
-sir henry dunant-

Jelajah Alam Sukawana – Tangkuban Parahu

By : Yanstri M.
(12/07/09)

Ini adalah kali kedua aku ke Tangkuban Parahu di bulan Juli 2009 tetapi dengan jalur dan teman-teman yang berbeda. Kali ini aku dan teman-teman Aleut menuju Tangkuban Parahu melalui Villa Istana Bunga (VIB), Ciwangun Indah Camp (CIC), Sukawana, Pasir Ipis.

Jam 8:15 aku mulai menunggu di angkot yang akan membawaku ke Terminal Parongpong tempat aku berjanji untuk bertemu dengan teman-teman Aleut. Setelah lama menunggu, angkot yang aku naiki mulai berjalan. 25 menit kemudian aku sudah terdampar dengan selamat di Terminal Parongpong.

Karena belum ada yang datang, akhirnya aku putuskan untuk menikmati semangkuk mie untuk mengisi bahan bakar dan mengusir rasa dingin yang cukup menggigit. Tepat pada suapan terakhir di kejauhan aku lihat satu angkot yang disesaki oleh wajah-wajah yang tampak familiar buatku. Yup, akhirnya datang juga teman-teman Aleut yang lain. Mereka bersesakan di dalam angkot yang biasanya hanya diisi oleh maksimal 16 orang, tetapi kali ini diisi oleh 22 orang. Sungguh perjuangan yang tidak mudah untuk bertahan di dalam angkot yang penuh sesak dan harus melalui jalanan yang menanjak dan terkadang tidak rata. Tetapi itulah hebatnya anak-anak Aleut. Mampu bertahan di segala situasi (padahal kpaksa ya hehehehe).

Tepat pukul 8:30 setelah briefing dan melakukan doa bersama kami mulai berjalan melalui VIB. Rencana awal kami akan menuju CIC melalui pintu belakang VIB. Tetapi baru setengah perjalanan ada yang mengusulkan jalan lain melalui jalan setapak di pinggiran kebun penduduk.

Karena bukan Aleut namanya kalau tidak melalui jalan yang aneh bin ajaib. Kami melalui ladang penduduk. Jalan yang kami lalui cukup sempit dan licin di beberapa bagian. Terkadang di sebelahnya terdapat jurang. Kami harus terus berkonsentrasi agar tidak tergelincir.
Setelah sempat salah jalan beberapa kali, sampailah kami di jalanan beraspal sekitar 25m dari pintu belakang VIB. Kami terus menyusuri jalanan beraspal yang menanjak melalui samping CIC kemudian berbelok ke jalanan dari tanah melalui rumah penduduk dan keluar di daerah Sukawana.
Mulai tercium bau yang familiar dan menenangkan yang ternyata berasal dari daun teh yang sedang diolah. Kami berkesempatan berkunjung ke pabrik pengolahan teh milik PTPN VIII. Di sana kami melihat proses pembuatan teh. Sebenarnya ada 6 tahap proses pembuatan teh mulai dari proses pelayuan sampai yang terakhir proses pengepakan. Sayangnya, karena keterbatasan waktu kami hanya bisa melihat 2 dari 6 proses tersebut, yaitu proses pelayuan dan proses penggilingan.
Puas berkunjung ke pabrik teh, kami melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan teh. Di tengah kebun teh, mendadak Bang Ridwan meminta kami berhenti sebentar untuk menjelaskan mengenai danau bandung purba. Memandang ke arah selatan kami dapat menikmati pemandangan daerah Batu Jajar. Di sana juga terdapat bukit Lagadar yang menyimpan keunikan tersendiri. Bukit tersebut menghasilkan bebatuan yang apabila kita pecahkan akan berbentuk seperti kristal bersegi delapan.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri lahan milik Perhutani, melewati jalan dari tanah dan berbatu yang rusak di beberapa bagian dan membuat kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tidak terperosok. Di kanan kiri jalan kita bisa melihat deretan pohon pinus yang tumbuh menjulang. Menciptakan sedikit kesejukan.
Sepanjang perjalanan kami bertemu dengan beberapa pengendara sepeda gunung dan motor trail serta penduduk setempat yang sedang mengumpulkan semak-semak untuk pakan ternak.
Untuk mencapai benteng yang ada di Pasir Ipis kami mulai menyusuri hutan, terkadang harus menerobos semak-semak. Setelah sempat berputar-putar akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sayangnya sebagian besar benteng tersebut tertutup semak-semak. Hanya sebagian kecil bagian benteng yang terlihat.
Benteng Pasir Ipis
(taken by Galih)
Tuntutan dari cacing di perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi membuat kami memutuskan beristirahat tidak jauh dari benteng sambil menyantap makan siang yang kami bawa. Sayangnya kenyamanan kami bersantap sempat terganggu oleh tawon yang berputar-putar tanpa henti di sekeliling kami.
Puas bersantap, kami kembali berjuang untuk mencapai Tangkuban Parahu. Jalanan yang tadinya datar mulai menanjak. Membuat kami harus mulai mengatur napas. Mendadak dari belakang terdengar seseorang berdendang:

Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi arahnya
Ingat, ingat ingat ingat, cuman ingat nanjaknya
Ingat, aku ingat ingat, cuman ingat nanjaknya

Yup, itulah lagu yang dengan semangat 45 dinyanyikan oleh Eki ketika teman-teman yang lain sudah mulai kelelahan menghadapi jalanan menanjak yang seakan tidak bertepi. Entah baterai apa yang Eki pakai hingga bisa terus semangat disegala kondisi?

Rasanya kaki sudah siap-siap lepas dari engselnya. Andai saja ada Mbah Surip, alangkah enaknya. Aku bisa minta gendong. Yang ajaib, di jalanan yang sempit, menanjak dan terkadang terhalang pohon tumbang kami bertemu kembali dengan pengendara motor trail. Tidak terbayang sulitnya mengendarai motor di jalanan seperti itu. Aku saja yang berjalan kaki terkadang kewalahan mengatur langkah agar tidak tergelincir.
Kami sempat melemaskan kaki sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak bukit di mana kami bisa memandang Kawah Ratu dan Kawah Upas di kejauhan. Keindahan pemandangan dari puncak bukit tersebut menghapus rasa lelah yang mendera kami akibat tanjakan yang tidak berkesudahan. Di kejauhan aku melihat seseorang yang tampaknya tak asing bagiku. Tetapi aku masih ragu untuk menyapanya. Yuhui, ternyata dia memang teman lamaku. Aku tidak menyangka bisa bertemu teman lama di atas bukit yang baru pertama kali aku datangi.
Satu Jam menikmati keindahan kawah, perjalanan dilanjutkan menuju pelataran parkir Tangkuban Parahu. Ternyata perjuangan kami belum berakhir. Untuk menuju ke sana, kami harus menuruni jalan menggunakan bantuan tali dan melewati bebatuan besar yang bisa membuat kami terluka apabila tidak berhati-hati melangkah. Tetapi, pemandangan yang tersaji dikejauhan sungguh mengagumkan.
Dengan menggunakan elf sewaan dengan tarif Rp 15.000,- per orang kami menuju Alfamart Sersan Bajuri. Perjalanan pulang berlangsung cukup singkat berkat hiburan dari Asep dan Ekoy yang sibuk merayu Unie dengan berbagai banyolan-banyolan yang sukses membuatku tak bisa berhenti tertawa. Untungnya, Eki sudah tewas kehabisan baterai jadi berkurang satu orang pembanyol (piss ach!). Kalau tidak, bisa-bisa turun dari elf perutku bakal sakit akibat terlalu banyak tertawa. Ternyata baterainya baru akan terisi kalau di alam terbuka karena menggunakan tenaga surya.
Akhirnya, selesailah perjalanan hari ini. Sampai jumpa di acara Aleut berikutnya.

CATPER…. Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu Share

CATPER….
Sukawana-Pasir Ipis Fort-Tangkuban Parahu
By : Asep Nendi R.
Sabtu, 110709
Sehari menjelang perjalanan bersama Klab Aleut menyusuri kawasan utara Kota Bandung, persiapan fisik sepertinya terabaikan padahal sudah lama sekali aya tidak berolahraga. Yang menjadi perhatian adalah sepatu trekker saya yang sudah tidak nyaman lagi, karena alasnya yang sudah tipis. Akhirnya sepetu itu saya bawa ke tempat sol di sekitaran rumah, hasilnya sepatu kembali nyaman….

Minggu, 120709
06.00
Pagi buta tanpa sarapan nasi terlebih dahulu, tidak seperti biasanya, saya langsung mandi. Sereal dan susu cukup membuatku kenyangg pagi itu.

06.45
Saya berangkat dari rumah berjalan kaki menuju Sirnagalih, untuk kemudian menggunakan angkot St. Hall-Lembang menuju Ledeng.

07.15
Tiba di seberang terminal Ledeng saya berjalan kaki sedikit menuju meeting point di Indomart Ledeng, persis di sebrang Puskesmas Ledeng. Di sana sudah ada tiga orang yang menunggu (Ayan, Adi, Eko). Sambil menunggu pegiat lain datang, saya membeli sedikit bekal untuk perjalanan nanti ; 2 botol minuman elektrolit dan sebungkus roti.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya 22 orang pegiat mulai bersiap berangkat. 22 orang dalam satu angkot, Yup Amazing….
Semua pegiat terlihat menikmati situasi berdesak-desakan di dalam angkot, saya sendiri beruntung karena hanya menggantung di pintu, berdua bersama Yanto. Udara segar menjadi milik saya kala itu, meskipun sedikit pegal karena harus terus bergantungan.
Starting point perjalanan di terminal Parongpong tepat di gerbang masuk Vila Istana Bunga, disana menunggu satu pegiat lain (Yanstri), setelah berdoa dan briefing, perjalanan dimulai.
Pimpinan rombongan hari itu Adi Nugraha, tapi dengan sok tahunya saya merubah jalur awal perjalanan, idenya muncul karena malas berjalan di atas aspal berpanoramakan bangunan mewah.

Alhasil, meskipun agak bingung, kita sampai di Ciwangun, tepat di pinntu wanawisata Curug Tilu Leuwi Opat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam 10 menit, molor jadi 30 menit. Pegiat pun mulai berkeringat…..
Tapa diduga di pintu Curug Tilu Leuwi Opat saya bertemu pelatih tari Lises berserta istrinya.
Setelah sejenak bertegur sapa, perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya perjalanan menanjak mulai merongrong, pemanasan, sampai tiba di area desa Ciwangun, sejenak berfoto di areal rumah panggung (khas jaman dulu). Perjalanan berlanjut, sampai tiba di Pabrik Pengolahan/Produksi teh di Sukawana, yang menurut Bapak BR, produksinya yang nomor 1 dijual ke Inggris (Lipton), dan kualitas rendahnya di pasarkan di Indonesia. Aroma teh yang menyengat membuat kepala saya agak pusing, sehingga saya hanya memperhatikan dari kejauhan….

Perjalanan berlanjut, melalui kebun teh yang mirip lingkar labirin. Panas terik mentari mengiringi perjalanan itu, hingga sampai di sebuah tempat yang agak lapang dan cukup luas. Pemandangan kota Bandung dari atas terlihat sangat jelas, dilingkung gunung heurin ku tangtung, Bandung benar-benar padat, meskipun dari atas. Di sana Bapak Ridwan menunjukkan bekas Danau Purba Bandung yang mencekung agak ke arah Barat, kemudian ditunjukkan deretan perbukitan/gunung yang membelah Danau Bandung menjadi dua bagian, yaitu Danau Timur dan Danau Barat.
Dijelaskan rangkaian perbukitan atau gunung tersebut merupakan pematang tengah, yang berupa gunung api tua, dengan batuan intrusif yang muncul pada zaman tersier. Bahkan beberapa daerah menghasilkan batuan yang nilainya sangat berharga (mis: garnet). Beberapa gunung tersebut sedang dalam proses penghancuran, penambangan pasir dan batu dilakukan sudah sejak lama, demi kebutuhan perumahan di kawasan Bandung. Kawasan yang memanjang tersebut diantaranya terdapat ; Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Pasir Kamuning, sampai ke pegunungan/perbukitan di Selatan Cimahi.
Terik mentari tidak menghalangi minat kami untuk mengira-ngira bentuk dari Danau Bandung Purba dan seperti apa Bandung kala itu…..

Matahari mulai naik ke atas kepala kami, dan perjalanan pun dilanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Benteng Pasir Ipis, saya sendiri baru mendengar nama itu. Memasuki kaki Gunung Tangkuban Parahu, meskipun tidak menanjak, debu dan tanah yang kering menjadi musuh kami… tidak hanya debu, kami pun disajikan hidangan asap pekat knalpot yang penuh CO2 dari para kroser yang melewati, juga tanpa sopan santun. Sepertinya masa kecil mereka terkekang, tidak boleh main kotor apalagi keluar masuk hutan, sehingga masa kecil mereka kurang bahagia dan sudah tua kurang ajar…..!!!
Setelah berhenti sejenak untuk menghindari kepulan asap knalpot, perjalanan dilanjutkan menuju lokasi Benteng, meskipun awalnya kami dibuat bingung oleh Bapak Ridwan mengenai keberadaan Benteng tersebut. Konon, Benteng Pasir Ipis merupakan benteng pertahanan Belanda pada Perang Dunia I (sekitar 1930an). Peralatan yang kami bawa tidak memadai (golok), sehingga ilalang dan semak belukar menjadi sulit untuk dikalahkan. Berfoto sejenak cukup mengobati rasa keingin tahuan kami, sepertinya…
Makan siang pun menjadi agenda selanjutnya, dan terima kasih pada Saudara Cici yang telah menawari saya bekalnya, tanpa rasa malu.. HAJAR…!

Perjalanan dilanjutkan, lagi-lagi Bapak Ridwan bertanya mengenai jalur (ngetes jigana mah), tanpa ragu saya bersama Eko langsung menunjukkan jalur pendakian yang bukan memutar untuk masuk ke kawasan wisata… Nanjak….
Nanjak…..

Masih Nanjak….
Terus Nanjak….

Senyum miris pegiat lain mulai menghantui, seiring tanya yang sama yang terus mereka lontarkan… “masih jauh?” dan “masih lama?’
Hingga akhirnya kami terpaksa beberapa kali berhenti, selain karena lelah, lagi-lagi karena kroser yang tidak mau mengalah.

15.00an
Tibalah kami di puncak, tepat di muka kawah Upas (katanya)… Mantaph….
Disana kami bertemu para kroser yang dengan bangganya berkata…
“dulu jalan ini menanjak, namun setelah dibuka jalur jadi tidak berbahaya lagi, salah satu jalur klasik…”
Saya yang tak mau kalah bersombong ria menjawab, “saya mah resep mapah ka gunung mah, soalna tiasa balap lumpat bari ucing sumput”
Klab Aleut 1 vs 0 Kroser

16.00an
Setelah berfoto dan beristirahat, perjalanan turun dimulai. Menuju terminal di atas Gunung Tangkuban Parahu.
Terjal, bahkan satu jalur dibuat safety lines dengan 4 webbing dan 1 rope…
Perjalanan turun pun diselang beberapa kali istirahat, untuk sekedar berfoto dan jajan. Misalnya di warung dekat Tower (lupa namanya).
Ketika seorang teman bersandar di tugu batu yang tinggi, seorang pemilik warung menunjukkan kalau itu adalah makam 3 orang Belanda, tugu batu yang sudah dipenuhi vandalisme itu anonim, tapi rangka baja sepertinya agak menandakan itu tugu Belanda…..

17.15
Setelah berfoto bersama, kami pulang menuju meeting point menggunakan angkot dengan tarif Rp. 15,000 per orang.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat, karena tidak memilih jalur utama (setiabudhi-lembang). Tepat beberapa saat setelah adzan Magrib kami tiba, dan setelah penutupan kami mulai membubarkan diri. Saya sendiri berjalan kaki bersama Galih dan Yanstri sampai tepat di Gerbang Utama UPI. Disana kami berpisah, karena mereka sholat.
Niat jalan kaki sampai Gerlong pun diurungkan, karena saya naik angkot di sekitaran Panorama.
Maklum, takut digodain… dan futsal teu jadi…!!!

Aleut! Masih ada!

Karena akhir2 ini banyak temen2 saya yang nanya2 soal Klab Aleut, ngapain aja, kemana aja, kenapa gak melulu jalan2 lagi, dll.. saya ingin ngasih info dikit ttg Klab Aleut yang dikopi dari Official FB nya Aleut

Kegiatan intensif Aleut belakangan ini masih dengan tema-tema : wisata-sejarah, apresiasi wisata, apresiasi sejarah, apresiasi film, apresiasi musik, apresiasi kuliner, belajar menulis dan fotografi.. dan masing2 kegiatan ada porsinya, dan kebeneran apresiasi sejarah dgn jalan2 masih jadi porsi terbesar..

Sedangkan program2 lain juga asik2 kok. Misalnya kaya apresiasi musik , kemarin kita mengadakan diskusi musik ddl, dengan bahan diskusinya adalah musik2 yang temen2 bawa sendiri, dan tidak ada cela-mencela dan gontok-gontokan hehehe…

terus ada apresiasi film yang kita namakan KINE ALEUT. Kegiatan ini maknyus tenan, nonton gratis, terus ada diskusinya gitu, diskusi santai aja, tipe dan genre filmnya juga macem2 kok, nggak cuma sejarah aja.. contoh film yg udah pernah ada Cinta dalam sepotong roti, Oeroeg, dll! cutting edge lah pokoknya

Lalu ada juga belajar menulis. Nah kalo yang ini mantep banget. Caranya, setelah kita habis kegiatan, para Pegiat Aleut (anggota), di sunnah kan untuk menulis review dari kegiatan yang tadi diikuti, bisa di FB, Multiply, blogspot, wordpress, asal bukan di twitter hehe. Dan hasil tulisan temen2 pun samasekali nggak akan teronggok nggak berguna, karena aka dibundel untuk jadi catatan tahunan Klab Aleut, dan insyaallah pun besar kemungkinan untuk dikomersilkan (dicetak oleh penerbit dan dijual bebas) mantep kann??.. Nah soal tulis menulis, Klab Aleut juga pernah menulis untuk semacam Guide Bandung, yaitu Bandung : Where To Go, yang diterbitkan oleh grup Intisari dan sudah bisa didapatkan di TOko Buku besar di kota anda..hehe keren kaan?? dapet duit lagi kalo diterbitin..

Nah kalo program apresiasi sejarah mah gak perlu ditanya lagi, jalan2 ke tempat2 sejarah yang mungkin bahkan belum pernah kalian dengar, dan bayangkan sebelumnya, yang sangat menantang, dan seringkali menyuguhkan eksotisme tersendiri..serius!

Nah ini contohnya waktu kita menyusuri bantaran Sungai Cikapundung, dan nemu tunnel air buatan Belanda! dan maen2 di sungai, hingga mencapai Curug Dago.. asik kaann!!

Dari jalan2 seperti itu, nggak hanya fun yang kita dapet.. kalo kita bisa memaknai dengan baik, kita juga bisa menganalisis apa saja yang kita lewati, karena kadang dengan berjalan kaki kita bisa menemukan paradigma berbeda dalam memandang sesuatu..bener nggak..

Seperti pada foto diatas, Klab Aleut jalan dengan tema “Taman di Bandung”, dari perjalanan itu, kita bisa tahu bagaimana minimnya ruang terbuka hijau di kota Bandung, bagaimana kondisi dulu dan sekarang, dll. Yang (harusnya) menggugah kita untuk lebih cinta sama hijau2 di kota tercinta ini..

nah ini orang yang sadar setelah ikut jalan2 sama Klab Aleut

nah, Untuk siapa pun yang ingin bergabung dengan Klab Aleut, silakan datang ke Jln. Sumur Bandung No. 4 atau hubungi Ryzki (085624253835), atau Bey (085624666243). Pendaftaran hanya Rp. 5.000,- (limaribu perak) itu juga buat biaya ganti pin keanggotaan. Semua kegiatan Klab Aleut tidak dipungut biaya alias gratis..kalo kegiatan, semua biaya tuh cuma untuk kamu sendiri, naek angkot, keluar duit ya buat biaya sendiri, dari saku masing2 langsung ke supir angkotnya, nggak ada panitia2an.. mantep!!

kalo kamu suka sesuatu yang lain drpd yang lain, pasti suka ikut Aleut! feel free to persuade you friend.. this note is free to be copied and re-posted

info lebih lanjut : http://www.facebook.com/friends/?ref=tn#/profile.php?id=1220483143&ref=ts

Jajal Geotrek II : Pangalengan

By : Ridwan Hutagalung

Truedee (Truedee Pustaka Sejati) pada hari Sabtu lalu (28 November 2009) menyelenggarakan Jajal Geotrek II ke Pangalengan dengan jumlah peserta sekitar 60 orang (mungkin dikurangi oleh beberapa orang yang batal ikut). Para penjajal ini berangkat dari halaman kampus ITB sekitar jam 7 pagi dengan
menggunakan dua buah bis. Jajal Geotrek II hanya mengambil sebagian kecil saja rute Geotrek 9 yang terdapat dalam buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, yaitu beberapa stop (atau spot) di sekitar Pangalengan. Walaupun hanya sebagian kecil, namun waktu yang dibutuhkan untuk menjalani rute ini ternyata mencapai satu hari penuh.

Saya berada di bis pertama dengan interpreter T. Bachtiar (TB), geograf berenergi tinggi yang selalu terlihat antusias dalam membangkitkan kesadaran masyarakat agar lebih mencintai Kota bandung. Sementara di bis kedua ada geolog Budi Brahmantyo (BB) sebagai interpreter. BB yang lebih kalem ini tak kurang energinya bila sudah bercerita tentang lingkungan dan proses-proses geologi yang terjadi di sekitar kita. Sungguh beruntung seluruh peserta Jajal Geotrek II ini karena didampingi langsung oleh dua interpreter yang andal dalam berbicara mengenai lingkungan Bandung.

Stop pertama di Gunung Puntang. BB menjelaskan beberapa tipe gunung api (dan sungai) yang disambung oleh TB dengan topik toponimi (dan etimologi) Malabar. Di sini seluruh peserta dapat menyaksikan peninggalan sejarah berupa puing-puing bangunan bekas kompleks stasiun pemancar pertama di Hindia Belanda. Kegiatan dilanjutkan dengan susur sungai Cigeureuh ke arah hulu. Perjalanan di tengah arus sungai ini adalah yang paling mengesankan. Di ruang yang lebih terbuka, Masih di atas badan sungai, di ruang yang lebih terbuka, BB bercerita tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kompleks Pegungungan Malabar sambil menjawab beberapa pertanyaan dari peserta. Saya yakin kuliah di atas sungai ini akan menjadi kuliah paling menarik bagi kebanyakan peserta.

Stop kedua di Rumah Bosscha. Di stop ini acara utamanya adalah makan siang yang enak. Soto Bandung dengan tempe, perkedel, telor rebus, dan sambal yang aneh karena tidak pedas. Sebelum makan BB sempat bercerita tentang peristiwa gempa bulan September lalu dan berbagai sebab yang menjelaskan kenapa daerah Pangalengan mengalami kerusakan cukup parah. Usai makan para peserta berkesempatan untuk melihat-lihat bagian dalam Rumah Bosscha yang tampak porak-poranda. Jamuan terakhir adalah tee dan kopi yang cawerang banget, hehe..

Stop ketiga di dekat kebun teh tua dari Assam, India, untuk menyaksikan dan bercerita tentang bentang alam Gunung Wayang-Windu serta proses-proses geothermal.

Stop keempat di kebun teh tua ternyata hanya berhasil mengusir pasangan yang sedang mojok di kerimbunan pepohonan teh yang tingginya mencapai 5-6 meter. Hujan yang menderas membatalkan kuliah di stop ini.

Stop kelima di tugu dan makam Bosscha diselingi insiden kecil tertabraknya seorang peserta oleh motoris yang tidak bertanggungjawab. Sungguh luar biasa, di bawah guyuran hujan semua peserta tampak terpesona oleh ceramah umum yang disampaikan bintang tamu of the day, Pak Upir, persis di depan makam Bosscha. Ceramah luar biasa ini berakhir antiklimaks saat Pak Upir bertanya, “sebentar, ini pesertanya ada berapa orang?.”

Stop keenam di sisi Situ Cileunca. Gerimis masih berlangsung intensif sehingga tidak banyak peserta yang turun ke tepi danau. Sebagian besar berdiri saja di sisi jalan mengamati bentangan alam yang tersaji di depan. Situ Cileunca sebetulnya merupakan danau kembar buatan di kawasan hutan belantara yang mulai dibuka pada tahun 1917. Kawasan hutan ini dimiliki secara pribadi oleh seorang Belanda bernama Kuhlan. Pembangunan danau seluas 390 hektare dan berkedalaman 17 meter ini berlangsung dari 1919 hingga 1926.

Stop ketujuh atau terakhir di Cukul Tea Estate berlangsung agak muram. Setelah iming-iming dan bayangan tentang keindahan Rumah Jerman (rumah dengan gaya tradisional Eropa), ternyata para peserta harus terhenyak menyadari bahwa rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Yang tersisa di tempatnya hanyalah tumpukan berangkal dan gudang kecil yang sebelumnya merupakan bagian belakang rumah tersebut. Bangunan indah dan langka itu ternyata telah rata tanah akibat gempa. Kesedihan terlebih melanda sebagian peserta yang pernah menikmati keindahan rumah kayu itu dalam perjalanan Tambang Emas Cibaliung bersama Mahanagari pada bulan April lalu. Apa boleh buat …

Stop ketujuh sekaligus juga menutup seluruh rangkaian perjalanan Jajal Geotrek II dari truedee hari ini. Perjalanan dengan rute yang mungkin biasa saja namun saya yakin sudah mampu memberikan efek luar biasa bagi segenap pesertanya, termasuk saya sendiri yang relatif sudah sering aprak-aprakan di wilayah ini. Terimakasih untuk truedee, T. Bachtiar, dan Budi Brahmantyo. Semoga semua upaya ini betul-betul dapat menjadi inspirasi bagi semuanya dalam menumbuhkan kecintaan yang mendalam terhadap Kota Bandung. Kecintaan yang tidak berakhir di mulut, namun dalam perbuatan yang nyata.

Ridwan Hutagalung
30 November 2009

Sedikit catatan tambahan (aspek sejarah populer saja) tentang objek yang disinggahi dalam Jajal Geotrek II.

1) Stasiun Radio Malabar / Gunung Puntang
Kawasan wisata Gunung Puntang yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Malabar, terletak di Desa dan Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Kawasan ini sempat pusat perhatian dunia pada tahun 1923 karena saat itu pemerintah Hindia Belanda berhasil mendirikan stasiun radio pemancar yang pertama dan terbesar di Asia. Untuk memancarkan gelombang radio digunakan bentangan antena sepanjang 2 km antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Kontur lembah di kawasan yang terpencil ini ternyata sangat mendukung efektivitas rambat gelombang yang mengarah langsung ke Nederland. Sebagai pendukung tenaga listriknya, dibangun pula sejumlah pembangkit listrik, di antaranya PLTA Dago dan PLTA Plengan dan Lamadjan (di Pangalengan) serta sebuah PLTU di Dayeuh Kolot.

Pada tahun 1923 dibangun pula sebuah kompleks hunian bagi para karyawan stasiun pemancar ini. Kompleks yang disebut sebagai Radiodorf (Kampung Radio) ini memiliki sejumlah fasilitas seperti rumah karyawan, gedung pemancar, lapangan tenis, kolam renang, dan konon juga sebuah bioskop. Sayang semuanya kini hanya tinggal puing berserakan saja. Di seantero kawasan ini bisa dengan mudah kita temui sisa-sisa bangunan, bekas-bekas fondasi yang sering tertutup semak, serta sisa-sisa antena yang masih tersebar di area pegunungan. Saat ini di reruntuhan bangunan yang tersisa dipasang plakat-plakat nama para pejabat yang pernah tinggal di situ.

Perintisan dan pembangungan Stasiun Radio Malabar dilakukan oleh seorang ahli teknik elektro Dr. Ir. C.J. de Groot sejak 1916. Pembangunan antena di Gunung Puntang sudah dilakukannya sejak 1917. Setelah mengalami kegagalan, de Groot akhirnya bisa menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 1923 (antena Telefunken yang diterima di Batavia pada 1919, baru selesai terpasang pada 1922). Stasiun Radio Malabar kemudian diresmikan oleh Gubernur Jenderal de Fock pada tanggal 5 Mei 1923.
Dr. de Groot yang meninggal pada tahun 1927 kemudian hari dikenang melalui sebuah nama jalan di Bandung Utara, Dr. de Grootweg (sekarang menjadi Jalan Siliwangi), sedangkan peristiwa telekomunikasi pertama diperingati melalui pendirian sebuah monumen berbentuk dua orang anak telanjang yang sedang berkomunikasi mengapit sebuah bola dunia di Tjitaroemplein. Sayangnya monumen tersebut sudah tidak ada lagi sekarang. Di bekas lokasinya sekarang didirikan Mesjid Istiqomah.

Stasiun Radio Malabar mengakhiri masa jayanya pada tahun 1946 dengan terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api. Saat itu empat pemuda dari Angkatan Muda PTT yang bertugas menjaga Stasiun Radio Malabar menerima perintah dari Komandan Resimen yang sedang berada di Citere, Pangalengan. Isi perintahnya adalah penghancuran Stasiun Radio Malabar.

Radiodorf dan Stasiun Radio Malabar

Berbagai peralatan pemancar radio di Stasiun Radio Malabar

Reruntuhan Radiodorf

Sisa Kolam Cinta

2) Karl Albert Rudolf Bosscha
Perkebunan Teh Malabar sudah dibuka sejak tahun 1890 oleh Preangerplanter bernama Kerkhoven yang sebelumnya sudah membuka perkebunan teh di daerah Gambung, Ciwidey. Namun popularitas kawasan Kebun Teh Malabar berkembang dan memuncak setelah Kerkhoven mengangkat sepupunya, Bosscha, untuk menjadi administratur perkebunan ini pada tahun 1896.

Selain perkebunan, sejumlah jejak Bosscha lainnya masih tersebar di kawasan ini. Di antaranya sebuah rumah tinggal yang saat ini sedang direnovasi akibat kerusakan yang cukup parah oleh gempa bumi pada bulan September lalu. Sebelum kerusakan ini, berbagai barang pribadi peninggalan Bosscha masih tersimpan dan tertata rapi di rumah ini. Saat ini barang-barang tersebut diungsikan ke sebuah gudang sampai renovasi selesai dilakukan. Salah satu spot favorit Bosscha di perkebunan ini adalah sebuah hutan kecil yang sekarang menjadi lokasi makam dan tugu Bosscha. Beberapa pohon besar (termasuk yang langka) memberikan keteduhan pada kompleks makam ini.

Tak jauh dari makam, terdapat suatu area dengan pohon-pohon teh yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Pohon-pohon teh yang mencapai tinggi hingga 6 meter ini berasal dari biji-biji teh Assam (India) yang ditanam pada tahun 1896. Biji teh dari Assam inilah yang kemudian menjadi bibit bagi perkebunan teh di sekitar Pangalengan. Di belakang pasar Malabar hingga saat ini masih dapat juga ditemui sebuah rumah panggung tempat tinggal para buruh perkebunan di masa Bosscha. Konon rumah panggung yang sekarang dikenal dengan nama Bumi Hideung ini didirikan pada tahun 1896, saat yang sama dengan berdirinya Perkebunan Teh Malabar.

Nama Bosscha sebenarnya tak dapat dipisahkan dari Kota Bandung. Sifatnya yang dermawan telah melibatkannya dalam berbagai perkembangan dan kemajuan Kota Bandung di masa lalu. Beberapa di antaranya : pembangunan Technische Hooge School (THS atau ITB sekarang) beserta fasilitas laboratoriumnya, Sterrenwacht (peneropongan bintang) Bosscha di Lembang, PLTA Cilaki di Gunung Sorong, serta berbagai sumbangan untuk Doofstommen Instituut (Lembaga Bisu Tuli) dan Blinden Instituut (Lembaga Buta) di Jln. Cicendo dan Jln. Pajajaran, Leger des Heils (Bala Keselamatan), dan beberapa rumah sakit di Bandung.

Pohon Teh Assam

Perkebunan ini banyak berperan dalam pembangunan Kota Bandung pada masa Hindia Belanda.

Sumber tulisan :
– Wisata Bumi Cekungan Bandung (Brahmantyo & Bachtiar, Truedee Pustaka Sejati, Bandung, 2009)
– Jendela Bandung (Her Suganda, Penerbit Buku Kompas, Bandung, 2007)
– Radio Malabar – Herinneringen aan een Boiende Tijd 1914-1945 (Klaas Djikstra, pdf version)
– Buklet Radio Station Malabar en Overige Stations op de Bandoengsche Hoogvlakte (Gouvernements Post-Telegraaf en Telefoondienst in Nederlandsch-Indie, 1928)
– catatanide.multiply.com, ketjesuretje.multiply.com
– Artikel-artikel koran PR dan Kompas.

Karst Citatah, Riwayatmu Kini

By : Yanstri M.
<11 Oktober 2009>

Oahhmmm, rasanya mata ini masih ingin terpejam. Empuknya kasur dan hangatnya selimut masih melenakanku, tapi aku harus segera bangun. Ya, pagi ini Aleut akan mulai penjelajahan lagi. Kali ini Pegiat Aleut akan berkunjung kembali ke Gua Pawon untuk kedua kalinya di tahun ini. Hanya saja kali ini kami tidak berkunjung ke Gunung Hawu dahulu seperti perjalanan di bulan Maret, langsung menuju Pasir Pawon dan Gua Pawon. Gua Pawon terletak di Kawasan Karst Citatah, Jl. Raya Gn. Masigit, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing akibat kurang tidur, aku bergegas menuju ke Gedung Merdeka tempat meeting point kami. Kala itu waktu menunjukkan pukul 07:10. Baru ada beberapa Pegiat Aleut dan rombongan penggemar sepeda onthel yang berkumpul di depan Gedung Merdeka. Sambil menunggu pegiat yang lain, kami menikmati aktivitas yang ada di sekitar Gedung Merdeka. Beberapa kali mataku sempat terpejam, tak kuat menahan kantuk.

Kami masih menunggu satu orang teman yang masih dalam perjalanan. Akhirnya, sekitar pukul 8 kami mulai perjalanan dengan menggunakan Bis Damri jurusan Alun-Alun – Ciburuy. Kali ini kami memilih menggunakan bus AC supaya pegiat yang ingin beristirahat (tidur) sebelum memulai petualangan bisa merasa nyaman. Karena kami terbiasa menggunakan bis Non AC, beberapa teman bergegas menggunakan jaket untuk menahan hawa dingin yang cukup menggigit. Entah karena AC-nya memang kencang atau karena hanya ada sedikit penumpang yang bersama kami kala itu sehingga dinginnya cukup terasa.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, tibalah kami di pemberhentian terakhir bus yaitu di Situ Ciburuy. Beberapa teman yang tidak membawa bekal makan siang bergegas mampir ke warung makan yang ada di sekitar situ (kata BR sayur buncisnya yahud, patut dicoba tuch!). Lainnya berkunjung ke Alfamart untuk membeli minuman. Ternyata ada yang berbeda dari terakhir kali ketika aku berkunjung ke sana. Dahulu di depan Situ Ciburuy belum berdiri gerai Alfamart. Setelah semua pegiat berkumpul kembali, perjalanan dilanjutkan menggunakan angkutan umum bertarif Rp. 1.500,-/orang.
Taman Batu (Stone Garden)
Pemberhentian kami selanjutnya adalah mesjid yang berada di dekat jalan yang menuju Taman Batu. Jalanan berbatu mulai menanjak. Melewati sebuah pabrik dan perkebunan singkong penduduk di sisi kiri dan pohon cemara di sisi kanan. Jalanan semakin terjal, melewati gugusan batu-batu kapur, kami terus naik menuju puncak Taman Batu.

Terasa sekali perbedaan suasana di sekitar Taman Batu. Saat kami berkunjung ke sana di bulan Maret masih terdapat banyak batu-batu besar yang membuat kami agak kesulitan untuk menuju puncak Taman Batu. Saat ini, sebagian batu besar tersebut sudah hilang digantikan dengan ladang penduduk. Selain itu, terlihat saung-saung tempat peladang beristirahat. Kami sempat ditegur oleh penduduk setempat akibat menginjak ladang mereka yang baru dicangkul.
Di Taman Batu kami sempat melihat sebuah kuburan yang menurut keterangan BR baru ada di sana setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. Di sana BR juga sempat memberi sedikit penjelasan mengenai proses terbentuknya kawasan Pasir Pawon dan mengenai guratan-guratan yang terdapat di batu-batuan yang ternyata berasal dari sisa-sisa plankton. Ternyata kawasan Pawon dahulu merupakan bagian dari Danau Bandung Purba.
Puas berfoto-foto kami turun melalui samping ladang penduduk. Kami sempat melewati pabrik pengolahan batu gamping dan melewati tempat pembakaran karet yang asapnya sangat pekat membuat kami harus menutup hidung agar tidak terlalu banyak menghirup asap tersebut. Di kanan terlihat bukit kapur terjal yang mulai hilang sebagian sisinya akibat terus diambil oleh pelaku industri. Hal tersebut bisa terlihat dari perbedaan warna bukit tersebut. Bukit yang masih asli, belum terjamah tangan manusia, berwarna kehitaman. Sedangkan bukit yang sudah dikeruk oleh manusia berwarna coklat kemerahan. Malang nian nasib karst citatah. Perlahan tetapi pasti menuju kepunahannya.
Perjalanan diteruskan menuruni “tanjakan frustasi”. Kondisi menuju tanjakan tersebut juga sudah berubah. Sepertinya ada truk yang pernah melewati jalur tersebut terlihat dari bekas-bekas ban dan hilangnya sebagian gundukan tanah di pinggir jalan menuju tanjakan frustasi. Kami juga sempat mencari bibit pohon yang pernah kami tanam. Ternyata sebagian besar bibit tersebut sudah tidak ada wujudnya.
Akhirnya, tibalah kami di saung yang terletak di bawah gua pawon. Situasi di sini pun sudah berbeda. Dahulu di sini ada 2 buah saung, sekarang hanya tertinggal satu buah. Ada pemandangan baru yang cukup menarik, di sana terdapat satu buah pendopo yang seingat saya belum ada ketika saya berkunjung ke sana pertama kali. Selain itu, terdapat 2 buah sarana wc umum yang sayangnya dalam keadaan terkunci sehingga kami sebagai pengunjung Gua Pawon tidak dapat memanfaatkan sarana tersebut. Setelah berisitirahat sejenak sambil mengisi perut yang mulai keroncongan, kami melanjutkan perjalanan menuju Gua Pawon.
Gua Pawon
Baru mulai menapaki tanjakan menuju Gua Pawon kami sudah disambut bau tidak sedap yang berasal dari guano (kotoran kelelawar) yang membuat perut saya terasa mual. Bergegas saya mencari ruang terbuka di sisi Gua Pawon. Berjalan sedikit ke dalam, di sebuah ceruk kita bisa menikmati sekumpulan kelelawar yang asyik berputar tiada henti.
Untuk masuk lebih dalam kami harus melewati ceruk yang cukup rendah, yang membuat kami terpaksa membungkuk dan memanjat untuk melewatinya. Di dalam gua kami menemukan pagar besi yang di dalamnya terdapat replika manusia pawon. Menurut keterangan yang saya baca di salah satu blog, manusia Pawon kemungkinan adalah manusia tertua di Bandung.
Tempat ditemukannya Manusia Pawon
Replika Manusia Pawon
Kami terus turun ke Bawah. Di sana kami bertemu dengan sekelompok pencinta alam yang sedang bersiap-siap untuk mendaki tebing di dalam Gua Pawon. Dari jendela yang ada di Gua Pawon kita bisa memandangi kawasan Cibukur. Pemandangan dari puncak tersebut sangat indah. Tapi kita harus berhati-hati agar tidak tergelincir yang bisa berakibat fatal.
Pemandangan Lembah Cibukur dilihat dari atas Gua Pawon
Puas berfoto ala manusia Pawon, kami menuju warung yang ada di sekitar rumah penduduk. Untuk mencapai warung tersebut kita harus melalui jalanan menurun di samping pendopo. Kami berhenti sejenak untuk melepas dahaga dengan minuman dingin yang menyegarkan. Beberapa peserta berdoa semoga turun hujan, karena suhu udara saat itu cukup panas, matahari bersinar sangat terik. Sayangnya doa tersebut tidak terkabul. Sehingga kami tetap harus berjalan dalam naungan teriknya sang surya.
Perjalanan pulang dilanjutkan melintasi rumah penduduk dan sawah-sawah. Seorang peserta sempat ketakutan ketika kami melewati kandang kambing yang ada di sebelah rumah penduduk. Usut punya usut ternyata dia trauma dengan kambing.
Setelah melewati sawah, kami masuk ke kebun jambu biji. Buahnya sangat menggoda kami, seakan memanggil-manggil untuk dipetik.
Kami terus berjalan melewati rumah penduduk, melalui jalanan berbatu yang mulai menanjak. Rasanya energi benar-benar terkuras. Kami masih harus berjalan sekitar 500m untuk mencapai jalan raya.
Akhirnya, sampai juga kami di tepi jalan raya dengan perasaan lega. Perjalanan pulang menggunakan rute yang sama dengan saat berangkat. Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan.

Sayang sekali keindahan alam yang terbentuk jutaan tahun yang lalu musnah hanya dalam sekejap mata. Tak bolehkah generasi masa depan menikmati keindahan tersebut. Tak bolehkah mereka merasakan apa yang bisa kita nikmati sekarang. Apakah di masa depan mereka hanya dapat melihat bentuk batu kapur dari selembar foto, dari sebongkah batu yang tersimpan di museum. Atau mereka harus pergi ke negeri orang hanya untuk merasakan dan melihat rupa batu kapur. Tegakah kita membiarkan mereka hanya mengenal yang namanya hutan beton tanpa pernah merasakan nikmatnya berpetualang sambil menikmati keindahan alam?

Ngaleut Ka Jaya Giri

By : Yanstri M.
Minggu (06-11-2009) saya dan 7 (tujuh) Pegiat Aleut lainnya berkumpul di depan Museum Sri Baduga. Pada awalnya kami berencana akan berkunjung ke Gn. Puntang. Tetapi karena jumlah pegiat yang hadir hanya sedikit, membuat kami merubah haluan. Akhirnya diputuskan untuk menelusuri Wana Wisata Jaya Giri dan sebagian jalur Geotrek 1 dari Buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Titik awal perjalanan kami adalah Pasar Lembang melalui jalur yang menuju Taman Junghuhn. Kami sempat berkunjung ke taman tersebut. Ini merupakan kali kedua saya berkunjung ke sana. Tidak jauh dari Tugu Jughuhn, yang juga merupakan makam dari Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, kami menemukan sebuah makam lain yang menurut dugaan kami merupakan makan sahabat Junghuhn. Junghuhn merupakan pelopor budidaya kina di Jawa Barat. Beliau lahir di Mansfield/Magdeburg pada 26 Oktober 1809 dan wafat di Lembang pada 24 April 1864. Sejak tahun 1856 hingga akhir hayatnya, Franz Wilhelm Junghuhn bertugas mengelola perkebunan kina pertama di Jawa Barat.

Perjalanan pun berlanjut. Kami sempat terpikir untuk berkunjung ke Benteng Gn. Putri, tetapi karena perjalanan ke sana terlalu jauh maka diputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Wana Wisata Jaya Giri. Untuk masuk ke wana wisata tersebut pengunjung harus membayar retribusi sebesar Rp 4.000,- dan sumbangan PMI Rp 500,-. Jalanan terus menanjak membuat saya mulai terengah-engah. Saya merasa ada perbedaan dengan jalan yang kami lalui. Seingat saya, sewaktu pertama kali berkunjung pada bulan Juli 2009 jalanan yang kami lalui tidak terlalu lebar. Tetapi sekarang jalanan tersebut lebih lebar dan lebih landai. Sehingga kami tiba di lapangan yang merupakan titik pemberhentian pertama dalam waktu ± 1 jam. Di perjalanan kami bertemu dengan masyarakat sekitar yang sedang mengangkut kayu bakar dan sekelompok pencinta alam yang juga akan menuju ke Obyek Wisata Gn. Tangkubanparahu.
Kami sempat berdebat mengenai rute yang akan kami lalui selanjutnya karena ada beberapa alternatif jalan. Akhirnya kami mengambil rute yang menuju parkiran Jaya Giri. Di jalan yang kami lalui terdapat 2 (dua) buah pipa air yang membentuk seperti rel kereta api dan salah satunya berujung ke dam air. Lokasi ini cukup bagus untuk digunakan sebagai tempat foto pre wedding menggantikan rel kereta api. Hujan dan kabut menyambut kedatangan kami selewat parkiran Jaya Giri. Perjalanan yang akan dilanjutkan ke Kawah Domas terpaksa dihentikan sementara karena hujan semakin lebat. Udara dingin membuat cacing-cacing perut kami berteriak lagi minta diisi. Padahal belum terlalu lama kami “berpiknik” di Wana Wisata Jaya Giri.
Warung Ibu Kartini merupakan tujuan kami untuk memenuhi tuntutan perut. Beberapa pegiat termasuk saya tanpa ragu langsung memesan semangkuk mie rebus ditambah cabai rawit. Pegiat lainnya cukup puas mengisi perut dengan gorengan. Untuk semangkuk mie rebus+telur kami harus mengeluarkan uang sebesar Rp 7.000,-. Harga yang cukup mahal bila dibandingkan dengan harga mie rebus di warung kopi. Yah, harap dimaklumi, namanya juga tempat wisata. Tak apalah daripada kami harus menahan lapar.
Aroma belerang mulai memanggil kami untuk menyapa Kawah Domas. Jalanan yang kami lalui sempat menurun. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Kami harus sedikit melalui jalanan menanjak. Sekitar 300 m dari Kawah Domas kami sempat beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam. Hamparan kawah yang berwarna putih dan kebun teh nan hijau di kejauhan benar-benar membawa kedamaian. Perjalanan dilanjutkan menuruni tangga yang cukup curam dan licin. Tangga tersebut sangat lebar dan terkadang jarak antara tangga yang satu dengan yang lainnya bisa mencapai 25cm, yang dengan sukses membuat kaki saya kram. Beberapa meter sebelum mencapai Kawah Domas terdapat papan peringatan bergambar kaki dengan tulisan “kade tisoledat” (bahasa Sunda : awas tergelincir) yang memperingatkan pengunjung agar berhati-hati melangkah supaya tidak tergelincir.
Kepulan asap dan kolam-kolam air panas menyambut kami. Ada satu kolam yang airnya menggelegak. Pengunjung bisa merebus telur di sana, tetapi tidak disarankan untuk memasukkan anggota badan kecuali Anda memang berniat untuk membuat kaki rebus. Pengunjung yang ingin merendam kaki bisa memanfaatkan kolam-kolam kecil lainnya. Tak sedikit pengunjung yang menggunakan lumpur dari kolam tersebut untuk melulur kakinya, karena lumpur tersebut dipercaya bisa menghilangkan penyakit kulit seperti gatal-gatal. Jika ingin mengenal Kawah Domas lebih dalam bisa membaca papan informasi yang tersedia tidak jauh dari pintu masuk Kawah Domas.
Hari beranjak semakin sore. Hujan rintik-rintik mulai turun lagi. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah kami untuk melanjutkan perjalanan ke hamparan kebun teh yang sempat kami nikmati dari atas Kawah Domas. Melalui jalan setapak di belakang Kawah Domas kami mulai melangkah. Semakin ke dalam ilalang semakin rimbun. Beberapa kali kami harus menerobos terowongan ilalang. Pandan hutan berduri terkadang menggores lengan apabila kami tidak berhati-hati. Di kanan kiri jalan rimbunan pohon suplir mengiringi langkah kami.

Di tengah perjalanan kami dihadang hujan deras yang memaksa kami untuk segera menggunakan jas hujan. Langit semakin gelap, tetapi kebun teh yang kami tuju belum juga kelihatan. BR sempat berucap, “nanti kalau sampai kebun teh kita nyanyi bukit berbunga, ya”. Nyatanya begitu sampai kebun teh kami sudah lupa akan nyanyian apapun. Mata begitu terkesima akan pemandangan yang tersaji. Hamparan kebun teh dengan latar belakang pegunungan berselimut kabut membuat saya tak bisa berkata-kata. Mudah-mudahan masih bisa dinikmati juga oleh generasi masa depan.

Sayang kami tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan itu. Hujan deras, udara dingin dan langit senja memaksa kami bergegas menuju jalan raya. Kaki saya mulai terasa kram lagi. Terseok-seok saya paksakan diri melangkah. Akhirnya, tibalah kami ke Jalan Raya Bandung-Subang. Tetapi perjuangan kami belum berakhir. Kami harus segera mencari warung tempat berteduh dan segelas teh manis hangat untuk mengusir dinginnya senja. Perjalanan kali ini ditutup dengan berdesak-desakan di dalam elf yang membawa kami ke kota Bandung tercinta.

Ngaleut! Puntang – Curug Gentong

Ditulis oleh : Cici Asri Mustika

Peristiwa telekomunikasi ini terjadi berkat adanya stasiun Radio Malabar. Singkat cerita, hari Minggu kemarin (13/12/09) komunitas Aleut mengajak pegiat-pegiatnya untuk menjelajahi sisa-sisa kolonial di Puntang – Malabar. Semangat ? Sudah pasti ! Karena saya penasaran sekali dengan keberadaan Radio Malabar ini dan sudah sejak lama ingin melihat langsung sisa-sisa bangunannya. Berangkatlah saya dan 15 orang teman di minggu pagi itu. Oya, informasi lengkap mengenai stasiun Radio Malabar, bisa lihat catatan teman saya – Ayan – dan catatan teman saya juga – Bang Ridwan.

Kami berkumpul jam 8 pagi di seberang museum Sribaduga – Tegallega. Jam 9 lebih, kami mulai berangkat menggunakan angkutan umum langsung menuju Puntang. Untung Elgy gak ditinggalin (^^). Ongkosnya murah, Rp 6000.- saja. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, sampailah kami di gerbang gunung Puntang. Untuk memasuki wilayah ini, dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp 5000.- Tidak lama kami berjalan, sudah terlihat sisa-sisa kolonial berupa alas/peyangga pipa air yang terbuat dari batu, ukurannya besar-besar. Pipa besinya sendiri sudah tidak bersisa karena mungkin sudah diambil warga. Tidak jauh dari situ, dapat kita lihat kolam bekas penampungan air yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Jalan ke atas sedikit, dapat kita jumpai bangunan bekas rumah tinggal para pegawai radio Malabar, disebut Radio Dorf atau Kampung Radio. Dinding bangunan-bangunan ini terbuat dari batu dan sekarang tinggal puing-puingnya saja yang sudah tertutupi lumut dan tanaman liar. Kata Ayan, di salah satu sudut bangunannya ada plakat bertuliskan nama-nama orang yang ikut membangun kompleks Radio Dorf. Tapi gak berhasil nemu. Padahal penasaran banget bentuknya kayak gimana ..

Hari sudah siang tetapi perjalanan baru saja dimulai. Agar tetap bertenaga dan tidak kelaparan, istirahatlah kami di sebuah warung yang letaknya tidak jauh dari puing-puing bangunan tadi. Bala-bala masih menjadi makanan favorit di tiap perjalanan. (^^) Teh Ana, Yanstri, Eby dan Dimas lahap sekali menyantap baso kuah panas pedas a la Puntang.

Sambil mengisi perut dan mengumpulkan tenaga, Bang Ridwan mengobrol dengan pemilik warung. Saya ikut-ikutan nguping aja, siapa tahu dapat informasi menarik mengenai Radio Malabar ini. Beruntunglah kami mengobrol dengan Pa Edi. Kami dapat cerita lumayan banyak. Mengenai gua, ada yang bilang bahwa gua yang sekarang bernama Gua Jepang itu adalah tempat persembunyian. Tetapi Pa Edi bercerita, sejak awal, gua tersebut dibuat untuk pemancar radio. Mengenai kolam cinta yang terkenal dengan mitosnya itu, dahulu adalah kolam hias biasa saja sebagai bagian dari halaman depan kantor pusat Radio Malabar. Disebut kolam cinta mungkin karena bentuk kolamnya yang menyerupai hati. Dan mengenai hancurnya Radio Malabar, bukan karena pengeboman yang dilakukan oleh pihak Jepang, tetapi karena dihancurkan oleh warga Bandung sendiri. “Ieu sadaya direksak ku bangsa urang, ngarah Belanda henteu uih deui ka dieu” cerita Pa Edi. Bahkan jembatan Citarum – Dayeuh Kolot pun sengaja dirusak agar tidak ada yang bisa masuk ke wilayah ini. Pa Edi mendapatkan cerita ini langsung dari ayahnya yang merupakan salah satu pegawai Radio Malabar pada waktu itu.
Hmm .. Cerita yang menarik dan makin menambah rasa ingin tahu. Tapi apa daya, cerita harus dilanjutkan di lain waktu karena hari sudah terlalu siang dan kami masih ingin melanjutkan satu perjalanan lagi ke Curug Gentong.

Perjalanan yang jauh dan lumayan bikin paha pegel-pegel. Sebelum benar-benar mendaki, kami masih mendapati puing-puing bangunan kolonial di kiri-kanan jalan setapak. Keadaannya sama, hampir rata dengan tanah dan tertutup banyak tanaman liar. Kami dapati juga beberapa pasangan anak muda yang sedang berdua-duaan duduk di semak yang sepi dan terpecil (hihi .. uyuhan ga ararateul kena ulet dan hewan ateul lainnya^^).

Setelah melewati jembatan dan kolam cinta, mulailah kami menapaki jalan menuju curug. Ini kali pertama Aleut minta ditemani guide. Ya, khawatir tersesat dan kami belum begitu mengenal medan yang satu ini. Kami ditemani oleh tiga orang guide. Setengah jam perjalanan, tiga perempat jam perjalanan, satu jam perjalanan, masih aman-aman saja. Setelah kira-kira satu jam lebih perjalanan, kami mulai kelelahan. Istirahat sejenak, minum air jeruk dan makan sepotong coklat. Seperti biasa, jangan khawatir kelaparan kalau ada A Yanto dan Teh Ana. Memang sudah jadi kakaknya Aleut, gak pernah lupa bawa makanan banyak buat adik-adiknya. Hehe. Jeruk, mangga, duku, sampai ubi rebus pun gak ketinggalan. “A Yanto memang sahabat alam” kalo kata Ayan mah. Perjalanan sudah sejauh ini, dan saya yakin pasti sebentar lagi sampai ! “Masih satu jam lagi, Teh .. “ kata Akang guide. Wuaduuhh … Bujubuset dah ndroo … Kirain udah mau di akhir .. Ternyata masih setengah perjalanan. Huff.. Ayo semangat ! Jalan terus !!

Ada yang berbeda dalam perjalanan kali ini. Tanjakannya memang tidak begitu ekstrim, tapi kok saya merasa horror ya. Jalan yang kami lewati rimbuuun sekali seperti di hutan. Akang guide yang berada di depan saya sering sekali menebaskan goloknya. Syaatt .. syaatt .. syaatt .. (suara golok teh begini bukan ya? ^^) memangkas tanaman dan pepohonan liar di kiri-kanan jalan setapak, dibantu Adi yang pada waktu itu membawa golok juga. Ternyata, belum pernah ada yang melewati jalan ini sebelumnya, bahkan ke-dua guide kami sekalipun! Aleut yang pertama membuka jalur ini !! Waaw Amazing .. “Berarti jalurnya masih perawan!” kata Naluri. Lebih horror lagi karena sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati dengan pohon berduri. Jangankan pohon, daunnya pun berduri tajam dan bikin efek setruman (istilah Budhie) yang luar biasa! Hiii … Semakin liar saja perjalanan kami.

Untuk mencapai Curug Gentong, kami harus menyeberangi tiga sungai kecil dan – yang paling seru – mengikuti jalur air. Kukurusukan ? Pastinya .. ! Bukan Aleut namanya kalo ga pake kukurusuk.. ^^ Suara gemuruh air sebenarnya sudah terdengar, tapi kok belum sampai-sampai juga ? Tapi tidak menyurutkan semangat donk! Hajar teruss!!

Kurang lebih jam 3 sore, akhirnya sampai juga kami di Curug Gentong!! HWAAA .. Saya langsung bersuka cita dan berpelukan dengan Icha, setelah sebelumya melewati Shocking Bridge (Dimas, Bey dan Mpiw jangan bilang siapa-siapa yaa. Cuma kalian kan yang tau?^^). Lelah dan pegal yang kami rasakan digantikan dengan pemandangan curug dimana tumpahan-tumpahan airnya membuat mata dan badan menjadi segar seketika. Setelah itu kami mulai membuka bekal masing-masing. Baru kali ini saya merasakan nikmatnya makan mie goreng delapan jam (mie goreng yang dimasak delapan jam yang lalu. Heu2). Oh ya, curug ini mempunyai ketinggian 25 meter. Dinamakan Curug Gentong karena ketika surut, curug ini katanya terlihat seperti gentong. Lanjut makan-makan .. Biar tambah segar, jangan lupa mencicipi menu wajibnya Dilla, Nutrijel coklat! Selagi mengisi perut, tiba-tiba kabut turun! Indahnyaa … Walaupun tidak setebal kabut di Tangkuban kemarin, saya selalu suka melihat kabut! Selalu suka berada di dalam kabut! Saya sentuh-sentuh kabut itu, ingin sekali rasanya dibawa pulang .. ^^
Hari semakin sore dan kami harus segera turun, khawatir kemalaman di tengah jalan (padahal masih seneng main-main sama kabut). Tidak banyak kendala dalam perjalanan pulang, tetapi masih harus hati-hati dengan tanaman berduri dan harus lebih cepat melangkah karena hari mulai gelap. Kaki saya sudah lemas …

Untunglah kami sudah sampai di bawah tepat saat langit benar-benar gelap. Kami beristirahat kembali di warung yang pertama kami datangi tadi. Segelas susu panas cukup untuk menenangkan dan menghangatkan tubuh saya. Setelah beberapa lama, akhirnya angkot yang kami tunggu datang juga. Kami pulang naik angkot sampai Kebon Kalapa. Bikin lelah .. Tapi terbayar dengan bukti-bukti sejarah radio Malabar dan kabut indah .. (^^)
Mau kesana lagi ??

Gunung Puntang, nanti aku kembali

Ditulis oleh : Febya Stevaria Tangahu

Minggu pagi tanggal 13 Desember 2009, aku dibangunin sama ibu buat pergi ngaleut. Jam setengah 7 aku sudah siap berangkat di anter ibu, di perjalanan aku heran ko hari ini sepi ya jalan? Aku check sms di hp dan kubaca ternyata ngaleutnya jam 8! sial sudah buru-buru eh gataunya kecepetean.

Kami semua berkumpul di Tegalega depan Musium Sribaduga, karena aku sampe kesana jam 06.50 aku sms bey aja biar dateng cepet. Ga lama kemudian yang dateng bukan bey malah a adi. tapi ga lama kemudian juga yang lain pada dateng.

Langsung di Gunung Puntang.
Sesampainya di sana kita kukumpul uang buat bayar masuknya, biayanya kemaren tuh sekitar 5000/orang. Kita berjalan masuk ke sana, tapi terhenti karena para ibu2 ditambah elgy dan dimas pergi ke kamar kecil dan goloknya ketinggalan di angkot. Udah pada kumpul kita jalan ke atas cari warung soalny apada laper, nanjak banget jalan motongnya. Diperjalanan motong kita melihat ada pipa saluran air dari sungai cigeureuh ke kolam penampungan dan ada rumah tempat para pegawai Radio Malabar.

Sesampainya di warung kita makan-makan ada tukang baso ya udah kita panggil aja kebutulan baso adalah makanan kegemaran ayan. Sesudahnya makan kita bersenda gurau sejenak menunggu Guide. Guide datang kami pun berjalan ke Gua Belanda.

Di Gua Belanda kami masuk dan anehnya Gua Belanda itu mempunyai sekitar 150cm yang tidak sepadan dengan badan orang Belanda, tapi ada sebagian tempat yang lebih tinggi juga tidak setinggi 150cm. Panjang Gua Belanda itu kurang lebih 200m dengan beberapa lorong. Ada yang bikin aku heran ini gua udah lama tapi ko kaya yang baru di benerin ga tau emang betonnya bagus atau abis di renovasi.

Keluar dari Gua Belanda kami langsung jalan menuju Curug Gentong, katanya sih mau ke Curug Siliwangi tapi medannya lebih curam dan jauh dan “katanya” wisatawan juga belum ada yg kesana. Diperjalanan kami melihat ada Kolam Cinta. Kolam itu dinamakan Kolam Cinta karena berbentuk hati dan berada di depan kantor.

Kolam Cinta sudah kami lewati kami pun terus berjalan menuju Curug Gentong yang jaraknya 3.5m dari Kolam Cinta. Karena Curug Gentong belu banyak yang ngedatengin jalan yang kami tempuh aga sedikit tertutup untung Guide kita menebang pohon yang nutupin jalan. Tapi hati-hati ada daun berduri kalau kena kulit akan perih dan lama-lama jadi gatel aku aja kena beberapa kali di kaki perih banget, terus banyak juga batang yang durinya gede-gede kakiku sampe baret-baret. Kata Guidenya daun itu juga bakal tembus ke baju durinya, kalo mau cepet ilang gatelnya yang kena daunnya digosok-gosok pake tanah.

Kami menemukan 2 jalan yang curam sampe-sampe harus pake tali turunnya, kaya climbing, hampir 90 derajat medannya. Akhirnya kita sampai di Curug Gentong dalem Curug Gentong sampai 3m dan airnya dingin seperti air kulkas. Akupun senang akhirnya sampai disana walaupun tempatnya itu sempit.

Perjalanan pulang dari Curug Gentong kami tempuh selama 2.5 jam. Sampai di warung kamipun istirahat dan ada yang makan dan ada yang ngobrol rame sambil nunggu angkot pulang ke Bandung.

12/18/2009;02:52

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑