Month: February 2010 (Page 1 of 3)

Bandung Lautan Api .. Harta Benda dan Nyawa Dikorbankan ..

By : Asri “Cici” Mustikaati

Halo, Halo Bandung

Ibu kota periangan

Halo,Halo Bandung

Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta

Tidak berjumpa dengan kau

Sekarang telah menjadi lautan api

Mari bung rebut kembali

Dulu sewaktu sekolah SD, lagu ini sering saya dengarkan di upacara bendera senin pagi. Halo-Halo Bandung dipilih sebagai lagu wajib pilihan selain Indonesia Raya tentunya yang benar-benar wajib dinyanyikan. Ditulis oleh Ismail Marzuki yang belakangan baru saya ketahui kalau lagu ini masih diperdebatkan siapa pencipta sebenarnya. Terlepas dari perdebatan itu, lagu Halo-Halo Bandung adalah salah satu lagu perjuangan yang mengingatkan kita pada suatu peristiwa bersejarah di kota Bandung, Bandung Lautan Api.

Hayo .. Ngaku deh .. Sering denger Bandung Lautan Api tapi ga tau gimana cerita sejarahnya? Hehe .. Wah .. Jangan-jangan berlakunya cuma buat saya aja nih. Huhu .. Gapapa deh, walaupun begitu saya tetep pengen bagi-bagi pengalaman dan pengetahuan saya dengan temen-temen semua.. Juga tentang perjalanan saya dengan komunitas Aleut! di hari minggu kemarin (21/02/10).

Minggu pagi itu saya berkumpul di Bank Jabar Banten jalan Braga jam 7 pagi. Ah senangnya karena Aleut! kedatangan banyak anggota baru! Ada temen-temen dari Sahabat Kota, ITB, Unpad, Unpas, siswa SMK, Konus, pegawai kantor sampai adik-adik yang masih duduk di bangku SD! Total peserta minggu kemarin sebanyak 29 orang lho! Walaupun peringatannya masih satu bulan lagi, tapi kobaran semangat perjuangan rakyat Bandung Selatan sudah mulai terasa.

Bandung Lautan Api terjadi pada 24 Maret 1946. Satu hari sebelumnya yaitu tanggal 23 Maret 1946 NICA (Nederlands Indies Civil Administration) dan Inggris mengultimatum TRI (Tentara Republik Indonesia) untuk mundur sejauh 11 km dari pusat kota dalam waktu 24 jam saja (pada tanggal 20 Desember 1945 pemerintah kota Bandung sudah pernah mendapatkan ultimatum ini). Pada saat itu Bandung terbagi menjadi dua wilayah. Wilayah utara dikuasai oleh sekutu dan NICA, sebelah selatan dikuasai oleh TRI dengan jalur rel kereta api sebagai batas wilayahnya. TRI yang pada saat itu dipimpin oleh Kol.A.H. Nasution yang juga Komandan Divisi III menuruti perintah pemerintah RI pusat (melalui Syarifuddin Prawiranegara) untuk segera meninggalkan kota Bandung. Padahal Markas Besar TRI yang bertempat di Yogyakarta menginginkan wilayah Bandung dipertahankan, dijaga setiap jengkalnya walaupun harus mengorbankan nyawa. Diambillah keputusan rakyat Bandung mundur, namun TRI serta laskar-laskar tetap bertahan dan berjuang mempertahankan tanah Bandung Selatan walaupun pada akhirnya ikut mengungsi karena keadaan yang tidak mungkin untuk melawan musuh. Bandung dipisahkan karena sekutu melihat semakin bersatunya kekuatan laskar dan TRI. Sekutu khawatir keinginan mereka menguasai Bandung tidak tercapai. TRI, BKR (Badan Keamanan Rakyat), Laskar Rakyat, Barisan Banteng, Barisan Merah, Laswi (Laskar Wanita), Siliwangi, Pelajar Pejuang bersama dengan rakyat berjuang mempertahankan wilayah.

Keputusan meninggalkan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada hari itu juga yang dihadiri oleh semua barisan perjuangan. Tindakan pembumihangusan itu sendiri diusulkan oleh Rukana yang saat itu menjabat sebagai Komandan Polisi Militer di Bandung. Setelah keputusan disepakati, Kol.A.H.Nasution menginstruksikan agar rakyat segera meninggalkan Bandung. Saat itu juga rakyat Bandung mengungsi dalam rombongan besar ke berbagai daerah seperti Soreang, Dayeuh Kolot, Cicalengka, Pangalengan. Mereka mengungsi meninggalkan harta benda, hanya membawa barang seadanya. Rakyat mundur dan Bandung siap dikosongkan. Pengosongan ini disertai dengan pembakaran kota. Rumah-rumah dan gedung-gedung dibakar oleh masyarakat dan para pejuang. Hal ini dilakukan agar sekutu tidak dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Rakyat tidak rela kotanya diambil alih pihak musuh. Dalam situs http://www.rnw.nl/id/bahasa-indonesia/article/bandung-lautan-api-mitos-dan-sejarah dituliskan bahwa perintah mundur ini menyakiti para pejuang di lapangan. “Kami waktu itu sudah diajari oleh Jepang tentang politik bumi hangus. Dan kami tidak rela kembali dijajah. Jadi ketika kami mundur semua rumah dibakar oleh pemiliknya,” jelas Akhbar yang pada saat itu merupakan anggota Laskar Pemuda.

Bangunan pertama yang dibakar yaitu bangunan Indische Restaurant yang sekarang lokasinya sekitar Bank BRI jalan Asia-Afrika sekitar pukul 21.00 malam. Dilanjutkan dengan pembakaran gedung-gedung penting di sekitarnya termasuk juga rumah-rumah rakyat. Malam itu kobaran api memanaskan kota Bandung. Dari puncak bukit terlihat Bandung memerah. Dari Cimahi di barat sampai Ujung Berung di timur Bandung. Namun seberapa hangusnya kota Bandung, masih belum pasti. Di beberapa tulisan disebutkan gedung-gedung yang dibakar tidak begitu rusak dan masih bisa dipakai bahkan dijadikan tempat pertemuan penting serta konferensi internasional beberapa tahun kemudian (nenek saya yang mengungsi ke Pangalengan juga bercerita kalau sekembalinya dari pengungsian, rumahnya tidak terbakar sama sekali karena yang dibakar hanya rumah-rumah di pinggir jalan raya saja). Terjadi pula peledakan gudang mesiu milik sekutu di Dayeuh Kolot. Pelakunya Moh.Toha dan Ramdan dengan menggunakan granat tangan hingga mengakibatkan Ramdan tewas, namun entah dengan Moh.Toha, tewaskah atau menghilang. Sosok yang sebenarnya dari Moh.Toha pun masih diperdebatkan. Nama Moh.Toha kini diabadikan menjadi salah satu nama jalan dan tugu perjuangan di Bandung.

Nama ‘Bandung Lautan Api’ tentunya dikenal setelah peristiwa pembakaran kota Bandung. Ada yang menuliskan bahwa istilah Bandung Lautan Api berawal dari Rukana (Komandan Polisi Militer di Bandung) yang pada saat melakukan pertemuan tindakan ultimatum Inggris mengatakan “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api”. Tulisan lain menyebutkan bahwa istilah Bandung Lautan Api muncul saat tulisan Atje Bastaman dimuat di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Atje yang wartawan muda memberitakan peristiwa pembakaran kota dengan judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. (http://cingciripit.wordpress.com/2008/03/24/asal-usul-istilah-bandung-lautan-api/)

Peristiwa Bandung Lautan Api (BLA) dikenang Ismail Marzuki melalui lagu Halo-Halo Bandung. W.S.Rendra pun mengenang BLA lewat sajak yang berjudul ‘Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api’. Berikut sepenggal sajaknya ..

Bagaimana mungkin kita bernegara

Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

Bagaimana mungkin kita berbangsa

Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ? I

tulah sebabnya

Kami tidak ikhlas menyerahkan

Bandung kepada tentara Inggris dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang udara panas yang bergetar dan menggelombang, bau asap, bau keringat suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki langit berwarna kesumba.

Agar BLA tidak dilupakan dan tetap dikenang oleh masyarakat Bandung, maka dibuatlah stilasi atau monument BLA oleh Bandung Heritage dengan bantuan dari American Express. Stilasi ini berbentuk prisma segitiga, tinggi ± 50 cm, seperti monumen berukuran kecil. Di ketiga sisinya terdapat plakat jalur pengungsian BLA, teks lagu Halo-Halo Bandung, dan logo American Express. Bagian atas stilasi terdapat bunga patrakomala yang terbuat dari besi, karya seniman Sunaryo. Stilasi ini disebarkan di 10 titik di wilayah Bandung. Kesepuluh titik itu mewakili peristiwa-peristiwa penting di Bandung.

  1. Titik pertama adalah stilasi di jalan Dago tepatnya belokan Dago-Sultan Agung, depan bangunan Drikleur (Bank BTPN sekarang). Bangunan bekas kantor berita Domei ini dijadikan lokasi pembacaan teks proklamasi untuk pertama kalinya oleh rakyat Bandung.
  2. Titik ke-dua, stilasi di depan Bank Jabar Banten jalan Braga. Dulu adalah gedung DENIS Bank. Di atas gedung ini adalah tempat terjadinya perobekan bendera merah-putih-biru menjadi merah-putih oleh pemuda Bandung E.Karmas dan Moeljono.
  3. Titik ke-tiga, stilasi depan kantor Asuransi Jiwas Raya. Kantor yang dulu dikenal dengan nama NILMIJ ini sempat dijadikan markas resimen 8.
  4. Titik ke-empat, stilasi di Rumah tepatnya di jalan Simpang. Tempat perumusan dan diputuskannya pembumihangusan Bandung.
  5. Titik ke-lima, stilasi di jalan Kautamaan Istri, mengacu pada bangunan di sekitarnya yang sempat dijadikan gedung perkumpulan para pejuang dan menggambarkan kondisi Bandung yang sudah sangat gawat.
  6. Titik ke-enam, stilasi di jalan Dewi Sartika. Rumah yang ada di belakang stilasi ini adalah rumah sekaligus markas Kol.A.H.Nasution.
  7. Titik ke-tujuh, stilasi di pertigaan Lengkong Dalam-Lengkong Tengah. Merupakan pemukiman Belanda, wilayah yang dibombardir Inggris pada 6 Desember 1945.
  8. Titik ke-delapan, stilasi di jalan Jembatan Baru. Batas garis pertahanan pemuda pejuang saat Pertempuran Lengkong.
  9. Titik ke-sembilan, stilasi di kompleks SD Asmi. Bangunan ini adalah markas bagi pemuda pejuang sebelum Bandung Lautan Api.
  10. Titik ke-sepuluh, stilasi di jalan Moh.Toha depan gereja. Sebelumnya adalah gedung pemancar NIROM dimana berita kemerdekaan dan pembacaan teks proklamasi RI disebarkan ke seluruh dunia.

Dan berakhirlah acara ngaleut kami di Tugu Bandung Lautan Api di Tegallega. Untuk info lebih lengkap mengenai kegiatan ngaleut jalur BLA minggu lalu, bisa lihat tulisan teman saya di http://aleut.wordpress.com/ Ingin melihat bagaimana kondisi stilasi-stilasi itu sekarang? Boleh .. Lihat saja langsung ke titik-titik stilasi itu berada. Saya tidak akan bercerita bagaimana keadaannya, namun itulah cerminan masyarakat Bandung dalam menjaga dan menghargai sejarah kota tempat tinggalnya sendiri. Untuk jalur BLA ini, lebih nyaman bila menyusurinya dengan berjalan kaki atau bersepeda, pagi atau sore hari.

Halo, Halo warga kota Bandung …

Mari bung rebut kembali ….

Rebut kembali hijaunya, rebut kembali keasriannya, rebut kembali kecantikannya, rebut kembali ketertibannya, rembut kembali kenyamanannya .. ^^

Ref : Berbagai sumber (internet). He ..

10 Titik Perjuangan Bandung Lautan Api yang mulai Terlupakan

By : Agung Ismail (http://agungsmail.wordpress.com)

Bandung, 22 Februari 2010

di ruang tamu bersama netbook baru

Hallo Bandung!

Apa kabarmu?

Kemarin, bertemu kembali dengan hari minggu pagi bersama teman-teman dari komunitas Aleut.

Di minggu pagi yang cerah, kami (saya, kawan-kawan sahabat kota, teman-teman baru kenal dan tentunya komunitas Aleut) akan ber-aleut aleut ria menyusuri jejak perjuangan Bandung Lautan Api.

Kenapa saya bilang menyusuri jejak, karena entah kenapa jika saya pikir-pikir lagi kegiatan pagi kemarin itu seperti mencari harta karun yang tersembunyi (atau lebih tepatnya disembunyikan dan dilupakan). Serunya lagi, di setiap titik harta karun itu justru ada peta lokasi menuju harta karun berikutnya.

Berbicara mengenai harta karun, hm harta karun seperti apa sih yang disembunyikan dan berkaitan dengan kisah Perjuangan Bandung Lautan Api.

Mungkin tidak banyak orang yang tahu dan menyadari bahwa sebenarnya momentum Bandung Lautan Api (selanjutnya disingkat BLA) bukanlah sekedar Tugu BLA yang terletak di Taman Tegallega yang tidak ramah terhadap masyarakat. Jujur saja, saya sendiri termasuk ke dalam orang yang tidak menyadari itu.

Sejarah memang menjemukan, sejarah memang membosankan. Tapi jika sejarah itu sebenarnya terletak di pinggir rumahmu? Sejarah itu seharusnya menjadi kebanggaan. Sebuah Harta Karun masa lalu.

Lama banget nih prolog-nya… baiklah saya akan menuliskan tentang apa yang kami lakukan di minggu pagi cerah kemarin.

Jadi begini, sesuai dengan undangan yang dikirim oleh teman-teman Aleut. Acara ng-aleut kali ini bertemakan tentang Jalur Bandung Lautan Api (menyemarakkan peristiwa Bandung Lautan Api bulan depan nanti).

Terlebih dahulu, kami-kami yang mengajukan untuk ikut diharuskan kumpul di depan Bank Jabar Braga-Naripan pada pukul tujuh pagi. Setelah berkumpul semuanya, kegiatan pun dimulai dengan pembukaan dari Kang Ridwan (sepertinya sesepuh komunitas Aleut). Di depan gedung Bank, Kang Ridwan sedikit menjelaskan tentang peristiwa BLA yang ternyata jejak kisah perjuangannya itu tidak hanya disimbolkan dengan Tugu melainkan juga dengan stilasi-stilasi yang berjumlah sebanyak 10 buah.

Hah, what is the meaning of stilasi…?

Stilasi, saya baru mendengar istilah ini. Meskipun pernah membaca, mungkin tidak pernah terbayangakan bentuknya seperti apa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, stilasi itu tidak terdapat di kamus. Jadi makin bingung kan. Ya sudah saya definisikan se ala kadarnya.

Jadi, stilasi itu adalah monumen mini dengan bentuk seperti prisma segitiga sama sisi tegak, pada bagian fondasinya berbentuk seperti tablet sedangkan di puncak prismanya terdapat sebuah tangkai pohon dan bunga yang merupakan lambang dari Kota Bandung yaitu Patrakomala (Caesalpinia sp. -saya poho-).

Nah kesepuluh stilasi yang dibuat oleh bapak Sunaryo (Selasar Sunaryo) dan disponsori oleh American Express dan bekerja sama dengan Bandung Heritage ini didirikan untuk mengenang titik-titik perjuangan para pejuang BLA. Baiklah, kita akan mulai ber-Aleut dari titik stilasi no dua yang tepat berada di dekat pintu ATM Bank Jabar-Banten.

Nah loh kok tiba-tiba no dua, no satunya mana? Berhubung no satunya lumayan agak jauh dari yang lain yaitu berlokasi di Jalan Ir H. Djuanda-Sultan Agung tepatnya di depan gedung bekas kantor berita Jepang Domei atau saat ini menjadi Bank BTPN dan bertuliskan Driekleur yang berarti tiga warna (kata Mbak Dan). Saya belum lihat bagaimana kondisinya sekarang, mungkin aman-aman saja karena dijagain oleh tiga sekawan Tukang Pipa.

Kembali beralih ke Gedung Jabar-Banten. Stilasi kedua ini dulu sejarahnya adalah sebagai tempat perobekan bendera Belanda oleh Moeljono dan E. Kamas. Kondisi stilasi ini lumayan mengkhawatirkan, bunga patrakomala yang terletak di puncak stilasi sudah hilang raib entah dipetik siapa. Tapi untunglah, lempengan besi yang bertuliskan lagu halo-halo Bandung dan peta jalur stilasi-nya masih lengkap walau sedikit bared-bared -mungkin suka diinjak-injak sewaktu ada pagelaran helarfest dan nggak kebagian pemandangan indehoy, saya salah satu pelakunya-.

Beranjak dari Bank Jabar yang dulu punya nama Gedung Denis kami menuju stilasi ketiga yang terletak di Jalan Asia Afrika di depan Gedung Asuransi Jiwasraya di seberangnya Masjid Agung sebelah utara. Stilasi ketiga ini sedikit beraroma pesing, maklum saja lokasinya sangat cocok untuk menyempil sekedar ngahampangan di tengah malam. Menurut cerita, di gedung ini dulunya tepatnya 13 Oktober 1945, para pemimpin TKR (Tentara Kemanan Rakyat) sedang melakukan rapat. Mungkin rapat koordinasi kali yak. Sayangnya, lempengan besi berupa peta pada stilasi ini sudah hilang. Ditambah pula dengan beberapa coretan khas anak muda turut menghias penampilannya yang pesing.

Lepas dari kepesingan kami mencoba menelusuri Pasar Kembang yang terletak berdampingan dengan Masjid Agung. Ini pertamakalinya saya masuk ke dalam. Dulu ada keinginan untuk iseng-iseng masuk, namun sering kali urung ketika melihat lorongnya yang gelap dan takut nyasar ke sarang penyamun. Di dalam Pasar Kembang, selain tentunya banyak yang berjualan ternyata di sini bukan sekedar pasar saja, melainkan sebuah pemukiman padat, persis seperti gang-gang sempit. Berjalan bingung mengikuti Kang Ridwan, akhirnya kami tiba di Makam Mantan Bupati Bandung. Lagi-lagi saya hanya bisa sumpah serapah karena saya baru tahu bahwa Makam Bupati Bandung waktu itu ada di sebelah barat bersebelahan dengan Masjid Alun-alun. Namun akses masuk untuk ke Makam ini hanya bisa dilalui Gang kecil yang terdapat di Jalan Dalem Kaum. Nuansa Makam yang sunyi senyap terkalahkan oleh hingar bingar pertokoan dan pusat DVD bajakan. Ada empat makam utama yang berada di dalam saung sisanya diluar mungkin makam para kerabat bupati. Meskipun begitu, tempat ini tidak pernah sepi dari peziarah.

Dari Jalan Dalem Kaum, kami berlanjut menelusuri jalan pintas Kings Shopping menuju Jalan Simpang. Di lokasi berikutnya saya sempat berpikir bahwa kami akan beristirahat sejenak sambil menikmati sarapan pagi di Warung Makan yang punya nama Simpang Food Court. Salah besar teman. Justru di rumah makan ini, tepatnya di sebelah kirinya terdapat Harta Karun yang keempat. Stilasi keempat ini disembunyikan oleh sang pemilik rumah makan dengan membangun tembok pagar yang lumayan tinggi dan tertutup. Sehingga orang-orang yang melintas ke Jalan Adisuren tidak akan pernah tahu bahwa ada monumen kecil tersimpan di lorong rumah makan yang menuju dapur. Fondasi tablet stilasinya sudah menghilang digantikan keramik berkilau. Bunganya pun sama saja raib. Ini lah yang namanya menutup sejarah dengan tembok.

Dulunya, di rumah inilah perumusan dan pengambilan keputusan pembumihangusan Bandung diambil.

Mari lupakan istirahat sejenak dan makan-makan di Simpang Food Court. Kembali melanjutkan perjalanan menuju Jalan Kautamaan Istri kami menemukan stilasi kelima tepat didalam taman kecil bersebelahan dengan gardu listrik dan dinaungi oleh pohon angsana. Di stilasi ini kami dipertemukan dengan saudaranya bunga patrakomala yaitu Ki Merak (Caesalpinia pulcherima) yang tumbuh di sebelahnya. Bunga dengan mahkota sebanyak lima helai dan berwarna oranye dengan kuning pada tepi mahkota ini secara struktur bunga sama dengan patrakomala, hanya saja patrakomala berwarna kuning semua. Sambil berteduh Kang Ridwan pun bercerita tentang salah satu bangunan yang dulunya digunakan sebagai… apa ya lupa aku. Bagi yang tahu ceritanya harap ditambahkan.

Puas berteduh kami berjalan kembali menyusuri Jalan Kautamaan Istri menuju Jalan Dewi Sartika. Pada tahukan dengan jalan ini. Jalan yang penuh dengan hiruk pikuk pedagang kaki lima dan toko baju yang selalu ramai setiap harinya dengan oleh orang-orang yang berlalu-lalang.

Di stilasi yang keenam ini kami dibuat seakan tidak berdaya akan sebuah penghargaan terhadap perjuangan para Pahlawan yang berjasa mengorbankan jiwa raganya di masa lalu. Setelah dibuat pusing mencari-cari stilasi yang tersembunyi, akhirnya kami menemukan stilasi keenam yang berdiri tegak bersebelahan dengan sebuah kios rokok. Dan dengan santainya, stilasi ini justru digunakan sebagai tempat ganjel kios dan menjajakan minuman botol. Saya yakin si penjaga kios ini tidak tahu, sama seperti saya sebelumnya. Letak stilasi ini dekat dengan hotel Dewi Sartika, lokasi yang sangat potensial untuk mendirikan kios rokok bagi tamu hotel tarif 2 jam.

Dulunya, rumah yang di belakang stilasi dan sekarang sudah dibongkar adalah Markas Komando Divisi III Siliwangi pimpinan kolonel A. H Nasution.

Dari kios rokok kami melanjutkan kembali dan mampir sejenak ke Pendopo. Markasnya pak Walikota Bandung yang BERDADA. Kang Ridwan kembali bercerita dan saya kembali tidak menyimak. Silahkan teman-teman aleut tambahkan.

Menuju stilasi ketujuh kami menelusuri Jalan Sasakgantung, masuk ke pemukiman padat dan menyusuri pinggiran sungai Cikapundung. Keluar dari pemukiman kini kami berada di Jalan Lengkong Tengah. Di persimpangan Jalan Lengkong Dalam, stilasi ketujuh kami temukan. Tepat di pinggir lapangan Voli. Kondisinya tampak tidak jelas, penuh dengan tanda tangan si jahil. Perumahan Lengkong Tengah ini tampak berbeda dengan pemukiman padat yang kami lalui sebelumnya. Hampir kebanyakan rumah-rumahnya masih ber-arsitektur eropa jaman dulu. Ternyata ini adalah tempat tinggal Indo-Belanda. Nggak beda jauh dengan saya keturunan Indo-Mie.

Meneruskan Jalan Lengkong Tengah, kami menyeberangi Sungai Cikapundung dan menuju Jalan Jembatan Baru. Stilasi kedelapan tidak terlalu sulit dicapai namun sulit dilihat karena posisinya satu setengah meter di atas permukaan tanah. Stilasi kedelapan merupakan garis pertahanan pejuang saat terjadi pertempuran Lengkong. Katanya waktu itu tentara pejuang kita diserang bom oleh tentara sekutu. Baru sekutu aja kita udah kerepotan, apalagi klo segajah…

Matahari semakin meninggi dan terik. Beruntunglah tidak ada yang pingsan di jalan. Sedikit menikmati lelah, tiba-tiba si Barbara mengusulkan untuk bersemayam di Es Lilin Pungkur. Lebih tepatnya dia tidak mengusulkan tapi kabita (tergiur, red).

Hehehehe, meluncurlah kami semua ke warung Es Lilin Pungkur yang menyediakan aneka rasa dengan harga Rp. 2000 saja. Nggak tanggung-tanggung saya beli dua, rasa durian dan rasa kacang merah. Istirahat sejenak, masih ada dua stilasi lagi yang tersisa dan lumayan ujah jaraknya (jauh maksudnya).

Puas menikmati es lilin dan ngadem sambil melirik-lirik si neng Kasir yang caem, kami mengangkat dan melangkahkan kaki kembali di bawah terik matahari. Tujuan kami berikutnya adalah SD Negeri Asmi di Jalan Asmi. Di lokasi ini kami cukup beruntung karena bisa melihat stilasi yang utuh. Kuncup bunga patrakomala yang tengah mekar ini masih terjaga dengan baik, bahkan bukan hanya itu saja, katanya lonceng sekolah jaman baheula tea juga masih terawat dengan baik loh. Bangunan sekolah yang tidak banyak berubah ini dulunya digunakan sebagai markas pemuda pejuang PSINDO dan BBRI sebelum terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api. Meskipun hari minggu, sekolah ini cukup ramai dengan kegiatan adik-adik yang tengah bermain sepakbola. Hm, kira-kira mereka tahu nggak klo semen beton yang ada bunganya ini ternyata adalah monumen kecil untuk mengenang perjuangan para pahlawan di masa lalu?

Matahari makin menantang! Tak kuasa kami untuk melanjutkan perjalanan, istirahat sejenak kembali.

Stilasi kesepuluh. The Final.

Dari Asmi kami menyusuri Jalan Mohamad Toha. Sebuah nama jalan yang didekasikan untuk mengenang pahlawan Bandung Lautan Api. Sebuah nama untuk seorang pemuda seusia kami yang berjuang membela negerinya. Sebuah nama untuk sebuah misteri tentang siapakah ia sebenarnya.

Stilasi kesepuluh dapat ditemukan tepat di seberang sebuah Gereja. Gereja itu dulunya merupakan gedung pemancar NIROM yang digunakan untuk menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan ke seluruh Indonesia dan dunia. Di seberang stilasi kami dapat melihat Tugu kokoh yang melambangkan perjuangan bangsa kita dari tangan kolonialisme. Karya anak negeri, penghargaan untuk mereka yang terlupakan.

Itulah sedikit cerita yang saya lewatkan bersama teman-teman Aleut mencari 9 dari 10 harta karun sejarah yang mulai terlupakan. Di akhir cerita kami berdiskusi ringan di dalam Taman Tegallega yang tak ramah bagi yang tidak bayar japrem. Sebuah penutup mengajak kami untuk menyebarluaskan informasi ini kepada siapa saja, agar mereka lebih mengerti, agar mereka lebih menghargai, agar mereka lebih peduli, dan agar mereka lebih mencintai Bandung. -tempat tinggalku saat ini-

NB: Postingan ini bukan untuk menceritakan sejarah, tapi apa yang saya lalui untuk mengenal sebuah sejarah dengan cara unik dan menyenangkan.

Hatur nuhun untuk teman-teman Aleut yang telah berbagi cerita dan kepedulian.

About Aleut!

Komunitas Aleut! merupakan evolusi dari Klab Aleut, suatu komunitas nirlaba beranggotakan anak-anak muda yang ingin Belajar Sejarah secara lebih menyenangkan.

Sejak berdiri tahun 2006, Aleut! berusaha membumikan sejarah ke dalam bahasa dan kehidupan sehari-hari. Kegiatan kami setiap minggu adalah mengapresiasi sejarah dengan cara “Datang, Lihat dan Belajar”, yaitu dengan Ngaleut atau mengunjungi objek sejarah, menonton film2 berbau sejarah, makan-makan sambil ngobrol, hingga mengapresiasi musik.

Siapapun yang berminat mempelajari sejarah, silakan bergabung dengan Aleut ! dengan syarat sebagai berikut :

1. Bisa membaca aksara Latin

2. Memiliki kemauan belajar

3. Suka jalan-jalan

4. Mengisi formulir

Kita tidak akan mempersulit keinginan untuk belajar, oleh karena itu semua kegiatan Aleut! adalah gratis ! – kecuali ongkos dan makan pribadi, hehe

Selamat menjelajahi dunia Aleut!

Sekretariat :

Jl. Sumur Bandung No 4

Bandung 40132

085624253835 (Ryzki) / 085720218890 (cici)

Email : komunitasaleut@gmail.com

FB : klab_aleut@yahoo.com

Ngapain sih banggain sisa kolonial ?

Oleh : M.Ryzki Wiryawan
………….
Ngapain sih kita membangga-banggakan peninggalan kolonial ?

Kalimat tersebut muncul kala diadakan curah pendapat di penghujung acara ngaleut taman kota Bandung, menurut Agung, seorang rekan Aleut dari sahabat kota, kalimat tersebut sempat muncul dalam suatu rubrik kompasiana. Yang jelas, tema ini sangat menarik untuk dibahas, karena bisa jadi masyarakat salah kaprah dalam memandang sejarah.

Gampangnya gini aja deh, peninggalan sejarah itu ada dua macem, yang berwujud and yang tidak berwujud. Yang berwujud itu contohnya bangunan-bangunan tua, taman-taman kota, dan situs-situs megalitikum dsb-lah, sedangkan yang tidak berwujud itu contohnya bahasa, musik, budaya hidup, dll. Intinya gitu. Tapi saya bagi lagi, sejarah itu ada yang positif and negatif, tugas kita adalah menyaring dan mengambil pelajaran dari kedua jenis peninggalan sejarah tersebut.

Saya pikir sudah cukup banyak kutipan yang menyebutkan pentingnya menjaga warisan sejarah. Namun bangsa Indonesia ini terkenal buruk dalam menghargai nilai warisan sejarah. Contohnya, saat menemukan Candi Borobudur yang berada dalam kondisi mengenaskan di awal abad XIX, Raffles mengatakan :

“Ketidakpedulian pribumi sama besarnya dengan para penguasa mereka, sehingga mereka pun menelantarkan karya-karya para leluhur mereka yang tidak dapat mereka tiru”

Ucapan Raffles 200 tahun lalu itu hampir sesuai dengan kondisi sekarang. Lihatlah bagaimana kasus penjualan artefak museum kerap terjadi, penghancuran bangunan bersejarah, atau yang paling dekat bagaimana mesin kapitalisme mengancam bukit pawon yang menyimpan situs manusia sunda purba.

Mari saya hubungkan dengan konteks ngaleut! taman kota kemarin. Dalam perjalanan ini kita bisa menemukan mana aja peninggalan sejarah yang positif dan negatif tersebut.

Di awal perjalanan, kita memasuki kompleks ITB yang didesain oleh Ir. Maclaine Pont. Beliau lahir tanggal 21 Juni 1884 di Meester Coenelis atau Jatinegara, Batavia. Setelah mengenyam pendidikan tinggi di Belanda dan kembali ke Hindia Belanda, beliau sangat mengapresiasi peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit, khususnya yang berada di kawasan Trowulan-Mojokerto. Apresiasinya kemudian ditelurkan dalam berbagai karya jurnalnya yang membahas situs tersebut.

Apresiasi Maclaine Pont terhadap budaya lokal tersebut, menjadikannya terpilih sebagai arsitek utama pembangunan THS. Perkembangan ini sesuai dengan pernyataan Thomas Karsten (perancang Bandung Utara), bahwa pembuatan bangunan selama ini yang selalu mengacu pada arsitektur barat asing dapat memunculkan isolasi bagi warga Eropa di lain pihak memunculkan resistensi dari warga pribumi.

Dari pemikiran ini muncullah kampus THS (Technische Hogeschool), sekarang ITB. Arsitektur bangunan utama kampus ini mengacu pada bangunan Minangkabau (sunda besar), yang lapisan-lapisannya membentuk “lembaran bunga teratai”. Atap yang berlapis-lapis diadopsi dari tradisi ruang berpilar yang dilacak dari relief-relief candi abad kesembilan di Jawa Tengah. Bentuk lainnya mengadopsi arsitektur Pendopo yang digunakan kaum ningrat di Jawa. Pembangunan kampus pun mengacu pada tradisi kosmos local, dimana gunung tangkuban parahu berada di poros utara. Apabila kita memandang dari arah selatan, akan terlihat jelas bagaimana gunung keramat ini berada di tengah bangunan aula barat dan timur. Gaya arsitektur ini digabungkan dengan teknologi tercanggih saat itu, yang dikenal sebagai busur berikat cincin, yang hanya satu-satunya tersisa di Hindia Belanda saat ini.

Tidak lupa, konsep kampus THS yang dirancang Maclaine Pont meniru gaya kampus di Amerika, dengan taman-tamannya sebagai ruang interaksi yang nyaman serta kondusif untuk belajar.

Dapat kita simpulkan, dari satu objek saja, bahwa peninggalan Belanda tidak murni berasal dari pemikiran kolonialisme. Mereka juga mengadopsi keagungan tradisi lokal Indonesia, teknologi tercanggih saat itu, serta konsep politik yang ada tentunya. Mari kita bandingkan dengan kondisi sekarang.

Berjalanlah sedikit ke kawasan Dipati Ukur, lihatlah ada berapa bangunan kampus yang menggunakan arsitektur lokal. Yang anda temukan hanyalah kampus-kampus yang dibangun dengan arstitektur minimalis, tidak banyak filosofi yang bisa dibanggakan darinya. Salah satu kampus (ITHB) bahkan dibangun dengan gaya Empire, dengan pilar-pilarnya yang megah, suatu gaya yang ditinggalkan Belanda karena “tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak cocok dengan iklim tropis”. Kampus-kampus di jalan Dipati Ukur ini bahkan tidak dilengkapi dengan taman-taman sebagai sarana interaksi dan belajar yang sehat, sehingga terpaksa mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu di kostan atau café bagi yang lebih beruntung. Ini baru satu contoh.

Tidak jauh dari kampus ITB, Aleut melewati taman ganesha, yang dulunya memiliki satu kolam, ternyata sekarang memiliki tiga kolam berukuran raksasa ! Taman ini memang berada di elevasi yang lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya, jadi wajar saja kalau hujan gede, taman ini bakal menjadi muara bagi aliran air yang berasal dari sekitarnya. Dahulu, Perancang taman ini sudah mempertimbangkannya sehingga mereka membuat dua buah selokan kecil, sebagai sarana aliran air yang terkumpul di taman. Sayangnya kedua selokan ini sudah tidak ada, akibatnya mau nggak mau air akan menggenangi taman ini, membawa sampah-sampah, mematikan vegetasi-vegetasi kecilnya, dan menghasilkan tanah becek yang tidak enak dipandang.

Lihatlah bagaimana Belanda mendesain perumahan-perumahannya dengan apik, dengan taman-taman sebagai pusat interaksi dan penunjang kesehatan, mereka juga berkepentingan menjaga kesehatan warga pribumi (seperti yang kita lihat di gempol), karena warga pribumi ini bekerja untuk mereka tentunya. Namun, merubah mental pribumi itu pekerjaan berat lain.

Tahun 1920’an, H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mencatat bahwa di masa tersebut orang-orang Pribumi masih kerap “Buang Hajat” di tengah jalan disamping kebiasaan buruk lainnya. Menurut catatannya, “Hari demi hari, Sidin, begitu kita sebut tukang kebun pribumi itu, membuang sampah dari rumah majikannya, dari dapur dan dari warung-warung… Bukannya ke tempat sampah, melintasi pagar,melainkan dengan tangannya yang halus, ke Jalanan…”

Tradisi ini masih kita pegang hingga sekarang, dengan “Tiisnya” kita membuang bungkus Cilok, gorengan, botol-botol plastik ke jalanan seperi Sidin si tukang kebon di tahun 20.

Nah, Pemerintah kota sekarang, yang dikenal dengan julukan “Wagiman”, walikota gila tanaman memiliki ide bagus. “Mengapa tidak kita pagari saja taman-taman tersebut, agar tidak dapat dimasuki dan dirusak oleh orang-orang pribumi…”

Jalan lagi dikit ke jalan sekitar perempatan Sultan Agung Tirtayasa, disini bisa diliat bangunan-bangunan dengan arsitektur kembar, yang didesain secara simetris. Ini adalah buah dari perancangan kota saat itu yang berkiblat ke barat. Sejak 1909, di Hindia Belanda perencanaan kota yang berhubungan dengan arsitektur bangunan di dalamnya diatur dengan sangat ketat, rancangan gedung pemerintahan, sekolah, pegadaian, kantor pos, dan penjara di koloni harus mengikuti pedoman resmi : Untuk setiap jenis gedung, telah ditetapkan sebuah keputusan, apa yang disebut “Rencana Normal”, dari situ hanya variasi yang diizinkan,,,

Apakah pemerintah saat ini punya arahan ?, So pasti punya, Lalu apakan arahan tersebut diaplikasikan, Hmm,, tentu saja, nanti akan saya instruksikan pada jajaran terkait,,, Begitulah kira2 percakapan fiktif saya dengan pejabat pemerintah.

Coba lihat di Dago dan Cipaganti, Yang dahulunya didesain sebagai perumahan Villa, yang daripada bangunan2nya tidak boleh berpagar dan tingginya gak boleh melebih tiga lantai untuk menjamin ketersediaan cahaya bagi para penghuninya. Kini bangunan-bangunan tersebut berdiri semaunya, peduli amat tetangga dapet cahaya matahari atau nggak. Mereka juga berlomba meninggikan pagar, bagai Belanda yang takut diintai pribumi…

Ini adalah sesuai dari catatan B. de Vistarini, seorang arsitek Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pada awal kedatangannya di nusantara, pemukim Belanda pertama membangun rumah-rumahnya dengan sangat tertutup. Dan bahkan hingga abad ke-XX mereka masih belum bisa melepaskan diri dari ketakutan terhadap Pribumi. Menurut Cuypers, di tahun 1919, rumah-rumah orang Eropa biasanya ditutupi oleh tembok yang dibangun mengelilingi seluruh bangunan, hanya dengan satu pintu masuk di bagian depan, dan satu lagi di belakang.

Nah lho, kaum elit negeri ini telah menjelma menjadi Belanda !

Akhir kata, Saya menganalogikan pendudukan Belanda bagai seorang ayah tiri yang galaknya bukan main, sering menghina, menyiksa, dan memperbudak kita, namun beliau telah mati dan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Lalu apakah kita akan membuang warisan tersebut ? Apakah tidak lebih baik apabila warisan itu kita gunakan sebagai modal guna perbaikan kelangsungan hidup kita ke depan…

Ngaleut di Taman Kota Bandung Peninggalan Kolonial Belanda

Oleh : Ismail Agung (http://agungsmail.wordpress.com)

February 16, 2010

Ada yang tau dengan yang namanya aleut? Atau ada yang tau dengan komunitas aleut. Baiklah tulisan dibawah ini adalah secuil jalan-jalan ku bersama teman- teman dari komunitas aleut.

Sebelum memulai membaca sebaiknya teman-teman mengambil nafas panjang karena tulisannya sungguh panjang sekali.

Pertama-tama apa itu aleut?

Sesuai dengan namanya, aleut yang berasal dari bahasa Sunda mempunyai makna yang berarti berjalan kaki bersama-sama alias ga sendirian. Jadi klo kamu lagi jalan kaki bersama beberapa tukang dagang pasar kaget gasibu itu artinya kamu sedang ikutan dagang. Hahaha, nggak nyambung ah. Intinya aleut itu jalan beriringan bersama-sama. Nantilah ditambahin lagi klo udah baca kitab besar bahasa sunda karangan pak Kunto.

Di minggu pagi yang cerah ini, teman-teman dari komunitas aleut ngasih undangan untuk ikut kegiatannya di chandra februari merayakan suasana imlek, dan valentine sambil ngaleut ke taman-taman kota peninggalan kolonial belanda dan juga beberapa bangunan bersejarah di sekitar taman.

Petualangan yang dimulai pukul 7 pagi bermula dari Taman Ganesha yang tepat berada di seberang kampus para pencetak insinyur bandung yaitu ITB. Seperti pelajaran sejarah memang. Karena selalu dikait-kaitkan dengan tahun didirikan dan siapa pembuatnya (untuk cerita lebih lengkap mengenai sejarah taman-taman sepertinya akan saya posting terpisah) tapi penyampaian yang dilakukan oleh teman-teman aleut yang kebanyakan dari jurusan Sejarah Unpad ini ga se-boring pelajaran sejarah yang biasa kita temui di sekolah. Soalnya banyak hal-hal unik yang disampaikan oleh teman-teman aleut baik ciri khas objek sekitar taman maupun dibalik cerita pembuatannya.

Taman Ganesha atau dulunya dikenal dengan nama Ijermanpark punya ikon patung yang gonta-ganti. Yang pertama adalah patung dada Ijerman, lalu diganti patung Ganesha, dan akhirnya patung Kubus. Nah klo taman ini dilihat dari angkasa, jalur taman ini akan berbentuk huruf “Y”.

Dari Taman Ganesha kami berlanjut ke kampus ITB, walaupun ga termasuk ke dalam taman kota, tapi kampus ITB termasuk salah satu ruang terbuka hijau yang terdapat di lingkungan civitas. Di sini Rizki dan kawan-kawannya menerangkan mengenai sejarah berdirinya ITB hingga konsep desain bangunannya yang mengambil filosofi kedaerahan.  Oh gitu toh, tapi ternyata filosofi yang diambil bukan filosofinya Sunda doang, tapi mencakup seluruh Sunda Besar (sumatra juga termasuk). Saya juga baru tahu bahwa ternyata bapak Boscha punya andil besar dalam pembangunan kampus ITB yang dulu punya ngaran THS (Technische Hoogeschool).

Setelah meninggalkan kampus ITB kami beranjak menuju Jalan Badak Singa. Komplek PDAM ini dulunya ternyata punya sejarah sebagai tempat latihan sepakbola yang kita kenal dengan sebutan GASIBU. Merasa familiar dengan nama tersebut? Yup, ternyata nama ini memang berkaitan dengan lapangan lari di depan gedung sate yang namanya juga GASIBU. Faktanya, selama ini saya salah mengartikan tentang pengertian dari GASIBU sendiri. Saya kira asal kata GASIBU berasal dari bahasa belanda gazeebo yang berarti semacam saung. Ow ow ow ternyata pengertian dari gazeebo itu sendiri adalah Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara.

What the… Jauh banget ya…

Sayangnya lapangan bola di PDAM sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan kolam-kolam penampung air dan instalasi PDAM.

Perjalanan dilanjutkan menuju Balubur dan Plesiran. Balubur yang katanya adalah kampung tertua saat kota Bandung resmi dipindahkan dari Dayeuh Kolot merupakan rumah huni lainnya bapak bupati bandung saat itu yang merasa tidak betah tinggal di rumahnya di daerah Cipaganti. Sedangkan Plesiran dulunya ada sebuah situ atau danau yang sering digunakan oleh nyonya dan tuan meneer untuk sekedar bersantai alias “pelesir”. Namun sekarang danaunya?

Entahlah saya belum pernah lihat.

Masih di daerah situ juga, ada bangunan yang digunakan untuk rektor ITB, dan disebelahnya digunakan sebagai kebun pembibitan. Tempatnya memang sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanya namanya saja Kebon Bibit.

Memasuki jembatan Cikapayang kami ditunjukkankepada salah satu bagian dari trotoar yaitu kanal. Saluran yang berfungsi untuk mengalirkan air ini bertujuan untuk menyuplai air ke taman-taman kota yang ada di Bandung bersumber dari sungai Cikapundung. Lebar kanal memang tidak seberapa luas, tapi pada perkembangannya kanal-kanal tersebut tidak berfungsi lagi saat ini. Hanya ada beberapa kanal yang masih berfungsi dengan baik di kota Bandung, salah satunya ada di Balaikota.

Bentuk kanal itu seperti beton setengah lingkaran. Bentuk seperti itu katanya bertujuan untuk mengurangi gaya gesek air dengan si beton. Hm, kok jadi fisika yah.

Dari Cikapayang kami lalu turun ke Taman Sari dan ditunjukkan rumah sang maestro arsitektur, rumahnya pak Schumaker. Katanya dia yang bikin-bikin desain arsitektur ITB.

Taman Surga, keren kan namanya. Taman yang berlokasi di Jalan Rangga Gading dan Ranggamalela ini disebut Taman Surga karena banyak junkie yang doyan teler di taman ini. Sekarang sih ganti nama jadi Taman Flexi. Maklum, si sponsor namanya terpampang jelas di tiang-tiang sudut taman. Yang jelas taman ini punya trackrecord yang lumayan buruk lah.

Lanjut jalan lagi ke perempatan Sultan Agung Tirtayasa. Tepatnya perempatan yang ada toko buah Total Segar. Di perempatan ini kita bakal ngelihat rumah-rumah yang saling berseberangan ternyata punya Arsitektur yang sama dan simetris. Jadi ceritanya tuh waktu jaman penjajahan dulu, perumahan di daerah itu proyek bikin rumahnya borongan. Dan ada kebijakan dari goverment waktu itu klo bikin rumah harus seperti yang diperintahkan. Hasilnya ya lumayan lah bisa dilihat saat ini. Namun sayang, dari empat rumah kembar kini tinggal dua yang tersisa dan bertahan.

Habis dari sana kami kemudian jalan lagi menuju suatu jalan yang namanya Gempol. Nama Gempol dikenal karena kupat tahunya yang masuk list kuliner kecap Bango. Sumpah, ini pertamakalinya saya menginjakkan kaki di jalan Gempol. Di sini teman-teman aleut mencoba menikmati sajian nikmat dari kupat tahu Gempol dengan harga 10 ribu. Wah kemahalan nih. Karena ga mau ikut-ikutan saya mencoba untuk icip roti yang juga ciri khas lain dari Jalan Gempol. Rotinya masih fresh dari oven dan hangat. Ditambah pula dengan desain interior yang bikin cozy untuk berlama-lama sambil menikmati segala macam hidangan roti yang tersedia. It’s fresh!

Dari Gempol kami tiba-tiba keluar di jalan Banda. Ternyata ada jalan tikus dengan satu gerbang sebagai akses jalan keluar-masuk dan dikenal dengan sebutan “brandgang”. Tujuan dibuatnya brandgang adalah sebagai jalan evakuasi jika terjadi kebakaran. Antisipasi yang sungguh luar biasa.

Oke masih lanjut..

Sekarang kami jalan kaki lagi menuju GOR Saparua. GOR yang selalu digunakan sebagai tempat konser death festival alias konser lagu-lagu cadas yang sulit dimengerti liriknya ini ternyata dulunya digunakan sebagai tempat latihan militer. Nah di seberang lapangan ada sebuah gereja Albanus yang katanya ada hubungan dengan Freemason. Jangan-jangan ada harta karun nasional yang terkubur di bawah gereja. Sekarang sih jadi tempat kursus bahasa belanda. Bapak pendeta yang tinggal disebelahnya menghampiri kami dan sedikit berbagi cerita tentang sejarah gereja Albanus yang punya tag Geredja Katholik Bebas.

Masih di sekitaran saparua tepatnya di jalan Aceh. Kami dipertunjukkan dengan sebuah seni pornografi yang luput dari pandangan mata bila hanya melihat pemandangan sekilas saja. Kami duduk sejenak di seberang bangunan yang punya nama Jaarbeurs yang punya arti pasar tahunan alias bursa dagang tahunan. Didepannya memang ada patung Ganesha dengan belalainya yang panjang. Ternyata patung tersebut sukses mengalihkan perhatian kami semua karena ternyata di bagian atas gedung ada tiga buah belalai lengkap dengan bijinya dipertontonkan sambil tertunduk.

Di gedung Jaarbeurs ini jika kita perhatikan dengan seksama, di atas gedungnya terdapat tiga patung Torso yang dengan gagahnya mempertontonkan barang kepunyaan mereka yang lebih pendek dibanding punya si Gajah. Nice shows Guys!!

Sambil melanjutkan perjalan menuju Taman Bali SMAN 5 kami melewati Taman Maluku yang kini forbiden to entry. Meskipun penampilannya tampak semakin bagus, namun sayang tidak bisa dinikmati sebagai fasilitas publik.

Taman Bali, lokasi terakhir perjalanan kami. Di seberang taman ini terdapat kolam renang yang dulunya cukup rasis. Katanya sebelum tahun 1925 kolam renang ini hanya boleh dimasuki oleh orang kulit putih saja, serta di pasang peraturan “verboden voor honden en inlander”, yang artinya kurang lebih berarti “anjing dan pribumi dilarang masuk”.

Ho ho, emangnya anjing bisa baca meneer?

Perjalanan yang melelahkan bukan? Pasti bacanya cape ya…

Rangkaian perjalanan kami akhirnya ditutup dengan diskusi dan kesan-pesan selama nga-aleut. Banyak kesan yang bisa kami peroleh, dan banyak pula pengetahuan sejarah serta hal-hal baru yang kami ketahui. Teman-teman aleut telah memberikan sebuah pelajaran Sejarah yang tidak membosankan. Cara unik untuk belajar sejarah.

Thanks teman-teman aleut.

7 Alasan mengapa kita harus Ngaleut (jalan2) bareng komunitas Aleut

Oleh : Agni (people, youth and network – komunitas sahabat kota)

Halo, pada hari minggu 14 Februari 2010, untuk pertama kalinya saya diajakin ngaleut alias jalan-jalan mengapresiasi site-site kota Bandung oleh Komunitas Aleut. Tema jalan-jalan kali ini adalah taman kota di Bandung.
Maaf, disini saya tidak akan bahas tentang content perjalanan yang sangat seru banget, karena catetan saya kayanya masih kalah lengkap dibanding temen-temen aleut nih.(HARAP kunjungi langsung facebooknya komunitas aleut ya, infonya udah oke banget!) heheh..Tapi dari first impression saya berinteraksi dan jalan bareng komunitas aleut, perkenankan saya mengapresiasi aktivitas aleut dari sisi yang lain.
Ok. 7 Alasan mengapa kita semua layak untuk mendukung komunitas aleut dan gerakan kultural serupa:

1. Menyenangkan
Format jalan-jalan membuat aktivitas komunitas aleut menjadi menyenangkan, banyak hal-hal detail yang dapat diapresiasi dan diamati. Suasana yang dibangun bersama sangat bernuansa komunitas dan menyenangkan, bisa ngobrol satu sama lain, jajan-jajan, foto-foto di tiap site yang dikunjungi. Enakeun lah pokona. Murah, seru,tempat yang dikunjungi macem-macem, ada yang bernuansa sejarah, budaya, hingga geologi, ber interaksi langsung dengan site dan masyarakat, apa yang gak seru ya?

2. Berbagi tanpa sekat
Aktivitas jalan-jalan dan apresiasi kota yang dikembangkan komunitas aleut tidak sepenuhnya berbasis pemandu, semua orang dapat berbagi dan belajar bersama. Informasi pun dapat digali langsung di lokasi kepada penduduk lokal, semua orang berkesempatan untuk aktif berkontrisbusi satu sama lain. Pola edukasi semacam ini membuat semua orang berkesempatan untuk saling berbagi dan berkembang, asoy.

3. Informasi yang berkembang
Terlepas dari riset informasi sejarah oleh komunitas aleut yang mendalam dari berbagai narasumber, komunitas aleut senantiasa terbuka terhadap informasi baru terkait site yang akan didatang. Masukan-masukan dari para partisipan, info baru yang digali dari narasumber di lokasi, semuanya dapat menjadi informasi baru yang berkembang. komunitas aleut juga membangun budaya menulis untuk menyebarluaskan info yang ada lho.

4. Hal baru
Apa yang gak baru setiap kali ikut jalan-jalan bareng aleut? Temen dan kenalan baru? Informasi baru? Tadi saja ketika melewati gereja S Albanus, temen-temen aleut yang udah berkali-kali lewat sana, tiba-tiba dikejutkan dengan hadirnya narasumber lokal yang spontan berbagi mengenai sejarah di gereja tersebut. Bahan diskusi dan sharing juga bisa berbeda-beda tergantung dari apa yang ingin ditanyakan atau diangkat oleh partisipan aleut pada waktu tersebut. So… hal baru apa yang ga didapat di aleut?

5. Apresiasi positif
Mengutip dari diskusi saat penutupan jalan-jalan tadi , “ pemerintah berperan 10% dalam penyediaan dan pemeliharaan fasilitas publik, selebihnya kitalah masyarakat yang sehari-hari memanfaatkan fasilitas tersebut untuk menjaga dan memeliharanya” . lalu ada teman lain yang berkata “ taman kota adalah taman yang setiap harinya dimanfaatkan oleh publik, jadi kondisi taman kota sekarang juga merepresentasikankepedulian masyarakat itu sendiri”… dua kutipan itu cukup untuk menyadarkan kita semua betapa seringnya selama ini kita selalu mencari kambing hitam atas buruknya kota bandung. Okelah kalau pemerintah memang salah, tapi apa yang bisa kita kontribusikan untuk buat bandung lebih baik? Itulah gerakan kultural yang ditawarkan komunitas aleut, membangun budaya positif di masyarakat dengan mendekatkan masyarakat dengan potensi kota Bandung yang ada.

6. Mengangkat potensi kota / daerah dengan cara unik
Nyambung dengan poin nomer 5, ya Komunitas aleut memang mengajak masyarakat Bandung untuk lebih mencintai dan membangun kotanya , dengan menunjukkan potensi-potensi unik kota Bandung. Terutama melaui segi historis, eksotisme dan nilai budaya yang terkandung dari site2 yang dikunjungi aleut and the gank.
Saya yakin gerakan kultural semacam ini bisa berkontribusi real untuk membuat kota Bandung menjadi lebih nyaman bagi warganya. Mengajak langsung pemuda dan masyarakat merasakan, mengenal kota Bandung , eksplorasi budaya dan sejarah, jalan-jalan. Unik .7. The idea not the person
“ semoga informasi yang didapat melaui jalan-jalan ini dapat disebarluaskan kepada lebih banyak pihak”, pernyataan itu sudah cukup mewakili semangat gerakan aleut , bahwa mengapresiasi Bandung dengan cara unik seperti komunitas aleut dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja kapan saja. Idenya begitu mudah diterima dan direplikasi. Inovasi sosial semacam inilah yang nantinya dapat menyebar seperti virus dimana-mana. Tidak hanya di Bandung, tapi juga kota-kota lainnya.
Dengan berinvestasi pada ide dan sebuah model aktivitas, aleut berusaha untuk membuka kesempatan bagi siapapun partisipannya untuk menyebarkan semangat aleut.Setidaknya dapat saya lihat dari kontributornya yang berganti-ganti, siapa saja bisa berbagai dan suasana terbuka yang dibangun Aleut. Yup saya yakin semakin banyak dan sering kita ngaleut (jalan2) bersama dengan komunitas aleut, makin banyak ide baru, informasi baru yang kita hasilkan untuk mengapresiasi dan membangun kota Bandung menjadi lebih baik

Bravo Komunitas Aleut. Maju terussss

Ki Mastanu (Raden Tanujiwa)….

Oleh : Asep Nendi R.

Setelah membaca notes BR mengenai ulasan catatan perjalanan Komunitas Aleut! Ke Bogor, saya menemukan sepenggal nama “Ki Mastanu” yang langsung mengingatkan saya pada kakawihan barudak “Ayang Ayang Gung”. Kira-kira seperti inilah liriknya,

Ayang ayang gung

Gung goongna rame

Menak ki Mastanu

Nu jadi wadana

Naha maneh kitu

Tukang olo-olo

Loba anu giruk

Ruket jeung kompeni

Niat jadi (naek) pangkat

Katon kagorengan

Ngantos Kanjeng Dalem

Lempa lempi lempong

Ngadu pipi jeung nu ompong

Jalan ka Batawi ngemplong

Lagu tersebut merupakan lagu yang secara turun temurun dinyanyikan oleh barudak (anak kecil) di Tatar Sunda. Sekitar tahun 60-an Pa Ekik Barkah, mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Kesenian Universitas Padjadjaran, memodifikasinya menjadi suatu bentuk seni pertunjukkan teatrikal dengan nama Kaulinan Urang Lembur.

Hingga sekarang pertunjukkan seni teatrikal Kaulinan Urang Lembur tersebut masih dimainkan oleh Lingkung Seni Sunda Universitas Padjadjaran (LISES UNPAD), terutama dalam kegiatan Pementasan Mandiri Lises Unpad dengan nama Kaulinan Barudak Baheula. Lagu Ayang Ayang Gung ini merupakan salah satu lagu yang sarat makna dan kritik sosial.

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan orang Sunda yang suka menyindir, ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai biasanya memberikan sindiran-sindiran halus. Sehingga tidak sedikit karya-karya baik itu berupa lagu kakawihan, pupuh, maupun pantun (sisindiran) yang lucu, namun juga mengandung sebuah kritik atau saran yang tajam dan brilian yang disampaikan secara halus. Matakna orang Sunda mah jarang demo, hehehehe,,,, Hurip Sunda!

Lagu Ayang Ayang Gung tersebut menceritakan seorang tokoh menak (bangsawan) bernama Ki Mastanu yang menjadi wadana (bupati), namun bertingkah olo-olo (belagu), dan karena kedekatannya dengan kompeni (Belanda) banyak masyarakat yang giruk (membencinya). Yang berniat naik pangkat, sehingga menunggui kanjeng dalem, dan dengan segala gerak akrobatik politiknya menghalalkan segala cara, agar langkah politiknya lancar tidak terhambat sedikit pun ke Batavia.

Lempa lempi lempong ngadu pipi jeung nu ompong, jalan ka batawi ngemplong. Ki Mastanu yang ada dalam lirik lagu Ayang Ayang Gung tak lain adalah Raden Tanujiwa, seorang Sunda asal Sumedang. Tahun 1687 Tanujiwa mendirikan perkampungan di Parung Angsana, sebelumnya beliau mendapat tugas dari Camphuiis untuk membuka hutan Pajajaran. Kampung di Parung Angsana itu kemudian diberi nama Kampung Baru, tempat inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor. Beberapa kampung lain yang didirikan oleh Raden Tanujiwa adalah Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banteng dan Cimahpar. Dimana Kampung Baru menjadi pusat pemerintahannya.

Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai kepala Kampung Baru dan kampung lainnya yang berada di hulu Ciliwung. De Haan sendiri memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari Raden Tanujiwa (1687-1705) walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik dilakukan tahun 1745. Tahun 1745 sembilan buah kampung digabung menjadi satu pemerintahan dibawah Kepala Kampung Baru bergelar Demang, gabungan kampung itu diberi nama Regentschap. Yang kemudian menjadi Regentschap Buitenzorg tahun 1740. Tanujiwa, seorang Sunda dari Sumedang, berhasil membentuk pasukan pekerja untuk membuka hutan Pajajaran. Ketika itu beliau bergelar ”Luitenant der Javanen” (letnan orang-orang Jawa dan merupakan letnan senior diantara teman-temannya). Garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dan kompeni ketika pangeran Purbaya dari Banten membangun pemukiman di aliran Cikeas. Daerah antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati pasukan Mataram, pimpinan Bahurekso dan sebagian lagi pasukan kiriman Sunan Amangkurat I.

Tahun 1661 basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Batavia. Raden Tanujiwa menghentikan pembukaan lahannya pada sisi utara Ciliwung, dan menyarankan agar pembukaan lahan dilakukan di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua). Kemungkinan besar, tindakan Tanujiwa ini didasari penghargaan yang besar terhadap Pakuan. Lambat laun rasa cinta terhadap Pajajaran dan terhadap masyarakatnya mulai terpupuk, ia mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap dapat mengganggu kompeni. Apalagi perasaan bencinya terhadap Scipio, yang notabenenya seorang sersan, yang sering memerintah dengan semena-mena padahal jabatan Tanujiwa lebih tinggi (letnan). Hal tersebut menimbulkan kesadaran akan kesamaan nasib sebangsa dalam diri Tanujiwa. Tanujiwa membantu pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Perwatasari, dan balik mengangkat senjata melawan kompeni. Walaupun pada akhirnya kalah, dan Tanujiwa dibuang ke Tanjung Harapan (Afsel).

Karena pemberontakan tersebut, dalam Babad Bogor (1925), yang dibuat pada masa kolonial, tidak mencantumkan nama Tanujiwa sebagai bupati pertama. Dalam Babad tersebut dicantumkan Mentengkara atau Mertakara kepala Kampung Baru yang ketiga (1706-1718) sebagai bupati pertama Bogor. Ia adalah putera Tanujiwa (menurut Den Haan).

Mungkin itulah sedikit ulasan mengenai Tanujiwa, dan kaitannya dengan kakawihan barudak Ayang Ayang Gung. Tanujiwa mengejar harapan kosong, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (kekuasaan). Bahkan ia rela menggadaikan harga dirinya kepada penjajah, dan diperlakukan semena-mena oleh orang Belanda yang notabenenya berpangkat lebih rendah. Hingga pada akhirnya Tanujiwa sadar, kemudian bersama-sama mengangkat senjata melawan penjajah.

Cerita Tanujiwa dalam lirik Ayang Ayang Gung ini sepertinya akan hidup lama di Tatar Sunda, dimana orang-orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan. Menak yang mendapat kedudukan prestise dalam masyarakat malah seringkali melupakan masyarakat dan sibuk mengejar kekuasaan. Di sisi lain menak ingin dihargai sebagaimana mestinya. Ironi memang, karena itulah yang terjadi. Lihat saja perilaku calon wakil rakyat maupun calon pemimpin kita yang tak jarang melakukan perbuatan rendah, suap-money politic-fitnah-nepotisme-anarki. Lempa lempi lempong Ngadu pipi jeung nu ompong Jalan ka Batawi ngemplong Cag Ah….!

bahan bacaan :

kumpulan catatan nu aya di rumah, teu jarelas… hehehe…

– http://budayabogor.tripod.com/sejarah.htm

– http://www.opensubscriber.com/message/urangsunda@yahoogroups.com/264969.html

ALEUT! TOUR DE BUITENZORG : Bagian II – Kota Bogor

By : Ridwan Hutagalung
ALEUT! TOUR DE BUITENZORG, 24 JANUARI 2010
Bagian II – Kota Bogor

Biasanya saya paling malas membaca buku-buku tentang profil suatu kota bila diterbitkan secara resmi oleh pihak pemerintah. Entah kenapa, selalu saja saya merasa buku-buku itu tidak memuaskan karena ditulis secara sembarangan dengan tata bahasa yang kaku dan tentu riset-riset yang tidak jelas pertanggungjawabannya karena menggunakan sumber-sumber yang juga tidak jelas. Tak jarang pula sumber-sumber acuan yang dipakai tidak dicantumkan sebagaimana mestinya.

Tapi buku “resmi” yang satu ini, “Sejarah Bogor – Bagian I”, ternyata agak lain, mungkin karena penulisannya dilakukan oleh Saleh Danasasmita (1933-1986). Buku ini diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor tahun 1983. Namun untuk keperluan penulisan blog ini saya menambahkan juga sejumlah referensi lain sebagai pendukung data.

Tulisan dimulai dengan sejumlah analisis tentang asal-usul nama Bogor dan Pakuan. Salah satu kemungkinan yang disampaikan oleh Saleh adalah dengan menggunakan kamus Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek karya S. Coolsma (1913).{1} Dalam kamus itu diterangkan bogor berarti “droogetapte kawoeng” atau pohon enau yang telah habis disadap, dan selanjutnya bisa dilihat pada awal tulisan ini (Bagian 1).

Kemudian diceritakan juga sejarah singkat wilayah Bogor sejak masa Kerajaan Tarumanagara sampai abad 18 M. Kisah yang disampaikan sangat menarik karena menguraikan isi berbagai prasasti dan naskah kuno yang berhubungan erat dengan masa lalu kawasan Bogor. Disinggung pula berbagai penelitian pada masa Hindia Belanda yang mencoba mengungkapkan makna peninggalan-peningalan kuno yang tersebar di sekitar Bogor serta pelacakan mengenai bekas lokasi (keraton) Pakuan ibukota Pajajaran. Mengasyikan sekali mengikuti kisah laporan-laporan dari masa VOC, cerita tentang kerajaan-kerajaan kuno seperti Taruma, Sundapura, Salakanagara, Kendan, Galuh, atau Pajajaran. Naskah-naskah kuno yang dibedah meliputi Waruga Guru, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa, Carita Parahyangan, dan banyak lainnya. Pokonya mantep banget dah…!

Karena sulit meringkas materi yang padat ini, jadinya saya sekip dan langsung loncat saja ke masa saat VOC memerlukan suatu ekspedisi pengenalan wilayah sekitar Batavia ke selatan hingga ke hulu Sungai Cisadane. Tim ekspedisi ini dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang membuka wilayah menjadi ladang-ladang, di antaranya yang terjauh adalah pembukaan wilayah Parung Angsana di bawah pimpinan Sersan Wisanala.

Sedangkan untuk penelitian wilayah hulu Cisadane VOC mengirimkan satu tim khusus yang dipimpin oleh Sersan Scipio dan dibantu oleh Tanujiwa (1687). Tanujiwa adalah seorang Sunda dari Sumedang yang oleh VOC disebut sebagai Leuiteunant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa). Ia mendapat perintah dari Joannes Camphuijs (1684-1691) untuk membuka hutan Pajajaran. Tanujiwa sebelumnya sudah membuka wilayah pedalaman Batavia (Kampung Baru Cipinang, dekat Jatinegara). Saat membantu Scipio, Tanujiwa mendirikan sebuah kampung baru lainnya di Parung Angsana dan menamakannya Kampung Baru (sekarang bernama Tanah Baru, Bogor). Wilayah inilah yang menjadi cikal bakal Kabupaten Bogor.{2} Dalam ekspedisi ini Scipio menemukan bekas-bekas parit, benteng, susunan bebatuan yang teratur yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran.

Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.

Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.

Bogor dan Buitenzorg
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri.
Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.

Van Imhoff membuat usulan agar wilayah di sekitar Buitenzorg dijadikan eigendom para gubernur jenderal secara in officio. Statusnya menjadi semacam tanah bengkok {4} yang harus dibeli oleh setiap gubernur jenderal baru yang menggantikan pejabat lama. Batas-batas tanah Buitenzorg adalah Gunung Gede, Puncak, Talaga Warna, Mega Mendung, Ciliwung, muara Cihideung, Puncak Gunung Salak, Puncak Gunung Gede. Wilayah seluas itu hanya dapat disewakan dan tidak boleh dijual kecuali kepada gubernur jenderal berikutnya. Pembeli pertama dari Van Imhoff adalah Jacob Mossel (1750-1761) dan yang terakhir Daendels (1808-1811) di tahun 1808.

Mengiringi kehadiran dan aturan wilayah Buitenzorg tersebut, Bupati Kampung Baru (Demang Wiranata) menyewa tanah kampung Sukahati untuk tempat kediamannya. Di luar pagar depan rumah tersebut terdapat sebuah kolam besar atau empang. Berangsur-angsur nama kampung Sukahati pun berganti menjadi Empang. Diperkirakan nama kampung Empang sudah muncul antara 1770-1775 sehingga menjadi salah satu kampung tertua juga di Bogor sekarang.

Tentang Kampung Empang dapat dibaca lebih lanjut tulisan rekan saya, Indra Pratama…
http://www.facebook.com/photo.php?pid=689451&op=1&o=global&view=global&subj=519229089&id=1639190943#!/note.php?note_id=283441354176

Pasar Bogor di dekat Kampung Bogor tumbuh pesat dan mengundang para pedagang termasuk kaum Tionghoa untuk menetap dan membuka usaha di sana. Mula-mula mereka menetap di daerah Lebak Pasar, namun kemudian berkembang ke arah sepanjang Jalan Suryakencana sekarang, sehingga kawasan ini dapat disebut Pecinannya Bogor. Para pandai tembaga atau paledang juga mendirikan pemukiman di lokasi Kantor Pos sekarang. Saat lokasi kantor pos tersebut dimasukkan menjadi bagian Kebun Raya Bogor, permukiman kaum paledang dipindahkan ke lokasi Kampung Paledang sekarang. Tokoh terkemuka kaum paledang adalah Embah Jepra. Makamnya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Kebun Raya Bogor sekarang.

Demikianlah awalnya secara berangsur Kota Bogor mulai terbentuk dan berkembang dengan pesat hingga terkesan tak terkendali seperti sekarang ini.

{1} “Soendanessch-Hollandsch Woordenboek” karya S. Coolsma diterbitkan oleh A.W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, Leiden, 1913
{2} Untuk bahan ini Saleh menggunakan acuan karya CHF Riesz “De Geschiedenis van Buitenzorg”, De Particulere Landrijen van Westelijk Java, G. Kolff & Co., Batavia, 1887
{3} Dr. F. De Haan “Priangan”, Deel 1-4, G. Kolff & Co., Batavia, 1911-1912
{4} Tanah desa yang dipinjamkan kepada pegawai desa untuk digarap dan diambil hasilnya sebagai pengganti gaji. Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008.

Referensi :

“Lie Kim Hok (1853-1912)”, Tio Ie Soei, L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung.
“Sejarah Bogor – Bagian I”, Saleh Danasasmita, Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor, 1983.
“Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia”, Mona Lohanda, Masup Jakarta, 2007.

Karya-karya Komunitas Aleut!

Aleut nggak hanya bisa jalan2, nonton film, baca buku, dll. di komunitas ini, setiap anggota juga disunahkan untuk menulis laporan kegiatan.. baik dari jalan2, dari nonton film, maupun kegiatan2 lainnya.,,

Tulisan2 itu bisa temen-temen baca di site ini

juga di

http://www.aleut.multiply.com

serta

FB : Komunitas Aleut

Notes tentang Aleut

untuk album foto ada di :

Album foto Komunitas Aleut 1

Album foto Komunitas Aleut 2

Aleut juga telah menghasilkan sebuah karya yang sudah go national, yaitu sebuah guide wisata “tidak biasa” untuk Kota Bandung dengan bekerjasama dengan tim dari majalah Intisari

what are you waiting for?

The Journey Across The River (Artinya : Ngaleut Cikapundung)

By : M.Ryzki Wiryawan
“Perjalanan ini… terasa sangat menyedihkan… Sayang kau tak duduk, di sisiku kawan..”

Itulah sepenggal lirik gubahan Ebiet G. Ade yang sangat tepat menggambarkan kondisi perjalanan Aleut kali ini. Tapi yang lebih tepat adalah lagu gubahan Papa T. Bob yang dinyanyikan oleh Joshua :

“Diobok-obok airnya diobok-obok…”

Kira-kira anda tahu sendiri lah kenapa saya memilih ungkapan dua lagu di atas…

Perjalanan Dimulai

Malam itu suasana hening,, tapi saya tak kuasa memejamkan mata karena satu alasan : Teu ngantuk ! Akhirnya saya memutuskan untuk begadang, siapa tahu begadang ini akan menghasilkan suatu manfaat di kemudian hari…

Pagi2nya entah kenapa datanglah satu-persatu orang ke rumahku, hingga akhirnya mencapai jumlah 27 orang-an, saat saya tanya mereka ternyata mereka hendak melakukan perjalanan ke Cikapundung. Dalam hati saya berpikir “Apakah yang ada di benak orang2 ini sehingga tertarik untuk menyusuri sungai kotor bin rujit yang bernama Cikapundung ?” tapi setelah saya tanya lagi dari komunitas mana mereka berasal, mereka menjawab dari “Klab Aleut”, saya langsung memaklumi tindakan aneh mereka… Klab ini memang paling suka melakukan perjalanan yang di luar batas nalar manusia normal… Saya pun memutuskan untuk gabung…

Titik perhentian pertama adalah sebuah Toko serba ada yang bernama “Circle K”, didirikan di sekitar tahun 2007-2008, dengan arsitek yang tidak diketahui, dan lokasinya menempel pada sebuah rumah bergaya kolonial “Boekittinggi” yang gayanya khas. Di sini peserta dapat melengkapi barang2nya untuk melanjutkan perjalanannya…

Titik pemberangkatan, “K” di sana melambangkan singkatan Klab Aleut…

Di kawasan yang disebut “Angker” oleh paranormal “Pak Leo”, kami menuruni jalan menuju aliran sungai cikapundung di daerah siliwangi. Perlu diketahui bahwa sungai Cikapundung ini dikenal sebagai sungai terpanjang di dunia karena membelah Asia-Afrika, terutama di daerah alun-alun Bandung.

Kami menuruni jalan yang terjal, kemudian naik lagi, kemudian turun lagi, dan begitulah kondisinya berulang hingga mencapa Curug Dago nanti. tetapi yang membuat seru adalah, dalam perjalanan ini kita melewati tidak hanya alam, melainkan juga perkampungan urban sisi sungai yang bisa kita amati kondisi sosialnya. Bagaimana keadaan sanitasi mereka, penataan raung mereka hingga aktivitas sosial mereka. Cukup bagus untuk melatih kepekaan sosial kita. Bahkan seorang anggota Klab Aleut tak kuasa menahan rasa penasarannya untuk mengetahui isi MCK di perkampungan tersebut. Padahal isinya gak akan jauh2 amat dari suatu aktivitas rutin manusia,,,

Rasa penasaran membawa bencana, jangan ditiru !

Sampailah kita di suatu lorong buatan Belanda bernama Terowongan Cibarani. Lorong ini lurus menembus sebuah bukit, dengan tinggi kira-kira 1,5 meter, dan ketinggian air di dalamnya selutut. Tidak ada yang menempati gua ini kecuali laba-laba, dan memang tidak ada maksud untuk ditempati siapapun, karena tujuan pembuatan gua ini adalah sebagai saluran air semata.

Kami melalui terowongan ini dengan tertatih-tatih, dengan suasana pengap dan gelap, entah apa yang menanti kita di dalam, beberapa teman dan saya yang tidak memakai sendal cukup khawatir dengan serpihan beling yang mungkin terserak di dalam terowongan. Tetapi kekhawatiran tersebut terbukti tidak terjadi. Kami dapat melalui gua dengan selamat sentausa. (Punten fotonya ngmbil dari koleksi orang..)

Para penghuni terowongan Cibarani

“Sueger Tenan !”…

Dari sini kita melanjutkan perjalanan ke sebuah Pintu Air buatan belanda bernama Watervang Cilimus. Pintu air ini tidak lagi berfungsi, tetapi bagi kami tetap saja bangunan ini berfungsi sebagai objek berfoto yang cukup menarik.

Tanpa banyak menghabiskan waktu, para Pegiat Aleut bergegas melanjutkan perjalanan, “CaaaP CUuuuuSSss !”

Kali ini kita sampai di sebuah PLTA Tanggulan, yang lagi-lagi dibangun Belanda. Di tempat inilah, kami harus melewati sebuah jembatan yang dibuat dari tong-tong bekas. Sungguh mengharukan…

Kami harus menyebrangi aliran air keluaran dari PLTA tadi. Beberapa rekan : Adi, Yanto dan Budi” langsung sigap menyiapkan tali guna membantu peserta menyebrangi aliran sungai. Hingga tibalah saatnya bagi saya untuk menyebrangi aliran air tersebut. Entah apa yang ada di benak saya, sehingga saat tiba di tengah-tengah aliran, mungkin akibat pengaruh begadang dan kesalahan teknis, tubuh ini kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang. Alhasil, sepatu, celana dan baju saya ikut terendam bersama isi-isinya… PEristiwa ini menjadi pemandangan yang cukup menarik bagi para pegiat , sayangnya tidak ada siaran ulang, hahaha…. Untunglah dompet dan hp saya selamat, walau celana basah hingga ke dalam-dalam. Setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil :

1. Jangan begadang sebelum perjalanan jauh, karena akan mempengarhui kondisi psikhis anda.

2. Bawalah pakaian ganti di setiap perjalanan alam, karena tidak ada factory Outlet yang buka di kawasan ini.

3. Jagalah keselamatan anda, hati-hati, jangan maceuh ! Bahkan saya yang cukup berpengalaman ngaleut selama bertahun-tahun bisa saja mengalami insiden tersebut. Intinya : Tidak ada manusia yang sempurna, yang sempurna cuma Tuhan dan Rokok.

CihuYYYyy !!

Dengan kebasahan yang amat sangat, saya melanjutkan perjalanan ke Curug Dago, dengan singgah sejenak di warung awi, sekalian menjemur celana supaya tidak masuk angin.

Mengenai curug dago ini, sudah saya bahas dalam karya saya sebelumnya yang membahas survey aleut menyusuri sungai Cikapundung (hehehe, bilang aja males nulis)
Sayangnya aliran curug ini tidak sederas terakhir kami ke sini, mungkin akibat pengaruh cuaca.

Yah, di tengah hari ini mulai terdengar suara demonstrasi dari dalam perut, pertanda cacing2 tengah protes menuntut pemenuhan konsumsi. Baiklah, saya dan pegiat lain mulai membuka bekal masing2, ada pula yang belanja di tempat. Terlihat beberapa pegiat menyuapi pegiat yang lain, sungguh romantis tetapi miris bagi pegiat lain, hahaha

KISAH ARI – ARI SANGKURIANG

Di tengah2 perjalanan pulang, di suatu warung yang lalu, saudara Taufanny terpikat oleh seorang wanita kembang desa bernama Bu Euis,, tanpa banyak tanya, ia langsung melakukan pendekatan dengan menanyakan “Bu, nami kampung ieu teh naon?”. gayung bersambut, pertanyaan tersebut menuai penjelasan panjang lebar mengenai asal nama kawasan tersebut “sanghiang santen” , ternyata berasal dari eksistensi situs bebatuan yang dipercaya sebagai titisan ari-ari sangkuriang yang legendaris.

Sang Kembang desa tengah berkisah

Tidak banyak yang mengetahui sejarah batu-batu mistik ini, bahkan penduduk sekitar. Kurangnya kepekaan sejarah membuat situs ini tidak terpelihara, sebuah batu bahkan ditimpa meja, dan lainnya ditembok serta dikeramik, memang kreaif, tetapi tidak solutif…

Setelah cukup lama menginterogasi Ibu Euis, para pegiat pun melanjutkan perjalanan pulang, dengan melalui jalanan yang menanjak sekitar 45 derajat. Buset !

Ahh,, akhirnya tiba di sumur bandung 4, setelah melakukan sharing singkat, para pegiat pun pulang ke rumah masing-masing,, Beberapa pegiat meluangkan waktu untuk jajan batagor bersama. Anehnya, tepat setelah matahari terbenam, entah kenapa saya tiba2 tidak sadarkan diri,, semuanya gelap…

Potret Kondisi Perkampungan Urban

Menyusuri Cikapundung Part I (03.05.09)

By : Natasha Dilla A Wijayabrata
“Malam ini aku harus tidur cepat”, pikirku setelah menunaikan ibadah solat isya. Terdengar ketukan seseorang di pintu kamarku. Ternyata ibuku. “Mau dibikinin apa buat besok?”, tanya beliau. “Emm.. apa aja lah!”, jawabku sekenanya. Tiba-tiba ibuku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya, “Nih, beli makanan kecil atu jig di Alfa buat besok!”. Segera aku melompat dan menyambar lembaran uang kertas tersebut dari tangannya.

Air mineral, sebotol Love Juice, keripik Lays, kue kesukaan widi (kebetulan aku juga suka), dan permen adalah beberapa item yang kubeli untuk perjalanan aleut besok. Besok, kami akan menyusuri Sungai Cikapundung, mulai dari Babakan Siliwangi sampai Curug Dago.

Setelah menyetel alarm di hape, aku segera memejamkan mata.

Terdengar alunan musik ”Dew” dari hapeku. Aku bangun dari tempat tidur dan hendak memasak air panas untuk mandi. Sesampainya di dapur, aku melihat ada seseorang yang telah mendahului niatku itu. Ibuku yang melakukan hal itu rupanya. Tanpa basa-basi, aku segera kembali ke kamar, tidur lagi…. Zzzzz.

Pukul lima subuh, aku mandi. Setelah sarapan ala kadarnya, aku berangkat menuju Sumur Bandung Straße Nummer vier. Di depan jalan, terlihat chaching sudah menungguku ditemani ayahnya. Setelah berbasa-basi mengenai keterlambatanku, kami segera menyetop angkot menuju kediaman sang koordiantor aleut.

Terlihat sekumpulan orang memenuhi halaman kediaman sang koordinator. ”Assalammualaikum.” teriakku ketika sampai di dekat kerumunan tersebut. ”Dik, dari Unpad ya?” kelakar Bang Ridwan, salah seorang dari kerumunan tersebut. ”heheh.. iya, Pak” jawabku singkat.

Kami dikumpulkan dalam sebuah lingkaran kecil di halaman rumah Ayan, koordinator Aleut. Berdoa adalah hal yang wajib dilakukan sebelum mengerjakan sesuatu. Kamipun berangkat menuju tujuan pertama, ”Circle K”. Bagi teman-teman yang hendak membeli perbekalan, sekaranglah saatnya. Setelah sempat berfoto di depan halaman ”Circle K”, kamipun capcus melanjutkan perjalanan kami.

Tiba di jembatan Babakan Siliwangi, sempat kami berhenti untuk memilih jalan mana yang akan kami tempuh. Jalur kanan sungai adalah jalur yang kami pilih saat itu. Dalam penglihatanku, jalan itu terlihat agak licin. Aku membiarkan Mete jalan di depanku agar bisa ”membimbing”ku ke ”jalan yang benar”. Sesekali aku menyibakkan dedaunan yang menghalangi jalanku. Di depan kami, jalan turunan menghadang. Wah ”ujian pertama”, pikirku dalam hati. Sempat terlintas pikiran untuk ”menyerah” di dalam benakku. Untunglah pikiran tersebut tidak bertahan lama di benakku (maenya we karek ge sakieu geus menyerah, heu). Segera aku menyambut tangan Mete yang sudah menjulur sedari tadi hendak membantuku menuruni turunan tersebut. ”Pake dua tangan ahh!” pintaku padanya seraya menjulurkan kedua tanganku. HAP! Aku meloncat sekuat tenaga. Aku mendarat dengan sukses di dataran tanah basah yang agak licin. Kemudian satu-persatu, pegiat aleut yang lainnya melakukan hal yang sama. Aku tidak menyangka masih ada pemandangan seperti ini di kota besar seperti Bandung. Sawah-sawah, kolam kecil, WC yang hanya ditutupi karung. Pokoknya desa banget deh!

Sampailah kami di sebuah sungai dengan aliran kecil, Sungai Cibarani, begitulah sungai itu disebut. Setelah mendengar sedikit penjelasan tentang sungai tersebut (sebenarnya aku ga ngedenger, da ga kedengeran, hehe), Bang Ridwan memberi pilihan kepada kami semua. Apakah kami akan melanjutkan perjalanan melalui jalanan kering, atau berjalan kukucuplakan, nganclum di sungai yang memiliki terowongan, lebih tepatnya saluran air berupa terowongan mirip gua kecil. Kami semua sangat tertarik untuk melewati terowongan tentu saja. Selain penasaran, manusia kan paling suka maen aer ato ga maen api. Aku sangat ingin kukucuplakan, tapi aku sempat dihinggapi ketakutan kacugak beling, karena perjalanan melalui terowongan air ini, mengharuskanku membuka sepatu, karena aku embung sepatu aku kebasahan. Setelah diyakinkan oleh Bang Ridwan bahwa di sungai ini tidak mungkin ada beling, akupun yakin untuk kukucuplakan. ”Bismillah.” Ternyata kekhawatiranku memang tak menjadi kenyataan. Aku berhasil sampai di ujung terowongan dengan selamat. ”Alhamdulillah.” aku memuji Allah SWT. Di ujung terowongan, aku sempat berfoto untuk bukti bahwa aku pernah melewati terowongan saluran air Sungai Cibarani. Mungkin penghuni tunggal terowongan tersebut sempat mengeluh karena sarangnya agak rusak oleh kami. Yup! Spider webs melintang di sepanjang langit-langit terowongan tersebut.

Perjalanan kami lanjutkan di sisi kiri sungai Cikapundung. Banyak lumpur juga ternyata. Kakiku terjerembab ke dalam lumpur yang untungnya tidak terlalu dalam. Tapi sepatu dan kaos kakiku menjadi korban dari lumpur tersebut, KOTOR! (untung kaos kakinya murah, dapet beli di Paun, hehe). Walaupun begitu, kotor tidak menjadi masalah buatku. Akhirnya sampailah kami di pintu air Limoes ya kalo ga salah. Setelah sempat berfoto-foto, satu-persatu dari kami menaiki tanjakan dengan bantuan seutas tali yang telah dipersiapkan oleh salah seorang dari kami. Sesampainya di atas, kami tak kapok untuk berfoto kembali (iraha deui). Persawahan menyambut kami kembali, setelah sebelumnya kami melewati komplek perumahan yang lumayan bagus. Aku sempat bingung bagaimana cara mereka menembus jalan raya dari sini, karena melihat track yang tadi kami lalui, rasanya sangat mustahil jika mereka melewati track yang kami lalui jika ingin ke kota (kabayang!). Tapi ternyata, ada jalan keluar masuk yang bisa dilalui kendaraan. Oohhh….

Setelah melewati sengkedan-sengkedan, kami bertemu kembali dengan Sungai Cikapundung, kali ini kami melewati jalur disebelah kanannya. Beberapa puluh meter kemudian, kami diharuskan menyebrangi jembatan yang dibuat dari drum-drum minyak bekas (sungguh memprihatinkan). Dilanjutkan dengan melawan arus sungai dibantu dengan seutas tali yang akan membantu menjaga keseimbangan kita. Satu-persatu dari kami melewatinya dengan sukses. Giliranku tiba. Yeay Yippie suksess!! Tetapi hal itu berbanding terbalik dengan teman yang berada tepat di belakangku. Sungguh ironis. Dia tigujubar ke sungai. Entah apa yang membuatnya tigujubar. Air sungai menenggelamkan tubuhnya, dan hanya menyisakan kepalanya. Semua yang dipakai dan dibawanya basah kuyup. Gelak tawa semua pegiat aleut yang melihat kejadian tersebut berhamburan, seakan tak peduli dengan kemalangan yang menimpa salah seorang dari rekan mereka. Tetapi sesungguhnya aku sedih (sedih atau terhibur? Yah, beda-beda tipislah, peace!). Mengapa dia harus mengalami hal yang malang untuk kedua kalinya, heuheu. Untung hape-nya ga rusak lagi. Tak perlu kusebut siapa orangnya. Karena semua sudah tau bukan siapa orangnya. Bahkan malaikat juga tau.

Sampailah kami di warung, yang jika dihitung, itu adalah warung yang ke…. berapa ya? Aku lupa. Beristirahat sejenak dan jajan adalah tujuan utama kami berhenti di warung tersebut. Beberapa dari kami ada yang duduk selonjoran, jajan, minum, ngopi, dan ada juga yang moé awak dan baju yang basah akibat tigujubar di walungan. Perjalanan dilanjutkan….

Singkat cerita, sampailah kami di Curug Dago. Ada pemandangan yang tidak enak buatku ketika sampai disana. Para remaja SMP, istilah sekarang sih ABG, terlihat duduk-duduk di sebuah Gazeebo, asumsiku sih mereka lagi bobogohan. Miris uy ngeliatnya. Mereka kan belum cukup umur untuk bobogohan. Yang lelaki merangkul perempuan di sebelahnya. Ga enak deh ngeliatnya. Males. Yasudlah.

Untuk mencapai curug ini, kami harus menuruni dan menaiki berpuluh-puluh tangga. Kondisinya sangat buruk. Licin, tidak ada pegangan, sangat tidak aman bagi siapapun yang menggunakannya. Di anak tangga terakhir, kami disambut oleh prasasti batu yang bertuliskan aksara Thailand di atasnya. Konon, tempat ini pernah disinggahi oleh Raja Chulalonkorn (Rama V) dan Pangeran Prajathipok Paramintara (Rama VII) dari Thailand. Prasasti ini lumayan terawat, karena dibangun bangunan beratap mirip Gazeebo dan kaca sebagai dinding di sekelilingnya. Di salah satu sisi kacanya, terdapat tulisan yang memberitahukan bahwa tempat itu pernah disinggahi oleh raja dan pangeran Thailand. Ada tiga bahasa kalo ga salah, bahasa Thailand, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sayang sekali, suasana yang didapat kurang begitu dramatis. Curug Dago berkesan biasa saja. Padahal menurut beberapa pegiat aleut yang sebelumnya pernah kesini, ketika itu mereka disuguhi kabut dan embun di sekeliling Curug Dago. Mungkin karena pada perjalanan kali ini, kami ditemani udara yang cukup panas, maka suasana dramatis yang kuharapkan tak muncul pada saat itu. Debit air yang jatuh dari ataspun terlihat kecil.

Saatnya membuka bekal. Waktu makan telah tiba. Tempat yang dipilih untuk makan siang cukup unik, yaitu di pinggiran sungai yang kering. Kabayang mun ada air bah, bisa-bisa kami semua tersapu oleh derasnya air bah, tapi moal mungkin. Sebagian dari kami yang tidak membawa bekal dari rumah, dengan terpaksa membeli makanan yang ada di warung yang tak jauh dari tempat kami makan. Tempatnya PW kata aku mah. Jadi betah diem lama-lama disitu. Tapi kami tak bisa berlama-lama. Segera setelah santap siang dan sedikit ngaso, kami semua beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.

Dalam perjalanan pulang, pemandangan yang disuguhkan tidak jauh berbeda dari pemandangan-pemandangan sebelumnya. Suasana pedesaan masih setia menemani kami. Rumah-rumah penduduk yang sangat padat kembali menyambut penglihatan kami. Ada kisah unik pada saat perjalanan pulang. Kami menemukan sebuah batu, sebenarnya ada tiga buah, yang dipercaya oleh penduduk sekitar sebagai jelmaan dari bali Sangkuriang (”bali” dalam bahasa Indonesia berarti tali pusar). Kondisi situs itu sangat memprihatinkan. Terdapat di dalam rumah warga. Salah satu batunyapun sudah raib tertimbun ubin rumah. Bahkan sang empunya rumah tersebut tidak mengetahui kisah dibalik batu-batu tersebut. Merupakan kisah yang mungkin tidak banyak orang yang tau.

Tibalah kami di Jalan Kiputih, daerah Ciumbuleuit. Dari situ, kami menyewa angkot untuk kembali ke kediaman koordiantor aleut di Jalan Sumur Bandung Nomor 4. Dua angkot sewaan segera meluncur menuju Sumur Bandung. Tiba disana, kami berbagi kesan-kesan selama perjalanan.

Akhirnya sampai juga di rumah tercinta. Cape. Pengen mandi aer anget. Setelah mandi, kusempatkan diri untuk menyembah Sang penguasa alam. Setelah itu, aku tak sadarkan diri di kasur. Saat kubuka mata, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Linglung. Aku pikir sudah pagi.

Sungguh perjalanan yang mengesankan….

Catatan Perjalanan Pemula: Cikapundung Walk…

By : Kristanti Dwi Putri
Whew, kali ini aku si penulis amatir mencoba mendokumentasikan sebuah perjalanan…

Minggu,10 Mei 2009
7:33
Ngaleut menyusuri aliran Sungai Cikapundung bagian 2 ini diikuti 28 orang pegiat yang sebagian besar masih ‘segar’ alias pendatang baru. Seperti biasa, kami memulai perjalanan dari Markas Besar aleut alias Sumur Bandung 4, dan seperti biasa juga ada beberapa pegiat yang mampir ke Circle-K untuk beli perbekalan. Sebenarnya kunjungan ini inisiatif Bang Ridwan (a.k.a Paman Mooi) untuk beli MIZONE, eh ga taunya teman-teman yang lain jadi ikutan ;p (pesan: kalo mau sehat dan kuat kayak BR, perbanyaklah konsumsi MIZONE setiap hari…)
Oiya, rute kali ini tidak se-ekstrim ngaleut Cikapundung bagian 1 karena sekarang kita mencoba menelusuri daerah pemukiman kota Bandung, bukan menelusuri pesawahan dengan tanjakan dan turunannya yang menyengsarakan itu ;( Rute singkatnya; Pemukiman daerah Babakan Siliwangi – Wastukancana – Braga. Pemandunya? Yup, seperti biasa lagi, kita selalu berpedoman pada yang lebih tua jadi siapa lagi kalau bukan BR… hihi.
Seperti apakah perjalanan kita hari ini?? Hehe, just enjoy and see!

7:36
Kami berjalan memasuki pemukiman melewati jalan pinggir Sasana Budaya Ganesha, dan berhenti sebentar di atas jembatan untuk mengamati sebuah pintu air dan sungai yang (!@#$%^&*). Di atas sungai berdiri rumah-rumah sederhana yang dibangun dengan bahan seadanya; seng, triplek, atau bilik. Teman-teman yang membawa kamera langsung memanfaatkan momen untuk mengabadikan pemandangan unik tersebut. Begitu turun ke pemukiman, kami berhenti lagi di sebuah jembatan dan menyaksikan pemandangan yang sama. Di pinggir sungai saya melihat ada sebuah tambak, dan otak saya langsung berputar; sungai sekotor ini ternyata masih menyimpan potensi, hahaha… kata BR sih itu tambak ikan mas. Waduh2. Setelah itu kita langsung berhadapan dengan perkampungan penduduk yang sempit nauzubilah, yang gang-gangnya cuma muat untuk lewat satu orang dan gelap banget. Suasananya mirip perkampungan kumuh India seperti yang digambarkan di film Children of Heaven dengan tangga-tangga sempit dan susunan rumah-rumahnya yang terkesan tumpang tindih. Karena nggak ada orang yang nggak suka difoto, sepanjang perjalanan kami tidak pernah melewatkan sesi foto bersama ;p Yang saya rasakan lagi di sini adalah suasana perkampungannya yang sangat kental, di mana terdapat para ibu berdaster yang sedang ‘bersocieteit’ di teras rumah sambil mengerjakan pekerjaan dapur seperti memarut, mengiris, dsb. Hiruk-pikuk anak-anak kecil yang sedang berkejar-kejaran juga mewarnai perkampungan ini. Supaya tidak tersesat dan keluar dengan selamat kami mengandalkan informasi dari warga yang umumnya ramah-ramah.

-Memasuki Pemandian Cihampelas d/h Bandoeng Badplaats-
Waduh saya lupa lihat jam. Kami muncul dari belakang gedung Cihampelas Walk dan disambut pohon-pohon bambu. Kami menemukan reruntuhan bangunan yang ternyata adalah bekas bangunan Pemandian Cihampelas. Ugh, sepertinya para investor dan pemerintah kita memang tidak pernah tertarik pada pelajaran sejarah semasa sekolahnya, makanya mereka tidak pernah bisa menghargai sejarah dan cagar sejarah seperti ini main dibabat saja. Kali ini kami mendapat kesempatan untuk masuk ke dalam pemandian berkat bantuan A Yanto si pemanjat ulung hehe. Banyak hal menarik yang saya temukan di sini. Di antaranya tulisan-tulisan dengan ejaan lama seperti ‘Bagian Pria – Pasti hilang – Djangan meninggalkan barang-barang di kamar pakaian’,’Djagalah Kebersihan’. Dilihat dari ejaannya mungkin itu ditulis sekitar tahun 50an. Juga ada plakat merah besar berbunyi ‘Pemandian Tjihampelas’ di atas dinding kolam. Nah yang paling menarik ada sebuah patung besar berwujud Dewa Neptunus sambil menuang air dari gentong yang dipegangnya. Beberapa pegiat langsung mengabadikan dirinya lewat kamera dengan berdiri di samping sang dewa (pasti buat dipajang di Facebook.. haha..) Di pemandian ini terdapat 3 buah kolam. Kolam pertama yaitu kolam tempat patung tersebut berada, kolam kedua dibuat khusus untuk anak-anak karena ada papan luncur pelangi-nya, dan kolam ketiga kolam besar yang dipakai untuk pertandingan. Menurut sejarah, pemandian ini adalah pemandian pertama di Hindia Belanda, dirintis oleh istri pendiri Hotel Savoy Homann pada tahun 1902. Dulu pemandian ini bentuknya masih sederhana, berbentuk empang dan belum ada pagar pembatas hingga kodok dan ular pun bisa masuk dan ikut berenang, hii.. ( Wajah Bandoeng Tempo Doeleoe, Haryoto Kunto )
Teruuss, pemandian ini juga yang dijadikan tempat tes berenang untuk para calon anggota Heiho alias tentara Jepang. Jadi kalo kamu mau jadi Heiho harus lulus tes berenang di Pemandian Tjihampelas dulu… Terus lagi, tempat ini masih dipergunakan sebagai tempat perlombaan waktu masih jaman-jamannya PON (Pekan Olahraga Nasional). Itulah sedikit kenangan masa keemasan Pemandian Cihampelas… hiks.

-Pohon besar, Jalan Pelesiran, dan Kampung Bongkaran-
Hehe saya mulai mengacuhkan waktu entah karena capek, malas, atau keasyikan dengan perjalanan. Keluar dari pemandian kami langsung disambut oleh jembatan yang lagi-lagi ada tambak ikan masnya dan sekumpulan ibu-ibu yang sedang mencuci perabot. Sampai di jalan masuk kampung –err.. saya nggak catat namanya– kami terpesona oleh sebuah pohon yang sangat sangat besar. Tapi sayang dahannya banyak yang ditebang karena menghalangi rumah- rumah yang dibangun di pinggirnya. Dan tidak hanya satu, tetapi ada 2 lagi pohon serupa yang berdiri tak jauh dari pohon pertama. Ternyata pohon-pohon ini sengaja ditanam oleh orang Belanda sebagai penyerap dan penyimpan cadangan air. O iya ada satu pemandangan unik yang saya lihat di pemukiman ini. Ada warga yang sempat-sempatnya memelihara kambing di samping rumahnya… Kasihan si Kambing, dikurung di kandang yang cuma muat sebadan-badan plus di atas sungai pula.. kalo jatuh terus keseret arus gimana ya? hiks…
Keluar dari sini kami menembus jalan Pelesiran, yang ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan lokalisasi pelacuran atau ‘pelesir’. Keluar dari jalan Pelesiran kami sampai di Kampung Bongkaran yang letaknya persis di bawah jembatan layang Pasupati. Kabarnya penduduk sini nggak rela kampungnya digusur buat dibangun jembatan. bahkan ada warga yang ngancam mau bunuh diri segala… Tapi kan mereka juga nggak punya izin bangunan dari pemerintah tuh, jadi ya terima risiko saja deh…

-Jalan Lingga Wastu — Merdeka Lio —
Dari sepanjang perjalanan inilah objek yang paling saya senangi karena di sini masih banyak terdapat rumah-rumah peninggalan Belanda dengan ciri jendela-jendela tingginya yang khas. Dari lingga wastu kami berhenti untuk beristirahat di muka jalan Merdeka Lio. Hm, nama yang unik untuk sebuah jalan. Lio, dalam bahasa Cina berarti genteng. Merdekanya? Dulu, penduduk yang tinggal di sini dibebaskan dari pajak oleh pemerintah karena mereka membuat perabot dari tanah liat dan bahan-bahan bangunan termasuk genteng untuk pembangunan komplek Pangdam. Jadi para penduduk itu ‘merdeka’ dari pajak berkat si Lio ini ^^

-Kebon Sirih — Babakan Ciamis — Landraad-
Ke pemukiman lagi! Kalau di sini rumahnya lebih ‘koeno’ lagi. Kami menemukan beberapa rumah gaya abad 19 yang kata BR ‘wah mantap sekali rumahnya’. Memang mantap sih, rumah-rumah itu sederhana, mungil, tapi asri. Ada yang temboknya sudah pakai bata tapi ada juga yang masih pakai bilik. Di sini juga kami merasakan suasana ‘hari minggu banget’ saat melihat beberapa orang tua yang sedang bercengkrama di teras rumah tua dan dirindangi pohon, wihh asyik banget kayaknya. Daaann setelah berjalan berpuluh langkah lagi sampailah kami ke perkotaan, tepatnya di samping Landraad alias Gedung Indonesia Menggugat. Di sini kami duduk-duduk melepas lelah dan rupanya para pegiat baru yang belum pernah berkunjung ke sini memanfaatkan kesempatan untuk melihat-lihat isi gedung di mana Soekarno pernah diadili ini.

-Suniaraja-
Lanjut! Lewat Viaduct, kami berjalan menuju sebuah pemukiman yang diharapkan akan membawa kami ke gang Afandi. Suasana di pemukiman ini terasa berbeda dengan pemukiman-pemukiman sebelumnya karena penduduknya yang kurang ramah dan terkesan acuh tak acuh menanggapi kami. Mungkin karena mereka sudah terbiasa melihat turis-turis atau orang-orang dari pemerintahan yang hanya datang ke sana untuk meninjau tanpa memberi kontribusi buat kesejahteraan mereka. Atau mungkin juga karena mereka sudah antipati terhadap ‘orang kota’ yang terkesan sombong dan seenaknya (gara-gara pembangunan hotel di braga city walk).
Hal itu membuat kami kesulitan dalam menemukan jalan keluar, dan yang semula berencana ingin muncul dari gang affandi eh malah keluar lewat banceuy u_u

-Pendopo — Braga-
Haha.. untuk menuju ke alun-alun tentu kita harus menyebrang. Karena tidak ada zebra cross dan lalu lintas yang ramai kami terpaksa menyebrang menggunakan sang jembatan legendaris: jembatan pesing! yang tentunya beraroma.. hm.. nice..nice! Turun dari jembatan beraroma saya harus berhadapan matahari yang mulai terik dan errgh… rasanya pengen pingsan… mudah-mudahan bisa diobati oleh Oom Adi humas andalan kita yang memperoleh izin masuk ke pendopo. Tapi sayang beribu sayang karena hari libur pak penjaga tidak mengizinkan kami masuk… Yah, nggak apa-apa deh, masih ada lain waktu…
Kami terus berjalan menuju Braga dan berhenti di Majestic alias AACC. Tapi berhubung tempatnya tidak kondusif untuk diadakan evaluasi akhirnya kita pindah ke Braga Café untuk sekalian makan siang.

Hmmp, tentunya dari perjalanan yang tidak begitu panjang (kalo dibandingin sama yang kemarin) ini saya harus mendapatkan sesuatu bukan hanya capek atau panasnya saja. Yap, banyak hal yang saya dapat, di antaranya saya baru tahu kalau ternyata penduduk Bandung itu banyak-banyak-banyak sekaliii… Yang nggak habis pikir (tentunya dari sudut pandang saya sebagai warga yang tinggal di pusat kota) bagaimana bisa penduduk sebanyak itu hidup di lingkungan yang sempit, dengan sanitasi yang buruk pula, plus jalannya yang bikin pusing kayak labirin.. (terutama yang di gang suniaraja) waduh kalo saya tinggal di sana kayaknya nggak akan sanggup ngapalin jalan masuk sama keluar dari sana ;p
Oiya selama perjalanan kami juga tidak hanya foto-foto, bercanda, dan bercerita saja tetapi belajar Biologi juga, haha.. dan A Yanto serta BR lah yang banyak berperan di sini. Misalnya soal pohon besar yang tadi diceritakan, sempat terjadi perdebatan apakah itu pohon Ki Hujan atau pohon Loa? atau pohon Asem? Haha.. Juga banyak tanaman-tanaman yang sebenarnya sering lihat tapi nggak tahu namanya, jadi tahu juga akhirnya.
Kesimpulan yang bisa saya ambil, sungai Cikapundung yang merupakan sumber daya alam milik kota Bandung seharusnya menjadi sesuatu yang menjadi tanggung jawab bersama, tanggungan semua kalangan masyarakat bukan hanya dari pemerintah saja, bukan dari masyarakat sekitar bantaran sungai saja, atau bukan dari kita saja sebagai generasi muda. Harapannya, teman-teman yang mengikuti perjalanan ini bisa menjadi lebih sensitif terhadap isu apapun yang menyangkut lingkungan kita, karena itu yang akan merangsang kita untuk berbuat sesuatu yang berarti untuk lingkungan kita.
Jangan sampai Cikapundung yang dulu menjadi kebanggaan Bandung malah menjadi senjata makan tuan bagi kita semua… Ok… Bersama Kita Bisa!! (kayak iklan caleg????)

Oeroeg… ampe keringetan..

By : R.Indra Pratama
Terimakasih untuk KINE Aleut yang udah ngajakin nonton film ini.. pilihan BR tea..

Oeroeg adalah film yang dibuat oleh sutradara asal Beanda Hans Hylkema (yang menurut kang Budi dibuat untuk memperingati something about hubungan baik Indonesia-Belanda),tahun 1993, berdasarkan novel berjudul sama karya Hella Haase yang diterbitkan pertama kali tahun 1948.
Jika benar film ini dibikin untuk tujuan itu, saya malah menangkap hal yang berlawanan dengan sesuatu “hubungan baik” di film ini.
Film ini mengisahkan tentang Johan (Rik Launspach), seorang tentara “cabutan” Belanda yang lahir dan besar di Hindia Belanda lalu meneruskan kuliahnya di Belanda sebelum di”cabut” menjadi tentara dan kemudian dikirim lagi ke Indonesia untuk agresi militer (saya nggak ngeh itu agresi militer yang mana). Di Indonesia, ia pun bertekad mencari keberadaan ayahnya yang kabarnya ditawan oleh Jepang (ayahnya adalah seorang pemilik perkebunan di daerah Kebondjati). Sesaat sebelum menemukan ayahnya (yang tewas dengan cara yang sampai akhir film tidak saya ketahui), ia mengalami “pertemuan singkat” dengan sahabat lamanya, anak jongos ayahnya, yaitu Oeroeg (Martin Schwab), seorang bumiputera yang beruntung karena bersahabat dengan Johan dan dengan asuhan Lida (guru dan induk semang Johan dan Oeroeg) ia bisa memperoleh akses pendidikan tinggi.
Lalu sisa film pun dihabiskan dengan pencarian Johan akan Oeroeg, trauma kematian ayah Oeroeg dengan latar kekacauan politik Indonesia pasca kemerdekaan.

Ya itulah untuk sinopsis, karena saya benci menulis sinopsis..

Bagi saya, menginterpretasi film ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Alur maju-mundur, wajah para pemeran yang tidak khas, tidak bagusnya subtitle, serta perubahan bentuk latar karena alur maju-mundur itulah yang agak sulit untuk ditangkap bila tidak konsentrasi.
Tetapi saya sangat menyukai sudut pandang dari film ini yang mengisahkan hubungan Belanda-Indonesia, yang menjajah dengan yang terjajah, dengan Level of Analysis individual, dimana kita bisa melihat (apabila benar) bagaimana pola hubungan sosial antara orang Belanda dengan orang Indonesia, bagaimana begitu sulitnya bagi Oeroeg dan Johan untuk berteman, dikarenakan perbedaan warna kulit (racism sucks..) dan bagaimana bisa muncul banyak prasangka karena perbedaan-perbedaan yang sebetulnya horizontal.
Yang menarik lagi dari film ini adalah tokoh Lida (Josée Ruiter) yang dengan perannya yang aneh, serba tahu dan misterius, mampu memutar balikkan semua tebak-tebakan saya akan jalan cerita selanjutnya (ketika melihat dia di radio propaganda).
Yang saya dapat dari sini adalah ketika suatu hubungan “positif” (pertemanan, cinta, dll.) didasari dengan perbedaan besar yang natural (ras, etnik, dkk.) akan lebih sulit untuk mempertahankan hubungan tersebut. Hubungan pertemanan yang rusak seperti Johan-Oeroeg adalah sesuatu yang wajar terjadi jika jurang perbedaannya sebesar mereka.

4 bintang lah!

P.S : di film ini ada Ayu Azhari looo.. dan seseorang yang kalau kamu sadar itu dia, pasti akan tertawa..

film poster
Novel-oeroeg

Menyusuri Cikapundung Part II (10.05.09)

By : Natasha Dilla A. Wijayabrata

Minggu itu, tanggal 10 Mei 2009, saya dan para pegiat Klab Aleut hendak mengadakan perjalanan menyusuri Sungai Cikapundung, salah satu sungai utama yang mengaliri Kota Bandung. Sebenarnya ini adalah track kedua setelah sebelumnya kami menyusuri Sungai Cikapundung dari Babakan Siliwangi sampai ke Curug Dago. Kali ini kami menyusuri Sungai Cikapundung dari Babakan Siliwangi ke arah hilir hingga tembus di Jalan Wastukencana dan Jalan Braga.

Seperti perjalanan-perjalanan Klab Aleut sebelumnya, kami berkumpul di halaman kediaman sang koordinator Aleut.

Keadaan Sungai Cikapundung sungguh sangat menyedihkan.. Masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai tidak menjaga kebersihan di tempat mereka tinggal. Semua orang menyadari bahwa air merupakan sumber penting dalam kehidupan. Tetapi mereka tidak menghargai dan menghormati sumber penting itu. Hal itu dapat dilihat dari ketidaksadaran mereka terhadap kebersihan. Beberapa kali saya melihat beberapa warga yang sedang membuang sampah dan limbah rumah tangganya ke dalam sungai.

Setelah beberapa ratus meter berjalan menyusuri gang-gang sempit yang dihiasi rumah-rumah petak yang sangat pengap, sampailah kami di reruntuhan bangunan yang pada masanya sangat berjaya, Pemandian Tjihampelas. Bangunan yang semula bernama Eropa Zwembad ini merupakan salah satu ikon di Jalan Cihampelas. Bagaimana tidak, kolam renang ini menjadi tempat berkumpulnya warga Belanda dan Eropa lainnya di masa penjajahan. Pemandian Tjihampelas merupakan salah satu kolam renang tertua di Kota Bandung. Tempat ini sangat eksklusif karena hanya diperuntukkan bagi bangsa Belanda dan Eropa lainnya. Penduduk pribumi, jangankan mandi, masuk saja tidak boleh. Mereka menganggap nista dan menyamakan pribumi dengan binatang. “Terbukti dengan papan peringatan: ‘Anjing dan pribumi dilarang masuk!’,” (Kutipan tulisan wartawan senior Her Suganda, dalam bukunya Jendela Bandung). Baru setelah Belanda kalah bertekuk lutut pada Jepang, pengumuman itu tidak berlaku lagi. Kepemilikan pemandian ini beralih ke tangan pribumi setelah kemerdekaan. Kolam ini dimiliki R Tjandra Prawira sejak 1948. Pengelolaannya ada di bawah PT Pemandian Tjihampelas. Sejak itu, Pemandian Tjihampelas menjadi kolam renang yang dapat digunakan semua kalangan. Bahkan, Pemandian Tjihampelas juga menjadi tempat para siswa sekolah yang berlatih renang sebagai bagian dari pendidikan olahraga. Kondisi kolam pemandian menurun sejak Tjandra Prawira meninggal dunia pada 2006. Kini, bangunan bersejarah itu hanya tinggal puing-puing. Ini bukti dari ketidakpedulian Pemerintah Kota Bandung terhadap bangunan-bangunan penting dan bersejarah di Kota Bandung.

Hal ini hanya salah satu dari sekian banyak kasus serupa di Kota Bandung. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung mengaku kesulitan dalam menjaga aset bersejarah yang menjadi milik perseorangan. Mereka berdalih tidak ada payung hukum untuk melakukan pengawasan terhadap aset bersejarah di Kota Bandung. Hal tersebut disebabkan pula oleh faktor ekonomis pemilik aset perseorangan yang tidak mampu dalam hal perawatan, sehingga bangunan tersebut beralih fungsi menjadi bangunan komersil karena letaknya yang strategis di area pusat kota.

Sebenarnya, kawasan Cikapundung ini merupakan kawasan yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan Sungai Cikapundung. Dimulai dari daerah aliran sungai bagian utara yang masih hijau, lalu kebagian tengah yang berada di pusat Kota Bandung, sampai ke bagian selatan. Setiap daerah tersebut mempunyai ciri yang berlainan. Di dalam rencana tata kota lama, kawasan bantaran Sungai Cikapundung mulai daerah Wastukancana ke utara harus dijadikan kawasan hijau yang berperan sebagai paru-paru kota, berperan untuk pendidikan alam, rekreasi atau wisata. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dewasa ini, seharusnya kita tidak hanya menerapkan konsep lama ini, bahkan seharusnya kita meningkatkan standar kualitas lingkungan tersebut.

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑