Kisah Dago Pakar dan Mata Air Cibitung

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hari Minggu lalu, 28 Mei 2023, saya berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kolam Pakar. Lalu iseng menuruni jalan setapak yang sudah dirapikan menuju sebuah lembahan. Awalnya hanya ingin lihat-lihat saja, tapi ternyata saya bertemu seseorang yang dengan lancar membagikan sebuah cerita. Sayangnya beliau berkeberatan namanya disebut dan tidak ingin informasi tentang dirinya diketahui.

Berikut ini saya ringkaskan apa-apa yang saya dengar dari beliau. Ditulis apa adanya, sesuai dengan cerita yang saya dengar dan catat, tidak ditambah atau dikurangi.

Situs Mata Air Cibitung di Dago. Foto: Aditya Wijaya

Pakar

Alkisah pada tahun 1826 datanglah seorang pembesar Kerajaan Sumedang Larang ke suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Dago Pakar. Beliau bernama Raden Rangga Gede menjabat sebagai Adipati Sumedang Larang, putra dari Rangga Gempol. Beliau datang untuk memenuhi wangsit atau panggilan jiwa untuk bertirakat dan menyebarkan agama Islam di wilayah Pakar.

Akhirnya beliau tinggal di lokasi yang sekarang berada di sekitar PLTA Dago Bengkok dan Kampung Cibitung. Di lokasi ini sekarang terdapat permakaman tua dan makom milik beliau. Setelah tinggal dan menetap, suatu waktu Raden Rangga Gede membuat sayembara untuk mengadu kekuatan. Datanglah orang-orang dari seluruh penjuru negeri untuk beradu kekuatan di sini.

Raden Rangga Gede memiliki seorang tangan kanan bernama Eyang Lada Kasirun. Dia dengan berani seorang diri menghadapi seluruh penantang yang ingin unjuk kekuatan. Ada satu kesepakatan atau aturan yang dibuat oleh Raden Rangga Gede. Siapa saja yang ingin beradu kekuatan di sini jika kalah maka harus siap menyimpan alat-alat atau perkakas tempurnya. Akhirnya semua penantang gugur satu persatu dan perkakas tempurnya ditinggal dan ditanam di sini.

Itulah awal mula penyebutan kata “Pakar” yang diambil dari kisah tersebut. Pakar berasal dari sebuah kata dalam Bahasa Sunda, pakarang atau pakarangan, artinya alat-alat atau perkakas tempur yang ditanam atau disimpan di sini. Dari cerita tersebut muncul satu mitos yang cukup dikenal di daerah Dago Pakar, yaitu tidak boleh menyebutkan kata “Lada”. Ini dilakukan demi menghormati Eyang Lada Kasirun. Sebelum menggunakan nama Pakar, wilayah ini dinamakan Pulosari mengacu kepada nama gunung yaitu Gunung Palasari.

Mata Air Cibitung

Di Kampung Cibitung, Dago, terdapat sebuah mata air yang dikeramatkan. Mata air ini sudah ada sejak zaman Raden Rangga Gede. Diceritakan bahwa Raden Rangga Gede sehari-hari menggunakan sumber mata air Cibitung ketika ia menetap di hutan sekitar Dago.

Bak-bak air zaman Belanda. Foto: Aditya Wijaya

Zaman Belanda mata air ini dimanfaatkan untuk keperluan PLTA Dago Bengkok. Dapat dilihat di sekitar mata air terdapat bak-bak dan bekas bangunan zaman Belanda.

Mengenai penamaan Kampung Cibitung masih berhubungan dengan Raden Rangga Gede, ia menaruh hormat kepada Prabu Bitung Wulung.  Nama Prabu Bitung Wulung inilah yang kemudian menjadi asal-usul Cibitung. Saya tidak mendapat cerita lebih lanjut mengenai siapa Prabu Bitung Wulung.

Awi Bitung berada di atas Situs Mata Air Cibitung. Foto: Aditya Wijaya

Sebagai tanda pengingat, Raden Rangga Gede menanam sebuah pohon bambu di atas dekat sumber mata air Cibitung. Bambu ini diberi nama Awi Bitung.

Seperti itulah cerita yang saya dapatkan dan saya catat ketika melakukan perjalanan di kawasan Dago Pakar dan berkesempatan mengunjungi Situs Mata Air Cibitung di sana. Salam. ***

Tinggalkan komentar