Cerita Asyik Jembatan Kereta Api Ciwidey

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Rieky Nurhartanto

Pagi yang sangat cerah mengantar perjalanan kami menyusuri jalur rel tempo dulu yang berada antara Bandung-Ciwidey. Kali ini saya kembali bertualang momotoran bersama Komunitas Aleut dalam program ADP20 (Aleut Depelovment Program 2020).


Senang rasanya bisa kembali menulisakan pengalaman bertualang saya menapaktilasi tiga jembatan kereta api yang ada di daerah Ciwidey. Sebelum siang kami sudah tiba di jembatan pertama di daerah Sadu. Walaupun secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Soreang, tetapi saya pribadi selalu saja menganggap jembatan tersebut sudah ada di wilayah Ciwidey hehehe.

Ini bukan kunjungan pertama saya ke Jembatan Sadu. Setiap kali pergi ke Ciwidey, saya selalu menyempatkan diri mampir ke jembatan ini, baik untuk rehat menikmati pemandang di sekitar, atau sekadar minum kopi di warung kecil yang ada di sini.


Pagi-pagi menikmati kopi dengan camilan gehu panas sambil meresapi keindahan alam di sekitar jembatan tua ini sungguh menyenangkan hati. Hal baru yang saya dapatkan dari kunjungan hari ini adalah saya baru tahu bahwa jembatan ini bernama Jembatan Sadu. Dalam hati saya mengakui ternyata selama ini literasi saya masih sangat kurang. Walaupun agak menjorok ke dalam, tapi letak Jembatan Sadu ini tak jauh dari pinggir jalan raya, sehingga mudah sekali untuk mendatanginya. Yang perlu diperhatikan bila akan berkunjung ke sini adalah ketiadaan tempat parkir, mungkin karena memang tidak dikemas untuk pariwisata sehingga tidak ada fasilitas umum seperti yang biasa ditemui di tempat-tempat wisata. Delapan motor kami susun berdesakan di halaman sempit sebuah warung yang sedang tutup.


Ada dua pemandangan yang cukup menarik hati saya pagi ini. Pertama, pemandangan dua anak kecil yang sedang bekerja menurunkan tandan-tandan pisang dari atas mobil bak ke depan warung yang terasnya kami gunakan untuk parkir motor. Pisang-pisang itu baru dibawa dari Cidaun, Cianjur Selatan, untuk dipasarkan di daerah Ciwidey ini. Yang kedua, pemandangan banyak anak kecil yang sedang berenang dan bermain air di sebuah sungai kecil dekat permukiman warga. Saya merasakan sensasi luar biasa melihat kedua pemandangan ini, hal yang tidak pernah saya lihat di lingkungan perkotaan tempat saya tinggal. Ingin sekali rasanya turun dan bergabung dengan anak-anak itu, berteriak-teriak saling mencipratkan air, ahh serunya..

Sayang sekali, saat ini saya sedang berada dalam suatu kegiatan pelatihan dari Komunitas Aleut, sehingga tidak mungkin saya bergabung dengan anak-anak itu. Sungai kecil tempat anak-anak bermain ini mengalir menuju ke sebuah sungai yang lebih besar, yaitu sungai Ci Widey. Di atas sungai besar inilah Jembatan Sadu dibangun. Sekarang, bekas jembatan kereta api ini berfungsi menghubungkan Desa Sadu dengan Desa Cilame, Kecamatan Kutawaringin. Pada masa aktifnya kereta api, jembatan sepanjang 70 meter ini menghubungkan Halte Sadu dengan Halte Cukanghaur.


Setelah merasa cukup mengeksplorasi Jembatan Sadu, kami melanjutkan perjalanan ke Jembatan Rancagoong. Di sini kami tidak menggunakan jalan normal, melainkan memutar melewati perkampungan. Lima belas menit kemudian kami sudah tiba di mulut Jembatan Rancagoong.

Di sini kami diarahkan untuk turun ke area persawahan melalui jalan setapak di ujung jembatan, lalu melakukan pengamatan dan menyimak cerita dari Pak Hevi persis di bawah jembatan. Di sini pun saya mendapatkan sensasi luar biasa. Hamparan teras-teras sawah dengan rumpun-rumpun padi yang sudah tinggi-tinggi dan menghijau. Segar sekali rasanya.

Ternyata lebih menyenangkan menyaksikan pemandangan kawasan ini dari bawah jembatan daripada mengamatinya dari atas jembatan. Lengkungan-lengkungan konstruksi beton penahan jembatan menambah unik pemandangan alam di sekitar. Kata Pak Hevi, jembatan ini menjadi unik karena menggunakan kombinasi rangka baja dan beton dalam pembuatannya. Saya mencoba membayangkan peristiwa atau kondisi alam yang menjadi asal-usul penamaan tempat ini, ranca dalam bahasa Sunda adalah rawa-rawa, sedangkan goong sama dengan instrumen gong dalam bahasa Indonesia. Kira-kira apa ya hubungannya rawa-rawa dengan gong?


Jembatan ketiga yang kami kunjungi adalah Jembatan Andir yang sering disebut juga sebagai Jembatan Cikabuyutan. Nama Cikabuyutan didapat dari keberadaan sebuah kabuyutan (tempat suci) yang terletak di salah satu ujung jembatan ini. Di situ ada sebuah tempat keramat yang sering disebut Makom Karomah Eyang Dalem Sang Adipati Kertamanah, seorang syekh penyebar agama Islam di kawasan sekitar Ciwidey.
Lokasi Jembatan Andir agak tersembunyi dan tidak jelas terlihat dari jalan raya. Apa lagi situasi di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon berukuran besar yang membuat pandangan ke arah jembatan jadi terhalangi.

Di sini kami harus memarkirkan kendaraan agak jauh, di halaman sebuah rumah makan di tepi jalan raya, lalu ngaleut menyusuri pematang ladang menuju lokasi jembatan. Jaraknya hanya beberapa puluh meter saja. Bagi saya pribadi, Jembatan Andir ini sangat istimewa dan terasa sangat misterius. Selain karena tersembunyi di balik kerimbunan pepohonan, juga letaknya terasa sangat tinggi. Dari mulut jembatan terlihat jurang yang sangat dalam, harus berhati-hati melakukan pengamatan di sekitar jembatan ini.

Kali ini kunjungan saya ke tiga buah jembatan di jalur kereta api Bandung-Ciwidey ini terasa sangat sempit waktunya. Maklum saja, karena merupakan bagian dari suatu program pelatihan. Yang pasti, lain waktu saya akan kembali ke ketiga jembatan ini dan meluangkan waktu lebih lama untuk menikmatinya.

***

Tinggalkan komentar