Kampung Mahmud, Segenggam Tanah dari Mekah di Kelokan Ci Tarum

Catatan Perjalanan Bersama Komunitas Aleut!

Oleh Budi Brahmantyo

Sambil menunggu beberapa Aleutian kumpul seluruhnya di halaman Museum Sribaduga di Tegalega Bandung, saya serius mempelajari peta terbitan Periplus 2005 yang memuat target acara ngAleut di Minggu pagi 19 September 2010 yang gerimis itu. Komunitas Aleut! (aslinya memang dengan “tanda seru”) adalah komunitas yang kebanyakan terdiri dari anak-anak muda Bandung yang aktif menjelajah Bandung dan sekitarnya. Beberapa anggotanya memahami sejarah Kota Bandung secara luar biasa.

Penulis yg kata Kuke (pemotret foto ini) serius membaca peta, padahal sebenarnya susah melihat tulisan kecil2 oleh mata yg sudah bolor positip ini 🙂

Aleut secara geografis sebenarnya adalah suatu jajaran kepulauan di Amerika bagian utara dekat Alaska yang berada pada perbatasan utara Benua Asia – Amerika. Tapi bukan dari pulau-pulau entah berantah itu dasar penamaan komunitas ini. Justru namanya diambil dari istilah yang sangat dekat, dari Bahasa Sunda “ngaleut” yang berarti berjalan beriring-iringan atau bergerombol. Mereka menyebut anggotanya dengan sebutan keren: Aleutian.

Kebiasaan lain positif mereka, anggotanya harus membuat catatan perjalanan. Saat Minggu pagi itu acara Aleut! adalah ngAleut ke Kampung Mahmud, dua hari kemudian catatan perjalanannya oleh Ujanx Lukman sudah muncul di FB notes: http://www.facebook.com/notes/ujanx-lukman/kampung-mahmud-yang-tak-pernah-tenggelam/151491471552074.

Kembali ke halaman Museum Sribaduga. Sambil mempelajari peta Periplus 2005 itu, pertama-tama saya terpana dengan lokasi Kampung Mahmud. Tepat berada di tengah-tengah “pulau” kelokan Ci Tarum. Lalu ketika mempelajari elevasi topografis, mata saya terbentur pada pertigaan Jalan Mahmud – Cicukang dengan elevasi tepat 666 m. Angka yang untuk beberapa orang mungkin bermakna luar biasa. Kampung Mahmud sendiri diperkirakan berelevasi 662 – 664 m, lebih tinggi dari daerah lebih hulu di Dayeuhkolot – Baleendah – Cieunteung yang berelevasi 660 – 661 m. Jadi jika di Dayeuhkolot selalu kebanjiran, Kampung Mahmud yang sebenarnya lebih hilir, tidak pernah dalam sejarahnya kebanjiran.

citra google-erath: dua kelokan Ci Tarum dg pola aneh, tempat Kp. Mahmud berada, dan titik 666.

Ci Tarum yang berhulu di Gunung Wayang mulai bermeander setelah tiba di Majalaya. Dataran luas Cekungan Bandung bekas dasar danau purba yang surut 16.000 tahun yang lalu itu membuat Ci Tarum mengalir pelan. Ada laporan yang menyatakan gradien alirannya hanya sebesar lebih kurang 0,02% (bisa dibaca: setiap jarak 100 m hanya turun sekitar 0,02 m atau hanya 2 cm).  Wajar saja dalam kondisi morfologi datar, sungai besar akan cenderung berkelok-kelok dalam lengkungan besar. Istilahnya: sungai meander (diambil dari sebuah sungai di Turki Meandoros yang alirannya berkelok-kelok).

Ciri sungai di dataran adalah lebarnya dataran banjir (flood plain). Dataran ini adalah dataran di kiri kanan sungai yang menjadi wilayah sungai ketika kapasitas salurannya terlampaui sehingga melimpas ke samping kanan-kiri salurannya. Pada musim kemarau, dataran banjir mengering. Sayangnya orang-orang seolah-olah berdatangan dan bermukim saat musim kemarau, tidak menyadari bahwa tempat itu adalah hak sungai untuk memindahkan airnya saat musim hujan.

Dua ciri morfologi penting lagi dari sungai meander adalah tanggul alam (natural levee) suatu tinggian dari saluran sungai yang umumnya terdiri dari endapan pasir sungai dan tersebar mengikuti sejajar saluran sungai. Di belakangnya, morfologi merendah lagi yang jika terbanjiri akan membentuk rawa belakang (back swamp). Kedua hal ini penting dalam konteks cerita Kampung Mahmud.

morfologi sungai meander: flood plain, back swamp (John Wiley & Sons, 1999)

Seorang warga yang sedang ngecrik (menjaring ikan) di bekas aliran Ci Tarum, bercerita bahwa ketika banjir melanda wilayah Pameuntasan seberang Kampung Mahmud, di seberangnya tempat keberadaan makam salah satu eyang Kampung Mahmud, yaitu Eyang Dalem Gedug, tidak pernah kebanjiran padahal elevasinya (perasaan) sama. Di sinilah peran tanggul alam yang membatasi wilayah Pameuntasan yang kebanjiran karena merupakan rawa belakang dengan tepi sungai Makam Eyang Dalem Gedug. Bukan berarti elevasi banjir jadi miring (menyalahi hukum alam alias sunatullah dong). Tetapi begitulah kepercayaan terhadap mitos bagi warga setempat.

Mitos lain yang disampaikan kasepuhan Kampung Mahmud Bapak Haji Syafei adalah bahwa sebelum Ci Tarum berkelok dalam dua kelokan berpola aneh (yang jauh dari kesan meander pada umumnya), Ci Tarum dulunya memang mengalir seperti sodetan yang dilakukan pemerintah sekarang. Hanya kemudian oleh pendiri Kampung Mahmud Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf, aliran sungai diubah dibelokkan dalam dua lengkungan aneh tersebut. Sodetan pemerintah tahun 1980 – 1990an yang dimaksud untuk mempercepat aliran agar Dayeuhkolot terbebas banjir dengan proyek miliaran rupiah (dan ternyata tidak berhasil), oleh Haji Syafei dianggap menggali kembali apa yang tadinya telah ditutup oleh Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf.

Kasepuhan Kp. Mahmud Bpk. H. Syafei bercerita ttg kampungnya

Kelokan aneh itu bukan meander tetapi lebih kepada kontrol struktur batuan dasar. Ci Tarum di wilayah ini telah berinteraksi dengan endapan-endapan gunungapi purba 3 – 4 juta tahun yang lalu sehingga alirannya dikontrol oleh struktur batuan dasarnya. Setelah kelokan itu, alirannya kemudian lurus mengarah ke utara sebelum kemudian berbelok ke arah barat di Curug Jompong. Air terjun berketinggian total 12 m ini adalah terobosan Ci Tarum pada batuan dasit yang keras, bagian dari batuan volkanik Pliosen 3 – 4 juta tahun itu.

Peta Rupa Bumi Bakosurtanal 2001, kelokan tanpa sodetan (tks pak Supardiyono Sobirin atas peta ini)

Mitos lain adalah tentang penguasa Ci Tarum, yaitu Raden Kalung Bimanagara, yang kepalanya berupa seorang ksatria berada di Gunung Wayang, badannya berupa tubuh ular naga meliuk-liuk sepanjang aliran Ci Tarum, hingga ekornya di Gua Sangiangtikoro, Saguling. Total panjang tubuh tokoh anak indo-jin putera Eyang Dalem Dayeuhkolot ini adalah hampir 100 km! Jika masyarakat sepanjang Ci Tarum percaya adanya penguasa alam gaib ini, sebenarnya bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengurus Ci Tarum secara lebih baik berdasarkan kearifan lokal tersebut. Jangan hantam kromo menyikat Curug Jompong yang dianggap menghambat aliran Ci Tarum sebagai penyebab banjir!

Curug Jompong (foto: Ayu Kuke)
ngAleut! ke Jompong, selaput dara bumi Bdg menurut T. Bachtiar, 2004 (Foto: Ayu Kuke)

Itulah Kampung Mahmud, kampung tradisional yang tetap memelihara adat-istiadatnya dan penghormatan kepada para leluhurnya, juga kepada para penunggu alam gaibnya. Minggu itu kampung begitu hiruk-pikuk oleh para peziarah yang berzikir dan bermunajat di makam utama Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf, pendiri kampung ini. Tradisi tahunan yang selalu dilakukan sampai dua minggu di awal bulan Syawal.

Syawalan di Makom Mahmud

Eyang Dalem yang masih keturunan Sunan Gunung Jati dan bersaudara dengan Eyang Pamijahan Tasikmalaya mendapat amanat untuk mendirikan Kampung Mahmud ketika berhaji di Mekah. Dengan membawa segenggam tanah Kampung Mahmud di Mekah, Eyang Dalem memilih “pulau” di tengah kelokan Ci Tarum ini sebagai kampung yang diberi nama sama dengan asal tanah yang diambilnya dari Mekah, Mahmud “yang dipujikan.”

Tetapi jika ada pendapat bahwa Eyang Dalem Mahmud Haji Abdul Manaf memilih tempat ini sebagai tempat terpencil, saya kurang setuju. Justeru pada zamannya, ketika sarana transportasi melalui sungai atau mengikuti jalan paralel dengan sungai besar, Kampung Mahmud berada pada lalu lintas penting antara Dayeuh Kolot (kota lama ibu kota Tatar Ukur) dengan wilayah di sebelah baratnya, Cianjur. Inilah sebenarnya jalur tradisional yang diantaranya akan menyeberang Ci Tarum di Saguling di atas Cukang Rahong, berupa jembatan bambu yang terbentang di atas ngarai sempit Ci Tarum di Rahong. Rahong dalam bahasa Sunda, menurut T. Bachtiar, adalah wilayah sungai yang sempit dan terjal.

Demikian catatan perjalanan ngAleut yang beberapa hari kemudian di foto-foto yang dipublikasi di facebook mengungkap sosok misterius yang ikut berfoto bersama :”)

Dalam perjalanan pulang duluan di atas angkot trayek Tegallega – Mahmud, dataran pesawahan menghijau yang masih luas menjadi pemandangan Kampung Mahmud. Di latar belakang kerucut G. Lalakon (+ 972 m) berjajar bersama rangkaian gunungapi purba tampak membiru. Angkot Minggu relatif sepi. Hanya seorang gadis manis berkerudung yang ikut menumpang dari Cicukang.

Selalu ada keindahan dimana pun kita berada, tergantung bagaimana cara memandangnya ***

Satu pemikiran pada “Kampung Mahmud, Segenggam Tanah dari Mekah di Kelokan Ci Tarum

  1. Ping balik: Curug Jompong Dulu dan Sekarang – Travelology

Tinggalkan komentar