Catatan Momotoran Cililin: 1 Jam di Warung Lugina Bersama Pak Rahmat

Oleh: Reza Khoerul Iman

Suasana pagi hari di Kampung Cibadak, Desa Situwangi, Kabupaten Bandung Barat, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Suara serangga terdengar nyaring dan riuh seperti sedang saling bersahutan dari balik pepohonan yang rindang di Kampung Cibadak. Suaranya melengking nyaris tak henti-henti walau ada saat berhenti sejenak seperti sedang mengambil nafas, lalu tak lama kemudian bersuara lagi.  Bunyi-bunyian ini terdengar layaknya orkestra alam.

Hanya ada tiga jenis hewan saja dengan suara khas nyaring seperti itu sependek yang saya ketahui, yaitu gaang atau orong-orong, cacing, dan tonggeret. Meski tergolong hewan-hewan dengan ukuran kecil, ketiganya memiliki suara yang begitu lantang.

Saya mendapatkan pengalaman ini saat mengikuti Momotoran Cililin bersama enam kawan lain dari Komunitas Aleut! Tak lama setelah kami memasuki wilayah Kampung Cibadak, seorang rekan yang berada paling belakang memberi kode bahwa ia harus berhenti dulu untuk memperbaiki rem motornya yang dirasa kurang pakem. Pada saat itulah dari ketinggian tempat kami berada, terlihat satu spot yang menarik jauh di bawah, letaknya berdampingan dengan hamparan sawah.

Karena penasaran dan setelah beres menyetel rem, kami memutar balik dan mencari jalan turun ke tempat tersebut. Ternyata yang kami lihat ini adalah sebuah warung dengan halaman yang cukup luas. Di bagian depan ada gerbang bambu dengan poster bertuliskan Warung Lugina. Di bagian dalam, ada dua bangunan utama, yang paling depan adalah warungnya, tempat menyediakan dan membuat minuman dan penganan. Di depannya lagi ada area duduk yang diberi atap dengan tiang-tiang besi. Di sebelah kiri ada toilet dan musala berupa bangunan semi permanen. Dihitung dari waktu berangkat tadi, kami dapatkan tempat ini setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan dari Kota Bandung.

Kawan-kawan Komunitas Aleut sedng beristirahat di Warung Lugina milik Pak Rahmat di Kampung Cibadak, Desa Situwangi, Kabupaten Bandung Barat, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Warung dengan nama Lugina ini dikelola oleh Pak Rahmat. Suasananya terbilang cukup modern, tak seperti warung-warung khas perdesaan lainnya. Areanya luas dan memiliki cukup banyak tempat untuk duduk layaknya sebuah kedai. Kalau duduk-duduk di area depannya, kita bisa melihat pematang sawah yang terbuka dengan lanskap jajaran pegunungan yang berlapis dan kampung-kampung kecil di sekitarnya. Perkampungan di kaki bukit Gunung Buleud itu sudah pernah dilalui juga oleh Komunitas Aleut dalam momotoran sekitar sebulan sebelumnya.

Di perbukitan di sebelah barat daya, terlihat jelas mencuat sebuah batu besar yang berbentuk seperti tabung dan menjulang tinggi namun terlihat tumpul. Letaknya tepat berada di ujung Gunung Buleud. Saat saya tanyakan ke warga sekitar perihal batu besar itu orang-orang menyebutnya dengan nama berbeda, seperti Batu Nini, Batu Keupeul, atau Batu Candi. Namun kebanyakan orang mengenalnya dengan nama Batu Nini.

Sekitar tahun 1846 yang lalu, Batu Nini pernah disinggahi oleh Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis terkemuka asal Jerman. Mungkin sangking uniknya di mata Junghuhn, ia tidak hanya datang dan pergi begitu saja, tapi ia juga membuat sketsa gunung ini dan melampirkannya ke dalam bukunya yang bertajuk Java di jilid ketiga.

Bahkan kedatangan Ferdinand von Höchstetter dalam ekspedisi Novara ke Gunung Buleud pada tahun 1858 tidak lepas dari peranan Junghuhn yang memberikan rujukannya. Junghuhn memilih Gunung Buleud karena di gunung ini bisa diungkap berbagai spesimen batuan yang mewakili pegunungan tersier di Jawa.

Pemandangan Batu Nini dan Gunung Buleud dari Kampung Cibadak, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Pada pagi yang hampir siang di Kampung Cibadak itu, kami hanya memerhatikannya dari kejauhan saja, dari teras Warung Lugina, sambil ditemani oleh cerita-cerita Pak Rahmat, dan sajian segelas kopi, serta gorengan yang baru diangkat dari wajan.

Pak Rahmat sebenarnya bukan asli orang Kampung Cibadak. Ia dilahirkan di Jakarta, melewatkan masa remaja di Bandung, dan selanjutnya tinggal di Semarang. Sekarang ini kembali lagi ke Bandung untuk merawat orang tuanya yang sudah lanjut usia. Setiap akhir pekan ia ke Kampung Cibadak untuk mengelola warung kopi Lugina dan tinggal di sebuah rumah yang dibangun di kaki lereng bukit di atas Warung Lugina.

Sejak awal sebenarnya saya penasaran dengan kata “lugina” yang dijadikan nama warung yang baru dirintis pada akhir tahun lalu itu. Setelah ngobrol beberapa saat, semula saya kira pemilihan kata itu menyesuaikan dengan kondisi Pak Rahmat sekarang yang tengah menginjak usia pensiun, karena dalam bahasa Sunda lugina bermakna rasa senang atau lega setelah menyelesaikan segala kewajiban (Kamus Sunda-Indonesia; R. Satjadibrata). Tapi dugaan saya itu salah, karena ternyata lugina itu hanyalah singkatan dari dua nama keponakannya. Tidak ada makna filosofis di sana. Kami pun hanya tertawa ketika mendengar penjelasannya.

Pak Rahmat kecil ikut orangtuanya yang bekerja di Perusahaan Gas Negara pindah dari Jakarta ke Bandung dan tinggal di mess di kompleks PGN Kiaracondong. Sampai SMP Pak Rahmat tinggal di Bandung. Kemudian ikut orangtuanya lagi yang pindah tugas ke Semarang. Di kota inilah Pak Rahmat menjalani mawa dewasanya, ia selalu bilang, “Saya besar di Semarang.”

Dari kisah-kisahnya, Pak Rahmat orangnya senang menantang diri. Banyak kesempatan dan pengalaman yang telah diambilnya sedari muda. Sejak duduk di bangku SMA saja ia memutuskan untuk tidak ikut orang tuanya yang kembali ke Jakarta dan memilih menetap di Semarang untuk meneruskan pendidikannya. Sempat masuk kuliah, namun tidak lama, karena memutuskan menikah pada usia 20 tahun. Lalu bekerja di bidang kuliner, termasuk pernah bekerja pada sebuah tempat wisata yang cukup besar di sana.

Di bagian episode hidupnya yang lain Pak Rahmat masih saja menantang diri. Kejenuhannya menjadi seorang karyawan selama bertahun-tahun mendorongnya untuk mencoba hal lain seperti membangun bisnis. Meski tak mudah, ia tetap melakoninya dan tak pernah menyesali keputusannya. Karena itu pada usianya sekarang ini pun ia santai dan menikmati saja menjalankan usaha baru di sebuah kampung yang cukup terpencil di perbatasan antara Soreang dan Cililin.

Bagi yang muda-muda, mendengar cerita-cerita Pak Rahmat seperti mendapat bocoran tentang masa depan yang misterius. Asik tapi membuat tertegun dan bepikir ulang tentang bagaimana masa depan saya nanti?

Tak terasa sudah satu jam kami duduk terkesima mendengarkan cerita-cerita Pak Rahmat. Bukannya tak ingin mendengar ceritanya lebih banyak lagi, tapi kami harus berpamitan dan melanjutkan perjalanan menuju Cililin. Masih ada beberapa tempat lagi yang menjadi destinasi momotoran kali ini, mulai dari Makom Eyang Dalem Angga Yuda RA, Puncak Gantole, hingga gedung pemancar radio Cililin.

Riuh suara serangga di Warung Lugina seketika tergantikan oleh ucapan pamit kami dengan Pak Rahmat. Deru suara motor kami yang beranjak pergi pun semakin menyamarkan suara orkestra alam itu. Perlahan kami mulai meninggalkan Kampung Cibadak, tapi tidak dengan cerita dan nilai yang kami dapatkan di pagi itu. Satu jam di Warung Lugina bersama Pak Rahmat terasa menyenangkan sekali. ***

Tinggalkan komentar