Tak Cukup Dua Hari di Desa Cibuluh

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: ADP-2020

Sebagaimana pemandangan umum desa pergunungan, begitu pula yang terhampar di Desa Cibuluh. Asri dan menyegarkan. Yang berbeda mungkin ini: Tak perlu angkat kepala tinggi-tinggi untuk melihat rangkaian pergunungan yang mengitari kawasan desa ini. Tak perlu pula menatap jauh-jauah untuk menyaksikan hamparan persawahan yang luas. Semua terbentang dalam jangkauan pandang pendek saja.
Ya, itulah Desa Cibuluh di Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selama dua hari, 5-6 Desember lalu, tim Aleut Development Program (ADP) menyambangi desa asri yang sudah berstatus sebagai Desa Wisata sejak tahun 2017 ini. Kedatangan kami bertepatan waktunya dengan kegiatan Workshop Identifikasi Koleksi Ecomuseum Cibuluh yang diselenggarakan oleh Yayasan Bale Budaya Bandung dan Asosiasi Museum Indonesia Daerah (AMIDA) Jawa Barat. Kebetulan salah satu pengaping kami menjadi narasumber dalam kegiatan itu.

Seperti juga beberapa kegiatan ADP yang lalu, di Cibuluh ini pun kami mendapatkan tugas, yaitu melakukan eksplorasi, merancang tulisan, informasi grafis, dan feature video. Kami dibagi ke dalam tiga kelompok untuk mengerjakan semua tugas itu.

Masuk kawasan Cibuluh, kami diarahkan menuju satu lokasi yang disebut Saung Mulan. Sebetulnya ini bukan saung betulan seperti yang dimaknai dalam bahasa Sunda, yaitu gubug atau dangau, melainkan sebuah rumah permanen dengan teras yang diberi atap jerami. Begitu pula teras di depan pintu utama, beratapkan jerami. Di paviliun, dibangun tempat serupa kafe dengan beberapa meja dan kursi yang semuanya terbuat dari kayu. Beda dengan teras depan, kafe ini beratapkan genting.
Dari halaman Saung Mulan ini terhampar pemandangan perkampungan dengan latar belakang persawahan dan jajaran perbukitan di kejauhan. Rupa bumi Desa Cibuluh berbukit-bukit dan berlembah, sehingga ketinggian kawasan permukiman pun berbeda-beda mengikuti relief bumi. Tim ADP mendapatkan satu rumah warga yang terletak agak di bawah untuk digunakan sebagai basecamp, sementara tempat berkoordinasi yang disepakati adalah Saung Mulan, maka lumayanlah naik-turunnya bila harus bolak-balik antara saung dan basecamp.

Rumah-rumah warga di sekitar Saung Mulan terhitung padat, jarak antarrumah sangat sempit, bahkan tak jarang tak menyisakan ruang kosong sebagai sarana jalan, sehingga seringkali para pejalan harus menggunakan halaman rumah orang sebagai akses jalan. Kondisi begini malah jadi pengalaman baru yang unik untuk sebagian kami. Lelah pasti terasa, tapi rasa senang selalu mengikuti.

Kawasan Pemukiman Desa Cibuluh dilihat dari Saung Mulan. Foto: Komunitas Aleut

Bentang alam pedesaan yang asri dan memikat hati ini mendorong lahirnya gagasan baru, yaitu menjadikannya sebagai sebuah ecomuseum. Ide ini digodog melalui sebuah kegiatan Saresehan di Kantor Desa Cibuluh pada bulan November 2018. Salah satu materi yang disampaikan dalam saresehan itu adalah konsep-konsep dasar tentang ecomuseum serta perumusan daya tarik apa saja yang dapat dikembangkan dari Desa Cibuluh. Selang dua tahun, kami datang lagi dan mencoba melihat langsung berbagai daya tarik tersebut.

Budaya Sungai
Desa Cibuluh memiliki kekayaan sungai yang luar biasa, paling tidak, dari jumlah sungai melewatinya, sebanyak 7 batang sungai. Ketujuh sungai tersebut adalah Ci Punegara, Ci Kembang, Ci Leat, Ci Karuncang, Ci Landesan, Ci Teureup, dan Ci Nyaro. Tak heran bila kebudayaan berbasis sungai hidup di desa ini. Warga desa memanfaatkan sungai untuk pengairan sekaligus sebagai sarana menanam ikan. Kuliner berbahan ikan sangat mudah ditemukan di desa ini.

Sungai juga dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata, seperti penyediaan fasilitas permainan air, mulai dari yang tradisonal seperti papancakan atau icikibung, sampai ke arung jeram yang dikelola secara profesional. Ke arah sungai mana saja langkah kaki kita arahkan, maka akan kita temukan kelompok anak-anak yang bermain air. Yang lebih dewasa, asyik menangkap ikan dengan teknik tradisional, seperti ngeprok, ngecrik, posong, badodong, atau ngagogo.

Teknik menangkap ikan secara tradisional terpelihara dengan baik berkat adanya warga desa yang peduli dan bergabung dalam komunitas perawat sungai, yaitu Lintar Mania. Komunitas ini berupaya melakukan pelestarian budaya sungai, di antaranya dengan menerapkan proses penangkapan ikan dengan tata cara tradisional sehingga dapat memelihara keseimbangan ketersediaan ikan serta tidak merusak lingkungan.
Langkah yang lebih jauh dilakukan dengan penyelenggaraan perhelatan tahunan, Festival 7 Sungai. Selain berbagai kegiatan harian warga yang berhubungan dengan sungai, dalam festival ini juga dipertunjukkan berbagai bentuk kesenian, seperti teater, pencak silat, jaipongan, dan gembyung.

Festival 7 Sungai pada tanggal 12 Oktober 2019 ini adalah yang keempat kalinya diselenggarakan di Desa Cibuluh. Foto: Media Indonesia/Reza Sunarya.

Festival Angin
Festival 7 Sungai bukanlah satu-satunya perhelatan besar yang melibatkan banyak warga desa di Cibuluh, masih ada Festival Angin. Menurut kurator Festival Angin, Bambang Subarnas, warga Desa Cibuluh cukup akrab dengan musim angin barat, yaitu hembusan angin yang datang dari Laut Jawa di sekitar Indramayu menuju ke selatan, melewati lembahan Pasir Ciheulang, Gunung Banjaran, dan Gunung Pasir Cigore. Setelah melewati lembahan Desa Cibuluh, angin naik ke arah Gunung Canggah. Proses ini berlangsung selama tiga bulan, antara bulan Desember sampai Maret.

Di Desa Cibuluh dan wilayah sekitarnya, fenomena angin barat ini melahirkan tradisi permainan kolecer atau baling-baling yang dipasang pada tiang-tiang bambu yang cukup tinggi. Selama tiga bulan itu, warga mendirikan kolecer dengan ketinggian cukup beragam, dari yang ukuran kecil hingga yang tingginya mencapai 8,5 meter. Tentu tidak mudah mendirikan kolecer berukuran besar seperti itu, perlu keterampilan dan teknik khusus untuk membuat dan mendirikannya.

Festival Kolecer tahun 2019 tercatat diikuti oleh 100 peserta yang berdatangan dari sekitar Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang. Berbagai macam kolecer unik ditampilkan dalam festival tersebut, di antaranya sebuah kolecer tua yang sudah berusia 100 tahun dan didatangkan dari Cikaramas, Sumedang. Ketinggian rata-rata kolecer yang didirikan di Kampung Dago, Desa Cimeuhmal, antara 5-8 meter, sehingga menjadi pemandangan yang tidak biasa selama festival berlangsung.

Festival Kolecer di Desa Cibuluh. Foto: kotasubang.com

Sejak tahun 2020, Desa Cibuluh memulai satu tradisi baru, yaitu Festival Angin. Berbeda dengan Festival Kolecer yang pemasangannya dipusatkan di satu tempat, dalam Festival Angin warga Desa Cibuluh mendirikan berbagai macam kolecer di lingkungannya masing. Selain itu, lingkungan desa juga dipenuhi dengan berbagai instalasi bendera atau panji-panji. Sebagai tambahan, diadakan juga bermacam pertunjukan kesenian.

Di berbagai wilayah Jawa Barat dikenal pembuatan kolecer secara sederhana menggunakan anyaman daun pisang pada sebatang kayu kecil yang dipasang pada bambu yang telah disesuaikan ukurannya. Kolecer seperti ini biasanya buatan anak-anak, sementara orang dewasa membuat kolecer berukuran besar, seperti yang banyak ditampilkan dalam Festival Angin.

Menurut Pak Hakim, salah seorang warga Desa Cibuluh, pembuatan kolecer menyambut musim angin barat memang sudah menjadi tradisi selama ini. Di dalam Festival Angin, kolecer-kolecer tersebut dilombakan dengan penilaian berdasarkan bentuk, kualitas bahan, dan suara nyeguk yang dihasilkan ketika baling-baling berputar tertiup anging. Kolecer terbesar yang ditampilkan dapat serupa baling-baling pesawat, suara yang dihasilkan pun seperti suara gemuruh yang keras.

Air Panas
Seperti yang sudah disebutkan di muka, bentang alam Desa Cibuluh memang memikat. Terdapat cukup banyak mata air dan beberapa curug di kawasan desa ini. Yang cukup unik adalah keberadaan sebuah mata air panas yang ditampung dalam sebuah kolam. Kondisinya memang kurang terawat walaupun beberapa waktu sebelumnya pernah diupayakan pengemasannya untuk pariwisata. Berbeda dengan sumber air panas umumnya yang berasal dari aktivitas gunung berapi, sumber air panas yang terletak di sisi persawahan ini konon mendapatkan panasnya dari kandungan zat besi yang tinggi.

Pak Dedi, Ketua RT di Kampung Ciseupan Satu, bersedia mengantarkan kami melihat kolam penampungan air panas itu. Tiba di lokasi, ternyata sedang ada beberapa anak bermain dan mandi dengan riuhnya di kolam air panas ini. Menurut keterangan dari Pak Dedi, kolam air panas ini biasa digunakan para sesepuh untuk memandikan benda-benda pusaka, selain itu, digunakan juga sebagai tempat berlangsungnya tradisi ngabungbang, yaitu tradisi bergadang semalaman di luar rumah atau di tempat-tempat yang dikeramatkan pada malam 14 Mulud.

Pak Dedi juga menyebutkan keberadaan sebuah makam keramat yang terletak di sebuah bukit di seberang lembahan Ciseupan, namun karena letaknya yang cukup jauh, kami tidak mengunjungi tempat itu. Sebagai gantinya, kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah monumen yang juga disinggung oleh Pak Dedi dalam cerita-ceritanya, yaitu Monumen Perjuangan ‘45.

Kolam air panas Ciseupan. Foto: Reza Khoerul Iman.

Monumen Perjuangan ‘45
Saat memasuki kompleks monumen, hujan turun cukup deras. Niat tak jadi surut, kami tetap langkahkan kaki memasuki area monumen. Halaman monumen berbentuk lapang rumput cukup luas yang diberi jalur jalan berbahan beton. Di bagian puncak terdapat patung pejuang merentang tangan, salah satunya memegang sebuah pistol.

Di bawah patung pejuang terdapat tulisan “Monumen Perjuangan ‘45” dan di bawahnya lagi, yaitu pada bagian temboknya, terdapat relief besar berisi fragmen perjuangan TNI di Cibuluh. Di sisi kiri dan kanan tembok relief terdapat masing-masing sebuah prasasti yang berisi ucapan terima kasih Siliwangi kepada rakyat yang telah ikut berjuang dan pernyataan tekad dari generasi muda untuk bergabung mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Kedua prasasti tersebut bertanggal 20 Mei 1976, tanggal peresmian Monumen Perjuangan ’45.

Tim ADP berfoto di Monumen Perjuangan ’45. Foto: Deuis Raniarti.

Hujan terus turun, dingin semakin menggigit. Kami mencoba mencari penghangat badan ke warung depan yang terletak di depan monumen. Sambil memesan apa saja yang dapat menghangatkan badan, kami dekati seorang ibu tua yang sedang duduk di depan warung. Namanya Ema Anesih, usianya sekitar 90 tahunan. Ema berbicara tesendat, tapi masih mengingat beberapa hal, baik tentang Desa Cibuluh, maupun tentang Monumen Perjuangan ’45.

“Ieu perang sareng Walanda, poe Jumaah. Ema nyumput dina liang di sawah (Ini perang dengan Belanda, hari Jumat. Ema sembunyi dalam lubang di sawah).” Ingatan Ema tak jauh dengan berbagai informasi yang dapat kami temui, yaitu bahwa pertempuran di Ciseupan, Cibuluh ini terjadi pada saat kepulangan tentara Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Ketika beristirahat di kawasan Ciseupan, sejumlah tentara Belanda melakukan penyerangan dan terjadilah pertempuran itu. Warga Cibuluh menyebut peristiwa itu dengan istilah “Palagan Ciseupan”.

Sungguh di luar dugaan kami, desa yang sepertinya terpencil ini ternyata menyimpan banyak pesona dan cerita. Dua hari kunjungan kami ke desa ini rasanya jadi masih jauh dari cukup, setiap cerita mengarahkan kami kepada cerita lainnya, setiap lokasi membawa kami ke lokasi lainnya, tak cukup waktu dua hari untuk menyusuri semuanya.

Masih banyak cerita yang kami dengarkan, tempat yang ingin kami lihat dan gali kisahnya, seperti ritual sungai, situs Batulawang, Batu Tapak yang katanya saat ini berada di bawah aliran sungai, atau kegiatan keseharian warga yang bertani, membuat opak, membuat kerajinan bubu, dan lain sebagainya. Sepertinya kami akan segera kembali lagi ke Desa Cibuluh untuk merangkai lanjutan cerita yang sudah kami dapatkan.

Pemandangan perkampungan di Desa Cibuluh. Foto: Komunitas Aleut.

Satu pemikiran pada “Tak Cukup Dua Hari di Desa Cibuluh

  1. Saya senang membaca tulisan ini…menampilkan alam dan budaya yang masih pure…dengan segala kekayaan alam dan budayanya…sekaligus membawa ingatan kembali nostalgia masa kecil …meskipun berbeda desa…namun tetaplah menyimpan kenangan dimasa lalu…terimakasih untuk hasil tulisannya…Salam sehat dari saya…

Tinggalkan komentar