Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)
Desa Pungguang Kasiak 2) yang terletak di Kecamatan Lubuak Aluang3) merupakan tempat yang menyimpan kenangan Ramadhan masa kecil saya. Punggung Kasiak merupakan tanah kelahiran dan tempat ayah saya menghabiskan masa muda. Tak hanya itu, tempat tersebut dipilih beliau sebagai tempat menunggu hari kebangkitan kelak.
Menjelang Ramadhan, ke desa itulah saya dibawa ayah bersilaturahmi dengan keluarga besar ayah. Jika ayah saya tidak memiliki waktu untuk bersilaturahmi sebelum Ramadhan, minggu-minggu awal bulan Ramadhan sudah pasti kami ke sana. Dalam kenangan saya, Punggung Kasiak merupakan tempat dengan hamparan sawah yang menghijau diselingi oleh nyiur-nyiur yang melambai tertiup oleh angin –maklumlah desa ini termasuk ke daerah pesisir.
Pada bulan Ramadhan dari ba’da Ashar hingga magrib, desa yang biasa hening dihebohkan dengan suara tembakan meriam yang sering disebut badia-badia batuang. Permainan tradisional ini umumnya dimainkan oleh anak laki-laki antara 6-12 tahun di tanah lapang.
Sekali waktu saya pernah merengek pada salah seorang sepupu laki-laki, Da Jhon, agar saya turut serta bermain badia-badia batuang dengan syarat saya hanya menonton mereka bermain. Persyaratan tersebut saya setuju. Diam-diam, kami keluar dari rumah kakek melalui pintu dapur menuju tanah lapang terdekat untuk bermain.
Sesuai janji saya hanya menonton Da Jhon dan teman-temannya. Sebelum bermain, mereka terlebih dahulu membuat badia batuang yang terbuat dari dua atau tiga ruas bambu yang diberi lobang sebesar lobang sarang kumbang. Bambu yang dipilih bukanlah sembarang bambu. Bambu yang dipilih harus memiliki ruas yang tebal dan sedikit tua. “Batuang bana” dengan motif loreng menjadi pilihan mereka. Kata Da Jhon, batuang bana ini merupakan bambu paling bagus untuk dijadikan badia batuang karena menghasilkan suara yag paling menggelegar dan tidak mudah pecah.
Untuk memainkannya, tinggal menyulut api pada sumbu kain di dalam lubang pada ujung bambu, lalu diberi minyak tanah.
“Dhuaaaar……”
Suara badia-badia batuang menggelegar di tanah lapang dekat rumah kakek. Tak lama setelah suara badia batuang dari kelompok sepupu saya, di tempat yang tak begitu jauh dari tempat kami berada terdengar suara badia batuang lain dari kelompok lain. Suara badia batuang bersaut-sautan satu sama lain. Setelah mendengar suara sahutan badia batuang, suasana seperti dalam medan perang. Secara bergantian, anggota kelompok Da Jhon memainkan badia batuang menjawab suara badia batuang kelompok lain.
Saya yang menonton dalam jarak yang aman dari badia batuang seperti tawanan perang. Menonton Da Jhon dan teman-temannya bermain badia-badia batuang juga menjadi sesuatu keasyikan tersendiri bagi saya. Melihat segerombolan orang lapar dengan tawa ria, sorak sorai dan ota bagalau yang dapat mempererat rajutan komunikasi dan silaturahmi. Belum lagi wajah-wajah mereka yang yang hitam berlepotan karena tasumboh asap hitam sisa pembakaran sulutan api.
“IJHOON…. HANI….MANGA DI SITU?”4)
Teriakan inyiak5) membuat saya dan Da Jhon panik. Bagaimana tidak? Anak perempuan di keluarga besar ayah saya dilarang untuk ikut bermain badia-badia batuang. Selain alasan dari faktor keamanan, banyak kejadian anak-anak yang terluka bakar ketika main badia-badia batuang atau mengalami cidera pada bagian sekitar mata ketika mulut sumbu badia batuang.
Singkat cerita, inyiak menyuruh kami ke surau. Di dalam surau, Da Jhon dimarahi Inyiak karena mengajak saya untuk bermain badia-badia batuang. Dan dijatuhi membersihkan surau dengan pengawasan inyiak langsung. Sedangkan saya tidak dimarahi, tidak pulang disuruh pulang ke rumah kakek. Saya kembali menonton Da Jhon, kali ini bukan memainkan badia batuang melainkan membersihkan surau.
Menunggu Da Jhon membersihkan surau, inyiak bercerita tentang badia-badia batuang. Menurut cerita inyiak pada masa kecil anak laki-laki dari Pariaman – Lubuak Aluang, Pauh Kuraitaji, Ulakan, Kampuang Apar, Sikapak, Marunggi, Katapiang terbiasa bermain badia-badia batuang. Tak hanya dari ba’da Ashar hingga Magrib, setelah sholat Tarawih permainan ini masih terus dimainkan. Menjelang sahur anak laki-laki yang tinggal di surau kembali memainkan badia batuang untuk membangunkan warga untuk sahur6).
“Masa parang jo Balando, badia-badia batuang digunakan pasukan awak dalam Parang Blasteng tahun 1908 di Kamang dan sekitar Bukittinggi. Bunyi badia batuang tak hanyo mampu menggertak pasukan Belando, tapi cukuik membuek urang Balando tu takuik. Balando-balando tu lari kalang kabuit mandanga bunyinyo nan manggalega. Balando-balando tu manganggok suaro badia batuang iolah suaro mariam sabana mariam. Mariam di benteng Por de Cok diarahkannyo ka suaro badia-badia batuang awak,”7) dongeng inyiak memangku saya.
Cerita inyiak tentang badia-badia batuang terhenti, Tek Ta dan berbagai macam pabukoan8) yang nantinya disantap bersama setelah bedug buka puasa dibunyikan dari surau.
***
Dalam Ramadhan 1436 H, saya merindukan kehadiaran bunyi suara badia-badia batuang yang memekakkan telinga.
Catatan:
- Badia-Badia Batuang: meriam-meriam yang terbuat dari bambu. Pengucapan di daerah lain dalam wilayah Sumatera Barat: Bodia-bodia botuang( Pikumbuah/ Payakumbuh). Dalam bahasa Minang Badia = bedil, meriam; Batuang = betung, bambu. Permaian meriam bambu ini juga ditemukan di beberapa daerah di Nusantara dengan beragam nama. Di Aceh dikenal dengan nama te’t beude trieng; di daerah Jawa (Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dikenal dengan mercon bumbung long bumbung); di Gorontalo disebut dengan bunggo. Di tanah sunda dikenal dengan bebeledugan atau lodong. Di Ranah Minang, umumnya permainan badia-badia batung lazim dimainkan oleh anak laki-laki. Sedangkan kegiatan anak perempuan pada sore hari di bulan Ramadhan adalah membantu ibu menyiapkan pabukoan dan hidangan yang akan disantap saat makam malam.
- Pungguang Kasiak (Punggung Kasik) salah satu nagari dari kecamatan Lubuk Alung. Dalam bahasa Minang Pungguang= punggung; Kasiak= kasik, pasir. Mayoritas penduduk nagari Punggung Kasik memiliki mata pencarian sebagai petani.
- Lubuak Aluang (Lubuk Alung), sebuah kecamatan di kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
- Terjemahan: “IJHOON…. HANII….SEDANG APA DISANA?”
- Inyiak = panggilan untuk kakek laki-laki; panggilan untuk sesepuh/ orang tua.
- Dalam tradisi keluarga Minang, anak laki-laki yang telah akil baliq (telah disunat) diharuskan meninggalkan rumah orangtua. Secara berkelompok mereka akan tinggal di surau atau mesjid untuk mencari ilmu sebelum akhirnya merantau. Di surau atau mesjid, anak laki-laki akan mengaji (memperlancar baca Al-Quran), memperdalam ilmu agama, dan belajar ilmu bela diri (silat) selain tetap membantu orangtua. Pada waktu istirahat ( maksudnya waktu makan, pagi, siang, dan malam) anak laki-laki tersebut akan pulang ke rumah orangtua masing-masing untuk makan.
- “Pada masa perang melawan Belanda, badia-badia batuang digunakan pasukan awak dalam parang blasteng tahun 1908 di Kamang dan sekitar Bukittinggi. Bunyi badia batuang tak hanya mampu menggertak pasukan Belanda, tetapi cukup membuat orang belanda ketakutkan. Belanda-belanda itu lari kalang kabut mendengar bunyinya yang menggalegar itu. Pihak Belanda menganggap suara badia batuang adalah suara meriam asli. Meriam di benteng Fort de Kock diarahkannya ke sumber suara badia-badia batuang punya kita,”
- Pabukoan = makanan yang disajikan menjelang buka puasa. Di Tanah Sunda dikenal dengan istilah takjil
Sumber foto : http://sumbar.antaranews.com/