Kopi Javaco

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Bagi Bapak saya, kopi itu selalu kopi “Javaco”. Bukan kopi “Aroma” yang terkenal karena mendapat publikasi luas dari berbagai media, bukan juga kopi “Malabar” atau kopi instan dalam kemasan sachet. Kegemaran bapak pada kopi ini dulu sudah sampai dalam tahap fanatik. Bapak tidak akan ngopi kalau kopinya bukan kopi Javaco jenis arabica. Ya itu sudah suatu keharusan kopi arabika dari “Javaco, bukan Melange (robusta) dan bukan juga “Tip top”  Javaco, walaupun kedua jenis tadi berasal dari toko kopi yang sama.

Masih teringat Mamah akan bersusah payah untuk membeli kopi arabika dari Javaco jika persediaan kopi tersebut dalam toples kaca bekas permen sudah akan habis. Kebetulan Mamah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit “Iyen” di Jl. Kebon Jati, tak jauh dari toko kopi Javaco. Kurang lebih 50 meter jaraknya. Namun walaupun jaraknya tidak begitu jauh, masalah membeli kopi ini bukanlah perkara yang mudah, karena toko kopi ini hanya buka hingga pukul 14.00 saja, pada saat yang sama jam kerja Mamah di rumah sakit baru saja selesai.

Mamah biasanya berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara menitip beli pada pesuruh di rumah sakit, namun kadang kala pesuruh tersebut tak mudah juga ditemukan. Bila sudah seperti ini, urusan membeli kopi ini akan menjadi masalah saya yang akan disuruh untuk membeli ke toko yang menjual kopi Javaco. Dengan berbekal pesan yang harus diingat, “Kopi Javaco Arabica” dan kadang kala berbekal bungkus kertas coklat kopi ini sebagai contoh, saya akan berangkat naik angkot ke toko kelontong yang menjual kopi ini.

Interaksi saya dengan kopi ini tak sebatas hanya bertugas membeli saja. Dulu ketika SD, saya sangat suka kopi, bukan susu seperti lazimnya anak kecil dalam masa pertumbuhan, melainkan kopi hitam kental seperti kopi Bapak. Bedanya kopi Bapak disajikan dalam cangkir dan dinikmati sambil merokok keretek yang sebelumnya telah dibasahi ampas kopi yang Bapak peroleh dari permukaan kopi tersebut. Sedangkan saya menikmati kopi dalam gelas dan tentu saja tanpa rokok hehe. Saya akan meminta dibuatkan kopi, kadang pagi, siang atau malam. Tak mengenal waktu dan tak peduli dengan ledekan “seperti orang tua” atau “seperti mbah yang diberi sesaji” atau anggapan bahwa kopi bisa bikin bodoh.

Sudah lama cerita seputar kopi Javaco ini terkubur. Kefanatikan Bapak terhadap kopi ini pun berjurang. Baru diawal tahun 2014 lalu saya dapat lebih kenal dan mengetahui lebih jauh mengenai kopi Javaco. Saat itu saya secara tak sengaja menemukan alamat kopi Javaco ini tercatat pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936). Pada buku telepon ini tercatat nama “Javaco, Koffiefabriek”, lalu ada nama Directeur: Lie Kiem Gwan dan alamat di Kanomanweg 46.

Saya ingin tahu siapakah sebenarnya “Liem Kiem Gwan” dan di manakah letak Kanomanweg yang asing bagi saya, karena sepengetahuan saya bahkan di kompleks jalan perwayangan di sekitar daerah Pajajaran pun tak ada jalan dengan nama demikian. Akhirnya saya memberanikan diri untuk singgah ke toko kopi yang terletak di jalan Kebonjati ini. Pada beberapa kesempatan saya dapat bertemu dengan Pak Hermanto dan Pak Budi, anak-anak dari keluarga pemilik pabrik kopi Javaco.

Kopi Javaco Bandung, menurut generasi ke-tiga pemilik kopi ini, sudah berdiri sejak tahun 1928. Menurut mereka Liem Kiem Gwan adalah pendiri kopi Javaco dan merupakan kakek mereka. Liem Kiem Gwan merantau dari Malang ke Bandung. Pada awalnya membuka usaha teh dan kopi, namun kemudian lebih fokus pada penjualan kopi saja. Sebagai bukti bahwa kopi Javaco ini berdiri sejak 1928 adalah alamat toko ini sudah tercatat pada “Gouvernements Bedrijf der Telefonie Interlocale Gids voor Java en Madoera” Uitgave Januari 1930, bijgewerkt tot 20 December 1929.

Sangat kebeteluan sekali pemilik kopi Javaco saat ini masih menyimpan buku telepon dari era kolonial tersebut. Keterangan yang tercatat dalam buku telepon Jawa & Madura 1930, pada halaman 31, adalah: Koffiefabriek Javaco Dir. Lie Kiem Gwan, Tjikakak 44-46 no telepon Bd 544. Ternyata pada buku tersebut ditemukan pula bahwa Lie Kiem Gwan juga membuka usaha percetakan/drukkerijen bernama “Javaco Press” dengan keterangan alamat yang sama dengan pabrik kopi Javaco.

Selanjutnya, pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936) tercatat: Javaco, Koffiefabriek, Directeur: Lie Kiem Gwan, Kanomanweg 46, dengan nomor telepon Bd 156. Saat ini toko kopi Javaco beralamat di Jalan Kebonjati No. 69 menempati bangunan antik dua lantai yang didominasi warna putih dan hijau. Bagian depan bangunan ini dikhususkan sebagai toko untuk menjual produk-produk Javaco, sedangkan bangunan lantai atas serta bangunan belakang yang tembus hingga ke Jalan Durman difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga pemilik kopi Javaco. Pak Hermanto, salah satu pemilik kopi Javaco saat ini, juga pernah berbaik hati memperlihatkan surat bangunan toko ini yang berangka tahun 1800-an dan memuat lambang Kerajaan Belanda pada kertasnya.

Letak toko ini sekitar 50 meter ke arah timur dari perempatan jalan Gardujati, Pasirkaliki dan jalan Kebonjati. Bangunan toko ini tepat bersebelahan dengan bekas Hotel Surabaya yang sekarang menjadi sebuah hotel moderen. Di antara kedua gedung ini terdapat sebuah jalan kecil bernama Gg. H. Basar.

Toko ini buka dari hari Senin hingga Sabtu. Pada hari Jum’at buka dari pukul 09:00 sampai 14:00. Saat ini toko kopi Javaco menjual 3 jenis kopi, grade satu yaitu kopi arabika, grade dua adalah melange/robusta dan grade ketiga diberi label tiptop. Dahulu jenis kopi yang dijual di toko ini ada 5 macam, termasuk after breakfast sudah tidak diproduksi lagi.

Memasuki toko Javaco akan segera terasa suasana tempo dulu yang masih tetap dipertahankan keasliannya. Mulai dari kotak surat yang masih bertuliskan Brieven di pintu depan, lantai keramik bermotif yang lawas, kaca patri, dan konter toko berbahan kayu jati. Selain itu ada juga benda-benda lawas seperti motor vespa antik atau mesin pengggiling kopi tempo dulu. Di dinding toko terpajang lukisan berukuran besar bergambar biji-biji kopi serta secangkir kopi dan sehelai daun kopi, di bagian bawah lukisan tertulis “van Plant tot Klant” (Tanaman bagi Pelanggan).

Toko kopi Javaco masih mempertahankan kemasan yang sudah menjadi ciri khasnya sejak lama. Bubuk kopi dikemas dalam kantong kertas coklat bergambar pabrik kopi dengan tulisan “Javaco Koffie”, di bagian atas bungkus tertulis harga dalam bahasa Belanda “Prys/Prijs“. Pada bagian bawah kemasan tertulis “Dapat dibeli di Kebonjati 69, Bandung-Indonesia.” Kemasan coklat ini dapat terus dipergunakan untuk menyimpan kopi yang sudah dibeli agar aromanya tidak hilang dengan saran agar disimpan di toples kaca yang kedap udara. Selain dapat dibeli di tokonya langsung, kopi produksi Javaco juga dapat dibeli di beberapa toserba, di antaranya toko “P&D Setiabudhi”, yang  menurut pak Hermanto serta pak Budi, telah menjadi pelanggan kopi Javaco sejak lama.

Bila toko tempat menjual kopi Javaco terletak di Jl. Kebonjati, maka pabrik tempat mengolah dan menyimpan biji-biji kopi sebenarnya terletak terpisah, yaitu di Jalan Kasmin. Pabrik kopi ini memiliki dan mendatangkan kopi dari kebun-kebun mereka yang terletak di Jawa Timur. Pabrik ini menggunakan dua jenis pengolahan yaitu Wet Indische Bereiding disingkat WIB yang artinya pengolahan basah serta Ost Indische Bereiding (OIB) yang artinya pengolahan kering.

Demikianlah sekilas cerita salah satu produsen kopi tertua di Bandung.

6 pemikiran pada “Kopi Javaco

  1. Betul saya juga langganan kopi javaco dr dulu.
    Setahu saya ada empat toko jadul penjual bubuk kopi di kota Bandung: kopi aroma banceuy, kopi javaco, kopi jia lie hong, dan kopi malabar.
    Papah saya sukanya beli di aroma banceuy, sedangkan dulu nenek saya masih hidup sukanya beli di malabar gardujati. Temannya mamah saya langgananya jia lie hong di sudirman sebelahan bakpau mingyen.
    Ya setiap orang punya kesuka dan kecocokan.

  2. Ping balik: Javaco Masih Berjaya, Kok! – KAMARYAN

Tinggalkan komentar