Soerjopranoto si Raja Mogok

Oleh : Indra Pratama

Dalam novel “Sang Priyayi”, penulis Umar Kayyam memaparkan kompleksitas kehidupan para priyayi Jawa. Dalam setting waktu 1900-awal hingga 1960-akhir, kehidupan kaum yang satu ini digambarkan tidak pernah lepas dari kerudetan yang haya berganti rupa. Meski mungkin di zaman sekarang semua itu sudah jadi kenangan belaka.

Kepercayaan akan adiluhungnya warisan kebudayaan Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram, kedudukan sebagai panatagama, pusat kebudayaan, seni dan tata perilaku sosial digoncang oleh masuknya Islam, theosofi, hingga kemudian politik etis, islam reformis, dan komunisme.

Proses tumbukan itu tak disangka menghasilkan suatu golongan baru, pangeran-pangeran, putri-putri yang berkesadaran diri, yang kemudian disebut sebagai Kaum Elit Modern Pribumi oleh Robert van Niels. Meskipun bisa ditemukan antitesis dalam diri Semaoen dan banyak tokoh elit lain dari luar Jawa, tapi tidak bisa disangkal bahwa peran kaum hasil tumbukan ini adalah yang terpenting dalam pergerakan nasional Indonesia.

Salah satu “akademi” yang penting dalam pergerakan adalah Pura Pakualaman. Meskipun awalnya secara aneh terbentuk dari konflik Yogya-Inggris, trah raja kecil ini ternyata banyak menghasilkan pembangkang-pembangkang rust en orde yang terkenal kelak. Paku Alam I, BPH Notokusumo dan Paku Alam II Raden Tumenggung Notodiningrat,bahkan sebelum Pakualaman terbentuk, telah menjalani pembuangan di Cirebon dan Batavia akibat dicurigai Hermann William Daendels menghalangi kepentingannya mengobok-obok Hamengku Buwono.

Salah satu pemberontak paling terkenal dari Pakualaman adalah Soerjopranoto. Lahir sebagai Raden Mas Iskandar,11 Januari tahun 1871, putra Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, putra tertua dari Paku Alam III yang hak naik tahtanya batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Ia dan adiknya, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara, menjadi tokoh penting dari pergerakan pra-nasional dan nasional Indonesia.

Meskipun lahir dan besar di Pura Pakualaman, Iskandar oleh ayahnya dibebaskan untuk bergaul dengan siapapun, termasuk rakyat jelata di sekeliling pura. Ia belajar mengaji bersama anak-anak abdi dalem, bahkan bermain dan tidur bersama mereka di langgar. Pura Pakualaman memang terkenal lebih moderat dalam bersikap. Demikian pula dalam urusan pendidikan (barat), Pakualaman temasuk menjadi yang terdepan dalam memanfaatkan fasilitas ini. Sejak Paku Alam III, Pakualaman memang lebih terkenal dengan aktivitas budaya dan ilmu pengetahuan daripada politik. Mereka telah mempergunakan bahasa Belanda dan Melayu dalam kehidupan sehari-hari, juga mempelopori pendidikan bagi para putri dan para pekerja di Pakualaman.Bahkan salah seorang bibi dari Soerjopranoto, yaitu Raden Ayu Nototaroeno telah dipandang sebagai salah satu ahli sejarah Jawa, meskipun bukan melalui jenjang pendidikan sejarah resmi.

Sorjopranoto dari kecil (hingga akhir hayatnya) dikenal sebagai seseorang yang tempramental, tetapi jujur dan lurus dalam bersikap. Kala ia memasuki sekolah formal di HIS Keputran, dalam benaknya muncul pertentangan-pertentangan yang berhubungan dengan sudut pandang Belanda dan pribumi. Pengetahuan yang ia dapat dari rumah, seringkali ia pertentangkan dengan pengetahuan (khususnya sejarah) dari guru sekolahnya. Namun kenyataan itu malah membuatnya semakin cerdas dan mampu berpikiri ilmiah.

Lulus HIS, ia melanjutkan pendidikannya ke Klein Ambtenaar Cursus, sebuah kursus untuk amtenar. Saat berusia 14 tahun, ia mulai menampakkan reputasinya sebagai seorang pendekar pembuat onar, yang sering menghajar sinyo-sinyo Belanda yang meremehkan orang pribumi, juga sering menentang aturan-aturan dan aparat yang dinilainya berat sebelah dalam berbagai aksi. Statusnya sebagai seorang priyayi tinggi membuat omongan dan aksinya lebih disegani.

Aksi personalnya ini membuat asisten residen setempat gerah, maka selulusnya Soerjopranoto sebagai amtenar, ia “dipaksa” menerima Surat Ketetapan yang menugaskannya di Tuban, Jawa Timur. Di Jawa Timur ia berkenalan dengan Raden Mas Oemar Said, yang aktif di perjuangan hak-hak pedagang kecil pribumi. Oemar Said kelak dikenal sebagai Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Namun hanya 6 bulan ia bertugas di Tuban, tinjunya kembali mengenai orang Belanda, kali ini yang dibuat terkapar adalah seorang kontrolir yang menghina seorang pegawai bangsa pribumi. Ia pun dipecat dan dikembalikan ke Yogya.

Namun sekembalinya di Pakualaman, peristiwa tersebut malah disambut bangga oleh ayahnya dan pamannya, Paku Alam IV sebagai tindakan seorang ksatria. Oleh Paku Alam IV, ia pun segera dipekerjakan kembali sebagai  sekretaris dan salah seorang wedana dalam pemerintahan praja Pakualaman. Dalam pekerjaannya kali ini, ia merasa makin dekat dengan semua unsur masyarakat Pakualaman, dari mulai kalangan priyayi hingga warga termiskin. Ia menganalogikannya dengan “yang kecil menjadi makanan yang sedang, yang sedang menjadi makanan yang besar”.

Berangkat dari pengalaman itu, ia bersama kawan-kawan dekatnya mendirikan Mardi Kaskaya, sebuah organisasi yang utamanya bergerak membebaskan rakyat Pakualaman dari himpitan rentenir, serta memberikan bantuan modal untuk para warga maupun abdi dalem yang memiliki kemampuan dan kemauan berusaha kerja sambilan. Didorong oleh gerakan ini, sikap penolakan terhadap rentenir mulai meluas, berbagai kasus kekerasan terhadap rentenir merebak.

Dengan alasan inilah, pemerintah, pelindung para rentenir, menganggap Soerjopranoto sebagai rebellie, maka dipikirkanlah cara untuk membuangnya. Pemerintah tahu bahwa Soerjopranoto seorang yang haus akan ilmu, Maka mereka membuangnya dengan cara memberikan kesempatan Soerjopranoto bersekolah di Middlebare Landbouwschool di Buitenzorg (sekolah tani, bakal dari Institut Pertanian Bogor). Ia pun gembira, namun ayahnya segera menyadarkannya, bahwa kesempatan belajar itu hanyalah upaya membuang Soerjopranoto dari Pakualaman. Namun ayahnya pun membesarkan hatinya, bahwa dengan belajar ilmu tani, maka Soerjopranoto bisa dekat dengan kaum tani, yang dalam babad-babad Jawa dikenal sebagai pendukung sebuah revolusi. Maka ia pun berangkat ke Buitenzorg.

Di Buitenzorg, ternyata upanya meredam si pemberontak berujung nol besar. Soerjopranoto malah menikmati keuntungan besar dari pembuangannya tersebut. Pertama, ia lulus dengan mengantongi dua ijazah sekaligus, ijazah Landbouwkundige (ahli pertanian), serta ijazah Landbouwlelaar (guru ilmu pertanian). Kedua, ia pun berkenalan dengan kaum pergerakan. Ia indekos di rumah tokoh theosofi Van Hinlopen Labberton, melalui Labberton, ia berkenalan dengan Ernest Eugene Francois Douwes Dekker, seorang dengan penghargaan “The Boer’s Fighting Man”. Ketika Soewardi masuk STOVIA, ia pun memperluas pergaulannya di kalangan pergerakan Batavia pra Boedi Oetomo (meskipun Soewardi akhirnya tidak lulus STOVIA). Bahkan turut membantu dr.Wahidin Soedirohoesodo, dokter keluarga Pakualaman, yang mencari dana untuk studiefonds yang dicanangkannya.

Setelah lulus tahun 1907, tahun berikutnya ia kembali mengalami “pembuangan” ke tempat yang jauh. Ia menjabat Kepala Dinas Pertanian (Landbouwconsulent) untuk wilayah Wonosobo, Dieng dan Batur. Sembari merangkap sebagai pimpinan sekolah pertanian di Wonosobo. Disini ia bertemu Jauharin Insyiah binti Abdussukur, putra kyai reformis Abdussukur dari Karang Anyar. Seluruh putra-putri Abdussukur menerima pendidikan modern. Di Wonosobo pula ia bergabung dengan Boedi Oetomo. Di masa ini pula ia resmi menggunakan nama Soerjopranoto sebagai pengganti nama kecil Iskandar.

Perkembangan Sarekat Dagang Islam dibawah H.Samanhoedi dan R.M. Tirtoadhisoerjo menarik Soerjopranoto dan kaum kelas menengah lain untuk bergabung. Namun ternyata akibatnya fatal, seorang Asisten Wedana Temanggung dipecat secara sepihak oleh pemerintah kolonial karena diketahui bergabung dengan SDI (yang kemudian menjadi Sarekat Islam). Soerjopranoto tidak terima, ia melabrak Asisten Residen Banyumas langsung dikantornya. Mereka berdebat seru, diakhiri dengan Soerjopranoto yang merobek surat keputusan penugasan dan ijazah sekolahnya, sembari bersumpah tidak akan lagi bekerja untuk pemerintah kolonial. Peristiwa ini nampaknya membuat ia menjadi salah satu tokoh non-kooperasi pertama di era pergerakan modern. Sikap yang cukup konsisten dilakukannya di masa depan, seperti saat menolak menjadi anggota Volksraad tahun 1918.

Mengetahui kakaknya menganggur, Soewardi meminta Soerjopranoto mengajar di Taman Siswa sebagai guru tani. Ia pun setuju dan pulang kembali ke Yogya. Di saat yang bersamaan ia pun makin aktif di pergerakan, menjadi pengurus Boedi Oetomo, anggota Sarekat Islam, serta mendirikan ormasnya sendiri, yaitu Arbeidsleger Adhi Dharma atau Barisan kerja Adhi Dharma. Adhi Dharma sendiri merupakan ormas yang bekerja di bidang pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatannya berupa mendirikan sekolah-se, kolah umum untuk wanitas dan priapendidikan keterampilan, bantuan hukum bagi rakyat kecil, pendidikan perdagangan,ceramah dan diskusi problema kemasyarakatan, mendirikan ulang usaha koperasi gotong royong Mardi Kaskaya, serta barisan kesehatan. Sistem organisasinya mirip seperti Salvation Army dari Inggris, dimana para pegawainya memiliki sistem kepangkatan seperti militer, dengan Soerjopranoto sebagai komandannya. Karena Adhi Dharma berafiliasi dengan SI, maka ormas ini pun mendapat keuntungan dengan penyebaran kegiatan di skala wilayah yang cukup besar, hingga ke pelosok dimana terdapat afdeling SI.  Namun sejarawan-sejarawan seperti Ruth T.McVey dan Takashi Shiraishi menyebut Adhi Dharma kurang jelas tujuannya, mungkin karena terlalu luasnya bidang yang ditekuni Adhi Dharma, sehingga kurangnya fokus ormas.

Di dalam SI sendiri, Soerjopranoto tetap menjadi anggota aktif, bahkan di dekade kedua abad ke-20, ia sudah menduduki peranan penting sebagai salah satu orang kepercayaan rezim Tjokroaminoto. Namun seiring berkembangnya SI menjadi partai, muncul pula fragmen-fragmen internal didalam SI. Masuknya pengaruh komunisme lewat Mas Marco, Alimin, Darsono dan Semaoen, sosialisme islam ala H.Misbach, dan islam reformis dari Fachroedin (murid Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyyah) mulai menyulitkan posisi politis SI. DI masa ini Soerjopranoto mulai aktif menyusun program pro buruh dan petani, yang kelak melahirkan julukannya yang paling terkenal : si Raja Mogok.

Tahun 1919, Soerjopranoto mendirikan Personeel Fabriek Bond (PFB), organisasi serikat buruh pertama di Indonesia. Organisasi ini kemudian menjadi jalur para buruh untuk berkompromi dengan Politiek Economische Bond (PEB) organisasi para pengusaha. Di akhir tahun, PFB telah memiliki 90 afdeling dan 10.00 anggota dan calon anggota di seluruh Jawa. Namun kuantitas tak menjamin. Kompromi pertama gagal. Alhasil pada 9 Agustus 1920, Soerjopranoto mengumumkan pemogokan buruh yang pertama kali sepanjang sejarah Hindia modern. Bermula di Pabrik Gula Padokan Yogyakarta, aksi ini meluas hingga ke sebagian besar pulau Jawa. Dengan pemogok sebanyak itu, pers Belanda pun menjuluki Soerjopranoto De Stakingskoning alias Si Raja Pemogokan.

Sementara Soerjopranoto sibuk dengan pemogokan, SI sendiri sedang digoyang masalah internal. Rezim Tjokro yang dianggap korup sudah kehilangan banyak pengikut, terutama setelah serangan-serangan dari kaum komunis dari afdeling Semarang yang dikomandoi Semaoen. Meskipun secara aksi sejalan dengan SI Semarang, namun Soerjopranoto memilih berada di belakang Tjokro, entah untuk alasan politis atau pertemanan. Bersama H.Agus Salim ia masih setia dengan disiplin partai, namun tak urung kecewa juga melihat rapor merah kepemimpinan Tjokro, terutama atas dugaan-dugaan korupsi yang dilakukan Tjokro.

Namun, idealismenya pula yang membuat sikapnya membingungkan bagi kawan dan lawan. Ia seakan pro Tjokro, tetapi dalam beberapa masalah setuju dengan SI Semarang dan kelompok anti-Tjokro lainnya. Dalam beberapa kali usaha reformasi partai, Tjokro tetap memasukkan Soerjopranoto dalam jajaran pengurus. Demikian pula dengan Sarekat Hindia yang dibentuk Tjipto Mangoenkoesoemo. PFB berkembang menjadi penangkal rezim Tjokro dalam menghadapi SI Semarang yang makin merongong setelah pembentukan Partai Komunis Indonesia. Namun upaya ini gagal ketika Soerjopranoto dan PFB gagal mengahalangi Semaoen menduduki ketua federasi serikat buruh yang baru dibentuk, PPKB (Persatoen Perserikatan Kaoem Boeroeh).

Memasuki dekade 20-an pergerakan buruh yang dikoordinir Soerjopranoto mulai meredup, ancaman dari para pemilik perusahaan serta minimnya dana pergerakan membuat para anggota satu persatu meninggalkan PFB. Dengan penurunan sumber daya, ancaman-ancaman mogok PFB hanya menjadi sebuah gertak sambal yang tidak ditakuti pemerintah dan para pengusaha. Kondisi ini makin mencuatkan isu-isu perpecahan di pergerakan buruh. Kubu SI/PKI Semarang Darsono-Semaoen-Bergsma berusaha mendekati Soerjopranoto untuk bergabung, sementara Fachroedin adu serang dengan Darsono, kondisi ini memecah pergerakan buruh pada umumnya.

Dalam kondisi inilah pergerakan buruh Soerjopranoto mulai kocar-kacir pula, ia mengalami tiga kali penjara pada periode sulit ini. Kekuatan yang tidak lagi besar membuatnya nyaris tidak punya posisi pembelaan yang kuat di pengadilan. Tahun 1923 ia ditahan 3 bulan di Malang, kemudian di Semarang selama 6 bulan tahun 1926. Dua kasus tersebut disebabkan delict pers atas tulisan-tulisannya.

Dekade 30-an,  ia menghadapi kenyataan lebih pahit bahwa Partai Sarekat Islam, yang ditambahkan kata Indonesia di belakangnya sebagai perwujudan tujuan nasionalismenya tahun 1929, menskors dirinya dan dr. Soekiman Wirjosandjojo tahun 1933. Setelah itu di tahun yang sama ketiga kalinya ia dipenjara lagi. Kali ini di Bandung (Sukamiskin) selama 16 bulan , dengan peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan. Kasus kali ini lagi-lagi akibat delict pers. Kali ini atas karya ensiklopedia yang dibuatnya.

Sempat mendirikan Partai Islam Indonesia,namun ternyata sekeluarnya dari Sukamiskin Soerjopranoto sudah terlalu lelah untuk aktif lagi. Ia pun sempat bersimpati pada Partai Nasional Indonesia bikinan Soekarno, murid Tjokroaminoto, namun tidak diketahui apakah ia kemudian ikut aktif didalamnya. Ia kemudian lebih aktif lagi di Adhi Dharma dan meninggalkan politik praktis.Zaman Jepang Adhi Dharma dibubarkan. Namun ia tetap aktif mengajar di Taman Siswa, sekalian menghindari ajakan kerjasama dari Jepang.

Di masa kemerdekaan, Soerjopranoto tetap aktif mengajar, dan menjadi simpatisan PSII. Tahun 1958 Soekarno pun memberi kehormatan kepada Soerjopranoto sebagai anggota kehormatan Dewan Rakyat. Namun setahun kemudian, tanggal 15 Oktober 1959 Soerjopranoto meninggal dunia akibat usia lanjut ketika sedang berada di rumah menantunya di Cimahi. Dua hari kemudian jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Rahmat Jati di kotagede, Yogyakarta, dengan upacara kenegaraan. Dengan keputusan Presiden Republik Indonesia no.310  beliau diangkat sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional RI serta kemudian mendapat Bintang Mahaputra, tingkat II Republik Indonesia pada 17 Agustus 1960.

Soerjopranoto merupakan salah satu contoh generasi pertama elit modern Indonesia. Generasi yang mau dan mampu keluar dari zona kenyamanan priyayi mereka, untuk kemudian bertarung bersusah-susah, baik dengan sesama pribumi maupun dengan penjajah. Ketika suatu sistem pendidikan mampu menghasilkan generasi seperti Soerjopranoto hingga Soekarno-Hatta, perlukah kita berkaca pada sistem pendidikan waktu itu?.

Sumber :

  • McVey, Ruth T. 1965. Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta : Komunitas Bambu. Cetakan tahun 2010.
  • Noer, Deliar. 1979. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES. Cetakan kedua tahun 1982.
  • Shiraishi, Takashi. 1990. Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Cetakan kedua tahun 2005.
  • Sukawati, Bambang. 1983. Raja Mogok. R.M.Soerjopranoto. Jakarta : Hasta Mitra
Iklan

Satu pemikiran pada “Soerjopranoto si Raja Mogok

  1. Ping balik: Tentara Buruh dan Raja Mogok - Beritain.Online

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s