Saudagar Tempo Dulu Di Pasar Baru Bandung (pasar Baru-episod dua)


Oleh : Ridwan Hutagalung

Ada banyak kisah menarik di balik Pasar Baru yang masih bisa kita gali. Di antaranya adalah kisah para saudagar Bandung tempo dulu yang tinggal dan menjalankan usaha dagangnya di kawasan ini. Mereka adalah para saudagar yang berasal dari Sunda, Jawa, Palembang, bahkan India dan Arab. Pada umumnya masyarakat menyebut para saudagar Pasar Baru ini dengan sebutan “Orang Pasar”. Salah satu kelompok keluarga besar para saudagar ini mengaku merupakan turunan dari istri ke-4 Pangeran Diponegoro yang dibuktikan dengan pohon silsilah yang masih disimpan oleh salah satu keluarga.

Peristiwa Perang Dipenegoro (1825-1830) juga menyisakan sebuah cerita lain. Konon akibat dari peperangan itu banyak orang Tionghoa yang berpindah ke berbagai tempat, di antaranya ke Bandung. Konon pula Daendelslah yang memaksa mereka datang ke Bandung melalui Cirebon sebagai tukang perkayuan (ingat kisah Babah Tan Long yang memunculkan nama jalan Tamblong) dan dalam upaya menghidupkan perekonomian di pusat kota dekat Grotepostweg. Daerah hunian para pendatang baru ini berada di Kampung Suniaraja (sekitar Jalan Pecinan Lama sekarang) yang berada di depan Pasar Baru. Dengan begitu kampung ini menjadi lokasi pemukiman Tionghoa pertama di Bandung. Hingga tahun 1840, tercatat hanya 13 orang Tinghoa saja yang bermukim di Bandung. Pada tahun yang sama terdapat 15 orang Tionghoa yang bermukim di Ujungberung. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kawasan pemukiman kaum Tionghoa yang lebih banyak diarahkan ke sebelah barat pemukiman lama, yaitu di belakang Pasar Baru. Karena itu lokasi pemukiman Tiongoa pertama ini kemudian mendapatkan sebutan Pecinan Lama (Chinesen Voorstraat).

Di sekitar Pasar Baru juga masih tersebar banyak sisa bangunan lama yang menjadi saksi perkembangan Pasar Baru. Kebanyakan bangunan berada dalam kondisi kurang terawat walaupun masih dipakai oleh pemiliknya sebagai rumah tinggal atau toko. Sebagian lainnya malah tampak sangat kumuh seperti menunggu waktu untuk rubuh. Sedikit saja bangunan yang masih terpelihara dengan baik. Bila jeli memperhatikan keadaan sekitar, kita masih bisa menemukan banyak keunikan di kawasan ini seperti, tanda tahun pendirian rumah, plakat nama pemilik rumah ataupun bentuk bangunan yang menyiratkan keadaan masa lalunya. Beberapa tinggalan bangunan bahkan memiliki gaya campuran antara kolonial, Tonghoa dan Islam.

Dari sedikit saja bangunan lama yang masih terpelihara baik, terdapat satu bangunan yang cukup khas karena semua pintunya berwarna hijau sehingga cukup menyolok pandangan. Bangunan bercorak unik ini ternyata juga menyimpan cerita mengenai para perintis perdagangan di Pasar Baru. Perempuan pedagang dari keluarga Achsan yang menghuni rumah ini dulu merupakan perempuan Bandung pertama yang  menumpang pesawat (Fokker KLM) dengan trayek Bandung-Batavia.

Beberapa toko lainnya juga menyimpan sejarah panjang perkembangan Pasar Baru. Seperti Toko Jamu Babah Kuya. Toko Jamu ini didirikan oleh Tan Sioe How di Jl. Pasar Barat, tahun 1910 (ada kemungkinan juga lebih awal, tahun 1800-an). Belakangan, salah satu keturunan Tan Sioe How membuka toko lainnya dengan nama sama di dekatnya (Jl. Pasar Selatan). Bersama-sama dengan dengan keluarga Achsan, Tan merupakan perintis usaha perdagangan di kawasan yang kemudian hari menjadi Pasar Baru. Julukan Babah Kuya didapatkan Tan dari piaraannya yaitu sejumlah kura-kura yang sekarang ini terpajang di tembok ruang tokonya.


Sebagai tujuan wisata kuliner, Pasar Baru tak kurang menariknya. Salah satu usaha yang sudah berlangsung cukup lama adalah Toko Cakue dan Bapia Lie Tjay Tat (sekarang Toko Osin) yang kini berlokasi di Jalan Belakang Pasar. Cakue Pasar Baru ini terkenal karena menggunakan resep tradisional yang masih terus dipertahankan hingga sekarang. Ukuran cakuenya besar-besar dengan rasa yang gurih dan renyah. Selain itu juga tersedia Bubur Kacang Tanah yang unik. Jenis makanan istimewa yang terakhir ini memang tidak terlalu mudah didapatkan di Kota Bandung. Ada juga warung es goyobod dengan nama Goyobod Kuno 1949 di Jalan Pasar Barat. Pengusaha goyobod ini merupakan salah satu keluarga perintis usaha es goyobod di Bandung. Sebagian warga Bandung tentunya juga masih mengingat gado-gado Bi Acim, sate gule Abah Odjie, atau Mie Kocok Subur.

Selain para pedagang Sunda, Jawa dan Sumatera, beberapa kelompok masyarakat lain juga berkumpul di sini seperti orang-orang India di kawasan kecil yang bernama Gang Bombay. Sejumlah warga Arab yang sebelumnya menempati area ini sekarang sudah tersebar ke berbagai kawasan lain di Bandung.

Mungkin sebagian warga Bandung masih dapat mengingat masa kecilnya dulu saat orang tua berjanji untuk membelikan baju atau sepatu baru bila naik kelas. Di mana belanjanya? Tentu saja, di Pasar Baru…

Foto dan tulisan oleh Ridwan Hutagalung

pernah dimuat di : mahanagari.multiply.com

4 pemikiran pada “Saudagar Tempo Dulu Di Pasar Baru Bandung (pasar Baru-episod dua)

  1. Kang… kalo mi kocok Subur itu yg di ps baru di sebelah mana ya?, yg pernah saya coba itu yg di daerah situ aksan/pagarsih..apa sama yg punya nya.

    Didi
    di Jakarta

Tinggalkan komentar