Pro Duta Dan Kejayaan Yang Terlupa

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

“Laskar Bandung Lautan Api”

Begitu sebuah tulisan dari sebuah mini bus yang teronggok kusam di pelataran Pasar Ulekan Pagarsih Bandung. Kaca jendelanya nampak sangat berdebu tak terurus, sementara spionnya yang patah dibiarkan menggantung dengan sedikit retakan pada cerminnya. Dari ukurannya terlihat kapasitas bus ini hanya dapat menampung sekitar 20 orang saja. Namun siapa mengira kalau mini bus terbengkalai ini pernah menjadi saksi kejayaan sebuah tim sepakbola bernama Pro Duta FC.

Mendengar nama Pro Duta FC, saya menjadi teringat pada jaman kuliah dulu saat rajin membeli tabloid Maung Bandung dua minggu sekali. Pada jamannya, tabloid cetak Persib Bandung memang banyak bermunculan sampai akhirnya mati tergilas media online. Selain Maung Bandung, sempat juga beredar tabloid sejenis dengan nama “Bobotoh” serta “Persib +” yang tak hanya memberitakan tentang Persib Bandung saja, namun juga memberitakan tentang pernak-pernik Sepak Bola di Bandung. Salah satunya materi pemberitaannya adalah Pro Duta FC.

Pro Duta FC, klub sepak bola kelas gurem yang sempat populer pada periode tahun 2005-2009. Berkat sentuhan tangan pelatih yang juga legenda hidup Persib Bandung Robby Darwis. Baca lebih lanjut

Iklan

Persib dan Literasi Bal-balan

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Saat rehat babak pertama laga tandang Persib yang melawat Persiba, saya menulisi akun @simamaungdengan pertanyaan retoris sok puitis: Kenapa sepi dan rindu diciptakan? Hanya tinggal mengklik tombol tweet, beruntungnya saya bukan makhluk yang kelewat iseng. Sebenarnya, enggak masalah sih sedikit jahil dengan salah satu media daring paling akrab di telinga bobotoh ini, hitung-hitung meredakan ketegangan skor kacamata di malam itu–malam Minggu yang niscaya akan jadi jahanam jika tanpa puisi dan Persib.

Sepakbola bukan cuma sebuah permainan, bukan hanya olahraga, ini adalah satu agama, sabda seorang Diego Maradona. Meski enggak tertulis di data KTP, tapi mayoritas warga Bandung sudah bisa dipastikan beragama Persib. Menonton Persib, baik berjamaah ke stadion atau di tempat nobar, atau sendiri-sendiri di rumah masing-masing, adalah ibadah fardlu bagi bobotoh. Maka dalam kegiatan rutin Kelas Literasi Komunitas Aleut! yang rutin diadakan hari Sabtu itu mengundang kawan-kawan pesohor dari @mengbal,@stdsiliwangi, @panditfootball, kang @riphanpradipta, dan kang @dumbq_ berbagi pengalaman, ide, dan informasi seputar sepakbola Bandung dan pengelolaan situs daring yang mereka jalankan.

“Saya lahir di Kediri, dan pernah tinggal di Malang, lalu sekarang tinggal di Bandung. Jadi saya sudah juara tiga kali,” ujar seorang penulis sepakbola yang hadir sore itu, yang kemudian disambut tawa oleh kawan-kawan lainnya. “Dari pengalaman saya itu, budaya sepakbola Bandung masih yang terdepan. Di sini sangat terbuka, kritik adalah hal yang bisa terjadi setiap hari. Di Bandung warga berderet di pinggir jalan menyambut bobotoh, sesuatu yang bahkan di Malang pun tidak terjadi.” Baca lebih lanjut

Stadion Persib

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

image

Stadion Persib, lebih populer dengan nama Stadion Sidolig, merupakan cikal bakal lahirnya SSB Sidolig.

Sidolig sendiri merupakan sebuah singkatan dari “Sport in de Openlucht is Gezond” yang artinya “berolahraga di tempat terbuka itu sehat”.
Saat ini Stadion Persib dikenal juga sebagai lokasi mess para pemain serta salah satu stadion yang sering digunakan untuk menggelar latihan reguler.

Satu cerita yang tak banyak orang tahu, bahwa di stadion ini pernah terjadi insiden berdarah yang menewaskan 3 orang tentara belanda dan 1 orang pemain Jong Ambon. Tragedi terjadi saat APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) memaksa masuk ke dalam stadion saat turnamen sepakbola yang digelar Divisi Olahraga S.A.D Belanda. Turnamen ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas dipulangkannya sisa tentara Belanda menjelang Natal.

Insiden Sidolig ini tak terlepas dengan sentimen masyarakat terhadap tragedi pembantaian warga oleh Tentara Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Raymond Westerling.