Asyiknya Ngaliwet Bersama Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Aditya Wijaya.

Bunyi alarm membangunkan saya dari tidur lelap setelah melakukan perjalanan momotoran Pangalengan-Ciwidey kemarin bersama Komunitas Aleut. Saya bersiap untuk memacu kendaraan menuju sekretariat Aleut di Pasirluyu Hilir. Cuaca Bandung pagi hari seperti biasa dingin dan berawan. Sesampainya di sekretariat Aleut pukul 09.00 pagi, kami para peserta APD (Aleut Program Development) 2020, dengan ditemani teh Rani, bang Ridwan, dan pak Hevi, bersiap untuk melaksanakan kegiatan ngaliwet yang akan diliput oleh sebuah kanal televisi dari Jakarta.

Sambil menunggu teman-teman yang lain datang, teh Rani mebawa secercah harapan karena membeli sebungkus gorengan hangat yang memang cocok disajikan pada pagi hari. Hari semakin siang, satu persatu teman-teman berdatangan dan mulai terlihat kesibukan untuk mempersiapkan liwetan yang akan disajikan nanti. Kejadian yang membuat sedikit cemas adalah ketika teh Rani menyadari bahwa tahu dan oncom yang baru dibelinya di pasar tidak ada. Bergegaslah teh Rani dan pak Hevi menuju pasar untuk menjemput tahu dan oncom yang hilang.

Reza yang tinggal di Ciwidey pun datang membawa banyak jenis lalab yang sudah mulai jarang ditemui di pasar-pasar kota Bandung, mulai dari takokak, jotang, antanan, selada air, daun mint, dan kemangi. Tak lengkap rasanya bila ngaliwet tanpa lalab dan sambal. Soal lalab, saya sebetulnya merasa asing dengan nama-nama lalaban tersebut, karena memang sudah jarang ditemui di restoran atau warung makan biasa.

Dapur sekretariat Aleut menjadi sangat sibuk oleh teman-teman yang mempersiapkan bahan-bahan liwetan. Tugas pertama saya adalah memotong kangkung bersama pak Hevi, Ricky, Reza, dan Farly. Sementara itu, Agnia dan Madiha mempersiapkan tempe yang akan digoreng serta dibacem. Berikutnya, saya lanjutkan dengan memotong bawang merah dan bawang putih. Begini ternyata rasanya memasak, menyenangkan, ucap saya dalam hati. Setelah itu saya menggoreng tahu dan tempe, sementara Lisa menggoreng teri dan asin.

Baca lebih lanjut
Iklan

Asal Usul “Bancakan” Dan “Botram”

 

Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Tidak seperti biasanya, Hari Minggu ini penggiat Komunitas Aleut tidak mengelilingi kota Bandung, belajar mengenal, mencintai, dan mengapresiasi kota tempat tinggal mereka. Pada kesempatan ini, penggiat Komunitas Aleut mengadakan kegiatan apresiasi film dokumenter konser Loreena McKennitt yang berjudul “Night at Alhambra” serta mengadakan salah satu tradisi Sunda untuk makan bersama yaitu “Botram”. Kegiatan ini diadakan di sekretariat Komunitas Aleut di jalan Sumur Bandung no 4.

Dalam tulisan ini, saya tidak membahas segi apresiasi film dokumenter tersebut ataupun siapa Loreena MecKennitt serta pengaruhnya dalam bidang musik. Namun, kali ini saya tertarik untuk membahas tentang tradisi Sunda untuk makan bersama.

Sebagai seorang pendatang yang telah menetap selama kurang lebih enam tahun di Bandung, tradisi botram sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga saya. Selain Botram, saya juga mengenal tradisi Sunda untuk makan beramai-ramai lainnya yaitu bancakan. Menurut Fajar, salah satu penggiat Aleut, kedua tradisi makan bersama ini berbeda. Perbedaannya terletak pada yang bertanggung jawab dalam penyediaan konsumsi. Dalam  bancakan, makanan disediakan oleh yang punya hajatan, sedangkan dalam ngabotram, setiap yang ikut diwajibkan membawa makanan masing-masing kemudian dinikmati bersama.

Rasa penasaran saya terhadap dua istilah tersebut, menyebabkan saya kebiasaan iseng mencari dua istilah tersebut di Google dan beberapa literatur kesundaan yang saya punya. Selain googling, saya juga bertanya kepada beberapa teman-teman saya yang merupakan orang asli Sunda.

Bancakan

Dalam beberapa literatur kesundaan yang saya temui, Bancakan didefenisikan sebagai:

Ensiklopedi Sunda

Bancakan atau babacakan ialah nama hidangan maka yang diwadahi nyiru(niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan nuntuk dimakan bersama pada selamatan atau syukuran. Macam  makanan yang dihidangkan lazimnya nasi Congcor atau Tumpeng beserta lauk-pauknya antara lain urab sebagai sesuatu yang khas dalam hidangan selamatan. Tidak disediakan piring, para hadirin makan dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Makan bancakan dimulai setelah pembacaan doa selesai, setiap orang langsung mengambil dari nyiru nasi beserta lauk-pauknya.

Kamus Bahasa Sunda R. A. Danadibrata

Bancakan curak-curak, sukan-sukan bari barang dahar ngariung jeung babaturan;~biasana lain di jero imah bae, tapi di kebon, di sawah, di tempat pelesir jste.; Ing. picnic; ting. darmawisata

Kamus Sunda-Inggris Jonahan Rigg

Babachakan, to guttle, to eat greedily.

Sundanese English Dictionary

Bancak (n) k.o. basket of bamboo basketwork (for serving dishes in certain selametan); bancakan what is serverd in bancaks; babancakan have a selametan where the food is served in a bancak; cf ancak(1), bacak(2)

Kata bancakan ternyata tidak hanya dikenal dalam Bahasa Sunda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi empat menjelaskan kata bancakan berasal dari kata dasar bancak yang memperoleh akhiran –an. Dapat diartikan Ban-cak, ban-cak-an (n) 1 selamatan; kenduri; 2 hidangan yang disediakan dalam selamatan; 3 selamatan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingatai hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kue-kue. Dalam tradisi jawa, bancakan dikenal sebagai simbol rasa syukur kepada nenek moyang dan Tuhan sebagai pencipta dengan cara-cara membagi-bagikan makanan kepada relasi. Menurut Mutya Dyan dalam blognya, http:mutyadyan.blogspot.com, menjelaskan bancakan merupakan modifikasi konsep dan bentuk sajen yang dilakukan para wali dalam menyiarkan ajaran Islam.Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang ‘wajib’ mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu (para arwah nenek moyang ataupun lelembut).

Botram

Asal kata botram sendiri masih menjadi dalam bentuk tanda tanya. Dari sekian banyak referensi tentang kesundaan dan kamus Bahasa Sunda yang saya baca, tak satupun menjelaskan definisi botram secara harfiah. Saya menduga “Botram” merupakan kata yang diserap dari bahasa asing. Entah dari bahasa apa, kata tersebut diserap namun, botram telah menjadi suatu tradisi makan bersama masyarakat Sunda yang cukup menarik perhatian saya.

Botram (ngabotram) merupakan suatu istilah dalam bahasa Sunda yang merujuk pada sebuah kegiatan maka bersama beralaskan daun pisang yang dilakukan di sembarang tempat (seperti kebun, pantai, rumah) yang bertujuan mempererat rasa kekeluargaan serta untuk bersenang-senang. Biasanya masyarakat Sunda melakukan kegiatan  ngabotram sebelum bulan puasa (mengingat sekitar tanggal 29/30 Juni, sudah memasuki bulan Ramadhan ).Karena acaranya bersifat yang informal, maka dalam acara botram dilarang membicarakan hal-hal serius ataupun bercerita sesuatu hal yang menyedihkan. Itu dapat merusak selera makan…

Sepengamatan saya, ada beberapa yang wajib ada ketika ngabotram yaitu, nasi liwet, sambal, lalapan, kerupuk,dan ikan asin. Tak jarang dalam ngebotram, juga dijumpai menu seperti tahu, tempe,ayam, oseng jengkol, dan petai.

Yang unik dalam kegiatan ngabotram ini, tidak ada pihak harus menyediakan makanan dan pihak lain harus menghabiskan makanan. Masing-masing orang membawa makanan serelanya dan seadanya. Semua yang terlibat dalam dalam acara ngabotram tidak diberi ketentuan yang mengingat untuk membawa makanan khusus. Yang terpenting bisa makananya bisa dinikmati bersama.

Yang menarik perhatian saya terhadap dua tradisi makan bersama masyarakat Sunda ini, ada pengguna bahan alam sebagai media alas penyaji makanan (daun pisang). Di zaman yang serba maju ini,kepraktisan menjadi faktor utama seseorang memilih benda yang berguna untuk kehidupan. Tak jarang dalam beberapa acara makan bersama, penggunakan kertas, plastik, ataupun styrofoam sebagai alas penyaji maknan lebih diminati dibandingkan penggunaan bahan alam seperti daun pisang, batok kelapa dan lainnya dengan alasan kepraktisan. Padahal ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan, penggunaan kertas, plastik, dan styrofoam lebih berbahaya dibandingkan bahan alam. Menurut Indonesia Solid Waste Association (InSWA), organisasi profesi yang bergerak di bidang manajemen dan teknologi pengelolaan sampah, waktu urai untuk kertas sekitar satu hingga tiga minggu, plastik antara 10-80 tahun tergantung jenis plastik, dan styrofoam akan terurai setelah 10.000 tahun. Sedangkan daun pisang, batok kelapa dan bahan alam lainnya yang biasa digunakan sebagai alas saji makanan lain memiliki waktu urai yang lebih singkat. Ini disebabkan bakteri yang terdapat didalam tanah telah mengenal bahan tersebut sebagai makanan sehari-hari mereka.

Menurut saya, kegiatan bancakan dan botram mengurangi pemakaian sampah padat terutama dalam acara-acara yang bersifatnya informal dan meningkatkan kekeluargaan. Selain, dapat bersenang-senang bersama teman dan keluarga, namun juga membantu melestarikan budaya dan mengurangi sampah padat yang sulit terurai.

 

Kegiatan Bancakan dan Botram sekaligus teman-teman Komunitas Aleut

Kegiatan Bancakan dan Botram sekaligus teman-teman Komunitas Aleut

Bandung, 22 Juni 2014

#Kegiatan Menjelang Ramadhan  #Komunitas Aleut!