Oleh: Ariyono Wahyu
Permakaman merupakan salah satu fasilitas/perlengkapan sebuah kota yang penting. Bila mereka yang hidup membutuhkan kompleks permukiman sebagai tempat tinggal untuk bernaung, maka mereka yang telah “berpulang ke keabadian” juga membutuhkan tempat untuk move on menuju kehidupan selanjutnya.
Ternyata, melalui permakaman, kita juga dapat menggali sejarah perkembangan sebuah kota. Berikut ini adalah cerita mengenai permakaman yang saya baca di buku-buku yang membahas kota Bandung. Dalam buku “Wajah Bandung Tempo Doeloe” karya Haryoto Kunto, ada disebutkan istilah kerkhof yang artinya kuburan. Kerkhof adalah kata kuno dalam bahasa Belanda untuk permakaman. Kerkhof Belanda tertua di kota Bandung terdapat di ruas Jl. Banceuy sekarang, dulu lokasinya disebut Sentiong. Ternyata kata Sentiong yang berasal dari bahasa Cina juga bermakna kuburan. Cukup lama bekas Sentiong di Jl. Banceuy ini ditempati oleh sebuah Pasar Besi, tapi sekarang lokasi itu sudah tidak ada dan di atasnya didirikan bangunan pertokoan baru. Sampai paruh pertama abad ke 19, batas utara kota Bandung baru sampai di daerah Jl. Suniaraja sekarang ini, jadi tidak mengherankan bila di pinggiran kota ini dulu terdapat permakaman.
Kerkhof di Jl. Banceuy sering disebut bergantian dengan Sentiong karena di dalamnya tidak hanya terdapat permakaman orang Belanda, melainkan juga orang keturunan Cina. Salah satu warga kota terkemuka yang dimakamkan di Sentiong adalah Asisten Residen Carl Wilhelm August Nagel. Ia tewas dalam huru-hara Munada pada akhir tahun 1845. Akibat kerusuhan ini pasar kota (pasar lama di Ciguriang) terbakar dan akibatnya kota Bandung tidak memiliki pasar hingga dibangunnya Pasar Baru di awal abad ke 20.
Kerkhof Sentiong di Jl. Banceuy eksis hingga akhir abad 19. Saat itu suasana sekitar permakaman sungguh sunyi, apalagi bila hari sudah malam. Warga yang bermukim di daerah utara kota, sepulang dari menikmati hiburan atau keramaian malam di sekitar Alun-alun akan menghindari daerah Jl. Banceuy tempat kerkhof berada. Suasana yang sepi dan gelap membuat tidak nyaman, mereka akan memilih melewati jalan yang agak memutar melalui daerah Pecinan di belakang Pasar Baru yang selalu ramai hingga pagi hari.
Dalam perkembangan berikutnya, batas utara kota Bandung bergeser ke daerah Jl. Pajajaran sekarang. Permakaman Sentiong harus dipindahkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan kota. Kuburan-kuburan warga etnis Cina dipindahkan ke daerah Babakan Ciamis. Lalu ruas jalan lama bekas Sentiong dinamai Oudekerkhofweg atau Jalan Kuburan Lama.
Tampaknya hingga tahun 1950-an permakaman Cina di daerah Babakan Ciamis masih ada, seperti yang ditulis oleh Us Tiarsa dalam bukunya “Basa Bandung Halimunan”. Menurut Us, makam-makam Cina yang disebut dengan Bong terletak di lembah antara daerah Cicendo dengan Kebon Kawung. Di sana terdapat pintu air sungai Ci Kapundung yang sering dijadikan lokasi bermain dan berenang anak-anak dari daerah Cicendo dan Babakan Ciamis. Walaupun daerah Bong tersebut terkenal angker karena banyaknya anak-anak terbawa hanyut saat Sungai Ci Kapundung meluap, namun tetap saja menjadi tempat berenang favorit bagi anak-anak pada masa itu.
Sebuah makam keluarga di tengah kompleks permakaman Astanaanyar. Foto: mooibandoeng.
Sementara itu, kuburan-kuburan orang Eropa juga dipindahkan dari Sentiong ke kerkhof di Kebon Jahe, di lokasi yang sekarang ditempati oleh GOR Pajajaran. Periode ini berlangsung saat jabatan Asisten Residen Priangan dijabat oleh Pieter Sijthoff. Pada tahun 1898 ia mendirikan wadah untuk menyalurkan partisipasi serta aspirasi warga kota yaitu Vereeniging tot nut van Bandung en Omstreken atau Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan sekitarnya. Upaya organisasi ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan fasilitas kota, di antaranya adalah pembukaan jalur-jalur jalan, perumahan, pembangunan sarana pendidikan, dan pembangunan Pasar Baru. Di Bidang sosial, organisasi ini mendirikan perkumpulan yang bertugas untuk mengurusi masalah kematian, organisasi ini pula yang memindahkan Kerkhof Sentiong. Untuk permasalahan yang berhubungan degan kematian, perkumpulan ini menyediakan kereta jenazah. Kereta jenazah ini adalah kereta kuda beroda empat yang ditarik oleh empat ekor kuda putih. Model kereta jenazah ini seperti ranjang kuno dengan kelambu berwarna hitam.
Pada awal abad ke-20 kota Bandung sempat dikenal dengan julukan yang menyeramkan yaitu Kinderkerkhof (kuburan anak-anak), ini terutama akibat wabah kolera pada tahun 1910. Tingkat kematian anak terhitung tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Suasana kota Bandung sebelum tahun 1917 pun tak kalah menyeramkan, kuburan atau makam dapat dengan mudah ditemukan di pekarangan, di samping, di belakang rumah atau di kebun-kebun warga. Praktis tak ada aturan mengenai makam-makam ini. Keadaan ini ditertibkan pada tahun 1917 dengan dikeluarkannya Bouwverrordening van Bandung (Undang-Undang Pembangunan Kota Bandung). Sejak dikeluarkannya aturan ini pemakaman jenazah harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan, yaitu di komplek permakaman, seperti untuk warga muslim yang ditempatkan di permakaman Astana Anyar (Kuburan Baru).
Sebuah makam di tengah gang umum di kawasan Cihampelas. Foto: Hani Septia Rahmi.
Sebenarnya urusan permakaman telah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah kota setelah Bandung memperoleh status Gemeente (Kotapraja) yang berarti menjadi daerah otonomi, kota yang dapat mengurus, mengatur, dan mengelola beberapa macam wewenang sebagaimana rumah tangga sendiri. Pengesahan tersebut terjadi pada tanggal 1 April 1906, melalui perundang-undangan tanggal 21 Februari 1906 dan 1 Maret 1906. Pengesahan dilakukan oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutz. Saat itu Residen Priangan dijabat oleh G.A.F.J. Oosthout, Asisten Residen oleh E.A. Maurenbrechter, dan bupati dijabat oleh R.A.A. Martanagara. Semuanya berkedudukan di Bandung.
Dalam perundang-undangan itu diatur mengenai tugas dan kewajiban Gemeente, di antaranya adalah: pembuatan dan pemeliharaan perkuburan umum Islam maupun Kristen di dalam wilayah Gemeente Bandung. Juga menyelenggarakan kuburan Cina di luar kota (Gemeente). Setelah status kota Bandung diubah menjadi Stadsgemeente dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 27 Agustus 1926 No.3 (Staatsblad 1926 No. 369), kota Bandung tidak lagi dikepalai oleh Asisten Residen, ini terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1926. Sejak saat itu yang menjadi pemimpin dalam mengurus kota adalah seorang walikota/Burgemeester.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya walikota membaginya kepada 3 orang Pembantu Walikota/Wethouders, yang terdiri dari seorang berkebangsaan Belanda, Bumiputra dan Cina. Salah satu tugas Wethouder adalah mengurus kuburan bagi bangsa mereka, maksudnya untuk Wethouder berkebangasaan Belanda kebagian tugas mengurus kuburan Kristen/Eropa (Europeesche begraafplaatsen), bagi Wethouder Bumiputera mengurus kuburan Islam (Mohammedaansche begraafplaatsen), demikian pula dengan pembantu walikota beretnis Cina memiliki tugas mengurus kuburan Cina (Chineesche begraafplaatsen).
Makam keluarga Ursone di Pandu. Foto: Wisnu Setialengkana.
Kerkhof Kebon Jahe didirikan dalam masa yang sama degan Pabrik Kina yang terletak di sebelah timurnya. Kira-kira tahun 1896. Ada banyak tokoh kota dimakamkan di sini, salah satunya adalah Dr. C.H. Westhoff (pendiri Rumah Buta yang lokasinya berada di seberang kerkhof), familie Ursone dengan mausoleumnya yang bergaya barok berlapis batu marmer Carrara. Tak mengherankan, salah satu anggota keluarga pemilik peternakan sapi Ajax di Lembang ini juga memiliki perusahaan Carrara Marmerhandel en–bewerking. Pengelola perusahaan yang terletak di Bantjeuj itu adalah A. Ursone.
Setidaknya ada 16 orang lainnya yang memiliki hubungan dengan perkembangan kota Bandung dimakamkan di Kerkhof Kebon Jahe. Siapa saja ya?
Cerita mengenai kerkhof Kebon Jahe, juga ditulis dalam buku “Basa Bandung Halimunan” karya Us Tiarsa. Buku ini berkisah mengenai pengalamannya hidup di Bandung pada tahun 1950-60an. Dalam buku yang berbahasa Sunda ini Pak Us bercerita tentang pembagian kelas-kelas makam. Kelas 1 makamnya besar-besar dan terletak paling utara, dekat dengan ke jalan raya (Jl. Pajajaran). Makam-makam dihiasi porselen serba mengilap. Makam lain dilapisi marmer yang tebal berbagai warna, ada yang putih, kehijauan, atau kekuningan. Makam-makam di kelas 1 dilengkapi hisan berupa patung malaikat, bidadari, atau patung Yesus. Ukurannya beragam, mulai dari sebesar orang dewasa hingga ke ukuran terkecil seukuran tangan anak kecil. Pot dan vas kembangnya bagus terbuat dari bahan porselen, gelas, marmer, atau kuningan. Tak ada yang berbahan gerabah.
Makam kelas 2 terletak agak ke sebelah selatan, kebanyakan hanya menggunakan batu granit dan tanpa penutup. Kadang ada yang ditutupi memakai beton namun tak sekokoh penutup beton yang menaungi makam-makam di kelas 1. Sedangkan makam kelas 3 terletak paling selatan. Makam-makam di area ini kebanyakan bahkan tanpa nisan.
Di tahun 1950an-60an Pak Us Tiarsa tinggal di Kebon Kawung, tak jauh dari kerkhof tersebut. Katanya, setelah masa kemerdekaan pun kerkhof Kebon Jahe adalah permakaman yang tetap terpelihara dan bersih, rumputnya tertata rapi dan dipotong secara teratur. Di dalam area permakaman terdapat jalan berbatu, malah ada juga yang menggunakan marmer. Tanamannya mulai dari kacapiring, cempaka gondok dan cempaka cina, serta pohon kamboja. Tak heran bila warga yang bermukim di derah Kebon Kawung, Nangkasuni, Torpedo, Merdeka Lio, Cicendo, atau Rumah Buta, kerkhof Kebon Jahe menjadi tempat bermain dan bersantai. Tak hanya anak-anak kecil, bahkan hingga orang dewasa meluangkan waktu senggangnya dengan bercengkrama di dalam area permakaman ini.
Salah satu kegiatan anak-anak adalah mengumpulkan potongan marmer dari makam. Potongan marmer yang besarnya seukuran jempol kaki dibuat kelereng dengan membentuknya menggunakan golok yang tumpul. Walaupun pada akhirnya kelereng tersebut tidak sepenuhnya bundar, namun sudah cukup bagi anak-anak untuk menggunakannya dalam permainan poces. Kegiatan lainnya yang dilakukan anak-anak kecil dalam area permakaman ini adalah mengumpulkan bubuk marmer yang kemudian dihaluskan menggunakan palu. Bubuk ini digunakan untuk mengilapkan kerajinan tangan dari buah kenari atau tempurung buah kelapa.
Aturan di permakaman ini sebenarnya melarang warga umum masuk ke dalam area kerkhof. Sekeliling area kerkhof dipagari dengan kawat berduri dan pagar hidup dari tanaman seperti kembang sepatu, pringgandani, kacapiring, dan enteh-entehan. Kerkhof Kebon Jahe dijaga oleh banyak penjaga dan dikepalai oleh seorang mandor yang terkenal galak, namanya Mandor Atma. Ia tinggal dekat gapura pintu masuk permakaman di sisi sebelah utara kerkhof (Jl. Pajajaran).
Kerkhof Kebon Jahe akhirnya digusur pada akhir tahun 1973. Sayang pembongkarannya tidak sistemastis, asal bongkar dan kadang dengan membuldoser makam-makam yang ada, akibatnya banyak artefak bersejarah yang hilang. Padahal sebetulnya banyak yang bisa dipelajari dari peninggalan-peninggalan di permakaman. Sebagai contohnya adalah bukti otentik kedatangan orang Belanda di daerah sekitar Bandung pada pertengahan tahun 1700-an dapat dilihat dari batu nisan Anna Maria de Groote, putri Sersan de Groote. Anna meninggal saat masih berusia 1 tahun, yaitu pada tangal 28 Desember 1756. Nisan makamnya pernah ditemukan di Dayeuh Kolot. Tapi sayangnya, makam ini pun entah bagaimana nasibnya sekarang.
Tahun 1932, kota Bandung memiliki kompleks permakaman baru bagi orang Eropa (Nieuwe Europeesche Begraafplaats) yaitu kompleks permakaman yang kini lebih kita kenal dengan sebutan Permakaman Pandu. Bila kita cermati, permakaman Pandu masih menyimpan banyak cerita, di antaranya makam laci. Makam ini berbentuk layaknya laci-laci dikamar jenazah/koroner. Lalu ada makam penerbang yang meninggal karena pesawatnya jatuh, ini juga menandakan masih begitu berbahayanya transportasi udara kala itu.
Makam penerbang di Pandu. Foto: Wisnu Setialengkana.
Makam Raymond Kennedy di Pandu. Foto: A13Xtriple.
Banyak makam tokoh yang memilliki hubungan dengan sejarah perkembangan kota Bandung seperti Ir. C.P. Wolf Schoemaker, mausoleum keluarga Ursone yang merupakan pindahan dari kherkhof Kebon Jahe, atau makam Profesor Raymond Kennedy, sorang guru besar dari Universitas Yale yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Raymond Kennedy dibunuh oleh kelompok tak dikenal di daerah Tomo, Sumedang, dalam perjalanan penelitiannya ke Jawa Tengah bersama Robert Doyle, sorang koresponden bagi majalah Times dan Life. Pembunuhan kedua warga negara Amerika ini menarik perhatian hingga ke pucuk pimpinan Indonesia, salah satunya adalah Bung Hatta yang berjanji akan menemukan kedua pembunuh warga negara Amerika ini. Di kompleks permakaman Pandu terdapat pula kompleks permakaman terpisah khusus bagi tentara KNIL, Ereveld Pandu. Wilayah permakaman ini merupakan wilayah dari Negeri Belanda.
Makam Elisabeth Adriana Hinse Rieman di Ciguriang. Foto: A13Xtriple.
Pembongkaran Oude Europeesche Begraafplaats atau Kerkhof Kebon Jahe pada tahun 1970an berlangsung tidak sistematis, banyak kuburan didalam kompleks permakaman Kerkhof Kebon Jahe yang asal saja dibongkar. Sebagian memang dipindahkan ke Permakaman Pandu, tapi sebagian lain rusak begitu saja. Mungkin bukti tidak tertibnya proses pembokaran makam ini dapat kita lihat pada sebuah nisan batu granit atas nama Elisabeth Adriana Hinse Rieman. Nisan berusia 110 tahun ini dipakai penduduk sekitar mata air Ciguriang sebagai batu alas mencuci pakaian.
Mulut jalan H. Mesrie. Foto: A13Xtriple.
Tak jauh dari mata air Ciguriang terdapat pula makam keluarga saudagar Pasar Baru dan tuan tanah di daerah Kebon Kawung, keluarga H. Moh. Mesrie. Nama Mesrie diabadikan menjadi nama jalan menggantikan Rozenlaan. Kekayaan yang didapat dari usahanya dibelikan tanah-tanah persil di daerah Kebon Kawung. Makam-makam keluarga saudagar Pasar Baru lainnya tersebar di daerah Cipaganti, Sukajadi, Jl. Siti Munigar, Jl. Karanganyar, dan Jl. Kresna.
Kota Bandung tidak memiliki Taman Prasasti seperti yang terdapat di Jakarta, di bekas permakaman lama yang juga bernama Kebon Jahe. Kedua tempat dengan nama sama ini ternyata memiliki nasib yang berbeda. Setelah tidak berfungsi lagi, kerkhof Kebon Jahe Jakarta naik derajatnya menjadi museum bagi nisan-nisan dari masa lalu kota Jakarta. Dari tempat yang sebelumnya ditakuti menjadi tempat bergengsi untuk berfoto, sedangkan nisan-nisan makam di kherkhof Kebon Jahe Bandung hilang ditelan bumi.
Sumber :
Haryoto Kunto “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” (1984) Pernerbit PT Granesia Bandung
Haryoto Kunto “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986) Pernerbit PT Granesia Bandung
Us Tiarsa R “Basa Bandung Halimunan” (2011), Penerbit Kiblat
Sudarsono Katam “Bandung; Kilas Peristiwa di Mata Filatelis”(2006), Penerbit Kiblat
Menyukai ini:
Suka Memuat...