Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana

Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.

Ditulis oleh: Ariyono Wahyu

Hasan Mustapa Dunia dan Karyanya

Sastrawan Ajip Rosidi menuliskan petikan “Kinanti Ngandika Gusti” karya Haji Hasan Mustapa dalam buku memoarnya setebal lebih dari 1300 halaman yang berjudul “Hidup Tanpa Ijazah”. Hasan Mustapa tentu memiliki arti yang istimewa bagi Ajip Rosidi sehingga ia memilih petikan karya Kepala Penghulu Bandung tadi sebagai kalimat paling awal dalam buku terpentingnya.

Pengalaman perkenalan, pencarian, dan pemaknaan Ajip Rosidi kepada sosok Hasan Mustapa kemudian dituangkannya dalam satu buku khusus yang ditulisnya dalam bahasa Sunda berjudul “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana”. Memang dalam buku memoarnya tadi bisa juga ditemukan kisah-kisah Ajip Rosidi tentang Hasan Mustapa seiring perjalanan hidupnya. Namun bagi yang ingin membaca sekaligus berkenalan secara khusyuk dengan sosok Hasan Mustapa tanpa terganggu cerita hidup Ajip Rosidi buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana” adalah pilihan yang sangat tepat.

Kenapa buku ini adalah pilihan yang tepat untuk mengenal sosok Haji Hasan Mustapa? Karena Ajip Rosidi menuliskan buku ini sebagai usahanya memperkenalkan sosok yang dikaguminya melalui karya-karyanya. Sebagai sastrawan, Ajip Rosidi tentu paham bahwa bagi banyak orang yang paling dikenal dari sosok Haji Hasan Mustapa adalah anekdot-anekdotnya dan kisah-kisah eksentriknya. Tapi hanya sedikit saja orang yang menaruh minat dan perhatian kepada karya-karya “Sang Begawan Sirna Dirasa”. Padahal sebagai sosok bujangga sastra Sunda terbesar menurut Ajip Rosidi, Hasan Mustapa paling tidak telah menulis lebih dari sepuluh ribu pada dalam bentuk danding (pupuh tradisional) yang terikat aturan baku yang ketat. Berangkat dari hal itulah kemudian Ajip Rosidi menulis buku ini.

Upaya Menemukan Karya Haji Hasan Mustapa

Sejak awal perkenalan Ajip Rosidi dengan sosok Hasan Mustapa adalah melalui karyanya. Karena pada tahun 1950-an saat Ajip Rosidi mulai aktif mencari dan mengumpulkan karya-karya Hasan Mustapa, Hoofd Panghulu atau Kepala Penghulu Bandung yang menjabat dari tahun 1895-1918 ini telah mangkat kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya.

Karena itulah buku ini dibuka dengan kisah awal perjumpaan Ajip Rosidi dengan M. Wangsaatmadja yang bertugas sebagai juru tulis Haji Hasan Mustapa setelah pensiun sebagai Kepala Penghulu Bandung hingga tutup usia, tepatnya dari tahun 1920-1930. Perkenalan pertama dengan Wangsaatmadja pada tahun 1958 inilah yang kemudian seiring waktu mengantarkan Ajip Rosidi berkenalan pula dengan awak (anggota) Galih Pakuan, yaitu kumpulan pengagum Haji Hasan Mustapa.

Melalui Wangsaatmadja dan para awak Galih Pakuan, Ajip Rosidi sedikit demi sedikit mengumpulkan karya-karya Hasan Mustapa. Tentu sebagai seorang yang paham tentang sastra, Ajip Rosidi tak cuma mengumpulkan saja tapi juga melakukan telaah kritis dan validasi atas karya yang diperolehnya. Karena menurut Ajip Rosidi karya Haji Hasan Mustapa banyak yang diragukan keasliannya, salah satu faktor penyebabnya adalah proses terjadinya kesalahan dalam penyalinan karya yang aslinya ditulis dalam aksara Arab yang dilakukan oleh juru tulis Haji Hasan Mustapa yaitu Wangsaatmadja.

Meskipun karya-karya Hasan Mustapa yang disalin dan kemudian dipelihara oleh Wangsaatmadja terdapat cacat dalam proses penyalinan, namun karya-karya tersebut tetap sangat penting. Salah satunya adalah untuk mengetahui riwayat hidup Hasan Mustapa. Ditambah dengan riwayat  Hasan Mustapa yang ditulis oleh Wangsaatmadja, Ajip Rosidi kemudian mampu memberikan versi riwayat hidup Sang Begawan Sirna Dirasa dengan lebih orisinal. Riwayat hidup Hasan Mustapa menjadi penting untuk ditelaah menurut Ajip Rosidi adalah salah satunya untuk menentukan berapa lama Haji Hasan Mustapa mukim di Mekah dan kapan kemudian ia berjumpa dengan sosok penting lainnya yaitu Christian Snouck Hurgronje di kota paling suci bagi kaum Muslim ini.

Usaha Ajip Rosidi untuk menemukan karya Hasan Mustapa tak hanya dilakukannya di dalam negeri. Ketika ia menetap di Jepang sebagai dosen pada tahun 1980-an, Toyota Fondation kemudian memberikan bantuan biaya untuk melakukan penelusuran ke Belanda. Dalam koleksi naskah milik Snouck Hurgronje di Universitas Leiden, Ajip Rosidi menemukan beberapa dokumen karya Haji Hasan Mustapa.

Anekdot-Anekdot Hasan Mustapa

Dari kisah-kisah tentang Haji Hasan Mustapa yang hidup di kalangan awak Galih Pakuan, Ajip Rosidi kemudian mengumpulkan anekdot-anekdotnya dan dituliskan sebagai bagian khusus dalam buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana”. Anekdot-anekdot ini penting sebagai upaya untuk menilai kepribadian Hasan Mustapa. Contohnya adalah bagaimana Haji Hasan Mustapa menjawab pertanyaan tentang bagaimana wujud Allah dengan membuat perumpaan bahwa Allah adalah sosok di atas Kanjeng Bupati dan Tuan Gubernur Jenderal. Dari jawaban yang bagi banyak orang dianggap mahiwal inilah Haji Hasan Mustapa dicap berpaham Wahdatul Wujud.

Dengan mempelajari cara Hasan Mustapa memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan, dapat disimpulkan bahwa ia berusaha memahami alam dan cara berpikir orang yang bertanya.

Karya-Karya Hasan Mustapa

Buku “Haji Hasan Mustapa Jeung Karya-Karyana” yang ditulis oleh Ajip Rosidi pertama kali diterbitkan oleh penerbit Pustaka pada tahun 1989. Sesuai dengan judulnya mengenai karya Haji Hasan Mustapa, dari jumlah total 507 halaman hanya 86 halaman yang berkisah tentang proses usaha Ajip Rosidi dalam mencari dan mengumpulkan karyanya, riwayat hidupnya, dan anekdot-anekdotnya.

Sisa halaman buku ini, kurang lebih 400 halaman, berisi berbagai karya Haji Hasan Mustapa yang berupa danding, kumpulan surat, dan kumpulan tulisannya tentang adat istiadat. Tentu saja sisa halaman buku ini tidak cukup untuk menyajikan semua karya sastra Haji Hasan Mustapa secara lengkap, namun setidaknya buku ini memuat cuplikan karya-karya terpenting Haji Hasan Mustapa adalah usaha Ajip Rosidi untuk memperkenalkan sosok sastrawan Sunda terbesar itu melalui karyanya.

Iklan

Ngabuburit Keur Mangsa Kuring Alit

Keur kuring mah Bandung teh bali geusan ngajadi. Sanajan Bapa urang wetan, kuring mah ti mangsa keur jadi bali keneh na jero beuteung Indung tug nepi ka danget bisa kasebut tara incah ti Bandung. Nya jamak we atuh lamun kuring rek nabeuh maneh nyebutkeun yen kuring teh urang kota Bandung. Enya Bandung teh kota, apan katelahna oge ibu kota Priangan. Tapi da naha keur leutik mah rarasaan teh kuring mah urang kampung we bau lisung.

Sanajan cicing di komplek tapi da meunang kasebut aya di pasisian kota Bandung. Cijerah teh ayana di Bandung beh kulon, ngaran kacamatan na oge apan Bandung Kulon. Ti Alun-alun nu jadi puseur dayeuh Bandung kurang leuwih genep setengah kilo nepi ka buruan imah teh. Gampang we saenyana mah neang jalan ka Cijerah teh. Moal matak sasab. Ti Alun-alun tuturkeun we jalan gede nu katelah Jl. Asia-Afrika. Baheula mah saacan Konprensi Asia-Afrika taun 1955 ngaran jalan ieu teh Jalan Raya Barat bagian tina Jalan Raya Pos. Baca lebih lanjut

Ramadhan yang Sama, Kita yang Berbeda

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

“Nguuuuuuuuuuuuuungggg”, terdengar sirine panjang pukul setengah lima pagi. Berbunyi bukan karena kebakaran, bukan pula karena ada maling masuk komplek. Suara panjang yang terdengar nyaring merupakan tanda bahwa waktu imsak sudah tiba, setidaknya begitulah tandanya di Gg. Pepaya No. 109 Cijerah Bandung.

Separuh masa kecil saya dihabiskan di tempat tersebut, begitu hari libur tiba hampir pasti saya menginap di kediaman Nenek saya di Cijerah. Bukan tanpa alasan, tempat tinggal saya yang mendiami rumah orang tua dari Ibu saya di Pagarsih tidak memiliki sepupu yang sepantar dengan saya.

Seperti banyak anak-anak kebanyakan, saya dan para sepupu selalu menyambut gembira datangnya Bulan Ramadhan, selain karena kegiatannya yang selalu ramai dengan berbagai pernak-pernik, tentunya datangnya Ramadhan berarti tak jauh dengan datangnya hari raya Idul Fitri di mana anak-anak sebaya dalam keluarga ‘nagih THR’ kepada orang dewasa.

Tak jauh dengan anak-anak lainnya, berbagai macam petasan dan kembang api pun menjadi favorite permainan saya dan sepupu, selain kartu bergambar dan ‘tazoos’ yang merupakan hadiah langsung makanan ringan ‘chiki ball’. Kadang board game macam monopoli, halma dan ular tangga pun menjadi alternatif.

Tak lupa buku agenda kegiatan Ramadhan yang ikut menemani Ramadhan saya di Cijerah yang tampaknya seluruh anak-anak di nusantara memilikinya sebagai PR untuk dikerjakan selama masa libur Ramadhan-Lebaran tiba. Dan di sinilah kreatifitas anak-anak tahun 90-an diuji: 30 khutbah dalam sebulan untuk dihadiri cukup berat buat kebanyakan orang. Apalagi bila sobat akrab berada di sisi, senda gurau yang ada dan khutbah terlupa. Saya pribadi berhasil mengisi penuh isi khutbah pada agenda kegiatan penuh dengan jujur, jujur mencatat dari TV dan Koran. Baca lebih lanjut

#PernikRamadhan: Kemacetan dan Bulan Ramadhan

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

DSC_1178

Kemacetan merupakan problematika yang umum terjadi di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah pengguna kendaraan pribadi hanyalah dua dari banyak factor penyebabnya. Berbagai cara dan saran untuk menanggulanginya sudah dilakukan, namun layaknya sinetron Tukang Bubur Naik Haji, permasalahan ini tak kunjung usai.

Di dalam kemacetan ini, emosi menyulut mereka yang ada di dalamnya layaknya api yang menyambar bensin. Umpatan berterbangan tak terkendali, terkadang menimbulkan argumenn antar pengendara. Salah sedikt, senggolan antar kendaraan terjadi. Argumen melayang, tak sedikit yang juga berakhir dengan adu jotos.

Loh, sekarang kan bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Bukankah umat Muslim seyogianya menjaga hati dan perkataan di bulan Ramadhan? Namanya juga manusia yang seringkali berbuat salah, umpatan dan argumen di tengah kemacetan tetap saja terjadi. Keinginan untuk berbuka puasa di rumah bersama keluarga membuat para pengendara tergesa-gesa dalam berkendara.

Mengapa tak mencoba berpikiran positif? Kemacetan bisa menjadi ajang ngabuburit bersama dengan ribuan pengendara lainnya. Cukup dengan bekal sebotol air minum di tas, nikmati saja kemacetan yang tampak di depan mata. Akan lebih baik lagi jika menyiapkan ta’jil ringan seperti kurma untuk dibagikan dengan pengendara lain. Emosi bisa dihindari, sekaligus mendapat ganjaran pahala dari ta’jil yang dibagikan.

Masih merasa sulit untuk menikmati kemacetan di bulan Ramadhan? Anggap saja kemacetan ini adalah latihan dalam menghadapi kemacetan saat mudik. Toh saat mudik nanti kemacetan adalah perkara yang akan selalu kita hadapi di sepanjang perjalanan. Tak akan bisa untuk dihindari sekeras apapun kita berusaha.

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/07/12/kemacetan-dan-bulan-ramadhan/

#PernikRamadhan: Munding dan Alun-alun Tempo Dulu

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Pedati kerbau dari Padalarang ke Bandung

Pedati kerbau dari Padalarang ke Bandung (sumber : KITLV)

Coba kita berkeliling sekitar Alun-alun Bandung. Dengan kondisi sekarang, mungkin Alun-alun sangat nyaman untuk digunakan ngabuburit. Tapi, pernah membayangkan kalau sekitar satu setengah abad yang lalu, banyak munding atau kerbau berada di Alun-alun ? Tentu saja tidak! Karena kita hidup di tempo kini dan tidak pernah mengalami masa itu.

Lalu, kenapa ada kerbau di Alun-alun? Apa mereka ikut mudik bersama kerbau-kerbau lainnya? Baca lebih lanjut

#PernikRamadhan: Carvil dan Qaari Pencuri Sandal

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

Cerita ini ingin saya tulis sebagai salah satu kisah lucu sekaligus miris yang pernah penulis alami saat Ramadhan di rumah. Kisah yang heboh ini terjadi di bulan Ramadhan tahun 1996 yang penulis cukup ingat sampai saat ini. Bersama teman-teman lain, Ramadhan di tahun-tahun sekitar itu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang cukup positif.

Subuh selepas sahur ada acara kuliah subuh diikuti pengajian kitab kuning setelah matahari menampakkan dirinya. Pengajian kitab kuning pun kembali dilakukan bada Ashar sampai menjelang Maghrib. Selepas Isya, kami melaksanakan Tarawih, dan kembali mengaji sampai waktu Sahur tiba.

Di pertengahan 90-an saat itu, sandal merk Carvil mulai digilai oleh masyarakat, khususnya oleh anak-anak muda di daerah sentra tahu Cibuntu, tepatnya Jalan Aki Padma yang kini berada di sebelah selatan Jalan overtol Pasirkoja. Pada saat bulan Ramadhan tahun itu tiba, iklan merk sendal itu cukup gencar ditayangkan di TV-TV swasta, dengan bintang iklan kalau tidak salah Ari Wibowo. Alhasil, banyak anak-anak muda di kampung kami menggunakan sendal merk Carvil. Baca lebih lanjut

#PernikRamadhan: Berawal Demi Seribu Rupiah

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Sebelum memulai tulisan ini, saya akan mengutip salah satu pernyataan legenda New York Yankees, Yogi Berra, mengenai turunnya nilai uang logam.

“A nickel ain’t worth a dime anymore”

Nikel yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah uang koin lima sen di Amerika Serikat. Layaknya di Indonesia, uang receh ini nilainya setiap tahun semakin menurun. Saat ini, uang nikel maupun dime (sepuluh sen) sudah hampir tah berharga lagi. Berdasarkan penelusuran saya, satu dime sekarang hanya digunakan untuk masuk ke WC umum. Anekdot yang berkembang berkata bahwa untuk membuat satu keeping nikel diperlukan biaya satu dime. Semakin lama, nikel semakin tak ada lagi harganya. Baca lebih lanjut

#PernikRamadhan: Bung, Mari Buka Bersama!

Komunitas Aleut dan makan bersama di piring masing - masing

Komunitas Aleut dan makan bersama di piring masing–masing

Bukber yuk! Reunian yuk!

Akan ada kegiatan musiman yang hanya terjadi di bulan Ramadhan. Kegiatan yang menular baik di kalangan tua atau muda. Kegiatan musiman yang membutuhkan tempat spesial untuk bertemu. Kegiatan yang hanya menjadi kedok inti acara. Kegiatan yang dinanti oleh beberapa orang. Kegiatan itu adalah buka bersama atau bukber.

Kegiatan buka bersama tidak mengenal umur. Setiap orang baik tua atau muda pasti akan mengadakan kegiatan buka bersama saat bulan Ramadhan. Walau akhir-akhir ini, saya lebih sering menemukan anak muda yang mengadakan bukber.

Anggap buka bersama merupakan peristiwa langka, barang tentu dibutuhkan tempat bertemu yang spesial. Bagi kaum yang memiliki dompet tebal, mereka akan memilih restoran harga bintang lima. Lalu, bagi kaum yang memiliki dompet agak kering (seperti saya), mereka akan memilih restoran dengan harga pedagang kaki lima. Tapi, yang utama bukan tempatnya kan? Melainkan acara buka bersamanya.

Tapi, acara buka bersama hanya kedok saja. Menurut saya, acara utama dari buka bersama ini adalah reuni. Dengan mengambil keistimewaan bulan Ramadhan, mereka mengambil unsur buka puasa yang asalnya masing-masing menjadi bersama-sama. Lalu, di tengah buka puasa bersama, dimasukkan unsur rindu bertemu dan diakhiri dengan reuni.

Ada beberapa orang yang menanti kegiatan buka bersama saat bulan Ramadhan. Ada beberapa penanti yang ingin bertemu dengan kawan-kawannya. Ada juga beberapa penanti yang menempatkan buka bersama sebagai ajang pamer, misalnya pamer handphone baru atau pacar baru.

Tapi lepas dari semua yang saya tulis secara acak dan tidak terstruktur di atas, berbahagialah orang yang bisa buka bersama. Dengan buka bersama, kita bisa bersilaturahmi dengan kawan-kawan atau lawan-lawan. Hanya dengan acara buka bersama, tembok pemisah antara kawan dan lawan menjadi longgar atau bisa menghilang sementara.

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/07/03/bung-mari-buka-bersama/

#PernikRamadhan: Pendidikan Menjadi Miskin Ala Ramadhan dan Lebaran

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan.  Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif–bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.

Masyarakat yang “membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah salah satu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat. Baca lebih lanjut

#PernikRamadhan: Masjid Sepi, Ke Mana Anak-anak?

Oleh: Anggi Aldilla (@anggicau)

Siang tadi entah kenapa pengen banget Jum’atan di mesjid Al -Manar yang berada di sekitaran Jalan Puter. Jaman SD dulu, saya sering sholat Jum’at di sini bersama teman-teman sehabis atau saat akan ke sekolah. Bangunannya tidak banyak berubah dibandingkan saat saya TK dan SD (kebetulan TK saya berada satu komplek dengan masjid, kemudian di lanjut ke SD Tikukur yang tidak jauh dari sana). Di sinilah kesenangan pergi ke masjid dimulai.

Kesenangan ini bukan untuk ibadah, tapi untuk heureuy. Bukan berarti saya tidak beribadah, tapi ada kesenangan tersendiri ketika Jum’atan. Ketika khotib sedang khotbah, kita malah rame dan sibuk sendiri main “Gagarudaan” atau main “stum, tombak, cakar, banteng” (agak susah juga sih jelasin gimana permainan nya). Pada saat sholat pun tak lepas dari heureuy, minimal ngobrol lah.

Berhubung sekarang lagi bulan Ramadhan, saya jadi teringat tulisan Zen RS tentang “ibadah adalah piknik”. Ya bagaimana tidak, tiap malam kita bisa bertemu teman seumuran yang kadang sulit untuk ketemu di siang hari. Baca lebih lanjut