Ngaleut Momotoran ke Sumedang

Oleh Asep Ardian

Dari Cadas Pangeran, ke Cut Nyak Dhien, sampai ke tempat peristirahatan terakhir raja-raja Sumedang.

Sebelum melakukan perjalanan ini, saya mengenal Sumedang hanya dari kesenian Kuda Renggongnya, yang ketika saya kecil sesekali mengikuti iring-iringan Kuda Renggong jika di daerah saya ada orang kaya yang disunat. Setelah beranjak dewasa, pandangan tentang Sumedang sedikit bertambah setelah mendengar beberapa kisah tentang Kerajaan Sunda yang berhubungan dengan latar sejarah Sumedang.

Saat ikut momotoran dengan Komunitas Aleut ini, mantap sudah, saya dapat mendengar dan melihat jauh lebih banyak lagi.

Perjalanan kami mulai jam 07.30 dari Bandung dengan rombongan berjumlah lima motor. Sabtu pagi itu cuaca Bandung begitu cerah, dari daerah Ancol, kami menyusuri jalanan Soekarno Hatta yang lengang, melintasi jalanan Cibiru, lalu lewat UNPAD, Cileunyi, dan menyusuri jalanan berkelok Bandung-Palimanan yang sejuk. Lalu sampailah kami di tempat tujuan kami yang pertama, sebuah monumen di Cadas Pangeran.

Baca lebih lanjut
Iklan

Kisah Legenda dan Mitos Terkait Wabah

Legenda dan mitos merupakan bentuk cerita rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Sedangkan mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa, dan mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Terkadang pengertian antara legenda dan mitos kerap dicampuradukkan. Namun, sebenarnya ada beberapa perbedaan antara legenda dengan mitos. Perbedaan yang cukup mendasar adalah pada tokoh utama pelaku, waktu kejadian, dan kedudukannya sebagai cerita rakyat. Jika tokoh dalam mitos adalah dewa atau manusia setengah dewa, dan peristiwanya terjadi dalam masa ketika alam dunia belum terbentuk, atau dalam proses terbentuknya alam semesta, maka tokoh dalam legenda adalah manusia biasa dan terjadi setelah dunia tercipta. Perbedaan lainnya antara legenda dan mitos adalah kedudukan cerita mitos dianggap memiliki nilai sakral/kisah suci dan dipercaya kebenarannya oleh satu suku bangsa.

Kedudukan mitos sebagai kisah yang sakral dan suci biasanya didukung oleh penguasa dan pemuka agama atau orang yang dianggap suci dalam masyarakat itu. Dalam beberapa mitos yang memiliki keterkaitan dengan wabah dapat dilihat peran dan keterlibatan para pemuka agama atau orang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.

Tulisan mengenai mitos wabah di sini dibatasi hanya mengenai kisah mitos di lingkungan daerah Sunda, dan khususnya dari masa penyebaran Islam hingga mitos-mitos yang tetap hidup di masa modern.  

Dalam cerita rakyat atau folklore dapat ditemukan nilai-nilai kebajikan, keberanian, kejujuran, kekuatan tekad, kesabaran, keikhlasan, dan pelajaran bahwa kesabaran akan membuahkan hasil, dan bahwa kebajikan akan mampu mengatasi kejahatan. Tujuan lain yang bisa diperoleh dari cerita legenda dan mitos adalah mempelajari dan mengerti bagaimana reaksi masyarakat dalam menghadapi wabah penyakit di masa lalu.

Baca lebih lanjut

Menuju Pakidulan, Mengunjungi Selatan Jawa

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Aditya Wijaya.

Minggu, 8 November 2020 ini, Komunitas Aleut mengadakan kegiatan momotoran lagi. Kali ini tujuannya adalah pantai selatan. Oya, seperti momotoran dua minggu lalu, momotoran ini pun diadakan sebagai bagian kegiatan pembelajaran Aleut Development Program.

Memulai perjalanan momotoran kali ini terasa berbeda, karena saya harus menjadi leader dalam perjalanan ini. Leader adalah pemimpin posisi motor saat momotoran. Ternyata sulit menjadi leader itu. Selain sebagai penunjuk jalan, leader juga harus selalu fokus dan memeriksa keadaan rombongan di belakang, agar semuanya terkendali dan aman.

Tempat pertama yang kami singgahi adalah Tugu Perintis Soekarno di Cimaung. “Ternyata Soekarno pernah datang ke sini,” ucap saya dalam hati. Tugu ini didirikan untuk memperingati peristiwa Soekarno ketika memberikan kursus politik di Cimaung. Lokasi tugu ini sangat strategis, berada di pertigaan Jalan Cimaung-Puntang.

Ilustrasi Soekarno sedang memberikan kursus politik di Cimaung. Foto: Reza Khoerul Iman.

Kami melanjutkan perjalanan menuju selatan. Sempat menemui macet di sekitar PLTU Cikalong, namun sejauh ini perjalanan cukup lancar. Kami melewati situ Cileunca dan melihat sekelompok wisatawan yang sedang melakukan arum jeram.

Baca lebih lanjut

Sumenep, Permata di Ujung Timur Pulau Garam

Oleh: Moch. Fathonil Aziz (@aziztony)

Sumenep yang merupakan kabupaten paling timur di pulau garam memang menyimpan banyak peninggalan sejarah. Ditempuh kurang lebih selama 4 jam dari ibukota provinsi Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya dengan melewati ikon fenomenal Jawa Timur yaitu Jembatan Nasional Suramadu. Sama seperti kota-kota di Jawa pada umunya, Sumenep menganut sistem tata kota Catur Gatra Tunggal di mana keraton, masjid agung, dan pasar berada pada 1 komplek dengan dengan alun-alun sebagai pusatnya. Meskipun Sumenep merupakan sebuah kerajaan bawahan dari kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, namun Sumenep dibangun dibangun dengan lebih besar dan mewah dibanding kerajaan-kerajaan bawahan lain. Hal ini dikarenakan Sumenep sejak dulu termasuk dalam kategori “mancanegara”. Hal lain mungkin dikarenakan perlakuan istimewa akibat jasa-jasa Arya Wiraraja dalam membantu leluhur Majapahit, yaitu Raden Wijaya.

 

Sebagai awal perjalanan kali ini, saya mengunjungi Keraton Sumenep. Keraton Sumenep ini lebih lengkap dan besar jika dibanding rumah-rumah kediaman bupati di seantero Pulau Jawa dan Madura, namun masih sangat jauh jika dibanding Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang  merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Berbeda pula dengan keraton-keraton lain yang secara posisi menghadap ke alun-alun, Keraton Sumenep dibangun di sebelah timur alun-alun dengan menghadap ke arah selatan. Hal ini diindikasikan untuk menghormati penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, yang menjadi legenda bukan hanya di tanah Jawa melainkan juga di Madura. Keraton Sumenep dibangun dengan gaya arsitektur campuran Jawa dan Tionghoa, serta sedikit gaya Eropa. Gaya Tionghoa sangat terasa di keraton karena hampir setiap bangunan di keraton menggunakan bubungan atap bergaya Tionghoa. Bahkan pendopo keraton yang dibangun dengan model joglo Jawa juga diberi nuansa Tinghoa pada ujung gentengnya. Hal ini dikarenakan arsitek yang membangun keraton adalah seorang Tionghoa bernama Lauw Piango yang mengungsi ke Sumenep pasca tragedi Geger Pecinan.

Keraton Sumenep sama seperti keraton pada umumnya dilindungi dengan pagar benteng yang mengelilinya. Pada benteng di muka keraton, terdapat suatu pintu gerbang masuk yang cukup megah. Gerbang tersebut terbuat dari kayu dengan daun pintu yang cukup besar berbentuk melingkar di bagian atas. Pada bagian atas gerbang terdapat sebuah loteng yang digunakan untuk memantau musuh yang akan menyerang keraton.

tony1

Di belakang gerbang tersebut berdiri sebuah pendopo bergaya joglo jawa. Pendopo tersebut juga dikombinasikan denngan arsitektur gaya Tionghoa dengan bubungan yang dibentuk menyerupai rumah-rumah orang Tionghoa. Pendopo tersebut sampai saat ini masih sering dipergunakan, baik untuk acara kerabat keraton ataupun acara budaya yang biasanya diselenggarakan pada peringatan berdirinya Kabupaten Sumenep.  Dikarenakan waktu kunjungan yang sudah habis, jadi saya hanya bisa melihat-lihat bagian depan dari Keraton Sumenep saja.

tony2

Perjalanan dilanjutkan mengunjungi sisa dari stasiun KA Sumenep. Pada masa kolonial, Pulau Madura dibentangi rel KA mulai dari Kamal hingga Sumenep dan dijalankan oleh perusahaan bernama Madoera Stoomtram Maatschappij. Riwayat KA di Madura harus berhenti pada tahun 1987 akibat kalah bersaing dengan moda transportasi lain. Seiring dengan matinya jalur KA di Madura, stasiun-stasiun yang dilewati pun kini terbengkalai. Stasiun KA Sumenep pun kini hilang hamper tak berbekas. Sisa-sisa yang masih dapat dijadikan bukti bahwa stasiun KA Sumenep pernah berdiri di lahan tersebut adalah sebuah menara air yang digunakan untuk menjalankan lokomotif uap pada masanya. Kini stasiun tersebut sudah berubah menjadi gedung Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sumenep.

tony3

Tempat selanjutnya yang dikunjungi adalah Asta Tinggi. Asta Tinggi merupakan komplek pemakaman raja-raja Sumenep. Asta Tinggi terletak di sebuah perbukitan sehingga memungkinkan untuk melihat jauh hingga ke daerah pantai. Karena posisinya ini Asta Tinggi pernah digempur oleh tentara Inggris karena disangka istana Raja Sumenep. Asta Tinggi dibangun bersamaan dengan Keraton dan Masjid Jamik oleh Panembahan Somala. Selain Asta Tinggi, di bukit tersebut juga terdapat beberapa komplek pemakaman bangsawan lain, namun masih di bawah Asta Tinggi. Asta Tinggi sampai sekarang masih ramai dikunjungi peziarah, baik dari Pulau Madura maupun Pulau Jawa.

tony4

Asta Tinggi terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian utama dengan sayap kanan dan kiri. Sebelum memasuki bagian utama terlebih dahulu kita melewati sebuah gerbang yang sangat megah. Gerbang ini dibangun dengan beton dengan daun pintu dari kayu dan sangat kental dengan gaya Eropa. Sekilas jika kita lihat, gerbang ini hampir serupa dengan Amsterdam Port di Batavia. Selanjutnya kita harus melewati sebuah tembok di balik gerbang yang digunakan sebagai aling-aling. Tembok ini sangat kaya dengan relief tumbuh-tumbuhan. Pada bagian depan depan tembok terpampang sebuah prasasti yang ditulis dalam aksara Jawa, sedangkan pada bagian dalam prasasti ditulis dalam aksara Arab.

Di bagian utama terdapat sebuah bangunan berkubah dengan gaya arsitektur perpaduan Eropa dan Arab. Pada bangunan tersebut terdapat makam Panembahan Somala dengan beberapa kerabatnya. Di depan bangunan utama terdapat 3 cungkup yang terdiri 2 cungkup kembar kanan kiri dan 1 cungkup di samping cungkup kembar sebelah kanan.

Sayap kanan memiliki memiliki luas yang lebih besar dibanding bagian utama dan terdiri dari bagian luar dan dalam. Pada bagian luar terdapat makam-makam dari kerabat keraton dengan sebuah pendopo di bagian tengah. Pada bagian dalam terdapat 3 cungkup utama yang sering dikunjungi oleh para peziarah. Ketiga cungkup tersebut memiliki gaya arsitektur yang berbeda satu sama lain. Ketiga cungkup tersebut adalah cungkup Bindara Saod di sebelah kiri, cungkup Pangeran Pulang Djiwo di sebalah kanan, dan cungkup Pangeran Jimat di belakang cungkup Pangeran Pulang Djiwo.

tony7

Kondisi sayap kiri adalah yang paling berbeda. Kompleks ini cukup sepi dikunjungi peziarah.

Ada suatu cerita yang berkembang di lingkungan Asta Tinggi, yaitu adanya suatu makam yang disembunyikan identitasnya. Konon makam tersebut adalah pusara dari Pangeran Diponegoro. Hal ini didasarkan naskah Babad Sumenep. Saya sendiri belum mengetahui di mana lokasi makam tersebut.

Waktu sudah menunjukkan masuk waktu sholat Maghrib, saatnya saya menjejakkan kaki di Masjid Agung Sumenep atau orang sekitar lebih sering menyebut dengan istilah Masjid Jamik.  Hal yang paling istimewa dari masjid ini dan yang membuatnya terkenal adalah gerbang masuknya. Gerbang ini dibangun dengan sangat megah dan anggun dengan perpaduan warna kuning dan putih yang merupakan warna khas dari Keraton Sumenep. Di depan sebelah kanan gerbang tersebut berdiri sebuah tugu kecil. Tugu ini merupakan tugu peringatan 1 tahun proklamasi kemerdekaan RI. Memasuki gerbang tersebut, di sebelah kiri dapat kita temukan sebuah jam matahari atau yang biasa bagi orang jawa disebut Bencet.

tony8

Berjalan semakin ke dalam, kita akan melewati serambi masjid dan kemudian memasuki ruang sholat utama. Untuk memasukinya kita terlebih dahulu akan melewati sebuah pintu kayu dengan ukiran-ukiran khas bergaya Madura dengan warna dasar hijau lumut. Ruang sholat utama ini berbeda dengan masjid tradisional jawa pada umumnya karena tidak ditopang 4 soko guru, melainkan sebuah soko tunggal di bagian tengah dengan 12 soko lain yang mengelilinginya. Ruang sholat ini hanya digunakan untuk jama’ah pria, sedangkan untuk jam’ah wanita menggunakan pawestren sebagai tempat sholat. Ruang sholat ini memiliki atap tumpang bersusun 3. Pada bagian depan terdapat sebuah mihrab dengan bentuk setengah lingkaran dengan relief yang indah. Mihrab tersebut diapit mimbar dan maksura di kanan kiri dengan bentuk yang serupa. Maksura adalah tempat sholat yag diperuntukkan bagi raja.

tony9

Hal lain yang cukup unik pada Masjid Agung Sumenep dibanding masjid-masjid lain di Pulau Jawa dan Madura adalah keberadaan menaranya. Menara masjid tidak terletak di bagian timur masjid, melainkan di bagian barat masjid.

tony10

Mungkin tidak banyak yang tempat bersejarah yang bisa dikunjungi pada perjalanan yang sangat singkat itu. Sumenep adalah kota yang sudah sangat tua yang menyimpan banyak harta karun berharga peninggalan masa lalu. Miris ketika mengetahui banyak pemuda Sumenep yang tidak mengetahui cerita di balik tempat-tempat yang sebenarnya menyimpan sejarah berharga kotanya.

Silih Beulit jeung Oray Naga

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

“Bangsa urang jeung Cina těh harita mah asa dalit pisan. Bisa jadi pědah hirupna sarua papada susah. Anyeuna mah beunang disebutkeun euweuh Cina nu daragang ngider atawa ngawarung gowěngan těh. Bisa jadi anakna atawa turunna jaradi jalma jugala.” (Us Tiarsa dina buku Basa Bandung Halimunan)

Naha enya kitu tina urusan ěkonomi nu ngajadikeun bangsa urang jeung bangsa Tionghoa nu maratuh di lemah cai těh jadi pajauh? Bisa waě bener ěta pamendak Pak Us Tiarsa těh, tapi mun ceuk kuring mah lain ngan saukur ěta pasualanna. Loba pisan anu bisa diteuleuman ku urang jang ngaguar pasualan gaul hirup sapopoě antara bangsa urang jeung bangsa deungeun, hususna bangsa Tionghoa. Ieu mah minangka ngabagěakeun Imlěk baě, perkara eusina mah tangtu loba pisan kakuranganna, ulah kapameng rumojong, diantos kamandang kadang wargi kana ieu seratan.

***

Taun 1662 Walanda teu bisa ngarebut Taiwan sabab diělěhkeun ku urang Tionghoa nu dipingpin ku Koxinga (Zhěng Chenggong). Frěděrick Coyětt nu harita jadi Gebernur Jěndral Walanda nu cicing di Taiwan, ngalaporkeun ěta kajadian nu diběrě jejer “t’Verwaerloosde Formosa” nu hartina “Pohokeun Formosa”. Hal ěta diuningakan deui ku Walikota Singkawang, Hasan Karman, dina buku nu jejerna Sejarah Kongsi di Kalimantan Barat, nu mědal taun 2014 di Bandung.

Pangalaman pait ěta nimbulkeun kasieun ka Walanda dina nyanghareupan bangsa kulit koněng. Leuwih sieun deui mun seug Tionghoa dalit jeung bangsa pribumi, sabab hal ěta bakal nyieun kakuatan anu lain bantrak-bantrakeun. Hal sakituna, bisa jadi ěta pisan alesan nu nyieun Walanda ngala pati ka rěbuan bangsa Tionghoa di Batavia dina taun 1740.

200 taun ti harita, Walanda masih kěněh ngarasa sieun jeung hariwang ka bangsa Tionghoa. Sigana mah kajadian di Taiwan tacan leungit tina ingetan maraněhna. Atuh basa datang laporan ti Penning Nieuwland nu harita mingpin Kalimantan Barat, maněhna ngarasa pondok harepan. Ka Guberneur Jendral, maněhna aya roman jang mohokeun Borneo, sarua siga basa ělěh di Formosa. Harita nu pangdipikasieun ku Walanda těh nyaěta Kongsi Lanfang nu lolobana Tionghoa-Hakka, jeung Kongsi Hěstun Zongting nu geus kawěntar liat jeung lain bantrak-bantrakeun.

Mun di impleng deui, meureun ieu nu ngajadikeun Walanda nyieun kampung-kampung dumasar kana suka bangsa těh. Apanan urang geus pada apal, yěn ti baheula Walanda misah-misahkeun bangsa dina kampung-kampung sagemplek sewang. Aya Kampung Cina atawa nu katelah Pacinan, Kampung Arab, Kampung Melayu, jeung sajabana.

Tangtu jijieunan ieu těh amběh gampang nalingakeunna. Pan geus puguh Walanda mah sieun ku bangsa Tionghoa těh. Tah, tina hal ieu urang bisa nempo lumayan ěcěs, yěn bangsa Tionghoa těh měmang tohaga jeung toh-tohan dina lebah paguntreng jeung ngaběla harga dirina mah, atuh ieu ogě teu mustahil nu ngajadikeun maraněhna pogot kana digawě, utamana di urang mah kana widang dagang. Pan saur Pak Us Tiarsa gě seueur nu jugala jaradi konglomerat.

Tapi nu baris dibeunjeurběaskeun (alakadarna meureun) ku kuring man lain ngeunaan ieu, leuwih kana papisahna atawa anggangna kahirupan maraněhna jeung bangsa urang. Saloba-lobana gě nu ngumbara, pasti loba kěněh kaom pribumi. Atuh teu aněh mun di sakuliah Nusantara bangsa Tionghoa mah sok jadi bangsa nu pang saeutikna atawa minoritas. Keur mah saeutik, katurug-turug dipisahkeun ku Walanda, atuh puguh wě rada hěsě rěk campur gaul jeung nu sějěn těh.

Ti jaman Walanda, Soekarno, tuluy Soeharto, ampir kaběh kungsi teu ngaajěnan ka bangsa Tionghoa. Sanajan dina seratan Pak Us Tiarsa diuningakeun yěn baheula mah kungsi dalit, tapi angger we sikep bangsa urang mah ngarasa rada anggang. Ngarobah hiji kabiasaan nu geus lumangsang mangtaun-taun, tangtu lain perkara gampang. Enya gě mun dina widangěkonomi bisa ngaraketkeun, tapi dina widang pulitik mah can tangtu. Apanan urang geus pada apal, mineng pisan bangsa Tionghoa těh dibuburak malah ka nepi diala pati basa aya kajadian riweuh di nagara urang.

Naon sabab? Katugenah jeung sangkaan bangsa urang ka bangsa Tionghoa těh siga tuluy-tuluyan diwariskeun. Matak teu kaop aya kajadian leutik bisa ger jari rongkah, malah bisa ngocorkeun getih sagala. Nu pang haneutna mah tangtu taun 1998, leuh mun urang nitenan deui kajadian jaman harita, matak watir jeung ginggiapeun. Atuh ěta wě, dina sababaraha koran mah diberitakeun loba awěwě bangsa Tionghoa nu digadabah sagala, ku lobaan deuih, asa euweuh ras-rasan pisan.

Basa Gus Dur naěk jadi Prěsiděn, kaayan kieu těh rada lumayan ngurangan. Imlěk jeung kabudayaan Tionghoa nu ti baheula teu meunang diayakeun jeung dimumulě; kayaning barongsai, wayang potěhi, jeung sajabana, dina jaman Gus Dur mah teu diulah-ulah deui. Atuh puguh wě asa kokoro manggih mulud lebaran manggih puasa, bangsa Tionghoa galumbira pisan, malah sababara golongan mah aya nu měrě sebutan “Bapa Tolěransi” sagala ka Gus Dur těh.

Ti luhur jambatan

 

Kaayaan robahna di widang kabudayaan ieu, nu katempo ku kuring mah teu pati loba nyieun parobahan dina katugenah bangsa urang. Majarkeun těh, tuh deuleu loba pisan bangsa urang nu ngadon bubujang ka urang Tionghoa, tuluy loba nu ku dununganna teu diajěnan. Hal ieu ceuk kuring geus asup kana hukum ěkonomi, di mana-mana gě pasti jalma nu teu boga bakal kula-kuli ka jalma nu jugala jeung beunghar ku harta. Apan lolobana ti bangsa urang mah jaradi pagawě, arang langka nu jadi pangusaha mah.

Atuh ari soal teu ngaajěnan mah lain ngan ukur bangsa Tionghoa waě nu sok  ngalampahan kitu těh, dalah bangsa urang ogě teu saeutik nu kitu. Jadi alesan ieu mun dipakě teu resep jeung cua, angger teu bisa dibenerkeun. Omat ulah gorěng sangka, kuring lain ngaběla hiji bangsa, tapi panyangka gorěng jeung katugenah alusna mah ulah hantem dikukut. Apan ceuk kolot gě urang těh kudu akur jeung dulur, enya apan sakur-sakur rahayat Indonesia těh masih kěněh dulur, kaasup urang Tionghoa jeung turunnana.

***

Poě Ahad kamari kaping 22/2/2015, dina raraga Imlěk, kuring jeung babaturan ngaleut maluruh tempat-tempat nu disebut asup kana wilayah Pacinan. Di Bandung mah tětěla nu disebut Pacinan těh běda jeung di kota-kota nu sějěn. Ari di luar kota mah pacinan těh ngariung sagemplekan nu eusina nya kaběh urang Tionghoa atawa disebut ogě Cina; boh imahna, tempat usahana, paragi ibadah ka pangeranna, jeung sajabana. Pokona dina ěta kampung těh urang Cina wěh lolobana mah.

Tah di Bandung mah teu kitu, malah teu boga lawang gapura sagala, matak rada hěsě nangtukeun wates-wates Pacinan těh. Najan kitu, tapi kamari mah nya nyobaan maluruh saeutik-saeutik. Mimitina ti Masjid Al Imtizaj nu aya di Jalan ABC belah wětan (deukeut wangunan urut Matahari Dept. Store), masjid ěta saenyana wangunan anyar jadi tacan boga sajarah nu panjang jang dicaritakeun, tapi ku sabab langka nu ngaranna masigit urang Tionghoa mah, nya ěta masigit těh minangka dijadikeun wates paling wětan Pacinan Bandung.

Naha cenah asa rada hěmeng meunang aya urang Tionghoa nu ngagem Islam sagala? Tong salah, Laksamana Cheng Ho ku anjeun těh kapanan Islam ogě. Anjeunna kaasup urang Tionghoa nu munggaran datang ka Nusantara. Di Bandung mah lain ti ěta masigit, aya ogě Masjid Lautze di Jalan Tamblong deukeut pengkolan pisan, teu jauh ti patung Ajat mah, malah ampir pahareup-hareup pisan. Masigit ěta mah kagungan Yayasan Karim Oey.

Ti sainget, atawa ti saprak kuring nincakeun suku di Bandung, nu ngaranna Jalan ABC mah tara ieuh tiiseun ku nu daragang. Da ěta we toko těh meni ngajajar, lolobana mah toko ělěktronik kayaning nu ngajual tipi, kulkas, mesin cuci, DVD player, jeung sajabana. Atuh di trotoar jeung di sisi jalan gě teu kurung nu nu daragang kacamata, tukang ngoměan jam, katut mangrupa-rupa inuman jeung kadaharan. Kuring kungsi meuli es pisang hějo di dinya, mangkaning poě keur meungpeung panas ěrěng-ěrěngan, leuh kacida ni’matna, sagelas těh ngan sasěak.

Di tempo saliwat gě ěta nu daragang di toko těh lolobana mah urang Tionghoa. Katempo da ti jalan gě koko atawa cici keur dariuk nyanghareupan měja nu biasana mah paranti nunda duit. Ari nu purah nawarkeun jeung laladang mah angger wě rěa bangsa urang. Mun měngkol ka belah katuhu, nyaeta ka Jalan Alkateri; di dinya aya hiji warung kopi anu geus heubeul, atuda ngadegna ti taun 1930, sigana kolot kěněh warung ěta jeung aki kuring gě! Ceuk babaturan kuring mah (Mang Arya), di ěta warung těh kaayaanna gancang loma jeung batur. Cenah mun aya hiji jalma anyar nu munggaran ngopi di dinya, tuluy inditna sorangan atawa teu boga batur, ěta jalma těh baris diajakan ku kolot-kolot nu geus ngalanggan pikeun milu ngobrol jeung maraněhna. Stok kopi di ěta warung nyokotna ti Pabrik Kopi Aroma nu aya di Jalan Banceuy.

Asa ku kabeneran, barang kuring jeung barudak keur ngariung sabari silih tukeur kanyaho, na ari lol těh bapak-bapak urang Tionghoa kaluar ti warung kopi Purnama, ěh tapi geus laěr kětang, aki-aki meureun kasebutna; saurna mah anjeunna těh nu kagungan Pabrik Kopi Aroma. Sababaraha ti barudak aya nu wawuh ka anjeunna, atuh rada pancakaki heula sajonjonan mah, jalmana katempo soměah naker, nu disebut darěhděh těh enyaan.

Tukang mih ayam

 

Di tungtung jalan ABC aya hiji jambatan pameuntasan di luhureun Jalan Otista, ti luhur mah Pasar Baru těh katempo ěcěs pisan. Ti dinya tuluy eureun di hareupeun toko jamu Babah Kuya nu ti baheula geus kaconcara di sakuliah Bandung. Di dinya aya hiji akang-akang nu saliwat mah paroman jeung buukna siga Joni Iskandar, tinggal kacamatana dirantěan wě eta mah, pasti ceplěs pisan. Horěng ěta si akang těh nyaěta pagawě Babah Kuya nu sapopoěna purah ngaracik sabangsaning jajamuan. Tapi kusabab poě Ahad mah perě, jadi anjeunna poě harita mah markiran mobil jeung motor.

Dumasar katerangan ti si akang, toko jamu Babah Kuya geus asup ka generasi nu ka opat; nu gaduhna anyeuna mah Pak Iwan jenenganna tě. Aya dua toko sabenerna mah, tapi hu hiji mah teu ngalayanan ngaracik, ukur ngajual jamu nu geus jadi hungkul. Tapi cenah nu bogana mah běda, tapi masih kěněh barayana Pak Iwan.

Ti Babah Kuya tuluy mapay-mapay gang, bras wěh ka jalan gedě. Di sisi Jalan Kebonjati, kurang leuwih limapuluh měter ti parapatan Pasirkalili-Kebonjati-Gardujati, aya wangunan heubeul nu baheulana dipakě ku Hotel Surabaya pikeun para panumpang karěta api nu rěk ngadon ngarereb. Ayeuna ngaran hotelna geus ganti jeung leuwih modern deuih, minangka ngigelan jaman meureun. Di gigirna pisan hotel aya warung kopi Javaco, kaasup produsěn kopi heubeul eta javaco těh. Cenah mah mun kopi Javaco ditinyuh seungitna melengseng, sawarěh aya nu nyebut kawas seungit esbonbon, sawarěh deui aya nu nyebut sengitna kawas kuěh.

Sabab hayang nempo kelentěng, tapi panonpoě keur meungpeung nojo pisan kana emun-emunan, atuh ti Kebonjati těh měngkol ka kěnca, barang manggih aya plang badag nu tulisanna ngaran pasantren, tuluy asup kadinya. Lain bobohongan, enya gě ari ngaděngě mah geus ti baheula, tapi ari nincak mah karěk harita pisan ka Saritem těh. Leuh asa ngimpi bisa nincak di daerah jual beuli pabinihan. Tapi lain jual beuli meureun ngaranna, apanan ukur “nyěwa” sakerejep hungkul. Ceuk barudak kudu jempě, ulah rěa omong ngeunaan “daging atah” di dinya mah, kudu pada-pada apal wě cenah.

Di Jalan Kelentěng měmang aya kelentěng, lain ngan ukur ngaran jalan. Tapi hanjakal kusabab loba nu keur ibadah jadi wěh teu diidinan asup, bisi kaganggu meureun. Surti ari kitu těa mah, da maraněhna gě sarua we jiga urang ari masakah ibadah mah hayang husu. Sabab panonpoě masih kěněh barangasan, nya tungtungna ngiuhan heula di deukeut vihara. Barang keur ngariung, na atuh ari gantawang těh aya nu gělo kokolowokan. Geus kolot katempona mah jalamana těh, sorana jenger naker, pěpěrěpětan kawas tongěrět. Untung wě barudak teu tuluy riab. Teu ngaganggu teuing ari kitu těa mah, ngan orokaya wě matak reuwas sajongjonan.

Tuluy ka Jalan Cibadak, di dinya gě aya vihara dua siki, biasa wě dicět beureum. Di hiji pěngkolan deukeut toko buku Mearukě aya tukang bakmie atawa mih ayam, nu meulina kacida loba pisan, koatka ngantri sagala. Tadina mah kuring rěk nyobaan meuli, ngan pasti lila, teu tulus tungtungna mah. Nu meuli těh katempona mah loba urang Tionghoa, bangsa urang gě loba kětang, nyampur wě sabari ngarobrol.

Manggih nu kieu di Jl. Cibadak

 

Sapanjang Jl. Cibadak loba lampion nu digantungkeun luhureun jalan makě tapi rapia. Aya ogě gapura beureum paragi mapaěs acara Culinary Night nu hartina kurang leuwih icikibung barangdahar ti peuting. Aya ogě urut garduh listrik jaman baheula, wangunanna tohaga naker. Sabenerna di jalan ěta gě loba gang nu ngaranna kakara apal kuring mah, resep sigana mun ditalumtik hiji-hiji těh. Engkě sugan mun aya waktu rěk dipaluruh ah.

***

Tina ngaleut ěta, kuring manggihan sababara hal, di antarana nyaěta sabenerna urang Tionghoa těh katempona mah bisa layeut jeung bangsa urang těh. Nu kadua, kuring jadi panasaran saha sabenerna nu měrě ngaran “Pacinan”, maraněhna atawa bangsa urang? Lamun seug bangsa urang nu měrě ěta ngaran, hal ieu ceuk kuring siga hiji batas nu dijieun ku sorangan, da ěta ngaran těhkarasa atawa henteu geus nyien hiji lolongkrang jang misahkeun urang jeung maraněhna. Komo pan anyeuna mah loba pisan kota nu miboga kawasan pa-Cina-an těh, tuluy sok dijadikeun tempat wisata ku balarěa. Hal ieu lila-lila asa jiga děrěnten atawa kebon binatang.

Ceuk kuring, kaayaan nu geus aya memang fakta sajarah nu teu bisa diulah-ulah, tapi mun tuluy-tuluyan dijieun hiji “kaaněhan” tangtu lila-lila bakal ngandelan deui tembok pamisah antara bangsa urang jeung bangsa maraněhna.

Urut gardu listrik

Tah, sakumaha nu geus dijelaskeun di mimiti ieu tulisan, dalit atawa henteuna antara urang jeung maraněhna těh jelas lain ngan ukur tina kaayaan ekonomi; nyondong atawa henteu. Tapi salahsahiji ogě tina cara urang mirosěa ka tempat-tempat nu aya hubunganna jeung sajarah bangsa Tionghoa.

Kuring ngahaja měrě jejer tulisan těh ku kecap “silih beulit”—kuring teu apal kumaha kaayaan lamun oray keur gelut—tapi maksud kuring lamun seug enya cara gelutna kitu, ieu těh minangka hiji siloka yěn bangsa urang jeung bangsa Tionghoa těh mineng pisang guntrengna. Tapi lamun “silih beulit” nandakeun kahaděan siga jalma nu keur sasalaman, nya ieu pisan nu baris dimumulě ku urang sarěrěa.

Wilujeng Imlěk, wilujeng nyorang taun embě kai, mudah-mudahan kahareupna rijki beuki ngocor loba, sing sararěhat, nu utamana bisa leuwih dalit jeung bisa leuwih silih ngajenan jeung papada bangsa nu sějěn. Cag! [ ]

 

Foto : Arsip Irfan T.P.

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/02/silih-beulit-jeung-oray-naga.html

 

Mesjid Agung, Oase Di Tengah Keramaian

Oleh: Deris Reinaldi

Pasti semua urang Bandung tau mesjid yang satu ini. Mesjid ini bernama Mesjid Raya atau lebih dipikawanoh dengan nama Mesjid Agung. Mesjid yang terletak di Alun-alun Kota Bandung ini semula dikelola oleh Pemerintah Kota Bandung namun pada awal tahun 2000-an Mesjid Agung berpindah pengelolaannya ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Awal mulanya Mesjid Agung dibangun untuk memenuhi syarat sarana perkotaan karena kala itu di sekitar Alun-alun telah ada penjara, kantor pemerintahan serta pasar, sehingga atas prakarsa Wiranatakusumah II (Dalem Kaum) dibangunlah Mesjid Agung. Ketika Bandung masih sepi, suara adzan dari Mesjid Agung terdengar sampai Dayeuh Kolot,. Sekarang suara kumandang adzannya seperti adzan di Madinah. Mesjid Agung terdiri atas beberapa pengurus yang merupakan tokoh masyarakat, pegawai Dinas, akademisi, dan lain-lain. Ada juga karyawan yang berjumlah 40 orang yang bekerja full time. Mesjid Agung merupakan salah satu mesjid yang termasuk ke dalam BPIC (Badan Pengelolaan Islamic Centre) Provinsi Jawa Barat.

DSCN3214

Kini Mesjid Agung sangat ramai bahkan jumlah jama’ahnya meningkat hal ini dikarenakan adanya shelter Bandros (Bandung Tour On Bus) di Alun-alun serta diresmikannya Alun-alun yang telah direnovasi pada akhir tahun 2014. Ketika siang hari atau hujan, masyarakat yang sedang berada di Alun-alun berteduh di Mesjid Agung. Terkadang ada juga yang sekedar istirahat.

Ketika menjelang lebaran, banyak warga yang menitipkan zakatnya di Mesjid Agung bahkan ada juga yang berasal dari luar kota. Begitu pula ketika menjelang Idul Adha, banyak yang menitipkan hewan kurbannya baik dari dalam maupun luar kota Bandung. Tak heran proses penyembelihan hewan kurban di sini terkadang menjadi lama karena banyaknya hewan kurban dan sedikitnya penyembelih.

Mesjid Agung membuat beberapa orang merasa nyaman dan tentram ketika beribadah di sini. Kondisi ini menyebabkan beberapa orang rutin melaksanakan solat Jum’at di Mesjid Agung meskipun dari luar Bandung seperti Padalarang. Selain kegiatan solat berjamaah, di Mesjid Agung sering diadakan berbagai kegiatan keagamaan. Dalam sebulan ada 40 Majelis Ta’lim dari berbagai golongan melaksanakan kegiatan seperti ceramah atau pengajian. Ada juga bimbingan Ibadah haji yang diselenggarakan disini yang dikelola oleh KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah haji), serta ada kegiatan lain yang diselenggarakan oleh remaja Mesjid Agung.

Kini Mesjid Agung tidak ramai lagi oleh para pedagang yang membanjiri halaman mesjid . Dulu, keberadaan pedagang kaki lima seringkali mengotori halaman mesjid dan mengganggu orang yang keluar masuk mesjid. Banyaknya jama’ah menyisakan berbagai masalah yang mesti diperbaiki agar jama’ah merasa nyaman ketika berada di mesjid. Masalah tersebut diantaranya peminjaman alat solat seperti mukena setiap harinya pasti ada yang hilang. Hal ini terjadi mungkin karena pada belakang mukena terdapat bordiran dengan tulisan Mesjid Raya Provinsi Jawa Barat sehingga menarik untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Masalah lainnya adalah shaf ketika waktu solat berjama’ah tiba. Ketika waktunya solat jama’ah, seharusnya jama’ah mengisi shaf terdepan terlebih dahulu sehingga rapi. Karena jika tidak, jamaah yang mengisi shaf belakang terganggu oleh yang keluar masuk mesjid. Begitu pun dengan kaum wanita yang solat, seharusnya mengisi tempat yang telah disediakan yang mana tempatnya tertutup agar tidak terlihat auratnya.

Masyarakat yang menumpang istirahat pun terkadang mengganggu dan menimbulkan polusi udara dan suara, yang mana bau tubuh dan obolan atau teriakan anak kecil yang berisik. Ada juga anak-anak dan atau remaja yang lari-lari didalam mesjid dan ada juga yang berselfie ria sehingga hal ini mengganggu sekali untuk jama’ah yang beribadah.

Para Kontributor Tulisan (Foto: Arya Vidya Utama)

Masalah di bidang sarana pun menjadi permasalahan. Masjid Raya memiliki perpustakaan yang seharusnya menjadi taman bacaan untuk pengunjung tapi tidak ada buku dalam perpustakaan ini. Adanya toilet sungguh menolong masyarakat di Mesjid Agung maupun disekitarnya, akan tetapi di sekitaran toilet itu ada penunggu kotak amal sehingga masyarakat berasumsi bahwa harus membayar untuk menggunakan toilet. Padahal sebenarnya itu bersifat sukarela dan seikhlasnya.

Semoga Mesjid Agung lebih baik dan semakin baik dalam segala aspek sehingga jama’ah tetap atau bahkan meningkat karena merasa nyaman, tentram dan aman ketika beribadah. Untuk masyarakat, diharapkan agar lebih sadar bahwa mana yang hak dan mana yang bukan hak. Serta harus lebih tertib lagi ketika di mesjid karena ketertiban ada timbal baliknya untuk kita semua. Untuk pengurus dan atau karyawan pun lebih maksimal lagi dalam pengelolaan mesjid dan lebih tanggap apabila ada persoalan apapun.

Kontibutor:

Irfan Teguh Pribadi

Deris Reinaldi

Taufik N

Kukun Kusnandar

Syamsul Arifin

Sumber Foto:

Deris Reinaldi

Irfan Teguh Pribadi

Arya Vidya Utama

 

Tautan asli: https://derisreinaldi.wordpress.com/2015/02/03/mesjid-agung-oase-ditengah-keramaian/

Kabar Dari Menara Kembar

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Menara Kembar Masjid Agung


Eta jalan Dalem Kaum

Tah ieu alun-alun

Palih ditu Cikapundung

Mana ari Masjid Agung?

—Deni A. Fajar

 

Adalah hari Ahad bertarikh 25 Januari 2015 yang sedang dirahmati sinar matahari, yang menandai bahwa Ngaleut tidak lagi berjalan dari rute ke rute, melainkan fokus di satu objek dan sekitarnya, demi menggali informasi yang lebih dalam, melebihi dari sekadar pemaparan beberapa orang.

Mula-mula tim saya duduk di dekat pintu masjid. Koordinasi sebentar sebelum akhirnya menyebar. Kemudian dua orang menuju ke ruang sekretariat, dan tiga orang berkeliling menyusuri sudut-sudut masjid sambil sesekali melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung.

Kang Atang Wahyudin selaku bagian tata usaha, yang kami temui di ruang sektretariat memberikan sembilan lembar kertas, berisi tentang sejarah dan perkembangan Masjid Agung dari masa ke masa. Lengkapnya saya sajikan di bagian akhir dari catatan ini.

 DSCN3214
Pelataran Masjid Agung

Sebetulnya yang pertama menerima kami adalah seorang laki-laki paruh baya. “Bapak mah bagian kebersihan, sama Kang Atang aja ya, dia lebih tahu tentang sejarahnya,” tutur Pak Haji Nabhan, yang namanya kami ketahui belakangan.

Kang Atang kemudian menerima kami dengan ramah. Pengurus masjid yang “baru” bertugas selama 10 tahun itu dengan antusias menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan. “Saya mah termasuk baru, tuh Pak Haji yang lama mah, udah 20 tahun lebih di sini, “ tuturnya. Meskipun ada beberapa poin pertanyaan yang terkait dengan dibukanya alun-alun baru—yang sengaja dibekali oleh Koordinator Aleut, namun karena komunikasi yang terbangun begitu cair, maka hal itu dimanfaatkan untuk menggali soal-soal lain yang lebih luas.

Dampak dari dibukanya Alun-alun yang baru, yang berumput sintetis itu, ternyata menambah jumlah jamaah shalat dan juga menambah jumlah uang kencleng. Dari semula rata-rata perbulan hanya 12 juta, namun sekarang bisa mencapai angka 20 juta perbulan.

Dana operasional Masjid Agung pertahun idealnya 4 sampai 5 milyar, namun dana yang ada hanya berjumlah 1 milyar yang bersumber dari hibah Pemprov, serta total shodaqoh pertahun yang berjumlah rata-rata 600 juta. Kekurangan tersebut dapat disiasati dengan membuat skala prioritas pada setiap kegiatan.

 MA 7
Catatan Kegiatan Harian

Rekam harian jumlah jamaah yang sholat lima waktu dicatat dalam sebuah form. Di dalamnya tercantum juga petugas imam dan muadzin, serta kegiatan majlis ta’lim. Dari sana dapat dilihat perkembangan jumlah jamaah setiap hari, jumlah per waktu shalat, dan jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan di majlis ta’lim.

Waktu saya melihat jadwal majlis ta’lim yang menempel di dinding kantor sekretariat, Kang Atang menambahkan, “Di sini mah segala organisasi ada. Muhammadiyah, Persis, NU, dan yang lain ada semua.  Hanya Ahmadiyah sama ISIS aja yang ga boleh,” ujarnya sambil tersenyum. Totalnya ada 40 majlis ta’lim yang mengadakan kegiatan di Masjid Agung.

 DSCN3220
Unit Pelayanan Jamaah

Selain majlis ta’lim, di Masjid Agung ada beberapa unit pelayanan jamaah, yaitu; UPZ (Unit Pengelola Zakat), KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), Koperasi, dan Remaja Masjid. Khusus untuk Koperasi, semula mempunyai sebuah warung di bagian depan masjid, namun karena untuk memberi contoh kepada para PKL, maka warung itu ditutup. Sekarang koperasi yang berjalan adalah koperasi simpan pinjam.

Untuk masalah kebersihan, karena sejak dibuka alun-alun yang baru PKL sudah sangat sedikit, maka permasalahan ini pun sedikit berkurang.  Hanya saja kesadaran yang masih kurang dari pengunjung masjid, masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam kaitannya dengan ritul ibadah shalat, kehadiran para pengunjung memang cukup mengganggu, apalagi suka ada beberapa anakyang  berlari-lari sambil main bola. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas.

 DSCN3113
Foto-foto di dalam masjid

Pengunjung masjid yang semula lebih banyak di pelataran, kini beralih memenuhi bagian dalam masjid, meskipun di pelataran pun masih ada. Dan di dalam masjid ada beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung, misalnya : memakai rok pendek, atau membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berdasarkan keterangan dari Kang Atang, ternyata tanah yang di atasnya berdiri kantor Satpol PP yang berada di Jl. Dalem Kaum adalah tanah milik Masjid Agung. Pihak pengurus masjid berharap bahwa tanah itu bisa kembali digunakan untuk keperluan masjid, prioritasnya untuk kantor sekretariat dan pusat layanan informasi. Namun entah kenapa sampai saat ini pun hal itu belum juga terselesaikan.

 DSCN3114
Mengbal heula lur meh jagjag!

Dulu syiar dan gema dakwah dari Masjid Agung dapat disimak melalui pesawat “Radio Megaria” di gelombang 91,3 FM. Ke depan, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada jamaah, Masjid Agung rencananya akan dilengkapi dengan Poliklinik, Station Radio, dan sarana penunjang lainnya.

Ada sedikit cerita unik dari “menara kembar” ini, baik dari penuturan Pak Haji, maupun Kang Atang, keduanya bercerita bahwa di Masjid Agung ini ada beberapa jamaah “fanatik” yang kalau hari Jum’at, mereka bela-belain datang dari Lembang, Padalarang, dan Cicalengka, demi untuk sholat Jum’at di masjid Agung. “Kalau saya tanya, jawaban mereka mah : reugreug bisa jumaahan di sini teh,” terang Kang Atang. Selain soal jamaah jum’atan, ternyata ada juga jamaah dari Tangerang yang kalau berkurban selalu menitipkan hewan kurbannya di Masjid Agung.

 MA 6
Ada yang ngasih ini di dalam masjid

Selain itu, bedug yang biasa dibunyikan setiap kali mau shalat lima waktu, ternyata mempunyai variasi pukulan dan nada yang berbeda-beda, disesuaikan dengan shalat yang akan dilaksanakan. Artinya bunyi bedug untuk sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan bahkan sholat Jum’at; semuanya berbeda.

Keberadaan masjid, termasuk di dalamnya Masjid Raya, memang sangat vital bagi masyarakat Priangan, yang dari dulu sudah dikenal taat dalam menjalankan Agama Islam–hal ini sempat diperkuat dengan pendapat tentang penyebaran Wali Songo, yang hanya menempatkan satu wakilnya di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Konon penempatan satu wali ini berdasar pada sudah menyebarnya Agama Islam di Jawa bagian Barat, berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur; yang masing-masing di tempati oleh tiga dan lima wali.

 MA 2
Daftar Hadir Petugas Masjid

Di masa-masa awal, Bupati Bandung sebagai kepala pemerintahan, adalah juga yang secara institusional menjadi pengelola Masjid Agung. Sedangkan operasionalnya dipegang oleh seseorang yang menjabat sebagai Penghulu Bandung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ketua DKM. Penghulu Bandung berwenang mengatur tata tertib dan kemakmuran masjid. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh staf petugas yang diangkat dan diberhentikan oleh Penghulu yang bersangkutan, jumlahnya sekitar 40 orang. Beberapa tugas pembantu Penghulu Bandung itu adalah menjadi imam, khatib, muadzin, muroqi, dll.

Berikut adalah Penghulu Masjid Agung Bandung dari masa ke masa :

1) Penghulu Rd. KH. Zainal Abidin

2) Penghulu K. Nasir

3) Penghulu K. Hasan Mustofa

4) Penghulu K. Rusdi

5) Penghulu K. Abdul Kodir

6) Penghulu K. Siddiq

7) Penghulu K.R. Hidayat

8) Penghulu K. Muhammad Kurdi

9) Penghulu KH. Tamrin

10) Penghulu KH Tb. Saleh

11) Penghulu KH. Dachlan

12) Penghulu KH. Moh. Yahya

13) Penghulu KH. Rd. Totoh Abdul Fatah

Pada perkembangannya, staf Ketua DKM secara jumlah semakin meningkat. Hal ini seiring dengan kian bertambahnya jumlah jamaah. Kiwari pengurus Masjid Raya dibagi menjadi dua kelompok; yaitu karyawan dan non karyawan. Yang karyawan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengurus Masjid Raya (jenis pekerjaannya lebih ke operasional, sumber gaji dari APBD Provinsi), sedang yang non karyawan adalah mereka yang cukup sibuk dengan pekerjaan di luar Masjid Raya (lebih ke soal kebijakan).

Berdasarkan hasil musyawarah para ulama, yang dipimpin oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah, posisi kiblat Masjid Agung adalah 25 derajat ke arah utara dan khatulistiwa. Adapun peserta penentuan arah kiblat terdiri dari 12 ulama, yang terdiri dari :

1) KH. Mh. Sudja’I dari Pesantren Cileunyi

2) KH. R. Ahmad Al-Hadi dari Pesantren Sukamiskin

3) KH. O. Burhanudin dari Pesantren Cijaura

4) KH. R. Moh. Jahja dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung

5) KH. Mch. Dachlan Kepala Jawatan Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Jawa Barat

6) KH. Ali Utsman dari Jl. Pangarang, Bandung

7) KL. Sasmita dari Jl. Nakula, Bandung

8) KA. Iping Zainal Abidin dari Jl. Moh. Toha, Bandung

9) K. Moh. Salmon dari Jl. Saledri, Bandung

10) K.R. Moh. Jahja dari Jl. A. Yani, Bandung

11) KH. R. Moh. Kosim Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

12) K. Isa Maftuh Staf Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

 DSCN3175
Arah Kiblat Masjid Agung

***

Waktu saya bertanya ke Kang Atang, apakah pengurus punya semacam buku saku yang di dalamnya dimuat tentang sejarah Masjid Agung, beliau menjelaskan bahwa saat ini sedang disusun sebuah buku tentang Masjid Agung yang berjudul “Syiar dari Menara Kembar” (lihat lagi judul catatan ini). Sementara buku itu belum selesai, maka pihak pengurus menyiapkan tulisan ringkas tentang sejarah Masjid Agung, yang sewaktu-waktu bisa di-print out jika ada yang memintanya.

Berdasarkan catatan ringkas dari pengurus masjid itulah, berikut adalah sejarah Masjid Agung Bandung yang sekarang bernama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat. Semoga bisa melengkapi informasi tentang sejarah Masjid Agung yang telah ada dan beredar di masyarakat :

Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Bandung, dibangun pada tahun 1800-an. Ada dua pendapat ihwal kapan tepatnya masjid ini didirikan.

Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa Masjid Agung didirikan pada tahun 1812. Bangunan awal masjid ini berupa panggung tradisional, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia, serta terdapat sebuah kolam besar untuk keperluan mengambil air wudhu. Kolam ini pun dimanfaatkan juga sebagai sumber air untuk memadamkan kebakaran di daerah sekitar Alun-alun Bandung pada tahun 1825.

 MA 1
Masjid Agung 2014

Sedangkan pendapat lain menyatakankan bahwa pendirian Masjid Agung adalah pada tahun 1810,  bersamaan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung yang diresmikan pada tanggal 25 September 1810. Jika melihat pola pembangunan pusat kota yang ada di Priangan, khususnya pada masa Hindia Belanda, memang posisi antara Masjid Agung dan Pendopo Pemerintahan selalu berdekatan, dan mungkin pembangunannya pun dilakukan pada waktu yang sama.

Bangunan Masjid Agung mengalami beberapa perubahan. Sejak didirikannya, masjid ini telah tigabelas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20.

Pada tahun 1826 bangunan Masjid Agung diganti dengan kontruksi kayu. Kemudian di tahun 1850 secara berangsur dirombak lagi dengan meningktakan kualitas bangunan. Atas prakarsa Bupati R.A. Wiranatakoesoemah IV atau Dalem Bintang (1846-1874), masjid Agung diganti lagi dengan tembok batu-bata dan atau genting. Selain itu, di sekeliling masjid pun dibangun pagar tembok bermotif sisik ikan (seperti pagar Pendopo Kota Bandung sekarang) setinggi kurang lebih dua meter. Motif ikan tersebut adalah gaya ornamen khas Priangan.

 DSCN3171
Penambahan Waktu Shalat di Daerah

Tahun 1900 atap Masjid Agung berubah menjadi tumpang susun tiga, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Bale Nyungcung”. Selain itu halamannya pun luas, dan berpintu gerbang. Meskipun masjid belum dilengkapi dengan menara, namun sudah ada mihrab, pawestren, bedug, kentongan, dan kolam.

Berdasarkan rancangan arsitek Maclaine Pont, pada tahun 1930 Masjid Agung dilengkapi dengan sepasang menara pendek tumpang susun di kanan dan kiri bangunan, dan dilengkapi pula dengan serambi (pendopo) depan.

Di sekitar Konferensi Asia Afrika, yaitu pada tahun 1955, Masjid Agung mengalami perombakan total. Atap tumpang susun tiga yang sudah dipakai sejak tahun 1850 diganti dengan atap bergaya Timur Tengah, yaitu model atap bawang. Sebutan “Bale Nyungcung” pun perlahan mulai menghilang. Tak hanya itu, dua menara pendek pun dibongkar dan digantikan dengan sebuah menara tunggal yang letaknya di halaman depan masjid sebelah selatan. Serambi diperluas, ruang panjang di kiri dan kanan masjid (pawestren) digabungkan dengan bangunan induk.

Serambi kanan masjid, pada tahun 1967, ruangannya ditambah. Hal ini sehubungan dengan berdirinya Madrasah Diniyah, Taman Kanak-kanak, dan Poliklinik YAPMA. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1965, akibat tiupan angin kencang, atap masjid Agung mengalami kerusakan.

Kepala Perwakilan Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, R.H.A. Satori, pada tahun 1969 berinisiatif untuk merintis perubahan dan perbaikan Masjid Agung. Rencana tersebut dituangkan ke dalam bentuk maket. Setelah Solihin GP dilantik menjadi Gubernur Jabar, maka rencana tersebut dimatangkan dan direalisasikan, serta beliau langsung yang memimpin proses penyelesaiannya.

 DSCN3229
Himbauan dari Pengurus Masjid

Dalam pelaksanaannya, proses perubahan dan perbaikan Masjid Agung diperkuat dengan terbitnya SK Gubernur Jabar, tanggal 1 Mei 1972 No. 106/XVII/Dirt.Pem./SK/72, yang didasari atas hasil musyawarah semua unsur yang ada di Jawa Barat.

SK tersebut berisi tentang Pembangunan Masjid Agung Bandung dan Pengangkatan Personalia Pembangunan Masjid Agung Bandung. Berikut susunannya :

Ketua Direksi : H. Jahja

Wakil Ketua Direksi : Ir. Karman (Kepala DPU Jawa Barat)

Perencana Pembangunan :

1)  Ir. Adjat Sudradjat

2) Prof. Dr. Sjadali

3) Ir. Noe’man

4) Ir. Luthfi

Para Arsitek :

1) Ir. Slamet Wirasendjaja

2) Ir. Raswoto

3) Ir. Saharti

4) Ir. Toni Suwandito

 MA 4
Buletin Masjid Agung

Rencana tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 3 April 1971. Tahap pertama menghabiskan biaya sekitar Rp 20.000.000,- yang digunakan untuk pembuatan menara dan jembatan yang menghubungkan Masjid Agung dengan Alun-alun. Pembangunan tersebut selesai pada tanggal 4 Januari 1972.

Setelah tahap itu selesai, kemudian dilakukan pembongkaran bangunan lama yang hasil bongkarannya disalurkan kepada masjid-masjid yang ada di Kota Bandung. Di atas bangunan lama yang telah dibongkar tersebut kemudian dibangun masjid baru.

Pada tahap kedua, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No.234/A-V/16/SK/72 tentang Peletakan Batu Pertama Pemabangunan Masjid Agung Bandung, maka pada tanggal 19 Juni 1972 dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat dan Pangdam VI Siliwangi.

Masjid yang baru dibuat berlantai dua. Tempat shalat utama dan ruang kantor menempati lantai dasar, sedangkan lantai dua digunakan sebagai mezanin tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan beton ke tepi Alun-alun di sebelah barat. Satu hal yang disayangkan adalah bahwa jembatan penghubung tersebut hampir menutupi semua tampilan bagian muka masjid. Di bawah permukaan tanah (basement) difungsikan sebagai tempat pengambilan air wudhu.

Biaya total pembangunan Masjid Agung Bandung yang selesai pada tanggal 1 Oktober 1973, diperoleh dari sumber sebagai berikut :

1) Sumbangan Presiden Republik Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-

2) Sumbangan Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 5.000.000,-

3) Sumbangan dana Nikah, Talak, Ruju’ (Departemen Agama) sebesar Rp 42.000.000,-

4) Sumbangan dari simpanan Calon Jamaah Haji sebesar Rp 22.000.000,-

5) Sumbangan dari APBD Prop. Jabar 1972/1973 sebesar Rp 90.000.000,-

6) Sumbangan dari Pemda Kotamadya Bandung sebesar Rp 14.000.000,-

7) Sumbangan dari Perencana sebesar Rp 3.000.000,-

 MA 3
Informasi yang Disampaikan di Buletin

Masjid baru tersebut berada di atas tanah wakaf, dan ditambah dengan tanah hasil pembelian Pemda Kotamadya Bandung seluas +/- 2.464 M2,menghabiskan biaya sebesar Rp 135 juta. Jamaah yang dapat ditampung di Masjid baru +/- 5000 (di lantai bawah), dan +/- 2000 di lantai atas. Di dalamnya terdapat pula perpustakaan, ruang kantor, dan tempat wudhu.

Memasuki tahun 1980-an kondisi masjid Agung seolah “terisolasi”. Hal ini disebabkan karena adanya tembok tinggi yang diberi ornamen dari batu granit di depan dinding muka Masjid, serta pintu gerbang besi. Dengan kondisi seperti itu membuat masjid seperti tertutup untuk umum. Hal yang mungkin bisa menarik perhatian warga barangkali hanya puncak menara. Puncak tersebut diganti menjadi model kubah yang menyerupai bola dunia, dan terbuat dari rangka besi. Rangkaian lampu-lampu kecil dililitkan di rangka besi puncak menara tersebut dan dinyalakan pada malam hari.

Tahun 2001 terbit SK Walikota Bandung Nomor 023 Tahun 2001 tanggal 11 Januari 2001 tentang Panitia Pembangunan Masjid Agung. SK tersebut diterbitkan dengan niat untuk mengembalikan citra Masjid Agung yang terlihat semakin suram.

 DSCN3234
Rada diaos heula lur!

Hasil dari pembangunan tersebut adalah lantai masjid yang semakin diperluas. Hal ini karena jalan yang semula ada di depan masjid (sebelah barat masjid) dihilangkan, dan bahkan memakan sebagian alun-alun. Kubah beton berdiameter 30 m dibangun untuk menggantikan atap model joglo. Selain itu, di atas bangunan masjid yang semula lahan alun-alun pun dihiasi dengan dua kubah yang masing-masing berdiameter 25 m.

Yang paling menarik adalah dengan dibangunnya menara kembar yang kita kenal sekarang, yang masing-masing mempunyai ketinggian 81 meter. Semula menara ini hendak dibangun dengan ketinggian 99 meter yang dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna (nama-nama Allah), namun dengan mempertimbangkan keamanan lalu-lintas udara, akhirnya angka yang diijinkan hanya 81 meter. Tapi jika dihitung dari pondasi yang memiliki ketinggian 18 meter, total ketinggian menara tersebut tetap 99 meter.

Pada rencana dan perjalanannya, menara kembar tersebut bukan hanya berfungsi untuk kepentingan spiritual, namun juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi, dan objek wisata.

 DSCN3237
Salah satu Sudut Pelataran Masjid

Karena Provinsi Jawa Barat belum mempunyai masjid Raya, maka Gubernur Jabar waktu itu, yaitu H.R. Nuriana mengadakan pertemuan dengan panitia pembangunan. Dari pertemuan itulah, atas saran dari Drs. H. Tjetje Soebrata, SH., MM selaku Wakil Ketua Pemabangunan, digagaslah untuk mengubah nama Masjid Agung Bandung menjadi Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa penamaan masjid memang terkait dengan tingkatan di level wilayah dan pemerintahan.

Masjid Nasional (Istiqlal) : Tingkat Negara

Masjid Raya : Tingkat Provinsi

Masjid Agung : Tingkat Kota dan Kabupaten

Masjid Besar : Tingkat Kecamatan

Masjid Jami : Tingkat Kelurahan

Setelah Pemda Jabar dan Pemkot Bandung sepakat ihwal penggantian nama tersebut, maka pada tanggal 4 Juni 2003 nama masjid yang semula Masjid Agung Bandung, diganti dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. [ ]

Tim Ngaleut Masjid Raya Bandung :

1) Deris Reinaldi

2) M. Taufik N.

3) Irfan Teguh Pribadi

4) Kukun Kusnandar

5) Syamsul Arifin

Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/01/kabar-dari-menara-kembar.html

Melihat Wajah Baru Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung (foto: Arya Vidya Utama)

Setelah selesai direnovasi dan diresmikan pada 31 Desember 2014, Alun-alun Bandung kini menjadi primadona wisata warga Kota Bandung. Hamparan rumput sintetis di tengah kawasan kini dipenuhi pengunjung untuk sekedar duduk-duduk atau untuk bermain bersama buah hati. Renovasi yang memakan waktu 7 bulan dan menghabiskan biaya 10 miliar Rupiah berhasil menghilangkan kesan kumuh yang melekat pada Alun-alun Bandung dalam satu dekade terakhir.

Ramainya kunjungan membuat Alun-alun Bandung menjadi fenomena baru di Kota Bandung. Lini masa berbagai media sosial kini dipenuhi dengan foto Alun-alun Bandung, baik itu foto selfie maupun foto keramaian di dalam komplek ini. Fenomena ini kemudian menjadi sebuah anekdot, bahwa selain musim hujan dan musim kemarau, di Kota Bandung sedang musim berfoto di Alun-alun.

Kondisi terkini Alun-alun mengembalikan fungsinya yang sempat hilang. Kemunculan mal yang dimulai pada era 90-an memperparah keadaan. Pusat keramaian warga Bandung bergeser perlahan dari Alun-alun dan kemudian menyebar ke beberapa titik yang terdapat mal di Kota Bandung. Hal ini membuat Alun-alun ‘mati suri’ selama hampir dua puluh tahun.

***

Tak pas rasanya jika membicarakan Alun-alun Bandung tanpa membahas sejarahnya terlebih dahulu. Alun-alun Bandung muncul seiring dengan perpindahan Ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah sebelah selatan Jalan Raya Pos pada tahun 1810. Bisa dibilang Alun-alun adalah lapangan terbuka untuk umum pertama yang ada di Bandung setelah perpindahan Ibukota.

Menurut Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah kediaman penguasa lokal. Alun-alun dalam Bahasa Jawa artinya ombak lautan. Halaman tempat kediaman penguasa lokal diasosiasikan dengan ombak lautan karena aktivitas seperti pemerintahaan, perdagangan, budaya, dan keagamaan berpusat di seputar lingkungan kediamaan penguasa lokal.

Seperti alun-alun di Pulau Jawa pada umumnya, Alun-alun Bandung juga dipengaruhi oleh kebudayaan Mataram Islam. Komponen yang melengkapi alun-alun di Mataraman dihiasi dengan empat komponen, yaitu masjid, istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar. Maka tak heran jika lingkungan di sekitar Alun-alun Bandung mirip dengan kondisi Alun-alun di daerah Jawa.

Alun-alun Bandung dari masa ke masa

 

Alun-alun Bandung di awal penggunannya selain digunakan sebagai tempat aktivitas warga, juga pernah digunakan sebagai tempat eksekusi mati. Mereka yang diputus hukuman mati di Bale Bandung (berlokasi di bekas lahan Nusantara) akan dijerat tali yang terpasang di Alun-alun Bandung. Mereka yang akan dieksekusi akan dikalungi secarik kertas yang berisi kesalahan yang diperbuat.

Pada sekitar tahun 1900-an, Alun-alun Bandung memiliki fungsi sebagai stadion sepak bola karena minimnya stadion sepak bola pada saat itu. Pertandingan yang dilangsungkan bertaraf nasional, biasanya antar klub sepak bola di Hindia Belanda. Kegiatan sepak bola di Alun-alun Bandung ini akhirnya berhenti dilaksanakan pada sekitar tahun 1920-an seiring dilarang digunakannya Alun-alun sebagai stadion sepak bola dan juga beberapa klub sepak bola di Bandung sudah memiliki stadion sepak bola sendiri.

Alun-alun terus mengalami perubahan hampir setiap satu dekade sekali, dimulai sejak tahun 1954 pada saat menjelang Konfrensi Asia-Afrika hingga yang terakhir dilakukan oleh Ridwan Kamil pada tahun 2014. Total setidaknya telah terjadi perubahan selama tujuh kali sejak 1950.

***

Alun-alun kini menggunakan kombinasi batu andesit dan rumput sintetis. Di tengahnya membentang hamparan rumput sintetis seluas 4.800 m2, sedangkan sisanya menggunakan batu andesit. Di kedua sudut sebelah selatan Alun-alun terdapat taman yang ditumbuhi tanaman-tanaman kecil, sedangkan di sudut kanan sebelah utara terdapat arena bermain anak seperti jungkat-jungkit dan ayunan.

Petugas keamanan Alun-alun yang merupakan gabungan dari Linmas dan Satpol PP Kota Bandung mengamankan Alun-alun. Mereka ditempatkan di setiap sudut taman dan terus berpatroli keliling. Selain menjaga keamanan, petugas keamanan juga seringkali menghimbau para pengunjung untuk berhati-hati dalam membawa barang bawaan terutama anak kecil yang membawa ponsel untuk berfoto.

Kondisi Alun-alun cukup bersih. Tempat sampah tersedia di banyak titik dan sudut. Kondisi ini disebabkan karena kesadaran para pengunjung untuk tertib membuang sampah cukup tinggi dan patroli keamanan sesekali membantu memunguti sampah yang tercecer. Namun di beberapa titik masih terlihat adanya sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung.

Pengunjung datang ke Alun-alun umumnya untuk melepas penat akibat lelah bekerja. Mereka datang bersama keluarga ataupun bersama pasangan untuk sekedar duduk-duduk menikmati keadaan, botram, atau bercengkrama di rumput sintetis. Jumlah pengunjung per hari bisa mencapai ribuan orang dengan puncak keramaian di hari Sabtu dan Minggu. Bahkan menurut salah satu petugas keamanan, kunjungan di hari Sabtu akan terus ramai hingga pukul 5 pagi di hari Minggunya.

Penggunaan rumput sintetis alih-alih penggunaan rumput biasa sempat menjadi polemik. Namun Walikota Bandung, Ridwan Kamil, di akun Twitter-nya pada 27 Desember 2014 menjelaskan bahwa apabila lapangan tersebut diurug tanah, bebannya terlalu berat untuk dua lantai basement yang ada di bawahnya. Selain itu, rumput sintetis yang dipasang awet untuk digunakan selama 10 tahun.

Rumput sintetis ini dirasa cukup nyaman bagi beberapa pengunjung. Para pengunjung, terutama orang tua yang membawa anaknya, menjadi tak khawatir saat anak-anak mereka bermain di atas rumput sintetis. Hal ini disebabkan karena rumput sintetis relatif aman dan dan resiko akibat terjatuh lebih kecil dibandingkan ketika terjatuh di permukaan yang lebih kasar seperti tanah. Selain itu, para orang tua tidak terlalu khawatir anaknya kotor akibat berguling-guling di atas rumput sintetis.

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis (Foto: Arya Vidya Utama)

Untuk dapat berkegiatan di rumput sintetis Alun-alun, pengunjung harus melepas alas kakinya terlebih dahulu. Sayangnya, tidak ada rak penyimpanan untuk alas kaki, sehingga alas kaki para pengunjung disimpan di sisi rumput. Hal ini menimbulkan kesan tidak rapi dan faktor keamanan alas kaki juga terbaikan. Untuk menyiasatinya, pengunjung dapat membeli kantong keresek yang dijual oleh beberapa orang pedagang. Alas kaki yang sudah terbungkus keresek dapat anda bawa ke dalam rumput dan mempermudah pengawasannya.

Di sekeliling Alun-alun terdapat beberapa pedagang asongan yang berjualan. Kebanyakan dari mereka menjual minuman, makanan ringan, dan bola karet yang biasa digunakan untuk bermain bola di atas lahan rumput sintetis. Menurut beberapa pengunjung, keberadaan pedagang asongan ini cukup membantu karena tidak adanya kios penjual makanan, minuman, dan bola karet di Alun-alun. Sampai saat ini, para pedagang kaki lima ditempatkan di basement. Keberadaan para pedagang asongan juga perlu menjadi perhatian pengurus Alun-alun karena dapat mengancam kebersihan Alun-alun.

Bus Bandros (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Selain berwisata di Alun-alun, pengunjung juga dapat berwisata dengan Bus Bandros. Bus yang sudah beroperasi sejak bulan Juli 2014 ini akan membawa anda berkeliling sekitar Bandung dengan rute: Alun-alun, Jl. Banceuy, Jl. Braga, Jl. Lembong, Jl. Sunda, Jl. Diponegoro, Jl. Dago, Jl. Merdeka, Jl. Tamblong, Jl. Asia-Afrika, Jl. Oto Iskandardinata, Jl. Kepatihan, dan kembali ke Alun-alun. Untuk naik bus ini, anda perlu merogoh kocek Rp 10.000,00 untuk satu kali perjalanan. Bus Bandros beroperasi setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00.

Menara Kembar Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Wisata lain yang dapat dilakukan di Kawasan Alun-alun adalah Menara Kembar. Menara ini terdapat di kedua sisi Masjid Raya Bandung, hasil dari perubahan wajah Masjid pada tahun 2001. Masing-masing menara mempunyai ketinggian 81 meter dan jika ditambah dengan tinggi fondasi menara, ketinggian totalnya mencapai 99 meter yang merupakan simbol dari Asmaul Husna (99 Nama Allah swt.). Dari atas menara, pengunjung dapat melihat pemandangan Bandung dari ketinggian. Menara ini dapat diakses setiap hari mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30, dengan tiket masuk Rp 3.000,00 untuk dewasa dan Rp 2.000,00 untuk anak-anak. Menara yang saat ini bisa diakses adalah menara yang terdapat di sisi utara Alun-alun, sedangkan menara di sisi selatan Alun-alun yang sedang dalam perbaikan dapat diakses bulan depan.

Pemandangan Dari Atas Menara Kembar (Foto: Al-Amin Siharis)

 

***

Perubahan Alun-alun Bandung akan berdampak langsung pada Masjid Raya Bandung yang berada di kawasan yang sama, begitu juga sebaliknya. Sejak didirikan pada tahun 1810, masjid ini telah tiga belas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20. Perubahan terakhir terjadi pada tahun 2001, di mana saat Masjid Raya Bandung diperluas, Alun-alun berubah menggunakan konblok dan di bawahnya dibangun basement 2 lantai.

Keramaian Alun-alun saat ini berdampak positif pada Masjid Raya Bandung. Sejak Alun-alun berumput sintetis, jamaah yang shalat di Masjid Raya menjadi semakin meningkat. Hal ini dicatat dengan baik oleh pengurus Masjid Raya Bandung. Peningkatan pengunjung di Masjid Raya juga menambah jumlah uang kencleng yang diterima pihak pengurus. Dari semula rata-rata per bulan hanya 12 juta, sekarang bisa mencapai angka 20 juta per bulan.

Namun selain dampak positif, Masjid Raya Bandung juga terkena dampak negatif. Sejak dibukanya Alun-alun baru, memang permasalahan kebersihan di area masjid berkurang karena minimnya PKL jika dibandingkan dengan wajah sebelumnya. Namun, kurangnya kesadaran para pengunjung masjid membuat masalah kebersihan masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan bagi Masjid Raya Bandung.

Anak Kecil yang Bermain Bola di Dalam Masjid (Foto: Arya Vidya Utama)

Dalam kaitannya dengan ritual ibadah shalat, kehadiran para pengunjung Alun-alun terbilang cukup mengganggu. Gangguan ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak yang berlari-lari sambil main bola dan gaduhnya obrolan para pengunjung yang sedang beristirahat di dalam masjid. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas. Ada juga beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung di dalam masjid, seperti memakai rok pendek saat berkunjung dan membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berfoto-foto di Dalam Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

***

Alun-alun Bandung saat ini telah berhasil kembali kepada fungsinya sebagai ruang publik dan tempat berinteraksi warga Bandung yang sempat hilang dalam dua dekade terakhir. Namun keberhasilan ini perlu dibarengi dengan perbaikan di beberapa sisi seperti sistem penyimpanan alas kaki, dan penanggulangan dampak negatif terhadap Masjid Raya Bandung.

____

Catatan: Pengumpulan data dilakukan pada 25 Januari 2015.

Para Kontributor Tulisan (Foto: Arya Vidya Utama)

 

Kontributor:

Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Candra Asmara S. (@candraasmoro)

Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Nasir Abdurachman

Ganesha Wibisana (@wibisanaaa)

Bambang Satriya (@bamuban)

Gita Diani Astari (@gitadine)

Hanifia Arlinda (@niviarlinda)

Nida Mujahidah Fathimah (@denidaa_)

Yuningsih

Arif Abdurahman (@yeaharip)

Yanti Maryanti (@adetotat)

Reza Nugraha (@aphrareja)

Rizal N.

Fajar A. (@fajarraven)

Deris Reinaldi

Taufik N. (@abuacho)

Kukun Kusnandar

Syamsul Arifin

Eka Arif Kurniawan (@ekaarif)

Iyan Supiyani (@AangIanzHolic)

Fuji Rahmawati (@nersfuji)

Alifia Rachmanitia Sudrajat

Al-Amin Siharis (@amincun)

Mesjid Cipaganti: Sebuah Cerita Dari Masa Lalu

carpe diem

Masjid Cipaganti Teempo Dulu

Jika mencari Mesjid di kawasan Cipaganti, tujuan kita pasti Mesjid Cipaganti. Mesjid yang tergolong besar ini ternyata memiliki cerita masa lalu yang menarik untuk dipelajari. Kenapa tidak. Jika kita membaca peta Bandung era kolonial, kita akan menemukan lokasi Mesjid Cipaganti berada di kawasan perumahan orang Eropa.

Pada awalnya, telah ada kampung di kawasan Cipaganti. Kampung tersebut adalah Kampung Cikalintu. Kampung Cikalintu yang telah memiliki penduduk dipilih oleh Wiranatakusumah II sebagai lokasi ibukota baru. Hal ini terjadi karena Kampung Cikalintu memiliki sumber mata air atau pangguyangan badak putih dimana merupakan salah satu syarat pemilihan lokasi ibukota.

Sayangnya, Kampung Cikalintu berlokasi sangat jauh dari Jalan Raya Pos. Oleh karena itu, Wiranatakusumah II diharuskan mencari lokasi ibukota yang dekat dengan Jalan Raya Pos. Akhirnya, Wiranatakusumah II menetapkan Kampung Bogor sebagai lokasi ibukota baru. Karena pencarian lahan pengganti, muncullah nama Cipaganti yang bermakna “lahan pengganti”.

Peta Bandung 1945

Kembali ke Mesjid Cipaganti. Mesjid Cipaganti pada awalnya berada di Nylandweg. Nylandweg ini berdekatan dengan Lembangweg atau Jalan Setiabudi. Kemudian beberapa tahun setelah kemerdekaan, Nylandweg diganti dengan nama Jalan Cipaganti.

Mesjid Cipaganti yang berada di Jalan Cipaganti memiliki informasi–informasi penting. Informasi–informasi tersebut berdasarkan plakat yang terpasang di Mesjid Cipaganti, antara lain:

1. Pembangunan Mesjid Cipaganti ini dimulai dari 7 Februari 1933 sampai 27 Januari 1934 sehingga memakan waktu kurang dari setahun.

2. Batu pertama Mesjid Cipaganti diletakkan oleh Raden Tg. Hassan Soemadipaadja yang menjabat bupati Bandung, Raden Rg. Wirijadinata yang menjabat patih Bandung, dan Raden Hadji Abdoel Kadir yang menjabat hoofd penghulu Bandung.

3. Mesjid Cipaganti dirancang oleh Prof. C. P. Wolff Schoemaker.

Plakat pada Mesjid Cipaganti

Plakat di Mesjid Cipaganti

Sang arsitek Mesjid Cipaganti, Prof. C. P. Wolff Schoemaker sangat terkenal dengan mengambil konsep arsitektur Jawa, yang sepertinya diterapkan pada Mesjid Cipaganti. Konsep ini dipasang dengan pemakaian atap berundak pada tengah bangunan, mustoko pada atap bangunan, dan soko guru tatal sebagai empat tiang utama.

Plakat Rehabilitasi dan Pengembangan Mesjid Cipaganti

Pada tanggal 28 Oktober 1983, Mesjid Cipaganti direhabilitasi dan diresmikan oleh Walikota Ateng Wahyudi. Rehabilitasi ini dilakukan dari 2 Agustus 1979 sampai 31 Agustus 1983. Rehabilitasi ini menghasilkan sayap kiri dan kanan pada Mesjid Cipaganti. Walaupun telah direhabilitasi, kita masih bisa menikmati bangunan asli dari Mesjid Cipaganti.

Sumber foto :

Komunitas Aleut