Momotoran Gas Tipis ke Timur: Jejak Kereta Api, Ubi Cilembu, Radio Rancaekek, sampai Candi

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Saya senang karena selalu ada cerita berbeda di setiap Momotoran. Diawali dengan keberangkatan yang agak siang dan perjalanan yang mengarah ke timur, terasa asing karena biasanya jalur selatan yang selalu menjadi jalur utama setiap kali momotoran.

Tema momotoran kali ini adalah Jejak Kereta Api Bandung-Tanjungsari. Sabtu, 30 Januari 2021, saya bersama teman-teman ADP 2020 menyambangi beberapa tempat yang berkaitan dengan jejak jalur Kereta Api Bandung-Tanjungsari yang sudah lama tidak aktif. Kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut melalui jalur yang sering saya sebut sebagai jalur neraka, karena kemacetannya yang selalu menguji kesabaran, Jalan Soekarno Hatta lalu Cibiru-Cileunyi-Jatinangor.  

Atas: Plang Makam
Bawah: Jembatan Cincin diambil dari pemakaman
Foto: Inas Qori Aina

Tempat pertama yang kami tuju adalah Jembatan Cincin di Cikuda, Jatinangor. Jembatan ini biasanya hanya saya pandangi dari kampus tempat saya berkuliah. Baru kali ini saya menginjakkan kaki di atas jembatan ini. Bukan Cuma berjalan di atasnya, tapi kami pun menyempatkan untuk turun ke bawahnya dan mengamatinya dari area persawahan. Di bawah sini ada sebuah permakaman kecil yang katanya ada makam keramatnya, tapi entah makam yang mana. Dari pemakaman kecil ini kami dapat melihat secara utuh konstruksi jembatan itu.

Cukup lama kami eksplorasi di sekitar Jembatan Cincin Cikuda, sesekali kami juga menyimak berbagai informasi dan cerita yang disampaikan. Berikutnya, kami berangkat lagi menuju titik selanjutnya, yaitu Jembatan Cincin Kuta Mandiri. Untuk menuju jembatan ini kami melalui jalan perdesaan dengan pemandangan sawah yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Jembatan ini terletak di tengah Desa Kuta Mandiri, Tanjungsari, sehingga tak heran masih menjadi jalur utama mobilitas warga desa. Ketika kami tiba di sana kami pun harus berhati-hati karena banyaknya kendaraan yang melintas di jembatan ini.

 Jembatan Cincin Kuta Mandiri Foto: Inas Qori Aina

Bentuk jembatan ini mirip dengan Jembatan Cincin Cikuda. Bedanya, di jembatan ini masih dapat dijumpai semacam tempat yang dulu digunakan untuk minggir (safety area) di saat kereta api melintas.

Setelah mendapatkan cerita tentang sejarah jembatan ini, kami bergegas menuju bekas Stasiun Tanjungsari. Bangunan bekas stasiun tersebut kini terletak di tengah permukiman warga yang cukup padat. Hanya sedikit peninggalan yang dapat saya lihat, yaitu papan nama stasiun serta bangunan bekas peron stasiun yang kini digunakan entah sebagai rumah atau taman kanak-kanak. Menurut Pa Hepi, bagian depan dari Stasiun Tanjungsari kini sudah tidak tersisa lagi.

Yang tersisa dari bekas Stasiun Tanjungsari foto: Inas Qori Aina

Tidak jauh dari Stasiun Tanjungsari, terdapat viaduct Tanjungsari yang dibangun melintasi Jalan Raya Pos. Bentuknya mirip dengan viaduct yang berada di Bandung. Hanya saja, Viaduct Tanjungsari tampak lebih sederhana dan lebih pendek.

Dari Tanjungsari kami melanjutkan perjalanan ke Citali. Saya dan teman-teman berhenti di pinggir jalan untuk memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki, ngaleut, menuju area persawahan milik warga sana. Siapa sangka, di tengah area sawah milik warga terdapat dua buah struktur bekas fondasi jembatan yang tidak selesai dibangun. Kami hanya memandangi struktur tersebut dari kejauhan, karena tidak berani melintasi jembatan kayu kecil yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang terlihat tenang tapi mungkin cukup dalam.

Jembatan kayu menuju bekas jembatan kereta api di Citali Foto:Inas Qori Aina

Perjalanan ini tidak cukup sampai di Citali, dan bukan hanya tentang kereta api. Satu yang tak kami lewatkan yaitu untuk mampir ke sentra ubi Cilembu yang berada di Desa Cilembu. Ketika memasuki gapura desa tampak kebun ubi yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Kami pun menyempatkan untuk mampir ke sebuah warung ubi Cilembu milik seorang warga lokal. Di sini kami berbincang mengenai asal mula berkembangnya ubi Cilembu hingga menjadi oleh-oleh yang terkenal saat ini.

Kebun ubi Cilembu Foto: Inas Qori Aina

Oleh-oleh ubi Cilembu telah kami kantongi, saatnya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Perjalan pulang kami melewati jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Perjalanan kami melewati Parakan Muncang dan melewati jalur Cicalengka-Rancaekek. Di tengah jalan raya Rancaekek tampak plang yang tidak telalu besar bertuliskan “Situs Candi Bojong Menje”. Untuk menuju situs candi tersebut kami harus memasuki sebuah gang yang cukup kecil. Saya tak habis pikir ketika tiba di sini. Konstruksi batuan candi hanya dilindungi oleh sekeliling pagar yang sudah karatan serta atap yang rusak.

Berbincang dengan Pak Ahmad, kuncen Candi Bojong Menje Foto: Komunitas Aleut

Di sini kami berbincang dengan penjaga candi yaitu Pak Ahmad. Ia menceritakan bagaimana awal mula penemuan situs ini serta kemungkinan masih adanya struktur candi lain yang kini berada di tengah bangunan pabrik.

Tak lama, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah bangunan bekas Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom). Kata Pa Hepi, bangunan tersebut kini digunakan sebagai bengkel entah oleh siapa dan masih dimiliki oleh PT Telkom.

Waktu semakin petang, kami mengejar waktu agar sempat untuk melihat satu lagi candi yang masih terletak di Kabupaten Bandung. Beruntungnya, matahari masih mau menemani kami sehingga saat kami tiba keadaan belum terlalu gelap. Candi terakhir yang kami singgahi adalah Candi Bojongemas. Keadaan di sini justru lebih parah daripada Candi Bojong Menje. Papan informasi sudah berkarat dengan tulisan yang tidak cukup jelas. Batuan candi pun hanya dikelilingi oleh pagar kayu yang sangat rentan untuk rusak.

Keadaan di sekitar Candi Bojongemas Foto: Inas Qori Aina

Hanya sebentar kami melakukan pengamatan, keadaan pun semakin gelap. Tandanya perjalanan kami hari itu selesai, dan harus segera pulang. Di perjalanan pulang, pikiran saya tak karuan merenungkan pengalaman dari perjalanan Momotoran ke kawasan timur yang baru saja saya lalui, seperti yang tidak asing karena sering dilalui, tapi ternyata punya banyak peninggalan masa lalu yang rasanya tidak terlalu populer dan jarang dibicarakan orang…

***

Iklan

Kereta Api, Cilembu, dan Candi

Ditulis oleh: Farly Mochamad

Sabtu, 30 Januari 2021 lau, saya ikut kegiatan Aleut Development Program (ADP) 2020 momotoran menyusuri jejak kereta api antara Bandung-Tanjungsari. Kami berangkat agak siang dari sekretariat Aleut menuju SPBU Cinunuk untuk bertemu dengan rekan lain yang akan bergabung.

Jembatan Cincin Cikuda di pagi hari  foto: Komunitas Aleut

Dari Cinunuk, kami beranjak ke Jatinangor, melewati kampus Unpad, untuk menuju lokasi pertama, yaitu Jembatan Cincin atau kadang disebut Jembatan Cikuda, sesuai dengan nama daerah di situ. Tidak butuh waktu lama sampai kami tiba di lokasi dan berjalan di atas bekas jembatan kereta api ini.

Dari atas jembatan ini saya bisa melihat Gedung Student Center Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, Asrama Kedokteran Unpad, dan di bawah jembatan terlihat area permakaman di tengah sawah. Di arah timur terlihat Apartemen Taman Melati dengan kolam renangnya. Waktu kami datang, ada beberapa pesepeda yang sedang foto-foto dan eksplorasi seputar jembatan ini juga. Seorang tua yang sedang berfoto sambil minum air dari cangkir menuturkan bahwa dia berangkat dari Setiabudi pagi tadi. Lumayan juga perjalanannya, sepedahan dari Bandung Utara sampai ke Jatinangor, dan entah akan ke mana lagi.

Dari atas jembatan kami mencari jalan untuk turun ke bawah, ke area persawahan dan permakaman. Pak Hepi yang menyertai kami bercerita bahwa jembatan ini memiliki 11 tiang dan 10 lengkungan yang membentuk rupa cincin. Pembangunannya dilakukan pada tahun 1918 dengan tujuan sebagai jalur pengangkutan hasil perkebunan kopi dan teh dari wilayah Jatinangor ke Rancaekek dan Bandung. Saat ini bekas jembatan masih digunakan warga sekitar sebagai jalur lalu lintas antarkampung.

Jembatan Cincin Kuta Mandiri foto: Komunitas Aleut

Tempat kedua yang kami datangi berada di perbatasan Kecamatan Jatinangor dan Kecamatan Tanjungsari, dan baru saya ketahui bahwa sebenarnya ada jembatan cincin lainnya di kawasan ini. Letaknya di tengah perkampungan agak jauh dari jalan raya dan cukup tersembunyi juga, tak heran kalo banyak yang engga tahu keberadaan jembatan ini. Nama jembatan ini Jembatan Kuta Mandiri. Saat ini hanya warga sekitar saja yang memanfaatkan jembatan ini sebagai jalur jalan perkampungan.

Gedung Juang 45 Tanjungsari (atas) Viaduct (bawah) di Tanjungsari Foto : Komuitas Aleut

Jejak kereta api berikutnya yang kami datangi adalah bekas Stasiun Tanjungsari yang saat ini digunakan sebagai Gedung Juang ’45 Tanjungsari. Jalan tempat bekas stasiun ini berada ternyata bernama Jalan Staatspoorwegen (SS) dan gedungnya bernomor 23. Yang masih tersisa di sini selain bangunannya adalah papan nama stasiun yang terdapat pada salah satu dinding luar luar, letaknya di bagian atas. Di situ tertulis nama dengan ejaan lama, Tandjoengsari.

Di sini Mang Alex bercerita bahwa jalan raya yang di depan itu adalah bagian dari De Grootepostweg atau Jalan Raya Pos yang dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 yaitu Herman Willem Daendels. Untuk pembangunan lintasan jalur kereta api Tanjungsari, ada bagian dari Jalan Raya Pos ini yang dibongkar dan dijadikan viaduct. Bagian atas dan bawah viaduct ini masih digunakan sampai sekarang sebagai jalur lalu lintas, sedangkan jalur rel kereta api sudah tidak terlihat lagi, katanya sudah tertimbun sekitar satu meteran di bawah tanah.

Struktur Jembatan Kereta Api di Citali foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami ke Citali. Di sini kami berjalan ngaleut di tengah persawahan untuk menuju sebuah bekas bangunan fondasi jembatan yang tidak selesai dikerjakan. Konon karena masalah kesulitan ekonomi pada waktu itu. Selain itu ada juga dongengan soal kenapa jembatan ini tidak dapat diselesaikan, konon karena keberadaan kabut sangat tebal yang selalu menghambat pekerjaan di sana. Wah, kabut seperti apa ya itu sampai bisa menggagalkan pembangunan jembatan kereta api?

Sekitar pukul 12.30 kami beristirahat dan makan  di daerah Tanjungsari, yaitu di Warung Makan (Warman) Dua Saudara. Tempatnya sangat strategis karena berada di pinggir jalan dan kebetulan sedang kosong sehingga dapat menampung rombongan kami. Saya pikir  warman ini baru, terlihat dari catnya seperti baru dipulas, tapi warman ini sudah semi lama ternyata. Di warman ini saya memilih makanan yang sederhana saja karena taulah mahasiswa korona, paspasan kantongnya, hihihi. Saya mengambil lauknya jamur, tempe, tahu dan sambal, wait, satu lagi asin pemberian Dary yang sengaja di bagikan satu plastik olehnya, untung saja temen-temen yang lain pada gak ada yang ngambil, kecuali Pak Hepi, jadi saya bisa ambil satu lagi. Thanks ya Dary. Setelah makan selesai kami bercanda tawa.

foto bersama Ibu penjual warung (atas) Ibu penjual warung sedang bercerita (bawah) foto: Komunitas Aleut

Dari Tanjungsari, kami tidak putar balik kembali ke arah Bandung, tapi mampir dulu ke satu tempat yang namanya sangat khas dan terkenal, Cilembu. Tadinya saya pikir tempat ini masih berhubungan dengan sejarah kereta api, tapi ternyata engga. Ternyata oh ternyata, Aleut hanya ingin mengenalkan kawasan ini saja. Nama Ubi Cilembu memang sudah sangat terkenal, tapi banyak yang engga tahu di mana sebenarnya Cilembu itu. Nah, karena itulah ternyata kami diajak ke sini.

Kami berhenti di sebuah warung penjual Ubi Cilembu dekat Kantor Desa. Di sini kami ngobrol panjang sekali dengan ibu warung dan ada banyak sekali informasi yang kami dapatkan. Cerita seputar desa, berbagai jenis umbi-umbian, sampai ke pengolahan ubi yang sudah modern. Selain ubi oven yang sudah dikenal, di sini juga banyak diproduksi variasi olahan ubi, termasuk keripik yang banyak jenisnya dan sudah dipasarkan melalui marketplace. Sampai sekarang Desa Cilembu juga termasuk yang secara rutin menerima kelompok mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata di sini.

Situs Candi Bojong Menje. foto: Komunitas Aleut

Dari Cilembu kami pulang melewati Rancaekek dan tiba-tiba berhenti di tepi jalan. Di situ saya lihat ada sebuah plang kecil dengan tulisan Candi Bojong Menje. Oh, rupanya kami akan mampir melihat situs ini. Kam masuk melewati gang sempit di tengah kawasan pabrik dan permukiman. Di situs candi kami ketemu bapak penjaganya, Pak Ahmad, yang bercerita bahwa sebelum ditemukan bekas-bekas candi ini, dulunya wilayah itu adalah kompleks permakaman umum. Pak Ahmad menceritakan berbagai koleksi temuan yang tersimpan di situ sambil mengatakan juga bahwa sebetulnya di kawasan itu kalau diadakan penggalian maka masih dapat ditemukan banyak tinggalan kuno lainnya, tapi ya ada masalah soal pemilikan tanah sehingga penggalian tidak dapat dilakukan.

Ex Stasiun Penerima Radio Nirom foto: Komunitas Aleut.

Dari lokasi Candi Bojong Menje, kami masih mampir lagi ke tempat lain. Kali ini mengunjungi ex Stasiun Penerima  Radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom). Gedung depannya terlihat sangat cantik sekali menjulang tinggi dengan ciri khas bangunan Eropa. Namun sayangnya  kondisi bangunan  tidak terawat dan bisa dibilang kumuh. Sekarang gedung bangunan tersebut dikelola oleh PT TELKOM.

Plang dan spanduk Candi Bojong Emas sobek (atas) Tumpukan bebatuan Candi Bojong Emas (bawah) foto: Komunitas Aleut.

Kami tidak terlalu lama berada di lokasi bekas stasiun radio itu karena hari sudah semakin sore. Sambil beranjak menuju pulang, kami masih sempatkan mampir ke satu lokasi lain di Sapan yang memang terlewati, yaitu situs Candi Bojong Emas. Lokasinya di pinggir Jl. Raya Sapan dekat sekali dengan Sungai Ci Tarum. Kondisi candi di sini sangat tidak terawat  dan  terkesan dibiarkan saja. Di sini terdapat pagar pembatas kayu lebih kurang satu meter dan plang spanduk yang sobek. Di bagian dalam terdapat banyak tumpukan batu kali.

Senang rasanya setiap kali momotoran bareng Aleut, apalagi hujan turun, serasa nostalgia masa kecil, hihihi. Apalagi ini adalah momotoran pertamaku di Aleut ke wilayah Timur. Di sini aku merasa pengetahuanku tentang sejarah perkeretaan apian lumayan bertambah. Dan aku baru tau juga ternyata di Bandung ada Candi,  jadi gak usah jauh-jauh deh cari candi ke daerah lain, hihihi. Pokoknya momororan kali ini enggak kalah menariknya. sampai jumpa di perjalanan momotoran selanjutnya.

***

Asyiknya Ngaliwet Bersama Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Aditya Wijaya.

Bunyi alarm membangunkan saya dari tidur lelap setelah melakukan perjalanan momotoran Pangalengan-Ciwidey kemarin bersama Komunitas Aleut. Saya bersiap untuk memacu kendaraan menuju sekretariat Aleut di Pasirluyu Hilir. Cuaca Bandung pagi hari seperti biasa dingin dan berawan. Sesampainya di sekretariat Aleut pukul 09.00 pagi, kami para peserta APD (Aleut Program Development) 2020, dengan ditemani teh Rani, bang Ridwan, dan pak Hevi, bersiap untuk melaksanakan kegiatan ngaliwet yang akan diliput oleh sebuah kanal televisi dari Jakarta.

Sambil menunggu teman-teman yang lain datang, teh Rani mebawa secercah harapan karena membeli sebungkus gorengan hangat yang memang cocok disajikan pada pagi hari. Hari semakin siang, satu persatu teman-teman berdatangan dan mulai terlihat kesibukan untuk mempersiapkan liwetan yang akan disajikan nanti. Kejadian yang membuat sedikit cemas adalah ketika teh Rani menyadari bahwa tahu dan oncom yang baru dibelinya di pasar tidak ada. Bergegaslah teh Rani dan pak Hevi menuju pasar untuk menjemput tahu dan oncom yang hilang.

Reza yang tinggal di Ciwidey pun datang membawa banyak jenis lalab yang sudah mulai jarang ditemui di pasar-pasar kota Bandung, mulai dari takokak, jotang, antanan, selada air, daun mint, dan kemangi. Tak lengkap rasanya bila ngaliwet tanpa lalab dan sambal. Soal lalab, saya sebetulnya merasa asing dengan nama-nama lalaban tersebut, karena memang sudah jarang ditemui di restoran atau warung makan biasa.

Dapur sekretariat Aleut menjadi sangat sibuk oleh teman-teman yang mempersiapkan bahan-bahan liwetan. Tugas pertama saya adalah memotong kangkung bersama pak Hevi, Ricky, Reza, dan Farly. Sementara itu, Agnia dan Madiha mempersiapkan tempe yang akan digoreng serta dibacem. Berikutnya, saya lanjutkan dengan memotong bawang merah dan bawang putih. Begini ternyata rasanya memasak, menyenangkan, ucap saya dalam hati. Setelah itu saya menggoreng tahu dan tempe, sementara Lisa menggoreng teri dan asin.

Baca lebih lanjut

Kopi Toko Djawa, Reinkarnasi Aksara Menjadi Cita Rasa

 

Kopi Toko Djawa, Reinkarnasi Aksara Menjadi Cita Rasa

Toko Buku Djawa. Photo Fan_fin

Oleh : Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Dari pakaiannya, jelas ia seorang siswi sekolah menengah atas. Dengan sedikit ragu, ia kemudian berjalan mendekati dan menyapa seorang pria yang sedang berdiri di sebuah toko buku. Dari raut wajah keduanya yang tersipu, tersirat ada sebuah rasa yang lama tertimbun telah melampaui batas waktu. Begitulah salah satu cuplikan adegan populer yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta SCTV, tiap kali akan menayangkan sebuah program bertemakan keluarga. Toko buku yang menjadi latar dari adegan tersebut adalah Toko Buku Djawa yang terletak di Jalan Braga, Bandung. Baca lebih lanjut

Roti Sumber Hidangan, Roti Legendaris Warisan Bandung

Oleh: Irfan Arfin (@Fan_Fin)

CQXFIcrU8AEOb1f

Sumber Hidangan, atau yang dulu dikenal dengan nama Het Snoephuis, adalah sebuah toko roti legendaris yang sudah berdiri sejak tahun 1929 di Jl. Braga, Kota Bandung. Het Snoephuis sendiri jika diterjemahkan secara bebas memiliki arti ‘rumah manis’, maka tak heran mayoritas makanan yang dijual di sini serba manis. Meskipun terletak di salah satu jalan yang kesohor di Kota Bandung, namun dibutuhkan usaha lebih untuk menemukan toko roti ini karena tidak terdapat plang nama toko yang terpasang di luar. Belum lagi lokasi toko yang terhalang oleh lapak para pelukis jalanan.

DSC_6437Namun tak disangka juga setelah saya masuk ke dalam, toko ini memiliki lahan yang luas dan memiliki display jadul yang cukup besar. Kondisi ini berbeda dengan sebuah toko roti legendaris lainnya, Toko Roti Sidodadi di Jl. Otto Iskandardinata, yang tergolong kecil dan sempit. Sumber Hidangan memiliki koridor jalan yang lebar dan setengah area lainnya yang dapat dipakai menyantap hidangan khas dari toko ini. Meja dan kursi yang tersedia cukup banyak sehingga para wisatawan cukup leluasa berkunjung di sini.

DSC_6436Walaupun toko roti ini terhalang oleh display bertumpuk dari pelukis jalanan Braga, namun ternyata banyak juga turis lokal ataupun mancanegara yang datang kemari karena nama Sumber Hidangan cukup populer di dunia maya. Banyak sekali blog yang membahas mengenai tempat ini, entah postingan saya ini sudah masuk urutan ke berapa di Google. Bahkan sebenarnya saya sendiri yang notabenenya merupakan warga Bandung asli baru mendengar nama toko ini 3 bulan yang lalu dari salah seorang teman saya yang berkunjung dari malang untuk mencari lokasi toko ini.

Daya tarik lain dari toko ini adalah arsitektur dan interior toko yang berkesan vintage karena masih mempertahankan desain dan gaya lama yang sangat jadul. Dekorasi foto hitam putih dan meja kursi yang khas pun tampak menghiasi toko ini.Jarak dari lantai dan langit-langit toko juga terbentang cukup jauh, sehingga kesan luas dari bangunan makin terasa.  Untuk ukuran tempat makan di jaman sekarang yang segala sesuatunya harus selfieable. Artinya, tempat makan tersebut asyik buat selfie dan di-update di media sosial, dan saya rasa Sumber Hidangan sudah masuk kriteria tersebut.

CQXFXQLUYAA-Mq7Sebuah meja kasir besar dan lengkap beserta mesin kasir raksasanya menjadi sesuatu yang cukup ikonik di Sumber Hidangan ini. Pernah nonton film Warkop DKI yang adegannya di sebuah hotel (saya lupa judulnya)? Ya, perabot dan interiornya mengingatkan saya pada film tersebut.

Toko Sumber Hidangan ini memang berniat untuk mempertahankan khas klasiknya. Namun sedikit catatan juga, sebaiknya langit-langit yang terkelupas perlu banyak perbaikan. Jarak dari lantai dan langit-langit toko juga terbentang cukup jauh, sehingga kesan luas dari bangunan makin terasa.

Dan tentunya, hal yang terkenal dari toko roti ini adalah rasa dan bentuk roti tersebut yang tak hanya enak tapi juga unik. Beberapa jenis roti memang cukup familiar seperti croissant, dan roti corong dengan fla, namun saya sendiri baru pertama kali melihat dan mencicipinya kebanyakan roti dan cake di sini. Rasa roti di Sumber Hidangan tak kalah dengan roti-roti yang sekarang banyak dijual di mall. Roti dan kue Sumber Hidangan memiliki rasa manis yang unik yang saya rasa bahkan tidak bisa diciptakan oleh merek-merek roti mall tersebut. Kemasan roti yang menggunakan kertas pun menjadi poin yang memperkuat citra klasik pada roti dan kue Sumber Hidangan.

Di sini juga kita dapat membeli beberapa makanan pendamping yang juga nikmat, salah satunya sorbet, yaitu es yang dibuat dari buah asli. Konon memang bentuk dan rasa yang dibuat di Sumber Hidangan ini masih sangat orisinil mengambil dari resep para bangsa asing yang pernah singgah di Indonesia.

Kabar lain yang beredar, bahwa toko ini akan tutup dalam beberapa tahun ke depan karena tidak dapat mempertahankan omzet dan kalah bersaing dari produk roti modern. Tentunya saya berharap Sumber Hidangan ini akan terus beroperasi, karena resep yang dimiliki toko ini benar-benar the one and only.

CQXFCdUUkAAkFA8

 

Tautan asli: http://ceritamatakata.blogspot.co.id/2015/10/roti-sumber-hidangan-het-snoephuis-roti.html

Nikmatnya Menyantap Lomie Cilie

Oleh: Fathonil Aziz (@aziztony) dan Maya Firmansyah (@Raeki91)

Bandung sebagai kota yang terletak di dataran memiliki hawa yang cukup dingin. Hal ini menimbulkan sensasi rasa luar biasa saat kita menikmati makanan atau minuman hangat di tengah dinginnya hawa Kota Bandung, apalagi ketika Kota Bandung diguyur hujan yang cukup deras di bulan November. Lomie, makanan yang identik dengan makanan khas Negeri Tirai Bambu ini dapat menjadi salah satu pilihan kuliner Kota Kembang.

20151126060315

 

Salah satu tempat yang menjual Lomie di Bandung yang cukup terkenal adalah Lomie Cilie. Nama Cilie merupakan kependekan dari lokasi jualan lomie ini, yaitu di Jalan Ciliwung, tepatnya dekat belokan yang mengarah ke Jalan Supratman. Lomie Cilie ini dijual dengan cara kaki lima, tapi rasa yang ditawarkan bisa bersaing dengan resto bintang lima.

20151126060308

Apa sih sebetulnya lomie itu? Lomie adalah sajian makanan mie berbentuk gepeng yang direbus dan disajikan dengan kuah kental. Kuah kental ini terbuat dari rebusan seafood yang ditambahkan dengan tepung maizena sebagai pengental. Sebagai pelengkap, lomie juga disajikan dengan bakso, pangsit, dan sayuran.

Pak Wahyu, pemilik Lomie Cilie, awalnya bekerja sebagai pegawai di salah satu butik pakaian di Bandung. Namun karena kejenuhan dan keinginan untuk mengubah nasib, akhirnya Pak Wahyu memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan memutuskan berjualan Lomie. Beliau belajar membuat Lomie dari salah satu temannya yang sudah terlebih dahulu menekuni pembuatan Lomie.

20151126060825

Pak Wahyu sudah 12 tahun berjualan di Jl. Ciliwung. Dulu usahanya bernama Lomie Cilie 99. Angka 99 menunjukan waktu berjualan lomie ini, yaitu dari pukul 09.00 sampai 21.00 setiap harinya. Namun belakangan ini sudah banyak yang meniru model angka pada nama usaha lomie, seperti Lomie 88 yang berarti buka dari pukul 08.00 sampai 20.00. Untuk membedakan warung lomienya dengan warung lain, Pak Wahyu lantas menghapus angka itu dari nama dagangannya, termasuk mengubah waktu bukanya menjadi 12.00 sampai 19.00 saja.

20151126060324

Menurut Pak Wahyu, setiap penjual lomie mencari keunikannya masing-masing, terutama pada kuah dan rasa pangsitnya. Pak Wahyu membuat dan meracik sendiri pangsit serta bumbu-bumbu untuk kuah lomie jualannya. Hasil olahannya ini ternyata mendapatkan banyak peminat, hampir setiap hari banyak pengunjung yang datang dan lomie jualannya habis terjual.

20151126060836

Obrolan kami terhenti sesaat setelah dua porsi lomie racikan Pak Wahyu tiba di meja. Setelah masing-masing dari kami selesai melahap habis lomie, berikut adalah ulasan tentang Lomie Cilie:

Tony

Rasa seafood dari kuah kental ini cukup kuat, sehingga menimbulkan sensasi rasa lezat pada saat pertama kali menyantapnya. Namun di bagian akhir, entah mengapa menurut saya rasa kuah kental ini malah terasa eneg. Selain itu pada sajian Lomie juga ditambahkan bakso, pangsit, dan udang goreng. Baksonya cukup enak dengan tekstur yang tidak terlalu kenyal dan keras. Pangsitnya cukup lembut dengan isian kulit ayam cincang.

Lomie yang saya santap juga dilengkapi dengan sayur, yaitu rebusan kangkung. Ini berbeda dengan lomie yang pernah saya cicipi ketika berada di Kota Surabaya. Di Surabaya, lomie menggunakan sayuran sawi hijau. Lomie ini juga ditambahkan topping berupa taburan daging ayam dengan jumlah yang cukup banyak, daun bawang cincang, dan bawang goreng.

Secara keseluruhan, lomie ini patut diberi nilai 8,25 dari skala 10.

Maya

Ini adalah pengalaman pertama saya makan lomie di Lomie Cilie. Menurut saya, rasa lomie di sini endess morodos alias sangat enak, terutama untuk kuahnya yang kental. Dalam suapan pertama, rasa lomie ini terkesan manis tapi kemudian disusul dengan sangat terasa gurih dari campuran seafood. Isi lomie ini bermacam-macam, ada pangsit, basko, kangkung, toge, dan tentu saja mie.

Di atasnya ditabur irisan daging ayam dan daun bawang yang segar. Porsi lomie di sini tidak mengecewakan, mangkuknya terisi penuh, apalagi dengan harga yang terhitung cukup murah, Rp.12.000,00 per mangkuk.

Dengan lokasi yang strategis di keteduhan pertigaan Jl. Ciliwung, harga yang terjangkau, dan olahan rasa yang tidak kalah dibanding lomie-lomie lainnya di Kota Bandung, membuat Lomie Cilie mampu bertahan lama dan tetap mendapatkan penggemar. Saya sendiri setelah mencicipi langsung merasa perlu merekomendasikan kepada teman-teman semua untuk ikut mencobanya.

Secara umum saya memberikan nilai 8 untuk rasa lomie di Lomie Cilie.

Sila datang dan menilainya sendiri 🙂

Bubur Cianjur Rasa Buah Batu

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Nasi telah menjadi bubur nasi, bukan bubur kacang.

Tempo kini, fungsi bubur tidak hanya menjadi pengingat seperti orang Tiongkok lakukan tiap hari ke-8 bulan lunar ke-12. Sekarang ini, bubur hanya berfungsi sebagai obat lapar yang dikonsumsi tanpa harus memikirkan filsafat bubur. Terkadang, bubur menjadi makanan utama bagi orang sakit.

Lebih jauh dari obat lapar dan makanan orang sakit, beberapa kota di Indonesia menjadikan bubur sebagai ikon atau simbol kuliner mereka. Salah satu kota di Indonesia yang menjadikan bubur sebagai simbol kulinernya adalah Cianjur.

Bubur Cianjur ini begitu ciamik! Saya mengatakan hal demikian karena bubur ini memiliki rasa yang menyenangkan untuk lidah saya, yakni gurih dan sedikit manis. Lalu, jeroan seperti ati, ampela, dan usus menjadi hal favorit saya dari bubur ini. Selain itu, terdapat kunyit yang memberi warna kuning terang pada bubur ini.

Saya tidak menikmati bubur Cianjur ini saat berada di Cianjur, melainkan di Buah Batu. Kios bubur ini berlokasi di depan KCP BNI Buah Batu. Ada spanduk dan plang bertuliskan “Bubur Ayam dan Kacang Khas Cianjur” yang memudahkan saya untuk menemukan kios ini.

Kios Bubur Cianjur

Kios Bubur Cianjur

Oh iya, saya bertemu dengan pemilik dan pembuat kios bernama Dede saat membeli bubur. Pak Dede telah merintis kios Bubur Khas Cianjur di Buah Batu sejak tahun 2005. Selain itu, dia juga memang berasal dari Cianjur. Sehingga bubur yang dijual memang khas Cianjur karena dibuat oleh orang Cianjur.

Nah, bagi yang tertarik untuk menikmati bubur ini, langkahkan kakimu ke Jalan Buah Batu, lalu temui Pak Dede untuk membeli satu mangkuk bubur yang buka hingga jam 1 subuh ini. Jangan lupa juga siapkan uang Rp 13.000,00 untuk menikmati seporsi buburnya.

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/11/21/catatan-kuliner-bubur-cianjur-rasa-buah-batu/

Jajan di Pasar Kuěh Baseuh Buahbatu

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Ditempo ti hareup

Poe anyeuna mah (28/2/2015) teu siga sasari, hudang sarě těh bet parait lětah. Lain pědah can ngosok huntu, ieu mah parait siga rěk gering, malah aya muriang sagala. Sanggeus nganteurkeun alo sakola ka SD Cijagra, ngadadak asa hayang kuěh balok. Kabayang amis jeung ni’matna mun seug nyaneutna sabari dibaturan ku cikopi nu rada ěncěr. Atuh ti sakola těh teu langsung balik ka imah, tapi kukurilingan heula něangan nu dagang kuěh balok.

Sapaparat Jalan Buahbatu nyasat teu kapanggih. Tadina mah rěk langsung balik, tapi barang nempo loba nu ngagimbung, kuring eureun. Di handapeun wangunan nu geus teu pati kaurus, tegesna deukeut hiji toko donat made in Aměrika, aya pasar kuěh baseuh. Asa ku kabeneren, ti tadi gě kuring těh parait lětah, barang asup ka jero pasar kasampak loba pisan kuěh nu aramis kayaning dadar gulung, jalabria, bolu kukus, kueh lapis, donat gula pasir, papais cau, jeung sajabana. Atuh puguh we kuring atoh naker, katambah marurah deuih hargana, lolobana teu leuwih ti sarěbu rupia hiji kuěh těh.

DSCN6105

Tiasa balanja sarupaning kueh baseuh

Tapi barang nempo batur nu mareuli loba, kuring asa-asa rěk balanja těh. Da ěta wě batur mah měh ngaratus meulina gě, siga jang jualeun deui. Mun meuli hijian bakal diladangan moalnya?, kitu gerentes hatěkuring. Ah tungtungna mah ngawanikeun maněh wě. “Ari ieu sabarahaan, kang?,” ceuk kuring sabari nunjuk jalabria. “Sarěbuan,” waler tukang dagang. “Kěnging měsěr hijian, maksadna moal seueur kuring mah balanjana,” tukang dagang tuluy pok ngajawab, “mangga”

Jalabria meuli tilu, dadar gulung dua. Lumayan teu loba kaluar duit. Barang diasaan, duh kacida kareueutna ieu jalabria těh. Tapi kusabab kuěh těh rupa-rupa pisan, nya kuring ngarasa kurang kěněh. Piraku ngan ukur dua rupa? Pan kueh těh loba, kitu kahayang nu rewog mah. Tuluy kuring datang deui ka tukang dagang nu běda, ibu-ibu nu dagangna těh, batur mah nyebutna gě “Bu Haji”. Teuing geus ka Mekah teuing acan, nyaho teuing ah!

“Pami ieu sabarahaan Bu Haji?”, ceuk kuring barang nempo kuěh lapis. “Sarěbu duaratus sěp.” Naha beda jeung nu si akang tadi?, nu ieu mah rada mahal.  “Manawi těh sarěbuan?”, ceuk kuring nyobaan nawar. “Badě nyandak sabaraha puluh kitu sěp?,” sabab kuring mah da euweuh niat jang jualeun deui, atuh pok wě, “Ah teu seueur, mung badě měsěr dua siki baě.” Paroman Bu Haji nu tadi darěhděh ngadadak jamědud, pědah kuring meulina teu loba meureun. Keur mah meuli ngan ukur dua siki, katurug-turug wani nawar deuih. Kuring mawa dua siki, tuluy ngasongkeun duit limarěbu. Bu Haji tuluy nyelengkeung, “Pa, tah pulangan tilurěbu.” Paromanna semu baeud, malah mikeun pulangan gě makěleungeun kěnca sagala. Teu mabrur siah haji těh!, ceuk kuring dina jero hatě, punten bakat ku kesel.

Aya oge nu dagang deungeun sangu

Aya oge nu dagang deungeun sangu

Eta nu daragang těh datang ti subuh mula, ngamimitianna jam lima nepika jam dalapan, tapi mun poě Ahad mah běrěsna rada beurang meueusan, bisa nepika jam sapuluh. Teuing ti iraha mimitina ěta pasar těh, da jelas barětona mah wangunan nu geus teu ka urus těh siga urut ruko. Ceuk salah saurang tukang parkir, cenah barěto mah kira taun 2004, nu dagang kueh těh ngan ukur duaan, tapi tuluy ngalobaan nepika teu kurang ti limapuluh urang anyeuna mah.

Salian jang jualeun deui, nu butuh kuěh jang acara rapat di kantor atawa acara ngumpul kulawarga gě loba pisan nu balanja di deui. Atuh da ěta ku rupa-rupa jeung murah hargana. Di toko mah bisa dua atawa tilu kali lipet hargana gě. Mun butuh loba pisan wayahna datangna kudu rada isuk, sabab bisi kaběakeun. Nu meulina ongkoh loba pisan, nepika ngagelek di pasar těh.

Barang kuring motoan kuěh, hasilna kurang jelas sabab ěta pasar těh ditutupan ku terpal, nu matak kurang caang. Sieun hujan meureun matak ditutupan ogě. Ngarasa geus cukup, nya tungtungna mah kuring balik sabari mawa kěrěsěk nu eusina kuěh hungkul. Tuluy eureun di tukang kopi, kabeneran di gigireunna aya tukang koran. Aya ku tegep; kuěh amis dibaturan cikopi ěncěr, sabari maca koran jeung udud! [ ]

DSCN6108

 

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/02/jajan-di-pasar-kueh-baseuh-buahbatu.html

Kopi Tiam di Warung Kopi Purnama

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Ngobrol di warung kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil

Warung Kopi Purnama di Jl. Alkateri

Nama Warung Kopi Purnama tak asing lagi di kalangan pecinta kopi di Kota Bandung. Warung yang sudah buka sejak tahun 1930 ini terkenal dengan rasa pekat kopinya walaupun secara pandangan mata terlihat cair. Tak heran setiap harinya Warung Kopi Purnama selalu dipenuhi pengunjung.

Suasana di Warung Kopi Purnama

Di pagi hari itu saya dan Vecco memandu Teh Endah, wartawan Pikiran Rakyat yang sedang mengumpulkan data mengenai Pecinan untuk artikelnya. Sambil menunggu fotografer yang datang terlambat, kami sengaja berhenti dulu di Warung Kopi Purnama untuk minum kopi. Saya memesan segelas Saat sedang berbincang bertiga, datanglah 3 orang paruh baya yang duduk di sebelah meja kami.

Awalnya kami merasa agak sungkan untuk bertanya kepada ketiga bapak ini. Namun demi kepentingan penulisan artikel, Teh Endah memberanikan diri untuk memulai bertanya kepada salah satu bapak yang duduk di sebelah kami. Tak disangka maksud kami diterima dengan baik oleh ketiganya. Salah satunya bernama Om Yosef.

Om Yosef lahir di kawasan Pecinan, tepatnya di Gang H. Sapri, 66 tahun silam. Ia bercerita bahwa Warung Kopi Purnama adalah bagian dari hidupnya yang sulit untuk dipisahkan. Sejak kecil Om Yosef dibawa ayahnya untuk nongkrong di warung kopi ini. Tradisi ini ia turunkan terus menerus hingga ke cucunya, dan menurutnya tradisi ini pula yang membuat Warung Kopi Purnama terus hidup hingga saat ini.

Cerita Om Yosef tak berhenti di situ. Pria yang bernama Tionghoa Yo Seng Kian ini fanatik sekali dengan Warung Kopi Purnama. Walaupun sekarang sudah tidak tinggal di kawasan Pecinan, 6 kali dalam seminggu setiap paginya ia datang ke sini untuk sekedar minum kopi, makan dan ngobrol dengan kawan lainnya. Bahkan saat ia bertugas di Tanjung Pinang dan Jakarta, ia akan menyempatkan diri untuk datang ke Warung Kopi Purnama saat pulang ke Bandung.

Om Yosef bukanlah satu-satunya pelanggan reguler di Warung Kopi Purnama. Di tengah obrolan kami, ia juga menyapa pelanggan lain yang duduk di meja seberang. Om Yosef kembali bercerita kalau di Warung Kopi Purnama ini suasananya sangat cair. Tak ada kubu-kubu tertentu di dalamnya. Mereka, para pelanggan reguler seperti Om Yosef, saling mengenal satu sama lain. Cairnya suasana ini tak hanya berlangsung di kalangan etnis Tionghoa saja. Menurut Om Yosef, siapapun yang datang sendirian ke Warung Kopi Purnama akan diajak untuk bergabung bersama mereka untuk sekedar ngobrol. Salah satu orang non-Tionghoa yang dulu sering bergabung dengan mereka adalah Ridwan Kamil.

***

Apa yang dilakukan Om Yosef adalah budaya yang disebut Kopi Tiam. Penamaan ini diambil dari kata ‘kopi’ dan ‘tiam’. ‘Tiam’ adalah bahasa Hokkien dari ‘kedai’, sehingga Kopi Tiam secara harfiah memiliki arti ‘kedai kopi’. Kopi Tiam sendiri merupakan budaya minum kopi saat sarapan yang dikenal di daerah Melayu seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Pada saat Kopi Tiam, biasanya akan ada makanan ringan seperti telur, roti, atau sarikaya yang disajikan bersama dengan kopi.

Budaya minum kopi sendiri bukanlah budaya asli orang Tionghoa di Tiongkok, kaena Tiongkok sendiri kental dengan budaya minum teh. Budaya minum teh di saat sarapan disebut dengan nama Yam Cha. Jadi jangan heran kalau sulit menemukan warung kopi tradisional kalau main ke Tiongkok.

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/02/18/kopi-tiam-di-warung-kopi-purnama/

Cerita Sebuah Donat di Pagi Hari

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

IMG_20141207_091951

do·nat n kue yg dibuat dr tepung terigu, mentega, gula, dsb, berbentuk bundaran yg berlubang di tengahnya

Pagi itu saat Ngaleut Jelajah Taman dan Villa, sebetulnya saya sudah sarapan dan hanya berniat untuk membeli sebotol kecil teh susu di Roti Gempol, namun niat itu luluh saat saya berjalan menuju meja kasir. Tak sampai sejengkal dari meja kasir, hidung saya mencium aroma khas donat yang baru saja diangkat dari penggorengan (iya, hidung saya memang sedikit hipersensitif kalau menyangkut urusan makanan). Tanpa pikir panjang saya mengeluarkan ekstra Rp 4.500,00 dari dompet saya untuk satu buah donat yang ditaburi gula tepung. Dalam waktu kurang dari 3 menit, donat itu sudah berada di dalam sistem pencernaan saya.

***

Asal-usul Donat

Berhubung saya hanya sebagai ahli (memakan) donat, maka kutip penjelasan mengenai asal-usul donat dari Wikipedia.

Asal-usul donat sering menjadi sumber perdebatan. Salah satu teori mengatakan donat dibawa ke Amerika Utara oleh imigran dari Belanda yang juga memopulerkan hidangan penutup lain, seperti: kue kering, pai krim (cream pie) dan pai buah (cobbler).

Cerita lain mengatakan donat berbentuk cincin diciptakan kapten kapal asal Denmark bernama Hanson Gregory. Sang kapten sering harus menyetir kapal dengan kedua belah tangan karena kapal sering dilanda badai. Kue gorengan yang dimakan ketika sedang menyetir ditusukkan ke roda kemudi kapal, sehingga kue menjadi bolong. Kebetulan bagian tengah kue juga sering belum matang, sehingga donat sengaja dibuat berlubang di tengah agar permukaan donat yang terkena minyak bertambah dan donat cepat matang.

***

Donat dan Indonesia

Jika dilihat dari kacamata kuliner lokal, jelas donat tidak masuk ke dalam katogeri kuliner nusantara mengingat merupakan produk asing (populer di Amerika). Alhamdulillah, sampai tulisan ini di-publish juga saya belum menemukan kajian serius antara donat dengan Zionisme maupun fatwa yang melarang untuk menyantap donat dengan alasan donat merupakan makanan asal Amerika Serikat yang merupakan sekutu Israel.

Di Indonesia, kita dapat menjumpai donat dengan berbagai tekstur, rupa, dan harga. Mulai dari yang teksturnya mirip batu bata hingga yang bisa lumer dengan mudah di mulut, dari yang harganya Rp. 1.000,00 hingga Rp 20.000, dan dari yang berupa seperti bola tenis hingga berupa… donat. Dengan mudah dapat melihat beberapa kotak donat yang berada di boncengan motor di pagi hari. Setidaknya kita akan melihat dua motor membawa berkotak-kotak donat, akan lebih banyak jika rumahmu tak jauh dari pabrik pembuatan donat, dan bahkan lebih banyak lagi jika di kampusmu sedang ada kegiatan danus.

Inti dari omong kosong dalam paragraf di atas adalah, donat telah menjadi bagian dari kehidupan orang Indonesia meskipun berasal dari luar Indonesia. Lihat saja bagaimana menjamurnya penjualan donat di Indonesia, mulai dari donat yang dijual oleh franchise di banyak mal dan pusat perbelanjaan lainnya hingga donat yang dijual di warung kecil dan pedangang keliling. Seringkali donat dianggap sebagai makanan Barat yang mewah, padahal dengan Rp 1.000,00 pun kita dapat menikmati sebuah donat.

Tulisan ini bukanlah propaganda, tapi menjadi pengingat bahwa suka atau tidak suka kekayaan kuliner di Indonesia itu juga dipengaruhi budaya dan kekayaan kuliner dari luar negeri. Seringkali fakta ini terabaikan atas nama nasionalisme.

___

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2014/12/10/cerita-sebuah-donat-di-pagi-hari/