Menemukan Udug-Udug, Ibu Kota Karawang Baheula


Ditulis oleh: Hevi Fauzan

“Di dalam perjalanan, kadang kita tidak menemukan apa yang dicari. Kadang, kita malah menemukan hal yang lain lagi.”

Sabtu, 5 September 2020, kami berlima melakukan perjalanan momotoran ke Kabupaten Karawang. Dalam rencana, kami akan mengunjungi Cikao, Bendungan Walahar, rumah bersejarah Rengasdengklok, Candi Batujaya, dan muara Ci Tarum di Laut Jawa. Satu rencana perjalanan untuk menyusuri objek-objek yang kaya akan sejarah.

Di tengah perjalanan, rencana mulai berubah. Karena kurang membaca peta dan tidak ada rambu penunjuk jalan di belokan menuju Jatiluhur di Kota Purwakarta, kami mengambil jalur lurus ke Cikampek. Menyadasi kesalahan di tengah perjalanan, kami akhirnya mengambil keputusan untuk langsung menuju bendungan yang membendung Sungai Ci Tarum, Bendungan Walahar. Sementara, hawa panas mulai memasuki ruang-ruang udara di dalam jaket.

Baca lebih lanjut

Iklan

Kopi Toko Djawa, Reinkarnasi Aksara Menjadi Cita Rasa

 

Kopi Toko Djawa, Reinkarnasi Aksara Menjadi Cita Rasa

Toko Buku Djawa. Photo Fan_fin

Oleh : Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Dari pakaiannya, jelas ia seorang siswi sekolah menengah atas. Dengan sedikit ragu, ia kemudian berjalan mendekati dan menyapa seorang pria yang sedang berdiri di sebuah toko buku. Dari raut wajah keduanya yang tersipu, tersirat ada sebuah rasa yang lama tertimbun telah melampaui batas waktu. Begitulah salah satu cuplikan adegan populer yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta SCTV, tiap kali akan menayangkan sebuah program bertemakan keluarga. Toko buku yang menjadi latar dari adegan tersebut adalah Toko Buku Djawa yang terletak di Jalan Braga, Bandung. Baca lebih lanjut

Cacing Dua Saduit: Tanam Paksa Kopi di Priangan

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@alexxxari)

Ada banyak istilah atau ungkapan untuk menjelaskan “masa” atau “zaman” yang telah lama terjadi. Biasanya dalam bahasa Indonesia digunakan kalimat “zaman dahulu kala” atau “masa lalu”, untuk menerangkan suatu peristiwa yang telah terjadi pada waktu lampau.

Memang, frase seperti “zaman dahulu” atau “masa lalu” tidak mengacu pada waktu atau saat yang tepat terjadinya zaman tersebut. Bisa saja dengan menyebutkan “zaman dahulu kala” mengacu pada zaman kerajaan atau mungkin bahkan ke zaman purba. Dengan kata lain, frase tersebut tidak menggambarkan suatu keterangan waktu yang pasti.

Namun, ada pula ungkapan dan istilah yang memiliki makna menerangkan suatu periode tertentu secara spesifik. Dalam ranah pencinta sejarah tempo dulu dikenal istilah “jaman normal”. Istilah tersebut mengacu pada masa sebelum terjadinya perang dunia ke-2 di Hindia Belanda. Tentu saja, istilah tersebut muncul karena suatu peristiwa atau kebiasaan yang terjadi ketika itu.

Dalam bahasa Sunda ada beberapa ungkapan untuk menunjukkan keterangan waktu lampau. Misalnya ungkapan “jaman bedil sundut”, “jaman tai kotok dilebuan”, dan “jaman cacing dua saduit”.

“Jaman bedil sundut” merujuk pada masa setelah senapan mulai dikenal. Istilah tersebut mengacu pada jaman kompeni Belanda yang memperkenalkan penggunaan senapan (bedil) yang harus disulut (sundut) terlebih dulu untuk dapat digunakan.

Ungkapan “jaman tai kotok dilebuan” (tai ayam ditaburi abu gosok) agak sulit dihubungkan dengan suatu periode waktu tertentu. Namun, setidaknya istilah tersebut dapat ditemukan asal-usul kemunculannya. Istilah tersebut lahir dari kebiasaan yang dilakukan pada saat itu, jika seseorang terkena kotoran ayam, mereka terbiasa tidak membilasnya dengan air, tetapi menaburi kotoran tersebut dengan abu gosok. Ketika kotoran ayam tersebut mengering mereka hanya perlu menghentakkan kakinya ke lantai rumah dan kotoran itu akan jatuh dengan sendirinya.

Sedangkan untuk ungkapan atau istilah “jaman cacing dua saduit” dapat dilacak sejak kapan digunakan dan kisah apa yang terjadi di balik munculnya ungkapan tersebut. Almarhum “Kuncen Bandung” Haryoto Kunto menuliskan dalam bukunya Baca lebih lanjut

Kopi Tiam di Warung Kopi Purnama

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Ngobrol di warung kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil

Warung Kopi Purnama di Jl. Alkateri

Nama Warung Kopi Purnama tak asing lagi di kalangan pecinta kopi di Kota Bandung. Warung yang sudah buka sejak tahun 1930 ini terkenal dengan rasa pekat kopinya walaupun secara pandangan mata terlihat cair. Tak heran setiap harinya Warung Kopi Purnama selalu dipenuhi pengunjung.

Suasana di Warung Kopi Purnama

Di pagi hari itu saya dan Vecco memandu Teh Endah, wartawan Pikiran Rakyat yang sedang mengumpulkan data mengenai Pecinan untuk artikelnya. Sambil menunggu fotografer yang datang terlambat, kami sengaja berhenti dulu di Warung Kopi Purnama untuk minum kopi. Saya memesan segelas Saat sedang berbincang bertiga, datanglah 3 orang paruh baya yang duduk di sebelah meja kami.

Awalnya kami merasa agak sungkan untuk bertanya kepada ketiga bapak ini. Namun demi kepentingan penulisan artikel, Teh Endah memberanikan diri untuk memulai bertanya kepada salah satu bapak yang duduk di sebelah kami. Tak disangka maksud kami diterima dengan baik oleh ketiganya. Salah satunya bernama Om Yosef.

Om Yosef lahir di kawasan Pecinan, tepatnya di Gang H. Sapri, 66 tahun silam. Ia bercerita bahwa Warung Kopi Purnama adalah bagian dari hidupnya yang sulit untuk dipisahkan. Sejak kecil Om Yosef dibawa ayahnya untuk nongkrong di warung kopi ini. Tradisi ini ia turunkan terus menerus hingga ke cucunya, dan menurutnya tradisi ini pula yang membuat Warung Kopi Purnama terus hidup hingga saat ini.

Cerita Om Yosef tak berhenti di situ. Pria yang bernama Tionghoa Yo Seng Kian ini fanatik sekali dengan Warung Kopi Purnama. Walaupun sekarang sudah tidak tinggal di kawasan Pecinan, 6 kali dalam seminggu setiap paginya ia datang ke sini untuk sekedar minum kopi, makan dan ngobrol dengan kawan lainnya. Bahkan saat ia bertugas di Tanjung Pinang dan Jakarta, ia akan menyempatkan diri untuk datang ke Warung Kopi Purnama saat pulang ke Bandung.

Om Yosef bukanlah satu-satunya pelanggan reguler di Warung Kopi Purnama. Di tengah obrolan kami, ia juga menyapa pelanggan lain yang duduk di meja seberang. Om Yosef kembali bercerita kalau di Warung Kopi Purnama ini suasananya sangat cair. Tak ada kubu-kubu tertentu di dalamnya. Mereka, para pelanggan reguler seperti Om Yosef, saling mengenal satu sama lain. Cairnya suasana ini tak hanya berlangsung di kalangan etnis Tionghoa saja. Menurut Om Yosef, siapapun yang datang sendirian ke Warung Kopi Purnama akan diajak untuk bergabung bersama mereka untuk sekedar ngobrol. Salah satu orang non-Tionghoa yang dulu sering bergabung dengan mereka adalah Ridwan Kamil.

***

Apa yang dilakukan Om Yosef adalah budaya yang disebut Kopi Tiam. Penamaan ini diambil dari kata ‘kopi’ dan ‘tiam’. ‘Tiam’ adalah bahasa Hokkien dari ‘kedai’, sehingga Kopi Tiam secara harfiah memiliki arti ‘kedai kopi’. Kopi Tiam sendiri merupakan budaya minum kopi saat sarapan yang dikenal di daerah Melayu seperti di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Pada saat Kopi Tiam, biasanya akan ada makanan ringan seperti telur, roti, atau sarikaya yang disajikan bersama dengan kopi.

Budaya minum kopi sendiri bukanlah budaya asli orang Tionghoa di Tiongkok, kaena Tiongkok sendiri kental dengan budaya minum teh. Budaya minum teh di saat sarapan disebut dengan nama Yam Cha. Jadi jangan heran kalau sulit menemukan warung kopi tradisional kalau main ke Tiongkok.

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/02/18/kopi-tiam-di-warung-kopi-purnama/

Kopi Javaco

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Bagi Bapak saya, kopi itu selalu kopi “Javaco”. Bukan kopi “Aroma” yang terkenal karena mendapat publikasi luas dari berbagai media, bukan juga kopi “Malabar” atau kopi instan dalam kemasan sachet. Kegemaran bapak pada kopi ini dulu sudah sampai dalam tahap fanatik. Bapak tidak akan ngopi kalau kopinya bukan kopi Javaco jenis arabica. Ya itu sudah suatu keharusan kopi arabika dari “Javaco, bukan Melange (robusta) dan bukan juga “Tip top”  Javaco, walaupun kedua jenis tadi berasal dari toko kopi yang sama.

Masih teringat Mamah akan bersusah payah untuk membeli kopi arabika dari Javaco jika persediaan kopi tersebut dalam toples kaca bekas permen sudah akan habis. Kebetulan Mamah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit “Iyen” di Jl. Kebon Jati, tak jauh dari toko kopi Javaco. Kurang lebih 50 meter jaraknya. Namun walaupun jaraknya tidak begitu jauh, masalah membeli kopi ini bukanlah perkara yang mudah, karena toko kopi ini hanya buka hingga pukul 14.00 saja, pada saat yang sama jam kerja Mamah di rumah sakit baru saja selesai.

Mamah biasanya berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara menitip beli pada pesuruh di rumah sakit, namun kadang kala pesuruh tersebut tak mudah juga ditemukan. Bila sudah seperti ini, urusan membeli kopi ini akan menjadi masalah saya yang akan disuruh untuk membeli ke toko yang menjual kopi Javaco. Dengan berbekal pesan yang harus diingat, “Kopi Javaco Arabica” dan kadang kala berbekal bungkus kertas coklat kopi ini sebagai contoh, saya akan berangkat naik angkot ke toko kelontong yang menjual kopi ini.

Interaksi saya dengan kopi ini tak sebatas hanya bertugas membeli saja. Dulu ketika SD, saya sangat suka kopi, bukan susu seperti lazimnya anak kecil dalam masa pertumbuhan, melainkan kopi hitam kental seperti kopi Bapak. Bedanya kopi Bapak disajikan dalam cangkir dan dinikmati sambil merokok keretek yang sebelumnya telah dibasahi ampas kopi yang Bapak peroleh dari permukaan kopi tersebut. Sedangkan saya menikmati kopi dalam gelas dan tentu saja tanpa rokok hehe. Saya akan meminta dibuatkan kopi, kadang pagi, siang atau malam. Tak mengenal waktu dan tak peduli dengan ledekan “seperti orang tua” atau “seperti mbah yang diberi sesaji” atau anggapan bahwa kopi bisa bikin bodoh.

Sudah lama cerita seputar kopi Javaco ini terkubur. Kefanatikan Bapak terhadap kopi ini pun berjurang. Baru diawal tahun 2014 lalu saya dapat lebih kenal dan mengetahui lebih jauh mengenai kopi Javaco. Saat itu saya secara tak sengaja menemukan alamat kopi Javaco ini tercatat pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936). Pada buku telepon ini tercatat nama “Javaco, Koffiefabriek”, lalu ada nama Directeur: Lie Kiem Gwan dan alamat di Kanomanweg 46.

Saya ingin tahu siapakah sebenarnya “Liem Kiem Gwan” dan di manakah letak Kanomanweg yang asing bagi saya, karena sepengetahuan saya bahkan di kompleks jalan perwayangan di sekitar daerah Pajajaran pun tak ada jalan dengan nama demikian. Akhirnya saya memberanikan diri untuk singgah ke toko kopi yang terletak di jalan Kebonjati ini. Pada beberapa kesempatan saya dapat bertemu dengan Pak Hermanto dan Pak Budi, anak-anak dari keluarga pemilik pabrik kopi Javaco.

Kopi Javaco Bandung, menurut generasi ke-tiga pemilik kopi ini, sudah berdiri sejak tahun 1928. Menurut mereka Liem Kiem Gwan adalah pendiri kopi Javaco dan merupakan kakek mereka. Liem Kiem Gwan merantau dari Malang ke Bandung. Pada awalnya membuka usaha teh dan kopi, namun kemudian lebih fokus pada penjualan kopi saja. Sebagai bukti bahwa kopi Javaco ini berdiri sejak 1928 adalah alamat toko ini sudah tercatat pada “Gouvernements Bedrijf der Telefonie Interlocale Gids voor Java en Madoera” Uitgave Januari 1930, bijgewerkt tot 20 December 1929.

Sangat kebeteluan sekali pemilik kopi Javaco saat ini masih menyimpan buku telepon dari era kolonial tersebut. Keterangan yang tercatat dalam buku telepon Jawa & Madura 1930, pada halaman 31, adalah: Koffiefabriek Javaco Dir. Lie Kiem Gwan, Tjikakak 44-46 no telepon Bd 544. Ternyata pada buku tersebut ditemukan pula bahwa Lie Kiem Gwan juga membuka usaha percetakan/drukkerijen bernama “Javaco Press” dengan keterangan alamat yang sama dengan pabrik kopi Javaco.

Selanjutnya, pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936) tercatat: Javaco, Koffiefabriek, Directeur: Lie Kiem Gwan, Kanomanweg 46, dengan nomor telepon Bd 156. Saat ini toko kopi Javaco beralamat di Jalan Kebonjati No. 69 menempati bangunan antik dua lantai yang didominasi warna putih dan hijau. Bagian depan bangunan ini dikhususkan sebagai toko untuk menjual produk-produk Javaco, sedangkan bangunan lantai atas serta bangunan belakang yang tembus hingga ke Jalan Durman difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga pemilik kopi Javaco. Pak Hermanto, salah satu pemilik kopi Javaco saat ini, juga pernah berbaik hati memperlihatkan surat bangunan toko ini yang berangka tahun 1800-an dan memuat lambang Kerajaan Belanda pada kertasnya.

Letak toko ini sekitar 50 meter ke arah timur dari perempatan jalan Gardujati, Pasirkaliki dan jalan Kebonjati. Bangunan toko ini tepat bersebelahan dengan bekas Hotel Surabaya yang sekarang menjadi sebuah hotel moderen. Di antara kedua gedung ini terdapat sebuah jalan kecil bernama Gg. H. Basar.

Toko ini buka dari hari Senin hingga Sabtu. Pada hari Jum’at buka dari pukul 09:00 sampai 14:00. Saat ini toko kopi Javaco menjual 3 jenis kopi, grade satu yaitu kopi arabika, grade dua adalah melange/robusta dan grade ketiga diberi label tiptop. Dahulu jenis kopi yang dijual di toko ini ada 5 macam, termasuk after breakfast sudah tidak diproduksi lagi.

Memasuki toko Javaco akan segera terasa suasana tempo dulu yang masih tetap dipertahankan keasliannya. Mulai dari kotak surat yang masih bertuliskan Brieven di pintu depan, lantai keramik bermotif yang lawas, kaca patri, dan konter toko berbahan kayu jati. Selain itu ada juga benda-benda lawas seperti motor vespa antik atau mesin pengggiling kopi tempo dulu. Di dinding toko terpajang lukisan berukuran besar bergambar biji-biji kopi serta secangkir kopi dan sehelai daun kopi, di bagian bawah lukisan tertulis “van Plant tot Klant” (Tanaman bagi Pelanggan).

Toko kopi Javaco masih mempertahankan kemasan yang sudah menjadi ciri khasnya sejak lama. Bubuk kopi dikemas dalam kantong kertas coklat bergambar pabrik kopi dengan tulisan “Javaco Koffie”, di bagian atas bungkus tertulis harga dalam bahasa Belanda “Prys/Prijs“. Pada bagian bawah kemasan tertulis “Dapat dibeli di Kebonjati 69, Bandung-Indonesia.” Kemasan coklat ini dapat terus dipergunakan untuk menyimpan kopi yang sudah dibeli agar aromanya tidak hilang dengan saran agar disimpan di toples kaca yang kedap udara. Selain dapat dibeli di tokonya langsung, kopi produksi Javaco juga dapat dibeli di beberapa toserba, di antaranya toko “P&D Setiabudhi”, yang  menurut pak Hermanto serta pak Budi, telah menjadi pelanggan kopi Javaco sejak lama.

Bila toko tempat menjual kopi Javaco terletak di Jl. Kebonjati, maka pabrik tempat mengolah dan menyimpan biji-biji kopi sebenarnya terletak terpisah, yaitu di Jalan Kasmin. Pabrik kopi ini memiliki dan mendatangkan kopi dari kebun-kebun mereka yang terletak di Jawa Timur. Pabrik ini menggunakan dua jenis pengolahan yaitu Wet Indische Bereiding disingkat WIB yang artinya pengolahan basah serta Ost Indische Bereiding (OIB) yang artinya pengolahan kering.

Demikianlah sekilas cerita salah satu produsen kopi tertua di Bandung.