Catatan Kelas Literasi: Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman

Mengapresiasi film (dan musik) sudah menjadi salah satu kegiatan rutin di Komunitas Aleut. Pada kesempatan kali ini untuk kedua kalinya digelar Kelas Apresiasi Film bagi para peserta Aleut Development Program 2020 (ADP-2020). Film terpilih kali ini adalah “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” karya sutradara Garin Nugroho.

Film ini dipilih karena menceritakan sosok Tjokroaminoto yang punya peranan penting dan sangat berpengaruh sebagai salah satu tonggak perjuangan ke-Indonesia-an.  Latar ini juga yang menjadi daya tarik dan penyemangat saya untuk menonton filmnya dengan sungguh-sungguh.

“Guru Bangsa: Tjokroaminoto” adalah film garapan Garin Nugroho yang pertama kalinya saya tonton, baru setelah usai pemutaran filmnya saya ketahui bahwa Garin merupakan sosok yang luar biasa dalam dunia perfilman. Ternyata ada banyak karya film Garin lainnya yang sepertinya selalu menjadi bahan perbincangan dalam dunia perfilman,

Sebagai penikmat film yang awam, saya membuat beberapa catatan, anggap saja sebagai refleksi random saya setelah menonton film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”. Tentu tidak mudah bagi saya untuk membuat penilaian-penilaian, bahkan rasanya sulit untuk sekadar mengatakan apakah film ini tergolong film yang “bagus” atau “buruk.”

Film dengan durasi dua jam empat puluh menit ini menggambarkan kehidupan dan Tjokroaminoto sedari kecil serta berbagai perjuangannya di masa dewasanya. Durasi ini cukup panjang untuk sebuah film, namun terasa masih kurang untuk menceritakan detail sosok H.O.S Tjokroaminoto.

Hemat saya, Garin hanya mengemas gambaran kasar tentang perjuangan Tjokroaminoto di Serikat Islam melawan politik Hindia Belanda, dan juga perannya sebagai guru yang akan melahirkan sosok pahlawan di masa setelahnya. Maka tentu saja film tersebut tidak akan memberikan kepuasan informasi tentang Tjokroaminoto. Namun sah-sah saja jika Garin membuat cerita seperti itu, jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih detail mungkin harus dibuat menjadi film serial.

Pembangunan cerita pada film ini maju mundur dan perlu menyimak dengan baik agar tidak kehilangan alur. Secara umum, bayangan situasi tempo dulu cukup terbantu oleh setting lansekap, pakaian, perlengkapan, dan dialog campur-campur antara bahasa Jawa, Belanda, dan Indonesia (Melayu). Ada beberapa bagian yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa adegan itu harus dimasukkan, bahkan rasanya tidak ada hubungan penting dengan filmnya secara keseluruhan. Misalnya, pada bagian tari-tarian Sukarno dengan Oetari dll yang saya kurang yakin juga kebenarannya.

Cerita dalam film ini terasa sangat hidup oleh peran aktor-aktor yang handal, terutama pemeran utama sebagai Tjokroaminoto, Reza Rahadian. Ekspresi wajah, intonasi bicara, gerak-geriknya, membuat saya terlena, jangan-jangan itu memang Tjokroaminoto dan bukan aktor Reza Rahadian. Peran-peran lain juga terasa cukup meyakinkan, seperti Semaoen, Moesso, Agus Salim, dll.

Namun saya masih dibuat bingung oleh sosok Stella yang diperankan oleh Chelsea Islan, bukan berarti Chelsea berperan buruk, namun ada kekurangan dalam perannya sehingga saya tidak menemukan sosok Stella dalam diri Chelsea. Begitu juga ada beberapa peran rakyat yang tidak begitu mendalami perannya, sehingga menjadi tidak sempurna.

Pembuatan suasana akhir abad 19 dan awal abad 20 membuat saya cukup puas menontonnya. Saya seperti betul-betul barada dalam masa itu. Tata rias dan busana terasa sangat mewakili zamannya, apalagi perbandingannya pun dapat saya lihat dalam film karena dalam beberapa bagian ditayangkan juga beberapa foto lama. Semua suasana lama yang dibikin untuk pembuatan film pada tahun 2015 ini ternyata mampu membuat saya larut dalam gambaran masa lalu yang disampaikan.

Selain oleh Tjokroaminoto, saya juga takjub pada sosok Ibu Suharsikin. Beliau selalu mendukung, setia, dan berkorban dibalik sesosok H.O.S Tjokroaminoto. Ini mengingatkan saya kepada kata-kata murid dari Tjokroaminoto yaitu, Buya Hamka. Katanya, “Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.”

Selain catatan di atas, saya sebenarnya sering kurang menangkap alur cerita dan hubungan sebab-akibat beberapa adegan, seperti apa hal pertama yang membuat Tjokroaminoto menjadi sangat dikenal di kalangan rakyat, atau apa penyebab konflik antara orang Tionghoa dan orang pribumi yang dapat diredakan begitu saja oleh Tjokroaminoto.

Segitu saja catatan saya, tapi ketika berdiskusi usai pemutaran film, ada beberapa hal lain yang disampaikan oleh temen-temen ADP, sebagian yang saya tangkap saya catatkan juga saja di sini.

Inas merasa bagian musiknya terasa mengganggu dan mendapatkan penjelasan dari diskusi bahwa musiknya memang tidak sesuai zaman, misal “Surabaya Johnny” yang dalam film dinyanyikan tahun 1906 padahal lagunya baru terbit tahun 1929. Begitu juga lagu dengan judul “Terang Boelan” yang baru populer tahun 1937-1938.

Kesan dari Ervan adalah bahwa banyak tokoh yang muncul dalam film tapi tidak dijelaskan dengan baik siapa-siapanya, sehingga terasa cukup membingungkan dalam mengikuti alur cerita. Pahepi mengatakan bingung, sebenarnya film ini mau fokus pada tema apa. Hal ini ditambahkan oleh Adit, Lisa, dan Rani, dengan pertanyaan yang sama, sebenarnya inti ceritanya itu Tjokroaminoto sebagai Guru Bangsa atau peran Tjokroaminoto dalam Sarekat Islam? Pahepi juga mencatat soal latar belakang pemandangan dalam adegan dengan kereta api, yang terlihat itu di Ambarawa dan bukan di Surabaya.

Ya masih banyak catatan lain yang muncul dalam diskusi, tidak hanya yang dianggap sebagai kekurangan, tapi juga kelebihan-kelebihan film ini seperti sebagian yang sudah ditulis di atas. Paling tidak film ini dapat menjadi gambaran kasar bagi mereka yang ingin mengenal siapa itu H.O.S Tjokroaminoto. Setelah beberapa film lain tentang tokoh-tokoh bangsa juga dibuat, semoga ke depannya semakin banyak film-film sejarah dan ketokohan semacam ini diproduksi agar generasi berikutnya dapat lebih kenal lagi kepada para perintis kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.

Semoga perfilman Indonesia terus maju dan berkembang ke depannya, dan ini pasti membutuhkan sikap kritis dari kita semua, Bangsa Indonesia.

***

Iklan

Penyintas Identitas

Oleh: Ariono Wahyu (@A13xtriple)

Europa Europa-1B

Solomon Parel (Solek)  adalah salah seorang penyitas genosida Perang Dunia Kedua. Dia berhasil selamat dengan cara menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Yahudi. Kisah Solek yang diperankan oleh Marco Hofschneider ini menjadi inti cerita film “Europa, Europa” (1990). Judul asli film ini adalah “Hitlerjunge Salomon” dan merupakan adaptasi dari autobiografi Solomon Parel yang berjudul “Ich war Hitlerjunge Salomon” (1989).

Menonton film ini sekarang mengingatkan pada sebuah film lain, “The Human Stain” (2003), yang berkisah tentang pentingnya identitas bagi seseorang. Dalam film “The Human Stain” si tokoh utama menyembunyikan identitas rasnya sebagai keturunan etnis Afrika-Amerika, sedangkan “Europa, Europa” mengisahkan bagaimana perjuangan seorang Yahudi menyembunyikan identitas dengan berpura-pura menjadi seorang keturunan ras Arya.

Bagaimana indentitas seseorang menjadi faktor pembeda sekaligus faktor yang mempersatukan, konflik dan arti indentitas  suku bangsa, agama, ras dan bahkan golongan, semuanya diceritakan dalam film ini. Seorang pemuda Yahudi berusaha menghilangkan identitas fisiknya dengan cara menarik kulup penisnya agar tak terlihat bahwa dia disunat. Solek memperoleh ide tersebut ketika melihat Leny (Julie Delpy), gadis Jerman yang dicintainya menarik sweaternya menutupi kepalanya.

Dalam film ini juga diceritakan betapa ukuran-ukuran fisik  yang diklaim merupakan ciri suatu ras yang paling unggul, ternyata bisa salah. Pada suatu adegan, Solek harus diukur oleh gurunya berdasarkan ukuran-ukuran bangsa Arya, ternyata fisik Solek memenuhi kriteria sebagai keturunan ras Arya, walaupun tidak murni (campuran). Sungguh menggelikan bahwa ada ukuran-ukuran fisik yang dapat menentukan identitas seseorang merupakan ras yang paling mulia. Tapi bukan hanya ukuran fisik seperti lingkar kepala, bentuk hidung saja, bahkan cara berjalan seseorang pun bisa menjadi ciri khas suatu bangsa. Sungguh pemujaan  berlebihan terhadap keunggulan identitas fisik suatu bangsa dapat membuat kekonyolan.

Bukan hanya tantangan ciri fisik yang harus dihadapi oleh Solek. Dia juga harus bergelut dengan masalah identitas kepercayaannya (agama). Saat tinggal di asrama yatim piatu di Grodno, Uni Soviet, Solek menjadi seorang ateis, padahal dia tumbuh dan dibesarkan sebagai Yahudi yang taat. Ketika berpura-pura menjadi seorang Jerman, dia pun harus menjadi seorang Kristen.

Namun identitas juga dapat menjadi faktor pemersatu, perasaan senasib yang mengikat kebersamaan. Saat pertama kali bergabung dengan pasukan Nazi Jerman, Solek yang berpura-pura sebagai seorang keturunan ras Arya dan memanfaatkan kemampuannya berbahasa Jerman, menjalin persahabatan dengan prajurit Nazi bernama Robert (André Wilms). Ternyata Robert adalah seorang gay, dan mengetahui jika Solek adalah seorang Yahudi. Karena baik Robert maupun Solek merasa memiliki identitas rahasia yang dapat mengancam nyawa mereka masing-masing, mereka kemudian menjadi sahabat yang dipersatukan oleh perasaan senasib. Baik Solek maupun Robert memiliki identitas yang sangat dibeci oleh Nazi, yaitu Yahudi dan gay.

Bahasa sebagai salah satu identitas suatu bangsa berperan besar sebagai penyelamat bagi Solek. Solek yang lahir dan dibesarkan di Jerman, dan kemudian tinggal dan mendapatkan pendidikan di asrama yatim piatu di Grodno, Uni Soviet, menguasai bahasa Jerman dan Rusia. Ketika Solek tertangkap oleh pasukan Nazi yang menginvasi Uni Soviet, kemampuan berbahasa itulah yang membebaskannya. Dengan kemampuan berbahasanya, Solek yang berpura-pura menjadi seorang keturunan Jerman, menjadi penerjemah bagi pasukan Nazi yang menangkapnya. Diikuti dengan nasibnya yang mujur, Solek diangkat anak oleh Kapten yang memimpin pasukan Jerman yang menangkapnya, dan kemudian dikirimkan untuk bersekolah di akademi militer yang melatih “Pemuda Hitler” (Hitler Youth/ Hitlerjunge) . Solek dianggap sebagai jimat keberuntungan pasukan Nazi karena berhasil menangkap anak Joseph Stalin, berkat kemampuannya sebagai penerjemah bahasa. Solek juga terlihat maju meyerbu pasukan Uni Soviet seorang diri, padahal sebenarnya dia ingin lari kembali ke Uni Soviet.

Walupun sudah relatif aman dengan menyamar sebagai seorang Jerman, Solek tak bisa mengingkari nuraninya sebagai Yahudi. Pertentangan identitas tersebut mencapai puncaknya pada saat Solek mencari keluarganya di ghetto Yahudi di Polandia. Dia melihat betapa mengengenaskannya kehidupan tahanan di kamp interniran Yahudi tersebut. Akhirnya Solek melarikan diri dari pasukannya saat dia menghadapi pasukan Uni Soviet. Dia pun dapat bertemu dengan kakaknya, Isaac, dan kembali menjadi Yahudi.

Identitas tergambarkan begitu penting di dalam film ini. Solek harus bergelut dengan identitas-identitas untuk dapat bertahan hidup. Perjuangannya untuk selamat dari episode mengerikan Perang Dunia Kedua, membuat Solek yang seorang Ibrani, harus menjadi ateis lalu menjadi fasis. Namun pada akhirnya dia tak dapat membohongi dirinya, dan kembali menjadi seorang Yahudi.

Jadi apa identitas dirimu?  Nasionalis, fasis, fundamentalis, zionis, ateis? Silahkan anda sendiri yang menentukan dan memberinya makna.

Europa Europa: Sulitnya Menjadi Yahudi di Tanah Eropa pada Perang Dunia Ke-2

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Europa Europa (1991)

Solomon Perel adalah seorang Yahudi keturunan Polandia yang tinggal di Jerman. Di malam Bar Mitzvah[1], kediaman keluarganya diserang pendukung Nazi. Ia berhasil kabur dari jendela kamar mandi dan bersembunyi di dalam tong kayu. Saat ia kembali, seluruh keluarganya selamat, kecuali saudara perempuannya yang terkena lemparan batu.. Mereka sekeluarga akhirnya kembali ke Polandia karena kondisi di Jerman semakin tidak kondusif.

Sejak itu, kehidupan Solomon dipenuhi berbagai macam petualangan. Kehidupannya di Polandia tidak berlangsung lama, seiring terus meluasnya ekspansi Tentara Nazi. Solomon beserta saudara lelakinya, Isaac, diperintahkan kedua orang tuanya untuk mengungsi ke tanah Sovyet. Namun di tengah perjalanan menuju Sovyet, mereka terpisah di tengah kerumunan pengungsi. Di usia yang sangat muda, Solomon berjuang sendiri di Sovyet, tanpa keluarga.

Saat akhirnya Sovyet diduduki Nazi, kondisi pun semakin sulit bagi Solomon. Ia yang sudah terdaftar sebagai anggota Komsomol[2] kembali mendapat tekanan dari Tentara Nazi. Satu per satu tahanan Nazi diinterogasi dan mereka yang kedapatan tercatat sebagai anggota Komunis dibunuh. Keberuntungan masih di pihak Solomon. Kemahirannya berbahasa Jerman menyelamatkan nyawanya. Setelah menyembunyikan kartu anggota Komsomol di dalam celananya, ia mengaku sebagai Joseph Pieters, seorang Volksdeutscher, dan keluarganya dibunuh Bolshevik di hadapan tentara Nazi. Kemampuan Solomon menguasai Bahasa Rusia dan Jerman membuatnya diangkat sebagai penerjemah bagi Tentara Nazi.

Keberuntungan demi keberuntungan terus menerus dialami Solomon. Saat berencana untuk berpindah ke kubu Uni Sovyet karena seluruh anggota di unitnya tewas, ia malah dianggap menemukan tempat persembunyian Tentara Uni Sovyet dan dianggap sebagai pahlawan. Kepahlawanan di usia yang muda ini membawanya ke sekolah paling elit untuk warga Jerman pada saat itu atas rekomendasi komandan kompinya. Namun status Solomon sebagai orang Yahudi menimbulkan konflik batin dalam dirinya. Di dalam sekolah ia didoktrin untuk membenci Yahudi dan terus diajarkan untuk menanjung Hitler, yang notabene adalah musuh bagi dirinya.

Di akhir cerita, pihak Sovyet dan Sekutu berhasil menaklukan Jerman. Solomon yang tertangkap oleh tentara Uni Sovyet hampir saja dieksekusi karena memihak tertangkap dengan pakaian berdekorasi Nazi. Lagi-lagi keberuntungan masih di pihaknya. Saat Tentara Uni Sovyet akan mengeksekusi dirinya, ia bertemu Isaac, saudara lelakinya yang sudah lama terpisah.

Film ini mengambil setting di saat Perang Dunia Ke-2, di mana Jerman yang pada saat itu di bawah pimpinan Adolf Hitler berperang melawan Yahudi dan Sekutu. Solomon di dalam film ini menggambarkan bagaimana kondisi kaum Yahudi Jerman di masa itu. Mereka secara tidak langsung dipaksa untuk terus menerus menepi dari tanah Eropa Timur seiring gencarnya invasi Nazi hingga ke tanah Sovyet. Di tanah Sovyet pun sebetulnya kaum Yahudi termarjinalkan. Di masa itu belum ada negara bagi kaum Yahudi, sehingga mereka dihadapkan pada 3 pilihan: terus mengungsi, masuk ke kamp konsentrasi, atau menyusup ke dalam Tentara Nazi. Ketiga pilihan ini bukannya tanpa resiko. Jika terus mengungsi, di pertengahan jalan mereka bisa mati terkena serangan pihak lawan. Jika masuk ke kamp konsentrasi, mereka juga bisa mati karena kondisi di sana yang sama sekali tidak layak. Jika membelot ke Nazi, mereka harus bertahan dengan konflik batin dan ketakutan akan kematian jika ketahuan oleh pihak Nazi. Pada saat itu sudah atau tidaknya seorang laki-laki disunat menjadi ciri-ciri apakah ia Yahudi atau bukan.

Hal yang membuat saya kagum akan film ini adalah ceritanya diambil dari kisah nyata Solomon Perer. Filmini diangkat dari autobiografinya yang berjudul Ich war Hitlerjunge Salomon yang terbit pada tahun 1989. Apa yang terjadi di dalam film dialami sendiri oleh Salomon Perel. Film yang didasarkan pada kisah nyata membuat saya lebih merasa masuk ke dalam jalan cerita. Sepanjang film saya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas yang terus tersisih oleh rezim yang berkuasa, bagaimana tak nyamannya hidup di tengah peperangan, bagaimana kejamnya rezim Nazi kepada kaum Yahudi, bagaimana beratnya konflik batin yang dirasakan, dan bagaimana rasanya diteror ketika hidup di dalam ‘kebohongan’.

______________________

[1] Upacara kedewasaan bagi remaja pria Yahudi yang sudah memasuki usia 13 tahun

[2] Divisi Pemuda Partai Komunis Uni Sovyet

Tatapan Sunyi (Kaca Mata)

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Cover film Senyap (The Look of Silence)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “kacamata” adalah lensa tipis untuk mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan (ada yang berangka dan ada yang tidak). Yang perlu digaris bawahi di sini mungkin pada bagian kalimat “menormalkan dan mempertajam penglihatan”. Dalam proses menentukan kacamata yang tepat bagi seseorang untuk dapat melihat lebih jelas, kita harus mencoba berbagai jenis dan ukuran lensa. Pada saat ditemukan kacamata dengan lensa yang tepat maka kita akan dapat melihat dengan jelas dan terang.

Memberikan penglihatan yang normal, jelas, dan lebih terang itulah yang coba dilakukan oleh Adi Rukun pada seorang kakek bernama Inong.

“Mata bapak ini yang kiri sudah ketutup”

“Jadi yang kanan”

“Ini kalo ngeliat ke sanalah, itu ada tambah terang atau tambah kabur?” tanya Adi Rukun.

“Tambah terang” jawab Inong

Selanjutnya sambil bercerita mengenai  peranan dirinya pada era selepas Gestapu, Inong mencoba berbagai lensa yang diberikan oleh Adi.

“Yang ini terang”

“Yang ini lebih terang”

“Yang ini masih kabur”

Seperti itulah jawaban Inong ketika mencoba berbagai lensa kacamata yang dipasangkan Adi. Selama proses memilih tersebut, Inong bercerita mengenai apa yang dilakukannya sebagai komandan pasukan pembantai tingkat desa. Cerita mengenai keseganan dan ketakutan warga desa pada dirinya sebagai pemimpin organisasi massa, padahal desa tersebut tujuh puluh lima persen penduduknya adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Gerwani, organisasi underbow PKI.

Dia bercerita tentang rasa darah manusia yang menurutnya “masin-masin manis”. Inong harus meminum darah tersebut untuk mencegah dirinya menjadi gila. Ada kepercayaan di antara para eksekutor jika tidak meminum darah korbannya, orang tersebut akan jadi gila, dan akan naik ke atas pohon kelapa untuk mengumandangkan adzan setiap subuh.

Cerita Inong yang lainnya adalah mengenai bentuk organ dalam payudara setelah dipotong yang menurutnya seperti saringan kelapa. Hal tersebut diketahuinya ketika dia diserahi oleh seorang laki-laki yang tak sanggup untuk mengeksekusi adik perempuannya yang anggota Gerwani.

Adegan dan cerita mengerikan tersebut adalah penggalan dari sebuah film dokumenter berjudul “Senyap” (The Look of Silence). Adegan tersebutlah yang saya rasa paling mengena dan memiliki arti yang dalam serta mewakili judul film karya Joshua Oppenheimer ini. Bila diperkenankan saya memberikan judul tersendiri untuk film ini, mungkin judulnya akan menjadi “Tatapan Sunyi/Senyap”(The Look of Silence). Tatapan Sunyi seorang Adi Rukun yang mencari tahu melalui sudut pandang pelaku, mengapa kakaknya, Ramli, seorang anggota BTI, dibantai pada saat itu.

Menurut Inong, Nabi Muhammad memang tidak pernah membunuh, namun diperbolehkan untuk membunuh musuh. Ah, tapi mungkin kakek tua bernama Inong itu lupa, jika Kanjeng Nabi membunuh musuhnya dalam peperangan. Tak pernah membunuh tahanan tanpa melalui sidang pengadilan.

Itu tadi pandangan Inong, yang sangat kebetulan “mata kirinya” sudah tertutup. Sama seperti gambarannya akan apa yang diketahuinya tentang PKI. Menurutnya, PKI itu ya Partai Komunis Indonesia, tidak bertuhan, istrimu-istriku. Bagi Inong pandangannya akan “kaum kiri” sudah tertutup, persis seperti mata kiri dan mata hatinya yang juga tertutup sehingga mampu melakukan perbuatan keji.

Adi Rukun mencoba membuka pandangan mereka yang terlibat pembantaian bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Pada film ini profesi Ardi sebagai pedagang kacamata keliling digunakan sebagai simbol pembuka pandangan tersebut. Lebih dari itu, melalui pemeriksaan mata yang dilakukannya, dia dapat melihat dan menatap langsung mata para pelaku. Mencari dan mencoba mengerti perbuatan keji yang mereka lakukan.

Pada film ini juga kita dapat mengetahui arti seorang anak di mata orang tuanya, terutama ibu. Bagaimana tersiksanya Mamak yang harus ndelok (melihat) pembunuh anaknya, Ramli, yang hidup di sekitarnya. Menurut Mamak yang usianya seratus tahun lebih itu, dia hampir gila jika tidak memiliki anak lagi dua tahun setelah anaknya Ramli dibunuh. Anak tersebut adalah Adi Rukun, adik bungsu Ramli. Dalam pengelihatan Mamak, Adi sangat mirip dengan Ramli. Ketika hamil, Mamak berdoa agar diberikan anak laki-laki yang mirip dengan Ramli. Pada saat yang sama, ” Ayah” (bapaknya Ramli/suami Mamak), sangat terpukul oleh kejadian yang menimpa anaknya, Ramli. Menurut Mamak, setelah Ramli dibantai, Ayah tak mau makan dan jarang berbicara, hanya diam di bawah pohon asam tempat biasanya Ramli sering berdiam diri.

“Mak, aku mau minum kopi”

“Baru saja airnya mendidih, ia sudah dibawa pergi”

Begitulah kesaksian Mamak, saat Ramli dibawa oleh massa. Padahal Ramli dalam keadaan terluka bersimbah darah. Sehari sebelumnya Ramli masih selamat dari pembantaian, walaupun dengan kondisi usus terburai dan badan penuh tusukan. Dia sampai ke halaman rumah dan dibawa masuk ke dalam rumah oleh Mamak. Esok harinya massa dengan menggunakan “motor” (truk) datang menjemput Ramli. Pada Mamak, mereka berdalih Ramli akan dibawa ke rumah sakit. Mamak yang tak percaya akan alasan tersebut memaksa untuk ikut, namun massa tak menginzinkannya. Rupanya di tas truk itulah Ramli menemui ajalnya. Saat sudah di atas truk, Ramli langsung dikebiri dan dicincang. Mayatnya kemudian dikuburkan di Pelintahan.

Kengerian di atas tadi serta cerita Inong sebelumnya, disampaikan dalam bentuk narasi dan penuturan saja dalam film “Senyap”. Namun dapat menimbulkan kengerian yang luar biasa bagi kita yang menontonnya. Walaupun film ini tanpa reka adegan, namun kengerian lewat narasi sudah sangat cukup mewakili.

Dengan menonton film ini kita mempunyai pandangan baru mengenai apa yang terjadi setelah peristiwa G30S/PKI. Melalui filmnya Joshua Oppenheimer ingin memberikan pandangan yang terang pada peristiwa yang selama ini selalu kelam. Setidaknya kita dapat memilih menggunakan kacamata yang mana dalam melihat peristiwa ini, apakah kacamata berlensa minus untuk melihat jelas jauh ke depan, atau tetap menggunakan kacamata kuda yang membatasi pandangan kita sehingga lebih mudah dikendalikan orang lain.

Apresiasi Film “Le Grand Voyage”

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

 Siang ini Aleutians nggak jalan-jalan menyusuri Kota Bandung. Kali ini kita menyusuri kehidupan (tsaaahh) melalui apresiasi film. Ya, Le Grand Voyage adalah film yang dipilih untuk menghabiskan waktu sambil menunggu info adzan Maghrib di timeline Twitter (ha..ha.. generasi zaman sekarang..)

Berikut profil singkat Le Grand Voyage

Directed by Ismaël Ferroukhi
Produced by Humbert Balsan
Written by Ismaël Ferroukhi
Starring Nicolas Cazalé,
Mohamed Majd
Distributed by Pyramide Distribution
Release date(s) September 7, 2004
Running time 108 minutes

Le Grand Voyage adalah sebuah film berbahasa Perancis tentang perjalan seorang ayah dan anaknya menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Film ini diawali dengan kesibukan sang anak, Reda, yang tengah memperbaiki sebuah mobil. Setibanya di rumah ia mendapat kabar bahwa ia harus menggantikan kakaknya menyupiri sang ayah ke Mekah. Hal ini karena kakaknya, Khalid, ugal-ugalan di jalan sehingga SIM nya dicabut. Jadilah dengan berat hati ia menemani sang ayah menempuh perjalanan tersebut.

Berangkat dari Perancis, perjalanan sejauh 5.000 km itu pun menjadi sebuah perjalanan panjang dengan banyak ibrah (hikmah). Namun jangan salah, meskipun membahas mengenai perjalanan haji ayah Reda, namun dimensi keislaman dalam film ini tidaklah menjadi hal yang paling ditonjolkan. Film ini mengangkat Islam dari sudut pandang yang berbeda.

Ayah Reda adalah seorang muslim Maroko yang telah tinggal di Perancis selama 30 tahun. Reda sendiri lahir di Perancis. Maka dalam film ini akan terlihat bagaimana sang ayah tidak memaksa anaknya untuk shalat seperti yang sering kita temui di budaya ketimuran. Sepanjang film, setiap kali sang ayah shalat maka Reda nampak hanya memandangi saja, tidak ikut shalat dan tidak diajak pula oleh sang ayah. Kepergiannya ke Mekah pun benar-benar hanya mengantar, tidak ada sedikitpun niat untuk sekalian ikut berhaji bersama ayahnya.

Perjalanan 5.000 km tersebut sering diwarnai ketegangan. Dalam konflik yang ditampilkan di film ini kita akan menemukan tentang perbedaan generasi tua dan generasi muda. Dimulai dari cara mereka menikmati perjalanan, sang ayah memandang perjalanan ini sebagai bagian dari ibadahnya, sedangkan sang anak ingin menjadikan perjalanan ini sebagai sebuah pesiar atau jalan-jalan. Selain itu Reda yang sejak awal memang tidak dengan ikhlas mengantar sang ayah pun menjadi gampang emosi. Perjalanan ini memberinya rasa tertekan. Reda pun sempat marah pada sang ayah saat mengetahui bahwa ayahnya telah membuang telepon selular miliknya ke dalam tempat sampah.

Ketegangan kembali terjadi saat mereka sempat nyasar dan memiliki pandangan masing-masing tentang arah jalan yang harus mereka tempuh. Reda lebih banyak menggunakan kemampuan membacanya dan menggunakan petunjuk peta sedangkan sang ayah mengikuti petunjuk alam yang bisa dibacanya. Kemudian di tengah jalan mereka pun mendapat “penumpang khusus” yakni seorang wanita bisu yang membantu mereka menemukan jalan ke Beograd. Namun Reda tak menyukai kehadiran wanita tersebut, hal ini memunculkan perdebatan di antara ayah dan anak tersebut.

Setelah meninggalkan wanita bisu tersebut di sebuah penginapan, Reda dan ayahnya kembali melanjutkan perjalanan, namun ternyata mereka terjebak hujan salju saat menuju kota Sofia. Saat menunggu hujan salju reda, Reda kembali bertanya pada ayahnya tentang mengapa mereka harus menempuh perjalanan ini jika bisa menempuhnya dengan pesawat terbang? Dan inilah jawaban sang ayah,

“Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.”

Jika kita mau memahami lebih jauh kalimat ini maka banyak pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya. Hal ini kita bahas di akhir tulisan ini saja.

Di lain waktu mereka kembali mendapat penumpang tambahan yakni seorang pria asal Turki bernama Mustapha. Pria itu membantu mereka menyelesaikan masalah saat pemeriksaan paspor ketika akan memasuki Turki. Setelah mengetahui niat mereka untuk naik haji, Mustapha mengajak dirinya sendiri untuk ikut dalam perjalanan itu. Ayah Reda tidak menyukainya meskipun Reda sendiri sangat menyukai pria tersebut. Ternyata penilaian sang ayah tidak salah. Musthapa memang memiliki maksud buruk. Musthapa membawa lari uang yang mereka siapkan di perjalanan.

Ketegangan ini menyurut saat mereka semakin dekat dengan kota Mekah. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan yang juga melakukan perjalanan darat menuju tanah suci ummat Muslim tersebut. Rombongan itu berasal dari berbagai negara ada yang dari Mesir, Lebanon, Sudan maupun Suriah. Dalam moment ini terlihat bagaimana umat Muslim merasa bersaudara meski pun mereka berasal dari negeri yang berbeda (terutama mengingat mereka memiliki tujuan yang sama yakni menunaikan ibadah haji).

Dalam seluruh rangkaian dalam film ini kita menemukan banyak hikmah diantaranya bahwa sebenarnya dalam hidup ini yang paling penting adalah proses bukan hasilnya. Manusia jika disibukkan hanya pada hasil atau tujuan akhir saja dan melupakan prosesnya, maka kita tidak akan bisa mengambil hikmah apapun dan belajar dari proses itu. Proses inilah yang akan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik.

Dalam film ini ada moment di mana sang ayah berkata kepada Reda, “Kamu bisa membaca dan menulis, tapi kamu buta dalam membaca kehidupan”. Inilah salah satu pelajaran yang bisa diambil oleh generasi muda dari generasi tua. Generasi masa kini cenderung lebih menyukai kepraktisan dan kadang lupa menikmati dan belajar dari proses yang ditempuh saat berusaha meraih tujuan. (saya sendiri pun masih harus belajar banyak tentang hal ini (^_^)v)

Selain itu film ini juga menarik karena ada sedikit kontradiksi antara sikap sang ayah yang cenderung tidak ingin dibantah dan sikap tolerannya saat anaknya memilih untuk tidak ikut shalat seperti dirinya. Ini mungkin lebih ke budaya. Bagi orang Indonesia dan budaya ketimuran, agama seorang anak menjadi hal yang bisa dicampuri oleh orang tua. Orang tua dianggap berhak menentukan sikap anaknya dalam beribadah. Namun bagi budaya barat, hal terkait agama itu menjadi hak privat yang tidak bisa dicampuri bahkan oleh orang tuanya.

Ya, film ini menjadi film yang menarik untuk ditonton sambil ngabuburit. Kita mungkin bisa sekalian memaknai bahwa puasa yang kita (umat muslim) jalani tidak semata-mata menunggu bedug maghrib melainkan proses yang kita alami di antara adzan subuh hingga adzan maghrib. Proses saat merasakan lapar dan haus yang dirasakan oleh mereka yang terpaksa berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makanan, sehingga kita bisa belajar lebih banyak tentang berempati.

Puasa yang kita jalani seperti sebuah proses pemurnian yang dialami oleh air laut sebelum turun menjadi hujan. Tinggal bagaimana kita menjalani dan belajar dari proses itu. Ya, hari ini sekian isi kepala saya yang berhasil “diaduk” dalam Kinealeut hari ini. Semoga besok-besok bisa tetap belajar lebih banyak lagi.

Sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/Le_Grand_Voyage

Dimuat juga di :

http://www.filosofilandak.blogspot.com/2013/07/apresiasi-film-le-grand-voyage.html

Aleut Apresiasi Film – Kisah Romansa Tinung si Ca Bau Kan

Oleh : Natasha Bellania Pertiwi (@achabp)

Hallo aleutian, ini merupakan kali pertama saya coba menulis artikel untuk komunitas aleut dan juga kali pertama #ngaleut apresiasi film .

Kesannya, tentu saja saya sangat antusias karena film yang kami tonton bersama hari ini adalah sebuah film lokal yang mengusung tema budaya Tionghoa di Indonesia, yang berjudul CA BAU KAN ( Hanya Sebuah Dosa ) .

Image

Film Ca Bau Kan karya Nia Dinata

Film ini diangkat dari sebuah novel berjudul sama (re: Ca Bau Kan) karangan Remy Sylado. Jujur saya pribadi kebetulan belum pernah membaca novelnya langsung, namun melalui tontonan visual hari ini, lebih kurang saya merasa dapat terjun langsung memahami cerita romansa yang kental akan budaya yang coba disampaikan oleh si penulis.

Yang membuat film ini unik adalah sang sutradara Nia Dinata, yang patut diacungi jempol atas keberaniannya di zaman modern ini menyuguhkan film yang sarat dengan tema budaya Tionghoa Indonesia yang kental pada Zaman kolonial Belanda.

Plot atau alur yang digunakan oleh penulis adalah alur mundur, dimana kita seakan Flashback ke masa pra-kemerdekaan Indonesia di Batavia.

Singkat cerita film ini menceritakan tentang seorang wanita tua bernama Giok Lan (Niniek L. Karim). Dia adalah perempuan turunan Tionghoa yang tinggal dan diadopsi dari kecil oleh keluarga Belanda. Setelah beberapa tahun berlalu, ia memiliki keinginan untuk kembali ke Indonesia, khususnya Batavia demi sebuah misi, yaitu ia ingin mencari tahu asal usul keluarganya. Dan setelah diusut perempuan ini adalah anak kedua dari seorang wanita Betawi bernama Siti Nurhayati atau akrab disapa Tinung (Lola Amalia). Tinung adalah seorang Ca Bau Kan atau dalam bahasa hokkian berarti ‘perempuan’, yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada era 80-an pun istilah ‘Cabo’ menjadi istilah umum untuk para wanita pekerja seks komersial.

Diusia muda Tinung telah menjadi Istri ke-5 dari seorang lelaki tua yang kemudian meninggal tak lama setelah memperistrinya. Tinung pun diusir oleh istri-istri yang lain dan tak mendapatkan hak warisan. Sejak saat itu Tinung sempat menjadi simpanan seorang tauke (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar bernama Tan Peng Liang (Moeljono).

Karakter Tinung sendiri digambarkan sebagai seorang perempuan pasrah dan konflik yang kita temui sangatlah banyak dimana menjadi seorang Ca Bau Kan merupakan pilihan satu-satunya. Ia didera dengan begitu banyak kekerasan fisik dan kekerasan sexual. Akhirnya Tinung melarikan diri dari Tan Peng Liang saat sedang mengandung anak hasil hubungannya.

Sejak saat itu Tinung yang tinggal dengan bibinya Saodah tidak memiliki pilihan lain, ia dipaksa dan digojlok untuk menjadi penari cokek dan seorang Ca Bau Kan di Kalijodo. Di Kalijodo inilah ia bertemu lelaki yang dicintainya Tan Peng Liang lainnya (Ferry Salim) seorang pedagang tembakau kaya raya dari Semarang.

Menurut saya pribadi ada sedikit kejanggalan atau kelemahan di film ini, Salah satunya adalah posisi tokoh Tinung (Lola Amaria) yang entah kenapa menjadi tenggelam ditelan alur cerita yang sedikit ribet di film ini. Kisah ini malah berpusat pada Tan Peng Liang Semarang (Ferry Salim) yang kedatangannya dari Semarang ke Batavia sebagai pedagang tembakau yang kayaraya, telah mengusik stabilitas sosial-politik-ekonomi kelompok Kong Koan, sebuah kelompok Tionghoa dalam pemerintahan Hindia-Belanda, Bahkan sampai kematiannya.

Selebihnya begitu banyak kelebihan di film ini yang membuat saya berdecak kagum. Sang sutradara Nia Dinata begitu detail dalam menggarap karya ini, semua nilai historikal sangat ia perhatikan, dari hal terkecil sampai hal terpenting sekalipun.

Sekian review saya mengenai film Ca Bau Kan ini, jika tertarik untuk mengetahui ceritanya lebih detail, saya sarankan membaca bukunya terlebih dahulu , karena biasanya dalam pembuatan film ada beberapa bagian yang tak di explore, namun sayang untuk dilewatkan…

Cheers :))

Image

Buku Ca Bau Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado

Sejarah Film Nasional

Oleh : Nanang Cahyana Al-Majalayi alias Jantje ti Majalaya

Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah & Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu film pertama ini, benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.

 

usmar ismail

 

 

Gambar Idoep tiba di Betawi

 

dokumentasi bioskop orion

 

Tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag.

 

Bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi & tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi lokal. Kelas pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat berisik seperti kambing.

 

 

Film Cerita Lokal Pertama

 

Foster Film “Loetoeng Kasaroeng”

 

Film cerita lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika. Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927.

 

 

Film Bicara

 

Foster Film “The Rainbow Man”

 

Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop yang sanggup memasang proyektor film bicara.

 

 

“Terang Boelan”, Film cerita lokal yang “Meledak”

 

Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film “Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena sehari-harinya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.

 

Film Pareh

 

Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan” (1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah. Dan nama Albert Balink tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, dengan judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan.

 

adegan film “Terang Boelan”

 

Film tersebut dibintangi oleh Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film “TB” adalah hasil adaptasi. Kesuksesan TB di pasar menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”

 

R.d Mochtar

 

Miss. Roekiah

 

 

*****

NB: Nah… berhubung 17 Oktober 2010, tema ngAleut: Bioskop2 Bandoeng Tempo Doeloe, Jantje buat Note ini, yg diambil dari http://archive.kaskus.us/thread/3725055 yg telah menjadi arsip Kaskus. Thread tersebut dibuat satu hari sebelum hari Film Nasional ke-60, 30 Maret 2010 dari berbagai sumber internet. Dan Alhamdulillah jadi Hot Thread teratas di Kaskus pada tanggal 30 Maret 2010. Karena mengambil dari berbagai sumber, dari segi keilmiahan suatu data, jadi ditunggu saran & kritikan.

Semoga Catatan ini menambah wawasan kita tentang perfileman Indonesia.

 

~ Jantje ti Majalaya tea ~

Apa Buah Kecintaanku?

Oleh : Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Penegasan, bukan pencerahan ^_^ itu yang terlahir setelah mendengar jawaban Tante Lottie (Charlotte Clayton Maramis) atas pertanyaan BR tentang sebentuk rasa cinta yang tumbuh justru teruntuk tanah yang bukanlah tanah kelahirannya sendiri. Kok bisa? Karena apa? Macam apa? Indonesia??

Dua generasi Jurnalis ^_^

Tante Lottie mencintai tanah air kita ini (baca:  Indonesia) melalui pusaran proses berkesinambungan yang tak mudah dan sama sekali tak pernah diniatkan untuk dihadapi, bukan hanya karena cintanya pada Om Anton semata. Berawal dari tumbuhnya empati Sang Ayah yang seorang Nakhoda, terus memenuhi tumbuh kembang pikir dari waktu ke waktu, dan tak berakhir begitu saja meski kisah romantis bersama Sang Suami (Anton Jann Maramis yang asli Manado) harus dilipat dalam kenang karena Om Anton telah lebih dulu berpulang pada 7 April 1999.

Charlotte & Anton Maramis, 18 Januari 1947 *sumber: http://ozip-magazine.com

Sebagai wujud cintanya, bersama Om Anton, Tante Lottie pun menyiapkan warisan berharga untuk generasi muda berkeadaan khusus (baca: keterbatasan penglihatan) berupa sekolah khusus di Manado, Manado School for the Blind. Bukan hanya sekedar menyediakan uang (ketika merayakan ulang tahun perkawinan dengan Om Anton di Manado, beliau berdua memilih tidak menerima kado, melainkan uang sebagai bentuk donasi) dan gedung, tapi juga menyediakan tenaga pendidik dan menyiapkan beberapa generasi muda berkeadaan khusus pilihan dengan mengirimkan mereka ke sekolah khusus pula di Australia. Sekolah tersebut sudah menghasilkan ^_^ maka berkeadaan khusus tak lagi menjadi batasan, berkontribusi bagi hidup dan bangsa ini pun tak lagi hanya bagiannya orang-orang normal.

Dan wujud kecintaan pula namanya jika hingga 2007 Tante Lottie masih terus meninggalkan jejak berupa buku-buku yang tak menanggalkan nama Indonesia.

Echoes Book One: Australia and Indonesia (The story of Anton Maramis and those Australians who assisted in Indonesia’s struggle for independence 1942 – 1949) *sumber: http://www.myspace.com/charlotte.maramis
Echoes Book Two: My Years in Indonesia 1949-1962 *sumber: http://www.myspace.com/charlotte.maramis
Life’s Way (yang memuat sosok Fred Wong) *sumber: http://www.myspace.com/charlotte.maramis

Kalau dipikir-pikir, beruntung sekali Indonesia dicintai sedalam itu oleh Tante Lottie, bisa menginspirasi beliau melahirkan ragam kontribusi yang semata-mata bukan untuk kepentingannya sendiri. Jika mau menelusuri lagi, aku yakin hanya akan ditemukan lebih dari satu Tante Lottie – Tante Lottie lain; mereka yang termasuk dalam kategori ‘orang-orang yang bisa mengintepretasikan kecintaannya dalam bentuk manfaat’.

Lalu, bagaimana dengan aku? Apa buah kecintaanku? Meski aku berani bilang betapa aku mencintai tanah ini, fasih menyanyikan lagu nasional yang kalah populer dengan tembang pop minim kunci nada, apa yang sudah aku berikan padanya? Ya, bukan pada tanahnya itu sendiri, melainkan pada mereka yang tumbuh-&-akan-tumbuh di tanah ini? Apa cukup dengan perjalanan-perjalananku dan geliat berbagi hasil tangkapan dari kamera di media praktis? Apa cukup dengan tulisan-tulisan yang mutunya masih jauh dari awang-awang? Apa cukup dengan menjejali materi Kalkulus, lalu memusingkan dengan seluk-beluk lika-liku pengembangan Software, dan mengakhirinya dengan deretan dongeng Biner? Apa itu yang dibutuhkan?

Lalu bagaimana dengan kamu? Apa buah kecintaanmu pada tanah ini? Sekedar kalimat, “Aku cinta Indonesia” dengan ragam tingkat kehebohan di mulut lalu terpatri di kaus dan status? Sekedar protes kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah mengatasnamakan geliat resah rakyat demi meruahnya segala macam ulah para petinggi?

Aku sendiri belum tahu apa buah kecintaanku yang nyata menguatkan tanah yang terancam dirapuhkan anak-anaknya sendiri dari dalam ^_^ bisa jadi butuh lain orang untuk mengetahuinya. Tapi seperti kataku di awal, keberadaan Tante Lottie bukan lagi sekedar memberikan pencerahan melainkan penegasan jauh di dasar hati. Penegasan untuk tak menanggalkan kecintaan akan tanah ini, pun bukan sekedar menyimpan cinta tanpa wajah ~_~ meski mungkin.. caraku sederhana..

***

bacaan menarik tentang Tante Lottie ada di sini http://ozip-magazine.com/?p=922 dan di sini juga loh  http://www.smh.com.au/opinion/politics/love-in-the-face-of-prejudice-20100423-tj1e.html?skin=text-only ^_^ myspace-nya juga ada http://www.myspace.com/charlotte.maramis

Cinta cinta cinta… Indonesia…

Oleh : Nara Wisesa

“Cinta Cinta Cinta… Indonesia… Negeri Bagaikan Permata… Persada Bermandi Cahaya Gemilang…

Oh Tanah Air Beta… Nan Elok Rupawan… Inilah Senandung Pujaan…” (G.S.P.)

Setelah kemaren ikutan acaranya Komunitas Aleut (nonton bareng dokumenter ‘jadul’ pendek berjudul “Indonesia Calling” dan sharing sama Tante Charlotte “Lottie” Maramis), terus baca tulisannya Indra sama Kuke… Jari jemari yang  padahal ngakunya masih hoream (males) ngetik gara2 disuruh kerja rodi pas periode tesis kemaren, jadi tiba-tiba gatel pengen bergaul lagi dengan keyboard laptop…

Tante Lottie sharing bersama teman-teman Aleut
Dokumenter “Indonesia Calling”

sekilas lebih banyak tentang acaranya bisa diliat disini 🙂 http://www.facebook.com/album.php?aid=2041323&id=1069614412#!/photo.php?pid=31009100&id=1069614412&ref=fbx_album

Di akhir acara kemaren, topik hangat yang terangkat dari pertanyaan/komentar Bang Ridwan ke Tante Lottie adalah mengenai Cinta Indonesia… Mengapa beliau yang notabene seorang “Aussie” bisa memiliki kecintaan sebegitu dalamnya terhadap Indonesia… Asiknya dari pertanyaan ini, dan jawaban dari tante Lottie (yang saya jujur aja gak bisa nulis ulang disini gara-gara kemaren keasikan jepret sana jepret sini), mungkin adalah efeknya ke teman-teman yang berada disana… Sebagai orang-orang yang ceunah mah “pribumi”, asli Indonesia, lahir dan besar di Indonesia, secinta apakah kita terhadap Indonesia?

Terus saya jadi mikir (jadi ajah otak ngebul, udah lama gak dipake mikir soalnya)… sebenernya yang perlu kita cintai dari Indonesia tu yang mananya aja yah…

Apakah yang bagus-bagusnya aja; kekayaan alam, semangat juang 45, ke”bhinneka-tunggal-ika”an dan toleransi kita terhadap sesama (walau mungkin akhir2 ini bisa diperdebatkan), kehebatan rekan-rekan kita yang mengharumkan nama Indonesia, lagu-lagu nasionalis sebangsa yang diatas…

Atau apakah kita patut juga mencintai seluruh elemen Indonesia tanpa kecuali… termasuk koruptor2, provokator2, orang2 bejat, pemales dan gak beresnya (mungkin termasuk saya juga ;p), polusinya, kerusakan alamnya, sinetron-sinetron dan lagu-lagu gak jelasnya… Hal-hal yang seringkali membuat kita jadi ‘ilfil’ atau kecewa sama Indonesia…

Kan ada yang disebut “unconditional love”… mencintai sesuatu apa adanya… sisi baiknya maupun buruknya… dalam senang maupun dalam susah… apakah kita juga perlu mencintai Indonesia apa adanya? Bisakah kita dari kecintaan yang apa adanya seperti itu kemudian memperbaiki keburukan yang ada sesuai dengan kemampuan kita?

Apakah “keburukan” itu “mau” berubah?

Jujur aja waktu ditanya sama temen-temen waktu kuliah kemaren tentang Indonesia, saya juga menceritakan tentang kesemrawutannya… ketidak-teraturannya… kesannya jadi kaya saya curhat tentang sisi buruknya Indonesia… (tenang, saya juga cerita yang bagus-bagus koq… ;p)

Anehnya, ada temen yang malah komentar, koq dari cara saya bercerita, saya terkesan bangga atas sisi-sisi buruk itu…

Jadi mikir… apa bener saya suka/bangga dengan keadaan itu… Atau karena saya sudah terlanjur mengidentikkan keadaan itu dengan Indonesia… sebagai bagian yang saat ini integral dengan Indonesia… sebagai sesuatu yang “uniquely Indonesian”…

Herannya juga, sekembalinya ke Indonesia, seakan terseret kembali ke keadaan semula… Mau nyetir baek-baek sesuai peraturan, koq ya mobil-mobil lain pada bikin nasteung (panas beuteung – utk yg gak ngerti silakan tanya orang sunda terdekat ;p)… Mau banyakin jalan kaki atau mau naek sepeda kemana-mana kaya waktu diluar koq ya kaya menyabung nyawa… Udah ngantri sopan-sopan koq ya orang-orang pada nyerobot minta digeplak…

as Leo Tolstoy said, “Everyone wants to change the world, but no one wants to change themselves”

semua orang ingin membuat perubahan di dunia (dalam skala besar)… tapi jarang atau gak ada yang mau mengubah dirinya sendiri…

… but then again… don’t forget Gandhi…

“Be the change you want to see in this world”

jadilah perubahan yang ingin kau lihat terjadi di dunia ini

Jadi gimana ya… mungkin bisa dibilang kalau saya sih menyukai ‘potensi’ yang dimiliki Indonesia… Bagaimana potensi ini bisa terwujud? tentunya kembali lagi ke kita masing-masing… apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan potensi ini… Dan mungkin juga gimana kita bisa bersama-sama memfasilitasi perwujudan potensi ini…

*note: Saya menggunakan kata ‘suka’ karena belum bisa menuliskan kata “cinta” karena saya belom tau juga sampai tingkat pengorbanan seperti apakah yang akan saya rela berikan bagi Indonesia kedepannya…*

Hmmmm… Dari kontribusi saya bagi bangsa kita sejauh ini (halah… kaya yang udah pernah ngasih kontribusi signifikan ajah…)

Saya gak tau juga, apakah saya sudah cukup layak untuk ‘mencintai’ Indonesia…

Jadi gimana? Apakah kita sudah cukup layak untuk ‘mencintai’ Indonesia?

‎”Tanah airku tidak kulupakan… Kan terkenang selama hidupku…

Biarpun saya pergi jauh… Tidak kan hilang dari kalbu…

Tanah ku yang kucintai… Engkau kuhargai…”

“Walaupun banyak negri kujalani… Yang masyhur permai dikata orang…

Tetapi kampung dan rumahku… Di sanalah kurasa senang…

Tanahku tak kulupakan… Engkau kubanggakan…

p.s. mohon maap kalo note nya gak jelas dan isinya loncat-loncat… udah lama gak nulis & udah ampir jam satu malem… *alesan*

Lovely Lottie

Oleh : Naluri Bella Wati

Rambutnya telah memutih dan kulitnya sudah keriput. Usianya memang tak muda lagi.  Tapi sisa-sisa kecantikan masih tergaris di wajahnya. Mengenakan setelan batik berwarna biru, ia tampak sehat dan segar sore itu. Dengan ramah dia menyapa saya dalam bahasa Inggris, “what do you do for study?”. Saya menjawab, “journalism ”. Lalu dia berkata, “great. I was a journalist too”.  Ternyata, Ia telah menjadi jurnalis  sejak tahun 1954. Dari data yang saya dapat, ia merupakan jurnalis di sebuah  koran bernama Indonesian Observer. Koran berbahasa Inggris ini diterbitkan oleh Herawati Diah, istri pemilik perusahaan penerbitan Merdeka Press Muhammad B.M Diah. Ia juga pernah meliput Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1955.

Percakapan terpaksa harus berakhir karena kami berdua dipanggil ke ruang tengah. Sore itu, Rabu 15 September 2010, saya dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut mengadakan pemutaran film dokumenter berjudul “Indonesia Calling”. Selain pemutaran film, kami juga kedatangan tamu dari negeri Wood, Charlotte Maramis. Ya, ia adalah perempuan yang sempat berbincang dengan saya tadi. Tante Lottie-panggilan akrab Charlotte Maramis-tidak datang sendiri. Ia ditemani Mas Votti dan Mbak Ratih Luhur, keduanya adalah orang Indonesia yang tergabung dalam AIA (Australia Indonesia Asociation)-sebuah asosiasi yang misi utamanya adalah menjalin persahabatan antara Australia dan Indonesia.    Selain ke Bandung, mereka juga akan mengadakan acara serupa di beberapa kota, yakni Jakarta, Bali, dan Menado.

Tak lama kemudian, film pun diputar. Indonesia Calling merupakan film dokumenter besutan sutradara asal Australia, Joris Ivens. Film yang diproduksi  tahun 1946 ini bercerita tentang pergerakan warga Indonesia di Australia untuk mencapai kemerdekaan. Warga Indonesia-yang mayoritas bekerja sebagai buruh pelayaran- meminta pihak Australia memboykot kapal-kapal Belanda yang melewati perairan Australia karena membawa persenjataan untuk melawan Indonesia. Tanpa disangka, Australia menyetujui permintaan tersebut. Selain itu, dukungan juga datang dari para buruh asal India, Malaysia, dan China.  Mereka menolak menjadi ABK kapal-kapal milik Belanda. Film berdurasi 22 menit  ini menyuguhkan berbagai adegan pergerakan yang dilakukan para buruh Indonesia di Australia.

Setelah selesai menonton, kami  mengadakan sharing. Tante Lottie memberikan kesempatan pada kami untuk bertanya seputar film atau kehidupannya bersama sang suami, Anton Maramis. Mungkin tidak banyak yang tahu jika Tante Lottie merupakan istri dari Anton Maramis, salah satu pejuang Indonesia yang juga seorang anggota KNIPpada masa  pemerintahan Presiden Soekarno. Anton Maramis adalah warga Indonesia asli Menado yang bekerja sebagai buruh di perusahaan pelayaran Belanda, KPM. Pada tahun 1942, ia pergi ke Australia bersama kapal Belanda. Di Negara inilah, tepatnya di Sydney,  aktivitas politiknya dimulai. Ia tergabung dalam Indonesian Club-sebuah perkumpulan serikat pekerja Indonesia di Australia. Indonesian Club lambat laun menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi para pejuang kemerdekaan di Australia. Anton Maramis beserta rekan-rekannya mencari dukungan dari warga Australia untuk membantu perjuangan mereka. Di sanalah Anton bertemu dengan Charlotte. Namun aktivitas politiknya di Indonesian Club membuat Anton Maramis  dideportasi dari Australia. pasangan ini pun terpaksa harus berpisah.  Setahun setelah dideportasi, Anton Maramis kembali ke Australia dan menikahi Charlotte.

Karena anggota Aleut yang lain malu-malu kucing, saya pun memberanikan diri untuk  mengajukan pendapat soal film Indonesia Calling. setelah menonton film documenter tersebut, saya baru tahu kalau ternyata warga Indonesia di Australia juga melakukan pergerakan. Selama ini, saya hanya mendengar pergerakan para pribumi yang sekolah di negeri Kincir Angin. Pengetahuan saya tentang masa pergerakan mungkin memang minim, tapi ini kali pertama saya mengetahui kenyataan tersebut. saya kemudian bertanya-tanya: kok jarang sekali ya saya membaca buku sejarah tentang pergerakan warga Indonesia di Australia?  kemana saja saya selama ini?        Atau memang tak ada yang peduli tentang peristiwa tersebut? Ah, entahlah. Setidaknya saya tahu sekarang. Never too old to know, right?

Sharing dilanjutkan kembali. Meskipun Tante Lottie berbicara dengan bahasa Inggris, untungnya ia mengerti bahasa Indonesia. Jadi kami tak perlu repot-repot membuka kamus untuk menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan kami. Sang kordinator, Indra Pratama, lalu  mengajukan pertanyaan pada Tante Lottie. Indra menanyakan pengalaman Tante Lottie sewaktu berpapasan muka di depan toilet dengan Chou En- Lai ketika meliput Konferensi Asia Afrika. Dengan semangat Tante Lottie menceritakan pengalamannya. Meskipun  usianya sudah menginjak kepala delapan, Tante Lottie tetap ingat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu. Mata hijaunya berbinar ketika Tante Lottie menceritakan masa indahnya bersama sang suami.

Bang Ridwan kemudian bertanya mengapa Tante Lottie begitu cinta terhadap Indonesia, mengalahkan kecintaan generasi muda Indonesia pada negaranya sendiri. Tante Lottie lalu menceritakan bahwa kecintaannya pada sesama berasal dari nasihat ayahnya. Bahwa kita ini sama, apapun bentuknya, seperti apapun warna kulitnya. Mendengar penjelasannya, kami langsung terharu sekaligus mendapat pencerahan.

Kecintaan Charlotte Maramis pada Indonesia tak terhenti meskipun suaminya telah berpulang  ke haribaan. Sampai detik ini, ia masih memiliki kepedulian terhadap Negara kita. Salah satu wujud kepedulian Tante Lottie adalah dengan membangun sekolah bagi orang buta di Menado.  Ia juga menulis buku tentang pergerakan yang dilakukan oleh suaminya serta pengalamannya selama hidup di Jakarta. Banyak  sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat saya ambil dari Tante Lottie. Sedikit banyak pasti bermanfaat bagi saya. khususnya mengenai rasa kecintaan dan bentuk kepedulian terhadap sesama.  Thanks for sharing with us, Tante Lottie. Such an honour and how lovely you are =)

Thanks to Mbak Ratih and Mas Votti from AIA.

referensi

www.teman-teman.com

www.ozip-magazine.com

workers.labor.net.au/106/c_historicalfeature_indonesia.html

berbincang dengan Tante Lottie. terima kasih Bang Nara untuk fotonya 🙂
edisi foto keluarga bersama Tante Lottie, Mbak Ratih, dan Mas Votti. terima kasih Mba Kuke untuk fotonya 🙂
sharing bersama Tante Lottie. terima kasih sudah mengabadikan ya Mbak Kuke:)