Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)
Dirk van Hinloopen Labberton (Doesburg 24-9-1874 – Ojai (California, Amerika Serikat) 3-9-1961) adalah seorang guru, elitis, teosof, dan yang paling penting, adalah pengaping bagi para pemula gerakan nasionalisme Indonesia. Putra dari Richard Hinloopen Labberton, seorang penjual buku, and Regina Henke ini datang ke Hindia Belanda tahun 1894, setahun setelah lulus dari secondary school. Tahun berikutnya ia telah bekerja sebagai analis kimia di pabrik gula “Gajam” di Jawa Timur. Tahun 1896 ia diangkat menjadi kepala pabrik gula Sempal-Wadak, juga di Jawa Timur. [1]

Labberton (memejamkan mata) bersama Tjipto Mangoenkoesoemo (kanan gambar), dan Satrowijono (bawah) saat pertemuan Comité voor Javaanse Cultuurontwikkeling di Surakarta tahun 1918. (KITLV)
Setelah lulus dari ujian amtenaar, ia bekerja di sebuah kantor departemen di Buitenzorg (Bogor) di bagian Sekretaris Umum 1899-1904. Pada waktu senggangnya, Labberton sangat tertarik mempelajari bahasa dan etnologi lokal (Taal en Volkenkunde) seperti Jawa dan Melayu, juga bahasa serapan Sansekerta. Akhirnya pada tahun 1904 ia ditunjuk untuk mengajar Bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden (Jakarta Pusat sekarang), Batavia hingga 1913. Ia dan istrinya juga dikenal sebagai penggemar wayang kulit. [2] Bahkan bersama Tjipto Mangoenkoesoemo kelak, Labberton dan istrinya pernah terlibat dalam perdebatan modifikasi pertunjukkan wayang kulit sebagai media pergerakan. Istri Labberton merupakan salah satu tokoh yang aktif menulis tentang nilai-nilai ayng wayang kulit dalam sudut pandang orang Belanda.[3] Labberton berpendapat bahwa wayang menggenggam rahasia besar kemanusiaan, tapi justru disia-siakan oleh orang Eropa[4]. Wayang pada perkembangannya ternyata terbukti efektif menjadi alat penyebaran teosofi yang cukup penting.
Ketertarikan Labberton kepada bahasa Sanskrit membawanya kepada gerakan Teosofi, yang mana sedang memusatkan perhatiannya kepada kultur India dan dunia spiritual ketimuran. Selama mengajar Labberton juga terlibat dalam beberapa proyek kebudayaan, antara lain menjadi anggota Dutch East Indian Commission for the Brussels World Fair in 1909/1910 tahun 1908, dimana ia berperan sebagai editor untuk the Illustrated Handbook Insulinde yang akan dibuat sebagai sarana promosi Hindia Belanda di dunia internasional. Ia juga aktif berperan sebagai editor di Journal of Indian language, geography and ethnology and the Discourses yang diterbitkan Batavian Society of Arts and Sciences. Setelah itu Labberton sempat belajar teosofi di India bersama Annie Beasant dan kembali ke Hindia Belanda tahun 1912. Ia juga ditunjuk sebagai anggota ketika pemerintah kolonial mendirikan Comissie voor de Volkslectuur pada 14 September 1908. Komisi itu awalnya meliputi 5 orang pengurus, yaitu G.A.J. Hazeau (Penasehat Masalah Pribumi), G.J.F. Biegman (Inspektur Pendidikan Pribumi di Bandung), D. Van Hinloopen Labberton (Guru Bahasa Jawa di Batavia), J.H. Ziekel (Asisten Residen Pensiunan), dan H.C.H. Bie (Ajung Inspektur untuk Pertanian Pribumi di Bogor). Komisi ini berperan sebagai penasehat Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah. Pada tahun 1918 komisi ini berkembang menjadi Balai Pustaka.[5]
Labberton merupakan salah satu penganut politik etis. Ia pun aktif bersama East Indian division of the Theosophical Society, yang menjadi perpanjangan tangan gerakan Teosofi versi Annie Beasant, yang satu haluan dengan politik etis, anti rasisme/kolonialisme, persaudaraan umat manusia, dan pluralisme.[6] Ia pun akhirnya mengetuai Komunitas Teosofi Hindia Belanda ini. Tahun 1912 ia menjadi editor jurnal teosofi Hindia Belanda Theosofisch Manblaad van Nederlandsch-Indie. Tahun yang sama ia juga diangkat sebagai presiden Perkumpulan Teosofi Hindia tahun hingga tahun 1923.
Pergaulannya yang luas membawa Labberton kepada para aktivis Java Studie Fond, diantaranya Soetomo. Ia menjadi mentor bagi para anggota Java Studie Fond, yang akhirnya menjadi Boedi Oetomo, yangsejalan dengan pemikiran Teosofi, mengusung isu kelokalan yang kental. Membawa pendidikan dan budaya barat sebagai modal memajukan budaya lokal. Soetomo dan kawan-kawan pada awalnya memakai tameng Komunitas Teosofi sebagai pelindung forum-forumnya. Labberton dijuluki “Kiai Santri” karena pengetahuannya yang luas dan dalam tentang kebudayaan dan mistik Jawa. Pergaulan kebatinannya membuatnya dihormati dan disegani di kalangan bngsawan Jawa, terutama di kalangan aktivis BO.[7]
Yang unik adalah kebiasaan Labberton menggunakan bahasa Melayu saat berbicara di depan forum-forum Java Studie Fonds, maupun kelak Boedi Oetomo. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kebiasaan-kebiasaan para aktivis pribumi seperti Soetomo maupun Goenawan Mangoenkoesoemo yang selalu menggunakan bahasa Belanda saat berbicara di depan publik.
Seiring dengan berkembangnya pemikiran kaum pergerakan pribumi, Labberton pun makin mengembangkan aktivitasnya, ia pun masuk ke lingkaran dekat kaum nasionalis awal, terutama Central Sarikat Islam, via Abdoel Moeis yang menjadi mentee nya. Para teosof kala itu memang menjadi tempat bernaung bagi para aktiivs muda pribumi. Ketika itu gerakan teosofi berpusat di Blavatsky Park, sebelah barat Koenigsplein, sekarang Medan Merdeka Barat, diduga berada di sekitar kantor Indosat sekarang. Banyak aktivis yang aktif berkegiatan di Blavatsky Park, seperti Muhammad Jamin, M.Tabrani, Roestam Effendi, dan Sanoesi Pane. Moh.Hatta juga pernah berkunjung, tetapi tidak menjadi anggota, meskipun kelak Hatta akan mendapat beasiswa dari para teosof untuk belajar di Belanda. Konsep teosofi pula yang banyak mewarnai pemikiran kebangsaan dari Tjipto Mangoenkoesoemo, Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Soerjopranoto.[8] Dari Labberton lah Tjipto Mangoenkoesoemo disebut belajar lagi lebih banyak tentang keJawaan yang lebih bersifat kebatinan daripada aristokratik.[9]
Bersama Abdoel Moeis juga, Labberton menjadi orang yang aktif menyuarakan gerakan pertahanan Hindia (the Indie Weerbaar), semacam wajib militer pribumi dalam menghadapi Perang Dunia I. Gerakan ini dijuduli Labberton “Hindia Koeat Memeliharakan Diri”.[10] Labberton bahkan mengadakan tur politik di Jawa Tengah, dan berbicara di depan publik dengan menggunakan blangkon dan memakai bahasa Jawa Halus. Pada 1917 Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda untuk membicarakan ide ini secara langsung di parlemen Belanda. Labberton ikut dalam rombongan ini sebagai pendamping rombongan.
Sekedar informasi, sebagaimana layaknya ide wajib militer, Indie Weerbaar juga menjadi kontroversi di kalangan rakyat dan aktivis. Moeis berpendapat bahwa masuknya rakyat ke dalam militer sekarang, kelak akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan tangguh, yang berisikan prajurit pribumi. Keberadaan laskar semacam itu tentunya akan meningkatkan posisi tawar pribumi di tatanan kolonial. Organisasi tempat Moeis bernaung, Sarikat Islam, justru menolak keras ide ini. Labberton sendiri berpendapat bahwa lewat Indie Weerbaar, kaum pribumi akan mendapat arena berlatih untuk melindungi diri dan kepentingannya sendiri. [11]
Bersama dengan isu Indie Weerbaar, rombongan itu pun memboyong satu isu lain, yaitu pendidikan tinggi di Hindia Belanda. Isu pendirian sekolah teknik, terus disuarakan Moeis dan Labberton dalam setiap kesempatan temu wicara dengan para petinggi Belanda. Dari kedua ide yang diusung rombongan ini, Ratu Belanda hanya berkenan meluluskan salah satu, yaitu ide sekolah tinggi teknik, yang kemudian diwujudkan tahun 1920 dengan pendirian Technische Hoogeschool di Bandung, yang biayanya berasal dari patungan berbagai pihak di Hindia, terutama kaum swasta dan penganut politik etis.
Labberton juga aktif menggagas beberapa gerakan dan perkumpulan berbau asosiasi. Pardamean Sedoenia, Associatie van Oost en West, Mimpitoe (dengan anggota dr.Radjiman Wediodiningrat) dan Ati Soetji. Gerakan itu murni inisiatif Labberton, dan bukan merupakan program dari gerakan teosofi intenasional.
Labberton tercatat juga sebagai aktivis gerakan Nederlandsch-Indie Vrijzinnige Bond (NIVB), perkumpulan campuran yang berideologikan politik asosiasi. NIVB didirikan tahun 1916, dan memperjuangkan self bestuur (pemerintahan sendiri) bagi Hindia Belanda. Tokoh lain NIVB adalah Achmad Djajadiningrat dan Sujono. Aktivisme di NIVB membuat Labberton terpilih kedalam Volksraad tahun 1918. Namun dalam karir politiknya ia dijuluki si “kelinci astral”, merujuk pada pemikirannya yang hyper-ethicist dan dianggap sangat utopis waktu itu. Labberton seringkali bersinggungan dengan politisi-politisi lain, baik politisi konservatif kanan, maupun kaum kiri. Kaum konservatif menganggap pemikiran pro integrasi Labberton terlalu berlebihan, namun keberadaannya yang dekat dengan sejumlah tokoh pemerintahan membuat kaum kiri menyebutnya “Teosof Imperialis”. Labberton aktif juga sebagai praadviseur/penasihat Gementeraad sehubungan dengan usaha adanya hak pilih bagi segala bangsa di Dewan Penjajah (Koloniale Raad).
Selama berada di parlemen, Labberton aktif menyuarakan demokratisasi pemerintahan di Hindia Belanda. Sebuah ide yang pada akhirnya melahirkan tuntutan paling radikal saat itu : otonomi Hindia. Ia pun berada satu poros dengan kaum radikal dari CSI, Indische Social Demoratic Partij (ISDP), dan Sarikat Hindia. Saat Abdoel Moeis mengusulkan nama Indonesia menggantikan nama Hindia Belanda, Labberton beserta Cramer dan Vreede (keduanya juga tokoh teosofi mendukung dengan ikut mengjukan amandemen penggantian nama tersebut. Meskipun pada akhirnya ide tersebut mentah[12].
Labberton juga makin jauh terlibat di urusan kebudayaan dengan ditunjuk menjadi anggota Comissie voor de Volkslectuur. Komisi itu awalnya meliputi 5 orang pengurus, yaitu G.A.J. Hazeau (Penasehat Masalah Pribumi), G.J.F. Biegman (Inspektur Pendidikan Pribumi di Bandung), D. Van Hinloopen Labberton (Guru Bahasa Jawa di Batavia), J.H. Ziekel (Asisten Residen Pensiunan), dan H.C.H. Bie (Ajung Inspektur untuk Pertanian Pribumi di Bogor). Pada awalnya, Komisi merupakan penasehat Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah.
Sebelum kepergiannya, Labberton membuat sebuah kongres yang berusaha mempersatukan kelompok-kelompok radikal di Hindia, yang dinamai All Indie Congress. Kongres yang terinspirasi gerakan serup di India itu diadakan di Gedung Jaarbeurs Bandung 2-4 Juni 1922. Semua organisasi terkemuka hadir, kecuali kaum komunis, yang sejak lama menganggap kaum teosof sebagai kapitalis teosof. Tema yang dibicarakan adalah tema persatuan Hindia.[13] Meskipun pada praktiknya berbagai tema faktual dalam konteks pergerakan, seperti tema exorbitante rechten (hak gubernur jenderal untuk membuang orang yang dianggap berbahaya) yang disuarakan Soewardi, keuntungan ekonomi persatuan pergerakan oleh Douwes Dekker, dasar buadaya persatuan oleh Fournier, dimensi federasi sebagai arah persatuan oleh Dr.G.S.S.J Ratulangie. Akhirnya pun dibentuk panitia tetap untuk kongres-kongres mendatang, yang diketuai Dwijosewojo dan P.F Dahler dari Nationale Indische Partij sebagai sekretaris. Namun kongres tersebut hanya meletup sekali itu saja dan tidak terdengan kiprah lanjutannya lagi dan gagal menjadi gelombang pendorong nasionalisme.[14]

Jaarbeurs, (sekarang Kologdam Bandung). Tempat Congress All Indie pernah diselenggarakan. (Tropenmuseum)
Teosofi era Labberton mendapat banyak tentangan, terutama karena gerakan kebatinannya. Corak kegiatan yang mencomot berbagai budaya asli beraroma Hindu-Buddha. Sebelum era Labberton, ketika Teosofi adalah gerakan yang agak lebih tertutup dan eksklusif, protes semacam ini belum pernah dialami oleh organisasi. Ketika Teosofi menjadi lebh terekspos karena keaktifan Labberton dan bergabungnya para priyayi, maka mulai muncul reaksi-reaksi keras, terutama dari kalangan agama konvensional, seperti Islam dan Katholik. Meskipun pada kenyataannya protes tersebut beraroma ketakutan akan pemurtadan umat[15]. Labberton sendiri pernah menyatakan bahwa ia melihat bagaimanapun taatnya, muslim Hindia tidak akan pernah menjadi “Meccan Arab”, sebagaimana kaum kristen Jawa tidak akan menjadi fanatik seperti di Eropa. Ia percaya pasti masih akan ada bawaan dari kebiasaan-kebiasaan animistik.[16]
Politik represi yang mulai berkembang awal dekade 1920-an membuat Labberton dan kaum radikal tertekan dan terisolir dalam dunia politik. Kaum konservatif melakukan tindakan-tindakan represif terhadap aksi-aksi yang dianggap melanggar rust en orde. Kondisi ini akhirnya memicu keresahan Labberton, yang akhirnya memutuskan untuk pergi dari Hindia Belanda. Labberton pergi Oktober 1923 ke Jepang dan digantikan sementara oleh J.Kruisheer, sebelum akhirnya Kruisheer dipilih sebagai ketua tetap pada Kongres Tahunan NITV 18-20 April 1930.
Ia pun melanglangbuana di Jepang, sebagai pengajar Bahasa Jawa, Melayu dan Sanskrit di Imperial University of Tokyo selama tahun 1923 sampai tahun 1925. Lalu ia menempuh pendidikan di Belanda dan memegang gelar Master Bahasa untuk jurusan Indologi, serta lulus pula di jurusan sejarah Universitas Amsterdam. Tahun 1936 ia pergi ke Amerika Serikat dan menetap di Ojai, sebelah utara Los Angeles untuk aktif di Krotona Institute of Theosophy. Pada masa Perang Dunia II, Labberton aktif di Federal Bureau of Investigation (FBI) dan Konsulat Belanda di Los Angeles, sebagai penerjemah dokumen-dokumen berbahasa Jepang.
Labberton kemudian menghabiskan masa tuanya di Taormina, pinggiran Kota Ojai, hingga wafatnya tahun 1961.
CATATAN KAKI :
[1] Tichelman, F. 1994. Labberton, Dirk van Hinloopen. Biographical Dictionary of 4 Netherlands. The Hague.
[2] Sears, Laurie Jo. 1996. Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tale. Duke University Press. Hlm 140-141. Buku ini juga membahas tentang pemikiran-pemikiran istri Labberton (C.van hinloopen Labberton) tentang wayang kulit dan kaitannya dengan teosofi.
[3] Schwarz, Henry. Sangeeta Ray. 2008. A Companion to Postcolonial Studies. John Wiley and Sons. Hlm 346 & 348.
[4] Labberton, Dirk van. 1916. Wajang dan Gamelan. Dimuat di Pemitran, 2 April 1916.
[5] Teeuw, A. 1972. The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. Vol. 35, No. 1. Hlm. 111–127
[6] Nagazumi, Akira. 1988. Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa. Dimuat di Majalah Tempo 4 Juni 1988. Diakses via https://serbasejarah.wordpress.com.
[7] Nagazumi, Akira. 1972. The Dawn of Indonesian Nationalism, the Early Years of Boedi Oetomo, 1908-1919. Institute of Developing Economies. Tokyo. Hlm 71-73.
[8] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm135
[9] Dewantara, Ki Hajar. 1952. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dari Kenbangunan Nasional sampai Prokamasi Kemerdekaan : Kenang-kenangan Ki Hajar Dewantara. Djakarta : Endang. Hlm 215-228. Dalam Takashi Siraishi 1990. Zaman bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti : Jakarta. Hlm.171.
[10] Koch, DMG. 1951. Menuju Kemerdekaan : Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai 1942. Jakarta : Yayasan Pembangunan. Hlm 56.
[11] Dijk, Cornelis. 2007. The Netherlands Indie and the Great War : 1914-1918. KITLV Press. Hlm 275, 284-286.
[12] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm 273
[13] Van Klinken, Geert Arend. 2003. Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach. KITLV Press. Hlm 98.
[14] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm 326-329.
[15] Nugraha, Iskandar P. 2001. Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia.Komunitas Bambu : Jakarta.
[16] Sumartana, Th. 1994. Mission at the Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-religious Change in Java, 1812-1936. BPK Gunung Mulia. Hlm 50