Wisata Malam, Menyingkap Kisah di Balik Urban Legend Bandung

Tak terkecuali di Kota Bandung, Jawa Barat. Legenda urban yang diyakini ada itu hingga kini ceritanya dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi lain.

Baca lebih lanjut

Iklan

Komunitas Aleut: Bandung Pernah Mendapat Julukan Kota Kuburan

Oleh: Delila Deagrathia

BANDUNG, infobdg.com – Ngaleut punya arti jalan-jalan barengan. Tapi kalau komunitas Aleut bukan cuma jalan-jalan aja tapi juga mencari dan belajar mengenai sejarah Bandung. Jalan-jalannya juga beneran jalan kaki loh wargi Bandung. Setiap hari minggu dengan rutin komunitas ini mencari ilmu sejarah disudut-sudut kota Bandung. Selain jalan-jalan di Bandung, komunitas ini mendapatkan ilmu lebih dalam tentang Bandung.

 

Di setiap sudut kota Bandung banyak kejadian dan sejarah yang wargi Bandung belum banyak tahu. Nah komunitas Aleut ini bakal lebih mengenalkan Bandung dari masa ke masa. Kang Irfan Teguh, anggota dari komunitas Aleut menceritakan bahwa dulu Bandung pernah mendapat julukan kota kuburan. Dulu kawasan Banceuy merupakan area pemakaman untuk warga Tionghoa, Eropa dan Belanda namun dipindahkan ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi Gor Pajajaran untuk area kuburan warga Eropa dan Belanda, untuk warga Tionghoa dipindahkan ke Babakan Ciamis kemudian dipindahkan lagi ke Cikadut.

Namun untuk warga pribumi, menguburkan Jenazah hanya dilakukan di perkarangan rumah saja. Namun akhirnya pemerintah Hindia-Belanda melarang dan merubah kawasan Sirnaraga dan Astana Anyar menjadi pemakaman umum untuk warga pribumi. Bisa wargi Bandung bayangkan semerawut apa kuburan pada jaman dulu, pemakaman yang dipindah-pindah. Bahkan komunitas aleut menemukan batu nisan makan orang Belanda yang sekarang dijadikan tempat menyuci. Baca lebih lanjut

Jelajah Kawasan Pecinan Bandung Bersama Komunitas Aleut

Reporter: Astri Agustina

Di sini peserta diceritakan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Kota Kembang, dan perkembangan kawasan pecinan di Bandung.

Peserta jelajah kawasan pecinan Bandung. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com, Bandung – Menjelang pergantian Tahun Baru Cina atau Imlek, Best Western Premier La Grande Hotel menggandeng Komunitas Aleut untuk mengungkap sejarah kawasan pecinan di Bandung dalam hajatan bertajuk “Tour de Petjinan Van Bandoeng”.

“Kami mengajak Koko Cici Jakarta 2016, Mojang Jajaka 2016, dan Amoi Akko Bandung untuk meramaikan kegiatan. Juga rekan media untuk lebih mengetahui sejarah pecinan di Bandung serta Komunitas Aleut yang akan menjelaskan soal sejarah pecinan,” ujar General Manager Best Western Premier La Grande Hotel, Benedictus Jodie, Selasa (24/1).

Kegiatan yang diselenggarakan Selasa (24/1) mulai pukul 07.00 WIB itu dimulai dengan berkumpulnya peserta di Perpustakaan Alun-Alun. Di sini diceritakan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Kota Kembang, dan perkembangan kawasan pecinan di Bandung.

Dengan berjalan kaki, perjalanan dilanjutkan menuju Warung Kopi Purnama. Tempat ngopi penuh sejarah ini berada di kawasan Timur Asing atau Arab yang kini dikenal dengan nama Alkateri. Warung Kopi Purnama sendiri hingga saat ini masih mempertahankan tradisi penyuguhan kopi tiam.

“Warung Kopi Purnama berdiri sejak tahun 1930 dengan nama Chang Chong Se yang berarti silakan mencoba. Kedai kopi ini didirikan oleh Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan sekitar abad ke 20 yang membawa tradisi kopi tiam,” jelas Koordinator Aleut, Arya Vidya Utama.

Perjalanan dilanjutkan menuju Kopi Aroma, Kawasan Pecinan Lama yang berada di Pasar Baru, Babah Kuya, Cakue Osin, Hotel Surabaya, dan berakhir di Klenteng Satya Budhi sekitar pukul 12.00 WIB.

Baca lebih lanjut

Melihat Masa Lalu Bersama Komunitas Aleut

Oleh: Adi Ginanjar Maulana

Komunitas Aleut.(Ist)

BANDUNG, AYOBANDUNG.COM — Seorang penulis peraih Nobel Sastra Anatole France pernah mengatakan buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pasti sangat membosankan.

Anatole tidak mencoba sinis dalam kata namun realita yang berkembang mengatakan jika Tuhan sekali pun tidak mampu mengubah sejarah karena hanya ahli sejarah yang dapat melakukannya.

Anatole tidak salah pula tidak benar karena sejarah adalah pedoman cara manusia belajar memperbaiki diri dari masa lalu. Melupakan sejarah adalah sebuah kesalahan yang tidak boleh dilakukan suatu bangsa.

Lantas Komunitas Aleut hadir di tengah persimpangan makna yang membuat sejarah semakin terlupakan tergerus jaman. Para penggiat Aleut percaya jika kesadaran masyarakat untuk mencintai daerahnya dapat tercipta melalui pendekatan sejarah. Baca lebih lanjut

Membukukan Cerita Perjalanan Aleut

Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)

Selain mendatangi langsung ke tempat-tempat bersejarah di Bandung, para pegiat aktif Komunitas Aleut, juga mempunyai kegiatan menulis. Meski bukan wajib, namun para pegiat aktif komunitas pecinta sejarah, wisata, dan lingkungan ini terbiasa menuliskan catatan perjalanan Ngaleut. Tulisan-tulisan mereka bisa dikunjungi di situs mereka, komunitasaleut.com.

Menurut pengasuh Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung, catatan perjalanan tersebut akan dibuatkan buku.

Kamisan Komunitas Aleut _Huyogo Simbolon

“Baru sekarang ini kita rencanakan buat buku yang relatif mewakilkan Aleut untuk diterbitkan. Bukunya berhubungan dengan catatan perjalanan komunitas Aleut dan kita meggandeng penerbit umum,” terangnya.

Meski tak merinci kapan buku akan diterbitkan, Ridwan mengaku materi buku sudah disiapkan. Terutamanya terkait catatan perjalanan Aleut. “Sudah ada (bahannya),” ujarnya singkat.

Ridwan menambahkan, para pegiat Aleut selalu dirangsang untuk menulis catatan perjalanan. Awalnya berupa tulisan ringan, namun tak jarang di antara mereka yang menggunakan literatur sehingga tulisan menjadi lebih berisi.

Buku Pernik KAA _Huyogo Simbolon

“Kita pernah bikin beberapa buku seperti saat ultah Aleut. Bahkan, anggota kita baik yang perorangan maupun yang ramai-ramai menulis buku terkait sejarah,” ungkapnya.

Selain itu, pegiat Aleut yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu juga menambah warna di setiap catatan perjalanan mereka. Bahkan, dalam suatu kesempatan para pegiat Aleut melakukan peliputan dalam rangka Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Catatan peliputan yang dilakukan awak komunitas ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Pernik KAA 2015: Serba-Serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika.

(Huyogo Simbolon)

 

Tautan asli: https://qubicle.id/story/membukukan-cerita-perjalanan-aleut

Terinspirasi Suasana Bandung Tempo Dulu

Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)

“The most effective way to destroy people is to deny and obliterate their own understanding of their history”

George Orwell

Bersumber dari buku seputar sejarah Bandung, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, karya Haryoto Kunto (Granesia, 1984). Buku ini lah yang kemudian menginspirasi Ridwan Hutagalung untuk menyusuri situs-situs penting di Bandung. Sekitar tahun 2003, kegiatan berjalan kaki menelusuri fakta-fakta di lapangan yang bersumber dari tulisan Haryoto Kunto sudah dilakukan bersama lima rekannya yang lain.

Tiga tahun kemudian Komunitas Aleut dibentuk. Tujuannya masih sama yaitu menjelajahi situs-situs penting sambil belajar bersama-sama mengenali sejarah di Kota Bandung.

Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe _Huyogo Simbolon

“Intinya ada beberapa orang yang mengoleksi buku-buku tentang Bandung terutama bukunya Pak Haryoto Kunto. Orang-orang yang suka sama buku ini sering ngobrol dan kemudian tercetus ide untuk menelusuri apa yang ditulis dalam buku itu,” ujar Ridwan yang hingga kini aktif mengasuh Komunitas Aleut.

Dalam mencari berbagai fakta di lapangan tersebut, Ridwan mengatakan, banyak hal yang tidak disadari bahwa banyak tempat di Bandung yang memiliki sejarah. Tanpa disadari bahwa apa yang terlihat sehari-hari ternyata memiliki informasi yang menarik.

Ridwan Hutagalung_Huyogo

Setelah itu komunitas ini lebih rutin memperluas wilayahnya. Tidak hanya di kota tapi ke pinggiran Kota Bandung. Serta tidak alasan khusus dipilihnya hari Minggu untuk menggelar kegiatan Ngaleut. Hanya karena waktu luang yang ada hanya di hari Minggu.

Rupanya, anggota komunitas ini banyak menemukan data menarik yang justru tidak terungkap di dalam buku sejarah. Seperti cerita dari warga sekitar lokasi situs berada.

“Kita juga menggunakan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan tempat itu. Referensi buku-buku berbahasa Sunda, Inggris dan Belanda terkait dengan sejarah Bandung,” katanya. (Huyogo Simbolon)

Tautan asli: https://qubicle.id/story/terinspirasi-suasana-bandung-tempo-dulu

Ngaleut, Melangkah Beriringan Memaknai Sejarah

Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)

Menuntut ilmu merupakan metode mendapatkan kebahagiaan hidup. Maksud dari ungkapan tersebut memang benar. Namun, apa gunanya ilmu pengetahuan jika tidak bisa disampaikan kepada orang banyak?

Ilmu itu sendiri terdapat banyak cabangnya. Salah satunya sejarah. Mengacu pada kalimat penulis Belanda Edgar du Perron, “Bahasa yang sulit, tidak selalu mewakili pikiran yang bermutu”. Banyak sekali buku sejarah bermutu yang kita temui hanya bisa mengisi tumpukan buku yang tidak dibaca karena penulisannya yang terlalu ilmiah dan berat. Di sinilah ilmu sejarah harus lebih aplikatif.

Persoalan itu kemudian berusaha dipecahkan oleh Komunitas Aleut. Melalui kecintaan kepada Kota Bandung, mereka menggelar kegiatan rutin bernama Ngaleut setiap hari Minggu. Mereka berusaha membangun kesadaran masyarakat akan sejarah yang terjadi di kotanya. Apakah benar begitu?

Salah satu pegiat Komunitas Aleut, Gina Azriana, mengatakan Ngaleut membuatnya menyukai sejarah. Selain itu, kegiatan ini dapat menambah pertemanan dan wawasan tentang situs penting di Bandung.

 

Sejarah bisa apa saja, tidak hanya tempatnya tapi juga ada kisah menarik di sekitarnya. Saat bergabung dengan Aleut wawasan bertambah dan ternyata tidak hanya di Bandung,” kata mahasiswi asal Sintang, Kalimantan Barat itu.

Gina mengaku baru setahun bergabung dengan Komunitas Aleut melalui ajakan seorang teman yang sudah lebih dulu aktif. Sejak saat itu ia rajin mengikuti kegiatan reguler Aleut.

“Saya ikut Ngaleut perdana saat ada peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Sejak saat itu jadi sering kegiatan setiap Minggu,” ungkapnya.

Salah seorang koordinator Ngaleut, Arya Vidia Utama menjelaskan, sejak dibentuk 10 tahun lalu komunitas ini memang bertujuan mempelajari sejarah dengan cara mendatangi langsung tempat-tempat bersejarah yang dituju. Dengan menerapkan metode tersebut diharapkan mendatangkan pengetahuan baru bagi para anggotanya terkait sejarah.

“Yang ikut Ngaleut sekarang ini sekitar 20-30 orang. Rata-ratanya memang mahasiswa tapi sebenarnya usia berapapun bisa selama tertarik pada sejarah,” ucapnya.

Setiap Minggu, kata Arya, tema yang dibahas berbeda-beda sehingga lokasi yang menjadi titik-titik keberangkatan komunitas ini pun beragam mulai dari jalan raya, pemukiman penduduk dan sebagainya.

“Kadang temanya ditentukan dari hal apa yang mau dicari. Ada juga yang terkait dengan event terdekat di Bandung. Misal, HUT Kota Bandung kita cari yang berhubungan dengan momen tersebut,” terangnya.

Ngaleut sendiri merupakan kata dari Bahasa Sunda yang berarti berjalan beriringan. Mereka mengadakan Ngaleut untuk bersama-sama saat mempelajari sebuah tempat bersejarah. Hampir seluruh tempat bersejarah di Bandung sudah dikunjungi komunitas ini. “Sumber temanya sendiri dari buku. Tidak hanya baca dari satu literatur saja. Ada dari buku memoar, novel dan lain-lain,” jelas Arya.

 

Setiap koordinator juga berperan penting dalam menyampaikan sejarah. Mereka biasanya bergantian menyampaikan informasi terkait situs penting kepada pegiat Aleut.

“Siapa yang menguasai materi yang jadi penanggung jawabnya. Saya misalnya, bertanggung jawab yang di dalam kota. Yang lain ada tentang literasi, militer, kereta api dan masih banyak lagi,” ujarnya.

Komunitas Aleut juga pernah menjelajahi jejak sejumlah tokoh dan pahlawan nasional yang pernah tinggal di Bandung, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dr. Tjipto Mangeoenkoesoemo, dan Douwes Dekker.

Sleain itu, pegiat aktif menuliskan pengalaman Ngaleut dalam catatan perjalanan mereka yang dimuat di komunitasaleut.com. Dengan cara bercerita, diharapkan semakin banyak orang tahu akan sejarah dan tertarik mendalaminya.

Dikatakan Arya, para pegiat aktif juga turut menyumbangkan ide untuk tema Ngaleut. “Pegiat aktif juga memberi ide karena di pengurus di sini tidak sentris,” ucapnya.

(Huyogo Simbolon)

 

Tautan asli: https://qubicle.id/story/ngaleut-melangkah-beriringan-memaknai-sejarah

Membedah “Based on a True Story” di #KelasLiterasi Edisi Ke-48

Oleh: Ramadita Alya Azizah (ROI-Radio)

Ada pengalaman seru pas kemarin menghabiskan waktu menunggu adzan maghrib. Ngabuburit hari Sabtu (18/6) kemarin lebih bermanfaat ketimbang momotoran di flyover Pasupati, soalnya Komunitas Aleut Bandung bikin acara #KelasLiterasi ke-48. Kali ini Komunitas Aleut mengadakan bedah buku Based on a True Story, sebuah biografi Pure Saturday, dengan pembicaranya yaitu penulis buku itu sendiri, Kang Idhar Resmadi.

Buku ini telah terbit pada tahun 2013 lalu, namun karena Pure Saturday ini adalah band pentolan dari Bandung, maka Komunitas Aleut ingin mengangkat buku ini sebagai salah satu bahasan kelas literasi konteks urban. Acara yang bertempat di markas barudak Aleut, Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20D, ini dimulai pukul 3 sore, dengan moderatornya gegedug Purepeople, Kang Anggi Cau. Di sini Kang Idhar menceritakan proses kreatifnya dan perjalanan penulis semasa penulisan buku yang dilakukan sekitar 1,5 tahun.

Berawal dari Kementerian Budaya yang meminta Kang Idhar untuk menulis profil sukses figur kreatif. Sempat bingung siapa subjeknya, namun dengan tekad beliau menulis tentang Pure Saturday dengan alasan subjektif: musik PS-lah yang menemani perjalanan hidupnya, dimulai dari bangku Sekolah Dasar sampai sekarang, dari album Utopia sampai Grey. Pada akhirnya Dendy Darman (UNKL 347) meminta Kang Idhar dan Anto Arief (70’s Orgasm Club) untuk membukukan suatu perjalanan kisah suatu band. Sebelumnya om Dendy menawarkan untuk menulis biografi band Shaggy Dog, Superman is Dead, dan Pure Saturday. Karena sebelumnya Kang Idhar pernah menulis tentang kisah sukses Pure Saturday, maka dibuatlah buku tentang perjalanan klise yang sangat biasa saja tentang Pure Saturday, sebagaimana dikisahkan Kang Idhar.

Klise, biasa aja. Itulah yang Kang Idhar rasakan ketika mendengar cerita dari semua personel Pure Saturday. Konflik yang umum dari semua personel band yang ada, antara harus memilih kuliah, kerja, atau nge-band. Semua musisi akan merasakan dilema seperti itu. Namun, Kang Idhar sebagai penulis melibatkan emosi dari setiap kisah itu sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk membuat angle cerita yang menarik untuk dibaca. Diakui penulis terinspirasi dari buku biografi Alex James, bassist Blur, yang jalan ceritanya pun sama: klise, tentang perjalanan hidup yang biasa aja. Namun dengan teknik menulis biografi yang melibatkan suatu konflik dan emosi, jadilah buku singkat yang katanya bisa dibaca sehari aja.

Pada bedah buku ini, Kang Idhar menceritakan bagaimana proses wawancara dengan personel PS yang anti-rockstar syndrome, dan sangat humble padahal diyakini anak muda indie kalau PS memang pionir band indie di Bandung. Santun euy. Personel PS yang basic-nya adalah penyuka genre metal ini malah terjerumus ke genre britpop. Ya, selanjutnya Purepeople bisa baca di buku Based on a True Story.

Banyak cerita yang tentunya Purepeople belum ketahui. Coba aja kemarin dateng ke Solontongan. Jadi, beli, gih, bukunya pakai uang THR, harganya 75ribu aja bisa dibeli di toko-toko buku kesayangan. Terima kasih, Komunitas Aleut. Semoga kita bertemu di #KelasLiterasi selanjutnya. Saya yang kemarin pakai kerudung abu hehehe.

 

Foto: Rheza Firmansyah

*Terima kasih kepada Kang Idhar atas koreksinya untuk nama-nama yang terlibat dalam proses pembuatan buku

Baca lebih lanjut

Komunitas Aleut, Mencintai Sejarah Kota dengan Cara Berbeda

Reporter: Dian Rosadi

 

Komunitas Aleut, mencintai sejarah kota dengan cara berbeda

Komunitas Aleut Bandung. ©2015 Merdeka.com/Dian Rosadi

Merdeka.com – Kota Bandung dikenal sebagai kota yang banyak menyimpan peninggalan sejarah. Berbagai warisan peninggalan Belanda dapat dengan mudah dijumpai di berbagai sudut kota. Sebagian besar peninggalan tersebut berwujud bangunan bergaya arsitektur zaman kolonial. Namun sayangnya, sebagian masyarakat belum sepenuhnya tahu atau bahkan tidak mengenal beragam peninggalan sejarah tersebut.

Adalah Komunitas Aleut yang mencoba ingin membangun kesadaran masyarakat untuk mengenal sejarah. Aleut sendiri merupakan kata dari bahasa Sunda yang artinya berjalan beriringan. Nama Aleut diambil karena setiap berkegiatan, aktivitas mereka selalu dilakukan bersama-sama saat mempelajari sebuah tempat bersejarah.

Uniknya komunitas ini mempelajari sejarah dengan cara mendatangi langsung tempat-tempat bersejarah yang dituju. Metode ini dinilai cukup efektif untuk memberikan pengetahuan baru bagi anggota yang ingin belajar sejarah secara langsung.

“Sejarah itu bukan melulu soal proklamasi, sumpah pemuda. Sebenarnya banyak di Kota Bandung juga menarik dibicarakan. Jadi sejarah itu lebih fun, enggak harus melulu belajar tentang tahun, tokoh-tokohnya yang harus hafal siapa aja,” ujar salah seorang Koordinator Komunitas Aleut Arya Vidya Utama saat berbincang dengan Merdeka.com di Sekretariat Komunitas Aleut, Jalan Solontongan, Kota Bandung, Sabtu (3/10)

Komunitas yang berdiri sejak 2006 ini banyak menggelar kegiatan. Setiap hari Minggu, Komunitas Aleut rutin mendatangi lokasi-lokasi bersejarah. Hampir seluruh lokasi bersejarah di Kota Bandung telah disambangi oleh komunitas ini. Sebut saja kawasan Asia Afrika, Braga dan lokasi-lokasi lainnya.

“Kita ngumpul di satu titik untuk briefing dulu, diberi pengantarnya dulu dan biasanya sebelum memulai kegiatan itu kita ada sesi perkenalan, asal dari mana, kuliah atau kerja di mana, setelah itu baru kita jalan. Rutinnya kegiatan ini dilakukan setiap Minggu. Namun ngaleutnya di luar hari Minggu juga ada, kalau akses yang agak sulit biasanya di hari kerja,” kata Arya.

Tak hanya Kota Bandung saja, beberapa tempat di daerah pendukung Bandung seperti Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, wilayah Bandung Selatan beberapa kali telah disambangi. Bahkan sejumlah lokasi bersejarah yang di luar wilayah Bandung Raya, seperti Cirebon juga tak luput dari kunjungan komunitas ini.

Saat ini jumlah anggota aktif Komunitas Aleut sekitar 100 orang. Selain berkegiatan dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, komunitas ini juga menggelar kelas resensi buku. Kelas resensi buku ini digelar setiap hari Sabtu. Setiap anggota komunitas diwajibkan membaca salah satu jenis buku yang dipilih sesuai minatnya.

Nantinya masing-masing anggota menjelaskan isi buku yang dibacanya tersebut kepada anggota lain. “Jadi setiap hari Sabtu ada kelas resensi buku. Kita sharing buku-buku yang dibaca oleh setiap anggota. Tak melulu harus buku soal sejarah, bisa filsafat, militer, cerpen, buku apapun pokoknya,” ucapnya.

Tak hanya itu, komunitas ini juga sempat beberapa kali mendatangkan narasumber yang diundang secara khusus untuk membahas salah satu topik. Topik yang dibahas juga beraneka ragam.

“Kita juga pernah ngobrol dengan orang-orang yang cukup ahli, misalnya Kimung pernah kita undang untuk belajar tentang karinding,” katanya.

Salah satu tujuan utama dari Komunitas Aleut yakni membangun kesadaran warga untuk mencintai kotanya dengan mengenal sejarah. Namun penyampaiannya dikemas dengan cara lebih menyenangkan.

“Utamanya lebih ke kesadaran tempat tempat bersejarah. Dengan kenal kan lebih cinta kotanya. Setelah cinta pasti lebih menjaga kotanya. Itu sih tujuan kita seperti itu, kenal, cinta jaga. Selain itu, di Bandung banyak yang bukan asli orang Bandung, bisa dia kuliah ataun cuma kerja di Bandung. Kita harapkan semangat ini bisa mereka bawa ke kota mereka masing masing. Jadi ketika mereka meninggalkan Bandung. Semangat itu bisa dibawa dan bisa menular,” katanya.

Untuk menjadi anggota dari komunitas ini cukup mudah. Anggota cukup melihat rencana kegiatan yang diposting di media sosial Komunitas Aleut. Cukup follow akun twitter @komunitasaleut, Instagram @komunitasaleut, fan page Facebook Komunitas Aleut.

Setelah itu cukup mengkonfirmasikan kehadiran kepada nomor telepon yang tertera. Setelah itu tinggal datang ke lokasi titik kumpul yang telah ditentukan. Untuk informasi lebih detail juga bisa mengankses laman http://www.aleut.wordpress.com. Setiap anggota baru dikenakan biaya pendaftaran Rp 10 ribu untuk satu tahun plus mendapat pin keanggotaan.

[mtf]

Kakarěn KAA 2015

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Tina runtuyan acara Konpěrěnsi Asia Afrika (satuluyna ditulis KAA), tanggal 24 April 2015 minangka puncakna acara. Dina prak-prakanna kaběh kepala nagara jeung para delegasina miěling KAA nu munggaran ku cara Historical Walk anu hartina leumpang bersejarah. Kajadian ěta nu kungsi dilakonan ku Prěsiden Soekarno jeung kepala nagara nu sějěnna, dimimitian ti Hotěl Savoy Homann nepika Gedung Merděka (baheula mah ngaranna Corcordia).

Nya dina acara ěta pisan sabenerna mah hajatna Bandung těh, dan ari konpěrěnsina mah diayakeunna di Jakarta tegesna di JCC (Jakarta Convěntion Centre). Tah saměměh puncakna acara, atuh daěk teu daěk Kota Bandung kudu dibebenah jeung digeugeulis. Kurang leuwih piduabulaneun deui kana tanggal 24, pagawě geus sarigep měměrěs trotoar, masang lampu, masang bangku, ngecět wangunan nu kuleuheu, jeung sajabana.

Ku kituna, sababaraha juru Kota Bandung těh jadi rada alus meueusan. Di saparat Jalan Asia Afrika atawa baheula mah ngaranna těh Jalan Raya Timur (de Groote Postwěg), bangku ngajajar dina trotoar. Aya ogě bola-bola batu nu diukir ku tulisan ngaran-ngaran nagara Asia jeung Afrika. Atuh lampu-lampu jang nyaangan jalan jeung jang hiasan gě teu katinggaleun. Lampu-lampu ěta dijieunna makě gaya klasik, nu luhurna aya maung jěngkě nu siga keur ngagaur. Baca lebih lanjut