Mang Irfan

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

IMG_8754_cil

Raut wajahnya serius. Sorot mata di balik kacamata yang ia kenakan seringkali terlihat sinis. Cara ia berjalan tak ubahnya seorang jagoan yang baru memenangkan pertarungan. Bagi mereka yang tidak mengenalnya, sosok lelaki ini akan mengingatkan mereka pada tatib di masa ospek SMA atau kuliah.

Semua impresi itu buyar jika lelaki ini sudah mulai diajak ngobrol. Terkadang ia bisa tertawa lepas atau membuat anda tertawa dengan banyolannya yang seringkali jayus. Ia juga begitu fasih jika sudah diajak berdiskusi soal buku, terutama buku-buku sastra.

***

Nama lengkapnya Irfan Teguh Pribadi, namun saya memanggilnya dengan nama Mang Irfan. Bukan tanpa alasan saya memanggilnya dengan sebutan “mang” di depannya: ia lebih tua 9 tahun dibanding saya! Toh meski begitu, obrolan kami tetap berlangsung cair layaknya kawan sebaya.

Pria yang mengaku masih muda ini lahir di Jampang Kulon 34 tahun silam. Jujur saat pertama kali mendengar nama daerah Jampang, pertanyaan yang muncul pertama kali di benak saya adalah “Di mana itu?”. Menurut penuturannya, Jampang berada di selatan Sukabumi dan tidak terlalu jauh. Ya, mungkin 80 KM baginya bukanlah jarak yang jauh.

Merantau seperti sudah hal yang biasa bagi Mang Irfan. Setelah tinggal dan menuntut ilmu di Jampang Kulon sejak lahir hingga bangku sekolah menengah pertama, ia merantau untuk pertama kali demi mengenyam pendidikan SMA. Pilihannya jatuh ke SMA Negeri 1 Sukabumi. Menurutnya, SMA di Jampang tak sebagus sehingga ia memilih untuk bersekolah di Sukabumi. Saat bercerita tentang sekolah ini, Mang Irfan beberapa kali menyebut nama Ananda Omesh yang merupakan kakak kelasnya, yang sampai saat ini saya masih kurang paham apa urgensinya.

Sempat mengambil rehat setahun, perantauannya ia lanjutkan ke Bandungcoret untuk menuntut ilmu di Politeknik Bandung. Saat ngobrol lebih jauh perihal masa kuliahnya, ternyata Mang Irfan adalah kawan sekelas Faisal, salah satu kawan saya sesama fans Arsenal. Seketika benak saya bereaksi: 1) Ungkapan “Bandung itu sempit” betul adanya dan 2) Anjir, ternyata si Isal geus kolot oge.

Meski hampir kena DO, toh pada akhirnya ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan merengkuh gelar ahli madya.

Perantauannya ia lanjutkan untuk mencari penghidupan. Sempat bekerja di Bandung, ia kemudian kembali merantau ke ibukota untuk bekerja di salah satu perusahaan asal Korea. Masa bekerja ini menurut penuturan Mang Irfan menjadi pelampiasannya dalam kegiatan perbukuan. Jika saat mengenyam pendidikan dulu ia tak punya banyak uang untuk membeli buku, di masa ini ia bayar tuntas ketidakmampuannya di masa lalu itu.

Saat kawan-kawan satu kosan atau rekan kerjanya menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, Mang Irfan memilih untuk pergi ke toko buku. Ia lebih suka mengabiskan pendapatannya untuk membeli buku dibanding memesan segelas kopi yang harganya puluhan ribu itu. Dari kebiasannya ini, saat ini ia mengaku sudah memiliki koleksi ratusan buah buku.

Akhir pekan juga menjadi waktu bagi Mang Irfan untuk membaca buku-buku yang telah ia beli dan… menyampulnya! Ya, ia sangat apik dengan urusan sampul-menyampul buku. Sekalipun Mang Irfan membeli buku di Togamas yang menyediakan jasa menyampul gratis, ia lebih memilih untuk menyampulnya sendiri di rumah. “Udah kebiasaan dari dulu, dan lebih rapi kalau disampul sendiri.”, ujarnya.

Selain membaca, ia juga aktif membuat tulisan. Sejak tahun 2007, buah pikirannya ia curahkan di wangihujan.blogspot.co.id. Ia juga berkolaborasi dengan kawan lainnya untuk mengelola blog ngopijakarta.wordpress.com. Kebanyakan tulisannya merupakan pengalaman pribadi maupun sudut pandangnya tentang sebuah fenomena yang ditulis dengan penggunaan diksi yang menarik.

***

Mang Irfan kemudian kembali lagi ke Bandung. Selain untuk merawat kakaknya yang sedang sakit, ia mengaku lelah bekerja kantoran yang dianggapnya menjemukan. Momen kembalinya Mang Irfan ke Bandung inilah yang kemudian membawanya ‘terjebak’ di Komunitas Aleut. Terhitung sejak trimester terakhir 2014, ia terlibat aktif di Aleut, mulai dari perancangan kegiatan hingga masuk ke dalam kepengurusan. Saat ini, ia dipercaya untuk menjadi Koordinator Bidang Literasi.

Dan layaknya virus, Mang Irfan berusaha untuk menularkan hobinya ini kepada para pegiat Aleut lainnya. Pojok KAA 2015 dan Kelas Resensi adalah bukti sahihnya. Dalam bidang penulisan, Mang Irfan “bertanggung jawab” dalam lahirnya kegiatan jurnalisme warga bertajuk Pojok KAA 2015. Sedangkan dalam baca-membaca, ia menularkannya melalui Kelas Literasi, sebuah kegiatan dabrulan buku Komunitas Aleut yang kini sudah berlangsung lebih dari 55 pekan.

Efek positif dari dua kegiatan ini telah saya rasakan sendiri. Pojok KAA 2015 mendorong saya untuk lebih produktif dalam menulis (setidaknya sampai sebelum 8 bulan terakhir) karena adanya tuntutan untuk memuat artikel di blog Aleut setiap harinya. Kelas Literasi mendorong saya untuk lebih banyak membaca buku sastra sebagai bahan pengayaan diksi, gaya penulisan, dan pola pikir penulisan.

***

Pada saat awal aktif di Aleut, Mang Irfan tak punya pekerjaan tetap layaknya di Jakarta dulu. Untuk sekadar jajan, ia mendapat uang saku dari hasil menulis untuk majalah dan koran berbahasa Sunda. Nominal honor menulis yang terhitung kecil tak mematahkan semangatnya menulis. Secara konsisen ia terus menulis dan sesekali mengirimkannya untuk terus memperoleh uang saku.

Pada akhirnya, konsistensi Mang Irfan membuahkan hasil. Di akhir bulan Juli tahun lalu, HP saya menerima pesan WhatsApp dari Zen RS yang menanyakan nomor kontak Mang Irfan. Nampaknya Zen telah membaca portfolio Mang Irfan di blog-nya dan tertarik untuk bekerja sama di dalam dunia tulis-menulis. Tak lama setelah itu, Mang Irfan bercerita kalau ia menjadi salah satu penulis untuk mengisi konten Frankfurt Book Fair, tentu dengan honor yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honor menulis artikel berbahasa Sunda.

Sejak itu pula sepak terjang Mang Irfan di dunia penulisan semakin bersinar. Beberapa minggu lalu, tulisannya dimuat di Jawa Pos. Mungkin ini terdengar biasa bagi kebanyakan orang, namun ada kebanggan dan prestasi tersendiri bagi para penulis untuk tulisannya dimuat di Jawa Pos karena standarnya yang terkenal tinggi.

Sebagai kawan seperjuangan, saya berharap Mang Irfan bisa terus bersinar melalui kegiatan literasinya, baik dari sisi finansial maupun reputasi. Pekerjaan terbaik menurut saya adalah hobi yang dibayar, dan rasanya sudah lama juga (atau malah mungkin belum pernah ada) penulis berskala nasional yang lahir dari rahim Komunitas Aleut. Terakhir, tak lupa juga saya berharap: Sing enggal meunang jodo, Mang!

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2016/08/18/mang-irfan/

___

Tulisan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi dengan tema “Aleutians di Mata Aleutians”. Bagi Aleutians lain yang tertarik untuk menulis hal serupa, tulisannya bisa dikirim ke komunitasaleut@gmail.com.

Tinggalkan komentar